• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

EKSLUSIF DI DPRD KOTA MAKASSAR)

ANDI MUTHAHARAH BUR Nomor Stambuk : 105640177613

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Pemerintahan

Disusun dan Diajukan Oleh

ANDI MUTHAHARAH BUR

Nomor Stambuk : 105640177613

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)
(4)
(5)

viii

Nama Mahasiswa : Andi Muthaharah Bur Nomor Stambuk : 105640177613

Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis / dipublikasikan orang lain atau melaksanakan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.

Makassar, 13 Juni 2017 Yang Menyatakan,

(6)

viii

2016 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Secara Ekslusif di DPRD Kota Makassar), (Dibimbing oleh Budi Setiawati Dan A.Luhur Prianto).

Artikel ini menjelaskan tentang bentuk dan faktor yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan pada Perda ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menunjukkan bahwa dominasi partisipasi politik perempuan lebih sebagai aktivis dan partisipan. Sebagai aktivis karena Koordinator, Ketua, Wakil, dan Sekretaris Pansus dijabat oleh perempuan, dan memiliki keterlibatan aktif dalam mengawal isu ASI Eksklusif menjadi sebuah produk kebijakan. Sebagai partisipan dapat dilihat dari keterlibatan perempuan dalam forum dan sosialisasi yang tidak sekadar hadir, melainkan berkontribusi dalam memberi saran dan kritik. Adapun faktor yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan yaitu faktor struktur. Posisi perempuan sebagai panitia inti dalam pansus menjadi peluang besar dalam mengawal pengesahan Perda ASI Eksklusif.

(7)

viii Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan Rahmat dan Karunia-Nya skripsi yang berjudul “Partisipasi Politik Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (Study Pada Perda Pemberian Asi Ekslusif di DPRD Kota Makassar” dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa penulis kirimkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Merupakan suatu nikmat yang tiada ternilai dalam pelaksanaan penelitian skripsi yang telah dilakukan oleh penulis, walau sedikit mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat kerja keras penulis dan adanya bimbingan dan bantuan dari beberapa pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi yang penulis buat ini bertujuan untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Teristimewa dan terutama penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Kedua orang tua penulis Drs.H. Andi Burhanuddin Ahmad(Alm) dan Dra. Hj. Andi Tuang, serta suami Ashabul Kahfi, ST dan anak saya Rafifatu Khaira yang senantiasa memberi harapan, semangat, perhatian, kasih sayang dan doa tulus tampa pamrih. Dan seluruh keluarga besar atas segala pengorbanan, dukungan dan

(8)

viii

Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Begitu pula penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih banyak disampaikan dengan hormat kepada :

1. Bapak Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE.,MM., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Ibu Dr. Hj Budi Setiawati, M.Si selaku pembimbing I yang telah sabar dan tak kenal lelah dalam membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Andi Luhur Prianto, S.IP.,M.Si selaku pembimbing II yang tak kenal lelah membimbing dan mendorong penulis untuk menyelesaiakn skripsi ini. 4. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial &

Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

5. Ibu Nuryanti Mustari, S.Ip.,M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan 6. Bapak Ahmad Harakan, S.IP., M.H.I selaku sekertaris Jurusan Ilmu

Pemerintahan

7. Bapak/ibu dan asisten Dosen Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar yang tak kenal lelah banyak menuangkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti kuliah.

8. Seluruh civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

(9)

viii menyelesaikan skripsi ini

10. Seluruh saudara angkatan 2013, 2014 dan 2015 Ilmu Pemerintahan tak terkecuali teman-teman KKP angkatan ke-XVII Fisipol Unismuh Makassar yang telah menjadi keluarga bagi penulis.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun guna penyempurnaan dan perbaikan skripsi ini senantiasa dinantikan dengan penuh keterbukaan.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 13 Juni 2017

(10)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN TIM ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ... 10

B. Kerangka Konsep ... 14

(11)

viii

D. Fokus Penelitian ... 30

E. Deskripsi Fokus Penelitian... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33

B. Jenis dan Tipe Penelitian ... 33

C. Sumber Data ... 34

D. Informan Penelitian ... 34

E. Teknik Pegumpulan Data ... 35

F. Teknik Analisis Data ... 36

G. Keabsahan Data ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

1. Profil Kota Makassar ... 38

2. Profil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar Periode 2014-2019 ... 42

3. Profil Perda ASI Eksklusif Kota Makassar Tahun 2016... 44

B. Bentuk Partisipasi politik Perempuan dalam Pengambilan Keputusan ... 45

1. Partisipasi Sebagai Aktivis ... 46

(12)

viii

1. Ideologi ... 56 2. Struktur ... 58 3. Kultur ... 59

(13)

viii

Tabel 2.1 Data Penelitian Terdahulu ...13

Table 3.1 Tabel Informan Penelitian ...35

(14)

viii

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Istilah kata perempuan adalah berasal dari bahasa Sansekerta. Moelyono dan Soebadio dalam Sadli (2010) menjelaskan arti kata perempuan adalah yang di-empu-kan, empu yang artinya induk atau ahli sehingga tersirat arti penghormatan. Dalam pandangan feminisme dalam (Humm,2002), istilah perempuan adalah sebuah konstruksi sosial dimana identitas perempuan telah dikonstruk melalui pendeskripsian atau penggambaran.

Masyarakat tradisional menganggap perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga yang bertanggungjawab atas manajemen rumah tangga dan perawatan anak, sementara laki-laki memiliki peran yang lebih superior yaitu sebagai kepala rumah tangga yang bertanggungjawab atas pencarian nafkah (Booth&Amato dalam Kuswanti, 2009). Tetapi, memasuki era reformasi ini, perempuan tidak sekedar sebagai pendamping laki-laki atau hanya mengurus rumahtangga. Perempuan di era ini dituntut untuk senantiasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat serta mengasah skill untuk pengembangan kariernya.

Perempuan Indonesia dalam lintasan sejarah telah banyak memberi konstribusi dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam perdagangan, pertanian, pemerintahan, politik, bahkan dalam peran dan kiprahnya pemimpin suatu kerajaan (kerajaan Islam di Aceh).

(16)

Pada tahun 2001-2004, Indonesia pernah dipimpin untuk kali pertama oleh seorang perempuan sebagai Presiden republik Indonesia, yaitu Megawati Soekarno Putri. Katjasungkana (dalam Suparno.dkk,2005) berpandangan, bahwa meski masih banyak tantangan terhadap ide perempuan sebagai pemimpin baik menggunakan argumen ajaran agama dan alasan-alasan sosial politik yang lain, hadirnya perempuan khususnya dalam politik adalah realitas yang tak bisa ditolak lagi.

