• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUH MANUSIA DALAM AL QUR'AN DAN SAINS : STUDI KORELATIF FENOMENA RUH MANUSIA MENURUT PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN TANTAWI JAUHARI DENGAN SAINS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RUH MANUSIA DALAM AL QUR'AN DAN SAINS : STUDI KORELATIF FENOMENA RUH MANUSIA MENURUT PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN TANTAWI JAUHARI DENGAN SAINS."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh :

AHMAD DANI EL RASYAD NIM: E33212075

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Ahmad Dani El Rasyad. E33212075. Ruh Manusia Dalam Al-Qur’an dan Sains

(Studi Korelatif Fenomena Ruh Manusia Menurut Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dengan Sains)

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang korelasi

penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dalam menafsirkan ayat-ayat

tentang ruh dengan teori-teori sains yang telah berkembang saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena ruh manusia dalam tinjauan

ulama’ mufassirin dan juga penelitian serta temuan para ilmuwan sains.

Penelitian ini menggunanakan kaidah tafsir, kebahasaan serta

menggunakan sains sebagai pembuktian keilmiahan. Yakni memaparkan tentang penafsiran-penafsiran ayat mengenai ruh, lalu dikorelasikan dengan teori sains. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan

(library research) dengan menggunakan Diskritif-Kualitatif yaitu

menggambarkan atau menjelaskan teori dan kaidah yang digunakan untuk menafsirkan secara ilmiah.

Data yang ditemukan bahwa maksud dari

حور

(ruh) adalah suatu barang

non material yang terdapat pada tubuh manusia dan diselipkan ke dalam tubuh manusia agar menjadikan manusia tersebut hidup. Bahkan manusia bisa dikatakan manusia adalah karena ruh tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C.Rumusan Masalah ... 9

D.Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Telaah Pustaka ... 11

G.Metodologi Penelitian ... 12

1. Model Penelitian ... 12

2. Jenis Penelitian ... 12

(8)

4. Teknik Analisis Data ... 13

5. Sumber Data ... 13

H.Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II TAFSIR ‘ILMI DAN SAINS

A. Tafsir ‘Ilmi ... 16

B.Sains ... 31

C.Islam dan Sains ... 33

BAB III PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN THANTHAWI

AL-JAUHARI TENTANG AYAT-AYAT RUH SERTA PENELITIAN

DAN TEORI SAINS

A.Ruh Manusia ... 42

B.Penafsiran M. Quraish Shihab dan Thanthawi al-Jauhari ... 67

C.Ruh dalam Dunia Sains ... 79

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AYAT RUH DAN PENELITIAN SAINS

A.Analisa Penafsiran pada Ayat tentang Ruh Manusia ... 86

B. Analisa Penelitian dan Pendapat Ilmuwan tentang Ruh Manusia 90

C.Analisa Korelatif ... 93

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 95

B.Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA

(9)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seluruh alam semesta dan isinya merupakan ciptaan Allah SWT yang

bersifat baru dan juga tidak kekal. Sedangkan alam lain yang diciptakan Allah

adalah alam akhirat yang berada di luar alam semesta yang baru namun bersifat

kekal. Semua yang ada adalah makhluk (ciptaan) baik dari golongan barang nyata

dan barang ghoib. Namun, Allah SWT yang bersifat ghaib bukanlah ciptaan,

karena keberadaan Allah bukanlah karena diciptakan namun karena adanya zat itu

sendiri.1

Di antara alam semesta ini, salah satu ciptaan Allah yang berpenghuni

adalah bumi. Bumi merupakan planet yang subur dan penuh dengan kehidupan,

sehingga Allah mengirimkan makhluk yang telah ditakdirkan untuk menjadi

Khalifah di bumi agar dapat mengolah dan menempati bumi sebagaimana

mestinya. Seperti dalam firman Allah Swt:

(10)















































































































Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:

"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka

berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami

Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan

berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."2

Manusia memiliki keunikan tersendiri di antara makhluk Allah yang lain

di bumi, karena manusia merupakan kesatuan jiwa dan raga yang terdapat

pembawaan-pembawaan yang berpengaruh terhadap diri manusia itu tersebut,

baik oleh kata-kata yang tertulis maupun kata-kata yang terdengar.3 Dalam hal ini,

jiwa sebagai pelengkap raga juga bisa mengkondisikan seseorang untuk

menjalarkan kedamaian dan penyakit, yang membawa kepada kebenaran dan

kesesatan.4

2 Al-Qur’an dan Terjemah, 2: 30

3 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an (Bandung: Alfabeta, 2009), 107.

4 Muhammad Muhyidin, Kecerdasan Jiwa: Rahasia Memahami dan Mengobati Sakit

(11)

Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.5

Dengan jiwa yang sempurna, manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral

atau total, bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh

kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refleks-refleks egoistis.

Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun

terkadang memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang ghoib.6

Manusia memang sejatinya terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan

tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan

satunya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat disebut

manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas

nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai

totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.7

al-ru>h juga mempunyai dua pengertian, pengertian pertama: ruh dalam

pengertian biologis, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam

rongga hati yang berupa daging yang berbentuk seperti pohon cemara. Benda

halus ini tersebar melalui nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh.

