• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KURIKULUM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH PADA MASA KEJAYAAN DINASTI ABBASIYAH. Nur Chanifah 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KURIKULUM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH PADA MASA KEJAYAAN DINASTI ABBASIYAH. Nur Chanifah 1"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Nur Chanifah1

Abstract: Islamic education develops signivicantly in golden age (Abbasid dynasty). At that time, the Islamic educational institutions which appear very varied, especially before the advent of the madrasah. For example kuttab, library (Baitul Hikmah or Darul Hikmah), mosque, zawiyah, badiyah, khan, home of ulama, majlis, etc. The development of these institutions also followed by the development of the cur-riculum itself, because the curcur-riculum is the spirit of educa-tional success. The material is taught at a basic level more emphasis on memorizing the Qur’an, reading and writing. The material continues to be developed in medium and high level. While learning system was still using halaqah. Keyword: Islamic institution, curriculum and golden age Pendahuluan

Dalam lintas sejarah, pendidikan Islam berkembang seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri. Lembaga-lembaga pen-didikan Islam merupakan hasil pemikiran setempat yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat Islam dan perkem-bangan yang digerakkan oleh jiwa Islam dan berpedoman kepada ajaran dan tujuannya. Secara keseluruhan, lembaga-lembaga PERKEMBANGAN KURIKULUM LEMBAGA PENDIDIKAN

ISLAM SEBELUM MADRASAH PADA MASA KEJAYAAN DINASTI ABBASIYAH

(2)

pendidikan Islam itu bukan datang dari luar atau terambil dari kebudayaan-kebudayaan lama, akan tetapi berasal dari dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan yang erat dengan Islam secara umum.

Pada masa awal, Nabi Muhammad Saw mengembangkan pendidikan secara rahasia di lingkungan keluarganya. Secara berangsur-angsur, Nabi Muhammad Saw pun mengembangkan pendidikannya secara terang-terangan dengan menitikberatkan kepada aspek tauhid, al-Qur’an dan akhlak. Saat masih hidup, Nabi Muhammad Saw juga memberikan pelajaran baca tulis, dengan guru-guru adalah tawanan Perang Badar.2 Pada masa Khulafa’ur Rasyidin, pendidikan Islam sudah mulai maju.

Materi-materi yang diajarkan tidak hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan umum.

Pendidikan Islam terus-menerus berkembang pada masa-masa selanjutnya dan mencapai kejayaannya pada jaman dinasti Umayyah dan Abbasiyah.3Akan tetapi dalam tulisan ini akan

ditekankan pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu pada saat lembaga-lembaga pendidikan Islam berkembang dengan pesatnya. Lembaga pendidikan yang berkembang sangat bervariasi, mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tersebut telah tumbuh dalam jarak waktu yang jauh di bawah pengaruh situasi-situasi tertentu dan untuk melahirkan tujuan tertentu yang diinginkan oleh kebutuhan kehidupan Islam yang terus tumbuh dan berkembang. Kurikulum yang diterapkan juga disesuaikan dengan lembaga yang ada, sehingga lembaga tersebut memiliki karakter tersendiri.

Penerapan kurikulum dalam pendidikan Islam merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemajuan pendidikan Islam saat itu, selain faktor-faktor lainnya. Kurikulum merupakan suatu sistem yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Dengan melakukan kajian pada kurikulum yang diterapkan saat itu, di-harapkan kajian ini mampu memberikan kontribusi pada kondisi pendidikan Islam saat ini.

2 http:/www.waspada.co.id/serba=waspada/mimbar_jum’at/artikel.php?article_id=

80719 (Maret, 2007), 1.

(3)

Pembahasan

A. Kurikulum Pendidikan Islam

Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Latin,

cur-riculum, yang berarti bahan pengajaran. Namun ada pula yang

mengatakan kata tersebut berasal dari bahasa Prancis, courier, yang berarti berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar penghargaan dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan ijasah.4

Dalam studi kurikulum, terdapat beberapa batasan yang ter-masuk dalam kategori pola lama dan kategori pola baru.5

Kuri-kulum dalam pengertian lama hanya mengacu kepada sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan sistematik dan koordinatif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetap-kan.6 Sedangkan dalam pengertian baru, kurikulum tidak hanya

sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi termasuk pula di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Hasan Langgulung yang mengatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian, baik yang berada di dalam maupun di luar sekolah.7

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan ini terletak kepada cakupan dari kurikulum itu sendiri. Kurikulum dalam pengertian lama hanya mengacu pada mata pelajaran, sedangkan dalam pengertian baru mencakup seluruh program yang didesain, direncanakan dan dikembangkan oleh sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam tulisan ini, penulis memandang kurikulum sebagaimana dalam pengertian yang baru (modern). Hal ini dikarenakan semakin majunya ilmu

4 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Jakarta: Gaya Media,

1999), 3.

5 Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Peng embang an

Kurikulum (Jakarta: Bina Aksara, 1998), 2.

6 Herdyat Soetopo dan Wasti Soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum

(Jakarta: Bina Aksara, 1986), 12.

