• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin negara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, upaya untuk mencapai keadilan tidak bisa diabaikan.

Negara hukum tidak boleh apatis terhadap perjuangan dan setiap upaya untuk menegakkan keadilan. Konsepsi tentang keadilan sangat penting agar sebuah negara hukum menjadi pijakan semua pihak baik warga negara maupun pemimpin negara sebagai kepastian dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Sebuah negara hukum dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat menyentuh dan memulihkan berbagai persoalan hukum untuk memuaskan rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu, untuk menegaskan kepastiannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan, sebuah negara hukum harus mampu merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi yang bersifat konstitusional.

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, demikian afirmasi sebuah negara hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Penegasan tersebut mengharuskan bahwa dalam sebuah negara hukum persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur hukum. Prosedur penyelesaian terhadap semua persoalan hukum melalui jalur hukum tersebut merupakan penegasan terhadap superioritas hukum. Hukum yang superior tidak pernah tunduk di bawah kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu sendiri yaitu mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan

(2)

tujuan utama hukum. Tetapi hukum tidak pernah bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan erat dengan aparat penegak hukum. Superior dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat penegak hukum sebagai pihak yang berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan agar hukum memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum yang tegas dan berlaku adil membuat hukum tersebut menjadi superior; memiliki keunggulan, kelebihan yang dapat diandalkan dan kredibel bagi semua pihak.

Hukum yang mengarahkan diri pada keadilan tidak saja membutuhkan aparat penegak hukum tetapi lebih pada aparat penegak hukum yang bermoral dan berintegritas tinggi. Aparat penegak hukum yang bermoral tersebut diharapkan dapat menegakkan hukum sebaik mungkin sebagai upaya mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk untuk mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang bermoral, sebaik apapun hukum dibuat dapat saja sia-sia (nirmakna) karena tidak mampu memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Oleh karena itu, kiprah aparat penegak hukum yang baik sangat dibutuhkan agar hukum tetap superior, tidak mudah diperjualbelikan dan tidak berada di bawah penindasan kepentingan politik dan ekonomi. Sesungguhnya superioritas hukum dalam sebuah negara hukum terletak pada konsistensi aparat penegak hukum untuk berpegang teguh pada aspek moralitas demi menegakkan keadilan dan kepastian hukum.

Konsistensi aparat penegak hukum dapat menciptakan keunggulan (superioritas) hukum untuk lebih responsif dan mampu menuntaskan berbagai persoalan hukum. Hukum yang superior tersebut tidak berlaku diskriminatif karena hukum tersebut berlaku adil bagi semua warga negara tanpa memandang posisi, jabatan atau status sosial tertentu. Hukum yang superior tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk

(3)

kepentingan-kepentingan yang menyesatkan hukum karena hukum adalah sarana memperjuangkan keadilan bagi semua pihak. Hukum yang superior tersebut harus tetap dilindungi oleh benteng kokoh bernama moralitas aparat penegak hukum. Semua aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang teguh agar hukum tetap dijaga keluhurannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan sosial. Moralitas aparat yang kokoh, otentik dan kredibel dibutuhkan sebagai upaya untuk membangun kembali hukum yang dipercaya dan dihargai oleh semua pihak. Oleh karena itu, jika moralitas aparat penegak hukum semakin baik, maka hukum akan semakin superior dan kredibel dalam upaya untuk memenuhi tujuan-tujuan hukum termasuk upaya untuk mencapai keadilan. Moralitas aparat penegak hukum sangat menentukan ke mana arah kepastian hukum dan keadilan akan bermuara.