Penelitian Andriana (2012) menjelaskan bahwa sejak tahun 2002, kelompok masyarakat sipil seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Partai politik (dalam hal ini para tokoh perempuan, dan aktivis politik), serta beberapa kelompok dari kalangan akademisi bersepakat bahwa partisipasi politik perempuan di Indonesia perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia, diantarnya:

Pertama, dalam sejarah parlemen di Indonesia, kuantitas perempuan dalam lembaga DPR maupun DPRD tidak pernah melewati 18 persen. Ini berarti persentase perempuan dalam parlemen baik di tingkat lokal sampai pada tingkat nasional dikategorikan sangat rendah. Dalam penelitian Budiatri (2010), Perempuan pernah mencapai 5,1 % keterwakilannya di parlemen pusat pada periode tahun 1956-1959. Kemudian pada tahun 2009, keterwakilan perempuan dalam parlemen di tingkat provinsi mencapai rata-rata 16 %, dan ditingkat daerah kota dan kabupaten sebesar 12%. Hingga pada tahun 2014

(17)

belum ada yang mencapai 30%, baik ditingkat nasional maupun daerah provinsi, kabupaten dan kota.

Kedua, sebenarnya pada masa transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1998 sampai awal tahun 2000an memberi peluang bagi partai politik dan perempuan untuk meningkatkan persentase keterwakilannya di parlemen. Masa transisi yang mengembalikan akses dalam berkumpul dan berekpresi disambut oleh kelompok LSM khususnya perempuan yang terus bergelirya dalam memberikan pendidikan politik demi meningkatnya kesadaran dan pemahaman politik perempuan. Sehingga saat itu sampai sekarang, isu gender dan perempuan menjadi hal penting dalam proses demokrasi di Indonesia.

Berbicara tentang isu kesetaraan gender, tahun 2003 merupakan suatu pencapaian bagi aktivis perempuan yang telah berjuang agar kuota perempuan di parlemen dapat merepresentasikan kepentingan perempuan. Respon pemerintah dijewantahkan melalui penerapan UU Pemilu yang telah mengakomodasi aksi afirmasi kuota minimal 30 persen pencalonan perempuan dalam daftar. Aksi afirmasi dalam UU Pemilu ini berkembang pada Pemilu 2009 dengan diterapkannya kolaborasi sistem kuota dengan sistem zipper. Perempuan tidak hanya dicalonkan dengan angka kuota 30 persen, tetapi juga harus disertakan dalam daftar minimal satu perempuan di antara tiga calon. Dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang didalamnya memuat tentang kuota pemenuhan perempuan pada lembaga legislatif sebanyak 30% sehingga dengan

(18)

diberlakukannya kuota 30% terhadap perempuan dalam bidang politik diharapkan mampu mewakili aspirasi kaum perempuan dalam parlemen di indonesia. Selanjutnya UU No. 10 tahun 2008 digantikan dengan UU No. 8 tahun 2012 yang memuat hal yang sama. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam bidang politik terutama untuk pencapaian kesetaraan gender. Meskipun demikian, ruang gerak perempuan dalam panggung politik masih jauh dari keadilan dan kesetaraan.

Selama tiga kali prosesi pemilu diselenggarakan oleh KPU yaitu tahun 2004, 2009, dan 2014 masih menuntut perempuan untuk bekerja keras walaupun telah ada pemberian kuota melalui affirmative action tersebut. Perjuangan perempuan dalam mengejar kuota kursi parlemen tersebut masih cukup panjang. Berbagai cara dan strategi harus dikaji, dibenahi dan disusun ulang guna mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam bidang politik ini, khususnya. Berikut ini, sajian data yang menunjukkan bagaimana perjuangan mengejar kuota kursi parlemen bagi perempuan masih begitu berat sehingga kesetaraan masih jauh. Maka tindakan affirmative action harus terus dilakukan supaya kuota perempuan dapat terpenuhi, sekalipun tidak maksimal. Sebagaimana data hasil Pemilu 1999 setelah reformasi tetapi sebelum adanya kebijakan kuota 30% perempuan (Agustina,2014).

Jumlah persentase anggota DPR yang dinamis ternyata tidak hanya terjadi ditingkat pusat, tetapi juga merambah sampai ke daerah baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Seperti halnya di kota Makassar, tahun 2009 anggota legislatif perempuan terpilih sebanyak 5 orang, dan meningkat pada

(19)

pemilu tahun 2014 menjadi 7 orang dari kouta 50 kursi. Sangat jelas terlihat kesenjangan jumlah yang cukup jauh antara laki-laki dan perempuan.

Tabel 1.1

Keterwakilan Perempuan di DPR RI No Pemilu Tahun Jumlah Kursi Jumlah

Perempuan % 1 1955 5,9 2 1971 460 33 7,17 3 1977 460 34 7,39 4 1982 460 38 8,26 5 1987 500 57 11,4 6 1992 500 61 12,2 7 1997 500 57 11,4 8 1999 500 40 8 9 2004 550 62 11,2 10 2009 560 104 18,4 11 2014 560 97 17,3

Sumber: Hasil penelitian tentang Perjalanan Perempuan Indonesia dalam “Mengejar” Kuota Kursi Parlemen oleh Agustina, 2014

Minimnya keterwakilan perempuan di dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan di Indonesia contohnya DPRD Kota Makassar, menjadi persoalan ketika transisi menuju demokrasi menuntut kesetaraan dan keadilan perempuan. Kondisi sosiokultur bangsa yang pekat dengan budaya patriarki menjadi salah satu faktor penghalang untuk aktualisasi perempuan sebagai pengambil kebijakan pembangunan bangsa ini.

Asumsi masyarakat yang masih kental terhadap nilai patriarki di Kota Makassar menjadi salah satu faktor rendahnya keterwakilan perempuan di Legislatif, latar belakang pendidikan juga berpengaruh terhadap kurangnya representasi perempuan di lembaga DPRD Kota Makassar. Terlepas dari pemenuhan kuota perempuan di lembaga parlemen sebesar 30%, namun

(20)

kesadaran akan keterwakilan perempuan diparlemen kurang dipahami oleh masyarakat luas.

Faktor lain yang menjadi penghalang keterwakilan perempuan adalah adanya subordinasi gender. Subordinasi terhadap perempuan bermakna bahwa perempuan tidak memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut dirinya. Perempuan diharuskan tunduk pada keputusan yang diambil oleh laki-laki. Sehingga ruang gerak mereka menjadi sangat konvensional dan seringkali dipandang tidak layak menjadi politisi. Dengan di dominasi oleh kaum laki-laki apakah keterwakilan perempuan di DPRD turut memberi kontribusi yang besar terhadap Kota Makassar terkhusus dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak atau hanya sebagai pelengkap pemenuhan kuota keterwakilan perempuan saja.