Ruh jasmaniah ini mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta

merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat diumpamakan sebagai lampu yang

5 Mukhtar Solihin & Rosihon Anwar, Hakikat Manusia “Menggali Potensi Kesadaran

(12)

kedua, Lut}f rabba>ni> yang merupakan makan hakekat hati. Ruh dan hati saling

bergantian pengacu pada Lut}f.8

Ruh merupakan zat yang dapat membuat manusia sampai saat ini hidup,

namun sampai detik ini para mufassir dan pemikir islam hanya dapat

mengungkapkan teori tanpa didasari oleh penelitian ilmiah dan ilmu-ilmu sains

yang telah menjadi ilmu terapan. Di satu sisi, para pemikir Islam mungkin terpacu

terhadap salah satu ayat al-Qur’an:























































Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk

urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.9

Tentang ayat di atas ada sebagian ulama’ yang berhenti untuk melakukan

pencarian lebih lanjut tentang ruh manusia, salah satunya dalam penafsiran Buya

Hamka dalam kitab Tafsir al-Azhar bahwa Ruh adalah suatu perkara yang besar,

yang mana ilmu manusia hanya sedikit dan supaya manusia dapat menyadari

dirinya bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui hakikat dirinya sendiri, seperti

dalam sebuah ungkapan: 10

8 Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Vol.III (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Islamiy, t. th), 3

9 Al-Qur’an dan Terjemah, 17:85

(13)

هبر فرع دقف هسفن فرع نم

Barang siapa mengetahui hakikat dirinya, niscaya ia akan mengetahui tuhannya.11

Sehingga menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan bentuk peringatan

akan kebodohan manusia yang tidak akan bisa sampai mengetahui hakikat

tuhannya karena mengeetahui dirinya saja tidak akan bisa sampai, maka manusia

pun tidak akan mengetahui zat tuhan.12

Ayat di atas memang apabila dilihat dari sekilas menyatakan ketidak

bolehan umat islam untuk mempertanyakan atau mencari tau tentang ruh. Hal ini

dapat menjadi kesalahpahaman, karena ayat di atas masih menyimpan arti

“Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit

.

” Dengan ini berarti umat

manusia masih memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian tentang ruh

walaupun jawaban secara sempurna tidak akan tercapai karena masih terdapat

ilmu yang sedikit tersebut.13

Sebagian ulama berpendapat bahwa hakikat ruh tidak mungkin bisa

diketahui karena pengetahuan tentang ruh ini khusus bagi Allah, artinya hanya

Allah yang mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak mungkin manusia melakukan

penelitian lebih lanjut tentang hakikat ruh. Allah Swt pun telah memberikan

penjelasan bagi orang-orang yang bertanya tentang ruh, bahwa mereka hanya

diberi sedikit ilmu yang tidak mungkin akan cukup untuk mengungkapkan hakikat

11 Ibid., 119

12 Ibid., 118-119

(14)

untuk membuat definisi tentang ruh. Mereka mengatakan bahwa ruh adalah materi

yang berbeda dari materi yang bisa dilacak indra.14 Memang manusia tidak akan

tahu tentang hakikat murni dari ruh, yakni seperti apa ruh itu, bagaimana ia

datang, bagaimana ia pergi, dimana ia berada, akan kemana perginya. Akan tetapi,

manusia masih bisa mengindentifikasi sekelumit pengetahuan tentang ruh.

Lebih lanjut, Al-Biqa>’I yang dikutip oleh M. Quraish Shihab

menghubungkan ayat ini (al-Isra>’ ayat 85) dengan ayat sebelumnya yang

berbicara tentang pertanyaan kaum musyrikin menyangkut kebangkitan setelah

manusia menjadi tulang belulang dan kepingan-kepingan kecil bagaikan debu (

Al-Isra>’ ayat 49)

. Di ayat tersebut dinyatakan bahwa manusia akan kembali

dihidupkan dan ruhnya akan dikembalikan ke jasad mereka.15

Imam Ahmad mengatakan, Sabab Nuzul ayat ini adalah ketika ‘Abdulla>h

Ibn Mas’u>d sedang berjalan mengiringi Rasulullah Saw di sebuah lahan pertanian

Madinah yang pada saat itu Rasulullah berjalan dengan memakai pelepah kurma

sebagai tongkatnya. Rasulullah kemudian bersua dengan sejumlah orang-orang

yahudi, sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, “Tanyailah

dia oleh kalian tentang ruh.” Akhirnya mereka bertanya kepada Rasulullah

. Maka

turunlah al-Isra>’ ayat 85 ini sebagai jawaban untuk pertanyaan kaum Yahudi.16

14 Majdi Muhammad Asy-Syahawi, Memanggil Ruh dan Menaklukan Jin (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 6

(15)

menjawab pertanyaan mereka karena mereka mengajukan pertanyaannya dengan

nada ingkar. Menurut pendapat lainnya lagi, makna yang dimaksud “Katakanlah

bahwa Ruh adalah Urusan Tuhanku” yakni termasuk sebagian dari syari’at-Nya.

Dengan kata lain, masuklah kalian ke dalam agama-Nya, karena pengetahuan ini

tidak dapat diperoleh dari berfikir, namun dari ilmu-ilmu syari’at-Nya.17

Walaupun Al-Suhaili> mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan

kebenarannya, akan tetapi hal ini bisa dianggap suatu acuan bahwa tidak menutup

kemungkinan adanya pengetahuan ruh yang lebih luas di dalam ajaran Islam,

karena Islam mengajarkan lebih dari sekedar barang ghoib seperti ruh manusia.18

Dalam kitab tafsir Ma’alimut Tanzi>l karangan al-Bagha>wi

,

ketika

membahas ayat tersebut menuliskan bahwa Nabi Muhammad SAW mengerti

tentang ruh, tetapi tidak menggambarkannya pada orang lain atau sudah

menjelang ajal sebelum memberitahukannya. Sebenarnya para ulama’ klasik

berinsiatif untuk mengunkap ruh, walaupun banyak kemasukan cerita isra’illiyat

dan juga kepercayaan Yunani kuno. Ibn Qoyyim al-Jauziyah di abad ke 8 H

menulis kitab al-Ru>h

, berdasarkan dalil al-

Qur’an

, al-Sunah dan pendapat para

(16)

Islam membahas tentang ruh.19

Maka dari itu penulis membuat Skripsi dengan judul, “Ruh Manusia

Dalam Al-Qur’an dan Sains (Studi Korelatif Fenomena Ruh Manusia Menurut

Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dengan Sains) dengan harapan

adanya kemajuan Islam dibidang sains terutama untuk mengindentifikasi zat ruh

manusia, sehingga banyak ilmu yang berkembang di kedua bidang ilmu baik

dibidang ilmu khazanah keislaman maupun dibidang ilmu sains.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa masalah pokok dalam kajian

ini adalah Substansi Ruh Manusia

Adapun permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi, di antaranya:

1. Ruang lingkup Ruh Manusia menurut M

.

