• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku. GPM berawal dari ibadah perdana Gereja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS DATA Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku. GPM berawal dari ibadah perdana Gereja"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV ANALISIS DATA

4.1. Gambaran Umum Gereja Protestan Maluku

GPM berawal dari ibadah perdana Gereja Protestan Calvinis dari orang-orang Belanda, mereka merupakan pegawai VOC di Ambon pada 27 Februari 1605. Gereja ini terus berkembang di masa pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandse Zendeling

Genotschaap (NZG). Hingga tahun 1930, daerah

pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku. Pada 6 September 1935 GPM berdiri sebagai gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi, keuangan, dan kepemimpinan. GPM memelihara, membina dan mengembangkan struktur dan fungsi kepemimpinan gereja dengan menganut sistem Presbiterial Sinodal yang secara dinamis dan kreatif menekankan pada peranan para presbiter (Efesus 4: 11-12), Pengelolaan dan penatalayanan kehidupan

(2)

gereja atas dasar persekutuan dan kasih (Filipi 2:1-4),serta hubungan yang selaras, serasi, utuh, terpadu, dan dinamis penyelenggaraan pelayanan gereja, jenjang-jenjang kepemimpinan gereja, serta umat gereja secara menyeluruh. Sistem ini menekankan pada prinsip kebersamaan yang terwujud dalam tindakan yaitu berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja, dan berbuat serta mempunyai pengalaman bersama dalam mengisi persekutuan untuk melayani dan bersaksi sebagai misi Kristus. Menjalankan organisasinya GPM memiliki pola organisasi yang tergambar berikut ini. Gambar 4.1 : Pola Organisasi GPM (TAP SINODE No. 1 tahun 1978)

SINODE

Badan Pekerja Lengkap

Departemen

Biro

Badan Pekerja Harian Sinode Badan Pertimbangan

Sekretariat Umum Lembaga non Departemen

Biro

Sidang Klasis

(3)

Keterangan:

:GarisKomando

: Garis hub. fungsional : Garis Staff

: Garis koordinasi

Sumber: Peraturan organik GPM hal. 99

Sebagai organisasi GPM mempunyai visi yaitumenjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia. Visi ini diterjemahkan dalam misi gereja yaitu mendidik, membina, membangun, memberdayakan jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju, mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat, sehingga mereka dapat bersama-sama turut berperan serta dalam misi pembebasan dan penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik. Pelayanan holistik ini mencakup seluruh aspek hidup

(4)

manusia, aspek ritual, kelembagaan, sosio-etis, jasmani-rohani, sosial-ekonomi-politik-budaya, dan ekologi. Visi dan misi ini dijalankan dalam kegiatan-kegiatan utama gereja (core activities), yang memberi tekanan pada penguatan karakter dan kapasitas pelayanan dalam hidup berjemaat, bergereja, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menurut Merchant dan Van der Stede (2007) bahwa visi dan misi suatu organisasi mesti jelas dan dapat diukur sehingga organisasi dapat mengetahui apakah mereka telah mencapai tujuan organisasinya. Berdasarkan visi dan misi GPM yang telah dikemukakan, dapat dianalisis bahwa terdapat dua syarat untuk mencapaiannya, serta bagaimana visi ini diterjemahkan dalam misi dan tanggapan indikator pengukurnya, dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

(5)

Tabel 4.1 Penjabaran visi dalam misi serta tanggapan indikator pencapaian.

No. Visi Penjabaran pada misi Tanggapan indikator pencapaian 1. Menjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh.

kualitas iman dan karya pada visi dapat dicapai dalam misi untuk mendidik,

membina,

membangun, dan memberdayakan jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju, mandiri, terbuka, serta memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Pada penjabaran misi, tidak dikemukakan adanya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tercapainya

kualitas iman dan karya secara utuh. Kegiatan mendidik, membina, membangun dan memberdayakan merupakan rangkaian kegiatan utama dalam implementasi visi. 2. Untuk bersama-sama dengan sesama umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan sejahtera, sebagai tanda-tanda kerajaan Allah. Mewujudkan visi dengan cara bersama-sama turut berperan serta dalam misi pembebasan dan penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik. Indikator untuk mengukur bagaimana kehidupan berkeadilan, damai, setara, sebagai tanda-tanda kerajaan Allah tidak dijelaskan di dalam penjelasan misi.

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dikatakan bahwa visi dan misi pada GPM masih abstrak, serta tidak

(6)

memiliki indikator yang jelas untuk mengukur konsep-konsep besar yang digambarkan sebagai visi. Kondisi ini sesuai dengan karakter gereja sebagai organisasi non-profit yang dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007) di mana organisasi non-profit tidak memiliki kejelasan sasaran. Keabstrakan visi yang berdampak pada kesulitan dalam membuat indikator-indikator pencapaian tujuan membuat sistem pengendalian manajemen pada GPM menjadi menjadi sulit.

4.2. Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM Deskripsi sistem pengendalian di GPM akan diuraikan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007) bahwa terdapat tiga jenis kontrol yaitu results controls, action

controls dan people controls. 4.2.1 Results Controls

Results controls adalah tipe kontrol yang

(7)

terbaik atau memberikan punishing untuk kinerja yang buruk. Terdapat empat syarat dalam pelaksanaan

results controlsyaitu: (1) mendefenisikan

dimensi-dimensi yang mana hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan seperti profitabilitas, kepuasan pelanggan atau cacat produk; (2) mengukur kinerja berdasarkan dimensi ini; (3) pengaturan target kinerja untuk karyawan upayakan, dan (4) memberikan penghargaan untuk mendorong perilaku yang dapat mengarah pada hasil yang diinginkan. Berdasarkan keempat syarat tersebut, maka berikut akan dijelaskan mengenai bentuk results controls dan bentuk pelaksanaannya yang telah dijalankan pada GPM dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pelaksanaan bentuk Results Controls di GPM. No. Bentuk-bentuk Result

Kontrol Ada Keterangan

1. Pengukuran Kinerja x Dilakukan di GPM dalam bentuk DP3 2. Pengaturan target

kinerja

3. Sistem insentif x Dilakukan di GPM dalam bentuk Kenaikan pangkat

(8)

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa terdapat dua bentuk results controls yang telah dilakukan oleh GPM yaitu pengukuran kinerja dan sistem insentif. Pengukuran kinerja dilakukan berdasarkan DP3. DP3 adalah daftar yang digunakan untuk menilai setiap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai/pelayan gereja.

DP3 dimuat dalam Keputusan Sidang nomor: 09/BPL/XXV/2003 bab II pasal 4 tentang daftar pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan kenaikan pangkat. Unsur-unsur

yang dinilai dalam DP3 ini adalah

kesetiaan/pengabdian, prestasi kerja, tanggung-jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kreatifitas, kehidupan moral, serta kepemimpinan. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dinyatakan dengan sebutan dan angka-angka sebagai berikut.

