• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum. Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum. Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum. Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum. Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PAJAK

PENGHASILAN

Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum

Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum

Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Menerapkan Tarif Pajak;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23;

(2)

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran,

dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran,

dan Pelaporan Pajak Penghasilan dari Pengalihan

Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan;

Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran,

dan Pelaporan Pajak Penghasilan Usaha Jasa

Konstruksi;

Menerapkan Mata Anggaran Penerimaan Pajak

Penghasilan

(3)

Pajak penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini telah mengalami 4 (empat) kali perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap Subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak Subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Subjek pajak dalam pajak penghasilan, adalah: 1. a. Orang pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,

badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

3. Badan Usaha Tetap (BUT)

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi : 1. Subjek pajak dalam negeri, terdiri dari :

a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu :

- Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan atau - Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

Subjek Pajak

(4)

b. Subjek pajak badan, yaitu :

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai berikut.

1) pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan; 2) pembiayaanya bersumber dari APBN/APBD;

3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah;

4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. c. Subjek pajak warisan, yaitu

Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri, terdiri dari :

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui badan usaha tetap di Indonesia.

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui badan usaja tetap di indonesia.

Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut.

Tabel 2.1. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar negeri

Dikenakan pajak atas penghasilan baik diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar indonesia

Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia

Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto

Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan brutto

Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (tarif UU PPh pasal 17)

Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26)

(5)

Selain subjek pajak yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa orang pribadi maupun badan yang dikecualikan/tidak termasuk ke dalam subjek pajak penghasilan, antara lain:

a. Kantor perwakilan negara asing;

b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat :

1) Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya;

2) Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat :

1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat : 1) Bukan warga negara Indonesia;

2) Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”

Pengertian objek pajak penghasilan di atas, menunjukkan bahwa Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan tersebut menganut prinsip pemungutan pajak atas penghasilan dalam arti luas, yaitu pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, dari manapun asal atau sumbernya, selama penghasilan tersebut dapat dipergunakan untuk konsumsi atau dapat menambah nilai kekayaan merupakan objek pemungutan pajak penghasilan.

(6)

Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :

1. Penghasilan dari pekerjaan dan pekerjaan bebas (gaji, honorarium, dan penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli);

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;

3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, bunga, deviden, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan

4. Penghasilan lain, yaitu penghasilan yang tidak diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas :

a. Keuntungan karena pembebasan utang;

b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; d. Hadiah undian.

Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan kena pajak. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk orang pribadi dalam negeri adalah penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan PMK 101/PMK.010/2016 PTKP dalam satu tahun pajak yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut.

1. Rp.54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi. 2. Rp. 4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.

3. Rp.54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat:

a. Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang PPh Pasal 21; dan

b. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

4. Rp. 4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).

Besarnya PTKP bagi wanita berlaku ketentuan sebagaimana tabel berikut :

(7)

Tabel 2.2. PTKP bagi Wanita

Status Diri sendiri Tambahan Keterangan

Kawin PTKP untuk

dirinya sendiri

- -

Tidak Kawin PTKP untuk dirinya sendiri

PTKP untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang

Menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah serendah-rendahnya camat

Pengitungan PTKP ditentukan menurut keadaan awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

Contoh cara menghitung PTKP

a. Khoirul Amri status sudah menikah dan mempunyai seorang anak (K/1). Maka perhitungan PTKP dari Khoirul Amri adalah

PTKP satu tahun

 Untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000  Tambahan wajib pajak kawin Rp 4.500.000  Tambahan satu anak Rp 4.500.000

Jumlah Rp 63.000.000

b. Bambang Pradana status sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3). Maka perhitungan PTKP dari Bambang Pradana adalah

PTKP satu tahun

 Untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000  Tambahan wajib pajak kawin Rp 4.500.000  Tambahan tiga anak Rp 13.500.000

Jumlah Rp 72.000.000

Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

(8)

Tabel 2.3. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif

Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%

Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 250.000.000,00 15% Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai dengan Rp. 500.000.000,00 25%

Di atas Rp. 500.000.000,00 30%

Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Contoh tarif pajak

a. Dr. Irawan Yoga, SH, MH, mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp.750.000.000, maka perhitungan pajak penghasilannya adalah

Lapisan Penghasilan Tarif Besaran PPh

Rp 50.000.000 x 5% = Rp 2.500.000

Rp 200.000.000 x 15% = Rp 30.000.000

Rp 250.000.000 x 25% = Rp 62.500.000

Rp 250.000.000 x 30% = Rp 75.000.000

Total PPh = Rp 170.000.000

Berdasarkan perhitungan diatas pajak terutang Dr. Irawan yoga, SH, MH adalah Rp. 170.000.000,-

b. Intan Pratiwi, SE mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp.30.451.700,00 maka perhitungan pajak penghasilannya adalah

Penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp.30.451.000,00 Jadi Pajak Penghasilan yang harus dibayarkan Intan Pratiwi adalah Rp.30.451.000 x 5% = Rp. 1.522.550,-

(9)

1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.

Gambar 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan 2. Ruang Lingkup Pemotongan Penghasilan Pasal 21 Bendahara

Bendahara pemerintah berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 kepada Wajib Pajak yang menerima penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, uang makan, uang lembur, dan pembayaran-pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang anggarannya dibebankan kepada APBN/APBD.

Ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, adalah:

a. Pemotongan PPh Pasal 21 Kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pensiunannya;

Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan

• Pekerjaan atau jabatan • Jasa dan Kegiatan

Yang Dilakukan Subjek Pajak Orang Pribadi

Atas Penghasilan Berupa:

Gaji, Upah, Honorarium, Tunjangan, dan Pembayaran Lain dengan Nama/Bentuk Apapun

Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri

(10)

b. Pemotongan PPh Pasal 21 kepada yang bukan Pejabat Negara/ Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tidak termasuk subjek pajak yang dipotong PPh pasal 21 oleh bendahara adalah :

a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik

b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya

a. Sumber Penghasilan

Sumber penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sumber penghasilan yang diperoleh dari penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mana penghasilan tersebut dibayarkan secara tetap dan teratur setiap bulan dan penghasilan lain yang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD.

