• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

A. Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR dalam sejarah modern dikenal sejak Howard R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman pada era 1950-1960 di Amerika Serikat. Pengakuan publik terhadap prinsip-prinsip tanggung jawab sosial yang beliau kemukakan membuat dirinya dinobatkan secara aklamasi sebagai Bapak CSR. Bahkan dalam dekade 1960-an, pemikiran Howard terus dikembangkan oleh berbagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility.87 Suhandari M. Putri mengenai CSR menyatakan adalah, ”Komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”.88

Pada dasarnya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders), dan juga tanggung jawab perusahaan terhadap para pemegang saham (shareholders). Sebenarnya hingga pada saat ini mengenai pengertian CSR masih beraneka ragam dan memiliki perbedaan defenisi antara satu dengan yang lainnya. Secara global bahwa CSR adalah suatu komitmen perusahaan

      

87 Hendrik Budi Untung., Op. cit., hal. 37. 88 Suhandari M. Putri., Op. cit, hal. 1.

(2)

memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan”, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.89

Defenisi CSR menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional”.90 Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”.91 CSR dalam buku Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi

Pratama dalam bukunya yang berjudul “Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR”, belum mendefenisikan CSR dengan pendapat sendiri, tetapi dalam buku tersebut mendefenisikan CSR merujuk kepada isi Pasal 1 Butir 3 UUPT, dimana

      

89 http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan, diakses terakhir tanggal

10 Juni 2010.

90 Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, Memperkuat CSR, (Bandung: CV.

Alfabeta, 2009), hal. 105.

(3)

bahwa TJSL merupakan suatu kewajiban.92 Sehubungan dengan itu, Reza Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:93

1. Melakukan tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan; 2. Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan

berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan

3. Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup;

CSR menurut Merrick Dodd menyatakan, bahwa CSR adalah “suatu pengertian terhadap para buruh, konsumen dan masyarakat pada umumnya dihormati sebagai sikap yang pantas untuk diadopsi oleh pelaku bisnis….”94. Saleem Sheikh menjelaskan bahwa “CSR merupakan tanggung jawab perusahaan, apakah bersifat sukarela atau berdasarkan undang-undang, dalam pelaksanaan kewajiban sosial-ekonomi di masyarakat”. Salem Sheikh mengamati bahwa CSR meliputi 2 (dua) hal yang utama dalam corporate philanthropy (filantropi korporasi), yang Pertama, perusahaan melakukan peranan jasa sosial, Kedua, melaksanakan trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen dan komunitas yang lebih luas.

      

92 Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Loc. cit, hal. 7. 93 Reza Rahman., Op. cit., hal. 10.

94 Halyani Hj Hassan., Corporate Social Responsibility, Makalah disampaikan pada 5th Asian

Law Institute Conference, tanggal 22-23 Mei 2008, di Singapura, hal. 1 Halyani Hj. Hassan juga berpendapat bahwa CSR harus didukung dan dilihat sebagai suatu konsekuensi alamiah bagi perseroan terbatas dan kepribadian hukum yang terpisah.

(4)

Ramon Mullerat menggambarkan CSR sebagai konsep bahwa perusahaan secara sukarela sebagai penghargaan kepada stakeholders yang lebih luas memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup lebih bersih, kehidupan masyarakat lebih baik melalui interaksi aktif dengan semua pihak. 95

S. Zadek, M. Fostater dan P. Raynard membagi CSR ke dalam 3 (tiga) generasi yakni mulai dari yang sifatnya sekedar filantropis, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi bersaing jangka panjang perusahaan, serta yang terakhir yang lebih maju lagi, yakni yang berorientasi pada advokasi dan kebijakan publik.96

The World Business Council of for Sustainable Development (WBSCSD) menggambarkan CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.97

Menurut defenisi The Jakarta Consulting Group, CSR diarahkan baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung jawab internal (Internal Responsibilities) diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas yang optimal dan pertumbuhan perusahaan, termasuk juga tanggung jawab yang diarahkan kepada karyawan terhadap kontribusi mereka kepada

      

95 Ibid. 96 Ibid.

(5)

perusahaan berupa kompensasi yang adil dan peluang pengembangan karir. Sedangkan tanggung jawab eksternal (External Responsibilities) berkaitan dengan peran serta perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetisi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.98

Magnan dan Ferrel juga memberikan defenisi CSR yaitu “A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stake holder interest.” Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai pihak stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan yang diambil oleh pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.99

Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis

      

98 A. B. Susanto., Corporate Social Responsibility, (Jakarta: The Jakarta Consulting Group,

2007), hal. 22.

