TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 8 TAHUN
2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
SKRIPSIOLEH : RENATA AMALIA
C03211053
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI SIYASAH JINAYAH
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Merupakan hasil kajian teoritis terhadap bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian ditinjau dari hukum pidana Islam. Penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab 2 (dua) rumusan masalah yaitu 1. Bagaimanakah
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010?, 2. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010?
Penelitian ini, menggunakan metode deskriptif. Selanjutnya akan dianalisis menggunakan pola pikir deduktif yaitu data-data yang diperoleh secara umum kemudian dianalisis secara khusus. Setelah dilakukan penelitian secara komprehensif, ditemukan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak hanya berlaku terhadap pelaku pidana perorangan, tapi dalam UU No. 8 Tahun 2010 juga diatur pertanggungjawaban korporasi. Dalam Pasal 6 UU No. 8 tahun 2010 menyebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap dan/atau Personil Pengendali Korporasi.” Hukum Islam juga mengenal adanya badan hukum atau korporasi, hal ini dibuktikan dengan para fuqaha yang mengenalkan
baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai badan hukum (hay,atu
qa>nu>niyyatun).Badan hukum ini mempunyai hak dan dapat melakukan tindakan hukum tetapi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban karena tidak memiliki pengetahuan dan pilihan. Sehingga apabila badan hukum
melakukan suatu tindak pidana maka yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban adalah pengurus atau pengelola badan hukum tersebut, tetapi ada pula hukuman bagi badan hukum, seperti hukuman pembubaran, penghancuran, penggusuran dan penyitaan. Hanya yang membedakan antara korporasi pada zaman Islam dahulu dengan zaman sekarang adalah adanya sistem registrasi atau bisa dikatakan bahwa jika suatu perkumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisir diakui sebagai badan hukum jika ia mempunyai akte pendirian badan hukum.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, diharapkan kasus–kasus tindak
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 14
C. Rumusan Masalah ... 15
D. Kajian Pustaka... 15
E. Tujuan penelitian ... 17
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 18
G. Definisi Operasional ... 18
H. Metode Penelitian... 20
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM ... 27
A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Islam ... 27
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 27
2. Unsur-unsur Pertanggungjawaban ... 27
3. Tingkatan-tingkatan Pertanggungjawaban ... 36
4. Hapusnya Pertanggungjawaban ... 38
B. Pertanggungjawaban Pidana Pada Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Hukum Pidana Islam... 44
1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 44
2. Sanksi Atas Tindak Pidana Pencucian Uang ... 47
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010 ... 56
A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 56
B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 63
1. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana ... 63
2. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Korporasi ... 68
3. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 86
C. Sanksi Atas Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang... 92
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010 ... 95
A. Analisis Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 8 Tahun 2010 ... 95
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU 8 Tahun 2010 ... 96
A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana pencucian uang atau yang lebih dikenal dengan istilah money laundering merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media massa, oleh sebab itu banyak pengertian yang berkembang sehubungan dengan istilah pencucian uang. Sutan Remi Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh
seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang
diperoleh dari hasil tindak pidana.1 Dalam Black’sLawDictionarykarya Henry Campbell Black (1990), money laundering didefinisikan sebagai berikut:
“Termusedtodescribeinvestmentorothertransferofmoney
flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legal channels so that its original source cannot be
traced.”2
Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah penyetoran atau penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan atau pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui atau dilacak.3
1Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),17.
2Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, (Bandung: BooksTerrace &
Library Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2008),17.
3
2
Istilah pencucian uang atau money laundering dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan laundry. Hal ini dikarenakan pada masa itu kejahatan pencucian uang tersebut dilakukan oleh organisasi kejahatan mafia melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencuci pakaian atau laundry sebagai tempat untuk melakukan pencucian uang hasil kejahatan, dari sanalah muncul istilah money laundering.4
Menurut Aziz Syamsuddin, tindak pidana pencucian uang adalah tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks. Tindak pidana pencucian uang dapat disebut sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.5
Secara umum ada dua alasan pokok yang menyebabkan praktik pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, sebagai berikut:
Pertama, pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Misalnya, dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana
3
yang banyak digunakan untuk kegiatan tidak sah dan menyebabkan pemanfaatan dana yang kurang optimal, sehingga merugikan masyarakat.6
Hal tersebut terjadi karena uang hasil tindak pidana diinvestasikan di negara-negara yang dirasakan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik. Dampak negatifnya
money laundering bukan hanya menghambat pertumbuhan ekonomi dunia saja, tetapi juga menyebabkan kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, fluktuasi yang tajam pada nilai tukar suku bunga dan dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan internasional.7
Kedua, dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan memudahkan penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Misalnya, menyita hasil tindak pidana yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Orientasi
pemberantasantindakpidanasudahberalihdari“menindakpelakunya”ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Pernyataan pencucian uang sebagai
tindak pidana juga merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.8
6
Juni Sjafrien Jahja, MelawanMoney…,12.
4
Tindak pidana pencucian uang ini bukan hanya bisa dilakukan oleh perorangan saja tetapi juga dapat dilakukan oleh korporasi. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia ini, sangat menitikberatkan perkembangan dan pembangunan ekonominya kepada sektor swasta yang didominasi oleh korporasi. Oleh karena itu hubungan antara tindak pidana pencucian uang dengan korporasi ini sangatlah erat. Perkembangan teknologi yang semakin maju pesat juga membawa pengaruh terhadap tindak pidana pencucian uang, salah satunya yang dilakukan oleh korporasi dapat dengan mudah terjadi dan menghasilkan kekayaan dalam jumlah yang sangat besar.
Korporasi bagi orang awam hanya dimengerti sebagai perusahaan saja, tetapi sebetulnya dalam hukum, korporasi mempunyai pengertian yang lebih detail. Kata korporasi menurut Kamus Hukum Fockema
Andreae : “Corporatie: dengan istilah ini kadang-kadang dimaksudkan
suatu badan hukum; sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memerlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum
dianggap sebagai suatu kesatuan...”.9 Korporasi ini dapat berupa bank,
perusahaan efek (dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang di pasar modal), dan sebagainya.