Quraish Shihab dan T}ant}awi

al-Jauhari>

2. Ruang Lingkup Ruh Manusia menurut beberapa Ilmuwan

3. Hal-hal mengenai ruh manusia menurut para Filosofi dan pemikir Islam

4. Tinjauan dan kolerasi antara pendapat Mufassir dan Ilmuwan.

(17)

untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan

masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target

dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah yang dimaksud

,

yaitu akan

difokuskan pada bagaimana penafsiran M

.

Quraish Shihab dan T}ant}awi al-Jauhari>

terhadap ayat QS. Al-Hijr ayat 29, QS. Al-Sajdah ayat 9 dan QS. Al-Zumar ayat 42

mengenai ruh manusia.

C. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arahan yang jelas terhadap permasalahan yang akan

diteliti, maka perlu kiranya ada perumusan masalah. Rumusan masalah yang

dimaksud, di antaranya:

1. Bagaimanakah Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi Jauhari> tentang

Ruh?

2. Bagaiamanakah pendapat ilmuwan tentang ruh?

3. Bagaimana korelasi dari pendapat antara pendapat mufassirin dan ilmuwan?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

(18)

tentang Ruh.

2. Untuk mengetahui pendapat ilmuwan tentang ruh.

3. Untuk mengetahui korelasi dari pendapat antara pendapat mufassirin dan

ilmuwan?

E. Manfaat Penelitian

Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tentang khazanah Islam dan

juga sains. Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti untuk

memperluas wawasan keislaman terutama pada pengembangan keilmuan dalam

bidang al-Qur’an dan Sains

.

Manfaat khusus penelitian Substansi Ruh manusia yang Pertama: untuk

memperluas kajian al-Qur’an kebidang ilmu lainnya

, sehingga membuktikan

bahwa al-Qur’an mampu menjadi induk segala ilmu yang dapat disandingkan

dengan cabang-cabang ilmu yang lain.

Kedua: mengetahui substansi dari ruh sehingga manusia dapat mengenali

setiap jiwa masing-masing dan juga terhadap sang pencipta yaitu Allah.

Ketiga; membuka wawasan baru dibidang sains sehingga bidang sains

terutama dibidang fisika akan lebih maju dan memiliki wawasan luas terhadap

(19)

Telaah pustaka dalam sebuah penelitian dan penggambarkan hasil sebuah

kajian atau penelitian terdahulu dirasa sangat perlu. Tujuannya agar tidak

mengganggu nilai orisinilitas penelitian yang akan dilakukan.

Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya

ilmiyah, baik dari beberapa buku atau skripsi yang ada, terdapat permasalahan

yang serupa dengan pembahasan ini. Yaitu:

1. Ruh dalam perspektif Imam Fakhruddi>n al-Razi>

. Penelitian ini ditulis oleh

Abdu al-Rahman Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis tahun 2002.

Perbedaan karya Ilmiah penulis dengan karya ilmiah ini adalah dari perspektif

ulama’ dan juga keluasan pembahasan penulis akan menghubungkannya

dengan ilmu-ilmu sains.

2. Ruh dalam al-Qur’an analisis penafsiran Quraish Shihab atas Surah al-Isra>’

ayat 85. Skripsi ini di tulis oleh Atti Nurliati Fakultas Ushuluddin Jurusan

Tafsir Hadis tahun 2011. Karya ini menjelaskan dengan detail tentang

Quraish Shihab dan penafsirannya pada al-Isra>’ ayat 85. Perbedaan dari

skripsi penulis adalah bahwa skripsi ini sangat spesifik dalam menjelaskan

terhadap ayat, sedangkan skripsi penulis menjelaskan hal yang luas pada

(20)

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif.20 Sebuah

metode penelitian yang mendasarkan pada usaha mengungkap dan

menformulasikan data dalam bentuk narasi verbal (kata- kata) dari satu obyek

yang dapat diamati dan diteliti.21 Model ini digunakan sebagai upaya

memposisikan peneliti untuk bersifat obyektif dalam penelitian agar

menghasilkan data yang komprehensif.

Bermula dari persoalan hubungan antara Penafsiran dan Ilmu Sains

tentang ruh kemudian hal tersebut akan dikaji dengan seksama dari hal-hal

yang bersifat umum hingga ditemukan berbagai kesimpulan terkait hakikat

ruh manusia

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu

penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

penelitiannya.22 Jadi pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian

dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang

memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian. Dan dengan cara

mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai

keilmuan tafsir.

20 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 33.

21 Ibid., 4-6.

(21)

Metode pengumpulan datanya dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai

hal-hal atau variable berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya

.

Melalui metode dokumentasi, diperoleh data-data yang berkaitan dengan

penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah

dipersiapkan sebelumnya.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini, tehnik analisa datanya memakai pendekatan metode

Analisa Deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang

paling dasar, ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun

rekayasa manusia. Penelitian ini mengkaji bentuk, aktivitas, karakteristik,

perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain.23

5. Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan sekunder:

Sumber primer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu dari

beberapa kitab tafsir, antara lain:

(22)

b)Tafsir al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari

Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, antara lain :

a)Kitab al Ruh Karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah

b)Kitab Ahwa al-Nafs, karya Ibnu Sina,

c)Buku A Lawyer Present the Case for The Afterlife karya Victor James

Zammit,

H. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini sistematis, maka sistematika pembahasan diuraikan

menjadi lima bab:

Bab pertama berisi pendahuluan yang merupakan gambaran umum dan

sebagai pengantar pembahasan. Bab ini mengungkapkan latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka konseptual,

metode penelitian, kajian riset sebelumnya dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berbicara tentang kajian teori tentang bagaimana Tafsir ‘Ilmi

dan juga hal-hal berkaitan dengan sains.

