• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Hutan Raya. Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Hutan Raya. Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Hutan Raya

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Juga sebagai fasilitas yang menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2007).

Kawasan Tahura dikelola oleh pemerintah, dalam hal ini di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia dan dikelola dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan satwa beserta ekosistemnya. Rencana pengelolaan Tahura sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan kawasan. Sesuai dengan fungsinya, Tahura dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi serta pelestarian budaya (Saiful, 2011).

Indonesia kini memiliki 22 kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan raya. Nama-nama kawasan hutan raya yang berada di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.2 Sumberdaya Air 2.2.1 Siklus Hidrologi

Menurut Suparmoko (2008), air yang terdapat di alam tidak semata-mata dalam bentuk cair, tetapi dapat dalam bentuk padat, serbuk, dan gas, seperti es,

(2)

salju, dan uap yang terkumpul di atmosfir. Air yang ada di alam tidaklah statis tetapi selalu mengalami perputaran sehingga dalam jangka panjang air yang tersedia di alam selalu mengalami perpindahan. Penguapan terjadi pada air laut, danau, sungai, tanah, maupun tumbuh-tumbuhan karena panas matahari. Kemudian lewat suatu proses waktu, air dalam bentuk uap terkumpul di atmosfir dalam bentuk gumpalan-gumpalan awan hingga mengalami perubahan bentuk menjadi butir-butir air dan butir-butir es. Kemudian butir-butir inilah yang jatuh ke bumi berupa hujan, es, dan salju.

Air yang jatuh ke bumi akan mengalami beberapa kejadian antara lain: 1. Air akan membentuk kolam, danau serta sungai dan segera menguap kembali

ke atmosfir (evaporasi).

2. Air yang melalui siklus hidup dari tumbuh-tumbuhan kembali menguap ke atmosfir melalui penguapan dari daun (transpirasi).

3. Air dapat jatuh dalam bentuk salju di pegunungan akan tersimpan di permukaan sampai mencair kembali kemudian meresap ke dalam tanah. 4. Air dapat meresap melalui permukaan tanah kemudian masuk ke dalam tanah

atau ke lapisan-lapisan yang membentuk persediaan air di bawah tanah (aquifers).

5. Air dapat mengalir langsung (run-off) di atas tanah kemudian masuk ke dalam sungai.

6. Air dapat terjerat dalam bentuk es di kutub atau di sungai es (gletser).

Kejadian-kejadian yang dijelaskan pada poin di atas, untuk kejadian pertama dan kedua tampak bahwa air tersebut kembali lagi ke aliran atmosfir sehingga air yang jatuh ke bumi tersebut tidak sempat dimanfaatkan oleh manusia.

(3)

Kejadian ketiga dan selanjutnya menjelaskan bahwa air tersebut jatuh ke bumi dan dapat dimanfaatkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebelum kembali ke atmosfir atau mengalir ke laut.

Air yang jatuh ke bumi sebagian akan tetap berada di daratan, sedangkan sebagian lagi akan mengalir ke laut. Air yang berada di daratan nantinya akan tampak berada di permukaan tanah yaitu danau, mata air, dan sungai dan sebagian akan meresap ke dalam tanah yang membentuk air tanah.

Proses atau terjadinya siklus hidrologi itu sendiri yang menyebabkan air akan selalu tersedia untuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Air yang jatuh ke bumi sebelum kembali ke atmosfir atau ke laut diharapkan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia. Hal ini akan terlaksana apabila siklus hidrologi berjalan stabil, maksudnya jika air jatuh ke bumi terlebih dahulu kemudian meresap ke dalam tanah atau tersimpan di kolam, danau, dan sungai-sungai dalam yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia. Selanjutnya air buangan setelah penggunaan akan kembali ke atmosfir atau mengalir ke laut. Apabila proses hidrologi terganggu seperti adanya kerusakan pada jaringan penyimpan air di bumi yaitu kerusakan hutan, pemukiman yang padat dan sebagainya, maka air yang jatuh ke bumi sebagian besar akan menguap kembali ke atmosfir atau mengalir langsung (run-off) ke laut sehingga yang tersedia bagi manusia hanya sebagian kecil saja.