9 N.E Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockma Andreae Belanda – Indonesia (Bandung :
5
Salah satu kasus pencucian uang yang melibatkan korporasi adalah kasus pencucian uang oleh M. Nazarudin.10 KPK mengumumkan bahwa mantan Bendahara Partai Demokrat tersebut ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (money laundering). Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, penetapan tersangka ini merupakan pengembangan penyidikan dari perkara Wisma Atlet, dimana Nazaruddin menjadi terdakwa. Pemilik Permai Grup itu diduga membeli saham di PT Garuda menggunakan dana yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi proyek Wisma Atlet. Untuk itu, KPK menjerat Nazaruddin dengan Pasal 12 huruf a subsidair Pasal 5 dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga Pasal 3 atau Pasal 4 jo Pasal 6 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menariknya, berdasarkan pasal sangkaan yang digunakan, KPK sepertinya juga membidik korporasi milik Nazaruddin. Hal ini merujuk pada rumusan Pasal 6 UU No 8 Tahun 2010 yang khusus mengatur tentang tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi. Dalam persidangan dengan terdakwa Nazaruddin beberapa waktu lalu, terungkap bahwa Permai Grup membeli saham perdana Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar. Hal ini diutarakan oleh Yulianis saat bersaksi. Menurutnya, pembelian saham tersebut menggunakan keuntungan yang diperoleh Grup Permai dari proyek-proyek di
10 Fathan Qorib,”Nazarudin Juga Disangka Mencuci Uang : Hasil korupsi digunakan untuk
6
pemerintah. Menurut Yulianis, uang pembelian saham Garuda diperoleh dari lima anak perusahaan Permai Grup. Yakni, PT Permai Raya Wisata membeli 30 juta lembar saham senilai Rp22,7 miliar, PT Cakrawaja Abadi 50 juta lembar saham senilai Rp37,5 miliar, PT Exartech Technology Utama sebanyak 150 juta lembar saham senilai Rp124,1 miliar, PT Pacific Putra Metropolitan sebanyak 100 juta lembar saham senilai Rp75 miliar, dan PT Darmakusuma sebanyak Rp55 juta lembar saham senilai Rp41 miliar rupiah.
7
Pencucian uang biasanya dilakukan melalui tiga tahap yaitu penempatan (placement), transfer (layering) dan menggunakan harta kekayaan/uang (intergration).11
1. Penempatan (placement)
Yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat, deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan (penyedia jasa keuangan), terutama ke dalam sistem perbankan.12
Menurut Adrian bentuk kegiatan dari placementantara lain: a) Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti
dengan pengajuan kredit atau pembiayaan;
b) Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail;
c) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke negara lain;
d) Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan;
e) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai
11Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme,(Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti,2004),35
8
penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.13
2. Transfer (layering)
Yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada jasa keuangan (termasuk bank) sebagai hasil upaya penempatan
(placement) ke penyedia jasa yang lain. Dengan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.14
Bentuk kegiatan dari layeringadalah:
a) Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau negara;
b) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah;
c) Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun Shell Company.15
3. Menggunakan Harta Kekayaan/Uang (Integration)
Tahap akhir dari proses pencucian uang adalah integration
(dari harta atau uang ilegal) yakni upaya untuk menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati
13
Adrian Sutedi , Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007),24.
14Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang…,35.
15
9
langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah, atau bahkan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.16
Dalam konteks kasus M. Nazaruddin tersebut pencucian uang dilakukan dengan cara menyimpan atau menempatkan uang hasil keuntungan dari beberapa proyek ke sebuah bank ( placement ) dan menggunakannya untuk membeli saham PT. Garuda Indonesia (integration), sehingga tidak semua tahapan pencucian terjadi dalam sebuah kasus.
Menurut Munir Fuady dan Bambang Setijoprodjo, modus operandi kejahatan yang dilakukan oleh Nazaruddin adalah Real Estate, dimana pembelian saham itu hanya di lingkungan perusahaan – perusahaan saja dengan harga penawaran yang lebih tinggi. Nazaruddin melakukan ini untuk menyimpan uangnya ke dalam sistem yang lebih aman dan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.17
Pada umumnya pelaku pencucian uang tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan
16Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana..., 21.
17Siahaan, NHT,Money Laundering, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan,Cet. I,(Jakarta :
10
atau menghilangkan asal usul uang, sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.18
Pencucian uang dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara tekstual dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tetapi al-Qur’an mengungkap prinsip-prinsip umum untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana dalam kasus-kasus yang baru dapat diberikan status hukumnya, pengelompokan jarimahnya, dan sanksi yang akan diberikan. Dalam hal ini Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam perolehan harta benda seseorang. Oleh karena itu dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 188 disebutkan:
َﻻَو
ْﺄَﺗ
آْﻮُﻠُﻛ
اَﻮْﻣَا
ْﻢُﻜَﻟ
ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ
ﺎَﺒْﻟﺎِﺑ
ِﻞِﻃ
ْﺪُﺗَو
اْﻮُﻟ
ﺂَِ
َﱃِا
ِمﺎﱠﻜُْﳊا
ْﺄَﺘِﻟ
اْﻮُﻠُﻛ
ﺎًﻘْـﻳِﺮَﻓ
ْﻦﱢﻣ
ِسﺎﱠﻨﻟ ِﻻاَﻮْﻣَا
ِْﻻﺎِﺑ
ِْﰒ
ْﻢُﺘْـﻧَاَو
َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.(Q.S. al –Baqarah : 188)19
Rasulullah saw. juga telah menyampaikan bahwa nanti akan ada orang–orang yang tidak memperdulikan halal dan haram dari harta mereka. Beliau bersabda:
18
Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), (Jakarta: Pensil-324, Cet.1, 2006), 17.
19Tim Penerjemah Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya : Mekar
11
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ُﺪَْﲪَأ
ُﻦْﺑ
ِﺪْﺒَﻋ
ِﻪﱠﻠﻟا
ِﻦْﺑ
َﺲُﻧﻮُﻳ
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ُﻦْﺑا
ِﰊَأ
ٍﺐْﺋِذ
ْﻦَﻋ
ٍﺪﻴِﻌَﺳ
ﱢيُِﱪْﻘَﻤْﻟا
ْﻦَﻋ
ِﰊَأ
َةَﺮْـﻳَﺮُﻫ
ﱠنَأ
َلﻮُﺳَر
ِﻪﱠﻠﻟا
ﻰﱠﻠَﺻ
ُﻪﱠﻠﻟا
َﻠَﻋ
ِﻪْﻴ
َﻢﱠﻠَﺳَو
َلﺎَﻗ
ﱠَﲔِﺗْﺄَﻴَﻟ
ٌنﺎَﻣَز
َﻻ
ِﱄﺎَﺒُـﻳ
ُءْﺮَﻤْﻟا
ﺎَِﲟ
َﺬَﺧَأ
َلﺎَﻤْﻟا
ٍل َﻼَِﲝ
ْمَأ
ٍماَﺮَِﲝ
“… dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh akan datang suatu zaman dimana seseorang tidak
peduli apakah ia mengambil hartanya dengan cara halal atau haram.”
(HR. ad - Darimi)20
Di dalam al-Qur’an, Allah marah terhadap orang–orang Yahudi karena sifat mereka yang suka memakan harta haram. Allah berfirman dalam surat al-Maidah :
َنْﻮُﻌﱠَﲰ
ْﻠِﻟ
ِبِﺬَﻜ
َنْﻮُﻠّﻛَا
ِﺖْﺤﱡﺴﻠِﻟ
ْنِﺎَﻓ
َكْوُءﺂَﺟ
ْﻢُﻜْﺣﺎَﻓ
ْﻢُﻬَـﻨْـﻴَـﺑ
ْضِﺮْﻋَاْوَا
ْﻢُﻬْـﻨَﻋ
ْنِاَو
ِﺮْﻌُـﺗ
ْض
ْﻢُﻬْـﻨَﻋ
ْﻦَﻠَـﻓ
َكْوﱡﺮُﻀﱠﻳ
ﺎًﺌْﻴَﺷ
ْنِاَو
َﺖْﻤَﻜَﺣ
ْﻢُﻜْﺣﺎَﻓ
َـﻨْـﻴَـﺑ
ْﻢُﻬ
ِﻘْﻟﺎِﺑ
ِﻂْﺴ
ﱠنِا
َﷲا
ﱡﺐُِﳛ
َْﲔِﻄِﺴْﻘُﻤْﻟا
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.