Bab ketiga ini terdiri dari beberapa sub bab yang kesemuanya merupakan

hasil pembacaan dan temuan tentang ruh manusia yakni berisi tentang apa

pengertian tentang ruh, penafsiran para mufassir dan juga tentang penelitian para

(23)

yakni analisis dan sintesa antara pendapat mufassir dan pendapat ilmuwan.

Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan

merupakan jawaban atas masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini.

Sedangkan saran, diharapkan menjadi masukan bagi segenap kalangan ulama’

,

(24)

BAB II

TAFSIR ‘ILMI DAN SAINS

A. Tafsir ‘Ilmi

1. Pengertian Tafsir Ilmi

Kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (رسفلا) yang berarti

(فشكلاو ةنابإا) “menerangkan dan menyingkap”

. Di dalam kamus, kata

al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.1

Adapun dikalangan mufassir, kata tafsir merupakan istilah yang khas ia

memiliki pengertian tersendiri yang sedikit berbeda dengan arti bahasa.ada

banyak pengertian tafsir yang dikemukakan oleh ulama,misalnya menurut

Abu Hayan sebagai berikut:2

ةييبكرلااو ةيدارفاااهماكحاو اهاول دم و نأرقلا ظافلاب قطنلا ةيفيك نع ثحبي ملع

بيكرلا ةل اح اهيلع لم يلااهيناعمو

3

Ilmu yang membahas mengenai tata cara lafadz-lafadz al-Qur’an, dalil-dalil, aturan-aturan ditinjau dari kata (mufrada>t), susunan kalimat, serta penjelasan

makna yang terkandung dalam susunan kalimat.

1 Muh. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 5

2 Ibid., 14

(25)

Sedangkan Kata ‘ilm (ilmu) dapat diartikan sebagai ilmu empiris yang

mempelajari berbagai gejala alam raya dan di dalam diri manusia agar sampai

pada hukum yang menafsirkan perilaku gejala-gejala tersebut dan

mengemukakan alasan terjadinya serta menyingkap fakta dan kebenaran yang

tercermin pada keimanan yang benar kepada Allah swt.4

Secara sederhana corak Al-Tafsir al-‘Ilmi dapat didefinisikan sebagai

penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat

yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah,5 mendalami tentang teori-teori hukum

alam yang ada dalam Al-Qur’an

, teori-teori pengetahuan umum dan

sebagainya.6

Lebih lanjut H}usain Al-Dhahabi> memberikan pengertian tafsir ‘Ilmi

yaitu:

4 Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al -Qur’an (Solo : Tiga Serangkai, 2004), 23

5 Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang berarti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat

(26)

يذّلا رسفّتلا

رختسا ى دهت و نأرقلا تارابع ى ةّيملعلا تاحاطصإا مك

ا

فلتخ ج

اهنم ةّيفسلفلا ءارأاو مولعلا

7

“Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan

Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Qur’an dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat

falsafi”

.

8

Sedangkan ‘Abd Al-Ma>jid ‘Abd Al-Sala>m Al-Mahrasi> juga

memberikan batasan kurang lebih sama terhadap tafsir ‘Ilmi

, yaitu:

يذّلا رسفّتلا

نأرقلا تارابع عاضخإ هباحصأ ىّحوتي

ةّيملعلا تاحاطصإاو تايرظّنلل

اهنم ةّيفسْلفلا ءارأاو مولعلا لئ اسم فلتخ جارختسا ى دهجا ىضقآ اذبو

9

“Tafsir yang mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam

Al-Qur’an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu

pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.10

Tafsir ‘ilmi merupakan penafsiran al-Qur’an yang pembahasannya

menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam

mengungkapkan al-Qur’an

, dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai

7

Muh. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 349

8 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 109

9‘Abd Al-Ma>jid ‘Abd Al-Sala>m Al-Mahrasi>, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi ‘As}r Al-Ra>hn, (Beirut:

(27)

cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran

filsafat.11

Dijelaskan pula mengenai Tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran corak yang

berusaha untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an

dengan bidang ilmu pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat

Al-Qur’an

.

12 Meskipun Al-Qur’an bukan kumpulan ilmu pengetahuan

, namun di

dalamnya banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu

pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.

Pengertian tafsir ‘Ilmi secara singkat bisa disebut penafsiran

Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dari berbagai

dimensi ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an13 atau yang dimaksud

dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir

dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan

penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan

kemukjizatan al-Qur’an

.

14 Jadi secara garis besar, maksud dari Tafsir ‘Ilmi

adalah yang mana antara ilmu pengetahuan dan tafsir dari al-Qur’an tidaklah

bertentangan, saling menguatkan satu sama lain, mengkorelasikan antara

Tafsir al-Qur’an dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan.

11 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 135

12 Rahmawati, Ulumul Qur’an…, 195

13 Khaeruman, Sejarah Perkembangan…, 108

14 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan

(28)

Tafsir ‘Ilmi berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu

pengetahuan modern, sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan

sains modern.15 Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para

mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya

ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk

menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan

Al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern

.

2. Sejarah dan Perkembangan Tafsir ‘Ilmi

Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah

akidah, hukum syari’at dan akhlak

. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya di

dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)

ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari,

membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin

telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan

ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu

pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an

, dan di kemudian hari usaha ini

semakin meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang

banyak faedahnya.16

15 U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),34

(29)

Maka dari itu, lahirnya metode-metode penafsiran disebabkan oleh

tuntutan perkembangan masyarakat yang dinamis. Umat Islam yang semakin

majemuk dengan berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam,

terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah

Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan

pemikiran Islam, berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk ke

dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi

terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, para pakar

tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran

ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan

kehidupan umat yang semakin beragam.17 Sehingga dapat disimpulkan bahwa

corak tafsir ‘Ilmi muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha

penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan

perkembangan ilmu.18

Corak penafsiran ilmiah telah lama dikenal. Benihnya bermula pada

Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun

(w.853 M),19 pada masa pemerintahan Al-Ma’mun ini muncul gerakan

penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu

17 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 6

18 Tim Kementrian Agama, Al Qur’an dan Tafsirnya (Kementerian Agama RI : Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), 76