Harapan tersebut juga didukung karena DPRD Kota Makassar memperlihatkan suatu pencapaian mengenai keterlibatan perempuan dalam ranah pengambilan keputusan. Indira Mulyasari Paramastuti terpilih menjadi wakil ketua DPRD Kota makassar pertama dan satu-satunya dari ketiga wakil ketua terpilih (sumber:indotimenews.com). Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa dengan terbukanya kran demokrasi yang luas memungkinkan untuk setiap elemen bangsa berperan dalam proses pembangunan. Termasuk proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik terutama dalam bidang politik, sejatinya seluruh elemen terlibat termasuk dari kalangan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam

(21)

pengambilan keputusan publik di DPRD ini diharapkan mampu menghadirkan nilai-nilai perbaikan.

Peran dari kalangan perempuan bukan hanya sebagai pengamat saja, tetapi bagaimana perempuan juga mampu mengambil peran dalam mempengaruhi kebijakan publik salah satu sistem politik yang mendukung proses pembangunan dalam negara kita adalah terciptanya kesejahteraan kepada seluruh elemen masyarakat terkhusus perempuan dan anak. Begitupun partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan bukan hanya memilih wakil-wakil rakyat saja namun suara perempuan dan anak dalam untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain.

Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian menentukan bentuk partisipasi politik perempuan di DPRD Kota Makassar dalam pengambilan keputusan pada proses pembentukan Perda ASI Eksklusif di Kota Makassar.

Lahirnya Perda Pemberian ASI Eksklusif yaitu dengan merujuk pada UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, dan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 68 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu Eksklusif. Selain itu, Perda

(22)

ini dimaksudkan untuk melengkapi dua peraturan wali kota yang menyinggung hal yang sama, yakni Perwali nomor 5 Tahun 2012 tentang Kesehatan Gizi dan Anak serta Perwali nomor 49 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Perda Nomor 3 tahun 2016 tentang Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif ini merupakan inisiasi dari Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan (Sumber: antarasulsel.com). Lahirnya Perda ASI Eksklusif ini atas latar belakang melihat kondisi ASI eksklusif ini sudah semakin menurun. Hal ini diungkap oleh ketua Panitia Khusus Perda ASI yaitu Yeni Rahman(Sumber:makassarterkini.com, 2016). Menurutnya terkadang seorang ibu menyusui merasa terganggu aktivitasnya dan penampilannya, makanya dengan adanya perda ini menjadi hak dan kewajiban bagi anak dan ibu. Kewajiban bagi ibu menyusui anaknya dan hak anaknya mendapat ASI . Olehnya itu, komitmen dan partisipasi politik perempuan dalam ranah pengambilan keputusan diwujudkan melalui pengesahan Perda ASI Eklusif No. 3 Tahun 2016 tentang pemberian air susu ibu secara Eksklusif. Hal ini sebagai bentuk perjuangan terhadap hak-hak anak.

Permasalahan di atas menjelaskan kedudukan lembaga DPRD menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan terkait masalah yang ada, olehnya itu yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, study pada perda ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar. Mengingat hanya ada 7 orang anggota perempuan dari 50 anggota di DPRD Kota Makassar (sumber:http://dprd-makassarkota.go.id).

(23)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat diambil sebuah rumusan masalah yakni:

1. Bagaimana bentuk partisipasi politisi perempuan dalam pengambilan keputusan (studi pada perumusan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Secara Eksklusif di DPRD Kota Makassar) ?

2. Bagaimana faktor yang mepengaruhi partisipasi politisi perempuan dalam pengambilan keputusan (studi pada perumusan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Secara Eksklusif di DPRD Kota Makassar) ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk menganalisis bentuk partisipasi politisi perempuan dalam pengambilan keputusan, studi Perda ASI Eklusif di DPRD Kota Makassar

2. Untuk menganalisis faktor yang mepengaruhi partisipasi politisi perempuan dalam pengambilan keputusan, studi pada Perda ASI Eklusif di DPRD Kota Makassar

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritik maupun manfaat praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

(24)

Memberikan masukan dalam rangka ilmu pengetahuan khususnya ilmu pemerintahan dan ilmu politik sehingga dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dan bahan referensi kepada semua pihak yang membutuhkan informasi dan dapat menjadi bahan untuk memberikan gambaran tentang Partisipasi politik perempuan.

2) Manfaat Praktis penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi DPRD Kota Makassar dan politisi perempuan terkait partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang dikaji telah menghasilkan kesimpulan yang beragam sesuai dengan kajian penelitiannya yaitu:

Penelitian oleh Wahyudi (2007) yang meneliti tentang Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan Kota Semarang dalam Pemilu Tahun 2004, menemukan bahwa bahwa partisipasi politik elit politik perempuan ditunjukkan dalam bentuk memberikan suara dalam pemilu, mengikuti kampanye, aktif dalam diskusi informal, menjadi juru kampanye, menjadi pengurus partai politik, menjadi saksi dalam pemilu, dan menjadi penyelenggara pemilihan umum (KPU). Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu tahun 2004 tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Adapun motif tersebut antara lain dipengaruhi oleh adanya keyakinan dalam diri individu, orientasi pemimpin dan agama, dan juga karena adanya kesadaran diri sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban untuk turut memberikan kontribusi bagi perkembangan bangsa.

(26)

Penelitian oleh Agustina (2014) dalam penelitiannya tentang Perjalanan Perempuan Indonesia dalam “Mengejar” Kuota Kursi Parlemen menjelaskan bahwa Kebijakan affirmative action melalui pemberian kuota kursi parlemen 30% telah dilalui sebanyak 3 kali Pileg (2004, 2009, dan 2014), namun belum bisa mencapai keterwakilan yang diinginkan. Angka 20% saja begitu susah, apalagi 30%. Padahal keterwakilan perempuan di parlemen adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam rangka memenuhi hak-hak politik perempuan dalam bernegara. Laki-laki dan perempuan mestinya memiliki kesempatan partisipasi dan melakukan kontrol yang setara terhadap jalannya pemerintahan. Namun masih sedikit perempuan yang terjun ke dunia politik. Selain peran elit partai yang cukup dominan, sistem rekrutmen caleg yang lemah, pendidikan politik juga yang masih sangat kurang, serta masih kentalnya sistem kekerabatan (oligarki) dan maraknya transaksional, membuat perempuan tidak banyak tertarik terjun ke politik. Hal tersebut menjadikan dunia politik bukan pilihan perempuan. Akibatnya, lemahnya minat dan keinginan perempuan terjun ke politik mengakibatkan makin jauhnya kuota keterwakilan perempuan di parlemen.

