• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN BAB 1. Penelitian akan kokoh jika dibangun di atas fondasi integritas dan penelitian hanya bermanfaat jika secara ilmiah terpercaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN BAB 1. Penelitian akan kokoh jika dibangun di atas fondasi integritas dan penelitian hanya bermanfaat jika secara ilmiah terpercaya"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

Penelitian akan kokoh jika dibangun di atas fondasi integritas dan penelitian hanya bermanfaat jika secara ilmiah terpercaya

1.1. Latar Belakang

Kualitas hasil penelitian tidak hanya ditentukan oleh kapasitas akademik pelaku penelitian yang tak perlu diragukan, canggihnya peralatan dan ketersediaan bahan yang dibutuhkan, dukungan pembiayaan yang tak terbatas, lingkungan kerja yang nyaman, dukungan teknisi yang terampil, dan akses ke sumber informasi ilmiah yang super lancar; tetapi juga akan ditentukan oleh etika para pelaku yang terlibat langsung maupun yang mendukung kegiatan penelitian tersebut. Ralph J. Cicerone, President US National Academy of Sciences bersama dua koleganya1, mengingatkan bahwa ‘the scientific enterprise is built on a foundation of trust’. Reputasi ilmiah dibangun berasaskan rasa percaya kepada para ilmuwan. Publik harus percaya bahwa hasil penelitian ilmiah merupakan refleksi dari kegiatan pelaku penelitian yang jujur dan akurat. Apabila rasa percaya ini memudar karena standar profesionalitas ilmiah dilanggar, maka para pelaku penelitian tidak hanya secara pribadi menanggung aib, tetapi juga fondasi profesi penelitian secara keseluruhan juga hancur. Kondisi ini jelas akan berdampak pada keharmonisan antara dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Ilustrasi di atas sangat jelas menunjukkan betapa pentingnya kejujuran dalam dunia penelitian. Isu penegakan asas kejujuran ini sampai saat ini masih menjadi perhatian, selain di negara-negara yang sedang berkembang, juga masih menjadi isu serius di negara-negara-negara-negara maju dengan tradisi ilmiah yang sudah berlangsung berabad-abad. Hasil survei yang dilakukan dengan tanpa mengungkap identitas respondennya, membuktikan bahwa banyak pelaku penelitian mengaku pernah terlibat dalam praktek-praktek yang secara ilmiah kurang terpuji, atau menyaksikan

1

Preface yang ditulis bersama oleh R. J. Cicerone, C. M. Vest, and H. V. Fineberg untuk buku On Being A Scientist: a guide to responsible conduct in research. Third edition (2009). The National Academies Press, Washington DC.

(2)

pelaku penelitian lain melakukannya. Hasil survei Martinson dan rekan ini dipublikasikan pada tahun 2005 di ‘Nature’, salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi di dunia.2

Isu yang sama, tentu juga sangat mungkin terjadi dalam komunitas pelaku penelitian di Indonesia. Beberapa tindakan kecurangan ilmiah tersebut telah terungkap, termasuk di institusi pendidikan tinggi yang selama ini menjadi panutan nasional. Ironisnya, dari beberapa kasus yang sudah terungkap, kecurangan tersebut dilakukan oleh para pelaku yang telah pada posisi atau sedang diusulkan untuk menduduki jabatan fungsional tertinggi. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian semua pihak.

‘Keberhasilan’ yang diperoleh melalui kecurangan ilmiah hanyalah bersifat semu dan sangat mungkin pada akhirnya akan menghancurkan karir seorang peneliti atau akademisi, seperti pada contoh kasus di atas. Sebaliknya, kejujuran dalam penelitian walaupun awalnya dianggap sebegai sebuah kegagalan, malah dapat membawa berkah tidak hanya bagi peneliti yang bersangkutan tetapi juga bagi umat manusia. Sebagai contoh, Alexander Fleming yang secara tidak sengaja menemukan pinisilin sebagai bahan antibiotik. Beberapa kali media yang digunakan dalam penelitian Alexander Fleming terkontaminasi oleh jamur akibat proses steriliasi tidak berlangsung dengan benar. Media yang terkontaminasi oleh jamur ini tidak dapat ditumbuhi oleh bakteri akibat adanya antibiotik yang dihasilkan oleh jamur tersebut.

3Kisah temuan antibiotik yang dapat menyelamatkan sangat banyak nyawa manusia dari infeksi

bakteri ini membuktikan bahwa menjunjung tinggi kebenaran akan bermanfaat jauh lebih besar.

Upaya untuk meminimalisir kecurangan dalam penelitian membutuhkan instrumen yang tepat. Instrumen yang dimaksud adalah Kode Etik Pelaku penelitian. Namun demikian, belum banyak institusi penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia yang telah membuat dan memberlakukan Kode Etik Pelaku Penelitian (KEPP) atau kode etik yang sejenis di lingkungannya masing-masing. Jikapun ada, umumnya dilakukan dengan mengadopsi atau mengadaptasi dokumen Kode Etik Pelaku Penelitian yang telah ada di institusi penelitian atau perguruan tinggi lainnya, domestik maupun asing. Sebagai contoh, ITB menerbitkan Panduan Kode Etik untuk Integritas Riset4 yang mengadaptasi kode etik dari University of California San Diego dan National University of Singapore.

2

Martinson, B.C., Anderson, M.S., and de Vries, R. 2005. Scientists Behaving Badly. Nature 435:737-738

3

www.niehs.nih.gov/research/bioethics/timeline/index.cfm.Diunduh 12 Maret 2013

4

Keputusan Rektor Institut Teknologi Bandung Nomor 024/Sk/K01/Pl/2011 tentang Panduan Kode etik untuk Integritas Riset

(3)

Salah satu KEPP yang dikembangkan sendiri oleh institusinya adalah Kode Etik Peneliti di Lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang disusun oleh Majelis Profesor Riset LIPI.5 Kode etik ini diberlakukan sebagai acuan moral bagi pelaku penelitian di lingkungan LIPI dalam melaksanakan kegiatan ilmiah dan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sesuai dengan pemahaman bahwa pelaku penelitian memiliki empat tanggung jawab, yaitu: (1) terhadap proses penelitian yang memenuhi baku ilmiah; (2) terhadap hasil penelitiannya yang memajukan ilmu pengetahuan sebagai landasan kesejahteraan manusia; (3) kepada masyarakat ilmiah yang memberi pengakuan di bidang keilmuan penelitian tersebut itu sebagai bagian dari peningkatan peradaban manusia; dan (4) bagi kehormatan lembaga yang mendukung pelaksanaan penelitiannya.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga telah menerbitkan kode etik untuk peneliti di lingkungan kementerian dan pemerintah daerah.6 Kode Etik di lingkungan Kemendagri ini mengadaptasi Kode etik LIPI, diarahkan untuk acuan bagi Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) kementerian dan BPP daerah provinsi, kabupaten, dan kota.

Mengingat masih belum banyak institusi yang memayungi para pelaku kegiatan penelitian, pengembangan iptek, dan inovasi yang telah menyusun KEPP; serta memandang bahwa kode etik merupakan instrumen yang strategis untuk meningkatkan integritas pelaku penelitian, kualitas hasil penelitian, dan kontribusi hasil penelitian terhadap upaya memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia (terutama rakyat Indonesia); maka dirasakan sangat perlu untuk menyiapkan pedoman penyusunan KEPP sebagai panduan bagi institusi-institusi tersebut dalam menyusun kode etiknya di lingkungan masing-masing.

Institusi yang memayungi pelaku kegiatan penelitian, pengembangan iptek, dan inovasi dimaksud termasuk perguruan tinggi negeri dan swasta; lembaga litbang pemerintah, baik yang berada dalam stuktur organisasi kementerian, pemerintah daerah, maupun yang berdiri sendiri; serta lembaga litbang non-pemerintah, baik yang berada dalam struktur badan usaha maupun yang mandiri. Pelaku kegiatan penelitian, pengembangan iptek, dan inovasi dimaksud mencakup semua pelaku kegiatan dimaksud tanpa diskriminatif, baik yang resmi sebagai tenaga fungsional peneliti, perekayasa, dan akademik; maupun yang tidak berstatus formal tetapi secara nyata melakukan kegiatan dimaksud.

5

Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 823/E/2011 tentang Pengesahan Kode Etik Peneliti di Lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

6

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 070-360 Tahun 2011 tentang Pokok-Pokok Kode Etik Peneliti di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Selain itu juga sudah ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 800.05 – 129 Tahun 2012 tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri

(4)

Para pelaku penelitian harus memenuhi tiga jenis kewajibannya untuk dapat dianggap sebagai tenaga professional yang beretika, yakni: Pertama, pelaku penelitian wajib memegang teguh prinsip integritas dalam melaksanakan penelitian dan sekaligus berupaya maksimal untuk mendapatkan hasil penelitian yang berkualitas; kedua, pelaku penelitian wajib menjalankan aktivitasnya dengan niat utama untuk berkontribusi terhadap upaya menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa, serta meningkatkan mutu layanan kepada publik; dan ketiga, pelaku penelitian wajib mempertanggungjawabkan kepada publik terkait pengelolaan sumber pembiayaan penelitian yang berasal dari negara dan masyarakat, serta dampak hasil penelitian terhadap masyarakat (social) dan lingkungan (environmental).

