• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN LIKUIDATOR SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 148 AYAT (2)

UU PT

3.1. Kerugian Dalam Hukum

Menurut Wirdjono Prodjodikoro kerugian harus diartikan dalam arti yang luas yaitu tidak hanya mengenai harta kekayaan saja melainkan juga mengenai kepentingan-kepentingan lain dari seorang manusia, yaitu tubuh, jiwa dan kehormatan seseorang.13

Dalam hukum dikenal 2 (dua) klasifikasi kerugian :14

a. Kerugian materil : yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita Oleh pemohon

b. Kerugian Immateril : yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan Diterima oleh pemohon di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon dikemudian hari.

13 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Vorkink-Von Hoeve.Bandung h.20-21 14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia

(2)

Secara historis, hukum yang mengatur mengenai ganti rugi perdata sudah dikenal sejak zaman Romawi, dapat dilihat dalam Lex Aquilia pada chapter pertamanya. Pasal 1365 BW menentukan kewajiban membayar ganti rugi bagi pelaku Perbuatan Melanggar Hukum namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada perbedaan pengertian kerugian karena perbuatan melanggar hokum dengan kerugian karena wanprestasi.

Rosa Agustina melihat bahwa kerugian dalam pasal 1365 BW dinamakan sebagai

“schade” (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 BW

dinamakan “kosten, scaden, en interesten” (biaya, kerugian, dan bunga).

Menurut Rosa Agustina di dalam undang-undang tidak diatur tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melanggar hukum, sedang dalam Pasal 580 ke-7

Reglement Burgerlijk Rechtvordering juga memakai istilah “kosten, scade en interesten” untuk menyebutkan kerugian sebagai akibat Perbuatan Melanggar Hukum

(pidana). Maka dapat dianggap bahwa pembuat B.W. sebetulnya tidak membedakan kerugian akibat Perbuatan Melanggar Hukum dan kerugian akibat wanprestasi. Keduanya meliputi juga ketiadaan penerimaan suatu keuntungan, yang mula-mula diharapkan oleh korban sebagaimana diatur dalam Pasal 1246 BW.

Kerugian yang diatur dalam pasal 1247 dan 1250 BW tidak dapat diterapkan untuk Perbuatan Melanggar Hukum karena:

(3)

a. Pasal 1247 BW mengenai “perbuatan perikatan” yang berarti bahwa perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedang Perbuatan Melanggar Hukum tidaklah merupakan perikatan yang lahir dari persetujuan;

b. Pasal 1250 BW membebankan pembayaran bunga atas penggantian biaya, rugi,

dan bunga dalam hal terjadi kelambatan pembayaran sejumlah uang, sedang yang dialami karena perbuatan melanggar hukum bukan disebabkan karena tidak dilakukannya pembayaran uang tepat pada waktunya.

Kerugian akibat dari suatu perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugian kekayaan (vermogensschade) atau kerugian yang bersifat idiil. Perbuatan Melanggar Hukum selain dapat mengakibatkan kerugian uang, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moral atau idiil.

Dalam arrest Hoge Raad dalam kasus W.P. Kreuningen vs. Van Bessum cs. belumlah memutuskan bahwa pelaku Perbuatan Melanggar Hukum pada umumnya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. diwajibkan mengganti kerugian idiil. Maka konsekuensi dari arrest tersebut menurut Rutten ialah bahwa dalam menerapkan Pasal 1365 KUHPerdt. juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil dengan catatan akan diperhitungkan ex aequo et bono (menurut kelayakan dan kewajaran).