Penelitian oleh Silaban (2015) dengan judul Implementasi Politik Perempuan di Kota Makassar, menemukan hasil bahwa tindakan perempuan di Kota Makassar dalam mengaktualisasikan politik perempuan belum banyak yang nyata. Hal yang paling banyak dilakukan baru sekadar masuk kedalam partai politik dan ikut mendaftar sebagai caleg. Namun karena partai politik belum mau mendukung sepenuhnya, perempuan belum banyak yang terpilih

(27)

menjadi anggota DPRD pada Pemilu legislatif tahun 2009 lalu. Hanya ada tujuh orang perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD di Kota 16 Temuan lapangan di tingkat lokal, Partai Demokrat di Kota Makassar, dari lima puluh anggota keseluruhan. Selain masuk partai politik dan ikut mendaftar sebagai caleg, ada juga tindakan lain yang dilakukan oleh perempuan di Kota Makassar.

Berikut ini, secara terperinci mengenai sajian data penelitian terdahulu: Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu Nama Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Hasil Penelitian Bambang

Wahyudi (2007)

Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan Kota Semarang Dalam Pemilu Tahun 2004

Partisipasi politik elit politik perempuan ditunjukkan dalam bentuk memberikan suara dalam pemilu, mengikuti kampanye, aktif dalam diskusi informal, menjadi juru kampanye, menjadi pengurus partai politik, menjadi saksi dalam pemilu, dan menjadi penyelenggara pemilihan umum (KPU). Adapun motif tersebut antara lain dipengaruhi oleh adanya keyakinan dalam diri individu, orientasi pemimpin dan agama, dan juga karena adanya kesadaran diri sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban untuk turut memberikan kontribusi bagi perkembangan bangsa.

Titien Agustina (2014)

Perjalanan Perempuan Indonesia dalam “Mengejar” Kuota Kursi

Kebijakan affirmative action

melalui pemberian kuota kursi parlemen 30% telah dilalui

(28)

Parlemen sebanyak 3 kali Pileg (2004, 2009, dan 2014), namun belum bisa mencapai keterwakilan yang diinginkan. Angka 20% saja begitu susah, apalagi 30%. Padahal keterwakilan perempuan di parlemen adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam rangka memenuhi hak-hak politik perempuan dalam bernegara. Selain peran elit partai yang cukup dominan, sistem rekrutmen caleg yang lemah, pendidikan politik juga yang masih sangat kurang, serta masih kentalnya sistem kekerabatan (oligarki) dan maraknya transaksional, membuat perempuan tidak banyak tertarik terjun ke politik. Hal tersebut menjadikan dunia politik bukan pilihan perempuan. Akibatnya, lemahnya minat dan keinginan perempuan terjun ke politik mengakibatkan makin jauhnya kuota keterwakilan perempuan di parlemen. Ahmad H. Silaban (2015) Implementasi Politik Perempuan di Kota Makassar,

Tindakan perempuan di Kota

Makassar dalam

mengaktualisasikan politik perempuan belum banyak yang nyata. Hal yang paling banyak dilakukan baru sekadar masuk kedalam partai politik dan ikut mendaftar sebagai caleg. Namun karena partai politik belum mau mendukung sepenuhnya, perempuan belum banyak yang terpilih menjadi anggota DPRD

(29)

pada Pemilu legislatif tahun 2009 lalu. Hanya ada tujuh orang perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD di Kota 16 Temuan lapangan di tingkat lokal, Partai Demokrat di Kota Makassar, dari lima puluh anggota keseluruhan. Selain masuk partai politik dan ikut mendaftar sebagai caleg, ada juga tindakan lain yang dilakukan oleh perempuan di Kota Makassar. Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2017

Dari beberapa penelitian di atas, persamaan penelitian ini adalah titik fokus yang sama-sama membahas partisipasi perempuan serta keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Tetapi yang membedakan, penelitian ini memfokuskan pada partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan. Sedangka pada penelitian pertama Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan Kota Semarang Dalam Pemilu; penelitian kedua tentang perjuangan perempuan menuju parlemen dalam mengaplikasikan affirmativ

action 30%; dan penelitian ketiga tentang Implementasi Politik Perempuan di

Kota Makassar. B. Kerangka Konsep

1. Konsep Partisipasi Politik

Istilah partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participate, jika diterjemahkan berarti mengikutsertakan, ikut mengambil bagian (Wijaya, 2004). Beragam pendapat tentang pengertian partisipasi menurut beberapa ahli, seperti Djalal dan Supriadi (2001), memberi penjelasan sederhana

(30)

bahwa partisipasi sebagai pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

Selanjutnya oleh Tilaar (2009) mengungkapkan partisipasi sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (button-up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Poerbakawatja dalam Wardhana (2016) yang mengungkapkan bahwa partisipasi merupakan suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan di dalam perencanaan serta pelaksanaan dari segala sesuatu yang berpusat pada kepentingan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.

Beragam pendangan oleh para ahli dalam memberi pengertian tentang partisipasi, hal ini menunjukkan konsep partisipasi memiliki makna yang luas dan beragam. Tetapi, dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu wujud dari peran serta masyarakat dalam aktivitas berupa perencanaan dan pelaksanaan untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Wujud dari partisipasi dapat berupa saran, jasa, ataupun dalam bentuk materi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suasana demokratis.

(31)

Politik dalam bahasa Arab disebut dengan istilah as-siyasah yang berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu, atau secara definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik (Elvandi,2011). Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani) yang artinya negara kota. Kemudian diturunkan kata lain seperti

polities (warga negara), politikos (kewarganegaraan atau civics) dan politike tehne (kemahiran politik) dan politike episteme (ilmu politik)

(Cholisin,2006).

Politik oleh Surbakti (2007) dipahami sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Sementara Budiardjo (2008) berpandangan lain, bahwa Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Kemudian secara sederhana, Laswell (Cholisin,2006) memberi definisi bahwa politics

as who gets what, when and how.

Beberapa pendapat menegenai politik yang diungkapkan oleh para ahli di atas, memiliki perbedaan pandang satu sama lain. Tetapi secara garis umumnya dapat diambil kesimpulan bahwa politik pada hakikatnya adalah alat yang dapat digunakan untuk mempertahankan ataupun memperoleh suatu kekuasaan, kepentingan.

(32)

Partisipasi politik dapat dipahami sebagai bentuk keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Partisipasi politik menjadi salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.

Partisipasi politik oleh Budiardjo (2008) adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Sementara menurut Herbert Mc Closky (Budiardjo, 2008), partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela (voluntary) dari warga masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembuatan atau pembentukan kebijakan umum.

Secara sederhana Surbakti (2007), memberi definisi bahwa partisipasi politik sebagai keterlibatan warga negara biasa dalam menentukan segala

(33)

keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi mekanisme pemerintah, namun selain itu juga perlu diperjelas bahwa partisipasi politik memiliki kepentingan lain yaitu sebagai alat kontrol bagi berjalannya suatu sistem. Bahkan lebih jauh lagi bahwa partisipasi politik adalah suatu media untuk mengembangkan sistem politik, agar mekanisme politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya. Pada akhirnya sistem politik dapat berjalan ke arah tujuan dengan stabil dan sukses.