2.2.2 Air sebagai Kebutuhan Dasar Manusia

Menurut Sanim (2010), air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945 ayat 3, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

(4)

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstitusi ini jelas menunjukkan dan merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya.

Penjaminan konstitusi lebih dipertegas lagi pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Sumberdaya Air, yang menyatakan negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok produktif. Secara eksplisit isi ayat tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat memperoleh air bersih adalah hak setiap orang, warga negara dari suatu negara, tak terkecuali warga Negara Indonesia. Jaminan tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya menjamin akses setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air.

Air selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikkan bersama (global common atau sebagai common resources). Sumberdaya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Konvensi Internasional, pandangan tradisional tersebut sudah berubah dan ditinggalkan karena air tidak sekedar hanya barang publik tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Paradigma ekonomi ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinstik (intrinstic value) dari air, yang didasarkan pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air (limited and

(5)

scarcity water) serta dibutuhkannya investasi atau penyediaan air bersih, sebagai

pemenuhan hak atas setiap warga negara.

2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan, dan lain-lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia, sehingga sumberdaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Definisi lain juga menyatakan bahwa sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan (Fauzi, 2004).

Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung juga menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat ini sering lebih terasa dalam jangka panjang. Manfaat tersebut sering disebut dengan manfaat ekologis, dimana manfaat ini sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai dari sumberdaya (Fauzi, 2004).

2.4 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya, hutan sebagai

(6)

ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air yang kemudian melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun dengan adanya penebangan pohon yang tidak terkendali pada sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir pada saat musim hujan dan menurunnya kualitas air. Demikian pula saat musim kemarau terjadi kekurangan (defisit) air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air yang dapat menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan ketersediaan air bersih atau air minum yang berakibat kualitas hidup terancam dan kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi, untuk itu diperlukan adanya hubungan hulu hilir dalam bentuk penyediaan biaya atau dana kompensasi dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir (Sutopo, 2011).

2.5 Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah instrumen berbasis pasar untuk tujuan konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa saja yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan harus membayar dan siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi (LPM Equator, 2011). Menurut Wunder (2005), pembayaran jasa lingkungan adalah suatu transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu dilestarikan dengan cara memberikan nilai oleh penerima manfaat kepada penghasil manfaat jasa lingkungan.

(7)

Pembayaran jasa lingkungan merupakan skema baru untuk mendukung eksternalitas lingkungan yang positif melalui transfer keuangan dari penerima manfaat jasa lingkungan tertentu kepada mereka yang menyediakan sumberdaya lingkungan. Prinsip dasar PJL adalah sumberdaya pengguna dan masyarakat yang berada dalam posisi untuk memberikan jasa lingkungan harus diberi kompensasi untuk biaya penyediaan mereka dan bahwa mereka yang mendapatkan manfaat dari layanan ini harus membayar kepada si penyedia (Mayrand dan Paquin, 2004).

2.5.1 Fungsi Jasa Lingkungan

Menurut Wunder (2005), suatu ekosistem menyediakan suatu jasa lingkungan yang memiliki empat fungsi penting, yaitu:

1. Jasa penyedia (provising services)

Penyediaan sumberdaya alam berupa sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat air, mineral, dan lain-lain. 2. Jasa pengaturan (regulating services)

Jasa lingkungan memiliki fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, pengontrol erosi, pengaturan untuk mengontrol penyakit, pengaturan untuk mengurangi risiko yang menghambat perbaikan kualitas lingkungan, dan lain-lain.

3. Jasa kultural (cultural service)

Jasa lingkungan sebagai identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan, inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, rekreasi, dan lain-lain.

