• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara alami sumberdaya ikan dapat pulih kembali (renewable), artinya apabila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Secara alami sumberdaya ikan dapat pulih kembali (renewable), artinya apabila"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Sumberdaya Ikan

Secara alami sumberdaya ikan dapat pulih kembali (renewable), artinya apabila sumberdaya tersebut diambil sebagian, maka sumberdaya yang tertinggal memiliki kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan jalan berkembang biak. Dengan sifat ini berarti pula bahwa stok atau populasi ikan tidak boleh dimanfaatkan secara sewenang- wenang tanpa memperhatikan struktur umur ikan maupun rasio kelamin dari populasi ikan, karena akan dapat berdampak pada rendah atau lambatnya kemampuan untuk memulihkan diri, yang pada akhirnya akan mengarah pada kepunahan.

Rosyidi, (2004) menyatakan bahwa dilihat dari sisi ekonomi, barang atau benda di dunia ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, barang-barang bebas (free goods) dan barang-barang ekonomi (economic goods). Barang-barang bebas adalah barang-barang yang tersedia berlimpah-limpah, dan setiap orang dapat memperolehnya dengan bebas dengan cara yang mudah. Contoh udara, air, sinar matahari. Kedua, barang-barang ekonomi adalah barang-barang yang ketersediannya jarang atau langka (scare). Berdasarkan pembagian barang tersebut, sumberdaya ikan termasuk kedalam barang ekonomi yang jumlahnya terbatas. Untuk memperoleh barang-barang ekonomi itu, orang terlebih dahulu berkorban dan atau berjuang. Sedikit sekali barang-barang yang memiliki sifat barang bebas. Hal inilah yang memaksa orang untuk tunduk kepada The Law of Scarcity (Hukum Kelangkaan), yang berbunyi : untuk mendapatkan barang yang langka, orang harus mengorbankan sesuatu lebih dahulu. Sumberdaya ikan tidak dapat begitu saja diambil dan kemudian digunakan, tetapi harus diperoleh dulu melalui suatu upaya atau pengorbanan.

(2)

Sumberdaya ikan dapat dikelompokan sebagai sumberdaya pertanian yang akan menghasilkan suatu produk bila diusahakan dengan menggunakan input produksi seperti tenaga manusia. Peningkatan jumlah penggunaan input produksi akan dapat meningkatkan hasil atau output yang pada suatu titik tertentu kenaikan output tambahannya akan senantiasa kian menjadi kurang. Ricardo (1814) yang diacu dalam Rosyidi (2004) menemukan hukum The Law of Diminishing Return yang berbunyi : Apabila input dari sesuatu sumber tertentu ditambah dengan pertambahan yang sama pada setiap satuan waktu tertentu sedangkan input-input lain tidak berubah jumlahnya, maka hasil totalnya pun senantiasa meningkat, tetapi sesudah suatu titik tertentu, kenaikan output tambahannya akan senantiasa kian menjadi berkurang.

Pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan kegiatan ekonomi yang dapat memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Rosyidi, (2004) menyatakan bahwa di dalam aktivitas perekonomian, pemerintah bertugas untuk mengatur, mengendalikan, serta mengadakan kontrol atas jalannya roda perekonomian, agar negara bisa maju serta rakyat dapat hidup dengan layak dan damai. Sejalan dengan itu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tidak cukup didasarkan pada bidang ilmu biologi saja, melainkan diperlukan pula penerapan ilmu ekonomi. Reksohadiprodjo, (1998) mengemukakan ilmu ekonomi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alokasi sumberdaya yang terbatas jumlahnya secara efesien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Ilmu ekonomi disebut juga ilmu memilih, dalam arti mempelajari tentang pilihan yang harus dibuat dari berbagai

(3)

alternatif tujuan yang bersaingan. Maksudnya jika suatu alternatif telah dipilih, berarti kita harus mengabaikan/mengorbankan alternatif lainnya. Dengan ilmu ekonomi kita berusaha untuk memilih alternatif yang paling baik bagi pecapaian tujuan. Mengapa kita harus mengadakan pilihan secara optimal adalah seperti disebutkan dalam definisi di atas, yaitu disebabkan terbatasnya jumlah sumber daya yang tersedia. Dengan terbatasnya sumberdaya ini tidak memungkinkan bagi kita untuk mencapai semua tujuan secara sekaligus, atau ada sebagian tujuan yang terpaksa dikorbankan.

Pertumbuhan ekonomi agregat sering diinterpretasikan sebagai kenaikan produksi nasional. Untuk itu kita perlu melihat faktor apa saja yang diperlukan bagi pertumbuhan. Hal ini bisa dilihat melalui fungsi produksi yang menunjukkan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah masukan (input), yang dituliskan :

Y = F (TK, K, N, E, T)

Fungsi di atas bisa diartikan output/produksi nasional (Y) selama suatu periode tergantung pada aliran masukan tenaga kerja (TK), kapital (K), sumberdaya alam (N), kewiraswataan/entrepreneurship (E) dan teknologi (T). Dari fungsi produksi di atas sumberdaya alam bersama-sama masukan lainnya menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa jika sumberdaya dilipatkan penggunannya maka pertumbuhan keluaran/hasil dapat pula ditingkatkan. Sumberdaya alam yang dimaksud di sini adalah segala macam sumberdaya yang sifatnya heterogen dan kompleks dan tentunya yang sudah berwujud sumberdaya siap pakai bukan yang masih tersimpan di alam (Reksohadiprodjo., 1998).

Selanjutnya Reksohadiprodjo. mengemukakan bahwa salah satu kelemahan dari pengelolaan sumberdaya alam di negara-negara sedang berkembang adalah usaha

(4)

mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi besar-besaran dari sumber daya alamnya tanpa memperhatikan akibat sampingan. Akibatnya mereka harus membayar mahal dengan semakin rusaknya lingkungan. Salah satu masalah yang harus dihadapi manusia adalah semakin tipisnya persediaan sumberdaya alam. Berarti jika sumberdaya terus dieksploitasi demi mengejar pertumbuhan dimungkinkan beberapa saat lagi pertumbuhan akan berhenti, karena habisnya pasok sumberdaya. Bagi mereka yang optimis, teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi modern dipercaya akan mampu menangani masalah semakin menipisnya sumberdaya sehingga kemajuan ekonomi dapat dicapai tanpa henti-hentinya. Pertumbuhan ekonomi tidak ada batasnya karena : (1) teknologi akan selalu menyediakan pengganti terhadap sumberdaya alam yang semakin langka; dan (2) kalau sumberdaya telah langka harganya akan tinggi, sehingga akan mengurangi permintaan dan penggunaannya akan berkurang, dan selanjutnya akan menimbulkan insentif untuk mencari pengganti.