(9)

Tabel 4.3. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan. Skor Predikat 91 - 100 76 - 90 61 - 75 51 - 60 50 – ke bawah Amat baik Baik Cukup Sedang Kurang

Insentif diberikan berdasarkan persyaratan yang tertuang dalam peraturan pelaksanaan kenaikan pangkat, yang secara lengkap dijelaskan dalam Keputusan Sidang nomor: 09/BPL/XXV/2003. Penjelasan mengenai hal ini digambarkan dalam tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4. Jenis kepangkatan dan target kinerja yang dicapai. No. Jenis Kenaikan

Pangkat (insentif) Persyaratan 1. Kenaikan pangkat

regular • Telah empat tahun dalam pangkat yang dimiliki, dan setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan, sekurang-kurangnya bernilai baik. • Telah lima tahun dalam pangkat

yang dimiliki dan setiap unsur penilaian sekurang-kurangnya bernilai cukup.

2. Kenaikan pangkat

pilihan • Telah empat tahun dalam jabatan struktural dan fungsionalnya, serta setiap unsur pekerjaannya bernilai baik selama dua tahun terakhir. • Telah lima tahun dalam jabatan

yang dimiliki, penilaian pelaksanaan pekerjaan bernilai baik dan tidak ada unsur penilaian yang bernilai kurang.

(10)

3. Kenaikan pangkat

istimewa • Menunjukkan prestasi kerja luar biasa baik dan menjadi teladan selama dua tahun yang dinyatakan dengan surat keputusan Sinode GPM.

• Setiap unsur pelaksanaan kerja bernilai amat baik.

• Menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi GPM.

Penting untuk diperhatikan bahwa DP3 ini belum rill results controls-nya. Penilaian kinerja staf itu dapat diinterpretasikan dalam dua hal yaitu sebagai aturan organisasi tetapi bisa juga diartikan sebagai results. DP3 diinterpretasikan sebagai results controls, akan tetapi di dalamnya belum dituangkan pengaturan target. Sehingga insentif yang diberikan tidak bergantung pada target melainkan hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan. Kondisi ini membedakannya dengan perusahaan yang memiliki keterkaitan diantara pengukuran kinerja dan pengaturan target kerja dengan tujuan organisasi sangat kuat (misalnya dengan laba, ROI, dll), tetapi untuk gereja agak sulit karena tujuan dan indikatornya tidak jelas serta tidak terukur.

(11)

Kalau di dunia bisnis pengukuran kinerja dan target bisa dikaitkan secara langsung dengan tujuan perusahaan. Akan tetapi karena gereja adalah organisasi non-profit dimana visi dan misinya tidak memiliki indikator yang jelas maka agak sulit untuk mengaitkan antara tujuan gereja dengan pengukuran dan target kinerja.

Belum diaturnya target kinerja, serta pengukuran kinerja dan insentif yang belum dapat didasarkan pada tujuan organisasi menimbulkan masalah di dalam gereja, antara lain yang diidentifikasi dalam tabel 1.1. Masalah-masalah itu yaitu, belum terwujud dengan baik optimalisasi dalam menterjemahkan dan melakukan implementasi tugas pokok dan fungsi atas dasar aturan; perbedaan persepsi antara suprastruktur dan umat dalam memahami keterpanggilannya; pelaksanaan tugas yang belum maksimal disebabkan oleh orientasi gereja pada kegiatan rutin; Aturan yang tersedia tidak mengatur dengan jelas setiap bidang dan tugasnya, yang berorientasi pada pengembangan dan

(12)

pencapaian tujuan; lemahnya pemahaman dan kesadaran tugas pokok dan fungsi pada masing-masing bidang kelembagaan; (lih. Tabel 1.1, masalah nomor 1,2,6,7,11,13).

GPM mempunyai finance responsibility centre yang mayoritasnya adalah cost centre, yakni pada departemen keesaan dan pembinaan umat, departemen pekabaran injil dan komunikasi, departemen pelayanan dan pembangunan.Sedangkan departemen finansial dan ekonomi merupakan revenue centre. Bidang ini bertugas untuk melakukan kegiatan-kegiatan pendanaan untuk organisasi. Terdapat beberapa bentuk kegiatan pendanaan yang dilakukan oleh GPM antara lain dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 4.5 Kegiatan pendanaan GPM

Kegiatan Pendanaan Keterangan

Dana onderstanfons Dana onderstanfons

merupakan sejumlah dana yang disimpan di Belanda sejak

tahun 1969, yang

diperuntukkan untuk para pensiun pendeta. Dana ini hanya bisa digunakan pada saat emergensi, untuk mencukupi atau membantu

(13)

mengatasi persoalan keuangan pensiun GPM, tidak untuk digunakan pada setiap tahun. Secara lengkap penggunaan dana ini dituang dalam pedoman pemanfaatan dana onderstanfons.

Dana Lestari Dana lestari merupakan dana bantuan dari KVR di Belanda. Dana ini digunakan dalam permainan saham di Belanda, dan oleh kesepakatan KVR di Belanda, dana ini dikembalikan kepada GPM. Penggunaan dana ini diatur dalam pedoman pemanfaatan dana lestari GPM. Penggunaan Aset gereja Terdapat beberapa asset gereja yang disewakan yaitu tanah (tanah tersebut terdapat di daerah Pulo Gangsa, Urimeseng, batu gantong, dll), gedung (sewa baileo oikumene).

Dana THT Dana THT adalah dana

perorangan yang dipotong dari gaji setiap pegawai organik GPM.

4.2.2 Action Controls

Kontrol ini melibatkan pengambilan langkah-langkah untuk memastikan bahwa karyawan bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi dengan menjadikan tindakan mereka sendiri sebagai fokus kontrol. Kontrol ini memiliki empat bentuk yang pelaksanaan digambarkan dalam tabel 4.6 berikut.

(14)

Tabel 4.6 Bentuk-bentuk action controls dan pelaksanaannya di GPM.

Bentukaction controls Bentuk pelaksanaannya di GPM Ada

Behavioral constraints • Password pada komputer yang menyimpan data rahasia.

• Kunci lemari dan meja kantor. • Pembatasan wewenang pengambilan keputusan • Pemisahan tugas x x x x

Preaction reviews • Persetujuan program kerja dan anggaran.

• Sidang-sidang

• Persetujuan RENSTRA • Persetujuan pengelolaan hak

milik gereja.

