• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Mobilitas Sosial

2.1.1 Pengertian Mobilitas Sosial

Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan dalam segi status sosial dan peran termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang. Proses perpindahan posisi atau status sosial yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial (social mobility).

` Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (Bagong Suyatno, 2004:202) mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya baik itu berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Pernyataan Horton dan Hunt di dukung oleh Huky bahwa istilah mobilitas diartikan sebagai suatu gerak orang perorangan atau grup dari suatu kelompok ke kelompok lainnya dalam masyarakat.

Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack ( dalam Narwoko, 2010:208), mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang

(2)

bersistem sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya, pada sistem sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

Dalam dunia modern, banyak orang berupaya untuk melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa melakukan mobilitas sosial akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda, mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi danm apabila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkurung dalam status nenek moyang mereka, maka mereka hidup dalam kelas sosial yang tertutup. Contohnya, transformasi pekerjaan petani ke pengrajin industri kecil yang terjadi di sentra industri kecil di Surakarta, juga telah mengakibatkan terjadinya proses mobilitas sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses petani menjadi buruh, pengrajin atau pengrajin pengusaha. Karena terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, buruh tani pindah atau bekerja sambilan sebagai buruh di industri kecil. Mereka yang sebagai buruh purna waktu umumnya tidak memiliki lahan sawah atau tegalan, atau karena terbatasnya jumlah upah sebagai buruh tani mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin.

Dengan demikian pekerjaan buruh industri kecil bagi mereka adalah sebagai "pekerjaan utama". Adapun bagi buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan, dan fungsi pekerjaannya hanyalah penambah pendapatan. Istilah yang sering diungkapkan oleh mereka yaitu “nasinya dari sawah dan lauknya dari pekerjaan industri.” Dalam kasus ini sebenarnya merupakan proses mobilitas sosial yang vertikal "ke bawah," karena kemudian menjadi pekerja dari orang lain. Namun jika bekerja

(3)

sambilan ini dilihat sebagai "proses belajar" untuk dapat menjadi pengrajin, maka disebut mobilitas vertikal. Bagi pengrajin (sering disebut “juragan kecil”), umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sambil bertani. Kalaulah juragan kecil tidak bertani, tanah-tanah mereka disewakan kepada petani lain. Mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada industri kecil, dan karenanya tanah-tanah pertaniannya dijadikan penyangga atau alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industrinya. Hal ini contoh lain dari proses mobilitas sosial horizontal (si.uns.ac.id/profil/.../Jurnal/195707071981031006ravik_6 .pdf).

`2.1.2 Bentuk-bentuk mobilitas sosial

Mobilitas sosial mempunyai beberapa bentuk (dalam Narwoko, 2010: 208-209) yaitu :

1. Mobilitas sosial horizontal

Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya dalam mobilitas sosial yang horizontal. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa karena ancaman kekeringan. Contohnya seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan. Hal ini bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial horizontal terpaksa yang artinya, petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sektor pertanian dikarenakan ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela yaitu, seorang pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya kemudian berpindah karier menjadi pengusaha atau pekerjaan lainnya.

(4)

2. Mobilitas sosial vertikal

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, karena itu dikenal dua jenis mobilitas vertikal yaitu yang pertama, gerakan sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial yang rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Contohnya, seorang staf yang dipromosikan naik pangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan swasta. Dan yang kedua, gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain yang lebih rendah posisinya. Contohnya, seorang petani cengkeh yang jatuh miskin karena komoditas yang ditanamnya tidak laku-laku dijual di pasar. Menurut Soedjatmoko (dalam Narwoko, 2010: 209) mudah tidaknya seseorang melakukan mobilitas vertikal salah satunya ditentukan oleh kekakuan dan keluwesan struktur sosial di mana orang itu hidup.