7 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987),

(4)

pengetahuan dan teknologi, sehingga mengharuskan kurikulum untuk melakukan inovasi secara kontinyu.

Secara teoritis, kurikulum lebih merupakan kendaraan dari pada materi. Oleh karena itu, sebagai sebuah kendaraan, kuri-kulum dapat digunakan untuk merancang kurikuri-kulum pendidikan Islam. Dengan kata lain, jenjang dan struktur suatu kurikulum adalah milik sebuah disiplin ilmu, termasuk disiplin ilmu yang diajarkan dalam pendidikan Islam.8 Islam menggunakan kata manhaj untuk kata kurikulum yang diartikan jalan terang atau

jalan yang dilalui oleh manusia dalam berbagai bidang kehidupan-nya. Jalan terang tersebut adalah jalan yang dilalui oleh pendidik dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan penge-tahuan, ketrampilan atau sikap mereka.9 Berdasarkan definisi di

atas, selama Periode Keemasan, pendidikan Islam memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengem-bangkan kesediaan-kesediaan, bakat, kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Omar M. al-Toumy al-Syaibany menyebutkan lima ciri kuriku-lum pendidikan Islam, yaitu (1) menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan kandungan, me-tode dan tekniknya yang bercorak agama, (2) meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat pemikiran dan ajarannya yang menye-luruh. Di samping itu juga luas dalam perhatiannya, berupa pe-ngembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual, (3) bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kuriku-lum yang akan digunakan, selain itu juga seimbang antara penge-tahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan pengem-bangan social, (4) bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik, (5) kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik.10

8 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 126.

9 Ibid, 126-127.

10 Omar M. al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

(5)

Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Omar M. al-Toumy al-Syaibany di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi sasaran utama pendidikan Islam adalah akhlak. Muatan kuriku-lumnya juga tidak mengenal adanya dikotomi antara pendidikan agama dan umum. Hal ini sekaligus merupakan sanggahan bagi orang yang menganggap bahwa dalam pendidikan Islam itu terdapat dikotomi.

Sedangkan prinsip yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah (1) pertautan yang sempurna dengan agama, ter-masuk ajaran dan nilai-nilainya, (2) prinsip menyeluruh atau universal pada tujuan dan kandungan kurikulum, (3) prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kuri-kulum, (4) berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan ke-butuhan pelajar, (5) pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual di antara pelajar-pelajar dalam bakat, minat, kemampuan, kebu-tuhan dan masalah-masalahnya, (6) prinsip perkembangan dan perubahan, (7) kaitan-kaitan yang ada dalam kurikulum itu sen-diri, baik antara mata pelajaran, pengalaman dan aktifitas yang terkandung di dalamnya.11

Prinsip-prinsip tersebut harus diperhatikan dalam pengem-bangan kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan pen-didikan Islam bersumber dari ajarn Islam itu sendiri. Jika prinsip-prinsip tersebut ditinggalkan, maka ruh atau jiwa pendidikan Is-lam itu akan hilang.

B. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pra-Madrasah Pada saat dinasti Abbasiyah berkuasa, pendidikan Islam sangat maju. Pemerintahan Abbasiyah tersebut memiliki perbedaan dengan pemerintahan Umayyah. Salah satu dari sekian perbedaan tersebut adalah bahwa pemerintahan tidak terlalu bernafsu dalam melakukan ekspansi ke negara lainnya. Terkait masalah tersebut, Badri Yatim mengungkapkan dua alasan, yaitu karena pemerin-tahannya tidak kuat untuk membuat mereka tunduk dan lebih menitikberatkan kepada peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.12

11 Ibid, 520-522.

(6)

Di samping itu, pada masa dinasti Abbasiyah memiliki kelebihan dalam berinteraksi dengan dunia intelektual, baik terkait dengan agama maupun keilmuan Yunani. Kemajuan juga didukung oleh pencapaian dalam ekonomi yang melimpah ruah sehingga mampu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.13 Dinasti ini kemudian tumbuh menjadi

negara yang terbuka, universal, egaliter dan rasional.

Kondisi seperti itulah yang mendorong lembaga-lembaga pendidikan Islam berkembang di banyak tempat, khazanah ke-ilmuan ulama’ saat itu mewarnai kehidupan umat Islam dan banyak muncul ilmuwan-ilmuwan muslim yang mengantarkan kan Islam pada kejayaannya. Di antara lembaga-lembaga pendidi-kan Islam yang muncul saat itu adalah:

1. Kuttab

Kuttab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis.

Pada awalnya kuttab adalah sejenis tempat belajar yang meng-ajarkan tulis dan baca. Dalam perkembangannya lembaga kuttab ini tidak hanya mengajarkan baca tulis saja, akan tetapi sudah ditambah dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti al-Qur’an.14 Mayoritas

ulama’ berpendapat bahwa hukum mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak adalah fardhu kifayah.