(
Q.S. al - Maidah : 42)21Rasulullah saw. sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membelanjakannya. Dalam hadis Abu Barzah Al Aslami r.a, beliau bersabda :
20Imam Abu Muhammad Attamimi Ad Darimi As Samarqandi,Sunan Ad-Darimi, Takhrij:Syaikh
Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi, (Jakarta:Pustaka Azam,2007), 886
12
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ُﺪْﻴَُﲪ
ُﻦْﺑ
َةَﺪَﻌْﺴَﻣ
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ُْﲔَﺼُﺣ
ُﻦْﺑ
ٍْﲑَُﳕ
ْﻮُـﺑَأ
ٍﻦَﺼِْﳏ
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ُْﲔَﺴُﺣ
ُﻦْﺑ
ٍﺲْﻴَـﻗ
ﱡِﱯَﺣﱠﺮﻟا
ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ﺎَﻄَﻋ
ُء
ُﻦْﺑ
ِْﰊِأ
ٍحﺎَﺑَر
ِﻦَﻋ
ِﻦْﺑا
َﺮَﻤُﻋ
ِﻦَﻋ
ِﻦْﺑا
ٍدْﻮُﻌْﺴَﻣ
ِﻦَﻋ
ﱠِﱯﱠﻨْﻟاا
ﻰﱠﻠَﺻ
ُﻪﱠﻠﻟا
ِﻪْﻴَﻠَﻋ
َﻢﱠﻠَﺳَو
َلﺎَﻗ
:
َﻻ
َـﺗ
ُلْوُﺰ
ُمَﺪَﻗ
ِﻦْﺑا
َمَدآ
َمْﻮَـﻳ
ﺎَﻴِﻘْﻟا
ِﺔَﻣ
ْﻦِﻣ
ِﺪْﻨِﻋ
ِﻪﱢﺑَر
ﱠﱴَﺣ
َلَﺄْﺴُﻳ
ْﻦَﻋ
ٍﺲَْﲬ
:
ْﻦَﻋ
ِﻩِﺮُﻤُﻋ
ﺎَﻤْﻴِﻓ
ﺎَﻨْـﻓَأ
؟ُﻩ
ْﻦَﻋَو
ﺎَﺒَﺳ
ِﻪِﺑ
َﻢْﻴِﻓ
ُﻩَﻼْﺑَأ
؟
ﺎَﻣَو
ِﻪِﻟ
ْﻦِﻣ
َﻦْﻳَأ
َﺘْﻛا
ُﻪَﺒَﺴ
َﻢْﻴِﻓَو
؟ُﻪَﻘَﻔْـﻧَأ
َوﺎَﻣ
اَذ
َﻞِﻤَﻋ
ﺎَﻤْﻴِﻓ
َﻞِﻤَﻋ
؟
“… dariIbnuMas’ud,dariRasulullah,beliaubersabda:“Tidaklah
kedua telapak kaki seorang hamba – melangkah- di sisi Allah pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai lima perkara : tentang umurnya, untuk apa dihabiskan? Masa mudanya, digunakan untuk apa? Hartanya, dari mana ia mendapatkannya? Untuk apa ia membelanjakannya? Dan apa yang telah ia amalkan dari apa yang dia ketahui ketahui (dari ilmunya)?”.(HR.at - Tirmidzi)22
Hadis – hadis di atas memerintahkan kita agar memeriksa setiap rezeki yang telah diperoleh. Kita harus bersiap diri dengan dua pertanyaan, darimana harta itu diperoleh dan kemana dibelanjakan. Oleh karena itu, kita harus mengambil yang halal dan menyingkirkan yang haram. Bahkan harta yang mengandung syubhat, hendaknya juga kita jauhi.
Dalam sebuah hadis dari An Nu’man bin Basyir ra., Rasulullah saw. bersabda:
ِﻦَﻋ
ﺎَﻤْﻌﱡـﻨﻟا
ِن
ِﻦْﺑ
ٍْﲑِﺸَﺑ
َﻲِﺿَر
ُﻪّﻠﻟْا
ﺎَﻤُﻬْـﻨَﻋ
َلﺎَﻗ
:
َلﺎَﻗ
ﱡِﱯﱠﻨﻟا
ﻰَﻠَﺻ
ﻪّﻠﻟا
ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﻴﺳو
:
)
ا
ُلَﻼَﳊ
ٌْﲔَـﺑ
اَﺮَﳊاو
ُم
ٌْﲔَـﺑ
ﺎَﻤُﻬَـﻨْـﻴَـﺑَو
ﻮُﻣُأ
ٌر
ٌﺔَﻬِﺒَﺘْﺸُﻣ
ْﻦَﻤَﻓ
َكَﺮَـﺗ
ﺎَﻣ
َﻪﱢﺒُﺷ
ِﻪْﻴَﻠَﻋ
َﻦِﻣ
ِْﰒِﻹا
ﺎَﻛ
َن
ﺎَﻤِﻟ
ﺎَﺒَﺘﺳْا
َن
َكَﺮْـﺗَأ
ِﻦَﻣَو
َأَﺮَـﺘْﺟْا
ﻰَﻠَﻋ
ﺎَﻣ
ﱡﻚُﺸَﻳ
ِﻪْﻴِﻓ
َﻦِﻣ
ِْﰒِﻹا
َﻚَﺷْوَأ
ْنَأ
اَﻮُـﻳ
َﻊِﻗ
َﻣﺎ
َنﺎَﺒَﺘْﺳا
ﺎَﻌَﳌاَو
ﻲِﺻ
ﻰ ِﲪ
ﻪّﻠﻟا
ْﻦَﻣ
ْﺮَـﻳ
ْﻊَﺗ
َلْﻮُﺣ
َلا
ﻰﻤِْﳊا
ﻮُﻳ
ْﻚِﺷ
ْنَأ
ُﻪَﻌِﻗاَﻮُـﻳ
(
22 Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn al Dhahak al Sulami al Bughi al
13
"Diriwayatkan dari al-Nu’manbinBasyirr.a:Nabisaw. bersabda,“ Halal dan haram adalah perkara yang jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat ( sesuatu yang meragukan, sesuatu yang tidak jelas apakah halal atau haram). Maka siapapun yang meninggalkan syubhat karena khawatir melakukan dosa, ia benar-benar telah menghindari yang haram; dan siapa pun yang berani melakukan syubhat, ia hampir jatuh kepada perkara yang jelas haramnya. Dosa adalah hima (tempat penggembalaan pribadi) milik Allah dan siapa pun yang menggembalakan (domba – dombanya) di dekatnya, pada saat itu ia benar-benar hampir masuk ke dalamnya". (HR Bukhari).23
Rasulullah saw. dan para sahabat telah mencontohkan prinsip penting tersebut secara langsung. Betapa ketatnya mereka dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Mereka selalu memastikan dengan sungguh–sungguh, apakah rezeki yang mereka peroleh itu halal lagi baik ataukah haram.