19 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

(30)

agama dan science serta klasifikasi, pembagian dan bab-bab dan sistematikanya . Tafsir terpisah dari hadits, menjadi ilmu yang berdiri sendiri

dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat al-Qur’an dari awal sampai

akhir.20 Al-Makmun sendiri merupakan putra khalifah Harun al-Rasyid yang

dikenal sangat cinta dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting

adalah pembangunan Bait al-Hikmah

, pusat penerjemahan yang berfungsi

sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah,

Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu

pengetahuan dunia.21

Al-Qur’an menjadi sumber bermacam-macam ilmu pengetahuan di

zaman Abbasiyah. Ahli nahwu (tata bahasa) bertumpu pada al-qur’an dalam

menentukan kaidah/peraturan bahasa Arab. Bagaomanapun juga, keterangan

panjang lebar membantu dalam menginterpretasikan al-Qur’an dan dalam

menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tertentu

. Maka dari itu ahli tata bahasa

mengarang buku-buku dengan judul The Meaning of The Quran

(maksud-maksud al-Qur’an)

, para ahli hukum islam menjadikan al-

Qur’an sebagai

sumber primer ketika menulis karya mereka, yang mereka beri judul

al-Ahkam Al-Qur’an

, begitu juga dengan para teolog

, ahli astronomi,

20 ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 23

21

(31)

matematika, kimia dan kedokteran muslim menginterpretasikan al-Qur’an

sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing keilmuan mereka.22

Al-Ghazali mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan tafsir

ilmi kepada umat Islam yang dianggap sebagai perintis tafsir ‘Ilmi

. Sedang

Fahrur Ar-Razi23 merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu

pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat

al-Qur’an

. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya

Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Karya monumental Tanthowi

Jauhari (w. 1940),24 yaitu Tafsir al-Jawahir

,

cukup representatif untuk

diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat

dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya, diantaranya adalah Tafsir

22 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. A. Bahauddin (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 136-140

23 Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Umar Ibn Husain Ibn al-Hasan Ibn Ali al-Quraisy at-Taimi al Bakri ath-Thabrastani ar-Razi. Gelarnya Fakhruddin dan dikenal dengan Ibn Al-Khatib. Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari delapan jilid yang tebal, dan mendapat perhatian yang besar dari para pelajar Al-Qur’an karena mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang beraneka ragam. Menurut Mahmud dalam bukunya, tafsir ar-Razi secara global lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu yang ada hubungannya baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya. Lihat: Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 320-324.

24 T}ant}awi Jauhari> adalah seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawa>hir di Tafsir Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang “in” pada masanya. Karya tafsirnya layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang

sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan “di dalamnya terdapat segala sesuatu, kecuali

(32)

Musthafa Zaid

,

Al-Qur’an Wa I’jazuhu al-Ilmi karya Isma’il Ibrahim

,

Al-Qur’an wa ‘Ilm karya Ahmad Sulaiman, dan lain-lain.25

Penafsiran ilmiah (tafsir ‘ilmi) ini akhirnya telah berkembang pesat

pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh seiring dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di negara-negara Barat serta

posisi dan sikap umat Islam dalam menghadapi perkembangan saat ini.

Mufasir dan intelektual di Timur Tengah, Eropa dan Asia Selatan sangat

prihatin tentang penafsiran ilmiah dan mereka menerapkannya dalam tulisan

mereka tentang penafsiran Al-Qur'an. Penafsiran ilmiah dalam lingkup

penafsiran berdasarkan pendapat (tafsir bi al-ra'yi). Sebagian ahli tafsir

menerima penafsiran yang didasarkan pada pendapat dengan kondisi (aturan)

dan pedoman tertentu yang interpretasinya dilakukan dengan benar dan tidak

bertentangan dengan makna sebenarnya dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat

Al-Qur'an. Dengan kata lain, tafsir bi al-ra'yi dapat digunakan asalkan

dipandu oleh prinsip-prinsip umum Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, dari

sudut penulisan, karya-karya Timur Tengah yang sangat menonjol dan

pendekatan terkenal dalam menerapkan penafsiran ilmiah dari Al-Qur'an

dalam tafsir komentar pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua

puluh.26

25 Ibid., 284

26 Syamimi Mohd, Nor, Haziyah Hussin & Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Article of

(33)

Sedangkan menurut Abdul Mustaqim munculnya tafsir ‘Ilmi ini

karena dua faktor yaitu:

Pertama

,

faktor internal yang terdapat dalam teks al-Qur’an

, dimana

sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan

penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat

kosmologi (Lihat misalnya Q.S. al-Gasyiyah (88): 17-20). Bahkan ada pula

ayat-ayat al-Qur’an yang disinyalir memberikan isyarat untuk membangun

teori-teori ilmiah dan sains modern, karena seperti dikatakan Muhammad

Syahrur, wahyu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan akal dan

realitas (revelation does not contradict with the reality)

.

Dengan asumsi

tersebut, ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dideduksi untuk menggali teori-teori

ilmu pengetahuan, oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan pendekatan sains

modern, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para

sahabat. Sebab para pendukung tafsir ilmi sependapat, bahwa penafsiran

al-Qur’an sesungguhnya tidak mengenal titik henti

, melainkan terus

berkembang seiring dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan. Sebagai

contoh, ayat yang berbunyi:











Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.27

(34)

Dahulu, kata al-‘alaq dalam ayat ini ditafsirkan oleh para mufasir

klasik dengan pengertian segumpal darah yang membeku. Namun

sekarang, dalam dunia kedokteran akan lebih tepat jika ditafsirkan dengan

zigot, sesuatu yang hidup, yang sangat kecil menggantung pada dinding

rahim perempuan.28

Kedua

,

faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu

pengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha

untuk melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains dan mencari

‘justifikasi telogis’ terhadap sebuah teori ilmiah

. Mereka juga ingin

membuktikan kebenaran al-Qur’an (baca: i’jaz ilmi) secara ilmiah-empiris,

tidak hanya secara teologis-normatif.29

Dari berbagai proses kemunculan perkembangan tafsir ‘Ilmi

, terdapat

isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an yang banyak sekali, diantaranya yaitu:30