Pendidikan di kuttab tersebut digunakan untuk semua ka-langan, tanpa membeda-bedakan antara anak orang kaya dengan anak orang miskin. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam meng-anut sistem demokrasi. Pada masa dinasti Abbasiyah, lembaga

kuttab berkembang pesat. Pada setiap desa berdiri lembaga kuttab,

bahkan terkadang lebih dari satu. Ibnu Hauqal menuturkan bahwa pernah menghitung ada 300 orang guru dalam sebuah kota.15 2. Masjid

Peran masjid sebagai lembaga pendidikan Islam terus-menerus berlangsung dari generasi ke generasi. Masjid dapat dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan tertua dalam Islam.

Pem-13 Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2005), 220.

14 ttp:/ /www.almihrab.com/berita.php?opo=detail&kd_ berita=1 07&head=

tarih&menux=2 (Maret, 2007), 1.

15 Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education (Colorado:

(7)

bangunannya dimulai sejak jaman Nabi Muhammad Saw dan tersebar ke seluruh negeri Arab bersamaan dengan perkembangan Islam di berbagai penjuru dunia.

Masjid berfungsi sebagai lembaga pendidikan menengah dan perguruan tinggi dalam waktu yang sama.16 Terkait dengan peran

masjid sebagai lembaga pendidikan, Philip K. Hitti juga menge-mukakan bahwa di saat pendidikan tinggi telah dilakukan dengan cara sistematis, masjid di seluruh kota-kota muslim tetap menjadi pusat-pusat pendidikan yang sangat penting. Seorang pengun-jung yang datang ke kota dengan bebas dapat mengikuti kuliah. Inilah yang disebut dengan halaqah (circle) atau majlis (assamble) yang memusatkan kajiannya pada hadits, fiqih, bacaan al-Qur’an dan literatur-literatur lainnya dalam masjid.17 Dalam hal ini masjid

merupakan lembaga pendidikan utama dalam Islam.18 Masjid tidak

hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga untuk kegiatan pem-belajaran.

Masjid biasanya dibangun dengan mengatasnamakan para pengajar atau profesor yang mengajar di masjid tersebut, misalnya, masjid Abdullah Ibnu Mubarok yang berdekatan dengan khan sebagai tempat bermukimnya murid-murid yang dari luar.19 Selain

sebagai lembaga pendidikan, masjid juga menjadi tempat per-istirahatan atau penginapan bagi para pengembara dan orang-orang miskin. Masjid juga menjadi institusi untuk mempelajari mazhab-mazhab tertentu, seperti masjid Ibnu Mu’alllim yang mengajarkan madzhab Syi’ah.

3. Khan

Pada abad pertengahan, khan disebut juga sebagai hotel. Selain itu disebut sebagai gudang barang atau pusat perdagangan, karena dalam khan terdapat banyak toko. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bahwa khan digunakan sebagai tempat penginapan atau asrama bagi murid-murid yang berasal dari luar kota. Salah satu khan yang dibangun adalah milik Di’lij bin Ahmad Di’lij yang terletak di dekat makam Suraij. Khan tersebut dibangun untuk

16 Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 262.

17 Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press, 1974), 412.

18 M. Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: ‘Alim al-Kutub, 1977), 78.

19 George Makdisi, The Rise of Colleges (Edinburgh: Edinburgh University Press,

(8)

memuliakan ahli hukum imam Syafi’i dan dikhususkan bagi murid-murid madzhab Syafi’i.20

4. Pendidikan Istana

Kemunculan pendidikan rendah di istana adalah untuk anak-anak para pejabat dengan asumsi bahwa pendidikan itu harus menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas-nya kelak setelah dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, maka keluarga istana memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.21

5. Kedai-kedai Kitab

Pada masa permulaan dinasti Abbasiyah, di saat ilmu penge-tahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang, seiring penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu penge-tahuan dan dibukukan, toko-toko kitab mulai berdiri yang pada mulanya berfungsi sebagai tempat jual beli kitab-kitab yang telah ditulis tersebut. Akan tetapi pada perkembangannya, mereka menjadikan toko-toko kitab tersebut sebagai tempat untuk kumpulnya para ulama’ dan pujangga untuk berdiskusi dan ber-tukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.22 Menurut Stanton,

di Baghdad terdapat 100 toko buku. Selain di Baghdad, ada juga kota-kota lainnya, seperti Mosul, Basrah, Kairo, Cordova, Fez, Tunis dan sebagainya.23

Perkembangan toko-toko buku tersebut menggambarkan se-makin terdorongnya umat Islam untuk berlomba-lomba men-ciptakan dan mengembangkan tulisan-tulisan atau karya ilmiyah. Ini berarti semakin terbuka dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

6. Perpustakaan

Pada masa ini pula, buku memiliki nilai sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai ilmu pengetahuan yang tertulis. Buku sebagai sarana utama dalam usaha pengembangan

20 Ibid, 24.

21 Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education, 46.