Reksohadiprodjo, (1998) mengemukakan dalam pengelolaan sumberdaya alam terdapat isu-isu pokok yaitu :

(1) Sumberdaya alam terbatas ketersediaannya.

(2) Lokasi dari cadangan sumberdaya alam letaknya jauh dari yang memerlukan. (3) Adanya pergeseran para pengguna dari yang semula memakai sumberdaya alam

yang renewable menjadi semakin tergantung pada sumberdaya alam yang nonrenewable.

(4) Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak bijaksana/lestari dan berpandangan jangka pendek.

(5)

(5) Pengelolaan sumberdaya belum mempertimbangkan lingkungan. Kebanyakan analisis pertumbuhan ekonomi lebih menekankan pada faktor-faktor teknologi dan modal dan sedikit yang mengulas tentang peranan lingkungan.

(6) Semakin meningkatnya ketergantungan pada sumberdaya alam kelas rendah. Dengan habisnya bahan tambang berkadar tinggi, terpaksa menambang bahan berkadar randah. Bahkan letaknya semakin sulit dijangkau dan memerlukan energi yang lebih banyak bahkan ada mineral tertentu yang terpaksa diambil dengan energi 1.000 sampai 10.000 kali lebih banyak dibanding semula dimana bahan berkadar tinggi masih mudah didapatkan.

(7) Semakin terbatasnya kondisi lingkungan global, contohnya meningkatnya pencemaran laut dan terbentuknya racun yang menetap pada tanah.

(8) Peranan yang diberikan kepada pasar dan menentukan pengelolaan sumberdaya alam. Sejarah menunjukkan kekuatan pasar sangat berperan dalam menentukan kegiatan eksplorasi dan permintaan. Terbukti bahwa inovasi teknologi sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan harga. Pengaturan harga, aturan birokrasi, berbagai bentuk subsidi menghambat bekerjanya pasar dan menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam tidak optimal.

Reksohadiprodjo, (1998) menambahkan bahwa dalam hal pasok sumberdaya alam dibedakan istilah stock dan flow. Sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah, kualitas, tempat dan waktu tertentu disebut stock sumberdaya. Sedangkan flow merupakan komoditi sumberdaya alam yang dihasilkan dari stock. Stock menunjukkan apa yang diketahui tersedia untuk penggunaan sampai masa tertentu, sedangkan flow merupakan indikasi penggunaan saat ini. Jika stock akan berkurang jumlahnya sejumlah

(6)

yang digunakan oleh manusia, maka flow akan selalu berubah jumlahnya tergantung penggunaan. Pengetahuan tentang konsep stock sebenarnya akan sangat tergantung dari teknologi yang tersedia, tinjauan kelayakan ekonomis dan apakah secara kondisi sosial memang diinginkan seperti jelas tertera dalam pasal 33 UUD 1945. Terdapat satu macam sumberdaya alam yang disebut common property resources yaitu sumberdaya alam yang dimiliki bersama. Karena sifatnya yang menjadi milik bersama maka prinsip siapa cepat dia dapat, menjadi pedoman dari pemakai sumberdaya alam. Oleh karena itu sumberdaya alam akan cepat habis, kalaupun sumberdaya alam renewable bisa dipastikan kehancurannya akan mudah pula. Contoh yang paling menarik adalah penangkapan ikan. Kini bisa kita saksikan semakin menipisnya stock ikan binatang menyusui yang hidup di laut (khususnya ikan paus dan lumba-lumba). Karena ikan tidak ada yang memiliki, orang berlomba-lomba menangkapnya lebih dahulu sebelum didahului orang lain. Common property resources memerlukan manajemen khusus untuk menghindarkannya dari kehancuran yang terus berlangsung.

Widodo (2003) menjelaskan bahwa sumberdaya ikan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu pulih namun bukan tidak terbatas. Mereka dapat mengalami penipisan kelimpahan (abundance) bahkan kemusnahan (collapse) jika dibiarkan dalam keadaan nir-kelola. Kondisi sumberdaya ikan nir-kelola dapat dilihat secara grafik sebagai berikut.

(7)

Gambar 1. Fase Perkembangan Sumberdaya Ikan Nir-Kelola (Widodo, 2003) Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Gordon juga mengemukakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol.

Meski banyak sekali bentuk fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi yang sederhana dan sering digunakan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Gambar 2 memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity).

(8)

x 1/2K K F(x) 0 K t Xt r1 r2 0 (a) (b)

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik

Dari persamaan matematis dan gambar di atas terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ∂ ∂ 0 t χ ,

tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut juga Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) diperlihatkan bagaimana stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K) tergantung pada tingkat pertumbuhan intrinsik (r), semakin tinggi nilai r (r1 < r2), semakin cepat carrying capacity dicapai. Pertumbuhan intrinsik adalah pertumbuhan yang terdapat di dalam komuniti itu sendiri.

Kurva pertumbuhan ikan dibuat dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Model kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi (tangkap) ke dalam model. Untuk menangkap ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang biasa disebut sebagai upaya atau

r 1

r 2 k

(9)

effort. Meski banyak definisi mengenai pengukuran upaya ini, definisi umum yang bisa dipahami mengenai upaya adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, jaring, alat tangkap dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan. Fauzi, (2004) mengemukakan bahwa secara teoritis fungsi tersebut mungkin tidak realistis karena menunjukkan tidak adanya sifat kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing return) dari upaya yang merupakan sifat dari fungsi produksi. Implikasinya jika upaya mengalami penggandaan, produksi juga akan berganda. Demikian pula jika upaya ditingkatkan seribu kali lipat, produksi juga akan meningkat seribu kali lipat. Hal ini tentu saja tidak realistis karena dalam jangka pendek stok ikan terbatas, sehingga ada batasan maksimum dari produksi.

Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat memperlihatkan beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, dimana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2

(

h2 >h1

)

. Jika upaya terus dinaikkan, misalnya sebesar E3 (E3 > E2 > E1), akan terlihat

bahwa untuk tingkat upaya dimana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar.

Kurva produksi lestari yang dikenal dengan istilah Yield Effort Curve (Gambar 3) terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield. Karena sifat dari kurva Yield Effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus

(10)

setelah melewati titik tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik upaya maksimum (Emax).

Fauzi, (2004) mengemukakan bahwa dapat ditambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan faktor harga dan biaya. Untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain :

(1) Harga per satuan output (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

(2) Biaya per satuan upaya (C) dianggap konstan.

(3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species). (4) Struktur pasar bersifat kompetitif.

(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya).

(11)

Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, dan kurva Sustainable Yield-Effort (SYE), maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh kurva penerimaan (TR = ph). Demikian juga, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya diperoleh kurva total biaya (TC = cE) yang linier terhadap upaya. Kalau digabungkan, fungsi penerimaan dan biaya dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 4 dijelaskan pengelolaan perikanan dalan dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya EY2, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opurtunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh.

(12)

Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang disebut bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka.

Secara intuisi, keseimbangan bioekonomi dapat dijelaskan pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari Eχ (sebelah kiri dari E), biaya total melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan (Apollonio, 2002). Dengan demikian, hanya pada tingkat upaya keseimbangan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketidakadaannya hak kepemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak kepemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum (enforceable).

Keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh pada tingkat upaya di mana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum). Jika dibandingkan tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E0), akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai

(13)

keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal dan lain-lain) tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (too manny boat chasing too few fish). Hal ini terjadi kasena sifat akses yang terbuka, menjadikan stok sumberdaya akan dieksploitasi sampai titik yang terendah.

Mulyadi (2005) menuliskan bahwa masalah risiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi (open access). Wilayah yang pemanfaatannya tidak terbatas akan cenderung menimbulkan terjadinya eksploitasi berlebih. Individu yang memiliki akses terbaik dengan modal dan teknologi, cenderung memperoleh manfaat terbanyak dari tempat itu. Menghadapi kondisi seperti ini, masyarakat nelayan cenderung mengembangkan pola-pola adaptasi yang berbeda dan sering kali tidak dipahami oleh masyarakat di luar komunitasnya untuk menghadapi akibat banyaknya risiko dan kehidupan yang serba tidak menentu. Selanjutnya Mulyadi (2005) mengemukakan bahwa beberapa stok ikan di beberapa kawasan perairan sudah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) terjadi terutama dikarenakan pengelolaan pembangunan yang selama ini diterapkan kurang besar. Dengan kata lain, selama ini telah terjadi mis-management pada pembangunan nasional kita.

(14)

2.2 Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Sumberdaya ikan yang ada di perairan Teluk Lasongko perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar dapat dimanfaatkan secara optimum bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan secara optimum dalam arti bahwa pemanfaatan sumberdaya yang dapat memberikan kepuasan kepada generasi sekarang tanpa mengurangi kepuasan yang akan dinikmati generasi berikutnya. Nikijuluw (2002) memberikan ilustrasi tentang pentingnya mengelola sumberdaya ikan dengan memodifikasi pepatah tua dari negeri Cina yaitu : ”Berilah seseorang ikan,dia akan makan sampai kenyang pada hari ini. Ajari dia memancing, dia dapat makan ikan selama hidupnya. Namun, jika engkau ajari dia mengelola sumberdaya ikan dan memanfaatkannya dengan bijaksana, dia dan anak cucunya akan dapat makan ikan selama hidup mereka. Dari pepatah Cina ini dapat dikatakan bahwa sifat altruistic (memikirkan nasib generasi mendatang) suatu generasi adalah sangat penting. Jika suatu generasi hanya memikirkan nasibnya sendiri, generasi tersebut akan memaksimumkan manfaat yang dapat mereka peroleh dari sumberdaya. Namun, dengan sikap ini, sangat mungkin sumberdaya yang dimanfaatkan akan lenyap begitu generasi ini lenyap. Jika suatu generasi bersifat altruistik maka sumberdaya yang ada sekarang tidak akan dimanfaatkan pada tingkat yang maksimum, melainkan pada tingkat optimum.

Pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sangat penting disebabkan sumberdaya ini sangat rentan dan sensitif terhadap banyak perubahan. Kerentanan dan sensitivitasnya semakin tinggi karena merupakan sumberdaya hayati yang banyak dipengaruhi perubahan-perubahan eksternal dan internal, yaitu perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem. Kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim,

(15)

ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing) terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing) (Nikijuluw et al., 2000). Dengan demikian jelas bahwa sumberdaya ikan akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan jika dan hanya jika dimanfaatkan dengan cara yang baik. Sebagai contoh pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang dikelola melalui pengaturan bersama antara Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dapat mempertahankan produksi ikan lemuru pada tingkat yang optimum (Basuki, 2003).

Widodo dan Nurhuda, 1995, menjelaskan bahwa dinamika suatu stok ikan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Dinamika stok ini dapat dilihat melalui Gambar 5.

(16)

Stok ikan secara alami akan berkembang biak dan hasil perkembangbiakan dalam bentuk anak-anak ikan akan menambah jumlah stok ikan yang telah ada atau disebut rekruitmen (R). Stok ikan tersebut akan tumbuh karena adanya aktivitas makan, atau disebut pertumbuhan (G). Kemudian stok ikan dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan dan menghasilkan hasil tangkapan (Y). Disamping itu ikan-ikan secara alami dapat mengalami kematian karena umur maupun penyakit atau disebut mortalitas (M). Stok ikan akan dapat dimanfaatkan secara terus menerus apabila senantiasa dapat dijaga kondisi G + R = Y + M.

Apabila terjadi gangguan keseimbangan karena pengelolaan sumberdaya ikan tidak dilakukan dengan baik, maka akan terjadi kelebihan penangkapan ikan (overfishing). Kondisi overfishing dibagi dalam beberapa tipe tergantung pada tingkat keseriusannya yaitu : recruitment overfishing, bologically overfishing, economically overfishing dan Malthusian overfishing (Nikijuluw, 2002).