1.2. Tujuan dan Sasaran

Panduan Penyusunan KEPP ini dibuat dengan tujuan praktis dan langsung untuk:

Meningkatkan kesadaran komunitas iptek tentang perlunya KEPP sebagai acuan moral dalam pelaksanaan aktivitas penelitian, pengembangan iptek, dan inovasi;

Menyediakan pedoman bagi institusi pelaksana aktivitas penelitian, pengembangan iptek, dan inovasi, atau profesi lainnya yang terkait dengan kegiatan penelitian dalam menyusun KEPP di lingkungan masing-masing; dan

Menyamakan standar dan presepsi dalam penyusunan dan aplikasi KEPP. Adapun sasaran dari kegiatan ini adalah sebegai berikut:

Meningkatkan jumlah institusi iptek dan inovasi yang secara legal/formal memiliki KEPP; Mencegah dan mengurangi terjadinya pelangggaran dan kecurangan ilmiah;

Meningkatkan kepercayaan pengguna dan sesama pelaku peneliti terhadap kegiatan dan hasil penelitian;

Merwujudkan budaya pelaku penelitian di Indonesia yang berasaskan kejujuran dan profesional, sehingga pelaksanaan aktivitas penelitian dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan produktif; dan

Menghasilkan iptek dan inovasi yang bermanfaat dan secara nyata berkontribusi terhadap upaya memajukan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan umat sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945.7

7

Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 berbunyi: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia”

(5)

1.3. Dasar Hukum

Walaupun KEPP pada dasarnya merupakan acuan moral untuk pelaksanaan dan publikasi hasil penelitian, namun ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi landasan hukum untuk pemberlakuan KEPP, yakni:

[1] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat 1), dimana salah satu urusan tersebut adalah dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 1 huruf c), termasuk dalam jenis urusan ini adalah urusan ilmu pengetahuan dan urusan teknologi (Pasal 5 ayat 3). Selanjutnya, sesuai Pasal 8 ayat (3) Kementerian yang melaksanakan urusan ini menyelenggarakan fungsi: (a) perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya; (b) koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; (c) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan (d) pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.

[2] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Pasal 12 ayat 2); serta wajib membentuk dewan kehormatan kode etik (Pasal 25 ayat 3). Selanjutnya disebutkan pula bahwa masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi (Pasal 25 ayat 2). Dengan demikian, maka imperatif sifatnya bagi organisasi profesi untuk mempunyai kode etik profesi; dan masyarakat iptek ikut bertanggung jawab dan berperan serta dalam mengembangkan etika profesi.

[3] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 3). Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 20 ayat 2) dan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas antara lain melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Pasal 39

(6)

ayat 2), serta memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya (Pasal 40 ayat (2) huruf c).

[4] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Pendidikan Tinggi berasaskan (a) kebenaran ilmiah; (b) penalaran; (c) kejujuran; (d) keadilan; (e) manfaat; (f) kebajikan; (g) tanggung jawab; (h) kebhinnekaan; dan (i) keterjangkauan (Pasal 3). Pendidikan Tinggi berfungsi antara lain mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 4 huruf a). Penelitian di Perguruan Tinggi diarahkan untuk mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa (Pasal 45 ayat 1) dan dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik (Pasal 45 ayat 2).

[5] Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

Kementerian Riset dan Teknologi dibentuk berdasarkan Perpres ini (Pasal 1) dan termasuk dalam kelompok Kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 47 ayat 1); mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Pasal 49) dan menyelenggarakan fungsi (Pasal 50): (a) perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya; (b) koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; (c) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan (d) pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.

[6] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi

Pimpinan Perguruan Tinggi mengawasi pelaksanaan kode etik mahasiswa/dosen/ peneliti/tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh senat perguruan tinggi/organ lain yang sejenis, yang antara lain berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat(Pasal 6 ayat 1); menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan oleh perguruan tinggi (Pasal 6 ayat 2); dan secara berkala mendiseminasikan kode etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan dan gaya selingkung yang sesuai agar tercipta budaya anti plagiat (Pasal 6 ayat 3).

(7)

1.4. Pengertian Istilah Penting yang Digunakan

Agar dapat menginterpretasikan pedoman penyusunan KEPP ini, maka dirasakan perlu untuk mempertegas tentang pengertian istilah-istilah yang digunakan dalam dokumen ini. Istilah-istilah dimaksud adalah:

No. Istilah Pengertian

1. Etika Nilai, konsepsi dan prinsip yang menjadi pedoman moral bagi masyarakat atau individu untuk dapat membedakan perilaku yang baik (memberikan dampak positif bagi manusia, makhluk hidup lain, dan/atau lingkungan) dengan yang buruk (menyebabkan dampak negatif bagi manusia, makhluk hidup lain, dan/atau lingkungan). 2. Kode Etik Pedoman yang digunakan oleh suatu organisasi (profesi,

pemerintah, bisnis, politik, dan masyarakat) dalam memandu setiap individu yang bernaung di dalamnya untuk berperilaku baik dan dijadikan landasan keputusan dalam memberikan sanksi bagi individu yang berperilaku buruk.

3. Penelitian Secara umum, diartikan sebagai aktivitas investigasi atau kajian yang dilakukan secara sistematis dengan berpedoman pada metodologi ilmiah untuk mendapatkan fakta baru yang digunakan dalam penarikan kesimpulan dan/atau memformulasikan rekomendasi. Subyek peneltian dapat berupa material fisik atau fenomena sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dengan memahami bahwa aktivitas penelitian, pengembangan, dan inovasi merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan, maka pengertian penelitian dalam pedoman penyusunan KEPP ini tidak dapat dipisahkan dari berbagai aktivitas lanjutannya.

4. Pelaku Penelitian Semua individu yang melakukan aktivitas penelitian tanpa diskriminatif, baik yang formal ditetapkan sebagai tenaga fungsional peneliti, perekayasa, dan akademik; maupun yang tidak berstatus formal tetapi secara nyata melakukan aktivitas penelitian.

5. Institusi Penelitian Institusi pemerintah dan institusi/organisasi non-pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan aktivitas penelitian; baik sebagai institusi

(8)

yang berfungsi penuh atau fokus hanya melakukan penelitian, maupun sebagai institusi yang salah satu fungsinya adalah melakukan kegiatan penelitian.

6. Kode Etik Pelaku Penelitian Pedoman yang digunakan oleh institusi penelitian dalam memandu setiap pelaku penelitian yang bernaung di dalamnya untuk berperilaku baik dan dijadikan landasan keputusan dalam memberikan sanksi bagi pelaku penelitian yang berperilaku buruk.

6. Pelaksanaan Penelitian Serangkaian aktivitas penelitian mulai dari pemunculan ide, penelusuran referensi, perancangan/desain /perencanaan, pengumpulan data, analisis dan sintesis data, penyusunan laporan, sampai pada diseminasi hasil penelitan. Penelusuran referensi dilakukan dengan dua tujuan, yakni untuk memastikan bahwa isu yang akan diteliti belum dilakukan oleh peneliti lain dan untuk meningkatkan pemahaman tentang substansi yang akan diteliti.

7. Integritas Pelaku Penelitian Sikap pelaku penelitian yang berpegang teguh pada prinsip kejujuran dan profesionalitas dalam melaksanakan semua tahap aktivitas penelitian, termasuk dalam mempublikasikan dan mendayagunakan hasil penelitiannya.

8. Malalaku* Penelitian Pelanggaran berat terhadap prinsip integritas dalam pelaksanaan penelitian, diseminasi dan pendayagunaan hasil penelitian; baik yang berkaitan langsung maupun tidak berkaitan dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak intelektual orang lain. Pelanggaran ini termasuk fabrikasi dan falsifikasi data, serta berbagai bentuk plagiarism.

9. Hasil Penelitian Sesuatu yang dihasilkan melalui aktivitas penelitian yang dilaksanakan berasaskan kejujuran dan profesionalisme, dapat berupa benda (produk fisik) maupun pengetahuan (produk non-fisik).

10. Kualitas Hasil Penelitian Secara hakiki, merupakan ukuran derajat integritas dalam pelaksanaan penelitian; sedangkan secara fungsional merupakan ukuran derajat kemanfaatannya. 11. Penelitian yang Bermanfaat Penelitian yang berkualitas dan bermanfaat untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

(9)

(iptek) dalam rangka memajukan peradaban bangsa dan/atau meningkatkan kesejahteraan umat.