3. Mobilitas antargenerasi

Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Suatu studi yang sering menjadi acuan dalam bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan ( dalam Sunarto, 2004: 214) terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat. Kedua ilmuwan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relatif terbuka karena di dalamnya telah terjadi mobilitas sosial antargenerasi dan didalam mobilitas intragenerasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebih

(5)

besar daripada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, dalam tiap-tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak melebihi status orang tuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal kariernya sendiri. Dalam hal ini pengrajin sepatu Bunut termasuk dalam mobilitas antargenerasi karena dulunya pengrajin tersebut merupakan pekerja di sebuah perusahaan karet pembuat sepatu. Namun, setelah pabrik tutup pekerja mulai membuka usaha dengan cara mengembangkan keterampilannya yang didapat ketika menjadi buruh dengan cara menjadi pengrajin sepatu Bunut dan keterampilan membuat sepatu tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anaknya.

4. Mobilitas intragenerasi

Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi yang sama. Mobilitas intragenerasi dapat mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi.

2.2 Keberdayaan

Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan

(6)

mencapai kemajuan (www.ginandjar.com). Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Slamet (dalam dalam Suharto, 2009: 67) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Dengan kata lain, keberdayaan adalah kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan harkat dan martabat dalam lapisan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Tabel 1. Indikator Keberdayaan (Schuler, Hashemi dan Riley dalam Suharto, 2009)

Jenis Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi Kemampuan Mengakses Manfaat Kesejahteraan Kemampuan

Kultural dan Politis

Kekuasaan di dalam: Meningkatkan kesadaran dan keinginan untuk berubah 1. Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya. 2. Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara. 3. Keinginan memiliki kesamaan hak

terhadap sumber yang ada pada rumah

1. Kepercayaan diri dan kebahagiaan. 2. Keinginan memiliki kesejahteraan yang setara. 3. Keinginan membuat keputusan mengenai diri dan orang lain. 1. Assertiveness dan otonomi. 2. Keinginan untuk menghadapi subordinasi gender termasuk tradisi budaya, diskriminasi hukum dan pengucilan politik.

(7)

tangga dan masyarakat. 4. Keinginan untuk mengontrol jumlah anak. dalam proses-proses budaya, hukum dan politik. Kekuasaan untuk: Meningkatkan kemampuan individu untuk berubah, Meningkatkan kesempatan untuk memperoleh akses. 1. Akses terhadap pelayanan keuangan mikro. 2. Akses terhadap pendapatan. 3. Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumah tangga. 4. akses terhadap pasar 5. Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak. 1. Keterampilan, termasuk kemelekan huruf. 2. Status kesehatan dan gizi 3. Kesadaran mengenai dan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi 4. Kesediaan

pelayanan

kesejahteraan publik

1. Mobilitas dan akses terhadap dunia di luar rumah

2. Pengetahuan mengenai proses hukum, politik dan kebudayaan 3. Kemampuan menghilangkan

hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik, dan kebudayaan. Kekuasaan atas: -Perubahan pada hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan 1. Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya.

1. Kontrol atas ukuran konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya dari pembuatan

1. Aksi individu dalam menghadapi dan mengubah persepsi budaya kapasitas dan hak

(8)

pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro; Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatan- hambatan tersebut. 2. Kontrol atas pendapatan aktivitas produktif keluarga yang lainnya. 3. Kontrol atas aset produktif dan

kepemilikan keluarga. 4. Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. 5. Tindakan individu menghadapi

diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar. keputusan keluarga termasuk keputusan keluarga berencana. 2. Aksi individu untuk mempertahankan diri dari kekerasan keluarga dan masyarakat.

wanita pada tingkat keluarga dan masyarakat. 2. Keterlibatan individu dan pengambilan peran dalam proses budaya, hukum dan politik.

Kekuasaan dengan:

Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk

menghadapi

hambatan-hambatan sumber

1. Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern. 2. Mampu memberi gaji terhadap orang lain.

3. Tindakan bersama menghadapi

1. Penghargaan tinggi terhadap dan peningkatan pengeluaran untuk anggota keluarga. 2. Tindakan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan publik. 1. Peningkatan jaringan untuk memperoleh

dukungan pada saat krisis.

