• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyembuhkan suatu penyakit. Banyak sekali tanaman berkhasiat obat yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyembuhkan suatu penyakit. Banyak sekali tanaman berkhasiat obat yang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Tanaman obat tradisonal sering digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Banyak sekali tanaman berkhasiat obat yang terdapat di alam, salah satunya adalah tanaman pisang. Menurut literatur (Dalimarta, 2001) dan pengalaman masyarakat kulit buah pisang digunakan untuk penyembuhan luka bakar. Cara penggunaannya masih sangat sederhana yaitu dengan mengoleskan bagian dalam dari kulit buah pisang pada bagian tubuh yang terkena luka bakar (Dalimatha, 2003). Untuk mempermudah penggunaannya maka diperlukan suatu sediaan yang paling cocok untuk pengobatan luka bakar. Salep merupakan sediaan yang paling cocok untuk pengobatan luka bakar karena salep berfungsi sebagai pembawa substansi obat untuk penggunaan pada kulit, sebagai pelumas dan pelindung kulit sehingga mencegah kontak permukaan kulit yang luka dengan rangsangan luar. Salep merupakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Anief, 1997).

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat, 2003). Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun daerah subkutan tergantung faktor

(2)

penyebab dan lamanya kulit kontak dengan panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi kerusakan sel kulit (Effendi, 1999).

Penderita luka bakar memerlukan perawatan secara khusus karena luka bakar berbeda dengan luka tubuh lain (seperti luka tusuk, tembak, sayatan dan lain-lain). Hal ini disebabkan karena pada luka bakar terdapat keadaan seperti ditempati kuman dengan patogenesis tinggi, terdapat banyak jaringan mati, mengeluarkan banyak air, serum dan darah, luka terbuka untuk waktu yang lama (mudah terinfeksi dan terkena trauma), serta memerlukan jaringan untuk menutup (Effendi, 1999).

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat penyembuhan luka bakar ekstrak etanol kulit buah pisang dalam sediaan salep sehingga dapat mempermudah pemakaiannya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: apakah salep ekstrak etanol kulit buah pisang (Musa paradisiaca L.) mempunyai efek sebagai penyembuh luka bakar pada kulit punggung kelinci jantan New Zealand?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyembuhan luka bakar di kulit punggung kelinci jantan New Zealand oleh salep ekstrak etanol kulit buah pisang (Musa paradisiaca L.)

(3)

D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Pisang

a. Sistematika Tanaman

Kedudukan tanaman pisang dalam taksonomi: Divisio : Spermatophyta Subdevisio : Angiospermae Klassis : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Familia : Musaceae Genus : Musa

Spesies :Musa paradisiaca L.

(Backer dan Van Den Brink, 1968) b. Nama Lain

Nama lain pisang (Musa paradisiaca L.): cau, gedang, pisang, kisang, gedhang, pesang, pisah, galuh, gaol, punti, puntik, puti, pusi, galo, awal pisang, gae, harias peti, pisang, punsi, pute, puti, ,biu putang, kalo, mutu, punsi, kalu, muu, muku, muko, busa, busaa, wusa, huni hundi, uki, temae, seram luka, uru, temae, empulu, fust, fiyat, tela, tele, luke, nando rumaya pipi, mayu (Dalimartha, 2003).

c. Uraian Tanaman

Tanaman pisang tumbuh di daerah tropik karena menyukai iklim panas dan memerlukan matahari penuh. Tamaman ini dapat tumbuh pada daerah yang cukup air, dengan ketinggian sampai 2.000 m dpl. Pisang

(4)