12. Pertemuan Ilmiah Forum untuk mendiseminasikan hasil penelitian, pengembangan teknologi, dan peragaan inovasi, serta untuk pertukaran pengetahuan antara sesama ilmuwan (termasuk pelaku penelitian); maupun antara ilmuwan dengan para pengguna hasil penelitian, pembuat kebijakan publik, dan/atau masyarakat.

13. Publikasi Ilmiah Berbagai jenis media yang digunakan dalam rangka diseminasi hasil penelitian, termasuk jurnal ilmiah, prosiding seminar, buku referensi, poster, dan abstrak. Semua bentuk publikasi ini dapat disajikan dalam bentuk bahan cetakan maupun melalui media elektronik.

14. Plagiarisme Penjiplakan ide, proses, hasil penelitian, atau tulisan orang lain dengan tanpa menyebutkan sumbernya. Plagiarisme dapat bervariasi tingkat keparahannya, mulai dari yang paling parah, yakni menjiplak kata demi kata secara utuh dan tidak menyebutkan sumbernya (literal copying); mengutip substansi yang terkandung dalam karya ilmiah orang lain dan tidak menyebutkan sumbernya (substantial copying); dan menulis ulang bagian dari karya tulis sendiri dan mengirimkannya ke jurnal yang berbeda sebagai karya tulis baru (text

recycling).

15. Hak atas Kekayaan Intelektual Hak yang berkekuatan hukum (legal right) untuk mendayagunakan hasil penelitian, termasuk untuk kepentingan komersialisasi (melalui patent), atau agar tidak direproduksi atau dipublikasi ulang oleh pihak lain (melalui copyright).

Keterangan: *) Istilah ‘malalaku’ merupakan padanan kata misconduct, diadopsi dari istilah yang digunakan dalam Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Nomor 007/TAP/MWA-UI/2005 tentang Etika Penelitian Bagi Setiap Anggota Sivitas Akademika Universitas Indonesia.

(10)

BAB 2

KARAKTERISTIK DOKUMEN KODE ETIK

Kode etik perlu dibuat secara tertulis agar dapat diimplementasikan secara efektif dan objektif.

2.1. Kode Etik sebagai Hasil Kesepakatan Internal Komunitas

Setiap komunitas yang dibentuk secara formal maupun yang secara alami terbentuk (non-formal) sesungguhnya telah memiliki kode etik masing-masing. Setiap komunitas tentu telah memiliki nilai-nilai (values) dan standar kepatutan dalam berperilaku. Jika tidak, maka suatu komunitas tersebut tidak akan pernah terbentuk. Hanya saja tidak semua komunitas telah memiliki kode etik dalam bentuk tertulis.

Dalam komunitas masyarakat tradisional yang terdiri dari individu-individu dengan latar belakang budaya, etnis, dan kepercayaan yang relatif homogen; kode etik yang tidak tertulis tetap akan berfungsi secara efektif karena potensi konfliknya juga tidak terlalu besar. Apalagi jika komunitas tersebut dipimpin oleh tokoh yang sangat memahami dan menghayati nilai dan standar yang berlaku dalam komunitas yang bersangkutan.

Namun demikian, untuk masyarakat modern dengan kompleksitas persoalan dan latar belakang individunya lebih heterogen, maka kode etik perlu dibuat secara tertulis agar dapat diimplementasikan secara efektif dan objektif. Secara substansial, baik pada masyarakat tradisional maupun modern, kode etik merupakan hasil kesepakatan bersama antara individu-individu dalam komunitas yang bersangkutan. Dalam masyarakat modern, upaya mewujudkan kesepakatan menjadi tidak selalu mudah karena heterogenitas masyarakatnya dan juga perbedaan kepentingan yang mungkin terjadi. Oleh sebab itu, kode etik untuk komunitas dalam masyarakat modern akan lebih baik jika didokumentasikan secara tertulis.

Walaupun pada hakekatnya, kode etik merupakan suatu produk yang dibuat dan juga diberlakukan sendiri oleh suatu komunitas; namun dengan mempertimbangkan dinamika kepentingan dan perubahan yang aktif terjadi dalam masyarakat modern, maka dokumen tertulis kode etik masih perlu diformalisasikan dalam bentuk dokumen legal. Legalisasi kode

(11)

etik ini menjadi sangat relevan untuk kondisi dimana komunitas terkait memang sudah berada dalam suatu institusi formal, misalnya komunitas pelaku penelitian yang berada dalam naungan institusi pendidikan tinggi, institusi penelitian dan pengembangan pemerintah, atau institusi non-pemerintah.

Formalisasi kode etik ini diharapkan tidak menghilangkan ruhnya sebagai suatu hasil kesepakatan internal komunitas dan untuk diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen dalam komunitas itu sendiri. Untuk mengawal kepatuhan terhadap kode etik yang telah disepakati, maka dapat dibentuk komisi etik.

2.2. Kode Etik Harus Mudah Dipahami dan Relevan

Sesungguhnya tidak ada standar baku untuk penyusunan dan sistematika kode etik, termasuk juga untuk Kode Etik Pelaku Penelitian (KEPP). Setiap komunitas atau organisasi perlu mengembangkan sendiri kode etiknya, sesuai dengan kebutuhan organisasi, jenis kegiatan utama yang dilakukan, dan kesepakatan anggota dalam mendeskripsikan perilaku yang secara kolektif diyakini patut; serta resiko, tantangan, dan kebiasaan yang berlaku di lokasi organisasi melakukan aktivitasnya.

Beberapa rambu yang perlu selalu diingat dalam menyusun kode etik, yakni:

Tujuan yang hendak dicapai melalui kode etik yang akan disusun harus diekspresikan dengan jelas agar mudah dipahami oleh semua individu, sehingga dapat menjadi perekat dalam membangun semangat kebersamaan dalam organisasi;

Bahasa yang digunakan kode etik haruslah sederhana, ringkas (concise), dan mudah dipahami oleh semua lapisan anggota organisasi. Penulisan kode etik harus sejelas dan sesederhana mungkin, sehingga mudah dipahami dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Istilah hukum dan jargon ilmiah yang sulit dipahami publik perlu dihindari; Kode etik haruslah tidak bersifat atau terkesan terlalu kaku (rigid). Kode etik harus bersifat ‘bersahabat’ dengan komunitas, organisasi, atau institusi yang diharapkan akan mempedomaninya, karena sebuah kode etik akan dikategorikan berhasil atau gagal dalam implementasinya tergantung pada apakah kode etik tersebut digunakan (dipedomani) oleh komunitas atau entitas yang menjadi sasarannya;

Kode etik haruslah berlaku untuk semua individu pelaku penelitian dan mencakup seluruh aspek yang relevan dengan profesi penelitian. Kode etik perlu mendapat masukan dari semua jenjang/eselon dalam organisasi pada saat penyusunannya dan

(12)

dukungan semua individu pada saat implementasinya. Derajat keterlibatan representasi dari semua level dalam organisasi pada saat merancang dokumen kode etik akan memengaruhi derajat dukungan masing-masing individu dalam implementasinya, karena tumbuhnya rasa memiliki dari mayoritas individu terhadap kode etik yang dibuat organisasi;

Kode etik harusnya ditulis, ditelaah, dan disunting oleh tim dengan latar belakang kepakaran yang beragam. Substansi yang dimasukkan dalam dokumen kode etik harus mencakup berbagai respon terhadap persoalan nyata dan mutakhir, termasuk hal-hal yang kecenderungannya relatif dapat diprediksi dan diyakini akan dapat menjadi persoalan di masa depan. Sebagai bandingan, banyak nilai-nilai kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat tradisional ternyata merupakan langkah antisipatif untuk mencegah terjadinya resiko besar yang dapat terjadi jika nilai-nilai kearifan lokal tersebut tidak dipatuhi; dan

Kode etik merupakan dokumen yang dinamis, sehingga dapat secara berkala direvisi agar selalu berkesesuaian dengan dinamika perubahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan regulasi. Namun demikian, jika substansi yang terkandung dalam kode etik sudah dengan baik dan komprehensif mengantisipasi dinamika perubahan, maka frekuensi revisi menjadi lebih jarang dilakukan.

Pemahaman substansial sebagaimana diuraikan di atas adalah mutlak dibutuhkan dalam memformulasikan kode etik, tetapi hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah gaya bahasa (Writing Style) dari dokumen kode etik tersebut. Dokumen kode etik selayaknya ditulis dengan bahasa yang sederhana, ringkas, dan ‘langsung’ (tidak bertele-tele). Struktur kalimat yang kompleks perlu dihindari. Prinsipnya, dokumen kode etik harus mudah dipahami oleh semua individu walaupun mereka memiliki latar belakang yang beragam, baik berdasarkan jenjang pendidikannya maupun dari latar belakang bidang keilmuannya.