2. Tindakan bersama untuk membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan

(9)

dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga masyarakat dan makro diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah), pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro. masyarakat. 3. Partisipasi dalam gerakan-gerakan menghadapi subordinasi gender yang bersifat kultural, politis, hukum pada tingkat masyarakat dan makro.

2.3 Keberdayaan Ekonomi

Kekuatan swadaya bangsa akan terbentuk apabila semua elemen bangsa mau dan mampu menumbuhkan dan memotivasi diri untuk bergerak ke arah peningkatan kapasitas sehingga tercipta keberdayaan di semua aspek (ekonomi, sosial, dan politik) dan terlibat aktif dalam kegiatan pembangunan bagi tercapainya masa depan Indonesia yang lebih baik. Partisipasi aktif dari semua elemen bangsa sangat diperlukan dalam pembangunan. Namun demikian sebagaimana diketahui kebijakan masa lalu tidak memberikan mereka peluang gerak yang luas untuk mengakses ruang pendidikan, ekonomi, dan politik sehingga pada saat ini sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi yang serba terbatas atau tidak berdaya atau tidak memiliki kapasitas yang memadai.

Hanya terdapat segelintir orang atau sekelompok orang yang hidupnya lebih baik dan berdaya. Karena keterbatasan kapasitas tersebut maka mereka belum mampu berperan serta secara aktif dan menyeluruh dalam pembangunan, kalaupun terlibat peran mereka hanyalah bersifat parsial sehingga mengakibatkan banyaknya pengangguran. Namun, apabila

(10)

masyarakat tersebut memiliki keberdayaan untuk berusaha maka masyarakat tersebut dapat lepas dari kondisi keterpurukan (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/3(6).pdf). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pengangguran adalah memanfaatkan keahlian dan pengetahuan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri atau bahkan membuka lapangan kerja untuk orang lain.

Kewirausahaan merupakan modal yang ada pada diri manusia untuk melakukan proses produksi, kewirausahaan merupakan konsep, maka untuk menerapkan dalam kegiatan usaha harus diwujudkan dalam tindakan, bisa saja seseorang memiliki potensi kewirausahaan yang bagus tetapi tidak diwujudkan dalam perilaku, maka potensi itu tidak mempunyai nilai tambah dalam dunia kewirausahaan.

Pengetahuan kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Para wirausaha ini biasanya memulai usahanya secara mandiri dengan modal sendiri atau modal bersama. Kemandirian ini merupakan modal awal terciptanya ekonomi usaha yang sehat. Kemandirian pribadi direfleksikan dalam bentuk kemampuan mengerjakan suatu pekerjaan yang baik dan benar sesuai dengan kapasitas yang ada dalam dirinya serta kemampuan dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya serta upaya untuk menciptakan lapangan kerja baru tanpa harus bergantung kepada orang lain, mulai dari menciptakan ide, menetapkan tujuan, sampai pada pencapaian kepuasan. Keberdayaan berusaha yang dimaksudkan adalah perolehan kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfkleksikan dengan adanya nilai tambah dari keadaan sebelumnya. Faktor pengalaman dalam pekerjaan juga sangat berperan dalam melaksanakan suatu pekerjaan, sebab pengalaman itu sendiri berfungsi sebagai seni, dalam menangani berbagai masalah yang timbul dalam rangka menjalankan suatu usaha.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberdayaan tersebut bersumber dari pengetahuan kewirausahaan, keinginan untuk maju atau motivasi berprestasi dan juga kemandirian pribadi dalam berpikir sehingga setiap pengusaha mampu secara maksimal memanfaatkan keterampilan usaha pada dirinya. Kemampuan memahami lingkungan bisnis, menurut Cunningham merupakan faktor yang menyebabkan 28,1% keberhasilan usaha skala kecil. Faktor ini terkait dengan sifat-sifat kepribadian dan kemauan untuk belajar dan menerima perubahan. Kepekaan ini menuntut pribadi-pribadi dengan inisiatif, kreativitas dan