• Persetujuan pimpinan gereja.

x x x x x

Action Accountability • Aturan kerja

• Kebijakan dan prosedur • Ketentuan kontrak • Kode etik • MONEVA • Verifikasi • Visitasi x x x x x x

Redudancy Menyediakan pelayan/pegawai

organik cadangan x

Bentuk behavioral constraints dilakukan oleh GPM dengan cara memberikan kendala-kendala fisik berupa password pada komputer yang menyimpan data-data rahasia, memberikan kunci pada lemari dan meja kerja. Sedangkan untuk pembatasan wewenang dalam pengambilan keputusan dilakukan gereja dengan berpedoman pada tata GPM pasal 27 tentang

(15)

wewenang dan perwakilan dalam pengambilan keputusan.

Mengenai pemisahan tugas, pada umumnya gereja memiliki bidang-bidang pelayanan (bidang PELPEM, Finansial ekonomi, kerumahtanggaan dan PIKOM Masing-masing bidang mempunyai tugas tersendiri yang memisahkannya dengan bidang yang lain. Bidang PELPEM hanya dapat mengerjakan tugas bidangnya tanpa mencampuri tugas bidang yang lain. Demikian halnya bendahara hanya dapat mengerjakan tugasnya sebagai bendahara tanpa mengerjakan tugas sekretaris.

Preaction reviews secara sederhana dapat

diartikan sebagai bentuk persetujuan sebelum action (tindakan, kebijakan, dll) dilaksanakan. Bentuk ini ditemui di GPM dalam bentuk program kerja dan anggaran melalui tiga aras (jemaat, klasis, dan sinode). Dimana program kerja dari komisi harus meminta persetujuan dari persidangan.

(16)

Bentuk action controls yang paling kuat pada gereja terlihat dalam sidang-sidang yang dilaksanakan oleh gereja pada masing-masing aras kepemimpinan. Tabel 4.7 berikut ini akan menjelaskan tentang jenis persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu pelaksanaan.

Tabel 4.7 Jenis persidangan gereja, jenjang organisasi, dan waktu pelaksanaan

Jenis Persidangan Jenjang

organisasi Waktu Pelaksanaan Sidang Sinode Sinode 5 tahun sekali

Sidang BPL Sinode Sinode 1 tahun sekali Sidang klasis Klasis 1 tahun sekali Sidang jemaat Jemaat 1 tahun sekali

Sedangkan mengenai jenis persidangan serta tugas dan wewenang tiap-tiap persidangan dijelaskan dalam tabel 4.8.

Tabel 4.8 Jenis persidangan serta tugas dan wewenangnya. Jenis Persidangan Tugas dan wewenang Sidang Sinode • Menetapkan tata gereja

• Menetapkan peraturan-peraturan pokok GPM dan atau peraturan lainnya yang dipandang prinsipil.

• Menetapkan pokok-pokok pengakuan dan ajaran gereja.

• Menetapkan PIP & RIPP GPM untuk dipedomani oleh seluruh perangkat dan pelayan dan warga gereja untuk waktu

(17)

5 (lima) tahun.

• Mengevaluasi dan meninjau kembali pokok-pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh seluruh perangkat dan warga GPM. • Menetapkan pola induk pelayanan GPM

sebagai dasar pelaksanaan Amanat pelayanan GPM.

• Memilih dan mengangkat BPH sinode dan Badan Pertimbangan BPH Sinode untuk masa bakti 5 (lima) tahun. Sidang BPL Sinode • Menetapkan peraturan organik.

• Mengevaluasi hasil-hasil pelaksanaan keputusan persidangan sinode dan persidangan BPL sinode.

• Mengawasi pelaksanaan pelayanan gereja dan pelaksanaan Amanat pelayanan GPM.

• Menjabarkan keputusan-keputusan dan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh persidangan sinode menjadi program-program yang bersifat operasional untuk dilaksanakan di semua jenjang pelayanan gereja.

• Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja GPM untuk tahun berikutnya. Sidang klasis • Menilai dan mengesahkan laporan

pertanggungjawaban pelayanan dan keuangan klasis.

• Menetapkan garis-garis kebijakan mengenai pelaksanaan keputusan persidangan Sinode dan BPL Sinode dalam bidang-bidang pelayanan gereja. • Mengesahkan anggaran pendapatan

dan belanja tahunan dari klasis.

• Mengawasi dan membina proses perkembangan jemaat-jemaat menuju kepada satuan pelayanan yang lebih besar.

• Memilih utusan-utusan klasis ke persidangan sinode dan BPL.

• Mengawasi segala harta milik gereja yang bergerak maupun yang tidak bergerak sesuai peraturan GPM.

Sidang Jemaat • Mengevaluasi laporan

pertanggungjawaban pelayanan dan keuangan jemaat.

(18)

• Menetapkan program-program pelayanan jemaat.

• Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja jemaat.

• Menjabarkan keputusan persidangan sinode, persidangan BPL sinode dan persidangan klasis.

• Membicarakan dan menetapkan masalah-masalah keumatan yang relevan.

Program kerja dan anggaran dari jemaat mengacu pada isu strategis. Ini dikarenakan organisasi mempunyai tujuan, dan agar jemaat-jemaat dapat mendukung tujuan ini maka penting untuk dijabarkan melalui rencana strategi. Rencana strategi (RENSTRA) merupakan bagian yang sangat penting di dalam gereja. Bentuk ini disetujui pelaksanaannya dalam persidangan BPL tahun 2011, dan baru disosialisasi serta diimplementasi pada tahun 2012. Berikut akan dijelaskan tahapan pembuatan RENSTRA pada GPM. 1) Pengumpulan data base jemaat yang lengkap. 2) Melihat gambaran profil jemaat dan profil desa. 3) Berdasarkan data base, profil jemaat, dan profil

(19)

Di samping itu identifikasi isu dapat dilakukan dengan menggunakan telaah terhadap dokumen-dokumen hasil persidangan jemaat tahun-tahun sebelumnya untuk melakukan analisa kelembagaan gereja.

4) Di samping data-data yang ada, tim RENSTRA juga melakukan focus group discussion (FGD) mengenai masalah-masalah di jemaat.

5) Melakukan klarifikasi terhadap isu-isu yang ada untuk melihat isu yang mana yang benar-benar menjadi masalah dan isu yang mana yang hanya bersifat kasuistik.

6) Berdasarkan klarifikasi, maka isu hubungan sebab-akibat disatukan untuk mendapatkan isu utama.

7) Karena keterbatasan kapasitas dan waktu, maka dari isu-isu utama dilakukan perengkingan untuk melihat isu mana yang mendesak untuk diselesaikan berdasarkan kapasitas gereja.

(20)

8) Menentukan isu strategi. Isu strategi ialah isu dimana gereja punya kapasitas untuk bisa menyelesaikannya.