Tata bahasa, gaya bahasa, dan sistematika dokumen kode etik yang terstruktur dengan baik, akan mempengaruhi derajat kemudahannya untuk dicerna dan dipahami oleh individu dalam komunitas, anggota organisasi, dan karyawan institusi. Selanjutnya, pemahaman substansial tentang kode etik akan berkorelasi langsung dengan tingkat kepatuhan untuk mempedomaninya.

(13)

2.3. Kode Etik Harus Berkesesuaian dengan Regulasi

Setiap upaya yang terkait pengaturan, tentu harus didukung atau berkesesuaian dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Perlu diingat bahwa komunitas yang menjadi subyek kode etik juga merupakan bagian dari masyarakat umum. Pelaku penelitian yang disasar sebagai subyek pengaturan KEPP juga tentunya merupakan bagian dari masyarakat umum. Dengan demikian, maka dalam penyusunan KEPP perlu peka terhadap perkembangan mutakhir regulasi dan kebijakan publik, sehingga KEPP yang disusun tidak bertentangan dengan dokumen legal formal yang berlaku, maupun kebijakan organisasi/institusi dan kebijakan teknis lainnya. Kode etik perlu selaras dan padu dengan substansi yang diatur secara formal oleh pemerintah. Secara teknis, semua regulasi yang terkait perlu dijadikan konsideran dalam penyusunan KEPP.

Kementerian Riset dan Teknologi mempunyai fungsi perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan, dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang iptek dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara; Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara). Fungsi Kementerian Riset dan Teknologi dengan demikian mencakup perumusan dan penetapan kebijakan tentang kode etik pelaku penelitian (KEPP).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU 18/2002) secara eksplisit mengatur bahwa untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Pasal 12 ayat 2); serta wajib membentuk dewan kehormatan kode etik (Pasal 25 ayat 3). Selanjutnya disebutkan pula bahwa masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi (Pasal 25 ayat 2). Dengan demikian, maka imperatif sifatnya bagi organisasi profesi untuk mempunyai kode etik profesi; sedangkan masyarakat iptek ikut bertanggung jawab dan berperan serta dalam mengembangkan etika profesi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003) menegaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas antara lain melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Pasal 39 ayat 2), serta memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya (Pasal 40 ayat (2) huruf c).

(14)

Pada dasarnya semua individu yang mengemban jabatan fungsional akademik, peneliti, dan perekayasa merupakan bagian dari masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang dimaksud pada pasal 25 ayat (2) UU 18/2002. Karyawan yang tugas pokoknya melakukan kegiatan penelitian di industri dan organisasi non-pemerintah lainnya, serta individu yang secara mandiri melakukan kegiatan penelitian juga merupakan bagian dari masyarakat atau komunitas iptek. Dengan demikian, maka institusi tempat komunitas iptek ini bernaung wajib membuat dan memberlakukan KEPP.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU 12/2012) menyatakan bahwa pendidikan tinggi berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan dan keterjangkauan (Pasal 3). Penelitian yang selenggarakan di Perguruan Tinggi diarahkan untuk mengembangkan iptek, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa (Pasal 45 ayat 1) dan dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik (Pasal 45 ayat 2). Budaya akademik tentu harus dibangun dengan etika. Dengan demikian, maka kode etik pelaksanaan dan publikasi hasil penelitian sangat dibutuhkan sebagai acuan moral.

Namun demikian pada saat ini baru sedikit perguruan tinggi, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK), dan kementerian (atau unit kerja dalam kementerian yang melaksanakan penelitian dan pengembangan) yang telah membuat dan memberlakukan KEPP atau kode etik yang setara. Sebagai upaya untuk mengantisipasi makin maraknya pelanggaran atau perilaku tak terpuji yang ditunjukkan oleh komunitas pelaku penelitian, maka pemerintah perlu untuk lebih proaktif mendorong pembentukan, pemberlakuan, dan penegakkan KEPP, dimulai dengan institusi penelitian pemerintah.

Kedudukan hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur secara legal-formal, berbeda dengan KEPP yang lebih merupakan acuan moral, sehingga antara keduanya tidak bersifat komplementer, tetapi posisi KEPP adalah mengisi ruang yang karena sifatnya tidak dapat tersentuh oleh aturan legal. Selain itu, KEPP lebih luwes/fleksibel dan tidak kaku sebagaimana halnya dengan peraturan perundang-undangan. KEPP dapat diposisikan sebagai acuan moral bagi Komisi Etik atau Dewan Kehormatan Kode Etik8 dalam mempertimbangkan sanksi kepada pelaku penelitian yang melakukan kecurangan atau berbagai perilaku tak terpuji, termasuk plagiarism dalam penulisan ilmiah, fabrikasi dan falsifikasi data penelitian.

Sejalan dengan ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Peraturan menteri ini secara jelas mengamanahkan agar pimpinan

8

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menggunakan sebutan Dewan Kehormatan Kode Etik, namun sebagian besar organisasi profesi menggunakan sebutan Komisi Etik.

(15)

perguruan tinggi mengawasi pelaksanaan dan secara berkala mendiseminasikan kode etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh senat perguruan tinggi/organ lain yang sejenis, yang antara lain berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat(Pasal 6 ayat 1 dan 3).

KEPP yang akan ditetapkan pada masing-masing perguruan tinggi dan lembaga litbang ini tidak hanya mengatur tentang masalah plagiarism, tetapi juga mencakup seluruh aspek terkait pelaksanaan dan publikasi hasil penelitian.

(16)

BAB 3

RUANG LINGKUP PENGATURAN

Dua persoalan serius yang menjadi tantangan, yakni manipulasi data (fabrikasi dan falsifikasi) dan plagiarisme.

Kode etik pelaku penelitian perlu mencakup berbagai isu penting yang relevan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi penelitian, upaya menjaga integritas, dan partisipasi dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil penelitian. Isu yang dicakup mulai dari isu terkait nilai-nilai dasar yang perlu dimiliki pelaku penelitian sebagai insan sosial, sampai ke etika yang perlu ditegakkan dalam kegiatan penelitian yang sangat spesifik, misalnya untuk penelitian yang melibatkan manusia. Mulai dari isu-isu etika penelitian yang sangat populer, misalnya isu plagiarisme; sampai ke isu rutin yang dihadapi setiap hari, misalnya terkait hubungan dosen dan mahasiswa bimbingannya dalam mempublikasi hasil penelitian skripsi, tesis, atau disertasi.

Keragaman isu etika yang perlu dicakup mencerminkan kompleksitas kegiatan penelitian. Namun ada nilai universal yang sangat penting dan menjadi landasan semua kegiatan penelitian, yakni integritas. Terlepas dari sederhana atau super canggihnya suatu penelitian, publik dan para calon pengguna potensial dari hasil penelitian akan lebih percaya jika penelitian tersebut dilakukan oleh pelaku penelitian yang dikenal mempunyai integritas tinggi, bekerja pada institusi penelitian atau perguruan tinggi yang mempunyai reputasi positif tentang penegakan etika penelitian, dimana salah satu indikatornya adalah institusi tersebut memiliki kode etik pelaku penelitian yang diimplementasikan secara utuh dan konsisten.

3.1. Prinsip Dasar Etik Pelaku Penelitian

Pelaku penelitian adalah manusia, makhluk sosial, yang juga memiliki kehidupan lain selain melaksanakan pekerjaannya melakukan penelitian. Dari perspektif sebaliknya, pelaku penelitian juga harus memiliki kecerdasan sosial agar dapat berinteraksi dengan mitra kerjanya, baik dengan sesama pelaku penelitian maupun dengan komunitas bisnis atau masyarakat

(17)

umum. Dalam konteks ini, maka nilai-nilai etika yang berlaku umum juga perlu diadopsi dalam komunitas pelaku penelitian.

Kegiatan penelitian pada prinsipnya juga dibangun berasaskan nilai-nilai etika yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kejujuran, kesetaraan, keadilan, objektivitas, keterbukaan, amanah, dan saling menghargai. Standar ilmiah merupakan aplikasi dari nilai-nilai dasar ini mulai dari perencanaan, pelaksanaan, publikasi, dan pemanfaatan hasil penelitian; termasuk keterbukaan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian, objektif dalam proses evaluasi proposal penelitian, menghargai mitra kerja, dan jujur dalam pelaporan hasil penelitian. Oleh sebab itu, nilai-nilai kebajikan ini perlu menjadi bagian dari etika pelaku penelitian.

Seluruh institusi yang melakukan kegiatan penelitian; termasuk perguruan tinggi, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang melaksanakan fungsi penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BPPD), dan lembaga penelitian non-pemerintah perlu menjunjung tinggi nilai-nilai etika pelaku penelitian. Seluruh institusi penelitian ini perlu mempunyai kode etik yang disepakati bersama untuk dipedomani dan dijadikan dasar untuk melakukan tindakan jika ada pelaku penelitiannya yang melakukan pelanggaran.

