FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WARA UTARA KOTA PALOPO TAHUN 2011
“Factors Associated With The Incident Pulmonary Tuberculosis In The Working Area North Wara Health Centres
Palopo City Year 2011”
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Pendidikan Program studi S-I Keperawatan di STIKES Bhakti Pertiwi Luwu Raya Palopo
OLEH :
A P R I A N T O
SK.07.02.003
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
BHAKTI PERTIWI LUWU RAYA – PALOPO
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis telah menginfeksi sekitar sepertiga penduduk dunia.
Lamporan WHO bahwa sekitar 8 juta penduduk dunia diserang tuberkulosis.
Tiga juta kematian per tahun di negara berkembang, dan diperkirakan kematian
diantaranya disebabkan oleh penyakit tuberkulosis. Tuberkulosis membunuh
hampir 1 juta wanita per tahun (Harian Kompas, 2004).
Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control
2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden
countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan
China dalam menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate
untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah
115 per 100.000 (WHO,2003).
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis
and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan
TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse
chemotherapy (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan
secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah
berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama
DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara
terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah
merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB
sejak tahun 1995 (Depkes RI, 2007).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah berhasil mencapai dan
mempertahankan angka kesembuhan sesuai dengan target global, yaitu
minimal 85% penemuan kasus TB di Indonesia pada tahun 2006 adalah 76%.
Keberhasilan pengobatan TB dengan DOTS pada tahun 2004 adalah 83% dan
meningkat menjadi 91% pada tahun 2005 (Depkes RI, 2008).
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk,
10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
terjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan
menjadi penderita tuberkulosis. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh rendah,
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS disamping faktor pelayanan
kesehatan yang belum memadai,(Sulianti,2007).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi
berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 TB menduduki ranking ketiga
sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem
sirkulasi dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis di
Indonesia tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk (Depkes
RI, 2007).
Berdasarkan data Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2001 bahwa
TBC tahun 1997 sebanyak 39.458 kasus, tahun 1998 mengalami peningkatan
menjadi 47.023 kasus, tahun 1999 menurun menjadi 42.105 kasus dan
menurun lagi pada tahun 2000 menjadi 23.876 kasus. Walaupun terjadi
penurunan penderita tuberkulosis paru tetapi jumlah kasus di atas masih cukup
tinggi dan masih dapat terjadi peningkatan kembali jumlah kasus, jika
kesadaran masyarakat masih rendah tentang upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit tuberkulosis paru.
Penyakit tuberkulosis paru merupakan fenomena gunung es, karena
kebanyakan masyarakat mengetahui dirinya menderita TBC setelah datang
berobat di tempat pelayanan kesehatan. Tetapi masyarakat yang tidak datang
berobat di tempat pelayanan kesehatan karena berbagai faktor (sosial budaya,
ekonomi, pengetahuan), walaupun sudah menderita TBC tetapi belum
diketahui atau tidak terdaftar sebagai penderita TBC, akibatnya penderita TBC
tersebut dapat menjadi kantong-kantong penularan pada masa sekarang dan
Berdasarkan data di atas, penulis ingin mengadakan penelitian tentang Faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Wara Utara
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian, sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan Tingkat Pengetahuan dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara palopo tahun 2011 ?
2. Apakah ada hubungan Jenis pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara palopo tahun 2011 ?
3. Apakah ada hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara palopo tahun 2011 ?
4. Apakah ada hubungan Kondisi Rumah dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara tahun 2011 ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor yang Berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas wara utara.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan Tingkat pengetahuan dengan kejadian TB
paru.
b. Untuk mengetahui hubungan Jenis Pekerjaan dengan kejadian TB paru.
c. Untuk mengetahui hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian TB
paru.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat institusi
a. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi Jurusan Keperawatan Stikes Bhakti Pertiwiw Luwu Raya palopo selaku tempat kami menimbah ilmu.
b. Merupakan informasi bagi Puskesmas Wara Utara.
2. Manfaat ilmiah
a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
b. Merupakan salah satu bahan bacaan bagi peneliti berikutnya
3. Manfaat praktis
a. Merupakan pengalaman berharga bagi penulis
b. Akan bermanfaat bagi orang lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Pengertian penyakit tuberkulosis paru
Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik jaringan
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman
Mycrobacterium Tuberculosis biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru-paru. Kemudian kuman
lain melalui sistim peredaran darah, sistim saluran limfe, melalui saluran
nafas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. (Depkes RI, 2002).