Secara umum partisipasi politik sebagai kegiatan dibedakan menjadi (Rahman, 2007):

a) Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output.

b) Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.

c) Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan. Sedangkan menurut Milbrath dan Goel (Cholisin, 2007), membedakan partisipasi politik menjadi beberapa jenis, yaitu:

a) Partisipasi politik apatis, orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.

b) Partisipasi politik spector, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum.

(34)

c) Partisipasi politik gladiator, mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.

d) Partisipasi politik pengritik, orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional

Ada atau tidaknya partisipasi politik masyarakat oleh Jalbi (dalam Ruslan 2000), dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yakni

a) Partisipan, atau orang-orang yang aktif berpolitik. Inilah bentuk konkret partisipasi aktif.

b) Non Partisipan politik. Inilah bentuk konkret yang tidak berpartisipasi. Mereka tidak berada pada satu tingkat, akan tetapi dapat dibedakan menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama, orang-orang yang memang tidak berusaha untuk berpartisipasi, seperti orang-orang yang sudah terbiasa tidak menggunakan hak suara mereka. Misalnya, ketidakpedulian ini semakin besar pada sebagian tokoh agama yang memiliki pemahaman sempit akan agamanya, dan sebagian mereka beranggapan bahwa ketidakpedulian politik merupakan nilai, seperti kaum perempuan pada sebagian masyarakat.

Kelompok kedua, orang-orang yang meremehkan urusan politik. Bentuk konkret sikap ini dapat di lihat pada tiga fenomena yaitu:

a) Ketidak pedulian politik b) Keraguan politik

(35)

c) Keterasingan politik

Partisipasi dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial oleh Olsen (dalam Surbakti, 2007). Beliau membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain), warga negara, marginal, (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik), dan orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).

Sementara perspektif lainnya, oleh Roth dan Wilson (dalam Budiardjo, 2003) menguraikan bentuk partisipasi politik warga negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai aktivis. Bila di jenjangkan, intensitas kegiatan politik warga negara tersebut membentuk segitiga serupa dengan warga negara. Karena seperti piramida, bagian mayoritas partispasi politik warga negara terletak di bawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik mengikuti perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu. Setingkat lebih maju dari kelompok pengamat yang terletak di tengah-tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan.

(36)

Partisipan

Pada jenjang partisipan ini aktivitas partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial. Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam kategori aktivis sedikit jumlahnya. Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti: menjadi pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai/kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini oleh Roth dan Wilson di sebut sebagai orang yang apolitis.

Gambar 2.1: Piramida Partisipasi Politik menurut Roth dan Wilson (dalam Budiardjo, 2003)

Partisipasi politik oleh Milbrath dan Goel (Surbakti, 2007) membedakan partisipasi politik pemilihan umum menjadi beberapa kategori perilaku yaitu:

a) Apatis, adalah orang-orang yang menarik diri dari proses politik dan bersikap masa bodoh;

b) Spectator, adalah berupa orang-orang yang setidaknya pernah ikut didalam pemilu;

Aktivis

(37)

c) Gladiator, adalah orang-orang yang selalu aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat. d) Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk tidak

konvensional atau suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

Sedangakan bentuk partisipasi politik menurut Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.

a) Bentuk konvensional (Partisipasi politik biasa) Bentuk konvensional antara lain: 1) pemberian suara (voting), 2) diskusi kelompok, 3) kegiatan kampanye, 4) membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, 5) komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif, 6) pengajuan petisi

b) Bentuk nonkonvensional (Partisipasi politik yang tidak biasa) Bentuk nonkonvensional antara lain: 1) berdemonstrasi, 2) konfrontasi, 3) dengan pemogokan, 4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran, 5) tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan, 6) dengan perang gerilya/revolusi.

Sementara itu, tingkat partisipasi politik warga Negara oleh Surbakti (2007) membedakannya menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan pasif.

(38)

Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan, mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.

b) Partisipasi pasif

Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah.

2. Konsep Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kegiatan organisasi, baik itu perusahaan, institusi pemerintah, atau jenis organisasi lainnya. Pengambilan keputusan merupakan suatu proses manajemen, yang dimulai dengan perencanaan atau persiapan dan berakhir dengan pengendalian. Untuk mendapatkan hasil yang baik, pengambilan keputusan seharusnya mengikuti suatu tahapan yang sistematis dan terkendali. Keputusan yang baik akan memperlancar organisasi itu dalam mencapai tujuannya, sedangka keputusan yang salah atau tidak baik dapat mempengaruhi kelancaran proses operasi yang dapat mengakibatkan terjadinya pemborosan dan tidak tercapainya sasaran.

(39)

Hasil suatu proses pengambilan keputusan sangat dipengaruhi bagaimana tahapan proses itu dilaksanakan. Adapun tahapan-tahapan dalam proses pengambilan keputusan yang dilansir oleh Herjanto (2009), yaitu:

a) Identifikasi masalah dan faktor-faktor yang berpengaruh b) Tetapkan tujuan dan kriteria keputusan untuk memilih solusi c) Kembangkan model dengan beberapa alternatifnya

d) Analisis model dan bandingkan e) Pilih model terbaik

f) Terapkan model terpilih.

Pengambilan keputusan didefinisikan oleh Terry (dalam Syamsi, 2000) sebagai pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih ( tindakan pimpinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang dimungkinkan). Pendapat Terry mempunyai persamaan maksud dengan Siagian (2003), bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.

Menganalisis pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan itu diambil dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya telebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif yang ada.

(40)

Adapun dasar-dasar pengambilan keputusan menurut Terry (dalam Hasan, 2002:12-13) adalah: Intuisi, Rasional, Fakta, Wewenang dan pengalaman. Kemudian dalam proses pengambilan keputusan, hal tersebut dilakukan karena ada faktor yang mempengaruhi, diantaranya dapat merujuk pendapat Eddy (2009), yaitu:

a) Posisi atau kedudukan seseorang, yang dimaksud yaitu letak posisi dan tingkatan posisi.

b) Masalah, adalah apa yang menjadi penghalan untuk mencapai tujuan, yang merupakan penyimpangan dari apa yang diharapkan, direncanakan, atau dikehendaki dan harus diselesaikan.

c) Situasi, keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan, yang berkaitan satu sama lain, dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap apa yang hendak diperbuat.

d) Kondisi, keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan.

e) Tujuan, tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), tujuan organisasi, maupun tujuan usaha, pada umumnya telah ditentukan. Tujuan yang telah dtentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara atau objective. Dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin atau atasan harus memperhatikan semua aspek yang melatarbelakangi sebuah masalah yang harus segera ditemukan solusinya. Dalam hal ini, kemampuan pemimpin dalam mengatasi masalah harus selalu diasah karena permasalahan yang

(41)

muncul akan semakin kompleks dan semakin membutuhkan pertimbangan yang sangat matang. Sifat kebijaksanaan sangat dibutuhkkan dalam mengambil keputusan-keputusan penting, tetapi tentu saja ada resiko yang terkandung di dalam keputusan tersebut dan itu harus lah diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin memperhatikan secara detail dari semua aspek yang ada, sebisa mungkin sebuah keputusan harus diambil untuk kebaikan dan keadilan serta kepentingan semuanya.