Reproduksi manusia (surat al-Qiyamah ayat 37-39), kejadian alam semesta

(surat al-Anbiya ayat 30), awan (surat al-Nur ayat 43), kalender syamsiyah

dan qomariyah (surat al-Kahfi ayat 25), cahaya matahari bersumber dari

dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan (surat Yunus ayat 5 dan Nuh

28 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 5-6

29 Ibid.

(35)

ayat 16), masa penyusunan ideal dan masa kehamilan minimal (surat

al-Baqarah ayat 233 dan al-Ahqaf ayat 15), adanya apa yang dinamai nurani

(superego) dan bawah sadar manusia (surat al-Qiyamah ayat 14-15), asal kejadian cosmos (surat Fushilat ayat 11), pembagian atom (surat Yunus ayat

61), perjodohan bagi semua benda atau makhluk (surat al-Dzariyat ayat 49,

surat Yasin ayat 36), selaput rahim (surat Zumar ayat 6), penyerbukan dengan

angin (surat al-Hijr ayat 22), sel-sel (benih hidup) (surat al-‘Alaq ayat 1-2),

penyelidikan dengan sidik jari manusia (surat al-Qiyamah ayat 3-4).

3. Kaidah penafsiran dengan corak Ilmi

a) Kaidah Kebahasaan (Semantik)

Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang

ingin memahami Al-Qur’an

. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu

yang terkait dengan bahasa seperti í’rab

,

nahwu

,

tashrif

, dan berbagai

ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir.31

Semantik atau kaidah kebahasaan ini tujuannya adalah mencari

sebuah makna dari suatu teks. 32 Makna yang dimaksud dalam semantik ini

adalah makna bahasa, baik dalam bentuk morfem, kata, atau kalimat.

Morfem boleh saja memiliki makna, misalnya reaktualisasi, yang

maknanya perbuatan mengaktualisasikan kembali (Rekontrucksi

31 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 161

(36)

Historis).33 Coseriu dan Geckeler mengatakan bahwa istilah semantik mulai populer tahun 50-an yang diperkenalkan oleh sarjana Perancis yang

bernama M. Breal pada tahun 1883.34

Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang

yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap

penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini.35 Oleh

karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang

hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang

digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.

b) Memperhatikan Korelasi Ayat (Munasabah)

Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus

memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga

dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munasabah al-ayat) baik

sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini

tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan

terhadap Al-Qur’an

. Sebab penyusunan ayat-ayat Al-

Qur’an tidak

didasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan didasarkan pada

korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu

33 Ibid.,25.

34 Ibid.,3.

(37)

selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.36 Sehingga dengan

mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.

c) Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan

Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka

ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang

bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak

memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan h

akikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai

pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah

tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-teori

ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an

.

37 Fakta-fakta Al-Qur’an harus

menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian yang harus

menjadi rujukan adalah fakta-fakta Al Qur’an

, bukan ilmu yang bersifat

eksperimental.38

d) Pendekatan Tematik

Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir

tahlili (analitik). Sehingga kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu

tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan

36 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 163 37 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 169

(38)

mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan,

tetapi justru sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya.39

Misalnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep

penciptaan manusia, yang dalam terminologi Al-Qur’an diilustrasikan

sebagai suatu proses evolusi dengan menggunakan beberapa term yang

berbeda-beda. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia

diciptakan dari dari air, atau air mani yang hina. Jika ayat-ayat Al-Qur’an

yang memiliki term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan berdiri

sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak

utuh. Akibatnya, pemaknaan atas persoalan tersebut akan menjadi

pertentangan dalam Al-Qur’an

.

40

Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah

menggunakan metode tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan

menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-ayat tersebut dihimpun

dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori.41 Dengan

demikian, bagi seorang mufassir ‘Ilmi haruslah menghimpun seluruh

ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema pembahasan

, sehingga

dapat sampai kepada makna hakiki.

39 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 171 40 Ibid.

(39)

B. Sains

Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains

berasal dari bahasa latin yaitu iscire yang berarti tahu atau mengetahui.

Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan al`ilm yang berarti tahu,

sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.42

Sains secara istilah pada hakikatnya adalah teorisasi tehadap fenomena

alam jagad raya, khususnya fenomena alam yang bersifat fisik kebendaan yang

dapat dikuantitatifkan. Singkatnya sains adalah ilmu pengetahuan ilmiah tentang

alam jagad raya yang bersifat fisik, seperti matematika, fisika, biologi astronomi,

kedokteran, dan sebagainya.43 Berikut ini merupakan beberapa pendapat filosof

tentang sains:44

a) Darmojo, 1992 menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains

adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta

dengan segala isinya.

b) Nash, 1993 menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau metode

untuk mengamati alam.

c) James, 1997 mendefinisikan Sains sebagai suatu deretan konsep serta skema

konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang tumbuh sebagai hasil

42 Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat

Modern (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 39

(40)

eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan

dieksperimentasikan lebih lanjut.

d) Whitehead, 1999 menyatakan bahwa Sains dibentuk karena pertemuan dua

orde pengalaman.

e) Vessel, memberikan jawaban yang sangat singkat tetapi bermakna yakni

science is what scientists do

. Sains adalah apa yang dikerjakan para ahli

Sains (saintis).45

Sedangkan secara etimologi, istilah “teknologi” dalam bahasa Indonesia

diambil dari bahasa Inggris; “technology

. Menurut leksikon, dikutip dalam

bukunya Abdurrahman technology berarti: “1

.

Scientific study and use of

mechanical arts and applied sciences

,

eg

.

Engineering

.

2

.