Aparat penegak hukum yang tidak bermoral menyebabkan hukum berada dalam posisi yang inferior, tidak mempunyai keunggulan dan tidak dapat dipercaya oleh para pencari keadilan. Nilai keadilan dan kepastian hukum akan terdegradasi dan tidak memiliki kekuatan yang bisa diandalkan kalau hukum tidak ‘dikendarai’ oleh aparat penegak hukum yang bermoral baik. Pertanyaannya, apa yang yang menyebabkan hukum di Indonesia belum bisa menggapai nilai idealnya yakni keadilan? Mengapa aparat penegak hukum mengabaikan nilai keadilan dan moralitas sehingga membuat hukum menjadi inferior dan meragukan kehendak baik para pencari keadilan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut penulis bermuara pada persoalan aparat penegak hukum yang belum memiliki integritas yang tinggi, belum bekerja secara profesional menurut kode etik aparat penegak hukum, dan belum memiliki moralitas dan kepribadian sebagai aparat yang konsisten dalam penegakan hukum seperti diharapkan oleh semua pihak. Selain itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum untuk mengikuti prosedur hukum juga telah turut menyebabkan hukum menjadi tidak adil terhadap para pelanggar hukum yang memiliki status sosial tinggi, misalnya, atau mereka yang memiliki akses terhadap

(4)

hukum. Di lain pihak hukum yang dijalankan oleh aparat penegak yang tidak konsisten tersebut bahkan menindas masyarakat biasa yang tidak mempunyai akses terhadap hukum. Bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap hukum, keberadaan hukum bahkan menjadi begitu tegas dan cenderung diskriminatif.

Masyarakat pencari keadilan tentu merasa tidak puas dan merasa ditindas oleh hukum yang diskriminatif tersebut. Perasaan tidak puas masyarakat beralasan karena dalam negara hukum setiap warga negara sama dan sederajad di hadapan hukum. Rasa tidak puas tersebut melahirkan sikap pesimis masyarakat terhadap hukum dan aparat penegak hukum. Keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat. Superioritas hukum semakin dipertanyakan keberadaannya dan moralitas aparat penegak hukum semakin disangsikan oleh masyarakat. Di lain pihak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya…”, (seperti dikutip dalam Dila Candra Kirana, 2012: 30). Selain itu Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal tersebut terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia. Hukum seolah-olah menjadi panggung sandiwara bagi aparat penegak hukum sehingga upaya mencapai keadilan masih jauh dari harapan dan cita-cita sebuah negara hukum.

(5)

Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 17 secara khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menentukan bahwa:

“Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Tidak dibenarkan adanya proses pengadilan yang diskriminatif, tidak jujur dan mementingkan kelompok tertentu, khususnya kelompok yang memiliki posisi sosial paling dihormati atau disegani seperti para pejabat tinggi negara. Semua warga negara mesti diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar hukum menjadi superior dan berfungsi secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai keadilan. Cita-cita tersebut hanya bisa diraih kalau aparat penegak hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk menegakkan hukum sebaik mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak. Jika aparat penegak hukum tidak adil dalam menegakkan setiap perkara hukum, maka masyarakat tentunya akan memersoalkan sekaligus meragukan eksistensi hukum dan aparat penegak hukum. Keraguan tersebut dapat bermuara pada tindakan main hakim sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang dicurigai memanfaatkan hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu. Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi inferior dan tidak mampu merespon secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum dituntut agar lebih serius dan konsisten menegakkan hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan tersebut melahirkan kepercayaan dan keyakinan semua pihak akan keadilan dan kepastian hukum yang dapat dijamin oleh hukum.

(6)

Dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan tentang kekuasaan aparat penegak hukum khususnya hakim sebagai aparat yang memiliki kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum” dan “keadilan”. Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan “kepastian hukum yang adil”. Penekanannya bukan hanya kepastian hukum, tetapi kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Selain itu untuk mencapai keadilan hukum yang dikehendaki oleh semua orang, jika suatu peristiwa hukum tidak diatur sama sekali dalam undang-undang, maka hakim, misalnya, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penegak hukum seperti hakim, misalnya, dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan, harus mempunyai itikad baik, yakni paham yang menunjuk kepada norma-norma tak tertulis dari budi dan kepatutan (kewajaran dan keadilan) yang hidup dalam masyarakat. Hakim hendaknya menggunakan hati nurani (kesadaran moral) berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup untuk memutuskan suatu perkara agar dapat memberikan rasa keadilan dan kebahagiaan kepada para pihak dengan mengindahkan kode etik dan prosedur yang benar dalam praktiknya di pengadilan. Penerapan hukum positif oleh hakim mesti mengindahkan nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga putusan yang dihasilkan oleh hakim bisa diterima dengan ikhlas oleh para pihak. Keikhlasan tersebut bisa menjadi barometer keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Moralitas aparat penegak hukum sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum sebagai upaya untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu semakin baik moralitas aparat penegak hukum, maka