9) Berdasarkan isu strategi dibuat rencana strategi. Di dalam persidangan pada masing-masing aras (jemaat, klasis, sinode) rencana strategi ini dibahas dan dilakukan persetujuan. Rencana strategi akan dijadikan acuan dalam organisasi. Bentuk yang berikut ialah persetujuan pengelolaan harta milik. Hal ini tertuang dalam peraturan pokok GPM tentang perbendaharaan gereja pasal 3, di mana pihak yang ingin mengelola harta milik gereja diharuskan untuk meminta persetujuan dari sinode sebagai pemegang hak. Sedangkan menyangkut persetujuan anggaran oleh jenjang kepemimpinan yang berwenang, diatur dalam pasal 5, yakni APB jemaat disahkan oleh klasis, dan APB klasis disahkan oleh sinode.

(21)

Bentuk lain dari preaction reviews dapat ditemui dalam bentuk persetujuan-persetujuan yang diberikan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Seperti persetujuan untuk pelaksanaan kegiatan, persetujuan untuk sekolah lanjut, persetujuan untuk keluar jemaat, persetujuan untuk mutasi dan lain-lain.

Bentuk-bentuk action accountability di GPM itu dilakukan dengan cara:

1) Merumuskan aturan kerja, kebijakan dan prosedur, dan ketentuan kontrak. Sedangkan untuk kode etik tidak dimiliki oleh GPM.

2) Mengkomunikasikan melalui kegiatan sosialisasi, rapat sinode, rapat klasis, perkunjungan ke jemaat-jemaat.

3) Melakukan monitoring dan evaluasi (MONEVA), supervisi, dan verifikasi.

4) Memberikan rewards dan punishments misalnya pemberhentian.

(22)

Aturan kerja mengatur tentang cara dalam pelaksanaan suatu tugas atau pekerjaan dengan mengingat segi-segi tujuan gereja, peralatan, fasilitas, tenaga kerja, waktu, ruang dan biaya yang tersedia seefisien mungkin. Berikut akan dijelaskan tentang bentuk-bentuk aturan kerja di GPM dalam tabel 4.9. Tabel 4.9 Penjelasan jenis peraturan kerja

Jenis Peraturan

kerja Keterangan

Peraturan pokok GPM

Peraturan ini didalamnya ditetapkan hal-hal yang sifatnya pokok pada tiga aras (sinode, klasis, jemaat).

Peraturan pokok perbendaharaan GPM

Peraturan ini didalamnya memuat tentang perbendaharaan gereja, tata usaha perbendaharaan gereja, pengurusan

komptabel, perhitungan dan

pertanggungjawaban perbendaharaan, pembentukan tim verifikasi dan pengawasan, inventaris, penyimpanan dan memperbungakan keuangan gereja, penertiban penyelewengan dan tuntutan ganti rugi, serta serah terima jabatan. Peraturan tentang

penggembalaan dan disiplin gereja

Peraturan ini memuat tentang kewajiban dan tanggung jawab anggota, pegawai, dan pelayan khusus gereja, tugas dan wewenang badan gereja, tindakan disiplin bagi anggota, pegawai, dan pelayan khusus gereja.

Peraturan organik

GPM Peraturan ini memuat tentang pola organisasi GPM, uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan GPM, pengangkatan pegawai/pejabat organik GPM, pemberhentian pegawai/pejabat organik GPM, cuti pegawai/pejabat GPM, pensiun pegawai/pejabat GPM, struktur tugas pimpinan harian majelis jemaat (PHMJ) GPM, dan pemilihan majelis jemaat

(23)

GPM.

Kebijakan dan prosedur kerja memperlihatkan rangkaian dari tata kerja yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Dimana terlihat adanya suatu urutan tahap demi tahap, dan jalan yang harus ditempuh oleh pelayan/pegawai gereja dalam rangka menyelesaikan suatu bidang tugas yang diberikan oleh pimpinan pada ketiga aras (sinode, klasis, jemaat). Kebijakan dan prosedur di gereja menyangkut dengan kebijakan dan prosedur pemilihan pendeta, majelis jemaat, dan lainnya.

Ketentuan kontrak memuat kesediaan pegawai/pelayan organik untuk bersedia di tempatkan di mana saja dalam tugas pelayanan. Ketentuan kontrak dilakukan di dalam proses recruitments calon pegawai/pelayan organik gereja.

Verifikasi merupakan pemeriksaan setiap laporan yang dibuat oleh bendaharawan sebelum laporan itu dijadikan laporan pertanggung jawaban dalam

(24)

sidang-sidang. Ketentuan mengenai verifikasi dituang dalam peraturan pokok tentang perbendaharaan gereja pasal 19. Jika terdapat pelanggaran terhadap penggunaan anggaran maka akan dikenakan sanksi sebagai mana tertulis dalam aturan organisasi.

Tentang monitoring dan evaluasi GPM melakukannya dalam tiga cara, yaitu MONEVA, supervisi, dan verifikasi. MONEVA merupakan kegiatan monitoring dan evaluasi atas setiap aksi yang dilakukan oleh gereja dalam berbagai jenjang. Kegiatan ini dilakukan secara rutin oleh pihak klasis maupun sinode. GPM baru melakukan kegiatan ini sebagai tindak lanjut dari RENSTRA yang dijalankan. MONEVA dilakukan oleh pihak BALITBANG GPM, Klasis, dan tim asistensi di seluruh wilayah pelayanan GPM.

Visitasi dilakukan setiap 3 bulan sekali. Visitasi dijalankan oleh gereja secara formal maupun non formal. Secara formal dilakukan gereja dengan mengirimkan surat, sedangkan secara non formal

(25)

dilakukan tanpa surat atau dadakan. Dalam wawancara dengan Pdt. Yan Matatula mengemukakan bahwa:

“Visitasi dadakan kami lakukan untuk mengecek secara langsung informasi-informasi yang telah kami dapatkan dari jemaat setempat terkait dengan kinerja yang kurang baik maupun yang baik yang dilakukan oleh pendeta setempat. Ini berguna untuk menjadi bukti bagi kami mengenai apa yang disampaikan umat, dan jika ada pendeta jemaat yang kedapatan membuat kesalahan dengan meninggalkan jemaat tanpa pemberitahuan kepada kami, akan kami kenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.”1

Hal ini menjadi jelas bahwa GPM telah melakukan kegiatan visitasi namun kendalanya adalah belum adanya format yang baku dalam melakukannya. Kode etik tidak dimiliki oleh gereja. Dalam persidangan BPL tahun 2011 di Dobo, hal ini sudah diangkat tetapi belum disetujui karena terdapat alasan yang terkait dengan karakteristik pelayanan di gereja.

Bentuk redundancy dilakukan gereja dengan menyediakan tenaga pelayan/pegawai organik cadangan yang dapat menggantikan pelayan jika

(26)

sewaktu-waktu berhalangan dalam pelaksanaan tugas pelayanan gereja. Pada beberapa jemaat hal ini dilaksanakan dengan mempersiapkan majelis jemaat bertugas untuk memimpin pelayanan ibadah jika sewaktu-waktu pendeta bertugas secara tiba-tiba berhalangan datang. Walaupun harus disadari bahwa belum semua jemaat melakukan itu.