4. Jasa pendukung (supporting services)

(8)

Terkait dengan pemanfaatan air, bahwa hutan memberikan suatu jasa lingkungan yang manfaatnya sungguh dirasakan oleh masyarakat. Seperti hutan bermanfaat sebagai pengatur aliran dan supply melalui penyerapannya, memperbaiki kualitas air dengan mengurangi sedimentasi dan erosi, mencegah dan mengurangi bencana akibat air yang tidak dapat diserap.

2.5.2 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran jasa lingkungan dibagi atas empat tipe, yaitu (Wunder, 2005): 1. Penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage)

Contohnya sebuah perusahaan listrik membayar kepada para petani agar melakukan penanaman pohon dan menjaga keberadaannya.

2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)

Contohnya memberikan sejumlah biaya kepada seseorang untuk memulihkan suatu daerah yang nantinya akan menciptakan koridor biologi.

3. Perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Contohnya pengguna air yang berada di hilir harus membayar kepada pengguna di hulu untuk membatasi deforestasi, erosi tanah, dan lain-lain. 4. Keindahan pemandangan (landscape beauty)

Contohnya pemilik suatu tempat wisata membayar kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan perburuan di hutan terhadap satwa liar dimana hutan tersebut nantinya akan dikunjungi oleh para wisatawan, sehingga hutan tersebut dijadikan objek wisata untuk melihat satwa-satwa liar.

Skema PJL berusaha untuk menetapkan nilai dan harga jasa lingkungan yang sesuai. Skema PJL akan cenderung bekerja dengan baik ketika nilai jasa lingkungan tinggi untuk penerima manfaat dan biaya penyediaan layanan rendah.

(9)

Namun bisa juga bekerja ketika nilai jasa dan biaya penyediaannya keduanya tinggi, asalkan pembayaran melebihi biaya penyediaan jasa. Jika nilai layanan dan biaya penyediaan rendah, maka biaya transaksi yang terkait dengan skema PJL mungkin lebih tinggi dari nilai tambahan dalam hal pemanfaatan lingkungan.

Fleksibilitas skema PJL dapat juga dilihat dari skema pembayarannya yang bisa berdasarkan besaran luas area yang menjadi subyek perubahan pemanfaatan lahan, atau pada praktek pemanfaatan lahan spesifik dapat diarahkan pada area, praktek, atau atribut spesifik dengan kriteria-kriteria umum. Skema PJL juga dapat dalam bentuk manfaat non moneter pada pemanfaatan lahan seperti training, infrastruktur atau bantuan untuk diversifikasi pendapatan atau

pengembangan pasar (Mayrand dan Paquin, 2004).

Sumber : Pagiola, 2003

Gambar 1. Struktur Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan 2.6 Metode Estimasi Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan

Menurut Yakin (1997), estimasi penilaian lingkungan melibatkan penilaian moneter (uang) untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan. Dalam analisa ekonomi lingkungan, penilaian keuntungan dari perubahan lingkungan itu sangat

Penerima Manfaat Struktur Governance Mekanisme Pendanaan Mekanisme Pembayaran Environmental Service Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat Penerima Manfaat

(10)

kompleks karena nilai keuntungan bukan hanya nilai moneter (berupa uang) dari konsumen yang menikmati langsung (users) jasa perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga nilai yang berasal dari konsumen potensial dan orang lain karena alasan tertentu (non users).

Menurut Yakin (1997), terdapat 15 jenis metode penilaian ekonomi terhadap jasa lingkungan yang telah berkembang. Diantaranya adalah the Dose-Response Method (DRM), Hedonic Price Method (HPM), Travel Cost Method

(TCM), the Averting Behaviour Method (ABM), dan Contingent Valuation Method (CVM). Namun diantara beberapa metode tersebut, metode CVM yang

paling populer karena dapat mengukur dengan baik nilai penggunaan (use values) dan nilai dari non pengguna (non use values).