Penghasilan tetap dan teratur adalah penghasilan yang dibayarkan setiap bulannya yang dibebankan pada APBN/APBD, penghasilan tetap tersebut, antara lain:

1) Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau 2) Imbalan tetap lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang

undangan yang berlaku,yang diterima oleh Pejabat Negara,PNS,TNI,POLRI dan pensiunannya. Penghasilan tersebut tidak termasuk biaya perjalanan dinas.

(11)

b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap dan Teratur

Dasar Pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan adalah Penghasilan Kena Pajak. Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan dari penghasilan neto dikurangi dengan PTKP, sedangkan penghasilan neto diperoleh dari penghasilan bruto yang diterima setiap bulannya, dikurangi dengan biaya jabatan dan iuran pensiun.

Penghasilan bruto xxxxx Biaya Jabatan/Iuran pensiun xxxxx

Iuran pensiun xxxxx +

xxxxx _ Penghasilan Neto xxxxx PTKP xxxxx _ Penghasilan Kena Pajak xxxxx

Berdasarkan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terhadap Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atas penghasilan yang diperoleh secara tetap dan teratur setiap bulan dikenakan tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% dari tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya. Tarif lebih tinggi sebesar 20% tersebut, dipotong dari penghasilan yang seharusnya diterima setiap bulan dibayarkan.

PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan secara tetap dan teratur kepada PNS,Pejabat Negara,TNI, POLRI dan pensiunannya berdasarkan PP 80 tahun 2010 ditanggung pemerintah. Apabila PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk dalam kriteria Pejabat Negara, maka atas penghasilan yang menjadi beban APBN/APBD. Terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut, tetap dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan Pajak penghasilan yang berlaku dan PPh Pasal 21 yang terutang tidak ditanggung pemerintah.

Tata cara perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur, disajikan dalam tahapan seperti gambar di bawah ini.

(12)

Gambar 2.2. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan Tetap dan Teratur Penghasilan Bruto - Gaji Kehormatan - Gaji - Tunjangan yang Terkait Dikurangi:

- Biaya Jabatan, 5% dari Penghasilan Bruto Maksimal Rp 6.000.000,-/ Thn atau Rp 500.000,-/Bln

- Iuran yang Terikat dengan

Penghasilan Tetap (Iuran Pensiun, Iuran Tht) Penghasilan Neto Penghasilan Neto X 12 Dikurangi

PTKP Penghasilan Kena Pajak

Tarif (Pasal 17 UU PPh) Pajak Terutang

(13)

CONTOH 1

Drs.Irwan Prayitno merupakan PNS golongan III/d yang menduduki jabatan struktural sebagai eselon IV. Dia telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Dia telah memiliki NPWP dan menerima penghasilan yang sifatnya tetap dan teratur, maka PPh Pasal 21 yang terutang sebagai berikut:

1 Gaji pokok 4.294.000 2 Tunjangan istri = 10% x 4.294.000,- 429.400 3 Tunjangan anak = 2 x 2% x 4.294.000,- 85.880 Jumlah 4.809.280 4 Tunjangan jabatan 1.260.000 5 Tunjangan beras 217.260 6 Pembulatan 88

7 Gaji kotor/Penghasilan Bruto (Jumlah baris 1 sd baris 6)

6.286.628 8 Pengurangan : a. Biaya jabatan = 5% x Rp6.286.628 = Rp314.331 b. Iuran pension = 4,75% x Rp4.809.280 = Rp228.441 542.772

9 Penghasilan bersih (netto) sebulan (baris 7) – (baris 8)

5.743.856 10 Penghasilan bersih (netto) setahun 12 x (baris 9) 68.926.270 11 PTKP (diri sendiri + istri + 2 anak) 63.000.000 12 Penghasilan kena pajak setahun (baris 10) –

(barsi 11)

5.926.270

13 Penghasilan kena pajak setahun dibulatkan 5.926.000 14 PPh terutang dalam setahun : 5% x Rp5.926.000 296.300 15 PPh terutang dalam sebulan = 296.300 : 12 24.692 PPh Pasal 21 yang terutang sebesar Rp24.692,00 ditanggung pemerintah, namun apabila Drs. Iman Arifin tidak memiliki NPWP, maka dari dikenakan tambahan tarif 20% dari Rp. 24.692 yakni sebesar Rp.4.938,00, tarif lebih tinggi sebesar Rp4.938,00 (20%) tersebut, tidak dibayarkan oleh pemerintah, melainkan dipotong oleh bendahara dari penghasilan yang dibayarkan (gaji dan tunjangan).

(14)

CONTOH 2

Terkait dengan contoh 1, maka perhitungan untuk PPh Pasal 21 untuk gaji ke 13 yang diterima oleh Drs. Irwan Prayitno pada bulan Juli 2016 adalah:

P P h P a s a l 2 1

JUMLAH PENGHASILAN SETAHUN

Rp. 75.439.536 + Rp.6.069.368 81.508.904 Pengurangan : a. Biaya jabatan = 5% x Rp81.508.904 = Rp4.075.445 b. Iuran pension = 12 X 4,75% x Rp4.809.280 = Rp2.741.290 6.816.735

Penghasilan Netto setahun 74.692.169

PTKP 63.000.000

Penghasilan Kena Pajak 11.692.169

1 Gaji pokok 4.294.000 2 Tunjangan istri = 10% x 4.294.000,- 429.400 3 Tunjangan anak = 2 x 2% x 4.294.000,- 85.880 Jumlah 4.809.260 4 Tunjangan jabatan 1.260.000 5 Tunjangan beras 217.260 6 Pembulatan 88

7 Gaji kotor/Penghasilan Bruto (Jumlah baris 1 sd baris 6)

6.286.628

8 Penghasilan Bruto Setahun 6.286.628 x 12 75.439.536 GAJI KE 13 Gaji pokok 4.294.000 Tunjangan istri = 10% x 3.500.000,- 429.400 Tunjangan anak = 2 x 2% x 3.500.000,- 85.880 Tunjangan jabatan 1.260.000 Pembulatan 88 Penghasilan Bruto 6.069.368