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebajikan ini dalam kegiatan penelitian dikategorikan sebagai perilaku tak terpuji (scientific misconduct). Perilaku tak terpuji ini termasuk fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme (umum disingkat menjadi FFP) yang dapat terjadi selama tahap pengusulan, pelaksanaan, atau pelaporan hasil penelitian.

Selain perilaku tak terpuji FFP, ada beberapa praktek penelitian yang patut dipertanyakan (Questionable Research Practices, disingkat menjadi QRP). FFP secara universal dianggap sebagai pelanggaran nilai-nilai etika pelaku penelitian, sementara QRP dapat saja dianggap sebagai tindakan tak terpuji untuk bidang penelitian atau untuk lingkungan tertentu.

3.2. Pelaksanaan Penelitian 3.2.1. Pengelolaan Data

Data yang tidak akurat, tidak lengkap, atau keliru/menyesatkan dapat mengakibatkan dampak yang sangat serius, meluas, dan mungkin tak terbayangkan sebelumnya; terutama pada era teknologi komunikasi dan informasi yang sudah sangat maju saat ini. Data yang menyesatkan tersebut dapat terjadi secara tidak sengaja, misalnya akibat kesalahan desain penelitian, instrumen penelitian yang tidak berfungsi baik, kesalahan atau kecerobohan dalam analisis data, atau akibat kecerobohan lainnya. Akan tetapi yang lebih parah dan melanggar etika jika

(18)

data menyesatkan tersebut terjadi akibat sengaja dimanipulasi oleh pelaku penelitian untuk tujuan atau kepentingan tertentu.

Untuk mencegah manipulasi data, maka beberapa lembaga penelitian mewajibkan pelaku penelitian menggunakan buku catatan data (data notebook atau log book) yang ditandatangani dan diberi tanggal pengukuran/pengumpulan data oleh seorang saksi. Buku catatan data ini perlu disimpan dengan rapih, karena harus selalu tersedia sebagai dasar dalam melakukan verifikasi, termasuk setelah hasil penelitian tersebut dipublikasikan.

Manipulasi data (fabrikasi dan falsifikasi) merupakan pelanggaran etika yang tergolong berat dan merusak reputasi seorang pelaku penelitian serta pantas untuk menerima sanksi berat. Oleh sebab itu, dengan pertimbangan ini, maka pengaturan terkait tindakan fabrikasi dan falsifikasi data (atau unsur penelitian lainnya) wajib dicantumkan dalam setiap kode etik pelaku penelitian.

3.2.2. Tindakan Tidak Terpuji dalam Penelitian

Fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme merupakan tindakan tidak terpuji yang secara universal dikutuk. Fabrikasi merupakan tindakan membuat data dengan tanpa melakukan kegiatan penelitian atau membuat data yang tidak berhubungan sama sekali dengan kegiatan penelitian yang dilakukan. Kemudian berdasarkan data yang direkayasa tersebut dibuat suatu kesimpulan penelitian. Hasil yang direkayasa ini kemudian didokumentasikan dalam bentuk laporan atau publikasi.

Falsifikasi merupakan tindakan memanipulasi bahan, peralatan, atau proses penelitian; atau mengubah atau menghapus sebagian data atau hasil penelitian; sehingga penelitian menjadi tidak merepresentasikan secara akurat sesuai dengan data asli yang tercatat. Falsifikasi data sering dilakukan agar hasil, kesimpulan, atau rekomendasi dari penelitian menjadi sesuai dengan yang diharapkan, misalnya sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Falsifikasi dapat saja dilakukan oleh pelaku penelitian pemula yang tidak memahami makna hipotesis dan tidak menyadari tentang konsekuensi serius dari melakukan falsifikasi data.

Fabrikasi dan falsifikasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat, terutama karena tindakan ini menyebabkan terekamnya data dan hasil penelitian yang menyesatkan, karena tidak berkesesuaian dengan fakta sesungguhnya. Para pelaku penelitian yang melakukan tindakan tak terpuji ini selayaknya tidak diberi kepercayaan untuk menangani penelitian strategis yang berdampak luas bagi masyarakat dan negara.

Sebagai contoh betapa seriusnya sanksi dan dampak dari manipulasi data dapat dilihat dari kasus yang dilaporkan oleh Margot O Toole, seorang post doktoral di Whitehead Institute, yang mencurigai data publikasi koleganya di jurnal Cell pada tahun 1986. Setelah dilakukan

(19)

investigasi terbukti data tersebut telah dimanipulasi. Akibatnya salah seorang penulis pembantu dari artikel tersebut yaitu David Baltimore, seorang penerima Hadiah Nobel, mengundurkan diri sebagai Rektor Universitas Rockefeller, walaupun hasil investigasi menyimpulkan bahwa dia tidak bersalah dalam kasus ini.9

Indikasi kecurangan dalam melakukan penelitian kadang dengan mudah dapat dideteksi. Misalnya jika institusi tempat pelaku melaksanakan kegiatan penelitiannya tidak mempunyai fasilitas peralatan yang memungkinkan untuk mendapatkan data sebagaimana yang bersangkutan laporkan. Data yang ‘terlalu konsisten’ dengan hipotesis atau ‘terlalu beraturan’ pada penelitian yang berkaitan dengan makhluk hidup yang aktif berinteraksi dengan lingkungannya dapat mengundang kecurigaan. Sentuhan penyempurnaan pada citra digital dapat dilakukan untuk memperjelas data atau informasi yang ingin disampaikan, tetapi harus tetap dijaga agar tampilan gambar tersebut tetap merepresentasikan realita sebenarnya.

Bagaimana dengan kesalahan yang terjadi secara tidak sengaja dalam proses pelaksanaan penelitian? Kesalahan yang terjadi walaupun pelaku penelitian telah berupaya keras untuk mematuhi etika (honest error) atau perbedaan opini tentang suatu fakta yang didapatkan dalam

penelitian tidak dikategorikan sebagai tindakan tak terpuji berdasarkan the U.S. Office of Research Integrity.

Plagiarisme merupakan penjiplakan ide, proses, hasil penelitian, atau tulisan orang lain dengan tanpa menyebutkan sumbernya. Plagiarisme dapat bervariasi tingkat keparahannya, mulai dari yang paling parah, yakni menjiplak kata demi kata secara utuh dan tidak menyebutkan sumbernya (literal copying); mengutip substansi yang terkandung dalam karya ilmiah orang lain dan tidak menyebutkan sumbernya (substantial copying); menjiplak ide orang lain yang dijelaskan dengan cara pengungkapan sendiri dan tidak menyebut pihak yang pertama mengemukakan tentang ide tersebut (paraphrasing); dan menulis ulang bagian dari karya tulis sendiri dan mengirimkannya ke jurnal yang berbeda sebagai karya tulis baru (text recycling). Beberapa institusi penelitian memperluas cakupan yang dikategorikan sebagai tindakan tak terpuji ini sesuai dengan kepentingan institusi dan/atau kesepakatan komunitas pelaku penelitian yang bekerja pada institusi tersebut. Namun demikian, yang terpenting adalah setiap institusi penelitian perlu membuat daftar dan diskripsi yang jelas tentang tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan-tindakan tak terpuji dalam pelaksanaan penelitian, yang dituangkan dalam kode etik yang wajib dipedomani di lingkungan institusi tersebut.

(20)

3.2.3. Kesalahan dan Kelalaian

Pada dasarnya kegiatan penelitian juga tidak bebas dari kesalahan. Banyak faktor yang dapat menjadi sumber kesalahan; tidak hanya karena faktor teknis, tetapi juga karena keterbatasan kemampuan pelaku penelitiannya dalam mempersepsikan data dan informasi. Perlu diingat bahwa semua pelaku penelitian adalah manusia. Sebagai manusia, pelaku penelitian tidak mempunyai waktu yang tak terbatas, dan tidak mempunyai akses ke semua sumberdaya penelitian yang dibutuhkan. Sehingga kadang-kadang pelaku penelitian yang punya dedikasi tinggipun membuat kesalahan dalam merancang desain penelitian, akibat lalai melakukan kalibrasi instrumen penelitian, khilaf dalam pencatatan data, keliru dalam interpretasi hasil, atau aspek penelitian lainnya. Kekeliruan seperti ini sering dikategorikan sebagai kekeliruan yang manusiawi (honest error), tetapi yang paling penting adalah peneliti tetap harus jujur dalam melaporkan hasilnya. Kasus penemuan pinisilin oleh Alexander Fleming merupakan contoh kejujuran dalam menyikapi kelalaian dalam penelitian yang berbuah positif.