4.2.3 People/Culture Controls

People controls membangun kecenderungan alami

karyawan untuk mengendalikan diri. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan orang memiliki hati nurani yang membuat mereka melakukan apa yang benar, menemukan kepuasan diri ketika mereka melakukan pekerjaan dengan baik, dan melihat organisasi mereka berhasil. Terdapat tiga metode utama untuk melaksanakan people controls yaitu seleksi dan penempatan karyawan, training, serta desain pekerjaan dan penyediaan sumberdaya yang

(27)

diperlukan. Tabel berikut akan menjelaskan bagaimana ketiga metode ini dijalankan di GPM.

Tabel 4.10 Metode People Controls dan bentuknya di GPM.

Metode Realisasi di GPM Cross chek

Seleksi dan penempatan karyawan

GPM melakukan seleksi dan

penempatan karyawan

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

x

Training Melakukan training bagi para pegawai/pelayan organik. x Desain pekerjaan

dan sumber daya

yang diperlukan Uraian tugas dan uraian kerja x

Proses seleksi dan penempatan dilakukan oleh gereja dengan merekrut calon pendeta (vikaris) melalui beberapa tahapan yaitu : pendaftaran yang dibuka untuk setiap lulusan fakultas teologi, dengan tahun lulus tertentu; tes calon vikaris berupa tes tertulis dan psiko tes; pemberkasan yang berfungsi untuk menyeleksi calon vikaris berdasarkan berkas-berkas yang telah dikumpulkan dan hasil tes; pegumuman hasildan penempatan calon vikaris di daerah pelayanan yang ditentukan. Syarat-syarat yang digunakan dalam penilaian calon vikaris adalah ijasah teologi,

(28)

sertifikat-sertifikat kegiatan yang digunakan, surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian (SKCK), dan surat keterangan keterlibatan dalam pelayanan di jemaat asal calon. Kriteria penilaian yang digunakan gereja dalam menilai calon vikaris menekankan pada aspek etika dan moralitas, pendidikan teologi, kognitif, pengalaman berorganisasi, serta kesehatan jasmani dan rohani.

Sebelum ada dalam masa vikariat, calon vikaris diwajibkan mengikuti training yang di dalamnya terdapat materi-materi yang berfungsi mengasah kecakapan dan melengkapi kemampuan vikaris untuk melakukan pelayanan di jemaat tempat tugasnya. Di dalam proses vikaris calon pendeta dimonitoring dan dinilai oleh mentor setempat, jika kedapatan berbuat kesalahan maka akan diberikan punishment sesuai aturan dan dipertimbangkan kembali untuk dapat diangkat menjadi pendeta ataukah tidak. Di masa akhir vikaris terdapat tes yang berguna untuk mengevaluasi kehadiran dan daya kritis vikaris dalam menghadapi masalah-masalah di jemaat tempat tugasnya. Evaluasi

(29)

ini berguna untuk mengukur kapasitas vikaris serta menjadi bahan pertimbangan dalam penempatan pendeta.

Bentuk training dilakukan oleh GPM terkait dengan pengembangan kapasitas pelayan melalui muatan-muatan materi kontekstual. Trainingyang dilakukan melibatkan pegawai/pelayan organik yang difasilitasi oleh gereja, namun kadang-kadang juga difasilitasi oleh organisasi-organisasi lain yang bekerjasama dengan gereja.

Desain pekerjaan dilakukan oleh gereja dalam uraian tugas dan tata laksana perangkat pelayan yang tertuang dalam Keputusan BPL Sinode Nomor : 10/BPL/XX/1998. Di sini terdapat pembagian tugas dalam pelayanan di semua tingkat organisasi. Dalam melakukan pelayanan di jemaat-jemaat pelaksanaan pembagian tugas melibatkan majelis jemaat dan jemaat. Pembagian peran dilakukan berdasarkan bidang tugas dan juga daerah pelayanan. Ini

(30)

memudahkan tugas pendeta dalam melakukan pelayanannya.

Culture controls dirancang untuk mendorong

saling pemantauan, dan merupakan bentuk kuat dari

group pressure pada individu yang menyimpang dari

norma-norma kelompok. Terdapat lima bentuk pendekatan yang digunakan dalam kontrol ini yaitu kode etik, penghargaan kelompok, transfer intraorganisasi (rotasi karyawan), pengaturan fisik, dan

tone at the top. Berikut ini akan dijelaskan apakah

kelima pendekatan ini telah dilaksanakan di GPM dalam tabel 4.11.

Tabel 4.11. Bentuk pendekatan culture controls dan realisasinya di GPM.

Bentuk pendekatan Realisasi di GPM Cross check Kode etik GPM belum memiliki kode etik

Penghargaan

Kelompok Pendekatan ini belum dilakukan di GPM Transfer

intraorganisasi (rotasi karyawan)

GPM telah melakukan

pendekatan ini x

Pengaturan fisik GPM melakukan dalam bentuk perencanaan kantor, arsitektur,

dan dekorasi gereja. x

(31)

Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa bentuk pendekatan yang dilakukan di gereja adalah transfer organisasi, pengaturan fisik, dan tone at the top. Sedangkan untuk kode etik dan penghargaan kelompok belum diadakan.

Kode etik memang telah diperbincangkan untuk diadakan dalam sidang BPL di Dobo, namun belum disetujui karena terdapat beberapa alasan yang penting untuk dipertimbangkan dalam penyusunan formatnya. Untuk pendekatan penghargaan kelompok belum dilakukan di GPM. Transfer intraorganisasi (rotasi karyawan) telah dilakukan oleh gereja dalam bentuk mutasi pegawai/pelayan organik. Mutasi adalah pertukaran pegawai/pelayan organik, dengan tujuan untuk memperkaya pengalaman melayaninya di jemaat. Mutasi pendeta dilakukan setiap lima tahun sekali yang mekanisme penempatan pendetanya diatur oleh sekretaris sinode. Arsitektur gereja menjadi ciri khas tersendiri dari organisasi kerohanian ini. Gereja sangat kuat dengan simbolis seperti salib, lonceng gereja, dan lain-lain.

(32)

Tone at the top dipraktekan di gereja, dan ini

menjadi budaya yang sangat kuat di jemaat. Tone at the

top berhubungan dengan teladan pendeta di jemaat.

Teladan pendeta di jemaat dilakukan sesuai dengan pola pelayanan gereja (Tata GPM pasal 8) yang berpolakan kehidupan Yesus Kristus sebagai:

1) HAMBA yang taat dan mengkosongkan diriNya untuk melayani bukan untuk dilayani.