(15)

Pembulatan 11.692.000

Pph pasal 21 setahun dengan gaji ke 13 584.600

PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke 13 584.600 – 296.300

288.300

yang terutang sebesar Rp.288.300,00 ditanggung pemerintah, namun apabila Drs. Irwan Prayitno tidak memiliki NPWP, maka dari dikenakan tambahan tarif 20% dari Rp.288.300,00 yakni sebesar Rp.57.660,00, tarif lebih tinggi sebesar Rp.57.660,00 (20%) tersebut, tidak dibayarkan oleh pemerintah, melainkan dipotong oleh bendahara dari penghasilan yang dibayarkan (gaji dan tunjangan).

c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak Tetap dan Tidak Teratur

Penghasilan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya yang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD, dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara atau pejabat lain yang ditunjuk melaksanakan pembayaran honorarium atau imbalan lain tersebut. Pemotongan yang dilakukan oleh bendahara pemerintah atau pejabat lain tersebut bersifat final.

Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya ditetapkan sebagai berikut:

1) Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada:

 PNS golongan I(satu) dan Golongan II (dua); dan

 TNI dan POLRI dengan pangkat Tamtama dan Bintara dan pensiunannya.

2) Tarif 5% (lima Persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada:

 PNS golongan III (tiga); dan

 TNI dan POLRI golongan /pangkat Perwira Pertama dan pensiunannnya.

3) Tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada:

 Pejabat Negara;

(16)

 TNI dan POLRI golongan/pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dan pensiunannya.

Gambar 2.3. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 PNS dan Pensiun yang bersifat tidak tetap dan teratur

Contoh

Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayar kepada Saudara Monang Sitorus selaku pengajar bela negara pada diklat Kuasa Pengguna Anggaran, sebesar Rp. 1.000.000,00. Saudara Monang Sitorus berkedudukan sebagai pensiunan Brigadir Jenderal. Maka PPh pasal 21 yang harus dipotong bendahara sebesar 15% x Rp.1.000.000,00 = Rp.150.000,00

4. Pajak Penghasilan Pasal 21 Selain Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya

a. Subjek Pajak

1) Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga lepas, yang bekerja berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri

- Honorarium

- Imbalan Lain dengan Nama Apapun yang

Diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/Polri

Dibebankan kepada Keuangan Negara/ Daerah

Dipotong PPh Pasal 21 :

0%/5%/15% Dari Penghasilan Bruto (Final) Penghasilan yang tidak tetap dan teratur

(17)

atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Subjek pajak pegawai digolongkan menjadi dua golongan, yakni:

a) Pegawai tetap adalah “pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur”, artinya penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji, tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun, yang diberikan secara periodik. Selain penghasilan yang diperoleh pegawai tetap secara teratur, terdapat pula penghasilan pegawai tetap yang diperoleh secara tidak teratur, yakni penghasilan yang diperoleh sekali dalam satu tahun atau dalam satu periode, misalnya Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, dll.

b) Pegawai tidak tetap /Tenaga lepas adalah “pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja.” Perhitungan upah didasarkan pada jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suati pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

2) Bukan pegawai, adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan meliputi : a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,

akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

c) olahragawan

d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;

f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;

g) agen iklan;

h) pengawas atau pengelola proyek;

i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

j) petugas penjaja barang dagangan; k) petugas dinas luar asuransi;

(18)

l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

Dari susunan di atas dapat dikatakan bahwa daftar tersebut berbentuk positive list yang berarti sudah jelas siapa yang dimaksud Bukan Pegawai. Pemberi jasa yag tidak termasuk dalam daftar tersebut berarti bukan Bukan Pegawai.

3) Peserta kegiatan termasuk penerima penghasilan yang tidak dapat digolongkan ke dalam golongan pegawai dan bukan pegawai. Hal tersebut dikarenakan, peserta kegiatan tidak memiliki karakteristik seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan keikutsertaannya dalam kegiatan.

Gambar 2.4. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Selain Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya

b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap dan Teratur

Pemotongan PPh Pasal 21 untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai, dibedakan berdasarkan sifat penghasilannya, yakni penghasilan yang berkesinambungan dan penghasilan yang tidak berkesinambungan.

Bagi Wajib Pajak yang berstatus bukan pegawai yang memenuhi syarat 1) menerima penghasilan berkesinambungan dan telah memiliki NPWP 2) hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong

PPh Pasal 21, serta tidak memperoleh penghasilan lain, maka PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah:

Pegawai Bukan Pegawai Peserta Kegiatan

(19)

Yang dimaksud dengan “bersifat berkesinambungan” adalah pembayaran yang dilakukan secara bulanan atau berkala lebih dari satu kali pembayaran yang sesuai dengan maksud perikatan/pemberian kerja.

Untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah:

Contoh:

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang hanya menerima penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dan bersifat berkesinambungan

Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun dengan dr. Dewi Warastuti (memiliki NPWP, bukan PNS) , spesialis penyakit dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta. Dr. Dewi Warartuti hanya menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:

DPP PPh Pasal 21 per bulan = 50% x Rp 10.000.000,00 – PTKP sebulan = Rp 10.000.000,00 - (Rp 54.000.000,00 : 12) = Rp 10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 = Rp 5.500.000,00

PPh Pasal 21 = Pasal 17 ayat (1) huruf a atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah 50% dari penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.

PPh Pasal 21 = Pasal 17 ayat(1) huruf a, atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto yang bersangkutan.