22 Ibid, 47-48.

23 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. H. Afandi (Jakarta:

(9)

dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Adapun para ulama’ dan sarjana dalam bidangnya masing-masing, selain memiliki aktivitas menulis buku, mereka juga mengajarkan kepada murid-muridnya tentang bidang yang dikuasai, mereka juga memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar di perpustakaan-perpus-takaan umum yang diselenggarakan pemerintah atau waqaf dari para ulama’ dan ilmuwan.

Menurut Y. Eche, terdapat enam kata yang merupakan ter-minologi perpustakaan. Tiga kata menunjuk pada lokasi atau tempat, yaitu bait (rumah atau kamar), khizanah (kamar untuk belajar) dan dar (rumah). Sedangkan tiga kata merujuk pada se-buah muatan, yaitu hikmah (kebijaksanaan), ‘ilmu (pengetahuan) dan kutub (buku). Eche mengkombinasikan kata-kata tersebut dan membentuk tujuh term perpustakaan, yaitu Bait al-hikmah, Dar

Hikmah, Dar‘Ilmi, Dar Kutub, Khizanat Kutub dan Bait al-Kutub.24

Pada perkembangannya, perpustakaan memegang peran penting dalam menyukseskan tugas-tugas lembaga pendidikan Islam, karena dapat membantu berlangsungnya terus pelajaran, prestasi, penelitian perorangan dan memudahkan orang dalam memperoleh pendidikan.

7. Rumah-rumah Ulama’

Rumah bukan tempat belajar yang baik, karena selain kurang layak dan kurang kondusif, pembelajaran di rumah juga akan mengganggu pemiliknya. Akan tetapi, karena adanya faktor-faktor tertentu, maka rumah dapat digunakan sebagai tempat untuk menggali ilmu pengetahuan. Di antara rumah-rumah para ulama’ yang dijadikan sebagai tempat kegiatan pembelajaran adalah rumah Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ya’kub Ibnu Khillis.

Menurut Ahmad Syalabi, rumah-rumah tersebut digunakan sebagai tempat belajar dikarenakan adanya beberapa faktor, di antaranya karena sang guru tidak lagi megajar di madrasah, maka para pelajar tersebut mendatangi rumah para ulama’ tersebut guna mendapatkan ilmu pengetahuan kepadanya.25

24 Makdisi, The Rise of Colleges, 24-25.

25 Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Hadharah al-Islamiyyah al-Tarbiyah wa al-Ta’lim

(10)

8. Badiyah

Pada saat Islam mulai tersebar luas ke berbagai negara, bahasa Arab menjadi bahasa pengantar utama oleh bangsa-bangsa non-Arab yang beragama Islam. Seiring meluasnya bahasa non-Arab ke berbagai negara, justru menjadi penyebab hilangnya keaslian dan kemurniannya. Hal ini disebabkan karena orang-orang asing tidak bisa mengucapkan lafadz-lafadz Arab dengan fasih dan tidak mengetahui kaidah-kaidahnya dengan baik. Dengan demikian bahasa menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran.26

Berbeda dengan kondisi bahasa Arab di kota, bahasa Arab di

badiyah-badiyah atau dusun-dusun jazirah Arab masih tetap

mem-pertahankan keaslian dan kefasihan bahasa dengan mempertahan-kan kaidah-kaidah bahasanya. Dengan demikian, badiyah tersebut menjadi tempat sumber asli bahasa Arab.27 Oleh karena itu, para khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiyah-badiyah

tersebut untuk mempelajari bahasa Arab yang menjadi sumber pe-ngetahuan yang dispesialisasikan pada bidang bahasa dan sastra.

9. Rumah Sakit

Pada jaman kejayaan budaya Islam, banyak didirikan rumah sakit oleh para khalifah dan pembesar negara. Rumah sakit yang juga disebut sebagai maristan bukan hanya sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang sakit, tetapi juga berfungsi untuk mendidik tenaga-tenaga ahli di bidang keperawatan dan peng-obatan. Di antara guru-guru ahli bidang pengobatan adalah Ibrahim Ibnu Baks, yang mengajar di rumah sakit Adudi yang dibangun oleh dinasti Buwaihi. Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, yang menjadi pemimpin maristan di Baghdad pada masa khalifah al-Muktafa tahun 311 H dan Zahid al-Ulama’ yang membangun rumah sakit di Maisyafaraqin, juga menjadikannnya sebagai sekolah keperawatan dan pengobatan.28

Setiap rumah sakit juga memiliki perpustakaan berisi buku-buku kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Perpustakaan ini disedia-kan untuk keperluan para dokter yang menjadi mahasiswa saja.