(11)

motivasi yang tinggi. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku kewirausahaan yang mereka miliki. Dengan demikian masing-masing pelaku usaha akan terdorong dalam meningkatkan kreativitas berpikir, menentukan keputusan yang lebih baik dan mandiri dalam pencapaian sukses usaha. Keberdayaan untuk mengembangkan usaha bergantung kepada upaya para pengrajin itu sendiri memanfaatkan keterampilan usahanya untuk memuaskan pembeli. Penelitian Cunningham terhadap 178 wirausaha dan manajer profesional di Singapura, menunjukkan bahwa keberhasilan berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian (49%), seperti keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, keinginan untuk berhasil, motivasi diri, percaya diri dan berfikir positif, komitmen dan sabar. Penelitian Mc. Ber & CO menemukan bahwa wirausaha yang berhasil memiliki sifat yang proaktif, berorientasi prestasi dan komitmen dengan pihak lain. (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789 /25436).

Pada dasarnya, keberdayaan ekonomi adalah kemampuan dan kemandirian seseorang maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara membuka usaha ataupun bekerja sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh orang tersebut. Kemandirian yang dimiliki oleh pengrajin sepatu Bunut adalah kemampuan atau keahlian yang mereka dapat ketika menjadi buruh pembuat sepatu di perusahaan karet. Setelah perusahaan karet tersebut di tutup para buruh yang dulunya bekerja di perusahaan tersebut menjadi pengangguran karena susahnya mencari pekerjaan. Namun, dengan berbekalkan kemampuan atau keahlian membuat sepatu yang mereka dapat para buruh tersebut pun mulai bangkit kembali. Dengan menggunakan modal yang didapat dari tabungan sendiri dan pinjaman dari tetangga atau pinjaman dari bank buruh tersebut membuka usaha sepatu kecil-kecilan pengrajin tersebut pun menunjukkan keahliannya dalam membuat sepatu, dari hasil pembuatan dan penjualan sepatu itulah pengrajin tersebut memenuhi kebutuhan hidupnya.

(12)

2.4 Etos Kerja

Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’tempat hidup’. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti ’teori kehidupan’, yang kemudian menjadi ’etika’. Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1979:3) adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai.

Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber (Soetrisno, 1995: 177). Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Berbicara etos kerja sama halnya berbicara tentang kebudayaan masyarakat. Contohnya, budaya Konfusianisme yang merupakan budaya bangsa Cina, Korea, dan Jepang menjadi bukti akan pentingnya etos kerja sebagai suatu penjelasan sosiologis mengapa ketiga bangsa itu dapat muncul sebagai negara-negara industrial. Konfusianisme mengajarkan pemeluknya untuk hidup sederhana dan bekerja keras, dua sifat yang mendorong terjadinya pemupukan modal yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan perekonomian.

Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja (asketik), serta

(13)

menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Budiman Arief, 2000:20), berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas.

Menurut Direktorat Jendral Industri Kecil, Departemen Keuangan dan Departemen Tenaga Kerja (dalam Ahimsa, 2003: 68) menyebutkan ada dua hal yang menjadi penghambat pengembangan industri kecil. Pertama, adalah mental maupun skill. Mental yang dimaksud adalah “kultur” ataupun etos kerja pengusaha yang cepat puas, sedangkan skill menyangkut profesionalisme usaha, seperti desain dan kualitas produk, pemasaran serta pengorganisasian. Kedua,hambatan yang berkaitan dengan modal dan pemasaran hasil industri. Penelitian Prasasti (dalam Ahimsa,: 2003:69) menemukan dua faktor yang dapat mendukung perkembangan usaha kecil. Pertama, faktor dari dalam (internal) yang berupa kemampuan pada diri seorang pengusaha untuk mengembangkan suatu usaha seperti etos kerja yang tinggi, kemampuan manajemen yang baik, serta keberanian untuk berinovasi. Kedua, faktor dari luar (eksternal) berupa bantuan modal dari pemerintah atau lembaga non-pemerintah, luasnya permintaan barang, kemudahan dalam mendapatkan bahan baku dan sebagainya.