Tetapi, menurut Kuswanti (2011) permasalahan perempuan tidak dapat dipisahkan dari persoalan ideologi, struktur dan kultur. Ketiganya saling terkait mengukuhkan suatu situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan. Ideologi patriarkal bersama ideologi gender telah memasuki struktur dan sistem sosiokultural masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi marginal. Nilai patriarkal yang menguntungkan status dan peran laki-laki mendorong terjadinya subordinasi peran dan status kaum perempuan. Kondisi demikian pada dasarnya merupakan manifestasi dari diskriminasi sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum dan juga agama yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan perempuan.

Persoalan-persoalan di atas telah melemahkan perempuan dalam pengambilan keputusan pada level kebijakan publik. Partisipasi perempuan dominan masih sebatas pengamat atau penikmat kebijakan publik hasil rumusan laki-laki. Padahal ada banyak persoalan perempuan yang semestinya diperjuangkan untuk menjadi sebuah produk kebijkan publik, tetapi tidak tercover. Salah satu penyebab kelemahan ini adalah kedudukan

(42)

perempuan dalam legislatif yang tidak proporsional sesuai kuota yang diharapkan.

3. Konsep Peraturan Daerah Tentang ASI di Kota Makassar

Lahirnya Perda Pemberian ASI Eksklusif yaitu dengan merujuk pada UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, dan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 68 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu Eksklusif. Selain itu, Perda ini dimaksudkan untuk melengkapi dua peraturan wali kota yang menyinggung hal yang sama, yakni Perwali nomor 5 Tahun 2012 tentang Kesehatan Gizi dan Anak serta Perwali nomor 49 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Analisis Rahma (Sumber:makassarterkini.com,2016) selaku ketua pansus bahwa pemberian ASI secara Eksklusif dan dini sekurang-kurannya 4-6 bulan akan membantu mencegah berbagai penyakit termasuk gangguan lambung dan saluran pernafasan. Hal ini karena adanya antibody yang ada pada kolostrum ASI. Olehnya itu, kota Makassar yang memiliki prevalensi anak balita dengan status gizi buruk berdasarkan hasil survei pada tahun 2013 yaitu 2,66% dan capaian ASI Eksklusif 0-6 bulan pada tahun 2013 hanya 67,8%, perlu untuk mengatasi hal tersebut dengan pembuatan perda Pemberian Perda ASI eksklusif.

Selanjutnya, kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar (Naisyah, 2016) memberi pandangan bahwa Perda tentang ASI juga sekaligus untuk

(43)

meminimalkan tradisi `saudara sesusu` di masyarakat. Sebagian masyarakat disebut punya kebiasaan menyusui balita yang bukan anak kandungnya karena suatu alasan. Peraturan itu akan menjadi tambahan amunisi bagi bidan dan kader posyandu untuk lebih memaksimalkan upaya pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Kota Makassar. Peraturan ini mengatur informasi, edukasi dan sosialisasi, tempat kerja dan tempat sarana umum, koordinasi dan kerja sama serta pembinaan dan pengawasan. Aturan juga memuat sanksi bagi pihak yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis sampai pencabutan izin (Sumber: liputanutama.com, 2016). Dalam praturan daerah tersebut, disebutkan bahwa Walikota Makassar sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom.

C. Kerangka Pikir

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah bagaimana partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, sebagai studi kasus yaitu partisipasi politik perempuan (anggota Legislatif) dalam perumusan perda ASI di DPRD Kota Makassar. Untuk menganalisis partisipasi tersebut, maka penelitian ini menggunakan tiga indikator partisipasi politik menurut Roth dan Wilson (dalam Budiardjo, 2003), yaitu partisipasi sebagai aktivis; partisipan dan pengamat. Biasanya peran perempuan dalam pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: Ideologi, Struktur dan Kultur.

(44)

Sebagai hipotesa, tingkat partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan seringkali rendah karena terdapat aktor-aktor yang mempertahankan budaya patriarki. Sehingga, bila hal ini terjadi maka dapat melemahkan tingkat partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan.

Bagan berikut ini, merupakan alur kerangka pikir yang akan mendeskripsikan secara runut maksud dan tujuan penelitian ini dilakukan, berikut :

Bagan 2.1 Kerangka Pikir

Partisipasi Politik Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (Studi Perda ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar)

Peran dan Keterlibatan Anggota DPRD Perempuan dalam Perumusan Perda ASI Ekslufi di

Kota Makassar

Faktor yang mempengaruhi Partisipasi Perempuan:

1. Ideologi 2. Struktur 3. Kultur Bentuk Partisipasi Politik

Perempuan : 1. Aktivis 2. Partisipan 3. Pengamat

(45)

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini berangkat dari latar belakang masalah, kemudian dirumuskan dalam rumusan masalah dan dikaji berdasarkan teori dalam tinjauan pustaka. Adapun fokus penelitian yang berpijak dari rumusan masalah adalah “dinamika partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, studi kasus yaitu partisipasi politik perempuan (anggota Legislatif) dalam perumusan perda ASI di DPRD Kota Makassar”. Fokus penelitian ini terdiri beberapa hal pokok yang perlu diuraikan yaitu:

1. Bentuk partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, studi pada perda pemberian ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar Pemetaan aktor formulasi kebijakan sistem perlindingan anak

2. Faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, studi pada perda pemberian ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar

E. Deskripsi Fokus Penelitian

1. Partisipasi Politik Perempuan merupakan keterlibatan masyarakat khususnya perempuan dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sapai pada penilaian keputusan, juga termasuk peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

2. Pengambilan Keputusan merupakan suatu proses manajemen yang dimulai dengan tahap perencanaan atau persiapan dan berakhir pada tahap pengendalian.

(46)

3. Aktivis, Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti: menjadi pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai/kelompok kepentingan 4. Partisipan, yaitu pada jenjang partisipan ini aktivitas partisipasi politik yang

sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial. 5. Pengamat, dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai intensitas terendah

dalam partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik mengikuti perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan merupakan faktor yang dapat mendukung bahkan melemahkan partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan yang disebabkan oleh ideologi, struktur dan kultur.

7. Ideologi biasa juga dimaknai sebagai ide atau gagasan. Posisi perempuan dalam partisipasi politik dan pengambilan keputusan dalam suatu rapat, sering terhalang oleh ideologi patriarki. Ideologi patriarki yang menganggap bahwa posisi perempuan dalam segala bidang, hanyalah sebatas pelengkap dan pengikut.