Menurut ketentuan Pasal 1246 KUHPerdt. kerugian yang disebabkan karena tidak dipenuhinya perikatan pada umumnya harus diganti dengan kerugian yang dialami oleh penderita dan juga dengan keuntungan yang sekiranya dapat diharapkannya (gederfdewinst). Maka itu dianut pendapat bahwa pelaku Perbuatan Melanggar Hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya, maupun

(4)

keuntungan yang dapat diharapkan diterima. Mengenai penggantian atas keuntungan yang sekiranya dapat diharapkan diterimanya tidaklah semudah diperkirakan untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut. Besarnya ganti kerugian ditetapkan dengan penafsiran di mana diusahakan agar si penderita sebanyak mungkin dikembalikan pada keadaan sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum. 15

3.2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga

Terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karena kelalaian Likuidator, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum berdasar pasal 1365 BW, karena perikatan yang lahir dari undang-undang bukanlah perikatan yang lahir dari suatu persetujuan sehingga pasal 1247 BW tidak dapat berlaku seperti telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya.

Perbuatan Melanggar Hukum diatur dalam pasal 1365 BW – 1380 BW. Dalam pasal 1365 BW yang berbunyi :

“Setiap Perbuatan Melanggar Hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”

Berdasarkan pasal ini, diatur bahwa dalam hal seseorang melakukan suatu Perbuatan Melanggar Hukum maka dia wajib membayar ganti rugi atas perbuatannya.

15

(5)

Perbuatan Melanggar Hukum pada awalnya mengandung arti sempit yang sama artinya dengan perbuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Semenjak adanya putusan hoge raad dalam kasus cohen vs Lindenbaum. Sejak putusan ini hoge raad mulai menafsirkan Perbuatan Melanggar Hukum secara luas. Perbuatan Melanggar Hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku , melanggar hak subyektif orang lain perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila, dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat.

Menurut R.Wirjono Projodikoro dalam bukunya yang berjudul “perbuatan melanggar hukum”, perkataan “perbuatan” dalam rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar hukum” dapat diartikan positif melainkan juga negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja dapat dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu bertindak.

Menurut Munir Fuady unsur-unsur dari suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu:

1. Adanya suatu perbuatan;

2. Perbuatan tersebut melanggar hukum; 3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku; 4. Adanya kerugian bagi korban;

(6)

Penjelasan dari unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:16 1. Adanya Suatu Perbuatan

Suatu Perbuatan Melanggar Hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap Perbuatan Melanggar Hukum tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan”sebagaimana yang terdapat dalam kontrak”.

2. Perbuatan Tersebut Melanggar Hukum

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melanggar hukum. Sejak tahun 1919, unsur melanggar hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;

b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku; c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden);

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid,

welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of goed)

3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Agar dapat dikenakan Pasal 1365 BW. tentang Perbuatan Melanggar Hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksan akan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 BW. Pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melanggar hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Ada unsur kesengajaan;

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

Terdapat tiga aliran terhadap persyaratan unsur “kesalahan” di samping unsur “melanggar hukum” dalam suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu

a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melanggar hukum saja;

(7)

Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melanggar hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melanggar hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Oven.

b. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja; Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur Perbuatan Melanggar Hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melanggar hukum” terhadap suatu perbuatan melanggar hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Goudever.

c. Aliran yang menyatakan diperlukan baik unsur melanggar hukum maupun unsur kesalahan. Aliran ini mengajarkan bahwa suatu Perbuatan Melanggar Hukum mesti mensyaratkan unsur melanggar hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melanggar hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Meyers.

4. Adanya Kerugian Bagi Korban

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 BW. dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena Perbuatan Melanggar Hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.

5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melanggar hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu (a) teori hubungan faktual dan (b) teori penyebab kira-kira.

a. Teori Hubungan Faktual

Hubungan sebab akibat secara factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang mengakibatkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “sine qua non”. Von Buri merupakan salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.

b. Teori Penyebab Kira-Kira

Teori ini bertujuan agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep proximate

cause atau sebab kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling

membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis

(8)

ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

3.3. Tinjauan Yuridis Pasal 148 UU PT

Berdasar pasal 148 ayat (1) yang berbunyi “dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 147 berlum dilakukan, pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga.”, dari rumusan pasal ini menjadi pertanyaan siapakah pihak ketiga ini? Berdasar pasal 142 ayat (2) huruf b UU PT diatur bahwa Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali dalam rangka likuidasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa PT yang sudah “dalam likuidasi” tidak mungkin memiliki hubungan hukum baru kecuali dalam hal Likuidasi. Apabila menghubungkan pasal 142 ayat (2) huruf b dengan pasal 148 ayat (1) jo pasal 147 UU PT maka pihak ketiga yang belum diberitahukan adalah kreditor dan Menkumham dan kreditor tersebut adalah kreditor yang sudah memiliki hubungan hukum dengan PT sebelum pembubaran. Menjadi penting untuk dipahami bahwa pihak ketiga merupakan pihak lain diluar likuidator dan PT sehingga tafsir pasal ini adalah pembubaran hanya tidak berlaku bagi pihak diluar PT tetapi secara “intern” PT, pembubaran tetap berlaku beserta segala dampak hukumnya mengenai status PT “dalam likuidasi” seperti wewenang perwakilan PT “dalam likuidasi” telah beralih dari direksi kepada Likuidator.

Berdasar pasal 148 ayat (2) UU PT yang berbunyi “Dalam hal likuidator lalai

(9)

tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga. ”

Seperti yang dijabarkan dalam sub-bab I, bahwa terdapat 2 (dua) jenis kerugian yaitu materiil dan immateriil serta terdapat 2 (dua) upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kerugian, yaitu wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.

Apabila dilihat dalam rumusan pasal 148 ayat (2) UU PT penyebab kerugian pihak ketiga adalah karena likuidator lalai dalam melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (1) yang kemudian merujuk pasal 147 UU PT. Menjadi penting untuk diperhatikan adalah apakah lalai dapat digugat wanprestasi ataukah PMH.

3.3.1. Kewajiban Likuidator Sebagai Perikatan yang Lahir Karena Undang-undang

Berdasar pasal 1233 BW yang berbunyi “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena persetujuan, baik karena undang-undang ” diatur bahwa perikatan bersumber

dari undang-undang dan perjanjian.

Berdasar pasal 1352 BW yang berbunyi “perikatan-perikatan yang dilahirkan

demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang” maka perikatan yang bersumber dari

undang-undang dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perikatan yang timbul dari undang-undang-undang-undang saja dan perikatan yang timbul dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Berdasarkan pasal 1353 BW yang berbunyi “perikatan-perikatan yang

(10)

dilahirkan dari undang-undnag sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.

Berdasar pasal 148 ayat (2) UU PT diatur bahwa “dalam hal likuidator lalai

melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)” dan dalam pasal

148 ayat (1) dinyataan bahwa “Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan

Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga.” Dan dalam pasal 147 UU PT dinyatakan

sebagai berikut :

“(1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:

a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan

b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.

(2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat:

a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat likuidator;”

Berdasarkan pasal 147 UU PT tersebut dapat dilihat bahwa kewajiban-kewajiban Likuidator untuk memberitahukan pembubaran PT kepada kreditor dan Menkumham merupakan kewajiban yang dilimpahkan oleh undang-undang dan tidak dapat dirubah oleh kesepakatan Likuidator, sehingga a contrarionya adalah kewajiban-kewajiban likuidator tersebut merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang saja.

(11)

3.3.2. Kelalaian Likuidator Dalam Pasal 148 ayat (2) UU PT Sebagai Perbuatan Melanggar Hukum

Kewajiban pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) UU PT sebenarnya merujuk pada kewajiban likuidator yang dimaksud dalam pasal 147 UU PT dan pasal 148 ayat (2) mengatur dalam hal likuidator melakukan kewajibannya yang disebutkan dalam pasal 147 UU PT.