(7)

hukum akan semakin superior dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk upaya mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang baik dan berbudi luhur, hukum di Indonesia akan menjadi benteng pelindung bagi penguasa dan pejabat negara. Aparat penegak hukum yang bermoral buruk dapat berlaku sewenang-wenang terhadap upaya mencapai dan bahkan mempermainkan keadilan yang merupakan tujuan hukum itu sendiri.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis mengajukan tesis ini dengan judul “Urgensi Moralitas Aparat Penegak Hukum Bagi Superioritas Hukum Dalam Upaya Mencapai Keadilan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa persoalan moralitas aparat penting bagi terciptanya superioritas hukum dalam mencapai keadilan?

2. Apakah upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan moralitas aparat penegak hukum untuk menciptakan superioritas hukum dalam mencapai keadilan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggugah penulis untuk merefleksikan secara filosofis hubungan antara aparat penegak hukum, aspek moralitas aparat yang dapat menciptakan superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan hukum di Indonesia.

C. Batasan masalah

Dalam tesis ini, penulis membatasi masalah yang diteliti pada:

1. Problem moralitas aparat penegak hukum yang menurut penulis sangat mempengaruhi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan. Aspek moralitas

(8)

yang dimaksudkan penulis adalah moralitas pada profesionalitas aparat penegak hukum.

2. Aspek moral sangat penting bagi aparat penegak hukum agar nilai keadilan yang menjadi substansi hukum tidak mudah diselewengkan demi kepentingan politis-pragmatis. Karena itu, masalah yang diprioritaskan dalam tesis ini adalah masalah superioritas hukum dan moralitas aparat penegak hukum sebagai upaya mencapai keadilan.

D. Batasan Konsep

Adapun batasan konsep dalam penelitian ini di antaranya: 1. Superioritas

Superioritas hukum adalah keunggulan, atau kelebihan dari hukum (Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, 1976: 569) . Hukum mesti menunjukkan superioritas atau keunggulan dalam menegakkan setiap kasus hukum, sehingga memunculkan pengakuan umum oleh masyarakat bahwa hukum memang sungguh-sungguh kredibel (dapat dipercaya) dan melindungi kepentingan semua pihak. Hukum hadir sebagai pengayom kepentingan dan juga rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak bisa diskriminatif sebab hal itu akan melemahkan hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.

2. Hukum

Yang penulis maksudkan dengan hukum pada penelitian ini adalah hukum positif yaitu kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Menurut Sudikno

(9)

Mertokusumo, hukum positif suatu tatanan kaidah yang menentukan bagaimana suatu kehidupan bersama atau masyarakat tertentu pada suatu waktu diatur, dan bagaimana seyogianya orang itu berperilaku satu sama lain, maupun terhadap masyarakat atau sebaliknya. Dengan perkataan lain, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh otoritas negara yang berwenang, yang berlaku di suatu tempat dan pada waktu sekarang (Sudikno Mertokusumo, 2012:3).

Istilah ‘positive’ dipakai untuk memberikan maksud bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas, dan nyata (Muhamad Erwin, 2012:153). Oleh karena itu, dalam kaca mata aliran hukum positif, hukum tidak lain adalah perintah penguasa atau norma hukum adalah sah apabila ditetapkan oleh lembaga atau otoritas berwenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi. Norma hukum yang ditetapkan itu adalah undang-undang. Undang-undang adalah sumber hukum, di luar undang-undang bukan hukum (Muhamad Erwin, 2012:154). Hukum positif merupakan penjabaran dari konsep aliran positivisme hukum.