Recruitment overfishing yaitu suatu kondisi stok ikan dimana ikan-ikan muda (juvenile) ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dalam hal ini pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa. Kondisi recruitment overfishing secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6.

(17)

Gambar 6. Recruitment Overfishing

Recruitment Over Fishing terjadi pada saat dilakukannya penambahan jumlah effort dari E* dengan tingkat produksi pada titik Maximum Sustainable Yield (MSY). Penambahan jumlah effort ini akan mendorong produksi ikan menjadi menurun, sebagaimana dapat dilihat melalui Gambar 6.

Biologically overfishing yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok sumberdaya ikan menurun secara drastis dan bahkan dapat membuat kegiatan perikanan berhenti total. Secara grafis biologically overfishing dapat digambarkan seperti pada Gambar 7.

(18)

Gambar 7. Kondisi Biologically Overfishing

Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha penangkapan ikan yang ada beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi. Usaha penangkapan ikan tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan tidak lagi efisien. Secara grafis kondisi economically overfishing dapat dilihat pada Gambar 8.

(19)

Gambar 8 .Kondisi Economically Overfishing

Economically overfishing ini terjadi pada saat dilakukannya penambahan effort

dari E1, dengan tingkat produksi pada level Maximum Economic Yield (MEY). Penambahan effort ini akan mengakibatkan produksi meningkat sampai titik Maximum Sustainable Yield (MSY), untuk selanjutnya tingkat produksi akan mengalami penurunan. Sementara disisi lain, penambahan effort ini juga akan mengakibatkan keuntungan atau “resources rent” semakin kecil, dan akan mencapai nol pada titik “zero rent”.

Apabila ketiga tipe overfishing tersebut terus terjadi pada suatu perairan, maka tipe overfishing keempat yaitu Malthusian Overfishing akan dapat terjadi. Malthusian Overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari usaha penangkapan ikan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua orang. Teori ini berdasarkan teori Malthus yang mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk begitu cepat sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi penduduk sangat lambat. Dalam bidang perikanan, dapat diartikan bahwa ada sedikit

(20)

ikan yang tersedia di laut namun diperebutkan oleh banyak nelayan. Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumberdaya ikan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh rakyatnya. Akibatnya setiap nelayan berkompetisi secara bebas. Timbul daya kreasi setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan efisien secara ekonomi, namun merusak lingkungan. Metode dan teknik tersebut biasanya dalam bentuk penggunaan bom, dinamit, racun, atau aliran listrik. Mereka melakukan hal ini dengan pertimbangan jika tidak dilakukan, orang lain yang akan melakukannya.

Berdasarkan pada teori overfishing tersebut diatas dan hasil perhitungan tingkat eksploitasi sumberdaya ikan serta hasil perhitungan jumlah alat tangkap ikan yang layak dioperasikan di perairan Teluk Lasongko, berarti pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko telah mengalami Economically overfishing. Terhadap kondisi perairan yang demikian perlu segera dilakukan pengelolaan sumberdaya ikan yang sesuai agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Widodo (2003) menyatakan bahwa terhadap perairan yang telah mengalami tekanan penangkapan ikan yang berlebihan, Pemerintah harus melakukan pengaturan terhadap besarnya upaya penangkapan. Dengan pengelolaan yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan.

Smith (1981) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) menuliskan dalam salah satu karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are Overfished”, mencoba secara teoritis menggambarkan kegagalan berbagai kebijakan

(21)

pemerintah. Menurut Smith, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk motorisasi, subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan tanggung jawab. Kedua, mengembangkan pekerjaan suplemen dan alternatif kepada keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan nelayan.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pendapatan nelayan Indonesia yang rendah karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka tertentu. Setelah ditutupnya aksesibilitas ke sektor perikanan maka pemerintah dapat mengambil kebijakan selanjutnya yang diarahkan pada peningkatan produktivitas, penentuan daerah penangkapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu

(22)

perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya dengan cara ini, nelayan Indonesia bisa ditingkatkan pendapatannya.

Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pemanfaatan sumberdaya ikan adalah untuk :

1). Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement).

2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. 3). Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.

2.3 Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.

Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum Sustainable Yield” mempunyai kelemahan antara lain : (i) tidak bersifat stabil, karena perkiraan stock yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok, (ii) tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen, dan (iii) sulit

(23)

diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis (Fauzy, 2004). Di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menggunakan konsep-konsep biologis dalam pendugaan stok sumberdaya ikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan MSY. Kelebihan dari pendekatan ini adalah diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam analisis, murah serta hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan (Ghofar., 2003).

Pada perairan dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mengalami

overfishing perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang

semakin parah. Upaya untuk mengatasi terjadinya overfishing dapat ditempuh dengan menetapkan jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap atau biasa dikenal dengan istilah Total Allowable Catch (TAC). Besarnya TAC di Indonesia secara nasional adalah 80% dari MSY atau sekitar 5 juta ton ikan yang dapat diproduksi per tahun agar kelestarian sumberdaya ikannya tetap terjaga baik.

Menurut Nikijuluw (2002), ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan TAC. Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan terentu. TAC tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah sebagai pemegang otoritas menetapkan aturan pemanfaatan sumberdaya ikan melakukan pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan alat tangkap ikan apabila TAC telah tercapai. Kedua, membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan keberpihakan kepadanelayan atau jenis kapal ikan tertentu.

(24)

Sebagai contoh di Norwegia, pemerintah menetapkan persentase TAC tertentu kepada perikanan skala kecil. Sisa TAC yang belum dibagi kemudian dialokasikan kepada nelayan pukat cincin skala besar. Dengan cara ini perbedaan pendapatan antar nelayan dapat diperkecil.