merupakan tanaman yang berbuah hanya sekali, kemudian mati. Tingginya antara 2-9 m, berakar serabut dengan batang bawah tanah (bonggol) yang pendek. Dari mata tunas pada batang inilah bisa tumbuh tanaman baru. Pisang mempunyai batang semu yang sebenarnya tersusun atas tumpukan pelepah daun yang tumbuh dari batang bawah tanah sehingga mencapai ketebalan 20-50 cm. Daun yang paling muda terbentuk di bagian tengah tanaman, keluarnya menggulung dan terus tumbuh memanjang, kemudian secara progresif membuka. Helaian membentuk lanset memanjang, mudah koyak, panjang 1,5-3 m, lebar 30-70 cm, permukaan bawah berlilin, tulang tengah menopang jelas disertai tulang daun yang nyata, tersusun sejajar menyirip berwarna hijau. Pisang mempunyai batang yang majemuk, tiap kuncup bunga dibungkus oleh selubung yang berwarna merah kecoklatan. Selubung akan jatuh ke tanah jika bunga telah membuka. Bunga betina akan membuka secara normal, sedangkan bunga jantan yang berada diujung tidak berkembang dan tetap tertutup oleh seludang dan disebut sebagai jantung pisang. Jantung pisang ini harus dipangkas setelah berbuah. Tiap kelompok bunga disebut sisir yang tersusun dalam tanda. Jumlah sisir betina antara 5-15 buah. Buahnya buah buni, bulat memanjang, membengkok, tersusun seperti sisir dua baris, dengan kulit berwarna hijau, kuning atau coklat. Tiap sisir terdiri dari beberapa buah pisang. Berbiji atau tanpa biji. Berbiji kecil, bulat dan berwarna hitam. Buah dapat panen setelah 80-90 hari sejak keluarnya jantung pisang. Buah pisang bukan buah musiman sehingga selalu ada setiap saat (Dalimartha, 2003)

(5)

d. Sifat dan Khasiat

Buah pisang rasanya manis, sifatnya dingin dan dapat sebagai penyegar. Pelumas (lubrikan) usus, penawar racun, penurun panas (antipiretik), anti radang, peluruh kencing (diuretik) dan laksatif ringan (Dalimartha, 2003).

Buah pisang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit kuning, diare, melancarkan buang air besar, sakit mata, sebagai pelembap dan memperbaiki kulit muka (Thomas , 1992). Akar berkhasiat penawar racun, pereda demam (antipiretik), mendinginkan, anti radang dan peluruh kencing. Hati batang pisang berkhasiat penurun panas dan untuk perawatan rambut (Dalimartha, 2003).

Cairan dari bonggol pisang mengatasi infeksi saluran kencing, menghentikan perdarahan (hemostatik), penurun panas (antipiretik), serta penghitam dan pencegah rambut rontok. Buah muda dan akar berkhasiat astrigen. Buah muda bersifat antidiare dan tukak lambung (Dalimartha, 2003).

Kulit pisang digunakan untuk mengatasi : borok yang menyerupai kanker, kelainan kulit pada herpes, ulkus tungkai pada diabetes militus, kutil, migren, hipertensi sekunder, rambut tipis dan jarang dan luka bakar (tersiram air panas, kemerahan pada kulit (rash) (Dalimartha, 2003). e. Kandungan Kimia

Akar pisang mengandung serotonin, norepinefrin, tanin, hidroksipetamin, dopamin dan vitamin (A, B, C) (Anonim, 1989). Buah

(6)

mengandung flavonoid, glukosa, sukrosa, tepung, protein, lemak, minyak menguap, kaya akan vitamin (A, B, C dan E), mineral (kalium, kalsium, fosfor dan fe), pektin, serotonin, 5-hidroksi triptamin, dopamin dan noradrenalin. Kandungan kalium pada buah pisang cukup tinggi yang kadarnya bervariasi tergantung jenis pisangnya. Buah muda mengandung banyak tanin (Dalimartha,2003).

2. Penyarian

a. Metode Penyarian

Penyarian merupakan pemindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari, sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari (Anonim, 1986). Penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas (Anonim, 1989). Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan zat aktif dalam jumlah yang maksimal dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia hewani, nabati menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus dapat digerus menjadi serbuk (Anonim, 1979).

Metode penyarian yang digunakan tergantung pada wujud dan kandungan zat dari bahan yang akan disari. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi dan soxhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode di

(7)

atas disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari (Harborne, 1987).

Maserasi berasal dari bahasa latin “macerare” yang artinya “merendam”, merupakan proses paling sederhana sehingga obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan melunak susunan selnya sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989).