2.6.1 The Dose-Response Method (DRM)

The Dose-Response Method (DRM) ini berdasarkan pada gagasan bahwa

kebanyakan aktifitas, kualitas lingkungan dapat dianggap sebagai suatu faktor produksi. Contohnya, kualitas air bagi industri yang menggunakan air untuk tujuan pengolahan atau proses produksi. Bagi kegiatan-kegiatan seperti itu, peningkatan kualitas lingkungan akan mengakibatkan perubahan dalam biaya produksi yang bisa jadi selanjutnya mengakibatkan terjadinya suatu perubahan terhadap harga, output, dan atau tingkat pengembalian modalnya. Dengan menganggap bahwa tidak ada kesempurnaan pasar yang menggangu (distorsi) harga pasar, benefit atau keuntungan dari peningkatan kualitas lingkungan dapat diukur dari perubahan pasar yang dapat diselidiki tersebut (Yakin, 1997).

Metode ini memiliki dua kelebihan, yaitu metode dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana orang tidak sadar terhadap dampak yang diakibatkan oleh

(11)

polusi dan DRM merupakan metode pengukuran benefit yang sulit dan biasanya menjadi perhatian pembuat kebijaksanaan. Kelemahan metode DRM, yaitu metode mensyaratkan data yang memuaskan dan lengkap serta jika nilai tidak langsung atau nilai dari bukan pengguna adalah cukup tinggi, maka metode ini akan menyebabkan estimasi yang terlalu rendah (undersestimate) terhadap keuntungan dari kebijaksanaan lingkungan.

2.6.2 Hedonic Price Method (HPM)

Metode Hedonic Price Method (HPM) didasarkan pada gagasan bahwa barang pasar menyediakan pembeli dengan sejumlah jasa, yang beberapa diantaranya dapat berupa kualitas lingkungan. Misalnya bangunan rumah dengan kualitas udara segar disekitarnya, pembeli akan menerimanya sebagai pelengkap. Jika orang merasa tertarik dengan panorama lingkungan pelengkap seperti itu, mereka akan bersedia membayar lebih untuk rumah yang berada di area dengan kualitas lingkungan yang baik, dibandingkan dengan rumah dengan kualitas yang sama pada tempat lain yang kualitas lingkungannya buruk (Yakin, 1997).

HPM memiliki kelebihan dalam perhitungan benefit yang diperoleh berdasarkan tingkah laku pasar yang diteliti, sedangkan kelemahannya adalah harga yang tersedia harus valid, metode ini tidak mampu mendapatkan pilihan estimasi harga dengan adanya ketidakpastian serta tidak dapat mengestimasi nilai pengukuran kesejahteraan yang didasarkan pada surplus konsumen.

2.6.3 Travel Cost Method (TCM)

Travel Cost Method (TCM) berusaha untuk menempatkan nilai pada pasar

barang non lingkungan dengan menggunakan perilaku konsumsi di pasar. Secara khusus, biaya mengkonsumsi jasa dari aset lingkungan digunakan sebagai proxy

(12)

untuk harga. Biaya konsumsi akan mencakup biaya perjalanan, biaya masuk, dan pengeluaran pada peralatan modal yang diperlukan untuk konsumsi. Metode ini mengasumsikan kelemahan antara aset lingkungan dan pengeluaran konsumsi (Hanley dan Spash, 1993).

Menurut Pierce et al. (2006), TCM dikembangkan utuk menilai kegunaan dari barang non market, daerah yang letak geografisnya khusus dan lokasi yang dipergunakan untuk rekreasi. Secara prinsip metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi, dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen, maka dapat diketahui berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004).

Adapun kelebihan dari metode ini yaitu hasil perhitungan benefit berdasarkan tingkah laku pasar yang diteliti, sedangkan kelemahan metode ini yaitu biaya perjalanan yang digunakan haruslah valid, biaya kesempatan (opportunity cost) harus dimasukkan ke dalam perhitungan, dan teori ekonomi gagal untuk menjelaskan hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan (Yakin, 1997).