Hukum Islam sejak kelahirannya telah mengenal badan–badan hukum, dimana badan–badan hukum ini memiliki hak dan dapat melakukan tindakan hukum, tetapi hukum Islam tidak menjadikan badan hukum tersebut sebagai objek pertanggungjawaban pidana karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan keduanya tidak terdapat pada badan – badan hukum tersebut. Badan hukum dapat dijatuhi hukuman bila hukuman tersebut dijatuhkan kepada pengelolanya, seperti pembubaran, penghancuran, penggusuran dan penyitaan.24
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas penulis terdorong untuk menganalisis tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
14
pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010 perspektif hukum pidana Islam.
B. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa pokok yang ingin dikaji adalah :
1. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang ditinjau dari UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
2. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010 ditinjau dari Hukum Pidana Islam 3. Persamaan dan perbedaan antara UU No 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Hukum Pidana Islam tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang .
4. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010 perspektif hukum pidana Islam.
5. Kasus –kasus tindak pidana pencucian uang
6. Pandangan hukum pidana Islam tentang tindak pidana pencucian uang 7. Kejahatan korporasi dan sanksinya sebagaimana diatur dalam UU No
15
Masalah pencucian uang masih memuat masalah yang bersifat umum dan global, sehingga diperlukan suatu pembatasan masalah dalam pembahasannya, dan dalam hal ini pembatasan masalahnya adalah :
1. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar lebih praktis dan opeasional, maka penulis mengambil beberapa rumusan masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010?
2. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.25 Berkaitan dengan tema tindak pidana pencucian uang pernah dibahas oleh Mahasiswa
25 Tim Penyususn Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi,
16
FakultasSyariahyangbernamaMochammadFadhAkbardenganjudul“
Perspektif Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Kejahatan Layering
(Heavy Soaping) Dalam Bentuk Funds Wire Menurut Pasal 3 Ayat (1)
HurufbUUNo25Tahun2003TentangTindakPidanaPencucianUang”
pada tahun 2012. Adapun hasil temuan dari skripsi Mochammad Fadh Akbar tersebut adalah kejahatan layering ( heavy soaping ) dalam bentuk
17
kejahatan ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’andanal-Hadis . Ta’zir yang dijauhkan adalah ta’zir atas kemaslahatan umum (masalahah al mursalah), karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan (jarimah) yang tidak diatur bentuk dan jumlahnya oleh syara’ dan nyata – nyata menganggu kemaslahatan umum. Mengenai hukuman yang dikenakan kepada pelaku kejahatan layering (heavy soaping)dalam bentuk fund wire, ini dikenakan hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan yaitu berupa hukuman penjara yang dibatasi waktunya
Berdasarkan penelitian di atas, tindak pidana pencucian uang selama ini belum ada yang membahas jika kejahatan ini dilakukan oleh sebuah korporasi dan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporsi atas kejahatan tersebut. Oleh karenanya penulis terdorong untuk untuk meneliti tentang Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang menurut UU No 8 Tahun 2010 dan Hukum Pidana Islam melalui pemaparan dan pembahasan dalam skripsi ini.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan pertanyaan – pertanyaan di atas yaitu :
1. Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010
18
F. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek: 1. Aspek kelimuan, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun2010 perspektif hukum pidana Islam.
2. Aspek terapan praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dan dapat bermanfaat khususnya bagi penegak hukum di Indonesia
b. Untuk menambah kesadaran mayarakat tentang penegakan sanksi hukum tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi, terutama bagi yang beragama Islam.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan penyuluhan hukum kepada masyarakat.
G. Definisi Operasional
1. Hukum pidana Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman baik yang telah diatur oleh nass maupun yang belum diatur oleh nass.26 Hukum pidana Islam juga bisa diartikan sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan
19
hukumannya (uqubah) yang diambil dari dalil-dalil terperinci.27 Dari definisi diatas yang dimaksud hukum pidana Islam dalam tulisan ini
adalah ketentuan hukum syara’ dalam kitab fiqh yang membahas
tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang, yang diambil dari al-Qur’an,hadis,dankitab-kitab fiqh.
2. Pertanggungjawaban : keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat dari sikap sendiri atau pihak lain.28 Pertanggungjawaban dalam tulisan ini yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh korporasi atas tindakannya yang melakukan tindak pidana pencucian uang.
3. Korporasi : perseroan yang merupakan badan hukum yang diartikan sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti orang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban-kewajiban; memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan.29 Korporasi dalam tulisan ini adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum (mempunyai akte pendirian) maupun bukan badan hukum, memiliki pimpinan serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama korporasi tersebut.
27Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),ix
28
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,2007),1139
29Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti
20
4. Pencucian uang : tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks.30Pencucian uang dalam tulisan ini berarti suatu upaya atau perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang telah himpun melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
5. UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah undang–undang yang mengatur larangan korporasi untuk melakukan pencucian uang.
H. Metode Penelitian
1. Data Yang Dikumpulkan
Merujuk pada uraian latar belakang dan rumusan yang diambil, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian pustaka (library research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.31 Oleh karena itu, untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian ini, data – data penelitian yang perlu dikumpulkan adalah :
30
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana…,19.
31
21
Data yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dan sanksi atas korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang, baik menurut UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan hukum pidana Islam, yang meliputi : a. Pengertian pertanggungjawaban
b. Bentuk atau sistem pertanggungjawaban korporasi
c. Sanksi atas korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang.
2. Sumber data
Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan akan akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas dan kualitas data. Oleh sebab itu, sumber data yang menjadi obyek ini adalah :
a. Sumber Primer
Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti.32 Data primer yang dibutuhkan adalah :
32
22
1) Undang – Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Sumber Sekunder yaitu data yang mendukung atau data tambahan bagi data primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian.33 Sumber data sekunder berupa kitab – kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi, misalnya :
1) Hukum Pidana Islam karya Ahmad Mawardi Muslich, tahun 2006.
2) Kaidah Fiqh Jinayah (Asas– Asas Hukum Pidana Islam ) karya Jaih Mubarok dkk, tahun 2004.
3) Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme karya Sutan Remy Sjahdeini, tahun 2007.
4) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi karya Muladi & Dwidja Priyatno, tahun 2010.
5) Ensiklopedi Hukum Pidana Islam karya Tim Tsalisah, t.t. 6) At-Tasyri’ al Jina’i al-Islami, Juz 1 karya ‘Abd al-Qadir
‘Audah, 1992.