Application of this to practical tasks in industry

,

ect: recent advances in medical technology

,

technology of computers

.

”46

Definisi di atas mengisyratkan beberapa hal penting. Pertama, teknologi

adalah ilmu tentang cara menerapkan sains. Kedua, teknologi bersumber atau

berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan

, penciptaan dan penerapan

teknologi adalah untuk kenyamanan manusia. Dengan demikian, teknologi tidak

45 Vessel, M.F, Elementary School Science Teaching (New Delhi: Pentice-Hall of India, 1965), 2

(41)

dapat dipisahkan dari alam dan manusia.47 Maka dengan demikian, yang

dimaksud dengan teknologi adalah penerapan ilmu-ilmu saintik dengan dasar atau

menggunakan apa yang ada di alam semesta untuk mempermudah segala

kesulitan manusia.

Pengertian ilmu sebenarnya tidak berbeda dengan sains hanya saja sains

hanya dibatasi dalam bidang fisik dan indrawi, sedangkan ilmu melampauinya

pada bidang-bidang non fisik seperti metafisika.48 Sehingga keduanya hanya

berbeda pada kekhususan dan juga keumuman dari suatu makna kalimat itu

sendiri.

C. Islam dan Sains

1. Pandangan Islam terhadap sains

Kebenaran itu telah ada sebelum manusia ada. Sebab kebenaran

sendiri berada di luar alam manusia. Kebenaran itu suatu esensi, suatu

hakikat, suatu ide yang mendahului manusia yang membutuhkannya.

Memang dalam pendekatan sejarah peradaban Barat diakui, kaum filsuf

dinilai sebagai pelopor pencari kebenaran. Kaum filsuf ditempatkan pada

kedudukan sebagai sosok yang cinta (philosphilre) kebenaran (Sophia).

47 Ibid., 349

(42)

Kebenaran yang dihasilkan oleh para filsuf adalah kebenaran yang didasarkan

pada penilaian menurut nalar manusia.49

Dalam tradisi keilmuan barat, memang “perseteruan” antara filsafat

dan agama, sudah berlangsung cukup lama. Sejak zaman Yunani Kuno,

filsafat berbenturan dengan tradisi mitologi. Pada Abad Pertengahan, para

filsuf dihadapkan pada nilai-nilai dogmatis gereja. Kasus yang dialami

Galileo Galilei (1564-1642) adalah bagian dari benturan pemikiran filsafat

dan dogmatis teologis. Teori heliosentris yang dikemukakan Galileo Galilei

dinilai bertentangan dengan pendapat gereja yang menganut teori ptolemaeus,

yaitu bahwa bumi adalah pusat jagad. Galilei dihukum tahanan rumah hingga

akhir hidupnya.50

Lalu jika melihat perkembangan keilmuan pada Islam sangatlah

baik, bahkan sejak awal kelahiran Islam, baik secara normatif, filosofis,

maupun aplikatif pragmatis telah memberikan perhatian yang besar terhadap

pentingnya sains dan teknologi. Ayat yang pertama kali turun, yaitu ayat

1-5 Surat Al-Alaq (96) antara lain berisi perintah membaca dan menulis dalam

arti yang seluas-luasnya. Kata “membaca” yang diulang sebanyak dua kali

(ayat 1 dan 3) sebagaimana dikemukakan A. Baiquni:

Bukan hanya berarti membaca rangkaian huruf menjadi kata-kata,

atau rangkaian kata-kata, atau rangkaian kata-kata menjadi kalimat

(43)

sebagaimana yang umumnya dipahami orang kebanyakan,

melainkan juga berarti meneliti, mengobservasi, menelaah,

mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan, dan

memverifiksi. Semua kegiatan yang terdapat dalam arti membaca ini

merupakan kegiatan dalam rangka menghasilkan sains dan

tekhnologi.51

Sikap yang paling umum di dunia Islam adalah melihatnya sebagai

suatu kajian yang objektif terhadap alam dunia, yaitu sebagai suatu cara

untuk menguraikan ayat-ayat Tuhan tentang alam semesta. 52

Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok

kandungan kitab suci al-Qur’an

. Kata

‘ilm itu sendiri disebut dalam

al-Qur’an sebanyak 105 kali

, bahkan kalau dengan kata jadiannya ia disebut

lebih dari 744 kali. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam,

betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu

memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya

melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji

semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang

tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan

dikenal istilah “sains mengenai waktu-waktu tertentu”

.

53

51 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 253-254

52 Muzaffar Iqbal Dkk, Tuhan, Alam Manusia: Prespektif Sains dan Agama (Bandung : Mizan, 2005), 75

(44)

Para filosof Islam pun banyak yang mengakui bahwa sains

merupakan ilmu yang patut disejajarkan dengan ilmu-ilmu agama.

Al-Ghazali, mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kategori, yaitu “ilmu

agama” dan ilmu “non agama”

. Ilmu agama yaitu ilmu yang diajarkan lewat

ajaran-ajaran nabi dan wahyu, sedangkan ilmu ilmu non agama beliau

mengklasifikasikannya dengan tiga kategori, yaitu mahmud

,

mubah dan

madzmum

. Beliau memasukkan hukum

mubah terhadap sejarah; ilmu sihir

termasuk kategori ilmu madzmum; ilmu-ilmu terpuji yang penting didalam

kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah

, seperti contoh ilmu

obat-obatan, matematika dan ilmu lain yang menunjang kemaslahatan

masyarakat termasuk fardu kifayah

. Mulla Muhsin Faiydh Al-Kasyani

mengemukakan: Mempelajari hukum Islam sesuai dengan kebutuhannya

sendiri hukumnya wajib `ainy bagi setiap orang Islam dan belajar fiqih

untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah

.