2.6.4 The Averting Behaviour Method (ABM)

The Averting Behaviour Method (ABM) ini menilai kualitas lingkungan

berdasarkan pada pengeluaran untuk mengurangi atau mengatasi efek negatif dari polusi. Misalnya, terjadinya polusi udara yang mengharuskan orang-orang menggunakan masker. Biaya pembelian masker dianggap sebagai nilai dari benefit untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Kelebihan ABM adalah

(13)

diselidiki, sedangkan kelemahan ABM yaitu membutuhkan data yang memuaskan dan rumit dan metode ini tergantung pada asumsi yang tidak dapat dijelaskan atau dianalisa dengan tepat yang berkaitan dengan spesifikasi fungsi utilitas orang yang diteliti (Yakin, 1997).

2.6.5 Contingent Valuation Method (CVM)

Contingent Valuation Method (CVM) adalah metode teknik survei untuk

menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti jasa lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyediaan jasa lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan (Yakin, 1997). Pendekatan CVM pertama kali dikenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesa yang dibangun. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei (Fauzi, 2004).

Pada dasarnya CVM merupakan suatu metode untuk penilaian suatu barang yang tidak mempunyai harga pasar. Nilai tersebut diestimasi dengan suatu metode yang diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil keputusan yang diperlukan untuk mengetahui biaya dan manfaat dari suatu program kegiatan perbaikan kualitas lingkungan atau aktivitas yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).

(14)

Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat dan kedua, keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) (Fauzi, 2004). Willingness to pay (WTP) adalah nilai responden yang menyatakan keinginan untuk membayar atau menyetujui sejumlah uang tertentu untuk melakukan perubahan lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).

Kuesioner CVM dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain; (2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti; (3) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan, dan alat pembayaran. Pertanyaan dalam kuesioner mengenai WTP yang diteliti dibagi dalam beberapa jenis pertanyaan, yaitu: (1) permainan lelang (bidding game), (2) pertanyaan terbuka, (3) payment card, dan (4) model referendum atau discreate choice (dichotomous choice) (Fauzi, 2004).

Penggunaan CVM dalam memperkirakan ekonomi suatu lingkungan memiliki kelebihan-kelebihan, yaitu penilaian kontingensi ini sangat fleksibel dalam memperkirakan nilai ekonomi apa pun, CVM dapat memperkirakan nilai guna, serta nilai-nilai keberadaan, nilai-nilai pilihan, dan nilai-nilai warisan, serta hasil CVM tidak sulit untuk dianalisis dan dipahami1. Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang

1

(15)

utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama yaitu, bias yang timbul dari strategi yang keliru dan bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias) (Fauzi, 2004).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian CVM, yaitu (Hanley dan Spash, 1993):

1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kreadibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak kontroversial dengan etika dimasyarakat.

3. Informasi yang disajikan untuk responden sebaiknya cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.

4. Responden sebaiknya mengenal sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan mempunyai pengalaman di dalamnya.

5. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya dicari karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

6. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

7. Pengujian kebiasan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategi bias khusus.

8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

9. Sebaiknya diketahui dengan pasti apakah contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan.

(16)

10. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya.

2.7 Analisis Regresi Logit

Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah dependen dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshor, 1989).

Penelitian ini menggunakan analisis regresi biner yang menyatakan bahwa apakah responden bersedia membayar atau tidak bersedia membayar. Transformasi persamaannya sebagai berikut (Ramanathan, 1997):

1 i i P Li In X u P           

dimana Li sering disebut sebagai indeks model logistik, yang nilainya sama

dengan 1 i i P In P        ; dan 1 i i P P   

  adalah odd, yaitu nilai rasio kemungkinan

terjadinya suatu peristiwa dengan kemungkinan tidak terjadinya peristiwa. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). ML sebuah teknik estimasi yang bersifat iteratif digunakan

terutama pada persaman-persamaan non linear dalam parameter-parameter (koefisien-koefisien).