Positivisme hukum adalah aliran pemikiran yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan berakar pada peraturan perundangan yang sedang berlaku saat ini (E. Sumaryono, 2002:183). Aliran pemikiran hukum ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang didasarkan atas semua sistem hukum normatif yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Sistem normatif yang berlaku umum ini dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapan pemberlakuannya, yaitu sanksi. Menurut positivisme hukum, satu-satunya hukum yang dapat diketahui dan dianalisis adalah hukum positif, baik yang berbentuk statute atau kebiasaan yang diterima umum, maupun yang sedang diberlakukan saat ini atau sudah ditetapkan pada masa sebelumnya, yang hanya

(10)

diakui jika ditetapkan oleh seseorang atau beberapa orang dengan maksud untuk mencapai tata sosial khusus (E. Sumaryono, 2002:184).

3. Moralitas

Moralitas adalah kualitas dalam tindakan manusia, sehingga kemudian dapat dikatakan sebagai bernilai moral atau tidak (Hyronimus Rhiti, 2011:276). Untuk kepentingan penelitian ini, penulis menekankan aspek moralitas pada profesionalitas. Artinya, perbuatan baik atau buruk dinilai ketika manusia bertindak melakukan aktivitas atau tugas dalam suatu profesi tertentu. Profesi dapat diartikan sebagai sebuah sebutan atau jabatan di mana orang yang menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui ‘training’ atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat atau saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri (E. Sumaryono, 1995:33). Hal itu berkaitan erat dengan bidang moral.

Orang-orang yang profesional dalam bidangnya mesti juga memiliki penilaian moral atas tugas dan kewajiban yang sedang digelutinya. Dalam pemahaman hukum kodrat, moralitas atau penilaian tentang baik dan buruknya tindakan manusia seharusnya tidak ditentukan dari perintah atau larangan melainkan dari pengertian tentang yang baik yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang secara inheren tahu membedakan yang baik dan tidak baik, setidak-tidaknya bagi dirinya sendiri (Hyronimus Rhiti, 2011:277). Hal itu berarti bahwa dalam hukum kodrat pemahaman tentang moralitas melampaui kewajiban yang dilakukan. Manusia tidak hanya melakukan sesuatu yang baik berdasarkan kewajibannya tetapi dia dituntut untuk melakukan yang baik melampaui kewajiban tersebut.

(11)

4. Aparat Penegak Hukum

Aparat penegak hukum adalah setiap orang atau otoritas negara yang diberi wewenang menurut undang-undang untuk menegakkan hukum, menciptakan ketertiban dan memenuhi rasa keadilan oleh semua pihak. Aparat penegak hukum yang dimaksud adalah polisi, jaksa, hakim dan advokat yang menurut undang-undang diberi kekuasaan untuk menegakkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan menciptakan ketertiban sosial dalam masyarakat.

5. Keadilan

Keadilan yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah keadilan sebagai fairness. Konsep keadilan sebagai fairness merupakan konsep keadilan yang dikembangkan oleh Jhon Rawls. Prinsip keadilan sebagai fairness menurut Jhon Rawls dapat digambarkan sebagai berikut:

Bahwa seseorang diwajibkan melakukan perannya sebagaimana ditentukan oleh aturan institusi ketika dua kondisi terpenuhi; pertama, institusinya adil (atau fair) yakni memenuhi prinsip keadilan; dan kedua, orang secara sukarela menerima keuntungan dari tatanan atau mendapat keuntungan dari peluang yang ditawarkannya demi mengejar kepentingannya. Gagasan utamanya adalah bahwa ketika sejumlah orang terlibat dalam kerja sama yang saling menguntungkan sesuai dengan aturan, lantas membatasi kebebasan mereka agar memberikan keuntungan untuk semua orang, mereka yang patuh pada batasan tersebut punya hak mendapatkan kepatuhan serupa dari orang-orang yang mendapat keuntungan dari ketundukan mereka (Jhon Rawls, 2011:134).