(20)

Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat perhitungan sebagai berikut:

Bulan DPP DPP Kumulatif Tarif

PPh Pasal 21 Rp Rp Rp Januari 5,500,000 5,500,000 5% 275,000 Februari 5,500,000 11,000,000 5% 275,000 Maret 5,500,000 16,500,000 5% 275,000 April 5,500,000 22,000,000 5% 275,000 Mei 5,500,000 27,500,000 5% 275,000 Juni 5,500,000 33,000,000 5% 275,000 Juli 5,500,000 38,500,000 5% 275,000 Agustus 5,500,000 44,000,000 5% 275,000 September 5,500,000 49,500,000 5% 275,000 Oktober 500,000 50,000,000 5% 25,000 5,000,000 55,000,000 15% 750,000 5,500,000 775,000 November 5,500,000 60,500,000 15% 825,000 Desember 5,500,000 66,000,000 15% 825,000 Contoh :

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang menerima penghasilan lebih dari satu Pemberi Kerja dan bersifat Berkesinambungan

Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun dengan dr. Dewi Warastuti (bukan PNS, memiliki NPWP) , spesialis penyakit dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta. Dr. Dewi Warartuti selain menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan juga menerima dari tempat lain

Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan tidak hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:

DPP PPh Pasal 21 per bulan = 50% x Rp 20.000.000,00 = Rp 10.000.000,00

(21)

Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat perhitungan sebagai berikut:

Bulan DPP DPP Kumulatif Tarif

PPh Pasal 21 Rp Rp Rp Januari 10,000,000 10,000,000 5% 500,000 Februari 10,000,000 20,000,000 5% 500,000 Maret 10,000,000 30,000,000 5% 500,000 April 10,000,000 40,000,000 5% 500,000 Mei 10,000,000 50,000,000 5% 500,000 Juni 10,000,000 60,000,000 15% 1,500,000 Juli 10,000,000 70,000,000 15% 1,500,000 Agustus 10,000,000 80,000,000 15% 1,500,000 September 10,000,000 90,000,000 15% 1,500,000 Oktober 10,000,000 100,000,000 15% 1,500,000 November 10,000,000 110,000,000 15% 1,500,000 Desember 10,000,000 120,000,000 15% 1,500,000

c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak Tetap dan Tidak Teratur

Selain penghasilan yang berkesinambungan seperti yang telah dipaparkan di atas, terdapat pula penghasilan tidak berkesinambungan yang diperoleh oleh Wajib Pajak bukan pegawai. Yang dimaksud dengan penghasilan tidak berkesinambungan yakni honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan. PPh Pasal 21 yang dikenakan terhadap golongan ini adalah:

Perhitungan PPh pasal 21 untuk Bukan Pegawai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tarif PPh Pasal 21 = Pasal 17ayat 1 huruf a x 50% dari penghasilan bruto.

(22)

Gambar 2.5. Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai Contoh :

Dalam acara Capacity Building, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengundang seorang motivator dengan pembayaran honor sebesar Rp.120.000.000,00. Maka PPh Pasal 21 yang dipotong kepada motivator tersebut sebesar :

- Dasar Pengenaan Pajak = 50 % x Rp 120.000.000,00 = Rp 60.000.000 - Pajak terutang :

5% x Rp. 50.000.000,- = Rp.2.500.000,- 15% x Rp10.000.000,- = Rp 1.500.000,-

Rp.4.000.000,-

Sehingga PPh 21 yang harus dipotong terhadap motivator tersebut adalah Rp.4.000.000,-. Namun Apabila motivator tersebut tidak mempunyai NPWP maka dikenakan 20% lebih tinggi

120% x Rp.4.000.000,- = Rp.4.800.000,-

d. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Dibayarkan Bulanan, Satuan, Harian, Mingguan, dan Borongan

Pemotongan PPh Pasal 21 yang terkait dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan orang pribadi yang menerima upah harian, mingguan dan borongan, seperti penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang menerima upah

Bukan Pegawai

1. Tidak mendapat penghasilan di tempat lain 2. Ber-NPWP Tarif Ps 17 X 50% x Jumlah Bruto Berkesinambungan 50% Jml bruto x Tarif Pasal 17 (lapisan tarif berdasar 50%x Jumlah bruto kumulatif) Tidak Berkesinambungan Tidak Memenuhi syarat Memenuhi syarat (50% Jml bruto-PTKP) x Tarif Pasal 17 (lapisan tarif berdasar Jumlah PKP kumulatif)

(23)

berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan, maka berdasarkan PMK 102/PMK.010/2016 berlaku ketentuan sebagai berikut : 1) Apabila penghasilan bruto tidak melebihi Rp.450.000,- maka tidak dipotong

PPh pasal 21

2) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp.450.000,- dan masih dibawah Rp.450.000,- maka

3) PPh pasal 21 = 5% x (Upah sehari – Rp.450.000,-)

4) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp.450.000,- dan masih dibawah Rp.8.200.000,- maka

5) PPh pasal 21 = 5% x (Upah sehari – PTKP/360)

6) Apabila penghasilan melebihi Rp.8.200.000,- dalam 1 bulan maka PPh pasal 21 = (disetahunkan – PTKP) /12

Secara ringkas penghitungan PPh pasal 21 penghasilan secara bulanan, mingguan, satuan, borongan, harian dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.6. Perhitungan PPh Pasal 21 Lainnya Saat > 8.200.000

dlm 1 bln = (disetahunkan –

PTKP) / 12 Penghitungan PPh Pasal 21 Lainnya

Pegawai tidak tetap, tenaga lepas,honorer, yang dibayar bulanan

gaji, uang pensiun, tunjangan, dan

sejenisnya

kali Tarif Pasal 17 Dikurangi PTKP Dikali 12 dibagi 12 =PPh Pasal 21 sebulan Penerima Upah harian, mingguan,satuan, borongan. ≤Rp 450.000/hari TIDAK DIPOTONG >Rp 450.000/hari; ≤4.500.000= 5% x (upah sehari – Rp 450.000) Saat >Rp 4.500.000; ≤8.200.000 dlm 1 bln = 5% x (upah sehari– PTKP/360) Peserta Kegiatan Tarif Pasal 17 X Jumlah Bruto

(24)

Contoh 1

Seto adalah seorang pria dengan status belum nikah, pada bulan November bekerja sebagai buruh harian di kegiatan pembersihan halaman kantor Balai Diklat Keuangan, pekerjaan tersebut dilakukan selama 6 (enam) hari dengan upah per hari Rp 500.000,00, (Lima ratus ribu rupiah), maka perhitungan PPh 21 bagi Seto adalah sebagai berikut:

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:

Upah sehari Rp. 500.000,00

Upah harian tidak dikenakan PPh Rp. 450.000,00 – Penghasilan Kena Pajak per hari Rp. 50.000,00 PPh Pasal 21 (5% x Rp 50.000,00) = Rp. 2.500,00 PPh Pasal 21 yang harus dipotong

selama 6 hari = 6 hari x Rp.2.500.00 = Rp. 15.000.00

Contoh 2

Seto adalah seorang pria dengan status belum nikah, pada bulan November bekerja sebagai buruh harian di Kegiatan Pemeliharaan Halaman Gedung Balai Diklat Keuangan Yogyakarta. Seto bekerja selama 12 hari dan menerima upah harian sebesar Rp. 450.000,00, maka perhitungan PPh 21 bagi Seto adalah sebagai berikut:

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang :

Upah sehari Rp 450.000,00

Upah s.d. hari ke 10 Rp 4.500.000,00

Sampai hari ke 10 karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp.4.500.000,00 maka tidak ada PPh pasal 21 yang dipotong

Upah s.d. hari ke 11(450.000 x 11) Rp 4.950.000

PTKP Sebenarnya

11 x (54.000.000 / 360) Rp 1.650.000

Rp 3.300.000

PPh pasal 21 terutang s.d. hari ke 11

5% x 3.300.000 Rp 165.000

(25)

PPh pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke

11 Rp 165.000

Sehingga pada hari ke 11, upah bersih yang diterima Seto adalah Rp.450.000 – Rp. 165.000 = Rp.285.000,00

Penghitungan PPh pasal 21yang harus dipotong pada hari ke 12 sebagai berikut :

Upah sehari Rp. 450.000,00

PTKP Sehari

Rp.54.000.000 / 360 Rp. 150.000,00

Rp 300.000,00

PPh pasal 21 terutang s.d. hari ke 12

5% x Rp.300.000,00 Rp. 15.000,00

Sehingga upah bersih seto pada hari ke 12 adalah Rp.450.000,00 – Rp.15.000,00 = Rp.435.000

Contoh 3

Seto bekerja sebagai satpam pada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Seto sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. Seto mendapat upah yang dibayarkan secara bulanan sebesar Rp.5.000.000,00

Perhitungan PPh pasal 21

Penghasilan neto setahun = Rp.5.000.000,00 x 12 Rp.60.000.000,00 PTKP (K/0) adalah

- Untuk WP sendiri Rp. 54.000.000,00 - Tambahan kawin Rp. 4.500.000,00

Rp. 58.500.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp.1.500.000,00 PPh pasal 21 setahun adalah sebesar

(26)

Contoh 4

Seto bekerja memasang gebalan rumput. Upah dibayar sebesar Rp.150.000,00 setiap 1 meter. Dalam seminggu (6 hari kerja) Seto memasang sebanyak 24 meter. Sehingga upah yang dibayarkan sebesar Rp. 3.600.000,00

Maka perhitungan PPh pasal 21 : Upah sehari :

- Rp.3.600.000,00 : 6 = Rp.600.000,00 Upah diatas Rp. 450.000,00, sehingga penghasilan kena pajak

- Rp.600.000,00 – Rp.450.000,00 = Rp.150.000,00 - 6 hari x Rp.150.000,00 = Rp.900.000,00 PPh pasal 21

- 5% x Rp.900.000,00 = Rp.45.000,00 (selama seminggu)

e. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Diterima Peserta Kegiatan

Peserta kegiatan adalah

1. Peserta Perlombaan dalam segala bidang

2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan atau kunjungan kerja

3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu

4. Peserta Pendidikan dan pelatihan 5. Peserta Kegiatan lainnya

Penghasilan yang diterima peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun baik uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dan penghasilan sejenis lainnya. Penghasilan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan perhitungan sebagai berikut:

Contoh

Saudara Retno mengikuti kegiatan bimbingan teknis merangkai bunga yang diselenggarakan oleh Badan Latihan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dia menerima upah sebesar Rp.700.000,00. Saudara Retno telah memiliki NPWP. Maka PPh pasal 21 yang harus dipotong bendahara adalah

PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 700.000,00 = Rp. 35.000,00.

(27)

Berikut disajikan tabel dasar perhitungan untuk menghitung PPh pasal 21 Tabel 2.4. Dasar Penghitungan PPh pasal 21

Yang Dipotong Dasar Pengenaan Pajak

Pegawai tetap Penghasilan kena pajak =

jumlah seluruh penghasilan bruto setelah dikurangi dengan:

a. biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 sebulan atau Rp 6.000.000,00 setahun; b. iuran yang terkait dengan gaji yang

dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Dikurangi PTKP Pegawai tidak tetap yang

penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp. 4.500.000

Penghasilan Kena Pajak =

Penghasilan bruto Dikurangi PTKP

Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000

Penghasilan Kena Pajak

= Penghasilan bruto dikurangi Rp 450.000

Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 4.500.000 belum melebihi Rp 8.200.000

Penghasilan Kena Pajak

= Penghasilan bruto dikurangi PTKP sebenarnya (PTKP yang sebenarnya adalah adalah sebesar PTKP

untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.)

Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 8.200.000

Penghasilan Kena Pajak

= Penghasilan bruto (disetahunkan) dikurangi PTKP

(28)

Yang Dipotong Dasar Pengenaan Pajak Bukan pegawai yang menerima

imbalan yang bersifat

berkesinambungan dan memenuhi syarat

Penghasilan Kena Pajak

= 50% dari jumlah penghasilan bruto Dikurangi PTKP perbulan

Bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan

50% dari jumlah penghasilan Bruto

Selain di atas Jumlah penghasilan bruto

5. Kewajiban Bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal 21

Kewajiban bendahara sebagai pemotong PPh Pasal 21, antara lain:

a. Menghitung, memotong, menyetor, dan melapor hal-hal yang terkait dengan PPh Pasal 21;

b. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta atau tidak pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.

c. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan (formulir 1721 A2), kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI dan para Pensiunan, dalam jangka waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan anggota ABRI berhenti bekerja/pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti potongan diberikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan anggota ABRI tersebut berhenti/pensiun.

6. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21

Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung Pemerintah dengan menggunakan kode billing ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 21 yang terutang bagi pejabat negara, PNS, anggota ABRI yang PPh-nya ditanggung Pemerintah, Bendahara melaporkan penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN.

Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan menggunakan SPT Masa (F.1.1.32.01) paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

Contoh:

Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan memotong honorarium yang diterima oleh Kelompok Kerja ULP Paket Renovasi Gedung Anggrek pada tanggal 25

(29)

Maret 2016. Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang dan yang telah dipotong oleh bendahara tersebut wajib disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 di bulan berikutnya yaitu tanggal 10 April 2016, laporan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 di bulan berikutnya atau tanggal 20 April 2016 dengan menggunakan dan melampirkan formulir yang ditentukan (SPT Masa PPh Pasal 21/F.1.132.01, Daftar Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F.1.1.33.02, Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F.1.1.33.02 dan Bukti elektronik penyetoran pajak.

1. Pengertian

Pasal 22 Undang Undang Pajak Penghasilan mengatur pemungutan pajak atas penghasilan terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU PPh tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk 1) menetapkan pemungut PPh terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan 2) menentukan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan.

2. Objek PPh Pasal 22

Objek PPh Pasal 22 adalah pembayaran yang berkenaan dengan penyerahan barang yang dibeli dari sumber dana APBN/APBD. Namun terdapat pengecualian pembayaran atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah/ KPA/Penerbit SPM/Bendahara Pengeluaran lain antara lain

a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

b. pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; dan pemakaian air dan listrik;

c. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

d. Pembayaran kepada pengusaha dengan jumlah peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. g. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri

otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek

(30)

(APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenakan pungutan PPh atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

h. Pembelian gabah dan/atau beras

3. Tarif Pemungutan PPh Pasal 22

Tarif PPh pasal 22 yang dipungut Bendahara Pengeluaran termasuk oleh KPA

Atas penyerahan barang adalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 22 ayat (3), besarnya pungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak PPh Pasal 22 yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif lebih tinggi sebesar 100%. Dengan demikian, tarif PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 1,5% ditambah 1,5% = 3%.

Apabila rekanan/penyedia barang/jasa tidak memiliki NPWP, maka penulisan NPWP dalam SSP dapat dilakukan dengan cara :

a. 01.000.000.0-xxx.000 untuk Wajib Pajak badan Usaha; dan b. 04.000.000.0-xxx.000 untuk Wajib Pajak orang pribadi.

xxx diisi dengan Nomor Kode Kantor Pelayanan Pajak domisili bendahara terdaftar.

PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah/KPA/Penerbit SPM/,Bendahara Pengeluaran terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

4. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22

Tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, terdiri dari:

a. PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh Bendahara, atau KPA atau Penerbit SPM yang telah mendapat pendelegasian dari KPA atas penyerahan barang oleh Wajib Pajak (Penyedia barang/jasa).

b. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau pejabat penandatangan SPM harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayarannya melalui KPPN.

c. PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendahara pengeluaran harus disetor paling lama 7(tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos atas rekening Kas Negara atas nama rekanan.

Tarif PPh Pasal 22

(31)

5. Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22

Bendahara sebagai Pemungut PPh Pasal 22 wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 , yang harus disampaikan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah bulan takwim berakhir. Apabila hari ke-14 jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. SPT Masa tersebut disampaikan ke KPP dimana Bendahara yang bersangkutan terdaftar dengan dilampiri bukti penyetoran elektronik sebagai Bukti Pemungutan dan bukti setoran, beserta daftar SSP PPh Pasal 22.

Contoh

1. Bendahara Universitas Negeri Jakarta membayarkan pembelian buku pelajaran umum dari UD Buku Pintar (ber NPWP) dengan harga Rp. 2.500.000,00.

Maka besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut bendahara adalah: Rp. 2.500.000,00 × 1,5% = Rp. 37.500,00

Catatan : Buku pelajaran umum merupakan salah satu jenis barang kena pajak yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sehingga bendahara tidak memungut PPN

2. Sekolah Dasar Negeri 11 Jakarta Selatan mengadakan pengadaan komputer senilai Rp.10.000.000,00. Pembayaran dilaksanakan dengan dana BOS, maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, tidak dipungut PPh Pasal 22.

PPh Pasal 23 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran atau disediakan untuk dibayar kepada wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang bersumber dari pemanfaatan modal, penggunaan harta dan Jasa.

1. Objek PPh Pasal 23 Objek PPh Pasal 23 adalah:

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta , kecuali sewa tanah dan bangunan;

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta

(32)

a. Merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.

b. Saat terutangnya adalah pada saat pembayaran dan jatuh tempo.

Berdasarkan SE Dirjen pajak No SE-35/PJ/2010 imbalan sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan dijelaskan sebagai berikut :

a. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :

1) pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;

2) pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau

3) pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

b. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

c. Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015 kriteria Jenis-jenis jasa lain, antara lain: Tabel 2.5. Jenis-Jenis Jasa Lain

1. Jasa penilai (appraisal); 2. Jasa aktuaris;

3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; 4. Jasa hukum

5. Jasa arsitektur

6. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape

28. Jasa maklon;

29. Jasa penyelidikan dan keamanan; 30. Jasa penyelenggara kegiatan atau

event organizer;

31. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa,media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi ;

(33)

7. Jasa perancang (design); 8. Jasa pengeboran (drilling)

dibidang penambangan minyak dan gas bumi, kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);

9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas)

10. Jasa penambangan dan jasa

penunjang di bidang

penambangan selain migas; 11. Jasa penunjang di bidang

penerbangan dan bandar udara;