Cara ketiga adalah membatasi kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak efisien dan juga sering tidak akurat dilaksanakan karena kesulitan dalam mengatur penangkapan ikan serta memprediksi jumlah ikan yang mungkin ditangkap setiap kapal. Akibatnya cara ini seringkali membuat TAC terlampaui.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pentingnya mengelola perikanan secara empiris dapat ditunjukkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia pada saat ini. Yang dimaksudkan tingkat pemanfaatan adalah nisbi antara jumlah yang ditangkap dengan estimasi potensi sumberdaya. Sederhananya apabila tingkat pemanfaatan terlalu tinggi, lebih dari 50% dan mendekati 100%, maka sering dikatakan bahwa sumberdaya sudah tinggi tingkat pemanfaatannya. Tingkat pemanfaatan penuh atau sumberdaya telah jenuh pemanfaatannya bila prosentase pemanfaatan sudah mendekati atau pada tingkat 100%. Lebih dari 100% dinamakan dengan tingkat pemanfaatan lebih, sementara kurang dari 50% disebut dengan tingkat pemanfaatan yang rendah. Secara nasional, potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya perikanan diperkirakan 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk dieksploitasi. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian terhadap kelangsungan sumberdaya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80% dari potensi lestari. Angka 5,12 juta ton disebut dengan jumlah tangkapan yang

(25)

diperbolehkan (JTB). Bila yang menjadi rujukan itu JTB maka sebetulnya pemanfaatan sumberdaya telah mencapai sekitar 90%. Namun bila yang menjadi rujukan itu adalah potensi lestari 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatan telah mencapai sekitar 72%. Dari kedua angka tersebut, tingkat pemanfaatan ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya perikanan laut Indonesia secara nasional, yang berarti pada seluruh perairan, mencakup semua jenis ikan, dan berada baik di laut pedalaman, laut wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Posisi ini sebetulnya adalah posisi kritis yang berarti bahwa pengelolaan sumberdaya ikan sudah sangat diperlukan.

Selanjutnya Nikijuluw (2005) menuliskan bahwa menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar, kebutuhan dunia. Hal ini karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting itu mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan untuk dikelola pemanfaatannya :

(1) Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.

(2) Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System (GPS), radar, echosounders, mesin kapal yan lebih kuat dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan.

(26)

(3) Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance) yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga.

Di Indonesia, otoritas pengelolaan adalah pemerintah melalui Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perikanan. Akan tetapi dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan, otoritas dan wewenang tersebut didelegasikan (desentralisasi) ke daerah (UU 32/2004). Selain itu, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat (pasal 6 UU 31/2004). Karena begitu pentingnya kedudukan manusia dalam memberi arti dan manfaat bagi sumberdaya ikan maka pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries resource management) pada hakekatnya bukanlah sekedar suatu upaya atau proses mengelola sumberdaya ikan (managing of fish resources) tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia (managing of fishers) sebagai pengguna, pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan. Karena mengelola manusia ternyata tidak lebih mudah dari pada mengelola sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sulit. Lebih sulit lagi karena ternyata interaksi antara manusia dan sumberdaya ikan merupakan suatu kondisi yang komplikatif yang menyangkut aspek-aspek bioteknologi, teknologi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian maka pendekatan sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, di samping pendekatan bioekologi dan teknologi.

Dahuri (2000) yang diacu dalam Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa kelemahan dalam pengelolaan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :

(27)

(1) Permasalahan yang bersifat teknis

Permasalahan pembangunan perikanan di Indonesia yang bersifat teknis meliputi hal-hal berikut. Pertama, kemampuan kita di dalam memproduksi komoditas perikanan yang berdaya saing tinggi secara lestari, baik melalui usaha penangakapan maupun budidaya masih rendah. Hasil tangkapan ikan per-satuan upaya di laut masih relatif rendah, bersifat fluktuatif atau tak menentu. Kedua, kemampuan kita memasarkan produk atau komoditas perikanan dengan harga yang menguntungkan nelayan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih juga lemah. Harga jual produk-produk perikanan sangat cepat berubah dan sering kali mengalami market glut, yakni suatu kondisi pasar yang harga jual suatu komoditasnya menurun drastis ketika pasokan komoditas tersebut melimpah (hasil tangkapan sedang baik dan harga jual membaik manakala sedang paceklik). Kondisi ini turut mengakibatkan nelayan terjebak dalam kemiskinan. Ketiga, harga faktor-faktor produksi relatif mahal dan bersifat fluktuatif.

(2) Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan

Keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga subsistem utamanya, yaitu 1) produksi; 2) pascapanen (penanganan dan pengolahan): dan 3) pemasaran, tetapi juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi prasarana dan sarana, keuangan, sumberdaya manusia dan iptek serta hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di bidang agrobisnis perikanan belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan. Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar. Pertama, belum ada kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat atau kuota) penangkapan stok ikan di suatu kawasan perairan. Semua nelayan secara bebas

(28)

dapat menangkap ikan di suatu wilayah perairan. Akibatnya terjadi overfishing yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap dan nelayan menjadi miskin. Kedua, belum ada tata ruang yang mengakomodasi lahan perikanan sebagai kawasan khusus/tertentu yang mendapat perlindungan dari konservasi dan bahaya pencemaran. Ketiga, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak, misalnya sekitar sepuluh persen seperti KUT, untuk mendukung usaha perikanan tangkap, budidaya, ataupun industri pengolahan.

(3) Permasalahan yang berkaitan dengan aspek hukum dan kelembagaan

Instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai diperlukan untuk menerapkan kebijakan pembangunan perikanan. Menurut para pengamat dan pakar pembangunan perikanan, implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) di bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan belum cukup membuat perusak menjadi jera atau minimal berpikir berkali-kali untuk melakukan tindakan perusakan. Sebagai contoh, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai dan kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jwab dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas.

(4) Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi ekonomi politik

Meskipun potensi pembangunan perikanan Indonesia sangat besar dan sumbangannya terhadap perekonomian nasional pun tidak kecil (berupa penyediaan protein hewani, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah

(29)

dan multiplier effects lainnya), tetapi pada kenyataannya perikanan kurang mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan baik di kalangan pemerintah maupun swasta.

Dalam hal pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh pemerintah, menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai berikut : (1). Pembatasan alat tangkap (restriction on gears)

Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien.

(2). Penutupan musim (closed season)

Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington and Rattig (1983) yang diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu :

¾ Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak.

¾ Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu,

(30)

dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya.

(3). Penutupan area (closed season)

Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu.

(4). Kuota penangkapan

Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (Total Allowable Catch), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain.

(31)

(5). Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan

Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap.

Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu :

(1) Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

(2) Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah. (3) Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak

berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat telah dipraktekan di beberapa daerah di Indonesia seperti Sasi di Pulau Saparua dan pengelolaan sumberdaya ikan di Jemluk Bali. Nikijuluw (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem sasi di Pulau Saparua telah berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan sekitar Pulau Saparua dengan tetap mejaga kelestariannya. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu masyarakat desa

(32)

tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu terentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan penangkapan ikan ini dikenal dengan nama tutup sasi. Sementara itu periode penangkapan ikan dikenal dengan nama buka sasi.

Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa co-management perikanan dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM dan stakeholder lainnya (pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya) berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Co-management meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan lokal (informal, tradisional, adat istiadat) dengan sistem manajemen pemerintahan terpusat ataupun otonomi daerah, sedangkan Community Based Coastal Resource Management (CBCRM) ialah sentral co-management sebagai proses di mana msyarakat pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumberdaya alam pantai yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya. Turner et al. (1998) mengemukakan bahwa perikanan ke arah masa depan akan suram jika tanpa disertai pengelolaan yang baik. Pertumbuhan populasi dunia dan peningkatan produksi perikanan berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang dampaknya dapat meningkatkan permintaan jumlah ikan yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya. Pengelolaan yang lestari dapat diterapkan dengan mengadopsi pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk pengelolaan perikanan dan dapat mendukung penelitian berikutnya serta dapat digunakan sebagai informasi untuk mengurangi faktor-faktor ketidakpastian yang mempengaruhi produktivitas. Selanjutnya untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah beberapa persayaratan untuk mendukung kelestarian lingkungan yang didasarkan pada prinsip ekonomi dengan

(33)

skala optimal, distribusi hukum yang adil, partisipasi dan legitimasi. Isu utama dalam meningkatkan resiko lingkungan adalah luasnya distribusi dari resiko, biaya dan manfaat. Barkin et al. (2000) menuliskan bahwa dalam melestarikan sumberdaya terdapat 3 kriteria utama, yaitu :

(1) Teknologi

Perbedaan secara nasional dijumpai pada teknologi eksploitasi sumberdaya utama yang ada untuk dapat disubstitusi dengan sumberdaya lainnya. Kasus yang dapat digunakan adalah adanya perbedaan teknologi terutama perbedaan pada teknologi penangkapan yang tinggi, dan penggunaan modal yang besar yang dapat menjangkau daerah penangkapan lebih jauh sehingga dapat memberikan pilihan yang bervariasi dimana ikan berada dan jenis-jenis ikan apa yang akan ditangkap.

(2) Perbedaan tingkatan pemanfaatan sumberdaya

Ketika suatu negara memanfaatkan sumberdaya untuk lebih dari satu tujuan, negara tersebut akan mempunyai kesulitan untuk mensubstitusi sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, Canada memperoleh keuntungan dari salmon sport fishery, sementara United States memanfaatkan perikanan salmon sebagai perikanan komersil. Untuk mensubstitusi stok tersebut, Canada menemukan alternatif untuk turis dan nelayan untuk meningkatkan perikanan komersil. Penggunaan sumberdaya yang berbeda dapat dengan cara mensubsitusi sumberdaya tersebut, dalam kasus ketika satu negara meningkatkan keuntungan dari salah satu sumberdaya dan negara lain tidak melakukan hal itu.

(34)

(3) Perbedaan arah pemanfaatan sumberdaya

Ketika sumberdaya mempunyai arah yang berbeda, kemampuan negara maju untuk mensubstitusi sumberdaya alam biasanya lebih besar daripada negara-negara yang kurang maju. Isu-isu lingkungan yang masuk ke dalam kategori ini adalah isu-isu yang berkaitan dengan udara, perairan dan migrasi spesies ikan.

Peraturan internasional tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) telah mulai disiapkan untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu :

(1) Aspek pengelolaan perikanan (Fisheries Management). (2) Aspek operasi penangkapan ikan (Fishing Operations). (3) Aspek pembangunan akuakultur (Aquaculture Development).

(4) Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir (Integration of Fisheries into Coastal Area Management).

(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post Harvest Practices and Trade).

(6) Aspek penelitian perikanan (Fisheries Research).

Pengaturan dan pengendalian sumberdaya perikanan di Indonesia saling berkaitan antara aspek operasi penangkapan dengan ke-lima aspek lainnya dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries.

Beberapa peraturan umum yang terkandung dalam CCRF (1995) antara lain : (1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan,

hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap menggunakan cara-cara yang bertanggungjawab.

(35)

(2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terjaminnya sumberdaya perikanan untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

(3) Negara harus mencegah penangkapan yang berlebihan (overfishing) dan menjaga agar upaya penangkapan sesuai dengan kapasitas dari sumber itu sendiri.

(4) Kebijaksanaan konservasi dan pengelolaan perikanan harus berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, dengan memperhatikan habitat, lingkungan dan faktor sosial ekonomi.

(5) Negara dan organisasi perikanan regional/sub regional harus mengimplementasikan ”pendekatan kehati-hatian” (precautionary approach) dalam rangka konservasi, pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perairan; tidak tersedia data dan informasi ilmiah yang cukup yang tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda mengambil keputusan dalam pengelolaan.

(6) Alat penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan agar dikembangkan dalam rangka menjamin biodiversitas dan menjaga struktur populasi dalam ekosistem perairan.

(7) Penangkapan dan penanganan pasca panen dan distribusi ikan harus menjamin kualitas nilai nutrisi ikan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. (8) Perlunya perlindungan terhadap habitat yang kritis dan upaya rehabilitasi.

(9) Negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan diperhatikan dalam rangka perencanaan pembangunan pantai terintegrasi.

(10) Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan.

(36)

(11) Negara pemberi ijin penangkapan harus menjamin pengawasan yang efektif agar dapat terlaksananya kode etik ini.

(12) Negara harus bekerja sama dalam tingkat sub regional dan regional dalam rangka pengelolaan perikanan disesuaikan dengan kemampuannya.

(13) Negara harus menjamin pelaksanaan pengelolaan perikanan yang transparan, mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya perikanan.