7) Sumber – sumber lain dari literatur yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
33
23
Karena kategori penelitian ini adalah literatur, maka teknik pengumpulan datanya diselaraskan dengan sifat penelitian. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah menghimpun data–data yang menjadi kebutuhan penelitian dari berbagai dokumen yang ada baik berupa buku, artikel, koran dan lainnya sebagai data penelitian.34 Sehingga teknik inilah yang penulis gunakan untuk melengkapi yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
4. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data merupakan teknik analisis data yang secara nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunannya. Masing – masing teknik analisis data diuraikan pengertiannya dan dijelaskan penggunannya untuk menganalisis data yang mana.35
Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik deskriptif. Teknik deskriptif yaitu suatu teknik yang dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta –fakta sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.36 Dalam hal
34
Lexy J Moleong, Metodeologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2009),217
35
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis …,9
36
24
ini akan mendeskripsikan tentang pengertian pertanggungjawaban, bentuk-bentuk pertanggungjawaban serta sanksi yang akan diterapkan pada korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang, baik menurut UU No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan hukum Pidana Islam.
Sedangkan metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam skripsi ini menggunakan metode deduktif,37 yaitu data – data yang diperoleh secara umum yang kemudian dianalisis untuk disimpulkan secara khusus yakni terkait gambaran umum pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010 dalam perspektif hukum pidana Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini, dijelaskan dalam lima bab, yaitu : Bab Pertama : pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang
menjelaskan gambaran umum yang memuat pola dasar pemulisan skripsi ini, yaitu meliputi latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
37
Aina Sitianingsih, Deduktif dan Induktif dalam
25
Bab Kedua : pada bab ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam. Sub bab pertama tentang pertangunggjawaban pidana menurut hukum pidana Islam, yang terdiri dari pengertian, unsur, tingkatan dan hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam. Sub bab kedua tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam, yang terdiri dari pengertian dan sanksi tindak pidana pencucian uang.
Bab Ketiga : pada bab ini membahas tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No. 8 Tahun 2010. Sub bab pertama tentang pengertian pencucian uang. Sub bab kedua tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, yang terdiri dari korporasi sebagai subjek tindak pidana, unsur – unsur pertanggungjawaban korporasi, dan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Sub bab ketiga tentang sanksi atas korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang.
26
tindak pidana pencucian uang menurut UU No 8 Tahun 2010. Sub bab pertama tentang analisis pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No. 8 Tahun 2010. Sub bab kedua tentang analisis hukum pidana Islam terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut UU No. 8 Tahun 2010.
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM
A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana
Islam
Hukum Islam menjelaskan, pertanggungjawaban pidana berarti
manusia harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatan haram
yang dilakukannya ketika ia memiliki kebebasan berkehendak (tidak
dipaksa) dan mengetahui arti serta akibat perbuatan tersebut.1
Ahmad Hanafi dalam bukunya Asas–asas Hukum Pidana Islam
menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam
ialah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau
tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri,
dimana ia mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Dari kedua pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah bertanggungjawabnya
seseorang atas perbuatan yang ia lakukan, dimana ia tidak dipaksa
serta mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya.
2. Unsur – unsur Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana Islam
28
Berdasarkan defenisi pertanggungjawaban pidana di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dalam
hukum Islam terdiri atas: manusia, perbuatan, pilihan dan pengetahuan,
serta akibat yang timbul (korban). Adapun dalam hukum Islam
pertanggungjawaban pidana ditegakkan di atas tiga hal2:
a. Adanya perbuatan dilarang;
b. Dikerjakan dengan kemauannya sendiri;
c. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Jika ketiga dasar ini ada, pertanggungjawaban pidana juga ada.
Adapun jika ada satu diantaranya tidak ada, pelaku tidak dijatuhi
hukuman atas perbuatannya. Tidak adanya penjatuhan hukuman dalam
segala keadaan tidak dikarenakan oleh satu sebab itu saja. Apabila
suatu perbuatan tidak dilarang, tidak ada pertanggungjawaban pidana
secara mutlak karena perbuatan tersebut tidak dilarang.
Pertanggungjawaban pidana sebenarnya tidak ada, kecuali setelah
pelaku melakukan perbuatan yang dilarang. Jika suatu perbuatan
dilarang, tetapi pelakunya tidak mempunyai pengetahuan dan pilihan,
pertanggungjawaban pidana ada, tetapi pelaku terhapus dari
penjatuhan hukuman karena tidak adanya dua hal tersebut.3
Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan
yang kita kenal dengan asas legalitas. Dalam hukum pidana Islam asas
legalitas dapat kita ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam , yaitu :
29
ﺒ
ﺚوﺜو
ﺌ ﺒ
ل
ﺎ ﻷ
“ Tidak ada hukum bagi perbuatan manusia sebelum adanya aturan”
4
Kaidah di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan orang
yang cakap (mukallaf) tidak dapat disebut terlarang (haram) dan tidak
harus dikenai hukuman sebelum adanya nash yang menerangkan
keharamannya sehingga ia bisa melakukan apapun baik melakukan
atau meninggalkan suatu perbuatan sampai adanya nash yang
melarangnya.
ﻷﺒ
ﻷﺒ
ﺔ ﺎ ﻹﺒ
ل
ﺎ ﻷﺒو
ﺌ
ﺎ
“Hukum asal sesuatu dan perbuatan itu boleh” 5
ﱘ
ﺮ ﺒ
ﻰ
ﺪ ﺒ
مﻮ
ﺔ ﺎ ﻹﺒ
ﺌﺎ ﻷﺒ
ﻷﺒ
“Hukum asal sesuatu itu adalah boleh sampai datang petunjuk yang melarangnya” 6
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan
perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan
oleh kebolehan oleh syara’. Dengan demikian selama tidak ada nash
yang melarangnya tidak ada tuntunan terhadap semua perbuatan dan
sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain
yang berbunyi :
4 Abdul Qadir Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut : Dar al Kitab,1992),115. 5Jaih Mubarok dan Enceng arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana
Islam,(Bandung:Pustaka Bani Quraisy,2004),45.
6Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah,(Jakarta :
30
ﻮ
أ
ﺒ
ﺚ
ﻬ
ﻰ
ﺒﺜ
ﺚ
ﺎ
نﺎ
ﺐ
ﺎ ﺮ
ﺎ ﺒ
ﻰ
ﺎ
م
ﻮ
ﺜوﺪ
ﺐ
ﺎ ﺮ
“Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil – dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut.” 7
Kaidah ini menyatakan tentang syarat–syarat yang harus
terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang
bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun
untuk syarat pada pelaku mukallaf itu ada dua macam : pertama,
pelaku sanggup memahami nash–nash syara’ yang berisi hukum
taklifi; kedua, pelaku orang yang pantas untuk dimintai
pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman.
Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga
macam : pertama, perbuatan itu mungkin dikerjakan; kedua, perbuatan
itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan
mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya;
ketiga, perbuatan tersebut diketahui mukallaf dengan sempurna.8
Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut di atas
bersumberkan dari al–Qur’an. Beberapa diantaranya dapat kita
temukan pada surat al-Isra’ ayat 15, surat al-Qashas ayat 59 dan surat
al–Baqarah ayat 286.