2) IMAM yang rela berkorban tanpa pamrih demi tugas-tugas pelayanan pendamaian di antara gereja, masyarakat, dan sesama manusia.

3) NABI yang menaklukan segala sesuatu ke bawah penilaian firman Allah terutama untuk

menegakan keadilan, kebenaran dan

kesejahteraan umat manusia, gereja, masyarakat, bangsa dan negara.

4) GEMBALA yang menjalankan tugas-tugas, kepemimpinan, dan pelayanan gereja di bawah arahan dan tuntunan Gembala Yang Baik.

(33)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut maka secara ringkas sistem pengendalian di GPM dapat dijelaskan dalam tabel 4.12 berikut ini.

Tabel 4.12 Sistem Pengendalian Manajemen pada GPM Jenis

Kontrol Bentuk-bentuk Ada Keterangan

Results

controls • Pengukuran kinerja • Pengaturan target • Sistem insentif x x DP3 Tidak ada Kenaikan pangkat Action

controls • Behavioral constraints • Preaction reviews • Action accountability • Redudancy x x x x Password, kunci, pembatasan wewenang & otoritas pengambilan keputusan.

rencana Program kerja & anggaran, sidang-sidang, renstra, persetujuan-persetujuan lain. Peraturan kerja, ketentuan kontrak, verivikasi, moneva, visitasi;

Kode etik tidak ada. Penyediaan tenaga pelayan cadangan People/ culture controls • Seleksi & penempatan. • Training

• Desain kerja &

SDM yang diperlukan • Kode etik • Penghargaan kelompok • Transfer x x x x

Seleksi tenaga calon pendeta (vikaris)& penempatan tenaga pendeta.

Uraian tugas & tata laksana, pembagian tugas.

Belum dimiliki Belum dimiliki Mutasi pendeta

(34)

intraorganizati onal

• Pengaturan fisik

• Tone at the top

x x

Arsitektur, dekorasi gereja

Sesuai dengan pola pelayanan gereja

4.3. Implementasi Sistem Pengendalian

Manajemen pada GPM

GPM telah melakukan sistem pengendalian manajemen dengan menggunakan jenis kontrol yang dikemukakan oleh Merchant dan Van der Stede (2007) antara lain results controls,action controls, dan

people/culture controls, namun dalam implikasinya

terdapat beberapa bentuk kontrol yang tidak sesuai dengan sistemnya. Berikut akan dijelaskan tentang impementasi sistem pengendalian manajemen dalam ketiga jenis kontrol.

1. Results Controls

Implementasi kontrol ini dilakukan oleh GPM dalam bentuk DP3 yang diberikan kepada para

(35)

pegawai/pelayan organik penilai pelaksanaan pekerjaan untuk diisi daftar penilaiannya. Dari daftar tersebut gereja dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja yang dilakukan apakah telah sesuai dengan tujuan organisasi gereja atau belum.

Oleh karena tidak adanya keterkaitan antara pengukuran kinerja, target kerja dan tujuan organisasi, maka results controls yang diberikan bersifat subjektif. Sehingga daftar penilaian kinerja pegawai (DP3) turut dipengaruhi oleh subjektifitas mereka yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan.

2. Action Controls

Kontrol ini di GPM menemui beberapa masalah dalam implementasinya, yang akan dijelaskan dalam penjelasan berikut.

Bentuk preaction reviews di GPM berupa persetujuan program melalui persidangan-persidangan dan jenjang kepemimpinan di semua jenjang dilakukan GPM setiap tahun pelayanan. Di dalam persidangan

(36)

juga terdapat evaluasi terhadap program-program yang dijalankan oleh gereja selama satu tahun pelayanan. Mengenai persetujuan RENSTRA, hal ini baru dilakukan oleh GPM pada tahun 2012. Di temui dalam penelitian dalam wawancara dengan tim BALITBANG GPM, disampaikan bahwa ada juga jemaat yang belum melakukan RENSTRA. Ini disebabkan lemahnya sosialisasi, tetapi juga pemahaman mereka tentang pelaksanaan RENSTRA itu sendiri. Mengenai apakah RENSTRA telah sesuai dengan tujuan organisasi, ditegaskan oleh tim BALITBANG bahwa visi dan misi GPM yang lama masih abstrak dan karena itu sulit untuk membuat renstra berdasarkan itu. Sehingga mereka melakukannya dari awal dengan menggali isu-isu strategis dari tiap jemaat di GPM. Lebih lanjut Pdt. Vebby Songopnuan, S.Si sebagai sekretaris tim mengemukakan bahwa:

“kami masih melakukan penggodokan untuk membuat visi dan misi yang sesuai dengan isu-isu strategis yang didapat dari tiap jemaat di GPM. Sehingga kita dapat menentukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pencapaian visi dan misi. Sebab dengan demikian kita bisa

(37)

membuat RENSTRA dengan indikator-indikator terukur sesuai dengan visi dan misi gereja. ”2

Persetujuan pengelolaan harta milik gereja telah dilakukan organisasi. Namun dalam realitasnya kegiatan pengelolaan harta milik gereja belum sepenuhnya maksimal, bahkan ada yang dihapuskan karena alasan-alasan tertentu. Karena itu penting juga untuk merancang mekanisme yang baik dalam hal pemberian persetujuan pengelolaan harta milik gereja, yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi mereka yang menggunakan hak pengelolaan harta milik gereja.

Preaction reviews merupakan hal yang sangat

ditekankan pada GPM. karena persetujuan apapun yang diberikan oleh pimpinan sangat berhubungan erat dengan eksistensi GPM. Misalnya untuk menjalankan proposal kegiatan, panitia harus meminta persetujuan dari pimpinan pada aras gereja yang menugaskannya. Sebab dalam kenyataan di lapangan masih ada saja

Wawancara dengan sekretaris Tim BALITBANG GPM tertanggal 16 Januari 2013

(38)

orang-orang tertentu yang membawa nama gereja untuk mendapatkan uang dari instansi-instansi tertentu untuk kepentingan pribadinya. Untuk kegiatan-kegiatan organisasi yang bersifat eksternal, dalam hal ini berhubungan dengan organisasi eksternal gereja, maka aras jemaat harus meminta persetujuan dari klasis, dan aras klasis harus meminta persetujuan dari sinode.