Dengan demikian konsep keadilan sebagai fairness mengikuti prosedur keadilan murni. Di dalam keadilan prosedural yang murni , tidak ada standar yang dapat memutuskan apa yang adil terpisah dari prosedur itu sendiri. Keadilan diimplikasikan bukan pada hasil keluaran, melainkan pada sistem (Karen Leback, 1986:59). Prosedur tidak mempunyai kriteria independen. Hasil yang diharapkan lahir dari prosedur itu sendiri. Oleh karena itu, keadilan yang dimaksudkan penulis

(12)

adalah keadilan yang didasarkan pada prosedur yang murni demi nilai keadilan yang diharapkan oleh semua pihak. Konsepsi keadilan dalam prosedur yang murni ini disandingkan dengan konsep keadilan hukum di Indonesia.

Keadilan Hukum (Legal Justice) adalah keadilan berdasarkan undang-undang yang dapat dilihat dari peraturan perundang-undang-undang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum Negara dalam bentuk formal (Rifyal Ka’bah, 2006: 59). Keadilan hukum adalah keadilan menurut hukum positif yang berlaku. Kalau hukum telah mengatur bahwa seorang koruptor mesti dipenjara sekian tahun,misalnya, maka aturan tersebut harus benar-benar ditegakkan oleh aparat penegak hukum menurut prosedur dan sistem hukum yang berlaku dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang berkembang dan hidup dalam masyarakat. Jadi, keadilan yang dimaksudkan penulis adalah nilai keadilan berdasarkan prosedur penegakan hukum oleh aparat penegak dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh pengamatan penulis, belum ada penulisan baik itu buku maupun tesis yang meneliti dan mengkaji secara khusus tentang urgensi moralitas aparat penegak hukum bagi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan. Namun, sebagai bahan perbandingan, penulis menampilkan beberapa tesis yang memiliki kemiripan substansi dengan tesis yang dikaji penulis.

1. Nama Mahasiswa : Drs. Agung Hendaryana Nomor Mahasiswa : B4A 005 256

Instansi : Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2010

(13)

Judul Tesis : Memantapkan Profesionalisme Polri Di bidang Penegakan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian tesis ini, kiranya dapat diterima sebagai

bahan tindak lanjut bagi Pimpinan Polri baik dalam rangka pengambilan keputusan maupun penentuan kebijakan, guna pemantapan profesionalisme Polri di bidang penegakan hukum dalam rangka mewujudkan supremasi hukum.

Rumusan Masalah :

Mencermati latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kinerja penegakan hukum Polri dalam perspektif profesionalisme Polri ?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja penegakan hukum Polri dalam perspektif profesionalisme Polri ? 3. Bagaimana upaya memantapkan kinerja penegakan hukum

Polri dalam perspektif profesionalisme Polri di masa datang?

2. Nama Mahasiswa : Juwita Kayana Nomor Mahasiswa : 0906581201

Instansi : Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Dan Sistem Peradilan Pidana Juni 2011

Judul Tesis : Opini Publik Sebagai Wujud Peran Serta Masyarakat Terhadap Proses Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana

(14)

Rumusan Masalah : Bagaimana opini publik sebagai wujud peran serta masyarakat terhadap proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana?

Tujuan Penelitian :

a) Mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk peran serta masyarakat terhadap proses penegakan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan termasuk di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b) Mengetahui dan menganalisis sikap para penegak hukum khususnya jaksa penuntut umum dan hakim dalam mengakomodir opini publik yang disampaikan oleh masyarakat dalam proses penegakan hukum pidana.

c) Mengetahui dan menganalisis apakah opini publik yang disampaikan oleh masyarakat berpengaruh terhadap proses penyelesaian perkara pidana.

3. Penelitian yang sudah dibukukkan yang dilakukan oleh Fence M. Wantu dengan judul buku: “Idee Des Recht: Kepastian Hukum, Keadilan, Dan Kemanfaatan” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Dalam buku tersebut penulis membahas persoalan tentang teori Idee Des Recht yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Menurut Fence M. Wantu cita-cita atau nilai ideal hukum adalah menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, yang mempunyai kemiripan dengan penelitian tesis ini, namun penulis buku tersebut tidak mempersoalkan aspek moral aparat penegak hukum dan tidak hanya fokus pada persoalan keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Perbedaan penekanan tersebut menunjukkan bahwa tesis yang

(15)

sedang digarap ini mempunyai keaslian yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional-ilmiah.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian penulis difokuskan pada pengaruh moralitas aparat penegak hukum bagi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan. Jadi, penulis lebih menekankan aspek moralitas untuk mendukung superioritas hukum di Indonesia dalam upaya untuk memenuhi rasa keadilan publik.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Memberikan sumbangan pemikiran akademis atau teoretis terhadap upaya pengkajian, dan pengembangan terhadap ilmu hukum khususnya filsafat hukum yang merefleksikan moralitas aparat penegak hukum bagi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan hukum di Indonesia.