Penularan penyakit ini dapat terjadi secara langsung dari semprotan
droplet pada waktu bersin, batuk, meludah, menyanyi atau berbicara
(biasanya pada jarak 1 meter), maupun secara tidak langsung melalui
dahak penderita yang mengandung Mycrobacterium Tuberculosis yang
dibuang sembarangan dan tercampur dengan partikel debu dalam kondisi
tertentu, kuman dihembuskan oleh angin sehingga terhirup oleh orang lain
yang tidak menderita tuberkulosis paru.
Penyakit ini juga dapat menular kepada orang lain melalui orang yang
pernah kontak dengan penderita tuberkulosis paru tetapi orang ini belum
menampakkan gejala klinis tuberkulosis paru pada saat itu (carier).
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha
terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
2. Penyebab penyakit tuberkulosis paru
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret
1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama
baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai
Koch Pulmonum (KP).
3. Patogenesis
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga
sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa
kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan.
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin, karena kuman bersifat dormant artinya kuman dapat bangkit kembali
dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob,
artinya lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya yaitu
paru-paru (Soeparman, dkk, 1999). Masa inkubasi penyakit tuberkulosis
paru antara 4-6 minggu ( Indan Entjang, 2003 ).
4. Cara penularan
Penularan penyakit TBC biasanya melalui udara yang tercemar oleh
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh si penderita
TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah
berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam
paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama
pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula
dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti
otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski
yang paling banyak adalah organ paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru,
maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular
akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri
itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan
di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Gambat 1. Proses terjadinya penularan penyakit TB Paru
Masuknya Mikobakterium tuberkulosa kedalam organ paru
menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi
pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi
imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC
ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya
bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak
sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.
a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyarang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :
1) Tuberkulosis Paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto roentgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
roentgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis tidak aktif.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjer limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing alat kelamin dan
lain-lain.
TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya yaitu:
1) TB ekstra paru ringan
Misalnya : TB kelenjer limphe, pleuritis eksudativa unilateral tulang,
2) TB ekstra berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan alat kelamin.( Depkes, 2002 ).
6. Gejala Penyakit TBC
Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala
umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa
TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak
khas, terutama pada kasus-kasus baru.
a. Gejala umum (Sistemik)
1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai
sesak.
2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara
pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang.
Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala,
Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien
TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan
penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada
anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC
paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
7. Penegakan Diagnosis pada TBC
Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC,
Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
memeberikan diagnosa yang tepat antara lain :
a. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
b. Pemeriksaan fisik secara langsung.
c. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
d. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
e. Rontgen dada (thorax photo).
f. Uji tuberkulin.
8. Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru
Semua manusia di dunia ini dapat terinfeksi kuman tuberkulosis paru,
orang muda dan tua, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin dapat
menderita penyakit tuberkulosis paru. Kuman tuberkulosis tidak pernah
memilih induk semangnya dan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Daya tahan tubuh yang rendah tidak dapat melawan kuman sehingga
kuman akan berkembang.
lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan
khusus untuk Indonesia (Kompas, 2004). Tuberkulosis paru menyerang
sebagian besar penderita termasuk dalam kelompok usia produktif, yaitu
antara 20-49 tahun (Suyudi, 1994).
B. Tinjauan Umum Tentang Puskesmas 1. Pengertian
Puskesmas adalah merupakan pusat pengembangan, pembinaan
dan pelayanan sekaligus merupakan pos pelyanan terdepan dalam
membangun kesehatan masyarakat yang menyelenggarakan kegiatannya
secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan kepada masyarakat
yang bertempat tinggal dalam wilayah tertentu (Depkes RI, 1991).
2. Kegitan pokok Puskesmas
Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang
berbeda-beda, kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh sebuah puskesmas akan
berbeda pula. Namun demikian, kegiatan pokok puskesmas yang
seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut : kesejahteraan ibu dan
anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, kesehatan lingkungan,
pencegahan dan pemberantasan penyakit khususnya melalui program
imunisasi dan pengamatan penyakit, penyuluhan kesehatan, pengobatan
termasuk penanggulangan kecelakaan, perawatan kesehatan, kesehatan
kerja, kesehatan sekolah dan olah raga, kesehatan gigi mulut, mata, dan
pembinaan pengobatan tradisional, dan pencataan dan pelaporan dalam
rangka informasi kesehatan.