Kelalaian likuidator yang dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) UU PT hanya dapat melalui upaya hukum Perbuatan Melanggar Hukum karena kewajiban likuidator yang dilalaikan dalam pasal 148 ayat (2) merupakan kewajiban yang dibebankan oleh UU yaitu pasal 147 UU PT, sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab “Kewajiban Likuidator Sebagai Perikatan yang Lahir Karena Undang-undang”. Kelalaian Likuidator sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) tidak dapat diupayakan wanprestasi karena sesuai doktrin wanprestasi didasarkan pada hubungan kontraktual yang dituangkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tertulis.

Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian, haruslah memenuhi unsur pokok sebagai berikut :17

1. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan;

2. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care); 3. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut; 4. Adanya kerugian bagi orang lain;

17

(12)

5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

Persyaratan (unsur) pokok terhadap kelalaian tersebut sejalan dengan persyaratan yang diberikan oleh pasal 1365 KUH Perdata untuk suatu perbuatan melanggar hukum.18

Apabila dianalisa dalam kasus pasal 148 ayat (2) UU PT unsur-unsur kelalaian tersebut maka:

1. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan: 2. Dalam hal ini likuidator mengabaikan kewajiban yang diamatkan oleh pasal

147 UU PT.

3. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care):

Dalam pasal 142 ayat (6) disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai

pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi likuidator. ”. Berdasar pasal 92 ayat (1) UU PT

“direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan

sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.”

Berdasarkan pasal 97 ayat (2) jo pasal 97 ayat (1) direksi wajib mengurus Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, Sehingga berdasar pasal 142 ayat (6) UU PT likuidator wajib menjalankan proses likuidasi dengan itikad baik dan penuh hati-hati.

18

(13)

4. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut:

Kondisi apabila likuidator melakukan kelalaianlah yang diatur oleh pasal 148 ayat (2).

5. Adanya kerugian bagi orang lain:

Dalam pasal 148 ayat (2) kelalaian yang dilakukan oleh likuidator mengakibatkan kerugian pihak ketiga. Pihak ketiga ini menurut penulis adalah

stakeholders. Rudhi Prasetya berpendapat bahwa “menurut pandangan yang mutakhir tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi perseroan itu berpengaruh banyak untuk kepentingan dan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Eksistensi perseroan berpengaruh terhadap kehidupan para karyawannya, para suppliernya, para rekanan-rekanan usahanya, dan masyarakat sekitarnya, pendek kata para “stakeholdersnya”. Kerugian dalam BW terdiri

dari 2 yaitu : kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh (pasal 1246 BW) , hal ini membuka peluang para

stakeholders yang merasa dirugikan oleh kelalaian likuidator untuk

mengajukan gugatan PMH.

6. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul:

(14)

Dalam bukunya Munir Fuady berpendapat bahwa “untuk hubungan sebab ada 2 (dua) macam teori yaitu teori hubungan factual dan teori penyebab kira-kira.19

3.3.3. Tanggung Jawab Perseroan

Perseroan adalah badan hukum yang merupakan subjek hukum tersendiri dalam lalu lintas hukum, hal ini ditegaskan dalam putusan MA no.047 K/Pdt/1988 dalam putusan tersebut seorang Direktur Perseroan tidak dapat dituntut secara perdata atas perjanjian yang dibuat untuk dan atas nama PT. Menurut Yahya Harahap untuk pertanggung jawaban kontraktual PT, dalam diri Perseroan selaku subyek hukum independen yang terpisah dari pemegang saham dan pengurus melekat tanggung jawab kontraktual atas perjanjian yang dibuat untuk dan atas nama PT. Berdasarkan pasal 1338 jo 1320 BW maka perjanjian itu mengikat para pihak selayaknya Undang-undang . Sehingga a contrarionya adalah perjanjian yang dibuat untukdan atas nama PT mengikat PT tersebut selayaknya undang-undnag, sehingga berdasarkan pasal 1243 BW jo 1267 BW apabila PT wanprestasi maka PT dapat dituntut untuk membayar biaya,ganti kerugian, dan bunga.