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Mekanisme maserasi adalah dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Maserasi dilakukan dengan cara: bahan simplisia yang dihasilkan sesuai dengan syarat farmakope disatukan dengan bahan pengekstrak, kemudian rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah terjadinya reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang. Waktu lamanya maserasi berbeda-beda. Masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari. Menurut pengalaman 5 hari telah memadai untuk memungkinkan berlangsungnya proses yang

(8)

menjadi dasar dari cara ini. Setelah maserasi, rendaman diperas dengan kain pemeras (Voigt, 1994).

b. Simplisia

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, simplisia nabati yaitu yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman (isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman dengan cara tertentu yang masih belum berupa zat kimia murni). Kedua, simplisia hewani yaitu berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan atau belum berupa zat-zat kimia murni. Ketiga, simplisia pelikan, yaitu simplisia yang berasal dari bumi, baik sudah atau belum diolah, tidak berupa zat kimia murni (Anonim, 1979).

c. Larutan Penyari

Pemilihan larutan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Larutan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif yakni hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan oleh peraturan. Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air, dan eter (Anonim, 1986).

(9)

Air memiki daya ekstraksi yang menonjol untuk banyak bahan kandungan simplisia yang aktif secara terapeutik, tetapi bahan pengotornya juga ikut terambil. Keburukannya dapat menyebabkan reaksi pemutusan secara hidrolitik dan fermentatif dapat mengakibatkan cepatnya perubahan bahan aktif. Larutan dalam air juga mudah mengalami kontaminasi mikrobia. Kadang-kadang juga menyebabkan pembengkakan yang sangat kuat sehingga bahan aktif tetap terikat kuat dengan material simplisia (Voight, 1984). Bila menggunakan air maka dapat ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya kapang (Anonim, 1986).

Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel, memperbaiki stabilitas bahan obat. Keuntungan lainnya adalah sifatnya untuk mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Pada umumnya yang berlaku sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran dari bahan pelarut yang berlainan (Ansel, 1989). Campuran etanol-air, dengan etanol (70% volume) sangat sering dapat dihasilkan suatu hasil bahan yang optimal, dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil larut dalam cairan pengekstraksi (Voigt, 1984).

3. Salep dan Absorbsi Obat Melalui Kulit a. Salep dan Dasar Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar (Anief, 1997). Salep adalah bentuk sediaan lunak tidak bergerak dan masuk sediaan semi padat biasanya mengandung bahan obat untuk pemakaian pada kulit atau pada membran mukosa (Anief, 1997).

(10)

Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi tergantung beberapa faktor antara lain laju pelepasan obat yang diinginkan, peningkatan absorbsi perkutan dari obat oleh salep, kelayakan melindungi kelembaban kulit, jangka panjang pendeknya stabilitas obat dalam dasar salep, pengaruh obat bila ada terhadap dasar salep. Faktor-faktor ini dan lainnya harus dipertimbangkan satu dengan lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik (Ansel, 1989).

Salep harus memiliki kualitas dasar, yaitu stabil, lunak, mudah digunakan, dasar salep yang cocok, dan terdistribusi merata. Stabil artinya salep harus stabil selama masih digunakan untuk mengobati. Oleh karena itu bebas inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar. Harus dalam keadaan lunak dan homogen karena salep banyak digunakan untuk kulit teriritasi, inflamasi. Dasar salep harus cocok artinya salep harus dapat campur secara fisika dan fisika kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obatnya dan dipilih sedemikian rupa untuk mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati. Terdistribusi merata artinya pengobatan dengan salep yang padat atau cair harus memberikan distribusi yang merata melalui dasar salep (Anief, 1997).

Berdasarkan kemampuan penetrasi salep digolongkan : 1. Salep epidermik

Salep epidermik adalah salep yang kekuatan penetrasi dalam kulit sangat kecil.

(11)

Salep endodermik adalah salep yang kekuatan penetrasinya lebih besar.

3. Salep diadermik

Salep diadermik adalah salep yang menembus kulit dan memberi kesempatan untuk obatnya diabsorbsi (Anief, 1997).