Pelaksanaan kegiatan pokok puskesmas diarahkan kepada
keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil. Dengan perkataan lain,
kegiatan pokok puskesmas ditujukan untuk kepentingan keluarga sebagai
bagian dari masyarakat wilayah kerjanya. Setiap pokok kegiatan
puskesmas dilaksanakan dengan pendekatan Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa (Depkes RI, 1990).
C. Struktur Puskesmas
Susunan organisasi Puskesmas terdiri dari :
a. Unsur pimpinan : Kepala Puskesmas
b. Unsur pembantu pimpinan : Urusan Tata Usaha
c. Unsur Pelaksana
1) Unit yang terdiri dari tenaga/pegawai dalam jabatan fungsional
2) Jumlah unit tergantung kepada kegiatan, tenaga dan fasilitas
masing-masing
a) Unit I
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesejahteraan ibu
dan anak, keluarga berencana dan perbaikan gizi
b) Unit II
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pencegahan dan
pemberantasan penyakit, khususnya imunisasi, kesehatan
lingkungan, dan laboratorium sederhana.
c) Unit III
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesehatan gigi dan
mulut, kesehatan tenaga kerja dan manula
d) Unit IV
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perawatan
kesehatan masyarakat, kesehatan sekolah dan olah raga,
kesehatan jiwa dan kesehatan mata, dan kesehatan khusus
lainnya
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pembinaan dan
pengembangan upaya kesehatan masyarakat
f) Unit VI
Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengobatan rawat
jalan dan rawat inap
g) Unit VII
Mempunyai tugas melaksanakan kefarmasian
D. Kedudukan dan Fungsi
Kedudukan dalam bidang administrasi, puskesmas merupakan
Pemda tingkat II dan tanggung jawab langsung baik secara teknis medis
maupun secara administratif kepada dinas kesehatan tingkat II.
Dalam hirarki pelayanan kesehatan, sesuai SKN maka puskesmas
berkedudukan pada tingkat fasilitas pelayanan kesehatan pertama.
Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup seehat.
Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu
kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Untuk melaksanakan kegiatan
tersebut puskesmas melakukan kegiatan
E. Stratifikasi Puskesmas
Upaya melakasanakan penilaian prestasi kerja puskesmas, dalam
rangka pengembangan fungsi puskesmas sehingga pembinaan dapat
dilaksanakan lebih terarah. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan gairah
kerja, rasa tanggung jawab dan kreatifitas kerja yang dinamis melalui
pengembangan falsafah mawas diri.
Ruang lingkup stratifikasi puskesmas dikelompokkan dalam 4 aspek
yaitu :
1. Hasil kegiatan puskesmas dalam bentuk cakupan dalam masing
-masing kegiatan.
2. Hasil dan cara pelaksanaan manajemen kesehatan.
4. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi pencapaian hasil kegiatan
puskesmas.
Dalam jangka pola pembinaan melalui stratifikasi puskesmas akan terus
ditingkatkan ruang lingkupnya sehingga meliputi seluruh kegiatan yang
menjadi tanggung jawab puskesmas dalam wilayah kerjanya, termasuk
kegiatan adalah dalam rangka membina usaha kesehatan swasta.
1. Tinjauan Umum tentang Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2003:121) menyatakan bahwa, manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna,dalam memahami alam
sekitarnya terjdi proses bertingkat dari pengetahuan,ilmu dan
filsafat.Pengetahuan sendiri merupakan hasil dari tahu manusia dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu.sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga.
Pengetahuan merupakan Domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Over behavion). Sebelum sesorang
mengadopsi perilaku ,ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.Indikator yang
dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau
kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi:
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara
hidup sehat.
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.
Pengetahuan yang tercakup dalam Domain Koognitif
mempunyai 6 (enam) tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.tahu
artinya dapat mengingat suatu materi yang telah dipelajari.kata
kerja yang untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan
menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui serta dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah
dipelajari pada situasi atau kondisi real seperti menggunakan
rumus, hukum, metode, prinsip dan lain sebagainya dalam situasi
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan Untuk menjabarkan materi materi atau suatu
objek dalam komponen-komponen, tetapu dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Misalnya
dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan,
menggambarkan dan sebagianya.
e. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evalution)
Rai suatu materi atau objek. Evaluasi dapat menggunakan
kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
Pengukuran Pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau pasien.
2. Tinjauan Umum Tentang Jenis pekerjaan.
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi
terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara
yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola
hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai
pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru.
Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang
kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat
kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan
penyakit TB.( Nur Nasri Noor, 2004 )
Hubungan antara jenis pekerjaan dengan distribusi dan
frekuensi masalah kesehatan telah sejak lama diketahui. Pekerjaan
lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan
derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat
sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu (Nur Nasri Noor,
2004).
3. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan hunian
Beberapa Persyaratan Suatu rumah agar dapat menjamin
kesehatan penghuninya, baik secara fisik maupun psikoklogis antara
kepadatan hunian. Semakin banyak penghuni suatu rumah semakin
menuntut ruangan yang banyak dan luas, misalnya kamar tidur.
Sutoyo (1995), mengemukakan perumahan yang padat akan
menimbulkan masalah-masalah kesehatan diantaranya beberapa
penyakit menular, sepertibTB paru. Menurutnya, suatu rumah tinggal
dinyatakan padat penghuninya baik volume ruangan dalam rumah
dibanding dengan jumlah penghuninya kurang dari 2,75 M. Jadi dalam
hal ini selain panjang dan lebar ruangan juga perlu diperhatikan tinggi
ruangan dalam sebuah rumah, misalnya dengan menggunakan ukuran
3 x 3 minimal 2,75 M per orang penghuni. Dengan demikian
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan penghuninya terhadap volume
udara yang bersih dan menjamin kenyamanan dalam aktivitas
sehari-hari.
Dari segi penularan penyakit, kepadatan hunian rumah juga
sangat berperan, terutama penyakit-penyakit yang disebarkan lewat
udara seperti penyakit infeksi saluran pernapasan. Dalam rumah
dengan penghuni yang padat, penularan penyakit sangat mudah
terjadi bilah salah satu atau beberapa orang penghuninya penderita
suatu penyakit, karena adanya kontak yang sangat erat antar
penghuninya.
Pada beberapa penelitian sebelumnya ditemukan adanya
hubungan adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
oleh Muh. Nawir tahun 1994, salvato dalam Rahardi tahun 2002
demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh parhan di Gorontalo
tahun 2004.
4. Tinjauan Umum Tentang Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan
penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat
perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan
akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan
sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman
Mycrobacterium tuberculosis ( Dr. Andi, 2007 ).
Adapun Kondisi-kondisi Rumah yang sangat perlu diperhatikan
dalam hal pencegahan terjadinya penularan penyakit TB Paru adalah
sebagai berikut :
1. Lantai
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk
penghuni di dalamnya, artinya luas lanai bangunan tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab di samping
menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu
anggota keluarga terkene penyakit infeksi, akan mudah menular
adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk tiap orang
(tiap anggota keluarga).
2. Dinding
Dinding tembok sangat baik, namun disamping mahal
tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih
bila ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis
khususnya di pedesaan lebih baik dinding atau papan. Sebab
meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding
atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat
menambah penerangan alamiah.
3. Atap Genteng
Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan. Disamping atap genteng cocok untuk daerah
tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan
masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak
masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap
daun rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap
seng ataupun asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di
samping mahal juga menimbulkan suhu panas didalam rumah.
Katu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum
di pedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama.
Tapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan
sarang tikus yang baik. Untuk menghindari ini cara memotongnya
barus menurut ruas-ruas bambu tersebut, maka lubang pada
ujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso tersebut ditutup
dengan kayu.
5. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama
adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan O2 didalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.disamping itu
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara
didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media
yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab
penyakit.)
6. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kedalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping
kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya
terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau,
dam akhirnya dapat merusakan mata.
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik jaringan paru yang
disebabkan oleh kuman berbentuk batang yang disebut Mycobacterium Tuberculosis. Penularan penyakit ini dapat terjadi secara langsung dari semprotan
droplet pada waktu bersin, batuk, meludah, menyanyi atau berbicara (biasanya
pada jarak 1 meter), maupun secara tidak langsung melalui dahak penderita
yang mengandung Mycobacterium Tuberculosis yang di buang sembarangan
dan tercampur dengan partikel debu dalam kondisi tertentu kuman
dihembuskan oleh angin sehingga terhirup oleh orang lain yang tidak
menderita tuberkulosis paru.
Pemberantasan penyakit tuberkulosis paru dapat dilakukan dengan cara
memutuskan penularannya. Dengan terputusnya rantai penularannya berarti
akan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kejadian tuberkulosis
usaha tersebut tidak semudah kita mengatakannya, karena dalam proses
terjadinya penyakit tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satu diantaranya adalah tingkat sosial ekonomi.