26 Ibid, 100. 27 Ibid, 103.

(11)

Diberitakan bahwa di perpustakaan rumah sakit Ibnu Tulun di Kairo terdapat 100.000 judul buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.29 Selain perpustakaan, di sana juga didirikan tempat

khusus untuk memasak makanan, minuman dan obat-obatan serta tempat khusus bagi dokter kepala yang dipergunakan untuk memberi mata pelajaran kedokteran.30

10. Majlis

Yang dimaksud dengan majlis atau saloon kesusastraan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai masalah ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun sosial. Majelis saloon ini mengalami kemajuan pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Harun al-Rasyid. Hal ini dikarenakan

khalifah sendiri memiliki kecerdasan, senang dan ahli dalam ilmu

pengetahuan. Sehingga khalifah sendiri aktif di dalamnya. Saloon juga digunakan sebagai tempat untuk berdiskusi berbagai obyek, khususnya bidang agama, teologi, skolastik, filsafat retorika, tata bahasa dan puisi. Pada masa khalifah al-Makmun pernah diadakan debat antara filosof dan kaum Skolastik Aristetolian dan anti-Aris-totelian yang memperdebatkan tentang konflik waktu itu.31 11. Zawiyah

Kata zawiyah berarti sudut masjid, berasal dari inzawa yanzawi, yang berarti mengambil tempat tertentu atau sudut tertentu dari sudut-sudut masjid untuk menjalankan i’tikaf dan mensyiarkan urusan agama.32 Kemudian pemahaman zawiyah berkembang

men-jadi tempat kursus yang digunakan oleh para khalifah untuk meme-nuhi tuntutan kebutuhan orang-orang yang ingin mencari ilmu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.33 Pengertian zawiyah

juga sering dikatakan sebagai asrama atau pondok tempat beberapa tarekat tasawuf dikembangkan, seperti tarekat Qadiriyah, al-Tijaniyah, al-Sanusiah dan lain-lain.34

29 Mustafa al-Siba’i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, ter. Nabhan Husein (Jakarta:

Media Dakwah, 1986), 247.

30 Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 267.

31 Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education, 48.

32 Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, ter. H.M. Arifin (Jakarta: Rineka

Cipta, 1994), 33.

33 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 65.

(12)

Selain itu, zawiyah terkadang juga didirikan untuk seorang

syaikh terkenal yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan

dan mengasingkan diri untuk beribadah. Salah satu contohnya adalah zawiyah yang diperuntukkan Imam al-Ghazali yang pernah mengajar hukum Islam (Fiqih Syafi’iyah) di madrasah Nidzamiyah Baghdad. Meskipun pendirian zawiyah dipengaruhi oleh fanatisme madzhab, namun tidak mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam saat itu.

C. Organisasi Kurikulum

Organisasi kurikulum yang diterapkan saat itu tidak lepas dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Kurikulum diterapkan guna mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Mahmud Yunus merumuskan tujuan pendidikan Islam saat itu menjadi tiga, yaitu (1) tujuan keagamaan dan akhlak, yang dirumuskan guna meneruskan tujuan pendidikan Islam yang telah diterapkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan agar umat Islam paham dengan agamanya dan berakhlak sesuai dengan agamanya, mengingat akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Men-capai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Akan tetapi tujuan ini bukan berarti bahwa umat Islam tidak mementingkan pendidikan jasmani atau ilmu yang lainnya,35 (2) tujuan kemasyarakatan, yang dirumuskan guna

mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu penge-tahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur, (3) cinta terhadap ilmu pengetahuan serta senang dan merakan kelezatan setelah mencapai suatu ilmu.36 Umat

Islam belajar karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan, se-hingga mereka memiliki ghirah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan.

Adapun metode pembelajaran pendidikan Islam secara umum dibagi menjadi tiga macam. Pertama adalah metode lisan, yang berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’)

35 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam ( Jakarta: Bulan

Bintang, 1970), 1.

36 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),

(13)

adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman, karena dengan imla’ ini murid memiliki catatan yang akan dapat membantunya belajar ketika lupa. Metode ini juga dianggap penting karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti pada masa sekarang ini sulit dimiliki. Metode ceramah disebut juga metode al-sama’, karena dalam metode ceramah ini guru menjelaskan isi buku dengan hapalan, sedangkan murid men-dengarnya. Sedangkan metode qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca.

Kedua adalah metode menghapal, yang merupakan ciri umum pendidikan saat itu. Murid harus membaca berulang-ulang pe-lajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada ingatan mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, bahwa seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai hapal.37 Dalam proses selanjutnya, murid akan

menge-luarkan kembali dan melakukan kontekstualisasi terhadap pe-lajaran yang dihapal sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan ataupun memunculkan sesuatu yang baru.

Ketiga adalah metode tulisan, yang dianggap sebagai metode paling penting pada saat itu. Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga penguasaan ilmu semakin meningkat. Metode ini di samping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan, juga sangat penting artinya bagi penggandaan buku teks, karena saat itu belum ada mesin cetak.38

Sedangkan organisasi kurikulum yang diterapkan saat itu bervariasi sesuai dengan kondisi lembaga pendidikan yang ada, di antaranya adalah:

1) Lembaga Pendidikan Rendah atau Dasar

Yang termasuk dalam lembaga pendidikan rendah atau dasar ini adalah kuttab, pendidikan rendah di istana, toko dan lain sebagainya. Pada lembaga pendidikan dasar ini, guru mengajar muridnya seorang demi seorang. Sistem pembelajaran masih

37 Makdisi, The Rise of Colleges, 104.

(14)

bersifat klasikal. Fasilitas yang ada juga belum begitu memadai. Pembelajaran belum memakai bangku, meja dan papan tulis. Dalam proses belajar mengajar fasilitas yang digunakan hanya batu tulis dan kertas. Mereka duduk bersila berkeliling (halaqah) menghadap ke guru.