Huda dalam tesisnya mengenai industri kecil antara etos kerja pengusaha dengan kebijakan pembinaan yang dijalankan pemerintah (dalam Ahimsa, 2003:69) menyimpulkan bahwa etos kerja yang meliputi sikap disiplin, kerja keras, memiliki pandangan kedepan, kreatif, bertanggung jawab serta memiliki sikap hidup hemat, bertanggung jawab akan dapat menghasilkan sebuah industri kecil yang memiliki produktivitas tinggi, baik kualitas maupun kuantitas, yang dikemudian hari akan turut menentukan luasnya pemasaran bila didukung

(14)

oleh kebijakan pembinaan dari pemerintah berupa bimbingan dan penyuluhan, pemberian bantuan dalam hal promosi, serta koperasi. Dalam mengembangkan industri sepatu ini diperlukan peningkatan etos kerja dalam mendesain atau mengembangkan model sepatu dengan pelatihan, seperti pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dengan mengirimkan beberapa pengrajin sepatu Bunut ke Sidoarjo, Jawa Timur.

2.5 Motivasi Berprestasi atau n-Ach

Perkembangan ekonomi selalu dilakukan dan merupakan hasil dari penyebaran inovasi untuk berprestasi (kebutuhan untuk berprestasi). Motivasi tersebut menemukan jalan keluarnya yang terbaik dalam aktivitas kewirausahaan. Masyarakat dengan motivasi untuk berprestasi tinggi akan menghasilkan usahawan yang lebih giat dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang lebih cepat ( McClelland dalam Sztompka Piotr 2010:282).

Motivasi Berprestasi adalah suatu pembentukan perilaku yang ditandai oleh bentuk-bentuk aktivitas atau kegiatan melalui proses psikologis, baik yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik, yang dapat mengarahkannya dalam mencapai apa yang diinginkannya.

McClelland (dalam Budiman Arief, 2000:23) mengatakan bahwa kalau dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan untuk membuat sebuah pekerjaan berhasil, yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut. Dari hasil penelitian antarnegara yang dilakukan oleh McClelland menemukan bahwa Negara yang memiliki derajat yang tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula pembangunan ekonominya. Orang dengan n-Ach yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Akan tetapi, ada kepuasan batin tersendiri kalau ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya

(15)

dengan sempurna. Menurut McClelland (dalam Suwarsono, 2006:27) ada 4 ciri-ciri berprestasi yaitu:

a. Mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi yang gemilang b. Penampilan kerja yang baik

c. Selalu berpikir untuk maju

d. Berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya.

Menurut McClelland ada beberapa klasifikasi dalam menilai tingkat motivasi berprestasi seseorang, yaitu: amat rendah, sangat rendah, dan amat kuat. Individu yang mempunyai motivasi berprestasi cenderung mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi, mempunyai tanggung jawab dalam usaha, aktif dalam kehidupan sosial serta tahan terhadap tekanan-tekanan dalam masyarakat sehingga tidak suka mengerjakan tugas yang terlalu mudah karena hal tersebut tidak banyak memberikan tantangan dan selalu memperhitungkan resiko. Beberapa cara dalam menilai tingkat motivasi berprestasi seseorang adalah dengan menerapkan berbagai metode dalam menilai tingkat motivasi berprestasi, baik itu orang perorang maupun tingkat berprestasi di sebuah Negara sekalipun, salah satunya dengan menggunakan metode proyeksi untuk menilai tingkat berprestasi seseorang dan kemudian meminta pendapat mengenai gambar yang ditampilkan, selanjutnya membandingkan dengan pendapat dari orang lain dengan gambar yang sama. Motivasi berprestasi yang terdapat pada pengrajin adalah usaha yang dimiliki oleh buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengembangkan keterampilan ataupun kreatifitas yang dimiliki dalam membuat sepatu dan kemampuan pengrajin dalam mengatasi berbagai masalah baik dari permodalan, persaingan produk ataupun perluasan pemasaran.