31
Surat al–Isra’ ayat 159 :
ﺴﺪﺴﺸﺒ
ِ ﺴ
ِ ِ ﺸﺴـِ
ﺸيِﺪﺴﺸﻬﺴـ
ﺎﺴﳕِﺎﺴ
ى
ﺸ ﺴﺴو
ﺴ
ﺎﺴﻬﺸـﺴﺴ
ِ ﺴ
ﺎﺴﳕِﺎﺴ
ﺴ ﺴو
ﺒﺴوُﺜِﺰﺴ
ىﺮﺸﺧُﺒﺴﺜﺸزﱢوﺲةﺴﺜِز
ﺴو
ً ﺸﻮُ ﺴﺜ
ﺴ ﺴﺸـﺴـ
ﺷ ﺴ
ﺴﺸﲔِﱢﺬﺴُ
ﺎ ُ
ﺎﺴ
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.”(Q.S. al–Isra’ : 15)
Surat al- Qashas ayat 5910 :
ﺴﺜ
ﺴنﺎﺴ
ﺎﺴﺴو
ﺴ ِﺸﻬُ
ﺴ
ﺎﺴِ ﺒ
ﺸ ِﻬﺸﺴﺴ
ﺒﺸﻮُﺸــً
ﺸﻮُ ﺴﺜ
ﺎﺴﻬﱢُﺒ
ﺸ ِ
ﺴ ﺴﺸـﺴـ
ﺴ
ىﺮُﺸﺒ
ﺎ ُ
ﺎﺴﺴو
ﺴنﺸﻮُِﺴ
ﺎﺴﻬُﺸﺴﺒﺴو
ِﺒ
ىﺴﺮُﺸﺒ
ﻰِ ِﺸﻬُ
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”.(Q.S. al–Qashas : 59)
Tentang kemampuan bertanggungjawab :
Surat al-Baqarah 28611 :
ﺎﺴﻬﺴﺸ ُو ِﺒ
ﺎً ﺸﺴـ
ُﷲﺒ
ُ ﱢﺴ ُﺴ
...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Hukum Islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus memiliki
pengetahuan dan pilihan. Maka dari itu dalam Islam ada dua objek
pertanggungjawaban pidana yaitu manusia dan badan hukum.
9
Tim Penerjemah Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. (Surabaya : Mekar Surabaya, 2004),386.
32
Pertama : Manusia. Manusia yang menjadi objek
pertanggungjawaban pidana adalah yang masih hidup, sedangkan yang
sudah mati tidak mungkin menjadi objek karena dua syarat tersebut
tidak lagi terdapat pada dirinya. Lebih dari itu, kaidah hukum Islam
menetapkan bahwa kematian menggugurkan pembebanan hukum.
Manusia yang dibebani tanggung jawab pidana dan yang memenuhi
dua syarat tersebut adalah orang yang berakal, balig dan memiliki
kebebasan berkehendak. Hal ini sesuai dengan hadis, Rasulullah saw.:
ُ
ُ ﺸﺒ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ﺴةﺴﺚﺎﺴُ
ُ ﺸ
ُﺘﺸوﺴﺜ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ﺳﺜﺎ ﺴ
ُ ﺸ
ُﺪ ﺴُ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ﺴﺪِﺰﺴ
ُ ﺸ
ُ ِ ﺎﺴﺸﺒ
ﺎﺴﺴﺄﺴﺸـﺴأ
ﺳﺸﺴﺮ
ﺳ ِﺎﺴ
ِﰊﺴأ
ِ ﺸ
ﱢ ِﺴ
ﺸ ﺴ
ﺸ ﺴ
ُ ﺴﺴﺸﺒ
ُﺴﺸﺮُـ
ﺴلﺎﺴ
ﺴ ﺴ ﺴو
ِﺸﺴﺴ
ُ ﺒ
ﻰ ﺴ
ِ ﺒ
ﺴلﻮُ ﺴﺜ
نﺴأ
ِِﺎ ﺒ
ﺸ ﺴ ﺴو
ِنﻮُﺸ ﺴﺸﺒ
ﺸ ﺴ ﺴو
ِﲑِ ﺒ
“…dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pena diangkat dari (tiga) golongan; anak kecil, orang gila dan orang tidur."“12
ﺳﺮﺸ ﺴ
ﻮُﺴأ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ﺳﺪﺸﺴﻮُ
ُ ﺸ
ُبﻮﺴأ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ِﰊﺎﺴﺸﺮِﺸﺒ
ﺴ ُ ﻮُ
ِ ﺸ
ِﺪ ﺴُ
ُ ﺸ
ُ ِﺒﺴﺮﺸـِﺐ
ﺎﺴﺴـﺪﺴ
ِﺴﺬُﺸﺒ
ﺴ ﺴ ﺴو
ِﺸﺴﺴ
ُ ﺒ
ﻰ ﺴ
ِ ﺒ
ُلﻮُ ﺴﺜ
ﺴلﺎﺴ
ﱢيِﺜﺎﺴِﺸﺒ
ﱟﺜﺴﺛ
ِﰊﺴأ
ﺸ ﺴ
ﺳ ﺴ ﺸﻮﺴ
ِ ﺸ
ِﺮﺸﻬﺴ
ﺸ ﺴ
ِﺸﺴﺴ
ﺒﻮُِﺮﺸ ُﺸ ﺒ
ﺎﺴﺴو
ﺴنﺎﺴﺸ ﱢ ﺒﺴو
ﺴﺄﺴ ﺴﺸ ﺒ
ِ ُأ
ﺸ ﺴ
ﺴزﺴوﺎﺴﺴﲡ
ﺴ ﺒ
نِﺐ
“…dari Abu Dzar Al Ghifari ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya."”13
Surat an–Nahl ayat 10614 :
12Muhammad bin Yazid bin Majah al Qazwini. Shahih Sunan Ibnu Majah , Takhrij :Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Buku 2, (Jakarta:Pustaka Azam,2007) ,569.
13
Ibid.
33
ﺸ ﺴ
ِﺒ
ِِ
ﺎﺴﺸِﺒ
ِﺪﺸﺴـ
ﺸ ِ
ِﷲﺒﺎِﺴﺮﺴﺴ
ﺸ ﺴ
ﺎِ
ﺴﺘﺴﺮﺴ
ﺸ
ﺸ ِ ﺴو
ِن
ﺎﺴﺸِﺸﺎِ
ﱞ ِﺴﺸ ُ
ُُﺸﺴـﺴو
ﺴِﺮﺸُﺒ
ﺲ ﺸِ ﺴ
ﺲب
ﺒﺴﺬﺴ
ﺸُﺴﺴو
ِﷲﺎﺴﱢ
ﺲ ﺴ ﺴ
ﺸ ِﻬﺸﺴﺴﺴـ
ﺒًﺜ
ﺸﺪﺴ
ِﺮﺸُ ﺸ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.(Q.S. an-Nahl : 106)
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebuah kaidah
berkenaan dengan dasar pertanggungjawaban pidana, yaitu :
بﺎ
ﺒﺜﺎ
وأ
ﺎ ﺜﺪ
15
“Barangsiapa yang melakukan (perbuatan jarimah) karena ketidaktahuan atau keterpaksaan maka tidak ada hukuman baginya.”