Secara umum, rencana pengajaran dalam pendidikan Islam adalah membaca al-Qur’an dan menghapalnya, pokok-pokok ajaran Islam (ushuluddin), menulis, kisah orang-orang besar Is-lam, membaca dan menghapal syair, berhitung, pokok-pokok ilmu

nahwu dan sharaf yang diajarkan sekedarnya.39

Materi pendidikan dasar di atas selaras dengan falsafah masya-rakat yang hidup di dalamnya. Mereka memiliki tujuan untuk mewujudkan, yaitu: pertama, persiapan untuk kehidupan di akhirat, dengan cara mendidik anak-anak untuk mentaati perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya serta senantiasa bersyukur kepada-Nya. Kedua, memungkinkan anak untuk mengetahui kelompok-kelompok ilmu dan keahlian-keahlian yang akan membantu mereka dalam mencapai keberhasilan dalam hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.40

Meskipun demikian, rencana pengajaran itu tidak sama di seluruh negara Islam karena masing-masing daerah terkadang berbeda. Menurut pendapat Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip oleh Hasan Abd ‘Al, di Maghribi (Maroko) hanya diajarkan al-Qur’an saja dan mengutamakan tulisannya. Di Andalusia Spanyol, diajarkan al-Qur’an, menulis dan syair, pokok-pokok nahwu dan

sharaf serta tulisan kaligrafi atau khat. Di Tunisia, diajarkan

al-Qur’an, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih memen-tingkan ilmu al-Qur’an.41

Lama belajar di kuttab juga tidak sama antara satu anak dengan yang lain. Semua itu tergantung kepada kecerdasan dan kemampuan masing-masing anak, karena sistem pengajaran waktu itu berbeda dengan sistem pengajaran saat ini. Sistem pengajaran yang dilaksanakan saat itu masih klasikal.

39 Ibid, 49.

40 Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 19.

41 Hasan ‘Abd al-‘Al, Al-Tarbiyah al-Islamiyah fil Qarn al-Rabi’ al-Hijriy (ttp: Dar

(15)

Adapun waktu belajar sudah diatur sedemikian rupa, yaitu dimulai pada pagi hari Sabtu dan selesai pada Ashar hari Kamis, sedangkan hari Jumat dan hari-hari besar Islam aktifitas belajar diliburkan, seperti hari raya Idul Fitri, hari tasyrik dan hari raya Idul Adha. Adapun pembagian mata pelajaran setiap harinya adalah pelajaran al-Qur’an dimulai pada pagi hari sampai waktu Dhuha, pelajaran menulis dimulai setelah setelah Dhuha sampai Dzuhur dan pelajaran ilmu yang lain, seperti nahwu, sharaf, ber-hitung, syair dan lain sebagainya, diajarkan mulai setelah Dzuhur sampai akhir siang.42 Seperti itulah daftar pelajaran pada

pen-didikan dasar setiap harinya. Meskipun penpen-didikannya berjalan secara sederhana dan memprioritaskan pendidikan agama sebagai dasar kehidupan, melalui pendidikan dasar ini telah melahirkan generasi muda yang ahli dalam bidangnya, juga tafaqquh fiddin.

Berbeda dengan pendidikan dasar lainnya, pendidikan dasar di istana dirancang oleh orang tua murid. Mereka merancang pem-belajaran yang disesuaikan dengan tujuan dan kondisi anaknya. Guru yang mengajar di istana disebut dengan muaddib, karena guru berfungsi untuk mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta pengetahuan orang-orang terdahulu.43

Pendidikan di istana tersebut, jika dianalogikan dengan kondisi pendidikan sekarang, pendidikan di rumah atau lebih dikenal dengan home schooling. Kurikulum dari home schooling tersebut sama dengan kurikulum pendidikan formal dan tenaga pengajarnya adalah guru yang sangat ahli di bidangnya. Terkadang kurikulum-nya juga disesuaikan dengan kehendak orang tua.

2) Lembaga Pendidikan Menengah

Salah satu lembaga yang tergolong dalam pendidikan me-nengah adalah pendidikan yang diselenggarakan di masjid. Rencana pembelajaran pendidikan tingkat menengah tidak sama di seluruh negara Islam, karena saat itu negara Islam telah me-nyebar di mana-mana. Secara umum, rencana pembelajaran pen-didikan tingkat menengah adalah al-Qur’an, bahasa dan sastra Arab, fiqih, tafsir, hadits, nahwu-sharaf-balaghah, ilmu-ilmu pasti,

42 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 50.

(16)

manthiq, falaq, tarikh atau sejarah, ilmu-ilmu alam, kedokteran, musik dan lain sebagainya.44

Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pen-didikan menengah ini tidak jauh berbeda dengan penpen-didikan di tingkat dasar, namun mata pelajaran yang diajarkan bertambah dari sebelumnya, sebagai lanjutan dari pendidikan dasar.