Walaupun demikian, setiap pelaku penelitian mempunyai kewajiban kepada publik, kepada profesinya, dan kepada dirinya sendiri untuk melakukan setiap tahapan kegiatan penelitian seakurat dan secermat mungkin. Setelah upaya maksimal dilakukan, maka jika masih terjadi kesalahan, maka hal tersebut tidak dikategorikan sebagai tindakan tak terpuji. Walaupun demikian, tindakan terburu-buru, kecerobahan, dan kekurangcermatan dapat mengakibatkan kesalahan yang bermuara pada hasil penelitian yang tidak memenuhi standar keilmiahan. Tidak hanya pelaku penelitian yang secara sengaja melakukan kesalahan dan melanggar etika penelitian, tetapi juga pelaku penelitian yang lalai dan ceroboh juga dapat merusak reputasinya sendiri, rekan kerjanya, institusi tempatnya bekerja, dan juga dapat berdampak lebih luas, yakni menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil-hasil penelitian secara umum. Oleh sebab itu, selain penelitian perlu dilakukan secara beretika, juga tetap perlu dilaksanakan dengan penuh keseriusan.

3.2.4. Konflik Kepentingan dalam Diri Pelaku penelitian

Konflik kepentingan yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan yang mungkin terjadi dalam diri pelaku penelitian. Sebagai individu, pelaku penelitian dapat saja memiliki berbagai kepentingan, termasuk kepentingan personal, intelektual, finansial, dan profesional. Berbagai jenis kepentingan yang bergejolak dalam diri pelaku penelitian ini dapat mempengaruhi perspektif dan sikap perilaku atau professional judgment pelaku penelitian yang bersangkutan. Konflik kepentingan ini bisa dipicu oleh berbagai faktor dan terekspresi dalam berbagai bentuk. Konflik kepentingan yang paling sering terpantau, umumnya terkait dengan aspek finansial, dimana konflik terjadi antara nurani untuk menegakkan kaidah ilmiah dengan godaan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Penelitian yang disponsori oleh pihak yang memiliki

(21)

kepentingan tertentu, atau menggunakan produk komersial tertentu akan berpotensi menyebabkan bias dalam pelaksanaan dan/atau pelaporan hasil penelitiannya. Hubungan personal antara pelaku penelitian dengan subyek penelitian dapat pula menyebabkan bias terhadap hasil dan rekomendasi penelitian.

Sangat jelas bahwa berbagai nilai dasar yang mempengaruhi perilaku manusia tak dapat dipisahkan dari kegiatan penelitian. Keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan baik merupakan nilai universal yang berlaku dalam semua profesi, termasuk penelitian. Demikian pula, semua pelaku penelitian setuju untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan objektivitas dalam pelaksanaan penelitian. Sebaliknya, upaya untuk mengorbankan nilai objektivitas dan upaya yang mungkin menyebabkan bias perlu dihindari. Isu-isu terkait dengan konflik kepentingan dalam diri pelaku penelitian ini perlu mendapat perhatian dalam membangun etika pelaku penelitian.

Berdasarkan pandangan U.S. Office of Research Integrity, adanya konflik kepentingan tidaklah secara otomatis berarti telah melakukan pelanggaran etika, karena dalam beberapa kasus konflik kepentingan tersebut tak dapat dielakkan. Jika hal ini terjadi, maka tindakan yang paling bijak adalah mengungkapkan hal ini secara transparan agar publik dapat memahami dan dapat memberikan pendapatnya sendiri.

3.2.5. Keamanan Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium dan Isu Lainnya

Penggunaan bahan berbahaya dan keamanan dalam melaksanakan penelitian di laboratorium perlu mendapat perhatian agar tidak membahayakan bagi pelaku penelitiannya sendiri, maupun pekerja lain di laboratorium yang bersangkutan atau masyarakat umum. Masalah keamanan pelaksanaan penelitian ini kadang kurang mendapat perhatian dan kadang juga tidak disadari atau dipahami dapat membahayakan masyarakat luas, sehingga sering tidak dicakup dalam kode etik pelaku penelitian.

Kenyataannya kemungkinan kecelakaan di laboratorium dapat terjadi, walaupun tentu tidak diharapkan. Oleh sebab itu, para pelaku penelitian perlu secara berkala diingatkan tentang informasi dan prosedur keamanan di masing-masing laboratorium tempatnya berkarya. Informasi dan prosedur keamanan tersebut mencakup beberapa isu, termasuk: penggunaan pakaian dan peralatan pelindung kerja, penanganan bahan-bahan penelitian secara aman, penggunaan peralatan secara aman, pembuangan sisa bahan atau limbah penelitian, cara bertindak saat darurat, dan regulasi yang berlaku.

Untuk penelitian yang melibatkan manusia atau hewan, perlu memperhatikan regulasi yang berlaku secara nasional maupun lokal, serta kode etik yang telah diberlakukan oleh organisasi profesi yang terkait. Asas kepatutan yang berlaku pada masyarakat setempat juga perlu

(22)

diperhatikan. Jika subyek penelitiannya adalah manusia, maka asas kerahasiaan untuk hal-hal tertentu perlu dipatuhi.

Hasil penelitian yang menggunakan atau tentang produk yang beredar di masyarakat; atau berkaitan langsung dengan budaya, etnis, dan agama, serta isu sensitif lainnya di masyarakat; perlu dikelola dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, menimbulkan kesan rasialis, atau memperuncing sentimen keagamaan.

Isu-isu yang disebutkan disini dan mungkin juga banyak isu lain yang belum disebutkan perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam penyusunan kode etik pelaku penelitian.

3.3. Penulisan Karya Ilmiah

Publikasi karya tulis ilmiah sangat perlu dilakukan oleh para pelaku penelitian saat ini, karena akan menentukan perkembangan karirnya. Selain itu, hak atas suatu temuan lebih ditentukan oleh siapa yang mempublikasikannya terlebih dahulu, bukan berdasarkan siapa yang sesungguhnya menemukannya terlebih dahulu. Sayangnya, kebiasaan mempublikasikan hasil penelitian belum menjadi unsur budaya akademik penting dalam komunitas pelaku penelitian di Indonesia. Terbukti dengan rendahnya produktivitas publikasi pelaku penelitian Indonesia dibandingkan dengan pelaku penelitian dari negara lain. Produktivitas karya tulis ilmiah pelaku penelitian Indonesia perlu ditingkatkan, tetapi tentunya dengan tetap mengutamakan etika dalam penulisan dan upaya mempublikasikannya.

Karya tulis ilmiah yang dicakup dalam panduan ini meliputi: (a) artikel yang dipublikasi pada jurnal ilmiah, mulai dari yang sirkulasinya terbatas sampai pada jurnal internasional; (b) buku yang diterbitkan oleh penerbit komersial atau lembaga resmi, maupun yang dicetak untuk kalangan terbatas; (c) makalah yang ditulis untuk berbagai ragam pertemuan ilmiah, baik yang kemudian diterbitkan dalam bentuk prosiding maupun hanya dalam bentuk makalah lepas; (d) poster yang ditampilkan pada pertemuan ilmiah maupun yang digunakan untuk bahan sosialisasi; dan (e) semua bahan cetakan lainnya.

Penulis (author) yang namanya dicantumkan dalam karya tulis ilmiah adalah individu yang ikut (a) memberikan kontribusi intelektual secara langsung dalam pemilihan dan/atau perancangan desain/metodologi penelitian; (b) melakukan interpretasi data (lebih dari sekedar terlibat dalam proses pengumpulan dan analisis data); atau (c) melakukan penulisan draft dan/atau memberikan masukan/koreksi yang signifikan terhadap draft sehingga menjadi karya tulis ilmiah yang lebih baik.

Mereka yang hanya membantu proses pengumpulan dan analisis data, membantu pekerjaan di lapangan dan laboratorium, atau membantu pengelolaan administrasi penelitian tidak tepat untuk dicantumkan sebagai penulis (author) ataupun sebagai penulis pembantu (co-author)

(23)

karya tulis ilmiah, tetapi layak untuk disebutkan dalam pernyataan terima kasih (acknowledgment). Selain para pihak yang telah membantu secara teknis dan administratif, pada ucapan terima kasih dapat pula dicantumkan pihak yang membiayai penelitian dan pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan non-ilmiah.

Selain berhak memperoleh kredit atas karya tulis ilmiah tersebut, para penulis juga harus ikut bertanggung jawab atas substansi yang ditulis; termasuk jika terdapat tindakan non-etis, baik saat kegiatan penelitian dilakukan mapun dalam proses penulisan karya ilmiahnya. Dalam konteks tanggung jawab akademik ini, maka setiap penulis yang telah dianggap pantas dicantumkan namanya pada suatu karya tulis ilmiah perlu memberikan persetujuannya (approval) sebelum tulisan tersebut dipublikasikan.