Mengingat penyakit tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia dan belum dilaksanakan pemberantasan secara menyeluruh maka sangat diperlukan suatu upaya swasembada masyarakat yang dapat mendukung pemberantasan tuberkulosis paru yaitu peningkatan kesehatan lingkungan, memperlihatkan aspek sosial ekonomi dan perilaku hidup sehat yang berkaitan dengan terjadinya tuberkulosis .
Terjadinya tuberkulosis paru berhubungan dengan beberapa faktor,
yaitu : Pengetahuan, keteraturan minum obat, pekerjaan, pendapatan, jenis
kelamin, kebiasaan merokok, kepadatan hunian.
Secara sistematik uraian variabel yang diteliti berdasarkan tujuan
penelitian sebagai berikut :
1. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini adalah tingkat pemahaman
pasien tentang penyakit TB paru yang mencakup antara lain pengertian
penyakit TB paru, penyebab, gejala utama, cara penularan, pencarian
pengobatan pencegahan dan komplikasi TB paru di Wilayah kerja
Puskesmas Wara Utara tahun 2010 yang dinilai dari kemampuan penderita
menjawab pertanyaan dalam kuesioner.
2. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernafasan dan umumnya TB Paru.
3. Kepadatan Hunian
Yang dimaksud kepadatan hunian dalam penelitian adalah apabila
jumlah luas ruangan atau Luas lantai bangunan rumah harus cukup untuk
penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit
infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
4. Kondisi Rumah
salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC adalah kondisi
Rumah yang tidak sehat. Oleh karena ada beberapa hal yang
mempengaruhi ditinjau dari segi Atap, dinding dan lantai dapat menjadi
tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan
akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai
media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium
tuberculosis ( Dr. Andi, 2007 ).
B. Pola Pikir Variabel Yang Diteliti
Berdasarkan konsep pemikiran di atas, dikemukakan bagan kerangka
konsep dari variabel independen, sebagai berikut :
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Faktor Yang Hubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Tuberkulosis paru
Yang dimaksud dengan tuberkulosis paru dalam penelitian ini adalah pasien yang berdasarkan kartu status dinyatakan menderita tuberkulosis paru.
Kriteria objektif :
a. Menderita : Bila pasien didiagnosa menurut kartu status menderita tuberkulosis paru BTA (+) b. Tidak menderita : Bila pasien didiagnosa menurut kartu status menderita tuberkulosis paru BTA (-)
2. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini adalah tingkat pemahaman Pasien tentang penyakit TB paru yang mencakup antara lain pengertian penyakit TB paru, penyebab, gejala utama, cara penularan, pencaharian pengobatan pencegahan komplikasi TB paru di Wilayah kerja Puskesmas Wara Utara tahun 2011 yang dinilai dari kemampuan penderita menjawab pertanyaan dalam kuesioner.
Kriteria Objektif
Kriteria pengetahuan mengacu pada skala Guttman, yang terdiri dari dua kategori yaitu cukup dan kurang, dimana setiap jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi 0, sebagai berikut :
Kurang : Bila jawaban pasien < 50 % atas pertanyaan tentang TB paru yang telah disusun dan diberi skoor.
Cukup : Bila Jawaban pasien ≥ 50 % atas pertanyaan tentang TB paru yang telah disusun dan diberi skor.
3. Jenis pekerjaan
Yang dimaksud dengan jenis pekerjaan dalam penelitian ini adalah
rutinitas penderita sehari-hari yang dapat menghasilkan (income)
Kriteria Objektif
a. Bekerja : Bila pasien mempunyai pekerjaan dan penghasilan
secara ekonomi
b. Tidak Bekerja : Bila pasien mempunyai Tidak mempunyai pekerjaan dan
penghasilan secara ekonomi
4. Kepadatan hunian
Yang dimaksud kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan volume seluruh ruangan dengan penghuninya( tidak termasuk kamar mandi/AC ) pada rumah pasien di wilayah kerja puskesmas wara utara 2011
Kriteria objektif :
Hunian Padat : Bila volume ruangan pada rumah pasien
< 2,75 M perorang penghuni,sesuai hasil
Observasi
Hunian tidak dapat : Bila volume ruangan pada rumah pasien lebih
≥ 2,75 M perorang penghuni,sesuai hasil
Observasi
kondisi rumah dalam penelitian ini adalah adalah suasana hunian
yang di tempati oleh sipenderita.
Kriteria objektif :
Memenuhi syarat : apabila kondisi rumah memiliki lantai,
Atap,dinding,ventilasi,pencahayaan yang
Memadai.