54

Shadr al-Din Syirazi meragukan pendapat Al-Ghazali dan Alamah

Kasyani55 terhadap kategori yang termasuk fardu kifayah

,

beliau

mengemukakan:

a) Klasifikasi ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non agama, menyebabkan

miskonsepsi bahwa ilmu non agam itu terpisah dari Islam, dan tampak

tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam yang menyatakan dapat

(45)

merahmati kebahagiaan penuh kepada kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an

dan hadis, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang

umum, seperti dalam Al-Qur’an:





































































“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu

berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu

mamang benar orang-orang yang benar!"56

b) Beberapa ayat al-Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan

bahwa ilmu itu tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum

agama saja, sebagai contoh dalam surat An-Naml ayat 15-16:

(46)

15. dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan

Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang

melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman".

16. dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai

manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami

diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu

kurnia yang nyata".57

Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya

sebatas pada studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang

berhubungan dengan halal haram saja. Hal ini dikukuhkan oleh

sejarawan-sejarawan pada masa kini bahwa selama beberapa abad para ulama-ulama

Islam merupakan pembawa obor pengetahuan, karya-karya mereka dipakai

sebagai buku-buku teks di Eropa selama berabad-abad. Memilah-milah

kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan nilai

dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang

konsumtif terhadap pemeliharan dan kekuatan vitalitas masyarakat Islam,

ilmu tersebut wajib kifayah

.

58

2. Hubungan Sains dengan Islam.

Sains merupakan hal yang masih diperbincangkan baik dari pihak

Filosof agama dan juga ilmuwan, di mana keduanya, yakni sains dan

agama, apakah bisa disejajarkan atau dipisahkan, berikut adalah beberapa

tipologi hubungan sains dan agama:

(47)

a) Konflik

Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui

dua buku berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion

and Science karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A. D. White.59

Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua

ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan

pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu

di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan

mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan

eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui

keabsahan eksistensi masing-masing. Adapun alasan utama para

pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa

didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:60

1) Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan

kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat

melakukan itu.

2) Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi

petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara

59 Maurice Buccaile, Bible, Qur'an dan Sains Modern, terj; H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 10.

60 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara

(48)

dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua

teorinya berdasarkan pengalaman.

Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang

diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya

tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam

orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi

sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili

pada tahun 1633.61

b) Independensi

Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah

dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda.

Agama dan sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang

terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan

damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak

untuk menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga

didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap

era pemikiran ini.62

Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji,

domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka

61 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog,Terj.Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 3.

(49)

berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama

mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau

dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.63

c) Dialog

Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama

dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan

independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan

yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain.

Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah

menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu

bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan

agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.64

63 Ibid.,13.

(50)

BAB III

PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN T}ANT}AWI

JAUHARI< TENTANG AYAT-AYAT RUH SERTA PENELITIAN

DAN TEORI SAINS

A. Ruh Manusia 1. Pengertian Ruh

Ruh merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan, karena

kehidupan makhluk hidup tergantung dari ruhnya. Dalam bahasa Arab, kata

ruh mempunyai banyak arti, kata ( حو ) ru>h yang berarti jiwa, berbeda dengan

kata (حي ) ri>h yang berarti angin, kata ( حو ) rawh yang berarti rahmat. Ruh

dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas,

wahyu, perintah dan rahmat.1

Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) seperti yang dikutip oleh

Baharudin, menjelaskan bahwa kata al-ru>h dan semua kata yang memiliki kata

aslinya terdiri dari huruf ra

,

wawu

,

ha

, mempunyai arti dasar besar, luas dan

asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ru>h merupakan sesuatu yang agung,

besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.2

1 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, (ttp: Dar al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad

Warson M., Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.

2 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,

(51)

Kemudian untuk kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk

menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat

ru>h}a>ni>un ru>h}a>ni> digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang

tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.3

Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti, term-term

yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh bermacam-macam, di

antaranya ruh di sebut sebagai sesuatu zat yang merupakan rahasia Allah:

































Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk

urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".4

Jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85),

menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya

bisa diketahui oleh Allah semata dan itu adalah urusan ketuhanan yang

menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada

mengetahui hakikatnya.5

Ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih

tetap hidup, seperti yang dikatakan al-Farra'6

3 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab…, 1763-1771 4 Al-Qur’an, 17: 85

5 Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 2, ce.IV,

(Singapore: Pustaka Nasional, 1998), 899-900.

6 AL-Farra dalam Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (London: Islamic

(52)

حورلا

وه

ي لا

شيعي

هب

ناسنإا

Ruh adalah Sesuatu yang dengannya manusia hidup.

Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia

menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai

khalqan akhar

, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk

lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam QS

. Al-

Mu’minun: 14.7

Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali

,

masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat. Dalam 3 ayat kata

al-ruh berarti pertolongan atau rahmat Allah, dalam 11 ayat yang berarti Jibril,

dalam 1 ayat bermakna wahyu atau al-Qur’an

, dalam 5 ayat lain al-ruh

berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia.8

Berikut ini merupakan beberapa penggolongan makna ruh dalam

al-Qur’an:9

a) Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam beberapa ayat, salah satunya QS.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, untuk dapat menaksir banyaknya penjualan produk yang sebenarnya, diperlukan sebuah analisis yang dapat memodelkan hubungan antara banyaknya produk

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diameter umbi, panjang umbi, jumlah anakan, berat umbi dan berat total umbi

Di dalam suatu ekosistem, setiap komponen biotik memiliki cara hidup berbeda dengan komponen biotik yang lainnya sehingga interaksi yang terjadi dapat menghasilkan berbagai

1) Kartu barang dibuat oleh petugas yang mengelola gudang/tempat Penyimpanan. 2) Saldo awal kartu barang berasal dari hasil Inventarisasi persediaan atau sisa dari

H1 H2 H3 Manajemen Organisasi Kondisi Lingkungan Kerja Fisik Perilaku Keselamatan Kerja Pelatihan Keselamatan Kerja Komunikasi Keselamatan Kerja Peraturan &amp; Prosedur

Jenis yang paling sedikit ditemui adalah Balanophora dioica yang hanya tersebar di dua lokasi di Gunung Talang, Pada penelitian ini jenis yang hanya di temukan