Dasar salep dibagi dalam empat kelompok yaitu dasar salep hidrokarbon, dasar salep adsorbsi, dasar salep tercuci dengan air dan dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 1989). Dasar salep hidrokarbon disebut juga dasar salep berlemak merupakan dasar salep yang bebas air. Contohnya adalah vaselin, parafin, plastibase (jelene) (Anief, 1997). Dasar salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit, biasanya mempunyai efek emolien (Anonim, 1995). Dasar salep absorbsi dibedakan menjadi dua tipe, pertama dasar salep anhidrous, yang dapat menyerap air dan membentuk emulsi A/M seperti adeps lanae dan hidrofilik petrolatum. Kedua, dasar salep hidrous dan merupakan emulsi A/M tapi masih mampu menyerap air yang ditambahkan, misalnya cold cream dan lanoline (Anief, 1997). Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak menyediakan derajat penutupan seperti dasar salep berminyak (Anonim, 1995). Dasar salep tercuci merupakan dasar salep anhidrus, larut dalam air dan mudah dihilangkan dari kulit dengan air (Anief, 1997). Basis salep ini tampak seperti krim dapat diencerkan dengan air dan mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cairan serosal yang keluar dalam kondisi dermatologi (Ansel, 1989). Dasar salep larut dalam air, kelompok ini disebut juga dasar salep tidak berlemak dan terdiri

(12)

dari konstituen larut air. Dasar salep ini lebih tepat disebut gel (Anonim, 1995).

b. Absorbsi Obat Melalui Kulit

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses suatu substansi yang bergerak dari satu daerah ke daerah lain pada suatu sistem dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul (Anief, 1997). Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran yang semi permiabel dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Jumlah obat yang pindah melalui lapisan kulit dipengaruhi oleh karakteristik obat, kelarutannya dan koefisien partisi lipid airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989, Anief, 1997).

4. Luka Bakar

a. Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat, 2003). Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bakar juga dipengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas, listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi kebakaran, ruangan yang tertutup. Faktor yang menjadi penyebab beratnya luka bakar antara lain: luasanya luka bakar, umur pasien, agen penyebab, fraktur, penyakit yang dialami

(13)

terdahulu (seperti: diabetes, jantung, ginjal), obesitas, adanya trauma inhalasi (Effendi, 1999).

Agen fisik seperti panas, dingin, bahan-bahan kimiawi, arus listrik menyebabkan koagulasi protein serta nekrosis jaringan normal yang sehat, yang sebanding dengan lamanya pemaparan, tenaga yang dilibatkan, jenis serangan dan luas permukaan badan yang terpapar trauma fisik tersebut (Rackel, 1985).

b. Derajat Luka Bakar

Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi (Syamsuhidayat dan Jong, 1997). Derajat luka bakar dibagi menjadi 3 :

1. Luka bakar derajat satu

Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam waktu 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitivitas setempat. Luka derajat satu akan sembuh tanpa bekas (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

2. Luka bakar derajat dua

Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, dijumpai pula dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas

(14)

permukaan kulit normal, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi (Moenadjat, 2003).

a. Derajat dua dangkal atau superficial

Kerusakan mengenai bagian superficial dan dermis, apendis kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea masih utuh, penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari (Moenadjat, 2003).

b. Derajat dua dalam (deep)

Kerusakan hampir mengenai seluruh bagian dermis, apendis kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea dan sebagian kulit. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu satu bulan (Moenadjat, 2003).

3. Luka bakar derajat tiga

Kerusakan meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka, karena itu untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

c. Klasifikasi keparahan luka bakar

American Burn Association membaginya dalam: 1). Cedera luka bakar minor

(15)

a). Luka bakar dengan LPTT (Luas Permukaan Total Tubuh) <15% pada orang dewasa usia <40 tahun.

b). Luka bakar dengan LPTT <10% pada orang dewasa usia >40 tahun.

c). Luka bakar dengan LPTT <10% pada anak-anak usia <10 tahun.

2). Cedera luka bakar sedang

a). Luka bakar dengan LPTT 15%-25% pada orang dewasa usia <40 tahun.

b). Luka bakar dengan LPTT 10%-20% pada orang dewasa usia >40 tahun.

c). Luka bakar dengan LPTT 10%-20% pada anak-anak usia <10 tahun.

3). Cedera luka bakar mayor

a). Luka bakar dengan LPTT 25% pada orang dewasa usia <40 tahun.

b). Luka bakar dengan LPTT 20% pada orang dewasa usia >40 tahun.

c) Luka bakar dengan LPTT 20% pada anak-anak usia <10 tahun.