(6)

dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa, “CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar sukarela.100

Defenisi CSR secara etimologis di Indonesia kerap diterjemahkan sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disingkat UUPT bahwa CSR yang dikenal dalam undang-undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”

      

(7)

Dari berbagai defenisi CSR yang beragam diungkapkan oleh para ilmuan tersebut di atas, maka peneliti menyatakan konsep yang perlu dipahami tentang CSR ini, yakni CSR menawarkan sebuah kesamaan dalam bentuk keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Selain itu, ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.

Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG merupakan sebuah sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders dapat dipenuhi secara proporsional. Adapun hubungan antara GCG dengan CSR terdapat pada prinsip responsibility yang merupakan prinsip yang paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh stakeholders. Oleh sebab itu, wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders di sekitarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG. Sebagai entitas bisnis yang

(8)

bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya, perusahaan memang mesti bertindak sebagai good citizen yang merupakan tuntutan dari good business

ethics.101

CSR juga dapat ditelusuri melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini secara sederhana didefenisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai popular setelah terbitnya buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson. Sejak saat itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dengan dilakukannya berbagai konferensi antara lain Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm (1972), KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002)102 dan konferensi lainnya yang masih terus dilakukan oleh berbagai Negara untuk menangani permasalahan global secara bersama dimana isu yang membahas pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial selalu menjadi agenda pertemuan. Hal ini juga merupakan konsep CSR yang selanjutnya berkembang di berbagai negara.

Dalam Protokol Kyoto yang dideklarasikan di Jepang, juga membahas isu global yang berkaitan dengan peningkatan suhu bumi akibat efek gas rumah kaca atau

      

101 Ibid., hal. 9-13. Sedikitnya ada 5 (lima) prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi

para pelaku bisnis yaitu, Transparency (Keterbukaan Informasi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Pertanggungjawaban), Independency (Kemandirian), Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran).

(9)

Green Houses Gases (GPGs). Peranan seluruh Negara diharapkan dalam menjaga laju pemanasan global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut.103 Kontribusi emisi gas rumah kaca tersebut ternyata didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional di berbagai negara terutama Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia. Hal ini semakin menyadarkan para pelaku bisnis untuk berkomitmen menerapkan CSR demi kepentingan bersama.

Pada Tahun 2000, dilaksanakan KTT Millennium (Millennium Summit) sebagai wujud dari kepedulian dunia terhadap kemiskinan dengan lahirnya United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals/MDGs. Tujuan dari MDGs antara lain menghapuskan tingkat kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, serta menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan. Maka, jelas hal ini juga dapat diwujudkan melalui CSR sebagai bagian untuk pencapaian MDGs.104

Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line (disingkat TBL) dalam istilah economic prosperty, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan 3P. Selain mengejar Profit, perusahaan juga harus memperhatikan

      

103 Ibid., hal. 27. Pertemuan yang diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997

mencetuskan sebuah protokol yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto dan terbuka untuk ditanda-tangani dari tanggal 16 Maret 1998 sampai dengan 15 Maret 1999 di Markas Besar PBB, New York.

(10)

dan terlibat pada pemenuhan kesejateraan masyarakat (People) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Aliran pemikiran yang semakin diminati dan semakin punya daya tarik untuk masa yang akan datang adalah aliran yang meyakini bahwa kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).105

Di Indonesia, CSR lebih dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagaimana yang sudah termuat dalam UUPT. Dengan keberadaan UUPT tersebut membuat kegiatan atau program TJSL menjadi wajib. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 74 Ayat (1). Konsep CSR juga telah banyak berkembang di negara lain dan Indonesia mengadopsi CSR yang awalnya berkembang di negara kapitalis karena menilai hal ini perlu diatur mengingat semakin besarnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menjalankan CSR setengah hati disertai kerusakan lingkungan yang semakin parah. Jika melihat sasaran CSR yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial maka kedua aspek tersebut yang memiliki kecenderungan sebagai latar belakang pengaturan CSR di Indonesia yang lebih dikenal dengan TJSL.106

      

105 Ibid., hal. 111-112.

106 http://irmadevita.com/2008/tanggung-jawab-sosial-dan-lingkungan, diakses terakhir

(11)

B. Good Corporate Governance (GCG)

Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.107

Dalam keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 31 Mei 2000, tentang pengembangan praktik GCG dalam perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.

Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms saat membicarakan pengelolaan perusahaan (corporate governance), menyinggung ”Apa dan mengapa pengelolaan perusahaan penting.” Gregory dan Simms membuat pernyataan dengan mengutip

      

107 Yusuf Wibisono., Op. cit., hal. 10. Bahwa sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat

tentang definisi dari Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Akan tetapi, pada umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.

(12)

pendapat James D. Wolfensohn yang mengatakan, bahwa dalam dunia ekonomi saat ini, pengelolaan perusahaan telah dianggap penting sebagaimana pemerintah negara”.108 Hal ini dapat dipahami dari batasan pengelolaan perusahaan tersebut,

sebagaimana dikatakan Ira M. Millstein, yang memberikan penekanan pada cakupan dari segala hubungan perusahaan. Seperti hubungan antara pemodal, produk jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.109

GCG dapat juga mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pemegang saham dan publik. Istilah good corporate governance juga dapat mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu pada keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit, istilah GCG dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dewan direksi. Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegang saham, yang didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi merupakan perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan pemegang saham. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi bertanggungjawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggungjawab kepada pemegang saham.110

      

108 Holly J. Gregory., dan Marsha E. Simms., Loc. cit., hal. 1. 109 Ibid., hal. 3.

(13)

Dengan demikian pengelolaan bank penting diformulasikan dengan prinsip-prinsip GCG, agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi utama bank tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan perkreditan, diperlukan pendekatan peraturan yang mengatur pemecahan permasalahan perkreditan yang muncul dalam industri perbankan. Pemberian kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggung jawab, agar sumber kredit stabil dan dapat dipercaya, sekaligus mencegah risiko yang berlebihan.

Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari Direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut.111

Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) mengenai pengelolaan perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum GCG dari pandangan sektor swasta dengan

      

111 Ibid. Secara singkat, istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms

diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum.

(14)

menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.”112 Dimana bahwa intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah, Pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak-hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan. Kedua, pengklarifikasi peran dan tangung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat dalah bidang “transparansi,”113 yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.114 Prinsip transparansi tersebut menyatakan,

bahwa “Kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akuran atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.”115

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab

      

112 Bismar Nasution (III)., Op. cit., hal. 4.

113 Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal. 12-13. 114 Ibid, hal. 14-16

(15)

pada shareholder. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Oleh karena itu, fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,

responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.116

Indonesia sendiri mengenai istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dengan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku.

Secara umum terdapat 5 (lima) prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain:117

1) Transparency (keterbukaan informasi). Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders;

2) Accountability (akuntabilitas). Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak,

      

116 Bapepam., Loc. cit., hal. 17. Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan

perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar GCG dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama GCG, termasuk prinsip keterbukaan. Upaya mencapai good corporate governance tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan GCG dalam pengelolaan perusahaan.

(16)

kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi;

3) Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya;

4) Independency (kemandirian). Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan

5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran). Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan, suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya, suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan, dan suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

C. Etika Bisnis Perusahaan

Etika dan moralitas sering dipakai dan dapat dipertukarkan dengan pengertian yang sering dipersamakan begitu saja. Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) artinya adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara

(17)

hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan. Sedangkan moralitas berasal dari kata latin yaitu mos dalam bentuk jamaknya mores artinya adat istiadat dan kebiasaan. Jadi, etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstutisionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan.118 Sementara itu, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa, ”etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran”. Sebagai sebuah ilmu maksudknya menitikberatkan kepada refleksi kritis dan rasional.119

Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar atau salah dan buruk atau baik. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan, dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai suatu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat),

      

118 A. Sonny Keraf (I)., Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius,

1998), hal. 13-14.