Bentuk action accountabilitydilakukan gereja dalam aturan kerja yang berfungsi untuk mengatur bagaimana pegawai/pelayan organik dalam melakukan pelayanannya. Dalam kenyataannya pegawai/pelayan organik juga menyimpang dari aturan organisasi. Seperti tindakan pegawai/pelayan organik meninggalkan jemaat dalam waktu yang sangat lama untuk kepentingan keluarga. Hal ini kadang-kadang terpaksa dilakukan oleh pegawai/pelayan organik karena jarak yang jauh antara pegawai/pelayan organik dengan keluarga (suami atau isteri dan anak-anak). Akibatnya ketika terjadi masalah dalam jemaat pada

(39)

waktu pegawai/pelayan organik meninggalkan jemaat, masalah yang ada menjadi tidak dapat ditangani atau terlambat dalam penanganannya. Hal ini secara tegas dijelaskan oleh ketua klasis kairatu yaitu:

“Ketika pendeta meninggalkan jemaat tanpa memberitahu kepada kami maka pada saat terjadi masalah dalam jemaat waktu pendeta itu pergi, akan menyulitkan kami dalam berkoordinasi untuk penyelesaian masalah. Padahal maksud kami adalah baik, yaitu ketika pegawai/pelayan organik meminta izin akan memberi signal kepada kami untuk membantu memonitoring jemaat pada saat dia tidak ada di jemaat.”3

Kondisi ini dimungkinkan oleh masalah-masalah yang telah dideskripsikan pada tabel 1.1 diantaranya ialah: belum berfungsinya tata gereja sebagai pedoman organisasi, serta lemahnya fungsi kontrol terhadap aras struktur di bawahnya, lemahnya pemahaman dan rendahnya kesadaran terhadap tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung-jawab bidang, minimnya pemahaman tentang job description (lih. Tabel 1.1 nomor 3, 11, 16).

(40)

Kontrak kerja dilakukan oleh gereja dengan para pegawai/pelayan organik gereja di dalam proses

recruitments, yang di dalamnya menekankan kesediaan

mereka untuk ditempatkan di mana saja untuk tugas

pelayanan. Dalam kenyataannya terdapat

pegawai/pelayan organik yang tidak pergi ke tempat tugasnya karena alasan-alasan intrinsik dan ini menimbulkan banyak masalah-masalah dalam jemaat.

Verifikasi telah dilaksanakan di GPM. Hasil pemeriksaan dari tim ini dituang dalam laporan yang disebut laporan hasil pemeriksaan (LPH). Dalam Focus

Group Discussion (FGD) yang dilakukan Pdt. A.

Latupeirissa, S.Th menyampaikan bahwa:

“Belum ada format yang baku yang disertai dengan indikator-indikator terukur yang digunakan oleh tim verivikasi dalam melakukan kegiatan visitator. Hal ini disebabkan tenaga-tenaga yang direkrut di dalam tim ini hanya berdasarkan pengalaman semata bukan profesionalitas.”4

Proses perekrutan yang didasarkan atas pengalaman ini berpengaruh dalam penanganan terhadap berbagai masalah tata kelola keuangan di

(41)

gereja. Hal ini lebih lanjut ditegaskan oleh Pdt. Rinto M yang mengemukakan bahwa:

“Metode perekrutan berdasarkan pengalaman ini membuat jika ada temuan-temuan penting dalam pengelolaan keuangan di gereja seperti masalah jumlah uang kolekta jemaat tertentu yang minim dibarengi dengan beban tagihan tapel 30% yang harus distorkan kepada sinode, tim verifikasi tak dapat memberikan solusi alteratif dan ini membuat pendeta setempat terpaksa menggunakan uangnya sendiri untuk membayar tapel supaya pendeta bisa dapat gaji.” 5

Hingga saat ini gereja masih menggunakan format tata kelola keuangan anggaran berimbang, yang mengharuskan seluruh anggaran dipakai secara berimbang. Padahal dalam pelaporan keuangan di masing-masing jemaat sering terdapat saldo-saldo kas dalam angka yang tinggi. Kondisi ini dimungkinkan disebabkan oleh masalah tata kelola keuangan yang belum diatur dengan baik, tidak ada sistem pada pengendalian keuangan gereja, serta sistem rekruitmen tim verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1 nomor 9, 18, 19).

(42)

Disamping verifikasi, bentuk action accountability juga dilakukan GPM melalui implementasi RENSTRA yang di dalamnya terdapat kegiatan monitoring dan evaluasi (MONEVA). Kegiatan monitoring dan evaluasi ini sangat membantu dalam mengontrol kinerja pendeta di jemaat-jemaat, hal ini sangat terlihat dari penjelasan Pdt. Yan. Matatula, S.Th bahwa:

“Tapi sekarang setelah ada RENSTRA dan PROLITA monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting dan tentunya apa yang dilihat, diamati dan diteliti kita akan diskusikan dalam proses evaluasi dengan komisi, dengan sub komisi tetapi juga dengan kasubid dan MKM. Ini yang dimaksudkan dengan rapat koordinasi, teknis, dan ruang ini yang akan dipakai untuk melakukan evaluasi.”6

Kegiatan MONEVA masih dalam tahap implikasi awal karena baru disosialisasikan untuk dijalankan di masing-masing jemaat.

Kegiatan visitasi dilakukan GPM secara formal dan non formal, namun yang menjadi kendala adalah pada format dari visitasi itu sendiri.

6 Wawancara dengan Ketua Klasis kairatu tertanggal 18 januari

(43)

Bentuk redundancy dilakukan GPM dengan menyediakan tenaga-tenaga cadangan. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan, kenyataan yang ditemui di lapangan tidak semua jemaat mempersiapkan tenaga pelayanan cadangan dengan baik, kebanyakan hanya dibekali dengan materi LPJ tanpa ada penjelasan mendalam tentang implementasinya dengan kehidupan jemaat. Hal yang lebih fatal lagi ialah LPJ yang dibuat menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang kadang-kadang tak dapat dimengerti oleh jemaat yang memiliki latar pendidikan yang rendah.

3. People/culture controls

Dalam proses seleksi dan penempatan pegawai/pelayan organik kebanyakan berorientasi pada

tugas kependetaan sehingga menimbulkan

keterbatasan tenaga-tenaga profesi. Realitas ini berdampak pada masalah keterbatasan SDM yang tidak merata di semua daerah pelayanan; belum tersedianya tenaga profesional dalam tugas-tugas struktural,

(44)

penelitian, maupun fasilitator, sistem rekruitmen tim verifikasi berdasarkan pengalaman (lih. tabel 1.1 nomor 15,17,19).

GPM melakukan training kepada para pegawai/pelayan organik gereja untuk meningkatkan kemampuannya di jemaat. Namun kegiatan training yang dilakukan belum maksimal bahkan ada yang

tidak diimplementasikan oleh sebagian

pegawai/pelayan organik dalam tugasnya di jemaat. Ini dipengaruhi oleh cara pandang dan pemahaman mereka tentang materi-materi trainingyang diikuti.

Belum adanya mekanisme yang baku dalam mengontrol implementasi training yang diikuti oleh para pegawai/pelayan GPM, serta lemahnya kontrol terhadap implementasi training berdampak pada masalah belum tertatanya data dan sistem informasi data karena rendahnya kemampuan dan SDM, keterbatasan sumber daya manusia yang tidak merata di semua daerah pelayanan (lih. tabel 1.1 nomor 12,15).