12. Jasa penebangan hutan; 13. Jasa pengolahan limbah ; 14. Jasa penyedia tenaga kerja

dan/atau tenaga hli

(outsourcing services)

15. Jasa perantara dan/atau keagenan;

16. Jasa di bidang perdagangan surat berharga (kecuali Bursa efek,KSEI dan KPEI)

17. Jasa

kustodian/penyimpanan/penitip an, kecuali yang dilakukan oleh KSEI

18. Jasa pengisian suara (dubing); 19. Jasa mixing film;

20. Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner, pamflet, baliho dan folder 21. Jasa sehubungan dengan

32. Jasa pembasmian hama ;

33. Jasa kebersihan/Cleaning Service; 34. Jasa sedot septic tank

35. Jasa pemeliharaan kolam; 36. Jasa katering atau tata boga; 37. Jasa freight faro.Jarding; 38. J asa logistik;

39. Jasa pengurusan dokumen; 40. Jasa pengepakan;

41. Jasa loading dan unloading;

42. Jasa laboratorium dan/ atau dilakukan oleh lembaga ataurangka perielitian akademis;

43. Jasa pengelolaan parkir; 44. Jasa penyondiran tanah;

45. Jasa penyiapan dan/ atau pengolahan lahan;

46. Jasa pembibitan dan/ atau penanaman bibit;

47. Jasa pemeliharaan tanaman; 48. Jasa pemanenan;

49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/ atau perhutanan;

50. Jasa dekorasi;

51. Jasa pencetakan/penerbitan; 52. Jasa penerjemahan;

53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;

54. Jasa pelayanan kepelabuhanan;

55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;

56. Jasa pengelolaan penitipan anak; 57. Jasa pelatihan dan/ atau kursus; 58. Jasa pengiriman dan pengisian uang

(34)

software komputer (termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan);

22. Jasa pembuatan dan atau pengelolaan website;

23. Jasa internet termasuk sambungannya;

24. Jasa penyimpanan,

pengolahan dan atau

penyaluran data, informasi dan atau program

25. Jasa instalasi/pemasangan AC, mesin, peralatan, listrik, telepon, TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi;

26. Jasa perawatan/ perbaikan/

pemeliharaan mesin,

peralatan, listrik, telepon, air,gas, AC. TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang Lingkupnya di bidang Konstruksi;

27. Jasa perawatan kendaraan dan atau transportasi darat laut dan udara

ke ATM; 59. Jasa sertifikasi; 60. Jasa survey; 61. Jasa tester, dan

62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Selain pembayaran-pembayaran tersebut di atas terdapat beberapa pembayaran yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, yaitu penghasilan yang diterima oleh badan/lembaga pemerintah dalam melaksanakan tugas pokoknya. Badan/lembaga pemerintah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Badan/lembaga pemerintah yang pendiriannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU, PP, PerPres, KepPres);

(35)

c. Pemeriksa badan/lembaga tersebut dilakukan oleh BPK, BPKP, ITJEN, atau BAWASDA; dan

d. Sumber penerimaan yang diterima badan/lembaga tersebut merupakan penerimaan negara.

2. Tarif PPh Pasal 23

Tarif yang ditetapkan adalah sebesar 2% dari penghasilan bruto (nilai pembayaran atas jasa yang tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai). Dalam hal wajib pajak tidak memiliki NPWP, maka dikenakan tarif lebih tinggi 100% dari tarif yang dikenakan terhadap wajib pajak yang memiiki NPWP, yaitu menjadi 4% dari jumlah bruto.

Jumlah brutto adalah seluruh jumlah penghasilan tidak termasuk • Pembayaran gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain.

• Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material

• Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga

• Pembayaran penggantian biaya (reimbursement)

Namun ketentuan tersebut tidak termasuk jasa catering 3. Waktu Terutang PPh Pasal 23

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 23 ayat (1), menyatakan bahwa PPh Pasal 23 terutang pada bulan dilakukannya pembayaran penghasilan yang bersangkutan. 4. Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 23

Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat pembayaran dengan memberikan bukti pemotongan yang telah diisi lengkap.

5. Tata Cara Penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 yang dipotong bendahara harus disetorkan oleh bendahara selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) di bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila pada tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Terhadap penyetoran PPh Pasal 23 harus dilaporkan ke KPP selambat-lambatnya tanggal 20 di bulan berikutnya. Jika tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

(36)

Tata cara pelaporan dilakukan sebagai berikut

a. Lembar ke-2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dibuat dalam satu bulan takwim dicatat rangkap dua pada formulir Daftar Bukti Pemotongan Pajak; b. Bendahara mengisi dengan lengkap dan benar formulir SPT Masa PPh Pasal

23, rangkap 2 (dua) dan dilampiri dengan: 1) Bukti setor elektronik;

2) Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23;

c. Bendahara menerima kembali satu set lembar ke-2 SPT Masa PPh Pasal 23, sebagai bukti telah melapor.

Contoh Perhitungan PPh pasal 23

1. Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayar jasa service kendaraan pada bengkel mobil “Tokcer” (ber NPWP) untuk memperbaiki kendaraan dinas. Besarnya biaya yang dikeluarkan Rp 900.000,00 (belum termasuk PPN) pembayaran tersebut sudah termasuk penggantian suku cadangnya. Terhadap transaksi tersebut Bendahara memungut PPh Pasal 23 sebesar :

Rp 900.000,00 × 2% = Rp. 18.000,00

2. Dalam rangka penyelenggaraan rapat dinas, bendahara Pendidikan Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembayaran atas penyediaan konsumsi oleh pengusaha jasa catering “Enak” dengan biaya sebesar Rp 900.000,00. PPh Pasal 23 yang terutang dan harus dipotong oleh bendahara adalah:

Rp 900.000,00 x 2% = Rp.18.000,00

Catatan : Jasa catering termasuk jenis jasa yang tidak dipungut PPN.

Ketentuan pasal 26 Undang Undang mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Badan Usaha Tetap.

1. Objek PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), baik itu orang pribadi maupun badan, selain Badan Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari Indonesia.