Merupakan tindakan yang tidak etis jika individu yang tidak memenuhi kriteria ikut dicantumkan sebagai penulis suatu karya ilmiah. Dalam etika penulisan karya ilmiah, tidak diperkenankan untuk pencantuman nama penulis sebagai bentuk penghargaan (honorary

author), sebagai penulis tamu (guest author), atau sebagai hadiah (gift author). Penambahan

nama individu yang secara etika akademik tidak berhak dicantumkan sebagai penulis suatu karya ilmiah, sesungguhnya tidak adil dan merugikan bagi penulis lainnya yang memang berkontribusi terhadap penulisan karya ilmiah tersebut.

Sebaliknya, tidak mencantumkan nama seseorang yang telah berkontribusi secara signifikan dan memenuhi kriteria pencantuman namanya sebagai penulis juga merupakan tindakan yang tidak etis, termasuk jika tindakan ini dilakukan dengan persetujuan formal maupun tidak formal oleh penulis bayangan tersebut (ghost author). Apalagi jika dilakukan dengan niat untuk memberikan kredit penuh kepada penulis lainnya agar dapat memenuhi persyaratan untuk dipromosikan pada jabatan atau posisi tertentu. Dalam kasus ini, baik penulis yang menerima keuntungan maupun penulis bayangan dapat dianggap telah melanggar etika penulisan karya ilmiah.

Urutan nama penulis dalam suatu karya tulis ilmiah berpotensi untuk menjadi persoalan jika tidak ada aturan yang baku mengenai hal ini, karena akan berpengaruh terhadap kredit yang diterima oleh masing-masing penulis. Aturan dan kesepakatan urutan nama penulis ini dapat saja berbeda antara institusi yang satu dengan institusi lainnya. Namun demikian, jika sudah ada aturan yang jelas dan disepakati, maka semua yang terlibat harus mematuhi aturan dan kesepakatan tersebut.

Untuk kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para pelaku penelitian dari beberapa institusi yang berbeda, baik melalui kerjasama resmi antar-lembaga maupun atas inisiatif individual yang berasal dari institusi yang berbeda, penetapan urutan nama penulis atau karya tulis ilmiah yang dihasilkan perlu diputuskan secara bersama (joint decision of all co-authors). Akan lebih baik lagi jika urutan nama penulis (atau panduan dalam penetapan urutan nama penulis) telah

(24)

disepakati sejak awal, pada saat merencanakan kegiatan dan pembagian tugas masing-masing individu yang terlibat.

Urutan nama penulis yang paling lazim disepakati adalah berdasarkan bobot kontribusi masing-masing individu yang terlibat langsung. Walaupun demikian, persoalan dalam menetapkan perhitungan bobot kontribusi tersebut dapat merupakan sumber ketidaksepakatan. Selain (a) persoalan urutan nama penulis; ada beberapa isu lain yang dapat menjadi sumber persoalan, termasuk jika: (b) ada individu yang merasa telah berkontribusi nyata tetapi tidak dicantumkan sebagai salah satu penulis pada karya tulis ilmiah yang bersangkutan; (c) ada ide yang berasal dari seseorang yang kemudian diam-diam diteliti dan dipublikasikan oleh orang lain; (d) ada individu yang mengklaim secara utuh kredit dari suatu karya tulis ilmiah padahal ada individu atau beberapa individu lainnya yang sesungguhnya ikut berkontribusi nyata terhadap kegiatan penelitiannya maupun penulisan karya ilmiah tersebut; atau (e) ada individu yang dicantumkan namanya sebagai salah satu penulis tetapi tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

Ada beberapa isu lainnya yang secara spesifik perlu mendapat perhatian, misalnya untuk lingkungan pendidikan tinggi, etika perlu ditegakkan terkait hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing penelitiannya. Isu pokok yang penting adalah terkait urutan nama penulis pada publikasi hasil penelitian skripsi, tesis, atau disertasi.

3.4. Hak atas Kekayaan Intelektual

Temuan yang diperoleh dari kegiatan penelitian dapat menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Bagi dunia akademik, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi pemerintah, dapat menjadi landasan untuk formulasi kebijakan publik atau dasar pertimbangan untuk rancangan perundang-undangan. Sedangkan bagi dunia bisnis, hasil penelitian dapat menghasilkan teknologi yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dan/atau efisiensi proses produksi barang maupun jasa, atau bermanfaat untuk menghasilkan produk baru yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Pelaku penelitian harus memahami tentang potensi nilai hasil temuannya.

Hasil penelitian yang berpotensi untuk memberikan kemanfaatan akademik, sosial, dan ekonomi tentu perlu diproteksi. Untuk itu, pelaku penelitian perlu memahami tentang peraturan yang terkait dengan proteksi hak atas kekayaan intelektual (HKI). HKI merupakan hak legal (legal right) untuk mengendalikan aplikasi temuan untuk penggunaan tertentu, terutama kepentingan komersial (melalui patent), atau agar tidak direproduksi atau dipublikasi ulang (melalui copyright).

Untuk proteksi hasil temuan ini, maka ada etika yang harus dipatuhi. Untuk aplikasi paten, semua (dan hanya) pelaku penelitian yang telah secara nyata berkontribusi menghasilkan invensi tersebut yang diikutkan namanya sebagai pemegang hak. Namun demikian,

(25)

keuntungan yang diperoleh dari paten tersebut, sebagian dapat dialokasikan untuk institusi dimana kegiatan penelitian yang menghasilkan invensi tersebut dilaksanakan.

Selain isu berkaitan dengan penetapan pelaku penelitian sebagai pemegang HKI dari hasil penelitian dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari HKI tersebut, ada beberapa isu lainnya yang juga perlu disepakati sebagai bagian dari sistem nilai atau etika yang harus dipatuhi, misalnya tentang siapa yang menguasai data asli (original data) dari penelitian yang menghasilkan HKI tersebut. Pelaku penelitian atau institusi tempat penelitian dilaksanakan atau lembaga yang membiayai kegiatan penelitian tersebut? Jika pelaku penelitian yang bersangkutan pindah kerja, bolehkah ia membawa data asli tersebut? Isu-isu lain yang mungkin timbul dan potensial menimbulkan sengketa perlu diantisipasi sejak awal.

3.5. Menyikapi Pelanggaran Kode Etik Pelaku Penelitian

Komunitas pelaku penelitian pada dasarnya diharapkan mampu mengatur dirinya sendiri

(self-regulating community). Walaupun pemerintah berdasarkan kewenangannya dapat melakukan

regulasi, tetapi nilai-nilai etika dan standar yang akan dibangun perlu disepakati sendiri oleh komunitas pelaku penelitian, sehingga diharapkan kode etik akan lebih mudah untuk ditegakkan oleh komunitas pelaku penelitian itu sendiri. Dilandasi semangat kebersamaan ini, maka para pelaku penelitian dapat saling mengingatkan jika ada pelaku penelitian yang diduga telah melakukan pelanggaran etika, standar, atau kedisiplinan.

Setiap institusi penelitian yang menerima dana dari pemerintah harus membuat kebijakan dan prosedur untuk melakukan investigasi dan melaporkan jika ada pelaku penelitian yang mempraktekan tindakan tak terpuji. Semua pelaku penelitian harus patuh terhadap kebijakan dan prosedur penegakkan kode etik, serta berpartisipasi dalam upaya kolektif untuk menegakkannya, baik secara formal maupun informal. Selain itu, secara kolektif perlu pula dilakukan upaya peningkatan kesadaran bersama agar setiap individu pelaku penelitian terhindar dari tindakan tak terpuji dan praktek penelitian yang mengundang keraguan.

(26)

BAB 4

TAHAP PENYUSUNAN

Dalam penyusunan kode etik, bukan hanya produk akhirnya yang penting, tetapi juga proses penyusunannya.

Penyusunan Kode Etik Pelaku Penelitian (KEPP) dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan. Mulai dari pembentukan Tim Penyusun oleh pimpinan institusi penelitian untuk menyiapkan draft awal KEPP, penyerasian draft awal dengan regulasi, kebijakan, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, melakukan pengkayaan substansial dengan menampung masukan dan saran dari narasumber yang mewakili berbagai kelompok kepakaran maupun unit kerjanya, mempresentasikan draft KEPP yang telah diserasikan dan diperkaya secara substansial dihadapan komunitas penelitian internal institusi, memfinalisasi draft KEPP sebelum meminta persetujuan pimpinan institusi, penyiapan surat keputusan sebagai landasan untuk pemberlakuan KEPP, dan dilanjutkan dengan pembentukan Tim Sosialisasi dan Komisi Etik yang diamanahkan untuk mengawal agar pelaku penelitian selalu memperhatikan etika dalam setiap aktivitas ilmiahnya.