(16)

2.6 Definisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep merupakan definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006: 667). Di samping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya di gunakan peneliti untuk menindak lanjut sebuah kasus yang di teliti dan menghindari dari terjatuhnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalan sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:

a. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas sosial terbagi menjadi empat yaitu pertama mobilitas vertikal adalah adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat, kedua mobilitas horizontal adalah peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat, ketiga mobilitas antar generasi adalah pergerakan atau pergeseran yang terjadi pada dua generasi atau lebih dan yang keempat mobilitas intragenerasi adalah mobilitas yang dialami seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi yang sama. Mobilitas yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut adalah mobilitas antargenerasi yang terjadi pada pengrajin sepatu Bunut yaitu perpindahan posisi dari buruh pabrik pembuat sepatu menjadi pengrajin sepatu dan keterampilan tersebut di wariskan kepada anaknya secara turun temurun.

(17)

b. Pengrajin adalah orang yang pekerjaannya membuat barang-barang kerajinan atau orang yang mempunyai keterampilan berkaitan dengan kerajinan tertentu, seperti kelompok pembuat sepatu dapat disebut pengrajin sepatu.

c. Kondisi sosial ekonomi adalah dimana kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi ini terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tenpat tinggal, dan pendapatan terpenuhi, serta manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

d. Keberdayaan ekonomi adalah tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki.

e. Industri kecil adalah usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan.

f. Kualitas sepatu adalah keseluruhan karakteristik produk sepatu, di mana produk tersebut akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.

g. Etos kerja adalah bentuk semangat kerja yang menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok dalam memandang, mempersepsikan dan menghayati, dan menghargai sebuah nilai kerja.

(18)

h. Motivasi berprestasi adalah suatu pembentukan perilaku yang ditandai oleh bentuk-bentuk aktivitas atau kegiatan melalui proses psikologis, baik yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik, yang dapat mengarahkannya dalam mencapai apa yang diinginkannya.

i. Sepatu Bunut adalah alas kaki yang penjualan dan tempat pembuatannya terdapat di daerah Bunut Kec. Kisaran Barat Kab. Asahan

Gambar

Tabel 1. Indikator Keberdayaan (Schuler, Hashemi dan Riley dalam Suharto, 2009)  Jenis Hubungan  Kekuasaan  Kemampuan Ekonomi  Kemampuan Mengakses  Manfaat  Kesejahteraan  Kemampuan

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga surya pada dasarnya adalah sinar matahari yang merupakan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang yang tampak dan yang tidak tampak, yakni mencakup spektrum

'HQJDQPHPSHODMDULTDOTDODKNLWDMDGLPHPDKDPLVHEDJLDQVLIDWKXUXIKLMDL\\DK. Dari keempat pembagian qalqalah yang sudah disampaikan pada materi sebelumnya, kita mengetahui

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan human instrument, yaitu peneliti sendiri menentukan proses pembentukan istilah medis, makna istilah medis, dan prosedur pembentukan

Jangkitan filariasis limfatik pada manusia yang disebabkan oleh nematoda yang menduduki saluran limfatik dan darah manusia boleh menyebabkan pelbagai manifestasi klinikal

Menurut hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka ditarik kesimpulan dalam penelitian ini adalah ditemukan bahwa kepuasan kerja karyawan CV Bukit Sanomas

Hasil PCR 15 sampel DNA jagung yang berasal dari Jagung Lokal Biralle Bakka Didi asal Takalar, Sulawesi Selatan dan Jagung Karotenoid Syn 3 asal CIMMYT dengan

Besi cair di dalam Blast Furnace, kemudian dicerat dan dituang menjadi besi kasar, dalam bentuk balok/balok besi kasar yang digunakan sebagai bahan ancuran untuk pembuatan besi

Dengan penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini, peneliti berupaya menggali informasi tentang bentuk dukungan keluarga yang diberikan pada anggota keluarga