(14) Perdagangan ikan secara internasional harus mengacu kepada prinsip, hak dan kewajiban yang sudah digariskan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO).

(15) Negara harus bekerja sama untuk menghindari konflik dan harus menghormati upaya pemecahan konflik.

(16) Negara harus meningkatkan penyuluhan tentang perikanan yangg bertanggungjwab melalui pendidikan latihan.

(17) Negara harus berupaya agar fasilitas penangkapan dan peralatan lainnya menjamin keselamatan para pekerja.

(18) Negara harus melindungi hak-hak para nelayan dan para pekerja perikanan yang terlibat dalam perikanan skala kecil untuk mempertahankan kehidupannya.

(19) Negara harus menempatkan akuakultur sebagai upaya diversifikasi dan menjamin agar akuakultur tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan.

Pengelolaan perikanan secara khusus di jelaskan pada Pasal 3.1, antara lain : (1) Negara-negara harus menjamin agar suatu kerangka hukum dan kelembagaan yang

(37)

(2) Sektor perikanan haruslah merupakan suatu bagian integrasi dari tatanan pengelolaan kawasan pesisir untuk menjamin agar :

1). Perhatian agar diberikan pada hak dari komunitas penangkapan ikan pesisir dan praktek yang biasa mereka lakukan sejalan dengan pembangunan lestari berkelanjutan dan,

2). Sektor perikanan, bersama dengan komunitas penangkapan ikan dikonsultasikan dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan proyek terkait perikanan, demikian pula melengkapi masukan sektor perikanan berikut komunitas penangkapan ikan ke dalam kegiatan non-perikanan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir.

(3) Negara-negara harus mengambil ketentuan untuk menetapkan dan menyusun badan pengelolaan yang efektif pada tingkat-tingkat Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Ikan untuk memastikan :

1). Ketaatan pada hukum peraturan perundang-undangan dan aturan lain yang mengatur kewajiban suatu Negara berkaitan dengan fasilitas Pelabuhan Perikanan atau fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan;

2). Ketaatan pada ketentuan konservasi dan pemantauan lingkungan yang telah diadopsi oleh otoritas yang kompeten pada tingkat nasional demikian pula ketentuan yang diadopsi atas dasar regional atau subregional;

3). Pengintegrasian dengan para pengguna lain (seperti dalam hal fasilitas yang biasa untuk kapal penangkap ikan); dan

(38)

(4) Dalam menetapkan penugasan suatu badan pengelolaan, otoritas yang kompeten harus memastikan bahwa badan tersebut :

1) Disediakan dana secukupnya agar berfungsi seperti yang diharapkan; 2) Mewakili seluruh pengguna fasilitas yang beragam;

3) Memungkinkan konsultasi diantara para pengguna yang berbeda;

4) Besarnya fasilitas dan kewajiban badan sesuai dengan tanggungjawab yang ditugaskan padanya.

(5) Pada tingkat desa, pengelolaan dapat dipercayakan ke pada suatu Pusat Komunitas Perikanan atau organisasi nelayan setempat. Walaupun fasilitas dan jasa pelayanan di suatu desa atau kawasan tertentu mungkin sangat sederhana, namun masih dibutuhkan adanya suatu organisasi pengelola sumberdaya ikan.

(6) Pada tingkat industri, pengelolaan harus dilaksanakan oleh suatu badan yang ditetapkan dengan baik (swasta, otonomi, kabupaten atau negara) dengan anggota-anggota diambil dari berbagai unsur pokok pengguna dari pelabuhan khusus demikian pula komunitas secara luas. Suatu perkecualian pada aturan adalah jika fasilitas itu dimiliki oleh satu perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan itu akan tetap bertanggungjawab di dalam struktur pengelolaan menyeluruh dalam pengoperasiannya.

Pemanfaatan sumberdaya ikan untuk diperoleh hasil optimum dan lestari diperlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat dan semua pihak terkait. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan publik yang dalam pelaksanaannya akan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait. Menurut Friedrich (1969) yang diacu dalam Agustino., (2006) kebijakan publik

(39)

adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan tertentu. Agustino (2006) mengemukakan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik :

(1) Umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak.

(2) Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Misalnya, suatu kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan peraturan tertentu tetapi juga keputusan berikutnya yang berhubungan dengan penerapan pelaksanaannya.

(3) Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik memperhatikan apa yang kemudian akan atau dapat terjadi setelah kebijakan itu diimplementasikan.

(4) Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan.

(5) Kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Kebijakan publik yang bersifat

(40)

memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang mana hal ini tidak dimiliki oleh kebijakan-kebijakan organisasi swasta.

Agustino (2006) menerangkan bahwa sifat kebijakan publik sebagai bagian dari suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori, yaitu : policy demands, policy decisions, policy statements, policy outputs dan policy outcomes. Dikemukakan walau kebijakan dapat dipandang sebagai solusi dari konflik yang berkecamuk, tetapi kebijakan publik juga dianggap sebagai penyebab konflik antara kelompok yang berbeda, yang pribadi dan yang resmi, yang memiliki keinginan dan kepentingan yang berbeda. Salah satu sumber konflik yang utama, khususnya dalam masyarakat modern, adalah kegiatan ekonomi. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada lima bentuk kebijakan publik :

1) Kebijakan Substansial atau Kebijakan Prosedural

Kebijakan substantive meliputi kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, seperti : pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran keuntungan bagi kesejahteraan rakyat. Kebijakan substansif pada dasarnya memberi tekanan pada subject matter dari apa yang dibutuhkan oleh warga. Kebijakan prosedural, meliputi siapa yang akan melaksanakan atau bagaimana hal tersebut akan dilaksanakan. Jadi yang membedakan antara Kebijakan Substansif atau Kebijakan Prosedural adalah dengan melihat konten kebijakan itu sendiri. Apabila isi kebijakan lebih mengarah pada upaya pengentasan suatu masalah yang tengah dialami oleh warga masyarakat, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut adalah kebijakan substansif. Tapi ketika konten kebijakan itu hanya menyampaikan siapa yan harus

(41)

melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, maka ia termasuk dalam kategori kebijakan prosedural.

2) Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif

Debat dan diskusi mengenai tipologi kebijakan publik yang juga meyita perhatian adalah pengelompokan antara kebijakan liberal dan kebijakan konservatif. Membedakan kebijakan liberal dengan kebijakan konservatif melalui pelibatan pemerintah sebagai aparatur implementor kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan liberal umumnya dibantu atau mempergunakan/melibatkan pemerintah dalam menuntaskan masalah-masalah perubahan sosial yang dirasakan warga masyarakat. Sebaliknya, kebijakan konservatif tidak melibatkan atau mempergunakan pemerintah untuk tujuan tersebut.

3) Kebijakan Distributif, Kebijakan Redistributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan Self-Regulatory

Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-sektor khusus, baik untuk individu, kelompok-kelompok kecil, dan komunitas-komunitas tertentu. Kebijakan distributif juga memiliki karakteristik yang khas, termasuk penggunaan dana umum untuk membantu kelompok-kelompok tertentu. Kegiatan kebijakan distributif bersifat mencari keuntungan dengan tidak bersaing secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian kebijakan distributif muncul untuk menciptakan pemenang, meskipun secara nyata seseorang membayar untuk mereka. Kebijakan redistributif termasuk usaha hati-hati

(42)

yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok-kelopmpok penduduk, misalnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan regulator adalah kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self-regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau mengawasi beberapa bahan atau kelompok. Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan ini dibedakan dengan kebijakan regulator. Kebijakan self-regulatory biasanya dicari dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau menawarkan kepentingan mereka sendiri.

4) Kebijakan Material dan Kebijakan Simbolis

Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya, sedangkan kebijakan simbolis membagikan keuntungan atau kerugian yang mempunyai dampak kecil pada manusia.

5) Kebijakan Kolektif dan Kebijakan Privat

Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang kolektif (indivisible) atau barang privat (divisible). Yang disebut sebagai barang

(43)

kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan orang banyak (kolektif). Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan.

Charles O’Jones (1996) yang diacu dalam Agustino (2006) ada empat langkah strategis yang harus diperhatikan dalam menyusun agenda kebijakan, ialah :

(1). Dilihat dari peristiwa itu sendiri

1) Ruang lingkup/scope : Berapa banyak orang yang terkena pengaruh atau akibat dari peristiwa yang tengah terjadi?

2) Persepsi : Bagaimana pandangan mereka? Berapa banyak orang yang merasakan konsekuensinya? Apa hasil dari persepsi-persepsi ini?

3) Definisi : Apakah konsekuensi-konsekuensi yang dirasakan dapat disebutkan sebagai sebuah problem? Apakah problem-problem yang berlainan didefinisikan oleh orang-orang yang berlainan?

4) Intensitas : berapa banyak orang yang terlibat? Apakah intensitasnya berbeda diantara mereka yang terlibat?

(2) Organisasi kelompok

1) Jumlah (extent) : Berapa banyak anggota yang terdapat kelompok yang terdapat? Apakah komitmen kelompok tersebut?

2) Struktur : Apakah hubungan antara anggota dengan pemimpinnya (Hirarkis/Demokratis)? Apakah terdapat staf-staf yang professional.

3) Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan yang mereka miliki? Apakah mereka itu agresif ?

(44)

(3) Kemudahan akses

1) Perwakilan : Apakah mereka yang akan terkena akibat kebijakan telah terwakili dalam posisi pembuatan kebijakan?

2) Empati : Apakah mereka yang ada dalam posisi pembuat kebijakan mau berempati (menaruh perhatian) kepada mereka yang terkena dampak kebijakan?

3) Dukungan : Dapatkah mereka yang akan terkena dampak kebijakan memperoleh dukungan?

(4) Proses Kebijakan

1) Struktur : Bagaimana hubungan antara pemeran kebijakan dengan mereka yang terlibat/terkena pengaruh kebijakan tersebut (hirarkis-demokratis-berdasarkan bergaining)? Apakah syarat-syarat formal dari pembuatan kebijakan?

2) Daya tanggap (Responsivenes) : Bagaimana tanggapan para pameran kebijakan terhadap mereka yang terlibat/terkena dampak kebijakan? Bagaimana nilai/tradisi yang ada dalam menanggapi hal seperti ini?

3) Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan yang mereka miliki ? Apakah mereka itu agresif?

Selanjutnya Agustino (2006) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan publik :

(1). Faktor penentu pemenuhan kebijakan

(45)

2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan 3) Adanya sanksi hukum

4) Adanya kepentingan publik 5) Adanya kepentingan pribadi 6) Masalah waktu

(2) Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan

1) Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada. 2) Tidak adanya kepastian hukum.

3) Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi. 4) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.

Gambar

Gambar 1. Fase Perkembangan Sumberdaya Ikan Nir-Kelola (Widodo, 2003)  Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa  sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access
Gambar 2.  Kurva Pertumbuhan Logistik
Gambar 3.  Kurva Produksi Lestari-Upaya
Gambar 4.  Grafik Model Gordon-Schaefer
+5

Referensi

Dokumen terkait

rainfall and temperatures) that occur as the identifier indicators of climate change give negative impacts for life sustainability on earth. The increased frequency

Penelitian ini mencoba menelisik potensi hidrokarbon pada batuan dasar di Cekungan Sumatra Tengah dengan menggunakan data sumur pemboran konvensional dan seismik

Dalam pemberdayan KAT juga dibutuh- kan kerja sama antara pemerintah dengan komunitas adat terpencil suku bonai, sehingga program dapat berjalan dengan baik. Keter- batasan sumber

siswa; (4) memberikan kebebasan bertanya kepada siswa; (5) mengamati tingkah laku siswa pada waktu siswa mengajukan pertanyaan; (6) membelajarkan siswa

Sistem starter kapal untuk mesin penggerak kapal dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara manual.. Semua pogram PLC tersebut kami tulis atau buat menggunakan software

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui ragam bahasa yang dipakai oleh masyarakat Pakisjaya yang memakai dua bahasa yaitu bahasa Betawi dan bahasa Sunda, alih

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Earning Per Share merupakan alat analisis yang membandingkan tingkat keuntungan bersih (EAT) dengan jumlah saham yang beredar

Telekomunikasi pada sistem GSM (Global System for Mobile Telecommunication) dan UMTS (Universal mobile Telecommunication System) pada wilayah Denpasar Selatan masih