(37)

2. Tarif PPh Pasal 26

Tarif PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri. Pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran yang sehubungan dengan jasa, penggunaan harta, sewa, pekerjaan, kegiatan atau pembayaran lain dengan nama atau bentuk apapun.

Pemotongan/pemungutan pajak penghasilan Pasal 26 yang dilakukan oleh bendahara tersebut bersifat final. Besarnya tarif tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

3. Tata Cara penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 26

Terhadap pemotongan PPh pasal 26, bendahara harus menyetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Pelaporan hasil pemungutan PPh pasal 26 dilakukan oleh bendahara dengan membuat SPT Masa PPh pasal 26. Pelaporan tersebut harus dilaksanakan paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir. SPT Masa PPh pasal 26 dibuat dalam 2 rangkap .

a. Lembar pertama untuk Kantor Pelayanan Pajak; dan b. Lembar kedua untuk arsip bendahara.

Contoh

Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayarkan honorarium kepada Mr. Paul Lambert seorang narasumber yang berasal dari Australia dalam pelaksanaan Diklat Logic Model sebesar 3000 US $ (catatan kurs 1US $ = 15.000,00. Terhadap pembayaran tersebut bendahara memotong PPh pasal 26 sebesar (3000 US $ x Rp.15.000,00) x 20% = Rp.9.000.000,00.

(38)

1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan a. Pengertian

Persewaan tanah dan/atau bangunan adalah sewa berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagian-bagiannya, gedung dan bangunan industri termasuk areal baik di dalam maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.

Pemotongan pajak oleh bendahara atas pembayaran yang sumber dananya dari APBN/APBD, dilakukan terhadap semua nilai pembayaran atau jumlah bruto nilai persewaan yaitu semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apa pun juga yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan ”service charge” baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.

b. Tarif

Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. Menurut ketentuan tersebut, penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 10% baik atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.

c. Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan

Tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan, antara lain meliputi:

1) Bendahara sebagai penyewa wajib, memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu; 2) Pada saat dilakukannya pemotongan PPh, bendahara memberikan bukti

pemotongan PPh Final kepada orang atau badan yang menyewakan;

3) Bendahara menyetorkan PPh yang telah dipotong secara elektronik pada Bank Persepsi atau Kantor Pos, selambat-lambatnya tanggal 10 di bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;

Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

(39)

4) Bendahara wajib melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor ke Kantor Pelayanan Pajak, tempat Bendahara terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 di bulan berikutnya, setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa

Contoh

Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembayaran kepada CV Maju Hidayat untuk sewa gedung dalam rangka penyelenggaraan Diklat Teknis Umum dengan harga Rp 6.600.000,00. (termasuk PPN) pada tanggal 19 Juli 2016. Bagaimana kewajiban perpajakan bendahara?

Pemotongan PPh Pasal 4 (2)

Terhadap pembayaran tersebut bendahara memotong PPh final sebesar : Dasar Pengenaan Pajak

Rp 6.600.000,00 x 100/110 = Rp 6.000.000,00 PPh pasal 4 (2) = Rp.6.000.000,00 x 10%

= Rp.600.000,00

Pemungutan PPN

Atas pembayaran sewa wajib dipungut PPN dengan tarif 10%

PPN = Rp.6.000.000,00 x 10%

= Rp.600.000,00 Kewajiban Bendahara

a. melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT Maju Hidayat;

b. membuat bukti potong PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas nama PT Maju Hidayat; c. membuat bukti setor elektonik PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN atas nama

PT Maju Hidayat;

e. menyerahkan copy bukti setor elektronik PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN, Faktur pajak lembar ke-2; dan bukti potong PPh Final Pasal 4 ayat (2), kepada PT Maju Hidayat;

f. melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) ke KPP Pratama Bogor paling lama tanggal 20 Agustus 2016;

g. melaporkan SPT Masa PPN ke KPP Pratama Manado paling lama tanggal 31 Agustus 2016.

2. PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan a. Pengertian

(40)

a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; dan

c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

b. Tarif

Bendahara dalam melaksanakan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan atas beban APBN/APBD dilakukan sesuai dengan nilai yang disepakati atau jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak. Jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak termasuk bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi pembeli dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.

Jumlah bruto nilai pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan. Apabila pelaksanaannya melalui lelang, maka jumlah bruto nilai pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

Sesuai PP 34 Tahun 2016 besarnya pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar:

1) 2,5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah sederhana atau Rusun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 2) 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunanberupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

3) 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri  Wajib Pajak Dalam Negeri  Wajib Pajak Luar negeri
Tabel 2.2. PTKP bagi Wanita
Gambar 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan  2.  Ruang Lingkup Pemotongan Penghasilan Pasal 21 Bendahara
Gambar 2.2. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan Tetap  dan Teratur Penghasilan Bruto -  Gaji  Kehormatan-  Gaji -  Tunjangan yang Terkait Dikurangi:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siswa 3 : “Ya keluar kelas cari temen, kalau pas pelajaran ya ngobrol sama temen.” Peneliti : “Kalau di suruh ngerjain latihan soal itu kamu lebih suka sendiri atau

Tujuan pengkajian adalah mengoptimalkan lahan dengan menerapkan inovasi teknologi pengelolaan lahan rawa lebak untuk meningkatkan produktivitas lahan, tanaman dan

Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk mempengaruhi laku selanjutnya. Jika konsumen puas, ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi

Untuk mengetahui tanggapan responden terhadap variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kinerja Pemerintah daerah, Good Governance , Gaya Kepemimpinan,

Tabel 1.3 yang menunjukaan bahwa terdapat beberapa harapan konsumen yang tidak sesuai dengan keadaan aktual yang terjadi misalnya pada poin satu dan empat, dimana konsumen mengeluh

(1) Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3)

Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan sebuah metode dalam pengajarannya. Dalam hal ini, metode yang dapat digunakan adalah metode copy the master. Copy the Master ini

hasil belajar dan materi yang dicakup oleh program instruksional atau pengajaran. 3) Maksud sampel hasil belajar dalam hal ini adalah perwujudan soal tes dalam bentuk