8. Struktur, merupakan unsur yang dapat memberi peluang seseorang dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi jabatan struktural seseorang maka semakin besar pula kebijakan yang dapat diputuskan

(47)

9. Kultur merupakan kebiasaan yang telah turun temurun kemudian dimaknai sebagai budaya. Bila suatu tingkah perilaku telah sejak lama diterapkan, maka akan sangat sulit untuk melepas kebiasaan-kebiasaan tersebut, sebagai contoh: jika selama orde baru pengambilan keputusan di DPRD hanya dilakukan oleh Laki-laki, maka partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan akan sangat sulit diterima dikemudian hari.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncakan berlangsung selama 2 (dua) bulan. Penelitian ini dilakukan di DPRD Kota Makassar, karena mengangkat tema partisipasi politik perempuan dalam pengambila keputusan, maka sangat relevan menjadikan anggota DPRD Kota makassar sebagai subyek penelitian.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran mengenai dinamika partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan dengan studi pada perda ASI Eksklusif di Kota makassar yang terjadi secara obyektif, maka jenis penelitian ini adalah studi kasus, yaitu suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok, atau situasi.

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif (menggambarkan) dengan pendekatan kualitatif yakni tipe penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, hal tersebut didasarkan karena penelitian ini menghasilkan data-data berupa kata-kata menurut informan, apa adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudian dianalisis pula dengan kata-kata yang melatarbelakangi responden berperilaku (berpikir, berperasaan, dan bertindak), direduksi, ditriangulasi, di simpulkan (diberi makna oleh peneliti), dan diverifikasi, adapun tujuannya adalah untuk menggambarkan secara tepat

(49)

mengenai suatu keadaan, sifat-sifat individu atau gejala yang terjadi terhadap kelompok tertentu (Sugiyono,2014).

C. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Data primer, yaitu data empiris yang diperoleh dari informan berdasarkan hasil wawancara. Jenis data yang ingin diperoleh adalah seputar partisipasi anggota DPRD perempuan dalam pengambilan keputusan pada perda ASI Ekslusif serta data-data lain yang dibutuhkan untuk melengkapi penyusunan skripsi.

2. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan peneliti dari berbagai laporan-laporan atau dokumen-dokumen yang bersifat informasi tertulis yang digunakan dalam penelitian.

D. Informan Penelitian

Adapun informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:

Tabel 3.1

Informan Jumlah

Panitia Khusus Perda ASI Eksklusif DPRD Kota Makassar

9

Dinas Kesehatan Kota Makassar 1

NGO/LSM 1

(50)

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang relevan dengan tujuan penelitian,baik data sekunder dan data primer, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Pustaka (Library Research)

Dalam Studi pustaka ini penulis menelaah berbagai bahan bacaan/pustaka berupa buku-buku, media online, surat kabar, undang-undang, peraturan pemerintah serta dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan masalah yg akan diteliti.

2. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan ini dimaksudkan yaitu penulis langsung melakukan penelitian pada lokasi atau obyek yang telas ditentukan. Studi lapangan yang dimaksudkan dalam skripsi ini yaitu penelitian yang dilakukan kepada anggota DPRD baik perempuan maupun laki-laki yang terlibat dalam pengambilan keputusan pada perda pemberian ASI Ekslusif. Studi lapangan ditempuh dengan cara sebagai observasi dan wawancara terhadap para informan. Wawancara dimaksudkan yaitu peneliti melakukan wawancara secara langusng kepada informan yang dianggap memahami dan pelakon yang termakstub dalam tema penelitian ini.

F. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan model interaktif (interactive model), seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2014). Dalam

(51)

model interaktif ini terdapat empat komponen analisis utama yaitu komponen pengumpulan data (data Collection), Reduksi Data (Data Reduction), Penyajian Data (Data Display), dan Penarikan Kesimpulan (Conclusion

Drawing and Verification).

G. Keabsahan Data

Salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan melakukan triangulasi. Menurut Sugiyono (2014), teknik pengumpulan data triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Menurut Sugiyono ada tiga macam triangulasi yaitu:

1. Triangulasi sumber

Trianguasi sumber berarti membandingkan dengan cara mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui sumber yang berbeda. Misalnya, membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan antara apa yang dikatakan umum dengan yang dikatakan secara pribadi, membandingkan hasil wawancara dengan doumen yang ada.

2. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan obsevasi, dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan teknik pengujian

(52)

kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya benar karena sudut pandangnya berbeda-beda.

3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpul dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid sehingga kredibel. Untuk itu, dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melalakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga ditemukan kepastian datanya. Triangulasi dapat juga dilakukan dengan cara mengecek hasil peneitian, dari tim peneliti lain yang diberi tugas melakukan pengumpulan data.

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini akan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di DPRD Kota Makassar terkait partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, dengan studi kasus pada perumusan Perda ASI Eksklusif Kota Makassar Tahun 2016. Hasil penelitian menggambarkan mulai dari deskripsi lokasi penelitian tentang profil kota Makassar, profil Perda ASI Eksklusif Kota Makassar tahun 2016, dan profil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar periode 2014-2019.

Bab IV hasil dan pembahasan ini juga menyajikan bahasan tentang bentuk partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan (studi pada perumusan Perda ASI Eksklusif di DPRD Kota Makassar tahun 2016) dan faktor yang mempengaruhinya.

E. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Profil Kota Makassar

Kota Makassar merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, pada tahun 1971-1999 dikenal dengan sebutan Ujung Pandang. Kota yang terletak antara 119º24’17’38” Bujur Timur dan 5º8’6’19” Lintang Selatan ini memiliki luas wilayah yaitu 175,77 km2, dengan kondisi iklim yang sedang hingga tropis yang berada pada suhu udara rata-rata berkisar antara 26,°C sampai dengan 29°C. Kota Makassar juga memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15° (bergelombang). Hamparan daratan rendah yang berada pada ketinggian antara 0-25 meter dari permukaan laut.

(54)

Dari kondisi ini menyebabkan Kota Makassar sering mengalami genangan air pada musim hujan, terutama pada saat turun hujan bersamaan dengan naiknya air pasang.