(Effendi, 1999) d. Patofisiologi

Luka bakar dapat menyebabkan timbulnya syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpejan suhu tinggi rusak dan

(16)

permeabilitas tinggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udema dan menimbulkan bula dengan membawa serta elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Burn shock (syok hipovolemik) atau syok luka bakar, merupakan komplikasi yang sering sekali dialami oleh pasien dengan luka bakar luas karena hipovolemik yang tidak diatasi. Manifestasi sistem tubuh terhadap kondisi ini adalah berupa: Pertama, respon kardiovaskular yang berupa perpindahan cairan dari intra vaskular melalui kobocoran kapiler yang mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan yang diikuti dengan penurunan curah jantung, hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi dan organ mayor, edema menyeluruh. Kedua, respon renalis yaitu berupa penurunan volume intravaskular maka aliran plasma ke ginjal dan GFR (laju fiiltrasi glomelurus) akan menurunkan yang mengakibatkan pengeluaran urin. Jika resusitasi cairan untuk keutuhan intravaskular tidak adekuat atau jika resusitasi cairan terlambat diberikan, maka akan memungkinkan terjadinya gagal ginjal akut. Dengan resusitasi cairan yang adekuat, maka cairan intestinal dapat ditarik kembali ke intravaskular dan akan terjadi fase diuresis. Ketiga, respon gastrointestinal yang merupakan respon umum yang terjadi pada pasien luka bakar >20% adalah penurunan aktifitas gastrointestinal. Hal ini

(17)

disebabkan oleh kombinasi efek respon hipopolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya perlukaan luas. Keempat, respon imunologi yang dibedakan dalam dua kategori yaitu : respon barier mekanik dan respon imun selular. Sebagai barier mekanik, kulit sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari organisme yang mungkin rusak. Terjadinya gangguan integritas kulit akan memungkinkan organisme masuk kedalam tubuh (Effendi, 1999).

Apabila luka bakar tidak steril maka sering terjadi kontaminasi pada kulit yang mati. Kontaminasi pada kulit yang mati tersebut merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi, karena itu penanganan luka bakar dengan antiseptik topikal dianjurkan (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

e. Penyembuhan Luka

Luka dapat diartikan sebagai hilangnya atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Syamsuhidayat dan Jong, 1997). Jaringan yang rusak atau cedera harus diperbaiki baik melalui regenerasi sel atau pembentukan jaringan struktural agar jaringan pulih kembali (Elizabeth, 2000).

Proses penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase : 1). Fase Inflamasi

Fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskular dan

(18)

proliferasi selular. Daerah luka mengalami agregasi trombosit, mengeluarkan serotonin dan mulai timbul epitelisasi (Effendi, 1999).

Peradangan dimulai dengan rupturnya sel-sel jaringan khusus, yang disebut sel mast. Sel mast akan pecah dan membebaskan kandungannya apabila terjadi cidera jaringan, pejanan toksik dan pengagkutan antigen antibodi (Elizabeth, 2000).

2). Fase Fibroblastik

Fase ini disebut fase fibroblastik karena yang menonjol adalah proses poliferasi fibroblast. Fase yang dimulai pada hari ke 4-20 pasca luka bakar. Pada fase ini timbul serbukan fibroblast yang membentuk kolagen yang tampak secara klinis sebagai jaringan granulasi yang berwarna kemerahan dengan permukaan yang menonjol halus yang disebut granulasi (Effendi, 1999). Epitel tepi yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpendar mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tidak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

3). Fase Maturasi

Terjadi proses pematangan kolagen, penurunan aktivitas selular dan vaskular. Berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan berakhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal (Effendi, 1999). Pada fase ini

(19)

terjadi proses yang terjadi dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap kembali dan dan sisanya mengerut sesuai dengan renggangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis lemas dan mudah digerakkan dari dasar (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

f. Gangguan Penyembuhan Luka

Gangguan penyembuhan luka dapat berasal dari dalam tubuh sendiri (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen yang terpenting adalah gangguan pembekuan darah (koagulatif) dan gangguan sistem imun. Gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan luka, sebab hemostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Bila sistem daya tahan tubuh terganggu maka pembersihan kontaminan dan jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan dengan baik (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis atau merusak sel, pemberian obat penekan reaksi

(20)

imun misalnya setelah transplantasi organ dan kortikosteroid akan mempengaruhi luka (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

g. Terapi

Prinsip penanganan utama untuk luka bakar ringan adalah mendinginkan daerah yang terbakar, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliferasi dan menutup permukaan luka. Luka dapat dirawat secara tertutup atau terbuka (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Penanganan umum pada luka berat sama seperti luka ringan, bila perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala shok (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Perawatan lokal adalah mengolesi luka dengan antiseptik dan membiarkannya terbuka untuk perawatan terbuka atau menutupnya dengan pembalut steril untuk perawatan tertutup. Dapat diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan atau toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Bentuk antibiotik yang baik adalah yang palig sesuai dengan kondisi lokal (daerah luka). Luka bakar yang bersifat inflamatif dengan produk eksudat memerlukan perawatan luka basah (lembab). Tentunya bila antibiotik diperlukan digunakan dalam bentuk cair. Kasa yang dibasahi antibiotik ini selalu menyerap eksudat, berfungsi sebagai kompres yang mendinginkan luka sebagai upaya mengatasi permasalahan yang ditimbulkan proses inflamasi akut. Disaat luka

(21)

mulai kering, antibiotik dalam bentuk kering lebih baik dibanding dalam bentuk oinment karena mengandung air dan bersifat higroskopik. Ada beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan untuk tujuan tertentu antara lain silver nitrat 0,5%, mafenide acetat 10%, silver sulfadiazin 1%, gentamisin sulfat (Moenadjat, 2003).

Salah satu obat yang dapat digunakan untuk mengobati luka bakar adalah salep madecassol. Komposisi dari salep Madecassol® adalah Ekstrak pegagan (Centella asistica). Salep madecassol ini digunakan untuk mencegah luka terhadap tendensi koloid. Salep ini dapat digunakan untuk luka trauma, luka bedah, luka bakar, pencakokan kulit fistula, jaringan parut abnormal, luka mukosa dan kulit, optalmologi, ginekologi, lesi ulkus pada lepra, sindrom privarikosis, ulkus varilosis dan varices (Anonim, 2005)

E. Keterangan Empiris

Secara empiris kulit buah pisang dapat digunakan sebagai obat luka bakar. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberi informasi ilmiah bahwa ekstrak etanol kulit buah pisang yang dibuat dalam sediaan salep dapat menyembuhkan luka bakar pada kulit punggung kelinci jantan jenis New Zealand.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas guru, aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dan kendala-kendala yang muncul menunjukkan peningkatan yang baik

Keuntungan atau kerugian yang ditimbul dari transaksi atas aktiva yang dijual dan disewagunausahakan kembali dengan hak opsi ditangguhkan dan diamortisasi secara proporsional

6akukan pengikatan dengan karet pembendung (torniCuet) pada bagian atas daerah yang akan dilakukan pemberian obat atau tegangkan dengan tangan'minta bantuan

Untuk mengantisipasi kendala dalam berkomunikasi tersebut maka penulis yang terinspirasi dari aplikasi – aplikasi terjemahan yang sudah ada berusaha untuk mencari

bantuan - Fasilitasi pelaksanaan kegiatan Bantuan peralatan Pelaksanaan kegiatan - Bantuan peralatan 2009 2008 PROP DITJEN IATT. SINERGI PROGRAM KETERANGAN PROPINSI KEGIATAN

Dengan tingkat akurasi yang besar dan persentase error yang kecil seperti yang terlihat pada grafik, didapatkan hasil bahwa sistem ini menghasilkan frekuensi yang sesuai

Kata kunci yang disebutkan tepat dan mampu menjelaskan makna kata kunci dan kaitannya dengan pesan iklan tetapi tidak menjelaskan kaitannya dengan gambar iklan. Kata

Berdasarkan hasil kuesioner tentang peningkatan derajat kesehatan masyarakat setelah diberlakukan program Jamkesmas oleh Rumah Sakit Umum HKBP Balige, bahwa 30 orang yang