2. Manfaat praktis

Menjadi bahan permenungan bagi para pencari keadilan di Indonesia untuk mengetahui secara lebih tuntas tentang pengaruh moralitas aparat penegak hukum terhadap upaya penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak.

G. Tujuan Penelitian

1. Mencari tahu hakekat atau sebab terdalam persoalan moralitas aparat penegak hukum bagi terciptanya superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan.

2. Mendalami dan menganalisis upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan moralitas aparat penegak hukum agar dapat menciptakan superioritas hukum dalam mencapai keadilan.

(16)

profesionalitas. Penulis juga akan menganalisis bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan moralitas aparat penegak hukum sebagai perealisasian superioritas hukum dalam mencapai keadilan.

BAB V : PENUTUP

Bagian ini merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian terhadap permasalahan dalam tesis. Penulis juga memberikan saran (rekomendasi) sebagai tindak lanjut dari temuan penelitian. Saran akan diajukan demi peningkatan ilmu hukum baik dalam tataran teoretis maupun praktis terkait moralitas aparat penegak agar hukum tetap superior dalam upaya mencapai keadilan bagi semua pihak.

(17)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri atas lima bab sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bagian ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah dan batasan konsep, keaslian penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tujuan penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini memuat penjelasan-penjelasan tentang superioritas hukum, moralitas, konsep aparat penegak hukum dan upaya mencapai keadilan. Semua konsep yang diusung dalam judul tesis dijelaskan secara mendetai berdasarkan sejumlah konsep hukum, dasar hukum, pandangan sarjana literatur-literatur hukum yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bagian ini memuat uraian mengenai metode yang digunakan dalam penulisan tesis, yang terdiri atas jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan proses berpikir.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian mengurai pembahasan tentang permasalahan yang diangkat dalam tesis yaitu urgensi moralitas aparat penegak hukum bagi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan. Dalam penegakan hukum penulis akan menganalisis serta mengevaluasi mengapa moralitas aparat penegak hukum urgen dibutuhkan bagi superioritas hukum dalam upaya mencapai keadilan. Aspek moralitas yang dikaji adalah moralitas dalam

Referensi

Dokumen terkait

Christina, Y., 2010, Perbandingan Harapan dan Kenyataan Terhadap Kualitas Pelayanan untuk Menggambarkan Kepuasan Konsumen dengan Resep Obat di Apotek Kimia Farmas Area Manajer

DIKLAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SERTIFIKASI JP2UPD 08 2005 360 S-1 IAIN RADEN PATAH PALEMBANG MAGISTER MANAJEMEN STIE NEGARA BELITANG OKU SUMSEL 1992 2014 S-1 S-2 48 THN DARI

Oleh karena itu, perlunya sarana seperti website yang dapat memberikan informasi kepada seluruh mahasiswa Universitas Kristen Petra mengenai kegiatan kampus yang

Seperti yang tertuang dalam ungkapan, Kudu paheuyeuk-heuyeuk leungeun (Harus saling berpegangan tangan). Manusia merupakan makhluk sosial. Satu sama lain saling

Penulis telah mengamati beberapa skripsi atau karya ilmiah dan belum terdapat penelitian tentang novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, namun penelitian yang

Guru memindahkan skor murid ke dalam Borang Profil Psikometrik (Profil Individu dan Profil Umum).  Borang

Desain stator dan rotor dari generator linier ini masih sama dengan desain yang digunakan pada penelitian sebelumnya namun terdapat perubahan pada sisi spesifikasi

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana creative intelligence yang terdiri dari