Makassar adalah sebuah kota yang letaknya dekat dengan daerah pantai dengan bentangan sepanjang koridor barat dan utara, juga dialiri dengan beberapa sungai yang bermuara ke dalam Kota Makassar seperti Sungai Tallo, Sungai Je’neberang dan Sungai Pampang, inilah sehingga Makassar dikenal sebagai Waterfront City. Kota Makassar dikategorikan sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia juga menjadi pusat perkotaan terbesar di wilayah timur Indonesia, sekaligus merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Posisi Kota Makassar yang menjadi pusat KTI memiliki peran sebagai pusat perdasangan dan jasa, pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Secara administrasi Kota Makassar dibagi menjadi 15 kecamatan dengan 153 kelurahan. Di antara 15 kecamatan tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu Kecamatan Tamalate, Kecamatan Mariso, Kecamatan Wajo, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya. Batas-batas administrasi Kota Makassar yaitu Batas Utara: Kabupaten Maros; Batas Timur: Kabupaten Maros; Batas Selatan: Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar; dan Batas Barat: Selat Makassar. Berikut Peta Wilayah Kota Makassar:

(55)

Gambar 4.1

Peta Wilayah Kota Makassar

Berdasarkan data Bappenas, Makassar adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama di Indonesia, bersama dengan Medan, Jakarta, dan Surabaya. Dengan memiliki wilayah seluas 175,77 km² dan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa, kota ini berada di urutan kelima kota terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Secara demografis, kota ini tergolong tipe multi etnik atau multi kultur dengan beragam suku bangsa yang menetap di dalamnya, di antaranya yang signifikan jumlahnya adalah Bugis, Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa.

Bentuk perwujudan keseriusan pemerintah Makassar dalam menata perkembangan kota dan pemerintahan, dituangkan dalam visi. Visi tersebut memuat gambaran tentang kondisi Kota Makassar yang akan diwujudkan pada akhir periode 2014-2019. Substansi utama dari visi ini adalah rumusan visi Kapala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penjelasan visinya dijabarkan

(56)

secara teknokratis sesuai sistem perencanaan pembangunan daerah. Selain itu, rumusan visi ini juga memperhatikan visi Kota Makassar dalam RPJPD 2005-2025 dan visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2013-2018.

Berdasarkan analisis terhadap permasalahan pembangunan dan isu strategis daerah Kota Makassar dengan memperhatikan sepenuhnya visi kepala daerah terpilih, maka Visi Pemerintah Kota Makassar 2014-2019 adalah: “Makassar Kota Dunia yang Nyaman Untuk Semua”. Visi Pemerintah Kota Makassar 2014- 2019 memiliki konsistensi dengan visi Kota Makassar 2005-2025, khususnya pada penekanan orientasi global, dalam RPJMD dirumuskan sebagai kota dunia.

Penekanan berwawasan lingkungan dan paling bersahabat pada visi dalam RPJPD dirumuskan sebagai yang nyaman untuk semua pada visi dalam RPJMD 2014-2019. Pokok visi kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa pada visi dalam RPJPD, pada visi dalam RPJMD 2014-2019 ditempatkan sebagai bagian dari substansi kota dunia.

Dihubungkan dengan visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2018, relevansi visi Pemerintah Kota Makassar 2014-2019 terletak pada posisi “Makassar kota dunia yang nyaman untuk semua” yang merupakan bagian penting dari terwujudnya “Sulawesi Selatan sebagai Pilar Utama Pembangunan Nasional dan Simpul Jejaring Akselerasi Kesejahteraan pada Tahun 2018”. Pernyataan visi Pemerintah Kota Makassar 2019 memiliki tiga pokok visi yang merupakan gambaran kondisi yang ingin dicapai Kota Makassar pada akhir periode 2014-2019.

(57)

2. Profil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar Periode 2014-2019

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar adalah lembaga legislatif unikameral yang berkedudukan di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan mitra Pemerintah Kota Makassar. Pada periode 2014-2019 DPRD Kota Makassar memiliki 50 anggota yang terbagi dalam 9 fraksi, berasal dari 5 daerah pemilihan dan 11 partai politik yang berbeda.

Dari 50 jumlah anggota DPRD Kota Makassar, sebanyak 33 orang merupakan pendatang baru terpilih, dan 17 orang lainnya adalah petahana yang kembali terpilih. Representasi perempuan dalam DPRD Kota Makassar hanya sebesar 14 persen, masih sangat jauh dari kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Adapun alat kelengkapan DPRD Kota Makassar sebagai berikut: Pimpinan DPRD Kota Makassar adalah alat kelengkapan DPRD dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Pimpinan DPRD Kota Makassar terdiri atas 1 (satu) orang Ketua dan 3 (tiga) orang Wakil Ketua.

Pimpinan DPRD Kota Makassar berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Pimpinan DPRD Sulawesi berjumlah 4 orang, 1 (satu) orang Ketua dan 3 (tiga) wakil ketua. Mereka adalah Farouk M. Betta, MM (Ketua), Adi Rasyid Ali, SE (Wakil Ketua), Erick Horas, SE (Wakil Ketua), dan Indira Mulyasari Paramastuti (Wakil Ketua). Tugas Pimpinan DPRD Kota Makassar antara lain;

(58)

a. Memimpin sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk mengambil keputusan

b. Menyusun rencana kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua

c. Melakukan koordinasi dalam upaya mensinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan

d. Menjadi juru bicara DPRD

e. Mewakili DPRD dalam berhubungan dengan lembaga/ instansi vertikal lainnya

f. Mengadakan konsultasi dengan wali kota dan pimpinan lembaga/ instansi vertikal lainnya sesuai dengan keputusan DPRD

g. Mewakili DPRD ke Pengadilan

h. Melaksanakan Keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan

i. Menyusun rencana anggaran DPRD bersama sekretariat DPRD yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna, dan

j. Menyampaikan laporan kinerja pimpinan DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang khusus diadakan untuk itu.

Gambar

Tabel 2.1 Data Penelitian Terdahulu  ..................................................................13
Gambar Peta Wilayah Kota Makassar ............................................................
Gambar  2.1:  Piramida  Partisipasi  Politik  menurut  Roth  dan Wilson  (dalam  Budiardjo, 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan informasi mengenasi posisi keuangan, realisasi anggaran, saldo anggaran lebih, arus kas, hasil operasi, dan perubahan

Dari hasil telaah jurnal dan teori yang ada dapat dilihat bahwa ada keterkaitan diantaranya, didapatkan pula bahwa stunting memiliki korelasi terhadap prestasi

Gambar 3.1 Diagram Fungsional Cara Kerja Konveyor Dari diagram fungsional dapat dilihat bahwa pada alat ini menggunakan tiga sensor inframerah yang disusun secara

Pu)i syukur kehadirat A..A, '8-* karena atas perkenanNya lah laporan ker)a praktek den#an )udul 9an%an# !an#un 8esite ;orum Komunikasi Perantau Pesisir

Pada kali ini saya akan mencoba menulis cara menbagi bandwidth dengan mikrotik dengan melimit atau membatasi bandwidth pada tiap-tiap client dan ini juga yang saya terapkan

Unsur unsur yang terletak dalam satu golongan adalah unsur unsur yang memiliki elektron valensi yang sama.. P

Pada bab ini, penulis akan membahas metode dan teknik penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu mencakup pembahasan mengenai definisi operasional,

Pada tahap ini akah dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan Penerapan metode eksperimen. Dari