Tidak memenuhi syarat : Apabila tidak memenuhi kriteria diatas.
D. Hipotesis Penelitian Hipotesis alternative ( Ha )
a. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian TB paru b. Ada hubungan Pekerjaan dengan kejadian TB paru
c. Ada hubungan tingkat Kepadatan hunian dengan kejadian TB paru d. Ada hubungan Kondisi Rumah dengan kejadian TB paru
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan
pendekatan Cross Sectional Study, dimana data yang menyangkut variabel
independen dan dependen diteliti dalam waktu yang bersamaan.
B. Lokasi Penelitian
Tempat Penelitian ini dilaksanakan diwilaya kerja Puskesmas wara utara
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB paru yang berada di puskesmas wara utara yang berkunjung pada tahun 2011.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menderita
tuberkulosis paru di wilaya kerja Puskesmas wara utara kota palopo yang
berkunjung pada bulan April-juni tahun 2011 yang diambil melalui metode
porpossive sampling
D. Cara Pengumpulan Data
1. Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung pada pasien dengan menggunakan kuesioner
2. Data sekunder, diperoleh dari instansi terkait
3. Observasi, kondisi rumah dan kepadatan hunian
E. Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer Program SPSS, penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
F. Analisa Data
Hipotesis yang diuji adalah hipotesis nol (Ho) dengan derajat kemaknaan () 0,05. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square dengan koreksi Yates untuk tabel 2 x 2.
Kategori 2 c D c + d
Jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Penelitian ini dilaksanakan diwilaya kerja puskesmas wara utara
palopo selama 1 bulan sampel sebanyak 18 pasien. Pasien selanjutnya di
olah dan dianalisis yang disesuaikan dengan tujuan penelitian hasil analisis
data di sajikan dalam bentuk table yang di lengkapi dengan penjelasan
sebagai berikut: 1. Analisis univariat
a. Jenis kelamin
Table 5,1 distribus frekuensi jenis kelamin penderita TB paru di wilaya Puskesmas Wara Utaara Kota Palopo
Table 1 menunjukan bahwa penderita TB paru di wilaya kerja
pusekesma wara utara kota palopo jenis kelamin Laki-laki 61.1%,
dan jenis kelamin perempuan sebanyak 38.9%.
b. Tingkat pengetahuan
Table 5,2 distribusi frekuensi tinkat pengetahuan penderita TB paru diwllaya Puskesmas Wara Utara Kota Palopo
Tahun 2011
Tingakat
pengetahuan Frekeunsi Presentase
Cukup
Kurang
16
2
88.9
11.1
Jumlah 18 100
Sumber data primer 2011
Table 2 menunjukan bahwa pengetahuan TB paru di wilaya kerja
puskesmas wara kota palopo cukup sebanyak 88.9%, dan
pengetahuan TB paru kurang sebanyak 11.1%
c. Pekerjaan
Table 5,3 distribusi frekuensi jenis pekerjaan penderita TB paru di wilayah Puskesmas Wara Utara Kota Palopo
Tahun 2011
PNS
Table 3 menunjukan bahwa jenis pekerjaan wirasuasta di wilaya
kerja puskesmas wara utara kota palopo tertinggi sebanyak
61.1%dan jenis pekerjaan petani terendah sebanyak 5.6%
d. Kepadatan hunian
Table 5.4 distribusi frekuensi kepadatan hunian penderita TB paru di wilaya kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo
Tahun 2011
Table 5 menunjukan bahwa kepadatan hunian di puskesmas wara
utara kota palopo yang padat sebanyak 66.7%, dan tidak padat
33.3%
e. Kondisi rumah
Table 5.5 distribusi frekuensi kondisi rumah penderita TB paru di wilaya kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo
Tahun 2011
Tidak memenuhi syarat
Table 5 menunjukan bahwa kondisi rumah di wilaya kerja puskesmas
wra utara kota palopo tidak memenuhi syarat sebanyak 72.2%, dan
memenuhi syarat sebanyak 27.8%
f. Kejadian TB paru
Table 5.6 distribusi frekuensi kejadian penderita TB paru di wilaya kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo
Tahun 2011
puskesmas wara utara kota palopo TB paru sebanyak 83.3% dan
bukan penderita TB paru sebanyak 16.7%
2. Analisii bivariat
a. Hubungan pengetahuan dengan kejadian TB paru
Table 5.7 hubungan pengetahuan dengan kejadian penderita TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo Tahun