Kedua adalah badan-badan hukum. Sejak semula syariat Islam sudah
mengenal badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha
mengenal baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai badan hukum (
ُﺔﺴﺸﺴ
ﺲﺔِﻮُﺎﺴ
) hay,atu qa>nu>niyyatun. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa parafuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) demikian juga
dengan sekolah dan rumah sakit.16
Institusi baitul mal didirikan pertama kali setelah turun firman Allah
swt. surat al-Anfaal mengenai perselisihan para shahabat tentang
pembagian ghanimah (rampasan perang) Badar. Surat al-Anfaal ayat 1:
34
ِلﺎﺴﺸـﺴﻷﺸﺒ
ِ ﺴ
ﺴ ﺴﻮُﺴﺄﺸ ﺴ
ِلﻮُﺮﺒﺴو
ِﷲ ِ
ُلﺎﺴﺸـﺴﻷﺸﺒ
ُِ
ﺸ ُ ِﺸﺴـ
ﺴتﺒﺴﺛ
ﺒﻮُ ِﺸ ﺴأﺴو
ﺴﷲﺒ
ﺒﻮُـ ﺎﺴ
ﺴﲔِِﺸﺆُ
ﺸُﺸُ
ﺸنِﺐ
ُﺴﻮُ ﺴﺜﺴو
ﺴﷲﺒ
ﺒﻮُ ِﺴأﺴو
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."”(Q.S al-Anfaal :1)17
Hanya saja, pada zaman Nabi Muhammad saw, baitul mal belum
memiliki kantor khusus yang difungsikan untuk mengatur lalu lintas
harta. Sebab, pada saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak, dan
biasanya langsung habis didistribuskan untuk kepentingan kaum Muslim.18
Pada zaman kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliaulah orang
pertama yang membangun baitul mal. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Sahl
bin Abi Khaitsamah dan yang lainnya, bahwa di sebuah tempat yang tidak
dijaga siapa pun dikatakan kepadanya: Apakah tidak kau ditempatkan
seseorang untuk menjaganya? Dia berkata,”Bukankah ada gemboknya?”
Dia itu membagikan apa yang ada di Baitul Mal itu hingga kosong.
Tatkala dia pindah ke Madinah, dia memindahkan Baitul Mal ke
rumahnya. Harta kaum muslimin disimpan di dalam Baitul Mal itu.19
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh ad-Darimi, disebutkan bahwa sisa
harta waris dari anak zina yang meninggal diserahkan ke baitul mal.
17
Tim Penerjemah Departemen Agama RI, al-Quran dan …,239
18
Syamsuddin Ramadhan, ”BaitulMal”, https://syamsuddinramadhan. wordpress.com/2008/05/ 25/baitul-mal/ “diakses” pada tanggal 1 Juli 2015
19
35
ﺒ
ﺴلﻮُ ﺴﺜ
ُ ﺸ ِﺴﲰ
ﺴلﺎﺴ
ﺳﲑِﺴ
ِ ﺸ
ِنﺎﺴﺸـ ﺒ
ﺸ ﺴ
ﺳكﺎﺴِﲰ
ﺸ ﺴ
ُﺔﺴﺸُ
ﺎﺴﺴﺮﺴـﺸﺧﺴأ
ﺴﺮﺴُ
ُ ﺸ
ُنﺎﺴﺸُ
ﺎﺴﺴﺮﺴـﺸﺧﺴأ
ِ
ﺴأ
ﺴﺜﺎ ﺒ
ﺸ ُ ُﺸﺜﺴﺬﺸﺴأ
ﺴلﺎﺴﺴـ
ُ ُ ﺸﺴ
ﺴ ﺴ ﺴو
ِﺸﺴﺴ
ُ ﺒ
ﻰ ﺴ
ﺎﺴُﻮُﺴـ
ﺴلﺒﺴز
ﺎﺴﺴ
ﺴﺜﺎ ﺒ
ﺸ ُ ُﺸﺜﺴﺬﺸﺴأ
ﺴﺜﺎ ﺒ
ﺸ ُ ُﺸﺜﺴﺬﺸ
ِﺸﺴﺸِﺜ
ﺴﺪﺸِ
ِﺸﺴﺴ
ﺸ ﺴﺎﺴ
ﺲﺔﺴ ِﺴﲬ
ﺸ ﺴ ﺴﺴ
ﺴ
ِقﻮ ﺒ
ُ ﺸﺴأ
ُﺴ ِ ﺴ ﺴ
ﺒﺴﺬﺴ
ِﺎﺴﺴ
ِ
ﺴنﺎﺴ
ﺸﻮﺴ
ﺴ
“…dari Sa'id dari Az Zuhri ia ditanya tentang anak zina yang meninggal, ia menjawab; Jika ia adalah anak Arab maka ibunya mendapat sepertiga harta warisan, sedangkan sisanya diserahkan ke Baitul Mal. Jika ia adalah anak budak maka ibunya mendapat sepertiga harta warisan, sedangkan sisa harta tersebut diberikan kepada majikannya yang telah memerdekakan ibunya. Marwan berkata; Aku telah mendengar Malik berpendapat seperti itu”.(HR. ad-Darimi)20Dalam hukum Islam badan-badan hukum ini memiliki hak dan
melakukan tindakan hukum, tetapi hukum Islam tidak menjadikan badan
hukum tersebut sebagai objek pertanggungjawaban pidana karena
pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan dan pilihan,
sedangkan keduanya tidak terdapat pada badan-badan hukum tersebut.
Akan tetapi, kalau terjadi perbuatan–perbuatan yang dilarang dan yang
keluar dari orang–orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut,
maka orang–orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Badan hukum dapat dijatuhi hukuman bila hukuman tersebut dijatuhkan
kepada pengelolanya, seperti hukuman pembubaran, penghancuran,
penggusuran dan penyitaan. Demikian pula aktivitas badan hukum yang
dapat membahayakan dapat dibatasi demi melindungi keamanan dan
ketentraman masyarakat.21
20
Imam Abu Muhammad Attamimi Ad Darimi As Samarqandi,Sunan Ad-Darimi, Takhrij:Syaikh Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi, (Jakarta:Pustaka Azam,2007), 985
36
Hukum Islam dalam teori dan penerapannya sangat sederhana.
Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam dekat
sekali dengan doktrin strict liability atau liability without fault
(pertanggungjawaban tanpa kesalahan). Dengan kata lain hukum Islam
tidak mementingkan faktor kesalahan baik berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan / kelalaian (culpa) dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah
yang digunakan dalam bahasa Indonesia adalah pertanggungjawaban
mutlak.22
3. Tingkatan – tingkatan Pertanggungjawaban
Telah diketahui bahwa pelanggaran (melawan hukum)
adakalanya disengaja dan tidak disengaja (tersalah). Perbuatan
melawan hukum terbagi menjadi disengaja dan tidak disengaja,
masing-masing terbagi dua berdasarkan tingkat ukurannya. Perbuatan
disengaja terbagi menjadi “disengaja” dan “mirip disengaja”,
sedangkan perbuatan tersalah terbagi menjadi “tersalah” dan
“perbuatan yang dianggap tersalah”. Selanjutnya, perbuatan melawan
hukum terbagi menjadi empat sehingga pertanggungjawaban pidana
juga terbagi menjadi empat yaitu23:
a) Disengaja; arti umum “disengaja” adalah si pelaku berniat
melakukan suatu perbuatan yang dilarang tersebut. Kemaksiatan
yang disengaja adalah perbuatan melawan hukum yang paling
22 Sutan Remy Syahdeini,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta, Grafiti Press,
2006),27.