3) Lembaga Pendidikan Tinggi

Yang termasuk dalam pendidikan tinggi ini adalah pendidikan yang diselenggarakan di perpustakaan, seperti Baitul Hikmah dan

Darul Hikmah.45 Secara umum, perguruan tinggi itu terdiri dari

dua juruasan, yaitu (1) jurusan ilmu-ilmu agama, bahasa Arab dan kesusastraan. Ilmu ini dinamai Ibnu Khaldun sebagai ilmu

naqliyah. Ilmu-ilmu ini meliputi tafsir al-Qur’an, hadits, fiqih dan

usul fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, bahasa dan sastra Arab. Rencana pembelajaran tersebut dirancang pada saat umat Islam berpikir terutama dalam rangka mengenal Islam, memelihara dan menyebarkannya.46 Semua mata pelajaran tersebut diajarkan

kepada siswa, (2) jurusan ilmu-ilmu hikmah atau filsafat. Ilmu ini dinamai Ibnu Khaldun sebagai ilmu ‘aqliyah. Ilmu-ilmu ini yang diajarkan meliputi ilmu manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu falak, Ilahiyah (teologi), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan ilmu kedokteran.47

Kegiatan pembelajaran di jenjang pendidikan tinggi ini di-adakan dengan berkelompok-kelompok dan ber-halaqah, duduk mengelilingi guru. Guru duduk di atas tikar dan di hadapannya duduk siswa ber-halaqah. Sebelum guru menyampaikan materi, guru terlebih dahulu menyusun ta’liqah yang memuat silabus berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi siswa, hasil bacaan dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan.

Ta’liqah ini memuat rincian jumlah pelajaran dan dapat

disampai-kan dalam jangka empat tahun. Siswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte (imla’), bahkan kebanyakan mereka menyalin lang-sung, namun sebagian dari mereka menambahkan pada salinan

44 Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 55.

45 Ibid, 48.

46 Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, 166.

(17)

ta’liqah ini dengan pendapat sendiri, sehingga ta’liqah-nya

merupa-kan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaimerupa-kan guru-nya.48 Setelah itu guru memberikan pelajaran kepada semua siswa

yang hadir, sebagaimana guru memberikan pelajaran kepada semua siswa di hadapan kelas pada masa sekarang.49 Jika guru

telah selesai mengajarkan ilmunya, guru menandatangani naskah yang ditulis oleh pelajar. Dari naskah-naskah yang ditulis oleh pelajar itu lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak beribu-ribu naskah, sehingga menjadi kitab-kitab yang terkenal. Di antara kitab-kitab tersebut masih ada yang dalam bentuk tulisan tangan sampai sekarang, misalnya diktat al-Qali (‘amali al-Qali).

Dalam sistem halaqah yang diterapkan pada pendidikan tingkat tinggi, pelajar diperbolehkan bertanya tentang sesuatu yang belum diketahuinya. Selain itu, ijasah yang diberikan itu tidak diberikan oleh sekolah, melainkan oleh guru sendiri. Para pelajar tidak memilih sekolah yang baik, akan tetapi memilih guru (syaikh) yang terkenal ‘alim dan shalih. Mereka bebas memilih guru itu. Jika pengajaran seorang guru tidak memuaskan, murid boleh pindah ke halaqah guru yang lain.50

Selain kegiatan pembelajaran dengan halaqah, di pendidikan tinggi seperti perpustakaan juga terdapat kegiatan keilmuan lain, misalnya penerjemahan buku-buku asing. Para ulama’ saat itu memiliki ghirah yang sangat tinggi untuk mendalami ilmu penge-tahuan melalui kegiatan penerjemahan ini Pemerintahan mem-berikan dukungan sepenuhnya. Sebagai bentuk apresiasi pada kegiatan tersebut, pemerintah memberikan penghargaan yang besar atas usaha penerjemahan mereka, sehingga mereka termoti-vasi untuk mendalami ilmu pengetahuan lebih jauh lagi. Saat itulah pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan. Karya-karya umat Islam banyak diadopsi oleh bangsa-bangsa Barat.

Namun tidak demikian dengan kondisi sekarang. Umat Is-lam banyak mengambil ilmu pengetahuan dari Barat. Oleh karena itu tidak mengherankan lagi jika banyak ulama’ yang mengadakan pembaharuan dengan mengambil contoh dari Barat. Mereka

48 Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 54.

49 Ibid, 59. 50 Ibid, 60-61.

(18)

merasa bahwa kemajuan yang ada di Barat sekarang ini tidak lain adalah kontribusi Islam pada masa kejayaan.

Penutup

Perkembangan lembaga pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah sangat pesat dan beragam. Masing-masing lembaga tersebut memiliki karakter tersendiri. Metode yang diterapkan pada umumnya ada tiga macam, yaitu melalui lisan, hapalan dan tulisan. Sistem pembelajarannya masih bersifat klasikal. Kuri-kulum yang diterapkan sangat variatif sesuai dengan tingkat lembaga pendidikannya.