Pengetahua
pengetahuan TB Paru terdpat 86.7% yang status bukan penderita TB
Paru 100 sedangkan dari 2 pasien TB Paru dengan pengetahuan TB
Paru terdapat 13.3 status bukan pasien 0. Hal ini berdasarkan hasil
analisa statistic menunjukan nilai p (0.502) > 0.05 yang berarti tidak
ada hubungan pengetahuan dengan TB Paru
b. Hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian TB paru
Table 5.8 hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian penderita TB paru di wllaya kerja puskesmas wara utaara kota palopo Tahun 2011
Jenis
penderita TB Parudengan jenis pekerjaan terdapat 6.7 status bukan
penderita TB Paru 100. Hal ini berdasarkan hasil analisa statistic
menunjukan nilai p (0.000) < 0.05 yang berarti ada hubungan
pekerjaan dengan TB Paru
c. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru
Table 5.9 hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penderita TB paru di wllaya kerja puskesmas wara utaara kota palopo Tahun
2011
Table 9 menunjukan bahwa 12 penderita TB Paru dengan kepadatan
hunian penderita 66.7 status bukan TB Paru 66.7 sedangkan dari 6
penderita TB Paru dan kepadatan hunian terdapat 100 status bukan
pasien TB Paru 100. Hal ini berdasarkan hasil analisa statistic
menunjukan nilai p (1.000) > 0.05 yang berarti tidak ada hubungan
d. Hubungan kondisi rumah dengan kejadian TB paru
Table 5.10 hubungan kondusi rumah dengan kejadian penderita TB paru di wllaya kerja puskesmas wara utaara kota palopo Tahun 2011
Kondisi
Table 9 menunjukan bahwa 13 penderita TB Paru dengan kondisi
rumah penderita 86.7 status bukan penderita TB Paru 0 sedangakan
dari 5 penderita TB Paru dengan kondisi rumah terdapat 13.3 status
bukan penderita TB Paru 100. Hal ini berdasarkan hasil analisa
statistic menunjukan nilai p (0.002) < 0.05 yang berarti ada
hubungan kondisi rumah dengan TB Paru
B. Pembahasan
1. Hubungan pengetahuan dengan kejadian penderita TB paru
Menurut Notoadmojo (2003:121) menyatakan bahwa,manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna,dalam memahami alam
sekitarnya terjdi proses bertingkat dari pengetahuan,ilmu dan
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu.sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 16 pasein TB paru
dengan pengetahuan TB Paru terdapat 86.7% yang status bukan
penderita TB Paru 100 sedangkan dari 2 pasien TB Paru dengan
pengetahuan TB Paru terdapat 13.3 status bukan pasien 0.
Hasil analisa statistic dengan menguanakan Chi-square
menunjukan nilai p (0.502) > 0.05 yang berarti tidak ada hubungan
pengetahuan dengan TB Paru.
Gambaran pengetahuan tentang TB Paru di wilayah kerja
puskesmas wara utara kota palopo masih sangat kurang. Khusus bagi
penderita TB Paru pengetahuan tentang TB Paru sudah sangat baik
karna setiap penderita yang datang di puskesmas diberikan penyuluhan
kurang lebih selama 1 jam
Hasil peneltian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Maryam
M.Nur tahun 2008 yang menyatakan bahwa ada pengaruh pendidikan
terhadap TB Paru.
2. Hubungan jenis pekerjaan dengan kejadian penderita TB paru
Hasil penelitian menunjukan bahwa 14 penderita TB Paru dengan
jenis pekerjaan TB Paru 93.3 status bukan TB Paru 0 sedangkan dari 4
penderita TB Parudengan jenis pekerjaan terdapat 6.7 status bukan
penderita TB Paru 100.
Hal ini berdasarkan hasil analisis statistic menunjukan nilai p (0.000)
Penderita TB Paru di wilaya kerja puskesmas wara utara
mempunyai pendapatan yang bersumber dari pegawai sipil, sopir dan
wirasuasta.
Hasil penelitian yang lain dilakukan Alprida. S Tahun 2009 juga
mengemukakan bahwa ada hubungan pekerjaan dengan TB Paru 3. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penderita TB paru
Hasil penelitian menunjukan bahwa 12 penderita TB Paru dengan
kepadatan hunian penderita 66.7 status bukan TB Paru 66.7 sedangkan
dari 6 penderita TB Paru dan kepadatan hunian terdapat 100 status
bukan pasien TB Paru 100.
Hasil analisis statistic menunjukan nilai p (1.000) > 0.05 yang
berarti tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan TB Paru.