119 Franz Magnis Suseno., Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,

(18)

etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antara karyawannya.120

Etika dalam kehidupan manusia menempati tempat yang terpenting, sebagai individu, kelompok, masyarakat dan bangsa. Mengenai Istilah etika ini, juga diungkapkan oleh M. Yatimin Abdullah menyatakan bahwa ”etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan”.121

Ruang lingkup etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.122

Etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir

      

120 A. B. Susanto., Reputation Driven Coorporate Social Responsibility (Pendekatan Strategic

Management Dalam CSR), (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 35.

121 M. Yatimin Abdullah., Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

2006), hal. 4. Menurut M. Yatimin bahwa Perilaku etis yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya antara perusahaan dengan stakeholders, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan keuntungan jangka panjang. Perilaku etis akan mencegah pelanggan, pegawai, dan pemasok bertindak oportunitas, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis, dan sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya perilaku yang tidak etis.

122 Burhanuddin Salam., Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT.

(19)

dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa bertindak begitu atau begini. Maka kebebasan dan tanggung jawab adalah kondisi dasar bagi pengambilan keputusan dan tindakan yang etis, dengan suara hati memainkan peran yang sangat sentral.123

Bisnis adalah usaha atau proses pertukaran jasa atau produk dalam rangka pencapaian nilai tambah. Etika Bisnis membahas masalah-masalah dalam konteks bisnis yang terkait dengan standar moral.124 Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu

organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.125

Etika bisnis adalah pengaturan khusus mengenai moral, benar dan salah. Fokusnya kepada standar-standar moral yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan bisnis, institusi dan tingkah laku. Dalam konteks ini etika bisnis adalah suatu standar moral dan bagaimana penerapannya terhadap sistem-sistem dan organisasi melalui masyarakat modern yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada mereka yang bekerja pada organisasi tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah

      

123 A. Sonny Keraf (II)., Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur

(Pustaka Filsafat), (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 22.

124 Robby I. Chandra., Etika Dunia Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 42-43.

125 http://id.wikipedia.org/wiki/Bisnis, ”Ensiklopedia Bebas”, diakses terakhir tanggal 7 Juni

(20)

bentuk etika terapan yang tidak hanya menyangkut analisis norma-norma moral, tetapi juga menerapkan konklusi analisis ini ke lembaga-lembaga, teknologi, transaksi, aktivitas yang kita sebut bisnis.126 Secara umum beberapa prinsip-prinsip

dalam etika bisnis adalah:127

1. Prinsip otonomi dan tanggung jawab; 2. Prinsip kejujuran;

3. Prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan prinsip berbuat baik (beneficence);

4. Prinsip keadilan;

5. Prinsip hormat kepada diri sendiri;

6. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle); dan 7. Prinsip integritas moral.

Selain itu, Manuel G. Velasquez menyebutkan ada 4 (empat) prinsip yang dipakai dalam etika bisnis, yaitu, Utilitarianisme; Hak; Keadilan; dan Perhatian (Caring).128

Jika diperhatikan seksama bahwa semua prinsip di atas didasarkan pada satu paham filsafat yaitu “hormat kepada manusia sebagai persona”. Dalam wujud lain,

      

126 Bismar Nasution (I)., Op. cit, hal. 1-2. Etika bisnis pada hakikatnya merupakan kajian

moralitas atau kesadaran moral yang berfokus pada penerapan standar-standar moral dalam usaha bisnis.126 Etika bisnis harus dipandang sebagai unsur dalam usaha bisnis itu sendiri dimana unsur

dalam usaha bisnis adalah ”etika termasuk dalam efisiensi bisnis”. Bisnis tanpa etika dalam jangka panjang justru tidak akan berhasil. Standar etika termasuk syarat-syarat keberhasilan sebuah bisnis. Pertaruhan dalam bisnis tidak sekedar menyangkut nilai material, melainkan menyangkut pula nilai manusiawi.

127 Ibid., hal. 70-76, lihat juga dalam Sonny Kerap (I)., Op. cit, hal. 74-81. Sebenarnya

prinsip-prinsip dalam etika bisnis yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik dan sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula, prinsip-prinsip ini sangat erat terkaitnya dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing. Etika bisnis sebagai etika terapan sesungguhnya merupakan penerapan dari prinsip-prinsip etika pada umumnya.

(21)

paham ini disejajarkan dengan Golden Rule (Aturan Emas atau Kaidah Emas).129 Paham “hormat kepada manusia sebagai persona” mengandung sikap dasar memperlakukan manusia sebagai pribadi, sebagai makhluk yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan bukan sekedar alat memperoleh keuntungan. Manusia dalam bisnis adalah pribadi luhur, memperlakukan diri sendiri maupun orang lain yang terjabarkan di berbagai prinsip etika bisnis. Hal yang tidak etis jika kita merendahkan diri sendiri. Sebaliknya, juga kita merendahkan orang lain dan memerasnya dengan menipu, curang, tidak bertanggung jawab, tidak adil untuk memperoleh keuntungan.130

Di antara prinsip-prinsip dalam etika bisnis di atas, Adam Smith, menganggap prinsip keadilan merupakan prinsip yang paling pokok yang difokuskannya kepada prinsip keadilan komutatif berupa no harm. Menurut Adam Smith, bahwa, ”prinsip no harm tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain merupakan prinsip yang paling minim dan paling pokok yang harus ada bagi interaksi sosial manapun, termasuk bisnis”. Ini berarti, dalam kaitan dengan bisnis, tanpa prinsip ini bisnis tidak bisa bertahan. Hanya karena setiap pihak menjalankan bisnisnya dengan tidak merugikan pihak manapun, bisnis itu bisa berjalan dan bertahan. Begitu ada pihak

      

129 Burhanuddin Salam., Op. cit., hal. 76. 130 Ibid., hal. 165.

(22)

yang merugikan pihak tertentu, maka tidak akan ada pelaku bisnis yang mau menjalin relasi bisnis dengannya secara baik.131

Pada gilirannya, prinsip no harm ini menjadi dasar dan jiwa dari semua aturan bisnis dan sebaliknya semua praktek bisnis yang bertentangan dengan prinsip ini harus dilarang. Misalnya monopoli, kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa, perlindungan politik, dan lain-lain, harus dilarang karena bertentangan dengan prinsip no harm. Yaitu, karena semua praktek tersebut dapat merugikan pihak tertentu, misalnya adanya pelaku bisnis yang tersisihkan secara tidak fair, konsumen dipaksa untuk membayar harga yang lebih mahal, konsumen ditipu, dan sebagainya. Demikian pula undang-undang atau peraturan mengenai lingkungan hidup, iklan, tenaga kerja, semuanya berintikan prinsip no harm yang disebutkan di atas.

      

131 A. Sonny Keraf (I), Op. cit, hal. 80. Dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip yang lain

pun sangat penting bagi kelangsungan bisnis dan tanpa prinsip-prinsip itu bisnis tidak bisa bertahan. Tetapi yang menarik pada prinsip no harm adalah bahwa sampai pada tingkat tertentu dalam prinsip ini telah terkandung semua prinsip dalam etika bisnis lainnya. Dalam prinsip no harm sudah dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling menguntungkan, otonomi (termasuk kebebasan dan tanggung jawab), integritas moral, hormat pada diri sendiri, dan prinsip tidak berbuat jahat. Orang yang jujur dengan sendirinya tidak akan merugikan orang lain, orang yang saling mau menguntungkan dengan pihak lain tentu tidak akan merugikan pihak lain itu, dan demikian pula orang yang otonom dan bertanggung jawab tidak akan mau merugikan orang lain tanpa alasan yang dapat diterima dan masuk akal. Jadi, prinsip no harm memiliki jangkauan yang sangat luas mencakup banyak prinsip etika lainnya. Hal yang menarik dari prinsip no harm tidak hanya berwujud imbauan moral, yang pelaksanaannya diserahkan kepada kemauan baik setiap pelaku bisnis. Prinsip no harm juga diterapkan menjadi hukum tertulis yang dengan demikian menjadi pegangan dan rujukan konkrit dengan sanksinya yang jelas bagi bagi semua pelaku ekonomi. Jadi, prinsip ini pada akhirnya menjadi lebih pasti, tidak hanya karena dijabarkan dalam berbagai aturan perilaku bisnis yang konkret (perilaku mana saja yang dianggap merugikan dan karena itu dilarang) melainkan juga karena didukung oleh sanksi dan hukuman yang tegas.