37
berat dan hukum Islam menjatuhkan hukuman
(pertanggungjawaban pidana) yang paling berat atasnya.
b) Menyerupai disengaja; hukum Islam tidak mengenal istilah “mirip
disengaja” kecuali pada kasus pembunuhan dan tindak pidana
penganiayaan fisik yang tidak sampai menyebabkan kematian.
Pengertian “tindak pidana yang mirip disengaja” dalam kasus
pembunuhan/penganiayaan yaitu melakukan suatu perbuatan yang
dapat menghilangkan nyawa dan pelaku hanya bermaksud
menyerang, tanpa berniat membunuh/menganiayanya. Akan tetapi,
perbuatannya itu mengakibatkan kematian.
c) Tersalah (tidak disengaja); kemaksiatan tersalah adalah jika si
pelaku melakukan perbuatan tanpa bermaksud memperbuat
kemaksiatan, namun ia tersalah.
d) Yang dianggap tersalah; kemaksiatan yang dianggap tersalah
terdapat pada dua keadaan. Pertama, pelaku tidak bermaksud
melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu terjadi akibat
kelalaiannya. Kedua, si pelaku menjadi penyebab tidak langsung
terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud
melakukannya. Dalam konteks ini, kemaksiatan tersalah lebih
besar daripada kemaksiatan yang dianggap tersalah karena pelaku
kemaksiatan tersalah melakukan perbuatan dengan sengaja
sehingga menimbulkan akibat yang dilarang karena kelalaian dan
38
si pelaku tidak menyengaja perbuatan itu, namun perbuatan itu
terjadi akibat kelalaiaannya dan disebabkan olehnya.
4. Hapusnya Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban pidana dapat terhapuskan karena sebab
yang berkaitan dengan perbuatan yakni perbuatan yang dilakukan
adalah perbuatan yang mubah (tidak dilarang), atau yang berkaitan
dengan keadaan diri pelaku yakni perbuatan tersebut tetap dilarang,
tetapi pelaku tidak dijatuhi hukuman ketika melakukannya. Berikut
empat kondisi atau sebab dihapuskannya hukuman, yaitu24:
a) Paksaan (daya paksa/Ikrah) : perbuatan yang diperbuat oleh
seseorang karena (pengaruh) orang lain. Karena itu, hilang
kereelaannya dan merusak (tidak sempurna) pilihannya. Atau suatu
perbuatan yang timbul/keluar dari pemaksa dan menimbulkan pada
diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya
untuk mengerjakan perbuatan yang dituntut (oleh pemaksa)
darinya.
Paksaan dibagi menjadi dua macam yaitu: yang pertama adalah
paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak
pilihan/Ikhtiyar (orang yang dipaksa). Paksaan jenis ini
dikhawatirkan akan menghabiskan nyawa orang yang dipaksa.
Paksaan jenis ini dinamakan “paksaan absolute”. Dan yang kedua
adalah paksaan yang menghilangkan kerelaan, tetapi tidak sampai
39
merusak pilihan (orang yang dipaksa). Dalam paksaan ini biasanya
tidak dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya nyawa, seperti
ancaman dipenjarakan atau diikat untuk waktu yang singkat atau
dipukul dengan pukulan yang tidak dikhawatirkan dapat merusak
(pukulan-pukulan ringan). Paksaan jenis ini dinamakan paksaan
relatif atau paksaan tidak berat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal paksaan
adalah: Ancaman bersifat mulji’ yakni yang akan mengakibatkan
bahaya yang besar (ancaman yang menyangkut keselamatan jiwa
atau anggota badan) sehingga dapat menghapuskan kerelaan,
seperti pembunuhan, pukulan yang keras, pengikatan dan
penahanaan dalam waktu yang lama. Ancaman harus berupa
perbuatan yang dilarang, yakni yang tidak disyariatkan. Ancaman
harus seketika (mesti hampir terjadi saat itu juga) yang
dikhawatirkan akan dilakukan jika orang yang dipaksa tidak
melaksanakan perintah pemaksa. Orang yang memaksa
(mengancam) harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan
ancamannya sebab paksaan tidak akan terlaksana kecuali dengan
adanya kemampuan. Orang yang menghadapi ancaman (dipaksa)
harus meyakini bahwa ancaman yang diterimanya benar-benar
akan dilaksanakan oleh orang yang memaksanya apabila kehendak
40
b) Mabuk adalah : hilangnya akal pikiran karena mengkonsumsi
khamr atau yang sejenisnya atau keadaan seseorang yang
perkataannya banyak tidak keruan. Pendapat yang kuat dalam
mazhab yang empat menetapkan bahwa orang yang mabuk tidak
dijatuhi hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya apabila ia
meminumnya karena dipaksa (terpaksa) atau meminumnya karena
kehendak sendiri, tetapi ia tidak tahu bahwa minuman itu
memabukkan, atau ia meminum obat untuk mengobati dirinya
kemudian membuatnya mabuk dan melakukan tindak pidana. Hal
ini karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan hilang
pikirannya sehingga ia dihukumi seperti orang gila atau orang yang
tidur atau yang seumpamanya.
c) Gila adalah hilangnya akal, rusaknya akal, atau lemahnya akal.
Berikut macam-macam gila25:
i. Gila yang terus-menerus (Junun Mutbaq) yaitu suatu keadaan
pada diri seseorang dimana ia tidak dapat berpikir sama sekali
atau gila secara menyeluruh dan terus-menerus, baik itu bawaan
yang diderita sejak lahir maupun bukan. Orang yang menderita
Junun Mutbaq tidak bertanggungjawab secara pidana karena
gilanya terjadi secara sempurna dan terus-menerus.
ii. Gila yang berselang/kambuhan (Mutaqatti’) yaitu keadaan orang
yang tidak dapat berpikir sama sekali, tetapi gilanya tidak terus
25
41
menerus. Terkadang ia kambuhdan terkadang ia sembuh. Jika
sedang kambuh akalnya akan hilang secara sempurna, namun
jika telah sembuh, akalnya kembali normal. Orang yang
menderita gila kambuhan tidak bertanggung jawab secara pidana
ketika gilanya sedang kambuh, sedangkan jika akalnya sudah
kembali normal, ia tetap akan dikenai tanggung jawab pidana
atas tindak pidana yang dilakukannya.
iii. Gila sebagian yaitu gila yang tidak secara keseluruhan atau gila
(tidak dapat berpikir) yang hanya sebatas pada satu