2.8 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda (multiple regression analysis) adalah suatu model dimana variabel dependen bergantung pada dua atau lebih variabel yang

(17)

independen (Firdaus, 2004). Persamaan model regresi berganda dapat dituliskan sebagai berikut (Juanda, 2009):

Y = β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + βk Xki + εi

Subskrip i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 hingga N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample). Y merupakan variabel dependen sedangkan Xki merupakan pengamatan ke-i untuk variabel independen Xk. Koefisien βi dapat merupakan intersep apabila semua pengamatan X1i bernilai satu, sehingga model menjadi sebagai berikut:

Y = β1 + β2 X2i + β3 X3i + βk Xki + εi

Dalam mendapatkan koefisien regresi parsial, maka digunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square-OLS). Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square-RSS) yaitu ∑ei2 = minimum (terkecil). Pemilihan model didasarkan dengan pertimbangan metode ini mempunyai sifat-sifat karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan. Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam model regresi berganda adalah (Firdaus, 2004):

1. Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2. Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (non autokorelasi) artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif. 3. Varian bersyarat dari (ε) adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama

(18)

4. Variabel independen adalah non stokastik, yaitu tetap dalam penyampelan berulang. Jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan ε. 5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel independen satu dengan yang

lainnya.

6. ε didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linear terbaik (Best Linear Unbiased Estimator-BLUE). Sebaliknya, jika ada asumsi dalam model

regresi yang tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran pendugaan dapat diragukan. Penyimpangan asumsi 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius sedangkan asumsi 1, 4, dan 6 tidak.

2.9 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil studi pustaka diperoleh beberapa hasil kajian mengenai nilai pemanfaatan sumberdaya air, diantaranya penelitian Setiawan (2000), mengenai nilai ekonomi Tahura Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Wan Abdul Rachman. Hasil dari penelitian adalah berdasarkan surplus konsumen yang diperoleh masyarakat nilai Tahura Wan Abdul Rachman untuk nilai hijauan pakan ternak sebesar Rp 3.581.529.620; nilai kayu bakar sebesar Rp 10.329.411.216; nilai perladangan tanaman semusim sebesar Rp 381.235.682; nilai perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 1.389.565.000; nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp

(19)

487.530.594; nilai air sawah sebesar Rp 149.083.495; dan nilai wisata sebesar Rp 9.367.513. Total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat untuk komponen-komponen tersebut di atas adalah Rp 16.327.713.120 atau rata-rata Rp 734.028/Ha/tahun.

Yumarni (2002), meneliti tentang manfaat Tahura Dr. Mohammad Hatta, dalam penelitian menjelaskan nilai Tahura Dr. Mohammad Hatta secara ekonomi atas pemanfaatan jasa yang dihasilkan. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Dr. Mohammad Hatta. Hasilnya adalah total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan Tahura Dr. Mohammad Hatta adalah Rp 8.978.666.190 setiap tahunnya, dengan surplus konsumen masing-masing kegiatan setiap tahunnya adalah kayu bakar sebesar Rp 7.781.952.966; hijauan makanan ternak sebesar Rp 158.856.589; air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 346.199.528; air untuk sawah sebesar Rp 10.099.219; perladangan tanaman semusim sebesar Rp 1.996.975; perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 6.218.947; dan wisata sebesar Rp 673.341.966.

Widada dan Darusman (2004), melakukan penelitian tentang nilai ekonomi domestik dan irigasi pertanian yang dilakukan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dimana penelitian mencari tahu besarnya manfaat hidrologi TNGH khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH. Contoh desa yang dijadikan suatu sampel sebanyak 13 desa dengan pengumpulan data menggunakan metode survei yang dilaksanakan selama enam bulan. Hasilnya adalah bahwa nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan domestik masyarakat desa

(20)

penyangga TNGH sebesar Rp 5.223.870.380 terdiri dari nilai yang dibayarkan Rp 1.163.367.368 dan surplus konsumen Rp 4.060.502.012. Nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH sebesar Rp 1.417.546.684 terdiri dari atas nilai yang dibayarkan Rp 958.967.038 dan surplus konsumen Rp 460.387.400.