Menurut Yahya Harahap tanggung jawab PT dalam Perbuatan Melanggar Hukum wajib dilihat dari titik tolak teori badan hukum yang dianut. Apabila menganut teori fiksi dari Von savigny yang berpendapat bahwa PT merupakan badan ukum yang tidak memiliki tubuh sendiri sehingga tidak mungkin PT melakukan

19

(15)

kesalahan apalagi merugikan orang lain. Salah satu unsur 1365 BW adalah kesalahan yang dilakukan karena sengaja atau kelalaian sehingga PT tidak dapat dituntut PMH. Tetapi pandangan tersebut telah lama ditinggalkan dan dikesampingkan oleh “teori organ” yang diajarkan oleh Von Gierke. Teori ini berpendapat bahwa di samping Perseroan tersebut terdapat orang yang terdiri dari pemegang saham dan pengurus. Orang itu merupakan orang sesungguhnya yang cakap hukum. Kehendak PT dibentuk dari pikiran anggotanya sehingga saat membentuk kehendak anggota tersebut bertindak sebagai organ PT. Maka kehendak yang dimaksud PT merupakan kehendak Perseroan tersebut sebagai badan hukum.20

Arrest Hoge Raad Belanda juga cenderung menganut teori organ. Menurut

Yahya Harahap, yang dimaksud organ PT adalah orang yang melakukan “fungsi” Perseroan yang menyebabkan orang-orang itu dianggap mempunyai “pengaruh” membentuk kehendak Perseroan. Oleh karena itu Apabila tindakan Perseroan dilakukan oleh orang yang mempunyai wewenang dan kapasitas untuk bertindak melakukan perbuatan hukum sesuai dengan fungsi yang diberikan kepadanya, dan ternyata tindakamnnya itu “salah” karena melanggar hukum atau hak orang lain, Perseroan dianggap memenuhi unsur”kesalahan” (schuld, Wrong ful) berdasar pasal 1365 BW. Walaupun secara umum, yang dianggap organ Perseroan menurut hukum adalah orang yang berkewajiban dan berwenang untuk “mewakili” Perseroan yang diatur dalam AD. Dalam UU PT berdasar pasal 1 angka 2 UU PT, organ yang penting dalam PT adalah Direksi, Dewan Komisaris, dan RUPS. Sehingga apabila

20

(16)

dihubungkan dengan teori organ maka apabila organ-organ tersebut telah melakukan suatu perbuatan hukum yang untuk dan atas nama PT dan perbuatan tersebut melanggar hukum atau hak orang lain maka PT dapat dituntut untuk bertanggung jawab PMH berdasar 1365 BW. 21

3.3.4. Tanggung Jawab Dalam Pasal 148 UU PT

Berdasarkan pasal 142 ayat (6) UU PT dimana pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan direksi mutatis mutandis berlaku terhadap likuidator maka dapat disimpulkan bahwa likuidator merupakan organ PT. Apabila dihubungkan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa perbuatan dalam kata perbuatan melanggar hukum tidak hanya berlaku “positif” tetapi juga “negatif”. Negatif berarti melingkupi orang yang hanya diam saja dapat dikatakan melanggar hukum. 22Berdasarkan teori organ, dan pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut maka dapat disimpulkan bahwa apabila Likuidator melakukan suatu perbuatan melanggar hukum maka terhadap PT dapat dituntut pertanggung jawaban bedasarkan pasal 1365 BW, baik perbuatan tersebut dalam arti positif maupun negatif. Dapat disimpulkan bahwa pertanggung jawaban terhadap tuntutan pihak ketiga merupakan tanggung jawab dari PT tetapi Likuidator memiliki tanggung jawab yang bersifat “internal” kepada PT berdasar pasal 97 ayat (3),(4),(5),(6) UU PT. Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa dalam

21 Yahya,. Ibid,.h.124. 22 Wirjono,Op.cit.,h.8

(17)

pasal 148 (2) UU PT diatur bahwa Perseroan bertanggung jawab secara renteng terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga. Tanggung renteng dalam hukum perdata tidak diatur banyak. Berdasar pasal 1282 BW diatur bahwa

“Tiada perikatan dianggap tanggung menanggung (tanggung renteng) melainkan,jika hal itu dinyatakan secara tegas, aturan ini hanya dikecualikan dalam hal-hal dimana suatu perikatan karena kekuatan suatu penetapan undang-undang dianggap tanggung menanggung.”