[1] Pembentukan dan Penetapan Tim Penyusun KEPP yang ditugaskan untuk menyiapkan draf KEPP pada institusi yang bersangkutan. Pimpinan institusi penelitian yang berniat untuk menyusun KEPP dapat membentuk Tim Penyusun KEPP, terdiri dari personel yang dianggap cakap dan/atau berpengalaman dalam penusunan peraturan institusi dan/atau menguasai substansi terkait dengan kode etik profesi. Tim yang dibentuk sebaiknya hanya merupakan tim kecil yang diyakini akan efektif dan efisien untuk melaksanakan tugas menyiapkan draft KEPP. Karena sifat tim yang dibentuk ini adalah tim kerja, maka prioritas pemilihan personelnya lebih berbasis pada kecakapan dan dedikasi terhadap tugas, serta tidak harus merupakan pejabat/staf senior karena tim ini tidak pada posisi untuk mengambil keputusan. Pada tahap ini Tim Penyusun KEPP akan menghasilkan Draft Awal KEPP (atau Draft 1);

[2] Penyerasian Draft Awal dari Tim Penyusun KEPP dengan regulasi terkait, kebijakan pemerintah, kebijakan internal institusi, prosedur, nilai, dan standar yang berlaku pada

(27)

institusi yang bersangkutan. Draft KEPP yang telah disiapkan oleh Tim Penyusun KEPP selanjutnya diserasikan dengan berbagai produk hukum, kebijakan teknis, dan nilai-nilai yang berlaku, terkait dengan kode etik dan profesi terkait dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Pakar hukum, staf senior yang berpengalaman di bidang teknis, dan pakar/budayawan yang memahami nilai-nilai etika dianjurkan untuk dijadikan narasumber oleh Tim Penyusun KEPP, agar dapat mengawal proses penyempurnaan Draft Awal KEPP menjadi Draft Serasi KEPP (atau Draft 2);

[3] Pembentukan Tim Narasumber Internal dan Pengkayaan KEPP. Draft 2 yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya selanjutnya diperkaya dengan menghimpun masukan dari berbagai narasumber internal institusi. Karena narasumber internal tersebut mewakili semua kelompok pelaku penelitian yang ada di lingkungan institusi penelitian, maka diharapkan hasil pengkayaan Draft 2 tersebut mampu menampung semua isu yang perlu diatur dalam KEPP yang akan diberlakukan. Untuk perguruan tinggi, narasumber internal ini bisa mewakili masing-masing fakultas dan strata pendidikan; sedangkan untuk lembaga riset, narasumber internal dapat mewakili pusat-pusat penelitian yang bernaung di bawah lembaga penelitian yang bersangkutan. Untuk bentuk institusi penelitian lainnya, pemilihan narasumber bisa dilakukan sesuai dengan ragam sub-unit kerja di dalamnya. Pada tahap ini, Draft 2 diperkaya menjadi Draft 3. Karena Draft 3 ini telah mengakomodir masukan berbagai unsur internal, maka diharapkan sudah mulai muncul ‘rasa memiliki’ dari komunitas pelaku penelitian internal institusi ini. Sebagai alternatif, tahapan ini dapat diganti dengan menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD), dimana Tim Penyusun KEPP mempresentasikan draft kode etik dan Tim Narasumber KEPP memberikan masukan untuk penyempurnaan dan pengkayaan Draft 2 tersebut. Jika dianggap perlu, dalam rangka pengujian dan pengkayaan substansi yang akan dicakup dalam KEPP, maka tahap ini bisa dilakukan dalam beberapa siklus, sehingga dihasilkan Draft 3a, 3b, 3c, dan seterusnya; [4] Sosialisasi Awal KEPP di Internal Institusi. Pada tahap ini dilakukan presentasi Draft 3

dihadapan komunitas penelitian internal institusi dari berbagai level dan jenis tugas (tidak hanya pelaku penelitian, tetapi juga semua personel yang tugasnya terkait langsung dan mendukung kegiatan penelitian). Walaupun presentasi ini cenderung lebih difungsikan sebagai forum untuk sosialisasi awal, tetapi tanggapan dan masukan yang mungkin muncul dari komunitas internal ini juga dapat menjadi bahan pengkayaan KEPP. Sesuai dengan ketersediaan waktu dan anggaran, kegiatan tahap ini juga dapat dilakukan dalam beberapa siklus;

[5] Penyusunan Draft Final atau Draft 4. Berdasarkan masukan dari berbagai tahapan yang sudah dilalui dan hasil pencermatan berkesinambungan dari Tim Penyusun KEPP maka Draft 3 disempurnakan menjadi Draft Final atau Draft 4. Draft final ini tidak boleh hanya

(28)

merupakan kompilasi dari semua masukan, tetapi harus merupakan hasil analisis dan sintesis yang mendalam dengan mempertimbangkan semua masukan dan semua hasil pencermatan. Walaupun statusnya masih sebagai draft, tetapi seharusnya Tim Penyusun KEPP sudah menyiapkannya seolah-seolah ini adalah KEPP yang akan siap untuk diberlakukan;

[6] Pengajuan draft finaluntuk mendapatkan persetujuan pimpinan atau forum rapat pimpinan. Tim Penyusun KEPP mempresentasikan Draft Final di hadapan forum rapat pimpinan untuk meyakinkan pimpinan tentang urgensi KEPP dan tahap-tahap yang sudah dilalui selama proses penyiapan KEPP sampai dihasilkannya Draft Final KEPP. Untuk lingkungan perguruan tinggi presentasi draft final ini dapat dilakukan pada rapat pleno Senat Universitas;

[7] Penyiapan Surat Keputusan atau Peraturan Pimpinan Institusi sebagai kelengkapan proses legislasi KEPP. Setelah pimpinan menyetujui draft final KEPP yang disiapkan Tim Penyusun KEPP, maka sesungguhnya tugas utama Tim Penyusun KEPP sudah selesai. Selanjutnya menjadi tugas unit atau subunit kerja struktural yang menangani bidang hukum yang melanjutkannya dengan menyiapkan draft Surat Keputusan atau Peraturan Pimpinan (Menteri, Kepala Daerah, Rektor, Kepala Lembaga, Kepala Badan). Tim Penyusun KEPP tetap dapat diperankan sebagai narasumber. Unit kerja struktural bidang hukum tersebut yang selanjutnya ditugasi mengawal sampai KEPP ditetapkan untuk dipedomani oleh komunitas pelaku penelitian di lingkungan institusi yang bersangkutan; dan

[8] Pembentukan Tim Sosialisasi KEPP dan Komisi Etik Pelaku Penelitian (Komisi EPP). Setelah penetapan KEPP, maka perlu dibentuk Tim Sosialisasi KEPP yang bertugas untuk memastikan bahwa semua individu pelaku penelitian dalam lingkungan institusi yang bersangkutan dapat mengetahui dan memahami KEPP. Tim Sosialisasi KEPP ini masa tugasnya terbatas sesuai dengan kebutuhan. Selain Tim Sosialisasi KEPP, perlu juga dibentuk Komisi EPP yang tugasnya bersifat permanen untuk mengawal kepatuhan seluruh individu pelaku penelitian terhadap KEPP.

(29)

Tahapan proses penyusunan kode etik pelaku penelitian, para pihak yang berperan, dan keluaran yang dihasilkan

PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PENYERASIAN DRAFT 1 PENGAYAAN DRAFT 2 SOSIALISASI/UJI SUBSTANSI DRAFT 3 FINALISASI DRAFT 4/FINAL PENGAJUAN PERSETUJUAN PENYIAPAN SURAT KEPUTUSAN PEMBENTUKAN TIM SOSIALISASI PEMBENTUKAN KOMISI ETIK DRAFT 1 DRAFT 2 DRAFT 3 DRAFT 4 PIMPINAN INSTITUSI PAKAR HUKUM, ETIKA, SUBSTANSI NARA SUMBER INTERNAL +FGD KOMUNITAS PENELITIAN KODE ETIK KEPUTUSAN TIM PENYUSUN UNIT KERJA BIDANG HUKUM

Referensi

Dokumen terkait

Metode perancangan sistem yang digunakan dalam penelitian ini adalah. metode

produk ini. Rasanya lezat, bergizi tinggi, dapat disantap dengan dan dalam keadaan apa pun serta sangat mudah diterima oleh semua orang. Selain Bakso, nuget juga

(1999) menunjukkan buah manggis yang dipanen pada kulit buah hijau dengan setitik warna ungu (104 hari setelah antesis), warna kulit buah manggis berubah dengan cepat menjadi 10- 25%

Dari hasil pembobotan dan pengukuran kinerja dengan OMAX, maka dapat diketahui prioritas perbaikan yang dapat dilakukan institusi untuk meningkatkan kinerja pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rute, pola operasi, spesifikasi kapal, serta fasilitas pendukung (tangki Timbun) yang optimun, dengan kriteria

Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika

Ruang lingkup farmasi klinik mencakup fungsi farmasi yang dilakukan dalam program Rumah Sakit yaitu pemantauan terapi obat (PTO), evaluasi penggunaan obat (EPO),

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, bersama ini kami sampaikan pengumuman nama-nama guru peserta Ujian Ulang I PLPG yang dinyatakan (a) LULUS, (b) MENGIKUTI UJIAN ULANG