Hasil peneltian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Maryam
M.Nur tahun 2008 bahwa tidak hubungan kepadatan hunian dengan TB
Paru.
4. Hubungan kondusi rumah dengan kejadian penderita TB paru
Menunjukan bahwa 13 penderita TB Paru dengan kondisi rumah
penderita 86.7 status bukan penderita TB Paru 0 sedangakan dari 5
penderita TB Paru dengan kondisi rumah terdapat 13.3 status bukan
penderita TB Paru 100.
Hasil analisa statistic menunjukan nilai p (0.002) < 0.05 yang
berarti ada hubungan kondisi rumah dengan TB Paru
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Alprida.S tahun 2009
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan TB Paru dengan hasil
analisa statistic uji Chi-Square menunjukan nilai p (0.502) > 0.05
2. Ada hubungan pekerjaan dengan TB Paru dengan hasil analisa statistic
uji Chi-Square menunjukan nilai p (0.000) > 0.05
3. Tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan TB Paru dengan hasil
analisa statistic uji Chi-Square menunjukan nilai p (1.000) > 0.05
4. Ada hubungan kondisi rumah dengan TB paru dengan hasil analisa
statistic uji Chi-Square menunjukan nilai p (0.002) > 0.05 5. Lama penelitian april – juni tahun 2011
B. Saran
1. Kepada puskesmas agar kiranya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat di wilaya kerjanya sebagai usaha preventif terhadap
penyakit TB Paru
2. Kepada penderita TB Paru agar mengurangi aktivitas untuk mengurangi
terjadinya TB Paru lebih para dan juga menghindari kontak lebih dekat
kepada keluarga dan orang lain untuk mengindari penularan.
3. Kepada pembaca dan semua masyarakat agar memperbaiki kondisi
rumah. Berdasarkan teori sinar ultra violet dapat membunuh kuman TB
Paru, oleh karna itu disarankan agar setiap rumah mempunyai ventilasi
yang cukup agar sinar matahari dapat masuk secara langsung ke
rumah. Selain dari itu, serkulasi udara dapat lebih lancar karna udara
lembab meningkatkan resiko penularan TB Paru.
4. Untuk peneliti selanjutnya agar kiranya dicari lagi factor-factor lain yang
memungkinkan terjadinya resiko TB Paru.
5. DAFTAR PUSTAKA
6. Abd. Hakim Burareah, 2004. Metode Penelitian, FKM Unhas Makassar. 7.
9. Anonim, 2003. Artikel Kecepatan Penemuan dan Pengobatan TB Paru,
(http://www.kompas.com) 3/4/04. 10.
11. Anonim, 2002. Penderita Penyakit Tuberkulosis, (http://www.johor.go.id/berita konsulgen 2 ASP? Nomorget. 122).
12.
13. BP4, 2002. Laporan Tahunan Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru, Makassar. 14.
15. BPS Sul-Sel, 2004. Makassar Dalam Angka 2003, Makassar. 16.
17. Depkes RI,stratifikasi puskesmas, bina mandiri dan penyuluhan kesehatan,Jakarta,1991s
18.
19.Departemen Kesehatan RI. (2007),pedoman Nasional penanggulangan
20.Tuberkulosis : jakarta 21.
22.Departemen Kesehatan RI. (2002),Klasifikasi penyakit
23.Tuberkulosis : jakarta 24.
25.Departemen Kesehatan . (2002),pengertian penyakit 26.
27. Dr. Andi. ( 2007 )” Kesehatan Lingkungan “ PT Ganeca Exat Bandung
28.
29. Ekosusilo dan R.B. Kasihadi, 2002 Dasar-Dasar Pendidikan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
30.
31. Entjang Indan,2003 . Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
32.
35. Lumenta Benyamin, 1989. Penyakit Citra, Alam dan Budaya, Kanisius, Yogyakarta.
36. Lubis I, 1990. Etiologi Tuberkolosis dan Faktor Lingkungan, Buletin Penelitian Kesehatan, Jakarta
37.
38. Noor Nasri Nur, 2004.hubungan sosial ekonomii, Rineka Cipta, Jakarta. 39.
40.
41. Prof. Dr. Sulianti Saroso,Situs Resmi RSPI - SS © 2003 - 2007 Rumah Sakit Penyakit Infeksi, Jakarta
42. 43.
44. Penularan TBC
14 September, 2008
45.
46. Sumatera Ekspres, 2005-2010, All Right Reserved, Design By Yoedhas 47.
48. Resistensi Bakteri TBC
15 September, 2008
49. TuberKulosis [TBC]