Dari rumusan pasal tersebut terlihat bahwa tanggung renteng merupakan suatu perikatan yang lahir karena suatu perjanjian atau ditetapkan dalam suatu undang-undang. Tanggung renteng dalam bahasa Inggris adalah joint and several liability, dalam Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa tanggung renteng adalah

“Liability of copromisors of the same performance when each of them individually has the duty of fully performing the application, and the oblige can sue all or any of them upon breach of performance. A liability is said to be joint and several when the kredtitor may demand payment or sue one or more of the parties to such liability separately, or all of them at his option…”

Tanggung renteng yang dimaksud dalam Black’s Law Dictionary ini sejalan dengan pasal 1278 BW. Dalam doktrin hokum perdata tanggung renteng dalam 1278 BW dan

Black’s Law dictionary ini dikenal sebagai Tanggung renteng aktif.

Selain tanggung renteng aktif dikenal tanggung renteng pasif yang diatur dalam pasal 1280 Bw yang berbunyi

(18)

“Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menangung dipihaknya orang orang yang berutang manakala mereka kesemuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama , sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan orang-orang yang berutang lainnya terhadap si berpiutang.”

Dari rumusan pasal 1278 BW dan pasal 1280 BW terlihat bahwa pihak yag terikat oleh tanggung renteng itu, dalam perikatan tanggung renteng aktif adalah si kreditor sedangkan dalam tanggung renteng pasif adalah si debitor.

Dari penjabaran konsep tanggung renteng diatas terlihat jelas bahwa konsep tanggung renteng dalam pasal 148 ayat (2) UU PT adalah konsep tanggung renteng pasif karena Likuidator dan Perseroan bertanggung renteng atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, sehingga terlihat posisi dari Likuidator dan Perseroan merupakan debitor dari Pihak ketiga yang dirugikan. Apabila dihubungkan dengan teori organ yang dianut dalam UU PT maka rumusan pasal tersebut menjadi tidak tepat karena untuk suatu kerugian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hokum yang dilakukan untuk dan atas nama PT dan perbuatan tersebut ternyata melanggar hokum oleh suatu organ PT, PT dapat dimintai pertanggungjawaban berdasar pasal 1365 BW.

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah telah berusaha melakukan upaya pemberantasan penyakit kecacingan dengan pemberian obat massal, promosi gaya hidup sehat dan sanitasi yang bersih.(Depkes

Alasan mengapa penulis memilih tayangan program Are You Smarter Than 5th Grade di Global TV sebagai bahan penelitian adalah sebagai acuan untuk mendapatkan data tentang opini

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Pb, Cu, Zn pada daging dan cangkang kerang hijau (P. viridis) berdasarkan ukurannya, mengetahui perbedaan

Zakaria Anwar dari sekretariat Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Lampung Selatan, pada tauggal 2 Juni 2013 bahwa di Kabupaten Lampung Selatan kecenderungannya juga

”Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek

Pada suatu perusahaan dengan tingkat harta lancar yang tinggi maka.. dengan mudah perusahaan dapat melakukan

Jangkauan terhadap Kantor Pertanahan Kota Semarang lebih mudah, karena pengguna jasa (PPAT) dapat melakukan pendaftaran dari masing-masing Kantor tanpa harus datang

McGlynn Versus Aveling: A Comparison of Translation Strategies Used in Sapardi Djoko Darmono’s Poems.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |