• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

1

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

KEKARANTINAAN KESEHATAN

(2)

2

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2015

(3)

i KATA PENGANTAR

Permasalahan kesehatan di Indonesia ke depan akan semakin kompleks dan beragam. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)

sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health

Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini,

Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi

manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta

penerapannya secara universal.

Untuk mengoptimalkan upaya cegah tangkal terhadap penyebaran penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah dan menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat dunia yang terjadi di pintu masuk dan wilayah, perlu disusun adanya Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang komprehensif, integratif dan efektif, mengingat Undang-Undang yang ada sekarang sudah tidak dapat menampung semua materi permaslahan saat ini. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini dimaksudkan untuk mengganti Undang–Undang Kekarantinaan Kesehatan yang ada saat ini yaitu Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.

Dalam rangka melengkapi persyaratan Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk dibahas sebagai produk hukum, maka disusun argumentasi ilmiah yang berupa Naskah Akademis (NA) Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

(4)

ii

Keberadaan Naskah Akademik mutlak diperlukan sebagai dasar dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Dalam Naskah Akademis ini akan dibahas mengenai perlunya

penyusunan Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan

Kesehatan baik dari aspek teoritis maupun empiris pelaksanaan di lapangan.

Disadari bahwa dalam penyusunan Naskah Akademik ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik, saran maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun sangat diharapkan, demi kesempurnaan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dimasa yang akan datang.

Jakarta, 13 Mei 2015

Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kesehatan

Barlian, SH, M.Kes NIP 195811191981021001

(5)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………. 1

B. Identifikasi Masalah……….. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah

Akademik ………. 5

D. Metode ……….. 6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis……….. 11

B. Kajian terhadap Asas Yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma...……… 18

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan,

Kondisi yang ada serta Permasalahan yang

dihadapi………. 20

D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem

Baru……….... 34

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang

Karantina Udara..……….. 38

B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan

Internasional dan Peraturan

Perundang-undangan yang terkait dengan Kekarantinaan

(6)

iv

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis………. 53

B. Landasan Sosiologis……….. 55

C. Landasan Yuridis……… 56

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Sasaran……….. 58

B. Arah dan Jangkauan Pengaturan……… 58

C. Ruang Lingkup Materi Muatan………. 59

BAB VI PENUTUP

A. Simpulan……… 100

B. Saran……….. 102

DAFTAR PUSTAKA……….. 103 LAMPIRAN………..

(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amanat yang tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai hal di atas adalah melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang, memerlukan sumber daya manusia yang sehat jasmani, rohani dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Untuk mendapatkan manusia yang sehat diperlukan adanya perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat.

Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.504 pulau yang terdiri dari pulau besar/kecil serta memiliki posisi sangat strategis karena diapit oleh dua benua dan dua samudera serta berada pada jalur lalu-lintas dan perdagangan internasional dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah Indonesia, maka terdapat faktor risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit dan gangguan kesehatan.

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2014, Indonesia memiliki lebih dari 240 juta orang penduduk serta menduduki posisi keempat terbesar di dunia yang tersebar di berbagai pulau dengan kepadatan yang berbeda.

(8)

2

Tingkat kepadatan tertinggi di pulau Jawa dan Bali, dengan status sosial ekonomi sebagian besar penduduk Indonesia

tergolong rendah dibandingkan negara lain, sehingga

menimbulkan masalah kesehatan, diantaranya penyebaran penyakit infeksi, status gizi kurang dan lain-lain.

Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia dari waktu ke waktu akan semakin kompleks. Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak strategis (posisi silang), berperan penting dalam lalu lintas alat angkut, orang dan barang. Meningkatnya pergerakan dan perpindahan penduduk sebagai dampak peningkatan pembangunan, serta perkembangan teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh perjalanan antar negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini memperbesar risiko masuk dan keluar penyakit menular (new infection diseases, emerging infections diseases dan re-emerging

diseases), dimana ketika pelaku perjalanan memasuki pintu

masuk gejala klinis penyakit belum tampak. Disamping itu juga terdapat kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan pergerakan kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya, baik pergerakan secara alamiah maupun pergerakan melalui komoditas barang di era perdagangan bebas dunia yang dapat menyebabkan peningkatan faktor risiko.

Dalam praktik penyelenggaraan tindakan karantina

kesehatan saat ini, hanya dilakukan terhadap alat angkut, orang dan barang di pintu masuk yaitu Pelabuhan dan Bandar udara. Sedangkan kebutuhan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan saat ini diperlukan pula pada pos lintas batas darat negara dan wilayah.

(9)

3

Kondisi tersebut di atas dibutuhkan mengingat potensi penyebaran penyakit potensial wabah antar negara maupun antar wilayah semakin meningkat yang dapat menimbulkan epidemi, pandemi, dan kedaruratan kesehatan masyarakat bahkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

Perkembangan transportasi darat, laut maupun udara sejalan dengan kemajuan teknologi dan perekonomian memicu pula pergerakan dan perpindahan orang dan barang baik antara negara maupun antar wilayah yang berdampak pada penyebaran penyakit dan faktor risikonya, sehingga penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi dalam rangka cegah tangkal.

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia

berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia

(Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)

sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health

Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia

harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara universal.

International Health Regulations 2005 mengharuskan

Indonesia meningkatkan kapasitas berupa kemampuan dalam surveilans dan respon cepat serta tindakan kekarantinaan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan

kedaruratan kesehatan masyarakat pada pintu masuk

(pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas Batas Darat Negara) dan di wilayah.

(10)

4

Untuk itu diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan, organisasi dan sumber daya yang memadai berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan dan organisasi pelaksananya.

Pengaturan kekarantinaan kesehatan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang tersebut dibuat masih mengacu kepada peraturan kesehatan internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR)

1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health

Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang

didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi. Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati

International Health Regulations (IHR) 1969 tersebut menjadi

International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang mulai

diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007.

Pembaharuan terhadap Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang cukup kuat untuk melakukan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan secara terpadu dan sistematis.

Dengan kondisi pengaturan kekarantinaan kesehatan yang demikian sudah waktunya dilakukan pembaharuan secara menyeluruh agar terdapat pengaturan kekarantinaan kesehatan secara terpadu dan sistematis. Untuk itu diperlukan adanya penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar bagi penyusunan

draf Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan

(11)

5 B. Identifikasi Masalah

1. Permasalahan apa yang dihadapi terkait dengan

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara?

2. Mengapa diperlukan penggantian Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara?

3. Apa yang menjadi pertimbangan landasan filosofis,

sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan?

4. Apa yang menjadi sasaran, ruang Lingkup, jangkauan dan arah pengaturan dari RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan disusun?

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Tujuan Penyusunan Naskah Akademik sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi terkait

dengan kekarantinaan kesehatan di Indonesia

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.

2. Merumuskan permasalahan hukum sebagai alasan

penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.

(12)

6

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan RUU Kekarantinaan Kesehatan.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang

lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam RUU Kekarantinaan Kesehatan.

Sedangkan kegunaan naskah akademik ini adalah sebagai bahan acuan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pengambilan kebijakan bidang kekarantinaan kesehatan.

D. Metode

1. Tipe penelitian

Penelitian terhadap permasalahan kekarantinaan kesehatan menggunakan metode yuridis normatif. Metode ini dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder berupa Peraturan Perundang-undangan atau dokumen hukum lainnya, dan hasil penelitian, pengkajian, serta referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diidentifikasi. Metode yuridis normatif ini dilengkapi dengan diskusi terfokus, dan rapat dengan para pihak yang berkepentingan dalam rangka mempertajam kajian dan analisis. Para pihak yang berkepentingan antara lain kementerian/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya berhubungan dengan

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,

keimigrasian, kepabeanan, kepelabuhanan, kebandar udaraan dan pos lintas batas darat negara, serta unsur pemerintah daerah. Di samping itu dilibatkan pula para

(13)

7

akademisi, pakar dibidang yang relevan serta organisasi profesi terkait.

Dalam rangka menyusun pokok-pokok

permasalahan, perkembangan kekarantinaan,

pertahanan dan keamanan negara, dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kajian untuk mendapatkan materi dalam rangka menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Menurut Peter Mahmud dalam bukunya yang

berjudul “Penelitian Hukum” terdapat beberapa

pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian

hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach.)1

Dalam konteks Penelitian ini, pendekatan

perundang-undangan yang dilakukan adalah dengan menelaah peraturan perundang-undangan (regeling) dan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersangkut paut

dengan kekarantinaan kesehatan.2 Pendekatan

komparatif dilakukan dengan membandingkan secara substanstif pengaturan dan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di negara Indonesia dengan pengaturan kekarantinaan kesehatan di dunia internasional.

1  Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I, hlm. 93-94   2  Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.391. A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan

Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni 1992.  

(14)

8

2. Jenis Data dan Cara Perolehannya

a. Penelitian Kepustakaan

Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, yang sumber datanya diperoleh dari:

1) Bahan hukum primer:

Bahan-bahan hukum yang mengikat berupa UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundang-undangan, serta dokumen hukum lainnya yang berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan. Peraturan perundang-undangan yang dikaji secara hierarkis sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962

tentang Karantina Laut;

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962

tentang Karantina Udara;

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984

tentang Wabah Penyakit Menular;

d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992

tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan;

e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan;

f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008

(15)

9

g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

tentang Pelayaran;

h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan;

i. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan;

j. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian;

2) Bahan hukum sekunder yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti risalah sidang, konvensi internasional, dokumen penyusunan peraturan yang terkait

dengan penelitian ini dan hasil-hasil

pembahasan dalam berbagai media dan sidang internasional terkait kekarantinaan kesehatan.

3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum

penunjang seperti kamus hukum dan bahan lain di luar bidang hukum yang dipergunakan untuk melengkapi data penelitian.

b. Penelitian Lapangan

Untuk menunjang akurasi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dilakukan penelitian lapangan guna memperoleh informasi langsung dari sumbernya (data primer).

Informasi diperoleh melalui wawancara secara terstruktur dengan ahli terkait kekarantinaan kesehatan. Selain itu untuk mendapatkan informasi

yang mendukung kebutuhan pengaturan

kekarantinaan kesehatan juga dilakukan simulasi episenter pandemi dalam rangka kesiapsiagaan dan

(16)

10

antisipasi serta penilaian kapasitas inti dan implementasi penuh IHR (2005).

3. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif.

Bahan-bahan hukum tertulis yang telah terkumpul

diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi, kemudian dilakukan content analysis

secara sistematis terhadap dokumen bahan hukum dan dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Analisis data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang akan menuju dasar dari penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara.

(17)

11 BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Teori terjadinya penyakit berkembang dari waktu ke waktu. Pada awal abad ke-19 terdapat beberapa pendapat mengenai kejadian penyakit dalam skala besar di masyarakat. Pendapat pertama3 yang dikenal dengan teori lingkungan

yang didasarkan pada teori Hiprocrates menyatakan bahwa kejadian KLB penyakit karena kualitas air dan udara karena adanya perubahan cuaca. Pendapat kedua4 yang dituliskan

oleh seorang dokter Venesia-Italia bernama Girolamo Fracastoro (1930) menyatakan bahwa kejadian penyakit ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui zat penular (transference) yang disebut teori kontagion. Menurut teori ini sakit terjadi karena adanya proses kontak bersinggungan dengan sumber penyakit.

Berdasarkan teori kontagion inilah dimulai usaha isolasi dan karantina yang dipraktekkan oleh beberapa kota di Italia dengan melakukan karantina terhadap kapal kapal yang berlayar dan kru kapal5, selanjutnya konsep isolasi dan

karantina kemudian mempunyai peranan positif dalam usaha pencegahan penyakit menular hingga saat ini.

3Greenwood M. 1933. Epidemics and Crowd Diseases: an Introduction to the study of Epidemiology in. Epidemiology Kept Simple an introduction to the Traditional and Modern Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition. 2003.

4Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum Curatione in. Theories of Causation; Dana Loomis and Steve Wings Oxford University Press. New York. 2001.

5Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the Study of Infectious Diseases. Oxford University Press. New York. 2001

(18)

12

Sejalan dengan kemajuan di bidang teknologi

kedokteran, kuman (mikroorganisme) dianggap sebagai penyebab tunggal penyakit (Robert Koch) yang dikenal sebagai agen penyakit.

Agen penyakit menular yang bervariasi dari protein yang bereplikasi sendiri (Prion), partikel sub virus (virusoid-delta

hepatitis agen), virus, bakteria (Chlamidia, Rickettsia, dan

Mycoplasma), fungi (ragi dan jamur), protozoa, cacing, dan

ektoparasit. Setiap agen penyakit tersebut memiliki cara dan kemampuan untuk menginfeksi inang (host), berpindah ke inang lainnya, dan menyebabkan penyakit. Hubungan antara inang dan agen penyakit tersebut membentuk hubungan yang simbiotik, komensal atau parasit, hubungan ini tergantung kepada agen (agent), inang (host) dan lingkungan

(environment) yang dikenal teori triangle6. Terjadinya

penularan penyakit dapat terjadi karena 1) adanya inang yang rentan, bahwa meskipun seseorang hidup dalam lingkungan penuh mikroorganisme patogen namun tetap sehat karena sudah adanya kekebalan, 2) adanya agen patogen yang mampu menyebabkan sakit dan 3) mikroorganisme patogen mempunyai reservoir sebagai tempat untuk bertahan hidup dan menggandakan diri, reservoir dimaksud diantaranya manusia, hewan dan lingkungan, serta 4) adanya jalan keluar dari reservoir dan jalan masuk ke inang yang rentan7.

Penularan dapat terjadi dengan satu atau lebih cara yaitu melalui kontak (contact), benda umum (common), udara

(air borne) atau vektor (vector borne). Penularan kontak dapat

terjadi secara langsung, tidak langsung maupun percikan

6 Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David and Rutala A. William Biological Basis on Infectious Disease Epidemiology; Oxford University Press. New York. 2001.

(19)

13

(droplet) yang jarak kurang 1 meter. Penularan benda umum

terjadi seperti melalui minuman, makanan, peralatan medis termasuk transfusi. Penularan melalui udara terjadi dalam jarak yang lebih jauh, sedangkan penularan melalui vektor terjadi melalui hewan antropoda.

Namun demikian, kebanyakan jenis penyakit menular belum diketahui dengan pasti model penularannya, padahal pemahaman terhadap transmisi dari sumber infeksi ke inang sangat penting dalam menentukan upaya pengendalian yang diterapkan.

Menurut H.L. Blum status derajat kesehatan masyarakat atau perorangan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu lingkungan, perilaku, layanan kesehatan dan keturunan. Hal ini didukung dengan konsep manajemen penyakit berbasis

wilayah (Ahmadi, 2005) yang menyebutkan bahwa

keterpaduan intervensi dicerminkan dalam intervensi program, baik upaya pencegahan promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif menuju ke suatu fokus penyakit yang menjadi fokus prioritas nasional maupun prioritas daerah8.

Dalam merumuskan fokus tersebut maka permasalahan kesehatan dilihat dari hulu ke hilir, mulai dari sumber penyakit, media lingkungan sebagai transmisi, simpul kependudukan, kontak manusia dengan sumber penyakit dan dampak kesehatan terhadap manusia yang dikenal dengan teori simpul.

Penyebaran penyakit terutama penyakit potensial wabah semakin cepat dan meluas seiring dengan tingginya arus lalu

8Umar Fahmi Achmadi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penebit Buku Kompas

Jakarta Cetakan 1. 2005

(20)

14

lintas alat angkut, orang dan barang. Hal ini menuntut adanya kewaspadaan yang perlu disikapi secara serius karena dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih

luas. Salah satu upaya yang diperlukan untuk

meminimalisasi penyebaran penyakit adalah dengan

melakukan tindakan karantina kesehatan.

Untuk itu diperlukan adanya dasar hukum atau pengaturan yang memadai bagi instansi terkait untuk melakukan tindakan karantina kesehatan, karena tindakan

karantina kesehatan bersifat multidisipliner dan

multisektoral.

Karantina kesehatan telah dilaksanakan sejak lama oleh banyak negara, bahkan sejak zaman kerajaan Romawi. Hal itu tercermin dari pengertian karantina yang didasarkan pada peristiwa yang terjadi. Kata "karantina" berasal dari bahasa latin "quadraginta" yang berarti empat puluh. Ini berasal dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut yang berasal dari negara tertular penyakit epidemis, seperti pes, demam kuning, dimana awak kapal dan penumpangnya dipaksa untuk tetap tinggal terisolasi di atas kapal yang ditahan di lepas pantai selama empat puluh hari, yaitu jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang dicurigai (Morschel, 1971).

Definisi lain dari karantina adalah tempat dimana sebuah alat angkut (kapal laut atau pesawat udara) ditempatkan di pengisolasian atau pembatasan dalam perjalanan untuk mencegah agar suatu penyakit menular, serangga hama penyakit hewan dan lain-lain tidak menyebar. Suatu keadaan dalam masa karantina adalah suatu tempat dimana orang, binatang atau tanaman yang berpenyakit

(21)

15

menular diisolasi atau dalam keadaan tidak dapat melakukan perjalanan.

Menurut International Health Regulations (IHR) 2005, karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum menunjukkan gejala penyakit dan pemisahan alat angkut atau barang yang diduga terkontaminasi dari orang dan atau barang lain sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan di pintu masuk yang merupakan tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas darat atau laut negara.

Di samping itu diperlukan pula kekarantinaan kesehatan di wilayah mengingat potensi episenter pandemi berada di wilayah, demikian pula potensi penyebaran penyakit juga lebih besar di wilayah karena sebagian besar penduduk terancam berada di wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dilakukan dengan surveilans kesehatan dan responnya dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan.

Surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan kesehatan merupakan suatu analisis yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten terhadap segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara melalui penyakit dan faktor risikonya, kedaruratan nuklir, dan bentuk-bentuk teror biologi dan kimia melalui pintu masuk dan wilayah, sebagai bagian dari proses perlindungan terhadap masyarakat dan kedaulatan negara.

(22)

16

angkut, orang, barang dan lingkungan serta wilayah yang terindikasi sebagai episenter pandemi.

Tindakan kekarantinaan kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan 1) tindakan isolasi terhadap orang dan barang, 2) tindakan karantina terhadap orang, barang, alat angkut dan lingkungan, 3) tindakan vaksinasi terhadap orang dan barang, 4) tindakan deratisasi terhadap alat angkut dan lingkungan 5) tindakan desinseksi terhadap alat angkut, lingkungan dan media lingkungan 6) tindakan desinfeksi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media lingkungan 7) tindakan dekontaminasi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media lingkungan dan 8) tindakan kekarantinaan kesehatan lain berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi.

Tindakan karantina merupakan bagian integral dari penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Tindakan karantina tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari risiko penyebaran suatu penyakit menular, sehingga tidak menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat di suatu wilayah negara bahkan yang memungkinkan penyebaran lintas negara dan berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

Tindakan karantina dilakukan dengan cara memisahkan orang, barang, alat angkut yang terpapar dengan sumber penularan dan patut diduga dan/atau tersangka (suspek).

(23)

17

Kesehatan, kesehatan adalah suatu keadaan sehat baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan perkembangan kondisi lingkungan dan semakin beragamnya jenis-jenis penyakit yang harus ditangkal menyebabkan tindakan karantina kesehatan diperluas maknanya. Perluasan makna karantina kesehatan tidak terbatas pada penyakit karantina tetapi sudah meluas pada penyakit yang berpotensi menimbulkan kondisi Public Health

Emergency of International Concern (PHEIC). Di samping itu

perlakuan tindakan karantina pun tidak hanya terbatas pada penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang ada di pintu masuk tetapi juga di wilayah serta pos lintas batas darat.

Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagai upaya cegah tangkal masuk dan keluarnya penyakit dan faktor risikonya dilakukan melalui :

a. Dari dalam negeri, diisyaratkan kemampuan utama

surveilans, deteksi dini dan respon cepat mulai dari masyarakat sampai dengan tingkat nasional. Apabila dijumpai penyakit atau kejadian yang berpotensi PHEIC berdasarkan laporan dari masyarakat maka dilakukan penyelidikan epidemiologis dan respon cepat mulai tingkat puskesmas dan Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat. Di tingkat pusat melakukan verifikasi dan koordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia.

Di dalam proses respon cepat yang di atas dilakukan karantina rumah, karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar, serta isolasi bagi kasus dan karantina di Rumah Sakit. Tindakan itu didukung juga dengan

(24)

18

tindakan di pintu keluar (bandar udara, pelabuhan, PLBDN).

b. Dari luar negeri, diisyaratkan kemampuan utama

surveilans, deteksi dini dan respon cepat dimulai dari pintu masuk (bandar udara, pelabuhan, PLBDN). Kegiatan yang dilakukan adalah surveilans rutin terhadap alat angkut, orang, barang dan lingkungan. Disamping surveilans rutin, juga harus memperhatikan informasi aktual tentang penyakit yang berpotensi PHEIC yang sedang berkembang di dalam dan luar negeri. Jika

ditemukan indikasi, maka dilakukan suatu

respon/intervensi berupa tindakan kekarantinaan

kesehatan (tindakan karantina, tindakan isolasi, serta tindakan penyehatan).

B. Kajian Terhadap Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Tujuan dari kekarantinaan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas adalah untuk mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dan lintas wilayah tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional maupun nasional dengan prinsip menghormati martabat, hak asasi dan kebebasan hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam pembuatan naskah akademik ini memuat asas-asas sebagai berikut:

1. Asas perikemanusiaan, berarti bahwa penyelenggaraan

kekarantinaan kesehatan harus dilandasi atas

perlindungan dan penghormatan pada nilai-nilai

(25)

19

membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, bangsa, status sosial dan gender.

2. Asas manfaat, berarti bahwa penyelenggaraan

kekarantinaan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perlindungan kepentingan nasional dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

3. Asas pelindungan, berarti bahwa penyelenggaran

kekarantinaan kesehatan harus mampu melindungi seluruh masyarakat dari penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia.

4. Asas keadilan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang.

5. Asas non diskriminatif, berarti bahwa dalam

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tidak

membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

6. Asas kepentingan umum, berarti bahwa dalam

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus

mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

7. Asas keterpaduan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dilakukan secara terpadu melibatkan lintas sektor.

8. Asas kesadaran hukum, berarti bahwa dalam

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat.

(26)

20

9. Asas kedaulatan negara, berarti bahwa dalam

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus

mengutamakan kepentingan nasional dan ikut

meningkatkan upaya pengendalian kedaruratan

kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada serta Permasalahan Yang Dihadapi

Di Indonesia, praktik penyelenggaraan tindakan karantina telah dilaksanakan sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Staatsblad Nomor 277 tentang Quarantaine

Ordonnantie yang ditetapkan pada tanggal 6 April 1911

dengan pengaturan pengawasan penyakit pes, kolera dan demam kuning. Selanjutnya ditetapkan pula staatsblad Nomor 298 pada tanggal 22 April 1911 tentang Epidemie Ordonantie

yang merupakan bagian dalam pelaksanaan staasblad No 277 tersebut di atas. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pilgrim Ordonnantie tahun 1922, yaitu dengan dilaksanakannya “pengasingan” pada suatu tempat terhadap calon Jemaah haji untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan para calon Jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci bebas dari penyakit menular yang dapat berjangkit selama perjalanan maupun di negara tujuan (Arab Saudi), sehingga mengganggu kelangsungan ibadah haji.

Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat, yaitu di Pulau Onrust di gugusan Kepulauan Seribu dan Pulau Rubiah di Wilayah Sabang. Kekarantinaan pada zaman Hindia Belanda diselenggarakan oleh Harbour Maaster.

Pada awal kemerdekaan, kekarantinaan tetap

(27)

21

1953 WHO mengeluarkan International Sanitary Regulation

(ISR) guna mengantisipasi berbagai epidemi yang berlangsung di negara-negara Eropa serta Benua Amerika dan Benua Asia, seperti penyakit pes, influenza, malaria, kolera, dan cacar.

Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan secara

internasional terus berkembang sejalan dengan

perkembangan penyakit menular yang potensial

menimbulkan wabah. Dalam konvensi internasional yang ditetapkan melalui ISR 1953, kekarantinaan difokuskan pada upaya untuk mencegah dan menangkal (port of entry dan port

d’entry) melalui pintu masuk, yaitu pelabuhan dan bandar

udara, sehingga dalam kekarantinaan kesehatan dikenal adanya penyakit karantina, yaitu kolera, pes, demam kuning, demam balik-balik, tifus bercak wabahi dan cacar. Seperti pada zaman Hindia Belanda, kekarantinaan di Indonesia diselenggarakan oleh otoritas bandar udara dan pelabuhan.

Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut dan Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara.

Dinas Kesehatan Pelabuhan tersebut merupakan unsur Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab di bawah Kantor Wilayah Kesehatan, dengan tugas utama melaksanakan upaya cegah tangkal terhadap penyakit karantina melalui pelabuhan dan bandar udara.

Sesuai perkembangan penyelenggaraan pemerintahan

dengan melakukan desentralisasi, organisasi Dinas

Kesehatan Pelabuhan Laut dan Udara disesuaikan menjadi Kantor Kesehatan Pelabuhan yang merupakan unit pelaksana

(28)

22

teknis Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab di bawah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas di bidang pemberantasan penyakit menular.

Praktik kekarantinaan kesehatan terus berkembang dalam kerangka tugas QIC (quarantine, immigration, custom), dengan melakukan upaya pengamatan penyakit menular, penyehatan lingkungan, serta tindakan isolasi dan karantina terhadap alat angkut, orang/pelaku perjalanan, dan barang.

Upaya pengamatan penyakit menular dilakukan dengan penemuan kasus, pencegahan dengan pemberian vaksinasi sebagai prasyarat untuk memperoleh sertifikat vaksinasi internasional (ICV), dan melakukan pengawasan sanitasi terhadap alat angkut untuk memperoleh dokumen sanitasi kapal, serta pengawasan terhadap orang, barang, dan lingkungan guna mencegah kemungkinan penyebaran atau penularan penyakit di lingkungan pintu masuk.

Pada dekade awal tahun 2000, dunia dikejutkan dengan munculnya jenis penyakit baru yang menimbulkan epidemi, seperti SARS dan flu burung (H5N1), sehingga WHO melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan kesiapsiagaan di setiap negara anggota, termasuk dalam pelaksanaan kekarantinaan. Selanjutnya, terjadi penyakit baru lagi yang belum diketahui penyebabnya, seperti ILI

(influenza like illness) dan kejadian penyakit zoonosis yang

muncul kembali dan menyerang manusia.

Berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi khususnya kejadian penyakit menular potensial wabah, diperkirakan bahwa penyakit menular bersumber binatang dan penyakit zoonosis lainnya akan semakin menjadi ancaman kesehatan masyarakat. Indonesia sebagai negara di

(29)

23

wilayah tropis memiliki penyakit bersumber binatang dan/atau penyakit zoonosis yang potensial sewaktu-waktu menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit menular seperti pes, antrax, rabies, leptospirosis, japanese

enchepalitis telah lama endemis di Indonesia dan berkali-kali

menimbulkan kejadian luar biasa, bahkan terdapat penyakit zoonosis yang dahulunya hanya menyerang primata telah menyebrang ke manusia, seperti filariasis yang ditularkan dengan perantaraan cacing mikrofilaria pahangi di Kalimantan. Di beberapa perairan Indonesia tumbuh dan berkembang sejenis ganggang merah yang pada musim-musim tertentu dapat menjadi penyebab kematian terutama pada nelayan yang mencari penghidupan di lautan.

Dengan kemajuan teknologi kesehatan, jenis binatang tertentu seperti serangga, unggas, primata, dan binatang peliharaan lainnya dapat direkayasa menjadi vektor dan binatang pembawa penyakit yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah.

Pada tahun 2005, Badan Pekerja WHO (WHA) telah menyepakati konvensi berupa International Health Regulation

(IHR) 2005. Dalam konvensi ini, perhatian utama diarahkan

terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat yang

meresahkan dunia (KKMMD) yang merupakan akibat dari wabah penyakit dan kejadian kesakitan atau kematian oleh agen biologi, kimia, dan nuklir (Nubika). Perhatian juga diarahkan terhadap kemungkinan terjadinya bioterorisme yang dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu, dengan tujuan menimbulkan kekacauan, kepanikan, dan musibah massal.

Pada dasarnya praktik kekarantinaan kesehatan dilaksanakan sesuai standar internasional yang ditetapkan

(30)

24

oleh WHO dengan kolaborasi IMO, ICAO, ILO, dan IATA, meskipun secara organisasi setiap negara diberikan kewenangan sesuai dengan hukum yang berlaku pada masing-masing negara. Filosofi kekarantinaan kesehatan pada dasarnya adalah melakukan pembatasan terhadap pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta lingkungan yang dicurigai berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan penyakit serta faktor risikonya dengan prinsip minimal pembatasan dan maksimal perlindungan.

Dengan munculnya penyakit baru (new emerging

diseases) dan penyakit yang lama muncul kembali (

re-emerging diseases), baik di wilayah Indonesia maupun di luar

negeri, maka upaya kekarantinaan kesehatan semakin ditingkatkan intensitasnya melalui akselerasi surveilans kesehatan guna mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebaran penyakit antarwilayah maupun antarnegara. Untuk meningkatkan kemampuan dalam kekarantinaan kesehatan dilakukan penataan organisasi, yaitu menetapkan organisasi baru Kantor Kesehatan Pelabuhan, dengan fokus tugas melakukan kekarantinaan dan surveilans kesehatan, pengendalian risiko lingkungan, dan upaya kesehatan lintas wilayah termasuk pelayanan kesehatan terbatas guna mengidentifikasi potensi penyebaran penyakit menular.

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia

(Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)

sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health

Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini

(31)

25

menyeluruh pengaturan kekarantinaan kesehatan agar terdapat pengaturan secara terpadu dan sistematis. Beberapa pokok-pokok permasalahan yang harus segera ditangani, antara lain :

1. Penyesuaian dengan IHR 2005

Pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang ada, masih didasarkan pada ISR tahun 1953, sementara perkembangan ketentuan internasional yang berlaku telah didasarkan pada IHR tahun 2005.

Akibatnya banyak istilah atau definisi dalam Undang-Undang Karantina yang sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan internasional yang berlaku saat ini. Disamping itu dalam Undang-Undang Karantina belum mengakomodir materi muatan yang berkaitan dengan peningkatan core capacities di setiap pintu masuk dan keluar sebagaimana yang telah dipersyaratkan oleh IHR (2005). Core capacities tersebut meliputi adanya surveilans rutin, surveilans respon cepat, serta koordinasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan karantina kesehatan.

Dalam IHR (2005) juga dicantumkan mengenai new

emerging diseases, emerging diseases dan re-emerging

diseases. Hal penting terhadap new emerging diseases

adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan antisipasi terhadap sumber penyebab, penyebab dan pola penyebarannya. Sedangkan re-emerging diseases

adalah kemampuan untuk melakukan analisis terhadap kemungkinan terjadinya mutasi, resistensi dan pola penyebarannya. Selain itu dalam IHR (2005) juga mencantumkan ancaman kesehatan yang bersumber

(32)

26

dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA) yang

berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan

masyarakat yang meresahkan masyarakat dunia (PHEIC).

Pengamatan dan pengawasan terhadap obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif (OMKABA) juga merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sementara ketentuan tersebut belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Karantina yang ada.

Dalam praktik kekarantinaan kesehatan, untuk pengawasan OMKABA banyak negara mempersyaratkan sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh otoritas kesehatan di pintu masuk negara (embarkasi), sebagai bentuk legalisasi dalam proses keluar masuknya barang tersebut antar negara.

Apabila negara tujuan meminta sertifikat kesehatan untuk OMKABA maka otoritas karantina kesehatan menerbitkan sertifikat kesehatan atau surat keterangan kesehatan OMKABA.

Untuk itu perlu adanya perubahan penetapan bukan hanya jenis penyakit karantina, tetapi juga mencakup penyakit lama yang muncul kembali (

re-emerging diseases), new emerging diseases dan

pengaturan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kondisi PHEIC, antara lain ancaman kesehatan yang bersumber dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA). Dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan juga harus mencantumkan kewajiban adanya core capacities IHR 2005.

(33)

27 2. Praktik Kekarantinaan Kesehatan yang lebih

komprehensif

Pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Namun dalam praktiknya, penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan saat ini baru dilakukan di pintu masuk, khususnya di pelabuhan dan bandar udara. Selain hal tersebut, diperlukan pula pengaturan kekarantinaan kesehatan di Pos Lintas Batas Darat Negara, zona karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah.

a) Kekarantinaan Kesehatan Di Pos Lintas Batas Darat Negara

Dalam ketentuan karantina yang berlaku saat ini, kekarantinaan kesehatan hanya dilakukan di pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan barang, khususnya Pelabuhan dan Bandar udara. Sementara perkembangan yang ada di pintu masuk dan keluar, terjadi pula di pos lintas batas darat negara yang berpotensi pula menjadi media penyebaran penyakit menular. Pos lintas batas darat negara seperti di pos lintas batas darat Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Papua Nugini, Indonesia dengan Timor Leste menjadi sarana lintas batas orang dan barang yang cukup intensif. Hal ini menuntut pula agar kekarantinaan kesehatan diperluas pada wilayah dan pos lintas batas darat negara.

(34)

28

Kondisi tersebut belum diatur dalam Undang-Undang Karantina yang ada. Untuk itu diharapkan pengaturan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang akan datang perlu dicantumkan ketentuan mengenai kekarantinaan kesehatan di wilayah dan di pos lintas batas darat negara.

b) Zona Karantina

Dalam praktiknya untuk melakukan tindakan kekarantinaan kesehatan terhadap alat angkut dan muatannya diperlukan adanya zona karantina, baik di lingkungan pelabuhan maupun di bandar udara.

Undang-Undang Karantina yang ada, belum

mengatur keberadaan zona karantina, tetapi pelaksanaan zona karantina didasarkan pada pertimbangan epidemiologis.

Keberadaan zona karantina belum dapat diimplementasikan secara optimal pada pintu masuk dan keluar alat angkut beserta muatannya. Hal itu akan menyulitkan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, apabila terjadi kasus penyebaran penyakit

yang memerlukan tindakan kekarantinaan

kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang akan datang mengenai penetapan zona karantina di setiap pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan barang. Dalam penetapan zona karantina baik di pelabuhan, bandar udara, atau pos lintas batas darat

(35)

29

negara serta di wilayah ditentukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah yang bersangkutan.

c) Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah

Pada akhir-akhir ini sering terjadi adanya pandemi di suatu wilayah tertentu di Indonesia yang

dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan

masyarakat, misalnya ketika terjadinya pandemi

Avian Influenza (H5N1) dan Swine Flu (H1N1). Untuk

mencegah timbulnya penyebaran penyakit tersebut

salah satunya perlu dilakukan tindakan

kekarantinaan kesehatan pada wilayah yang terjangkit.

Tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah dilaksanakan terhadap wilayah yang ditemukan kasus/sumber penularan penyakit potensial wabah agar tidak terjadi penyebaran penyakit ke wilayah lain.

Sementara itu belum ada pengaturan untuk melakukan kekarantinaan kesehatan di wilayah yang terjangkit pandemi. Terkait hal tersebut perlu adanya ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan dan mekanisme, penetapan tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah, karena berhubungan dengan otonomi daerah. Pengaturan tersebut harus mampu

mensinergi penyelenggaraan kekarantinaan

kesehatan antara Pusat dengan daerah.

(36)

30

Sesuai prinsip dasar kekarantinaan kesehatan adalah seminimal mungkin melakukan pembatasan dan

semaksimal mungkin memberikan perlindungan

terhadap orang yang diduga kontak dengan penderita atau sumber penularan lainnya. Terhadap mereka yang positif menderita penyakit dilakukan isolasi di rumah sakit yang ditunjuk untuk dilakukan penanganan, sedangkan terhadap suspek atau kontak dikenakan tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi terpanjang dari penyakit yang diderita. Terhadap alat angkut dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan sesuai dengan faktor risikonya, seperti desinfeksi, disinseksi, deratisasi, dan/atau dekontaminasi.

Dalam hal terjadi penyimpangan atau pelanggaran

terhadap pelaksanaan kekarantinaan kesehatan,

dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam praktiknya, pelanggaran terhadap

penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sering terjadi, seperti terjadinya penolakan tindakan kekarantinaan kesehatan, pemalsuan dokumen, dan pelanggaran izin kekarantinaan.

Keterbatasan dukungan peraturan perundang-undangan dalam penindakan terhadap pelanggaran kekarantinaan kesehatan, seperti sanksi pidana maupun sanksi administrasi yang terlalu ringan, menyebabkan

berulangnya pelanggaran-pelanggaran dan tidak

menimbulkan efek jera. Kondisi ini jelas memberikan dampak yang luas, seperti timbulnya penyebaran penyakit di wilayah negara, terganggunya kegiatan

(37)

31

ekspor-impor, kepariwisataan, dan akhirnya mengancam kondisi sosial, ekonomi, serta keamanan dan pertahanan negara.

Sebagai gambaran, masuknya penyakit polio ke wilayah Indonesia (Sukabumi) dari Afrika (Nigeria) pada tahun 2005, negara harus menanggung beban untuk melindungi seluruh bayi dan anak balita agar tidak terserang penyakit polio dengan melakukan Pekan Imunisasi Nasional yang menghabiskan dana lebih dari satu trilyun Rupiah. Kejadian merebaknya MERS-CoV di Arab Saudi berpengaruh terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan umrah karena setiap calon Jemaah perlu memperoleh perlindungan maksimal, yang memerlukan biaya negara yang besar.

Sebaliknya apabila terjadi ancaman penyakit dari luar dan negara tidak melakukan tindakan untuk antisipasi, maka dapat berakibat negara mendapat peringatan (warning), seperti travel warning, penghentian

ekspor-impor, yang sangat merugikan kegiatan

pariwisata dan perdagangan yang jelas akan berdampak negatif terhadap devisa negara.

Kondisi tersebut di atas belum dilindungi oleh

hukum yang mengatur terhadap kekarantinaan

kesehatan saat ini. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk melakukan pengaturan yang lebih komprehensif agar seluruh komponen negara mampu melakukan deteksi dini dan

menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan serta

(38)

32 4. Kelembagaan

Kekarantinaan kesehatan secara praktik di

lapangan hanya dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Kewenangan KKP sebagai lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk sangat terbatas. Kondisi ini juga diperberat oleh belum optimalnya koordinasi dan komunikasi antar instansi dalam pelaksanaan tugas QICP (quarantine, immigration, custom, port).

Sebagai gambaran, dalam peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa alat angkut yang datang dari luar negeri berada dalam status karantina karena berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan penyakit serta faktor risikonya. Untuk itu, sesuai dengan aturan internasional, jajaran kesehatan (KKP) yang memiliki kewenangan untuk paling awal melakukan pengawasan, pengamatan, dan pemeriksaan terhadap alat angkut tersebut.

Namun dalam praktik di lapangan, seringkali aturan ini tidak ditaati dan dilanggar sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan petugas yang bersangkutan. Pada akhirnya kondisi tersebut dapat berpotensi terjadinya penyebaran penyakit yang lebih luas di wilayah negara melalui pintu masuk. Salah satu penyebab tidak berjalannya koordinasi pada tugas QICP karena KKP hanya merupakan unit pelaksana teknis yang sangat terbatas kewenangannya.

Mengingat dalam pelaksanaan tugas QICP di pintu masuk dilaksanakan oleh jajaran Kementerian terkait

(39)

33

(unsur pusat), maka perlu dikaji organisasi kelembagaan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang ada pada saat ini. Organisasi penyelenggara kekarantinaan kesehatan agar lebih efektif dan efisien, perlu dipertimbangkan sebagai berikut.

a.Di pintu masuk (pelabuhan, Bandar udara, dan PLBDN), kekarantinaan kesehatan dilakukan oleh organisasi pusat di wilayah sebagai unsur perwakilan pusat dalam bentuk Kantor Wilayah.

b.Di pusat sebagai unit utama Kementerian Kesehatan dalam bentuk Direktorat Jenderal untuk menyusun kebijakan teknis, NSPK, serta pengendalian dan pengawasan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan.

5. Kondisi Sumber Daya

KKP di seluruh Indonesia saat ini berjumlah 49 unit kerja, yang memiliki 304 wilayah kerja. Jumlah personel tercatat sebanyak 2.616 orang. Setiap KKP sesuai dengan klasifikasi dan beban kerjanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana berupa gedung dan bangunan, sarana operasional, dan sarana pendukung lainnya untuk kelancaran tugas kekarantinaan kesehatan. Dibandingkan dengan beban tugas yang diemban, maka kondisi sumber daya yang tersedia saat ini masih minimal. Sebagai gambaran, sumber daya manusia teknis sesuai dengan analisis beban kerja masih memerlukan kurang lebih 500 tenaga teknis fungsional,

seperti dokter, perawat kesehatan masyarakat,

epidemiolog kesehatan, sanitarian, dan entomolog kesehatan.

(40)

34

Sumber pembiayaan dalam penyelenggaraan

kekarantinaan kesehatan berasal dari APBN Kementerian Kesehatan dalam jumlah yang belum optimal, khususnya guna mendukung operasional di lapangan.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru

Dengan berlakunya Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan akan melahirkan implikasi baik yang bersifat negatif ataupun positif dalam penerapannya.

Implikasi tersebut memerlukan antisipasi dari pihak-pihak yang akan terkena dampak dari penerapan suatu Undang-Undang yang meliputi:

1. Sosial

Dengan adanya perubahan Undang-Undang

Kekarantinaan Kesehatan, terutama dengan penetapan wilayah dalam status karantina, maka setiap aktivitas dan mobilitas warga menjadi terganggu. Oleh karena itu diperlukan adanya penyuluhan secara intensif agar warga mengetahui manfaat dan tujuan dari penetapan wilayah dalam status karantina. Di samping itu penetapan wilayah dalam status karantina harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Adanya kemungkinan komplain dari pemilik angkutan dan pengguna jasa berkaitan dengan adanya penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang lebih ketat atau pembatasan tempat pemasukan dan pengeluaran barang, maka perlu adanya suatu mekanisme yang dapat diterima oleh semua pihak

(41)

35

kesehatan tidak mengganggu arus perjalanan dan perdagangan.

2. Beban Keuangan Negara

Pada dasarnya kekarantinaan kesehatan

merupakan upaya perlindungan terhadap kedaulatan negara, khususnya di bidang kesehatan agar tidak berdampak negatif terhadap perekonomian, kehidupan sosial, serta keamanan dan pertahanan negara.

Kekarantinaan kesehatan memerlukan dukungan

anggaran negara, namun dibanding dengan dampak yang ditimbulkan, maka kekarantinaan kesehatan lebih besar manfaatnya dibanding dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai gambaran, untuk melakukan tindakan karantina membutuhkan biaya perawatan dan pengobatan. Namun apabila tindakan karantina tidak

dilaksanakan dapat menimbulkan kedaruratan

kesehatan masyarakat yang akan berdampak luas di masyarakat.

3. Kelembagaan

Untuk mewujudkan adanya penyelenggaraan

kekarantinaan kesehatan yang efektif dan efisien, perlu dilakukan penataan organisasi sebagai penyelenggara di wilayah, pintu masuk, maupun di pusat, yang menjadi organ Kementerian Kesehatan mengingat kekarantinaan kesehatan merupakan urusan antar negara yang menjadi kewenangan pusat sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, terjadi

(42)

36

dan kewenangan pada penyelenggaraan QICP sehingga pejabat karantina kesehatan dapat menjalankan tugas sesuai dengan kewenangan yang memadai.

4. Penyediaan Sarana dan Prasarana

Dengan pemberlakuan Undang-Undang

Kekarantinaan Kesehatan akan diwajibkan bagi

Pemerintah atau pengelola pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas darat negara untuk menyediakan ruang karantina bagi kontak dengan suspek penyakit PHEIC, ambulans khusus untuk proses evakuasi serta peralatan yang dapat digunakan untuk deteksi dini terhadap PHEIC secara cepat (rapid test). Saat ini sebagian KKP telah memiliki ruang karantina, namun idealnya seluruh KKP seharusnya wajib memiliki ruang karantina dan kapasitas pendukung lainnya.

5. Hukum

Dengan pemberlakuan Undang-Undang

Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan pencabutan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Selanjutnya, untuk melaksanakan operasional di lapangan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan kriteria pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di wilayah, Peraturan Menteri yang berkaitan

(43)

37

dengan teknis penyelenggaraan kekarantinaan

kesehatan, dan SOP teknis kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah sebagai panduan bagi pejabat kekarantinaan kesehatan.

(44)

38 BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Evaluasi Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara

Dilihat dari segi materi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi tansportasi, transisi epidemiologi, perubahan iklim global, tata hubungan internasional maupun nasional, tata pemerintahan, dan kondisi lingkungan hidup, sehingga banyak tindakan-tindakan yang sebenarnya merupakan lingkup kekarantinaan kesehatan belum dapat diakomodasi.

Secara umum kedua undang-undang tersebut mengatur jenis penyakit yang memerlukan tindakan karantina;

penetapan dan pencabutan terjangkitnya suatu

pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina;

penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka atau terjangkit; penggolongan pelabuhan/bandar udara dalam karantina; pengawasan dan penerbitan dokumen kesehatan alat angkut dan orang; tata cara dan tindakan karantina pada saat kedatangan dan keberangkatan pada alat angkut berserta muatannya; tindakan khusus terhadap penyakit karantina; penegakan hukum atau ketentuan pidana; dan peraturan tambahan.

(45)

39

Jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit karantina yang ditetapkan dalam kedua undang-undang tersebut meliputi Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar, Tifus bercak wabahi dan Demam balik-balik. Dalam kenyataannya penyakit-penyakit tersebut sudah kurang relevan karena beberapa alasan yaitu:

1. Penyakit cacar sudah dinyatakan musnah (berhasil dieradikasi di Indonesia sejak tahun 1974);

2. Saat ini IHR 2005 telah diberlakukan terhitung mulai 15 Juni 2007 dan telah berkembang lebih luas, di mana tidak hanya mencakup penyakit karantina tetapi juga mencakup PHEIC;

3. Saat ini di dunia sudah banyak muncul penyakit baru seperti SARS dan Avian Influenza yang sangat potensial untuk menyebar ke seluruh dunia.

Penetapan dan pencabutan penetapan terjangkitnya suatu pelabuhan/bandar udara dari penyakit karantina dilakukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan pertimbangan epidemiologis dan pengujian laboratorium atau selama 2 (dua) masa inkubasi suatu penyakit karantina. Ketentuan ini masih relevan dengan kondisi saat ini, sehingga masih layak dipertahankan.

Penggolongan kapal/pesawat sehat, tersangka, atau terjangkit dimaksudkan untuk menentukan tindakan karantina terhadap orang dan barang. Penggolongan pelabuhan/bandar udara karantina dimaksudkan untuk menentukan klasifikasi pelabuhan/bandar udara yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan tindakan karantina.

(46)

40

Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu pengaturan mengenai siapa yang berwenang menetapkan

penggolongan kapal/pesawat dan penggolongan

pelabuhan/bandar udara.

Setiap kapal/pesawat wajib memiliki dokumen

kesehatan sebagaimana juga diharuskan oleh IHR 2005 dan ketentuan internasional lainnya, oleh sebab itu di dalam kedua undang-undang tersebut diatur bagaimana penerbitan dokumen kesehatan alat angkut dan orang. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun beberapa istilah dan

bentuk dokumen kesehatan menurut ketentuan

internasional mengalami perubahan, oleh sebab itu dalam ketentuan baru perlu penyesuaian.

Setiap kapal/pesawat yang datang dari luar negeri dan atau dari suatu pelabuhan dalam negeri yang terjangkit penyakit karantina berada dalam karantina, dimana nahkoda/pilot dilarang menaikan atau menurunkan orang dan barang sebelum memperoleh surat izin bebas karantina, dan kapal tersebut bebas karantina setelah diberikan surat izin karantina. Setiap kapal/pesawat yang akan berangkat

harus dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatan,

pemeriksaan kesehatan awak/personal penerbang dan penumpang serta pemeriksaan faktor risiko kesehatan masyarakat. Setelah dinyatakan sehat oleh petugas

kesehatan, baru diberikan surat persetujuan

berlayar/terbang karantina kesehatan. Ketentuan ini masih layak dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk kapal/pesawat yang datang dari pelabuhan/bandar udara dalam negeri.

(47)

41

Terhadap kapal/pesawat yang penumpangnya

mengalami penyakit karantina harus dilakukan tindakan khusus karantina atau penanganan terhadap alat angkut beserta muatannya sesuai jenis penyakit karantina. Ketentuan ini masih perlu dipertahankan, karena masih sesuai dengan tata laksana kasus penyakit.

Pelanggaran terhadap kedua undang-undang tersebut dikenakan sanksi pidana kurungan 1 (satu) tahun penjara dan/atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.75.000,-. Ketentuan mengenai sanksi ini sudah tidak relevan karena tidak menimbulkan efek jera, oleh sebab itu perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini. Untuk lebih operasional kedua undang-undang karantina memerintahkan pengaturan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah dimaksud.

Dari sisi maksud dan tujuan dilakukannya tindakan-tindakan karantina, yakni menolak dan mencegah masuk dan keluarnya penyakit karantina melalui sarana transportasi laut maupun udara, kedua undang-undang tersebut masih relevan. Namun dalam tataran implementasi sangat sulit dilaksanakan, karena perkembangan teknologi tranportasi, meningkatnya mobilitas orang dan barang, transisi epidemiologi, tata hubungan internasional maupun nasional, tata pemerintahan, serta kondisi lingkungan hidup, maka kedua undang-undang ini perlu diganti dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.

(48)

42 B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan Internasional dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kekarantinaan Kesehatan

1. IHR 2005

Pada IHR 1969 penyakit yang diatur hanya 6 penyakit karantina (Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar, Tifus bercak wabahi dan Demam balik-balik,) dan diutamakan pada pintu masuk (pelabuhan, bandar udara dan lintas batas negara). Setelah itu ditetapkan IHR 2005 yang sudah mencakup seluruh penyebab kejadian yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC) dan memerlukan respon internasional yang terkoordinasi.

Dengan telah ditetapkannya IHR 2005, banyak hal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara menjadi tidak relevan lagi, seperti istilah penyakit karantina, jenis dokumen kesehatan dan core capacities. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia juga harus ikut menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada IHR. Beberapa perkembangan yang harus diakomodasi dalam IHR 2005 tersebut seperti perubahan orientasi dari beberapa penyakit karantina menjadi PHEIC dan adanya penetapan National Focal Point. Untuk menghindari

sanksi dikucilkannya Indonesia dari pergaulan

internasional, maka diperlukan beberapa penyesuaian produk hukum termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan

(49)

Undang-43

Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Hal-hal yang perlu diakomodasi di dalam ketentuan karantina yang baru antara lain:

a.Perubahan dokumen kesehatan, antara lain yang

semula sertifikat hapus tikus (Deratting

Certificate/DC)/sertifikat bebas hapus tikus (Deratting

Exemption Certificate/DEC) menjadi sertifikat tindakan

sanitasi kapal (Ship Sanitation Control

Certificate/SSCC)/sertifikat bebas tindakan sanitasi

kapal (Ship Sanitation Control Exemption

Certificate/SSCEC).

b.Core capacities yang meliputi komunikasi-koordinasi,

pengawasan rutin dan respon PHEIC.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan istilah karantina terdapat di bab X mengenai penyakit menular dan tidak menular, Pasal 154 dan Pasal 155, mengatur bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina dan lama karantina. Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina dan lama karantina secara berkala.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2

Referensi

Dokumen terkait

Dari data pendidikan yang telah didapatkan selanjutnya dilakukan pemrosesan ulang untuk menyeleksi fitur data menggunakan correlation-based feature selection , proses

tersebut digunakan sebagai kerangka untuk menganalisa dukungan dan hambatan dalam upaya penerapan produksi bersih dalam konteks sistem manajemen lingkungan

Dari biaya pembangunan terminal penerima LNG yang berkapasitas 3 MTPA adalah sebesar 436 juta US$ dimana seluruh instalasi unit dan peralatan berupa fasilitas utama maupun

Meskipun batubara Indonesia pada umumnya merupakan batubara peringkat rendah dan berupa jenis non coking yang ditandai dengan nilai kalor rendah dan kadar air tinggi namun

Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan hubungan bahwa anak yang diasuh oleh pengasuh non keluarga kurang memiliki perhatian dalam membagi waktu si anak,

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Swt., atas segala limpahan berkah, rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat

Hasil penelitian ini yaitu sebuah System Informasi Pencatatan Penjualan pada Usaha Mikro Kecil Menengah Kopra Desa Lampoko yang dapat digunakan untuk melakukan

Ahmad dalam mendidik anak tidak terlalu banyak bicara, akan tetapi beliau langsung mencontohkan tindakanya sehingga dengan sendirinya anak-anak beliau juga