Penelitian yang dilakukan oleh Mihardja (2009), mengenai inventarisasi jasa lingkungan air di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu bertujuan mengumpulkan informasi dan data tentang potensi jasa air di kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Nantu dan hubungannya dengan aktivitas ekonomi di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu. Metode pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan beberapa studi pustaka, observasi partisipasi dan pencatatan serta wawancara. Hasilnya adalah nilai total ekonomi air per tahun untuk penggunaan air oleh penduduk sekitar Suaka Margasatwa Nantu berjumlah Rp 10.616.126,98 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 96.363.009 sedangkan jika dibandingkan harga riil air berdasarkan PDAM Paguyaman, maka dihasilkan nilai total ekonomi air per tahun sebesar Rp 118.269.850 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 1.073.540.158.

Penelitian yang dilakukan oleh Merryna (2009), mengenai WTP masyarakat terhadap PJL yang dilakukan di Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Tujuannya ialah mencari nilai WTP masyarakat terhadap instrumen ekonomi yaitu PJL, faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk melakukan PJL, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan tersebut. Tentu saja metode yang digunakan adalah

(21)

CVM. Hasil penelitian yaitu nilai WTP yang diperoleh untuk nilai rataan WTP responden adalah Rp 101/liter/KK sedangkan nilai total WTP adalah Rp 83.835/liter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden dipengaruhi oleh penilaian kualitas air, jumlah kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air, dan rata-rata pendapatan rumah tangga. Jumlah pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab oleh masyarakat sebanyak 51.887.305/liter/tahun yang dapat dihasilkan oleh 4,94 Ha lahan melalui metode transfer benefit. Nilai potensial pemanfaatan mata air Cirahab adalah sebesar Rp 5.240.617.805/tahun yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pemulihan ekologi hutan sebesar Rp 544.758.500/Ha/tahun.

Sutopo (2011), melakukan penelitian mengenai pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum (studi kasus DAS Cisadane hulu). Metode yang digunakan yaitu mewawancarai masyarakat hulu dan hilir daerah DAS Cisadane. Hasil penelitian memberikan gambaran perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi peran tertinggi dari pihak swasta dalam mengelola air minum dibandingkan dengan aktor lainnya dengan memberikan manfaat ekonomi tetap mempertahankan kriteria terbaiknya dengan melakukan diversifikasi usaha tani guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan konsisten untuk melaksanakan dan mencanangkan strategi agar tetap melakukan kegiatan konservasi terutama pada kawasan resapan air. Hal ini sesuai pula dengan respon yang signifikan terhadap kemauan masyarakat untuk melakukan konservasi dengan cara melakukan menanam pohon dan adanya persepsi terhadap PJL bahwa masyarakat setuju pentingnya pembayaran jasa lingkungan yang didukung

(22)

masyarakat pada saat merespon tingkat kesediaan masyarakat menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) karena akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan mereka sendiri dan adanya respon positif dari pemanfaat air minum (pengusaha) untuk bersedia membayar jasa lingkungan (WTP) sebagai pembayaran jasa lingkungan kepada masyarakat karena dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi pemanfaat yang secara linear signifikan dengan level pendidikannya. Implikasi kebijakan atas hasil penelitian ini, menetapkan nilai rataan (WTP-WTA) sebesar Rp 1.563,97/m3 sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai PJL yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane hulu oleh pemerintah terhadap para pengelola air (users pay principle) untuk masyarakat di hulu sebagai keniscayaan penerapan kebijakan.

Gambar

Gambar 1.  Struktur Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan  2.6  Metode Estimasi Penilaian Ekonomi Jasa Lingkungan

Referensi

Dokumen terkait