(23)

D. Hubungan CSR dan GCG Dengan Etika Bisnis Perusahaan 1. Corporate Social Responsibility Dalam Etika Bisnis Perusahaan

CSR kepada masyarakat merupakan investasi signifikan dalam mempertahankan eksistensi suatu perusahaan. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan tanpa bantuan pihak lain. CSR merupakan pengambilan keputusan Perusahaan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, dapat memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menjunjung tinggi harkat manusia, masyarakat dan lingkungan. Penerapan CSR merupakan salah satu implementasi etika bisnis.132

Etika bisnis sebagai etika terapan sesungguhnya merupakan penerapan dari prinsip-prinsip etika pada umumnya. Konsep responsibility (tanggung jawab) dan fairness (keadilan) merupakan prinsip-prinsip etika tersebut yang diimplementasikan dalam wujud CSR. Oleh sebab itu, mengkaji konsep CSR berarti membicarakan konsep tanggung jawab (responsibility) perusahaan dan perwujudan keadilan (fairness) sebagai etika bisnis.

      

132 http://www.csrindonesia.com/faq.php#, diakses tanggal 7 Juni 2010. Konsep hubungan

antara perusahaan dengan stakeholder dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa pengamat menyatakan CSR berhutang sangat besar pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqh muamalah dalam Islam. Pada dekade 1980-an dunia barat menyetujui penuh adanya tanggung jawab sosial itu. Tentu dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman perusahaan terhadap apa yang disebut tanggung jawab sosial.

(24)

Responsibility atau pertanggungjawaban adalah kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan/hukum yang berlaku, di antaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab selain kepada shareholders juga kepada stakeholders.133

Fairness, menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak shareholder dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan pula, fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. 134

Selanjutnya, perusahaan adalah perwujudan dari kepentingan manusia dalam melakukan usaha sehingga sifat yang sama antara perusahaan dengan manusia. Sesuai dengan teori realistis (teori organ) yang menganggap bahwa suatu perusahaan yang berbadan hukum dalam suatu tata hukum sama saja layaknya dengan keberadaan manusia selaku subjek hukum. Dalam hal ini, badan hukum tersebut bertindak melalui organ-organnya.135 Hal ini juga didukung oleh pandangan kolektivitas yang

      

133 Yusuf Wibisono., Op.cit., hal. 11-12. 134 Ibid., hal .12.

135 Munir Fuady., Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam

(25)

melihat pada sifat kolektif perusahaan yang bertahan pada moralitas sasaran, strategi, prosedur, dan pengendalian perusahaan.136

Perusahaan merupakan badan hukum maka perusahaan mempunyai hak dan kewajiban. Kemudian berbicara mengenai etika bisnis, maka untuk menentukan suatu perusahaan mempunyai tanggung jawab moral (secara etis) maka perusahaan perlu berstatus moral atau dengan kata lain perlu merupakan pelaku moral (agen moral). Pelaku moral bisa melakukan perbuatan etis atau tidak etis. Salah satu syaratnya adalah memiliki kebebasan atau kesanggupan mengambil putusan bebas.137

Selanjutnya W. Michael Hoffman memberikan jalan tengah bahwa baik perusahaan maupun individu pengurusnya adalah moral agent. Hoffman mencoba menggabungkan antar kultur moral perusahaan dengan otonomi moral individu-individu sebagai pengurusnya yang mengelola perusahaan sedemikian rupa sehingga menghasilkan kultur perusahaan yang bermoral. Sifat kultur perusahaan moral adalah kuncinya. Kultur perusahaan harus diciptakan dengan cara sedemikian rupa sehingga sasaran etis, struktur dan strategi tertentu, dikemukakan secara jelas untuk membentuk kerangka kerja yang konseptual dan operasional untuk pengambilan keputusan moral. Faktor kunci ini harus diselaraskan dengan otonomi individual yang berwatak baik.138

      

136 Peter Pratley., Etika Bisnis (The Essence of Business Ethic), diterjemahkan oleh Gunawan

Prasetio., Op. cit., hal. 114. Paham ini menolak melihat bagaimana seluruh organisasi ditunjang oleh manusia, yaitu individu-individu yang mampu memutuskan bagi mereka sendiri apakah dan bagaimanakah mereka mematuhi persyaratan kolektif.