(45)

Tentang desain pekerjaan dan sumber daya yang diperlukan, aspek ini sudah cukup maksimal dilakukan di GPM. Dalam melakukan tugas di jemaat-jemaat pendeta diberikan fasilitas berupa rumah (pastori jemaat) tetapi juga untuk jemaat-jemaat yang berada di kota dan memiliki sumber dana yang banyak, biasanya jemaat menyediakan kendaraan berupa mobil atau motor yang berfungsi membantu mobilisasi pendeta dan pelayan ke tempat tugas.

Selain itu untuk menjamin kesejahteraan pegawai/pelayan organisasi diberikan gaji dan pensiun. Sistem penggajian berdasarkan atas golongan dan lama masa kerja pegawai/pelayan organik. Pemberian pensiun diberikan berdasarkan keputusan sidang XXV BPL SINODE GPM nomor 13/BPL/XXV/2003. Dasar pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya pensiun adalah gaji pokok. Pada saat pegawai/pelayan organik memasuki masa pensiun mereka diberikan kompensasi sebesar tiga puluh juta rupiah. Jaminan yang diberikan sangat bermanfaat sehingga

(46)

pegawai/pelayan organik menjadi tenang dalam pelayanannya tanpa memikirkan sesuap nasi untuk keluarganya. Di samping itu ada jaminan kesehatan yang disiapkan gereja untuk para pegawai/pelayan organik.

Namun, pada jemaat-jemaat yang terdapat di daerah-daerah pelayanan yang masih ada di pedalaman, peralatan pendukung belum tersedia. Misalnya penyediaan sound sistem untuk ibadah, tranportasi pendeta, maupun rumah pastori. Belum terlaksananya metode ini secara maksimal berdampak pada masalah tidak dimilikinya sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan sistem informasi data; peralatan pendukung tidak terkelola dengan baik; ketersediaan sarana dan prasarana belum diarahkan dalam mendukung tercapainya tujuan pada masing-masing bidang kelembagaan (lih. Tabel 1.1 nomor 7,8,13).

(47)

Di samping tiga metode yang digunakan dalam implementasinya gereja mengandalkan peranan Roh Kudus untuk menuntun dan mengontrol perilaku pegawai/pelayan organik gereja. Hal ini menjadi dasar keyakinan pegawai/pelayan organik gereja bahwa tugas pelayanan yang dilakukan merupakan bentuk dari keterpanggilan iman mereka. Hal ini dikemukakan secara tegas oleh ketua sinode GPM bahwa:

“Harus diakui gereja ini dipimpin oleh Roh Kudus, semua nggak bisa kita atur begitu saja. Ada peranan Roh untuk memimpin gereja ini, dan disitu sebenarnya uniknya organisasi keagamaan. Tugas pelayanan gereja merupakan bentuk keterpanggilan iman dan ini yang mendorong para pelayan gereja untuk tetap melakukan tugasnya.”7

Berdasarkan tabel 4.12 Kode etik dan penghargaan kelompok belum dilakukan di GPM. Kondisi ini berdampak pada masalah belum optimalnya penguasaan aturan gereja; minimnya pemahaman tentang job description (lih. tabel 1.1 no.4,16).

(48)

Implementasi bentuk tone at the top belum

dilakukan secara maksimal oleh semua

pegawai/pelayan organik. Ini dikarenakan masih terdapat pegawai/pelayan organik yang belum melakukan hal ini dengan baik, karena apa yang dikatakan atau yang diajarkannya berbeda dengan apa yang diimplementasikan. Atau dengan kata lain pola hidup mereka belum sepenuhnya sesuai dengan pola pelayanan gereja yang terdapat dalam tata gereja pasal 8. Pola hidup yang bertentangan itu antara lain adalah masih adanya perilaku miras, kekerasan, dan beberapa kasus lainnya. Terhadap pelanggaran ini terdapat dua bentuk punishmentyang dilakukan oleh gereja. Bentuk yang pertama adalah bentuk tindakan penggembalaan dan disiplin gereja yang diberikan kepada pegawai/pelayan organik yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung-jawabnya sebagaimana termaktub dalam ketetapan sinode GPM pasal 2 tahun 1995. Bentuk yang kedua adalah bentuk pemberhentian pegawai yang tertuang dalam

(49)

Keputusan Sidang BPL nomor 11/BPL/XXV/2003 yang disebabkan atas tindakan menyimpang dari ajaran gereja, menyebarluaskan ajaran sesat, memecah-belahkan persekutuan umat, melakukan tindakan yang terang-terangan merugikan gereja.

Berdasarkan penjelasan tentang implementasi sistem pengendalian manajemen pada GPM, maka secara ringkas hal tersebut akan digambarkan dalam tabel 4.13.

Tabel 4.13 Implementasi Sistem pengendalian Manajemen pada GPM

Jenis Kontrol Implementasi Kendala Implementasi

Results Controls Pelaksanaan DP3 Subjektifitas dalam penilaian DP3

Action Controls • RENSTRA • Persetujuan pengelolaan harta milik gereja. • Kontrol ketat dalam persetujuan. • Aturan kerja • Verivikasi

Sosialisasi & indikator Mekanisme pemberian persetujuan.

Masih ada pegawai/ pelayan organik yang menyimpang dari aturan kerja.

Rekruitmen tenaga verifikasi berdasarkan pengalaman.

(50)

• MONEVA • Penyediaan tenaga pelayan cadangan Berorientasi pada penggunaan bahan-bahan LPJ. People/culture

controls • Seleksi penempatan dan

• Training • Pendeta diberikan fasilitas (rumah, kendaraan, jaminan kesehatan, gaji, pensiun)

• Tone at the top • Gereja menekankan peranan Roh Kudus yang menuntun & mengontrol perilaku pelayan sebagai wujud panggilan iman. Lebih mengedepankan pada tenaga pedeta, sedangkan tenaga profesional kurang mendapat perhatian. Hasil training kurang diimplementasi dalam kerja. Untuk jemaat pedalaman peralatan pendukung tidak memadai (sound

sistem, rumah pastori, transportasi).

.Perilaku pelayan menyimpang dari pola pelayanan gereja.

Gambar

Gambar  4.1  :  Pola  Organisasi  GPM  (TAP  SINODE  No.  1  tahun  1978)
Tabel  4.1  Penjabaran  visi  dalam  misi  serta  tanggapan  indikator  pencapaian.
Tabel 4.2 Pelaksanaan bentuk Results Controls di GPM.
Tabel 4.3. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan.  Skor  Predikat  91 - 100  76 - 90  61 - 75  51 - 60  50 – ke bawah  Amat baik Baik Cukup Sedang Kurang
+7

Referensi

Dokumen terkait