Dalam lembaga pendidikan tingkat dasar, kurikulum yang diutamakan adalah al-Qur’an, membaca dan menulis. Kegiatan pembelajarannya cukup sederhana dan signifikan. Sementara pendidikan dasar yang diadakan di istana, kurikulumnya bisa dirancang sesuai dengan kehendak orang tuanya. Kurikulum pendidikan menengah dirancang untuk melanjutkan pendidikan dasar yang telah ada. Kegiatan pembelajarannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan dasar, hanya muatan kurikulumnya yang sedikit berbeda karena lebih banyak dibanding sebelumnya. Pada lembaga pendidikan tinggi, muatan kurikulumnya tidak hanya mengacu kepada pendidikan agama saja, tetapi juga memuat pendidikan umum atau non-agama. Pada tingkatan ini, semua bidang ilmu tersebut dipelajari sebagai mata kuliah penunjang, dan hanya ada satu bidang pendidikan konsentrasi yang fokus ditekuni atau harus dikuasai selama proses pembelajaran. Kegiatan pembelajarannya berlangsung dengan menggunakan sistem

halaqah dan pemberian ijasah langsung diberikan guru (syaikh)

kepada murid dan bukan dari sekolah.

Sistem pendidikan tersebut bisa diterapkan pada lembaga pendidikan Islam pada masa sekarang, tentu saja dengan memilah, memilih dan melihat kesesuaian bidang pendidikan yang dipelajari terlebih dahulu serta menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Dengan begitu, pendidikan Islam diharapkan dapat bangkit dari keterpurukannya, memberikan kontribusi positif bagi kejayaan Islam dengan melahirkan generasi penerus muslim yang ber-mutu.*

(19)

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-‘Al, Hasan. Al-Tarbiyah al-Islamiyah fil Qarn al-Rabi’ al-Hijriy. ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.

al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Amin, M. Masyhur. Dinamika Islam. Yogyakarta: LKPSM, 1995. Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999. Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan Press,

1974.

http:/www.waspada.co.id/serba=waspada/mimbar_jum’at/ artikel.php?article_id=80719 (Maret, 2007).

http://www.almihrab.com/berita.php?opo=detail&kd_berita= 107&head=tarih&menux=2 (Maret, 2007).

Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Gaya Media, 1999.

al-Jumbulati, Ali. Perbandingan Pendidikan Islam, ter. H.M. Arifin. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987.

Makdisi, George. The Rise of Colleges. Edinburgh : Edinburgh Uni-versity Press, tt.

Mursi, M. Munir. Al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: ‘Alim al-Kutub, 1977.

Nakosten, Mehdi. History of Islamic Origins of Western Education. Colorado: University of Colorado, 1964.

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

al-Siba’i, Mustafa. Kebangkitan Kebudayaan Islam, ter. Nabhan Husein. Jakarta: Media Dakwah, 1986.

Soetopo, Herdyat dan Wasti Soemanto. Pembinaan dan

Pengem-bangan Kurikulum. Jakarta : Bina Aksara, 1986.

Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi dalam Islam, ter. H. Afandi. Jakarta: Logos, 1994.

(20)

Suwito dkk. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana, 2005. al-Syaibany, Omar M. al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta

: Bulan Bintang, 1979.

Syalabi, Ahmad. Mausu’ah al-Hadharah al-Islamiyyah al-Tarbiyah

wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islamiy. Kairo: Maktabah Nahdhah

al-Mishriyah, 1987.

Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi. Dasar-dasar

Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Bina Aksara, 1998.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik sarang dan pendugaan populasi orangutan di Cagar Alam Sipirok, Sumatera UtaraI. Penelitian dilakukan

Sistem operasi cooling tower berdasarkan pada penguapan dan perubahan panas sensibel, dimana campuran dua fluida pada temperatur yang berbeda (air dan udara) akan

Aktifitas proses bisnis (lihat Gambar 2)dimulai dengan login oleh asisten dimana asisten bertanggung jawab atas manajemen data diantaranya mengupload modul, tugas serta

Kedudukan PPAT selaku pejabat umum dalam proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah yaitu dapat dikatakan sebagai pejabat perantara kepentingan antara pemegang

Penelitian dengan metode kualitatif ini menemukan bahwa: (1) politik ekonomi air sangat dinamis melibatkan beragam aktor lokal, nasional, global dengan kepentingan dan ideologi

Negara Indonesia telah menjamin hak-hak anak dalam Undang- Undang Dasar 1945, pasal 28B ayat 2, berbunyi; “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

Ditemukan sebanyak 600 kasus tentang penyalahgunaan Dana Desa disebabkan kurangnya pengawasan dalam pengelolaan keuangan desa baik pengawasan dari Desa maupun dari

1 Penyediaan Jasa Kantor Penyediaan jasa surat menyurat, jasa kebersihan kantor, alat tulis kantor, barang cetakan dan penggandaan, komponen instalasi listrik,