137 Ibid., hal. 290. 138 Ibid., hal. 115-116.

(26)

Dengan demikian secara khusus adanya pengakuan bahwa perusahaan yang di dalamnya termasuk Perseroan Terbatas juga memiliki kehendak layaknya manusia dalam perannya sebagai moral agent sehingga pembuatan Perseroan Terbatas dapat dinilai dari sisi moral atau tidak bermoral, bertanggung jawab atau tidak bertanggungjawab. Selanjutnya, apabila perusahaan mengikatkan diri dengan manajemen kualitas, perusahaan menyetujui tanggung jawab moral tertentu. Pada aras terendah, perusahaan berjanji pada diri sendiri untuk tiga tanggung jawab perusahaan berikut ini.139

1. Perhatian pada konsumen, dinyatakan dengan memuaskan kebutuhan akan kemudahan penggunaan dan keselamatan produk yang diproduksi

2. Perhatian terhadap lingkungan

3. Perhatian terhadap kondisi-kondisi kerja minimum

Ada suatu sifat penting dari komitmen moral untuk mencegah adanya resiko. Komitmen moral itu menunjukan kemampuan upaya etis yang diikut sertakan dalam sebuah cabang bisnis. Kinerja moral dalam bisnis dapat digambarkan dengan cara negatif, yaitu sebagai kemampuan untuk membatasi resiko kerusakan dan kejahatan yang besar, tidak hanya di dalam perusahaan, tetapi juga diantara para stakeholder yang lain. Walaupun demikian lebih baik merumuskan pernyataan misi yang lebih positif dan menarik sambil tetap mengacu ke sasaran negatif ini.140

      

139 Ibid., hal 111-112. 140 Ibid., hal 112-113.

(27)

Tanggung jawab etis mencakup tanggung jawab secara umum, karena tidak semua harapan masyarakat dirumuskan dalam hukum. Etika bukan hanya sesuai dengan hukum, namun juga dapat diterima secara moral. Tanggung jawab sosial juga harus tercermin dari perilaku etis perusahaan. Perusahaan diharapkan masyarakat agar menghargai nilai-nilai cultural lokal, berperilaku baik, dan memahami kondisi nyata masyarakat di sekitar operasinya, misalnya ditunjukkan dengan berusaha mengakomodasi harapan masyarakat meskipun sebenarnya tidak diwajibkan oleh hukum.141

Tanggung jawab berperikemanusiaan/filantropis merupakan tanggung jawab terhadap sesama mencakup peran aktif perusahaan dalam memajukan kesejahteraan manusia. Tanggung jawab ini mengharuskan perusahaan untuk berkontribusi terhadap komunitasnya yaitu meningkatkan kualitas hidup. Hal yang biasanya terkait dengan tanggung jawab dari perusahaan yaitu:142

1. Board of Director yang mempunyai komitmen dan mendorong kegiatan CSR; 2. Undang-undang setempat dan peraturan perpajakan, dan juga pendapat dari

stakeholder harus dipertimbangkan; dan

3. Kegiatan ekonomi sosial dan kinerja lingkungan serta akibatnya diawasi dan dilaporkan ke publik.

Pertanggung jawaban perusahaan atas segala aktivitasnya menjadi perhatian serius yang harus dipikirkan secara komperhensif oleh perusahaan melalui organ perusahaannya dalam melakukan tindakan bisnis. Lebih lanjut ada beberapa argument

      

141 A. Sonny Keraf (I)., hal. 90. 142 Ibid.,hal. 113-114.

(28)

yang mendukung perlunya tanggung jawab sosial dilaksanakan oleh perusahaan yaitu:143

1. Kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah; 2. Kewajiban moral perusahaan;

3. Terbatasnya sumber-sumber daya; 4. Lingkungan sosial yang lebih baik;

5. Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan;

6. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya yang berguna; dan 7. Keuntungan jangka panjang.

Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup suatu bisnis yang baik untuk jangka panjang, perusahaan mengemban tanggung jawab sosial yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Meksipun dalam kenyataanya, tanggung jawab sosial dapat Bertabrakan dengan prinsip mencari keuntungan, namun justru inilah yang membedakan antara nilai sebuah bisnis yang baik dan tahan lama dari bisnis yang asal-asalan. Bisnis yang baik akan tetap mengindahkan prinsip tanggung jawab, jika perlu dengan mengorbankan keuntungan jangka pendek. Bisnis yang baik selalu mempertimbangkan keuntungan jangka pendek ini dalam rangka keuntungan jangka panjang.

2. Good Corporate Governance Dalam Etika Bisnis Perusahaan

CSR merupakan bagian dari GCG bahwa intinya GCG merupakan suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak

      

(29)

yang berkepentingan dan menggambarkan 5 (lima) prinsip GCG yaitu transparency (keterbukaan informasi), accuntability (akuntabilitas), responsibility (pertanggungjawaban), indepandency (kemandirian), fairness (kesetaraan dan kewajaran). GCG menekankan etika dalam melaksanakan pengelolaan perusahaan.144

GCG mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pemegang saham dan publik. Istilah GCG juga dapat mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu pada keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit, istilah GCG itu dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dewan direksi. Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegang saham, yang didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi merupakan perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan pemegang saham. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi bertanggung jawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggung jawab kepada pemegang saham.145

Seiring dengan perkembangan jaman, juga mendorong masyarakat untuk menjadi semakin kritis dan menyadari hak-hak asasinya, serta berani mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Hal ini

      

144 Yusuf Wibisono., Op.cit., hal. 11-12.

145 Bismar Nasution (I)., Op. cit., hal. 5. Tata kelola perusahaan yang baik (GCG) diperlukan

agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik dan beretika. Prinsip responsibility sebagai salah satu dari prinsip GCG merupakan prinsip yang mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan CSR. Penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya.

(30)

menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu, perubahan-perubahan di lingkungan masyarakat sekitar, pada tingkat kesadaran tertentu memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi atau perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, melainkan suatu entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.

Pengelolaan perusahaan mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.146 Secara lebih sempit, mencakup hubungan antara

perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum.147

Pengelolaan perusahaan dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik

      

146 Holly J. Gregory., dan Marshal E. Simms., Op. cit., hal. 3-4. 147 Ibid. Laporan tersebut diketuai oleh, Ira M. Millstein.

(31)

modal.148 Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut difokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang di antara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah:149

1. Pemastian adanya perlindungan atas hak-hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan;

2. Pengklarifikasi peran dan tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi;

3. Pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi.

Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa ”kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akurat atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan”.150

      

148 Bismar Nasution (II)., Op. cit., hal. 3. 149 Ibid., hal. 12-13.

150 Ibid, hal. 15. Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi

pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, adalah perlu kajian yang mendalam oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama GCG, termasuk prinsip keterbukaan. Upaya mencapai GCG tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah lemahnya penerapan GCG.

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan peneliti ini adalah dengan penerapan media visual dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar manipulatif melempar dan menangkap bola pada siswa kelas

Penelitian ini bertujuan mengindentifikasi potensi ekonomi kreatif, menilai potensi ekonomi kreatif unggulan dan memetakan potensi ekonomi kreatif berbasis sistem

Durasi yang dianjurkan adalah 30-60 menit setiap kali berolahraga.Sebaiknya penderita DM melakukan latihan fisik tidak lebih dari 60 menit, karena dapat menimbulkan

Jantung sekolah ada pada pembelajaran. Bila pembelajaran berhenti, berhenti pula hakikat sekolah. Pembelajaran yang dilakukan asal-asalan akan meluluskan siswa yang biasa-

Konsep Skemp (Mitchelmore dan White, 2007) menyebutkan bahwa abstraksi empiris terdiri dari pengakuan kesamaan dan diikuti dengan perwujudan kesamaan dalam sebuah objek

Kabupaten labuhan batu selatan merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan pantai timur Sumatera Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan memiliki 277.673 jiwa dimana

Dari hasil penelitian terhadap siswa SD Inpres Tiwoho yang berusia 9-12 tahun dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara promosi kesehatan

Perbedaan kecepatan operasi ini telah menyebabkan perbedaan besar kapasitas lapang efektif herbiciding, yaitu berturut-turut sebesar (0,098 - 0,111) ha/jam, 0,204 ha/jam, dan 2,657