Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh :
AHMAD DANI EL RASYAD NIM: E33212075
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Ahmad Dani El Rasyad. E33212075. Ruh Manusia Dalam Al-Qur’an dan Sains
(Studi Korelatif Fenomena Ruh Manusia Menurut Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dengan Sains)
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang korelasi
penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dalam menafsirkan ayat-ayat
tentang ruh dengan teori-teori sains yang telah berkembang saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena ruh manusia dalam tinjauan
ulama’ mufassirin dan juga penelitian serta temuan para ilmuwan sains.
Penelitian ini menggunanakan kaidah tafsir, kebahasaan serta
menggunakan sains sebagai pembuktian keilmiahan. Yakni memaparkan tentang penafsiran-penafsiran ayat mengenai ruh, lalu dikorelasikan dengan teori sains. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan
(library research) dengan menggunakan Diskritif-Kualitatif yaitu
menggambarkan atau menjelaskan teori dan kaidah yang digunakan untuk menafsirkan secara ilmiah.
Data yang ditemukan bahwa maksud dari
حور
(ruh) adalah suatu barangnon material yang terdapat pada tubuh manusia dan diselipkan ke dalam tubuh manusia agar menjadikan manusia tersebut hidup. Bahkan manusia bisa dikatakan manusia adalah karena ruh tersebut.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C.Rumusan Masalah ... 9
D.Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 10
F. Telaah Pustaka ... 11
G.Metodologi Penelitian ... 12
1. Model Penelitian ... 12
2. Jenis Penelitian ... 12
4. Teknik Analisis Data ... 13
5. Sumber Data ... 13
H.Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II TAFSIR ‘ILMI DAN SAINS
A. Tafsir ‘Ilmi ... 16
B.Sains ... 31
C.Islam dan Sains ... 33
BAB III PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN THANTHAWI
AL-JAUHARI TENTANG AYAT-AYAT RUH SERTA PENELITIAN
DAN TEORI SAINS
A.Ruh Manusia ... 42
B.Penafsiran M. Quraish Shihab dan Thanthawi al-Jauhari ... 67
C.Ruh dalam Dunia Sains ... 79
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AYAT RUH DAN PENELITIAN SAINS
A.Analisa Penafsiran pada Ayat tentang Ruh Manusia ... 86
B. Analisa Penelitian dan Pendapat Ilmuwan tentang Ruh Manusia 90
C.Analisa Korelatif ... 93
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 95
B.Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh alam semesta dan isinya merupakan ciptaan Allah SWT yang
bersifat baru dan juga tidak kekal. Sedangkan alam lain yang diciptakan Allah
adalah alam akhirat yang berada di luar alam semesta yang baru namun bersifat
kekal. Semua yang ada adalah makhluk (ciptaan) baik dari golongan barang nyata
dan barang ghoib. Namun, Allah SWT yang bersifat ghaib bukanlah ciptaan,
karena keberadaan Allah bukanlah karena diciptakan namun karena adanya zat itu
sendiri.1
Di antara alam semesta ini, salah satu ciptaan Allah yang berpenghuni
adalah bumi. Bumi merupakan planet yang subur dan penuh dengan kehidupan,
sehingga Allah mengirimkan makhluk yang telah ditakdirkan untuk menjadi
Khalifah di bumi agar dapat mengolah dan menempati bumi sebagaimana
mestinya. Seperti dalam firman Allah Swt:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."2
Manusia memiliki keunikan tersendiri di antara makhluk Allah yang lain
di bumi, karena manusia merupakan kesatuan jiwa dan raga yang terdapat
pembawaan-pembawaan yang berpengaruh terhadap diri manusia itu tersebut,
baik oleh kata-kata yang tertulis maupun kata-kata yang terdengar.3 Dalam hal ini,
jiwa sebagai pelengkap raga juga bisa mengkondisikan seseorang untuk
menjalarkan kedamaian dan penyakit, yang membawa kepada kebenaran dan
kesesatan.4
2 Al-Qur’an dan Terjemah, 2: 30
3 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an (Bandung: Alfabeta, 2009), 107.
4 Muhammad Muhyidin, Kecerdasan Jiwa: Rahasia Memahami dan Mengobati Sakit
Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.5
Dengan jiwa yang sempurna, manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral
atau total, bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh
kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refleks-refleks egoistis.
Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun
terkadang memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang ghoib.6
Manusia memang sejatinya terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan
tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan
satunya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat disebut
manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas
nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai
totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.7
al-ru>h juga mempunyai dua pengertian, pengertian pertama: ruh dalam
pengertian biologis, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam
rongga hati yang berupa daging yang berbentuk seperti pohon cemara. Benda
halus ini tersebar melalui nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh.
Ruh jasmaniah ini mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta
merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat diumpamakan sebagai lampu yang
5 Mukhtar Solihin & Rosihon Anwar, Hakikat Manusia “Menggali Potensi Kesadaran
kedua, Lut}f rabba>ni> yang merupakan makan hakekat hati. Ruh dan hati saling
bergantian pengacu pada Lut}f.8
Ruh merupakan zat yang dapat membuat manusia sampai saat ini hidup,
namun sampai detik ini para mufassir dan pemikir islam hanya dapat
mengungkapkan teori tanpa didasari oleh penelitian ilmiah dan ilmu-ilmu sains
yang telah menjadi ilmu terapan. Di satu sisi, para pemikir Islam mungkin terpacu
terhadap salah satu ayat al-Qur’an:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.9
Tentang ayat di atas ada sebagian ulama’ yang berhenti untuk melakukan
pencarian lebih lanjut tentang ruh manusia, salah satunya dalam penafsiran Buya
Hamka dalam kitab Tafsir al-Azhar bahwa Ruh adalah suatu perkara yang besar,
yang mana ilmu manusia hanya sedikit dan supaya manusia dapat menyadari
dirinya bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui hakikat dirinya sendiri, seperti
dalam sebuah ungkapan: 10
8 Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Vol.III (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Islamiy, t. th), 3
9 Al-Qur’an dan Terjemah, 17:85
هبر فرع دقف هسفن فرع نم
Barang siapa mengetahui hakikat dirinya, niscaya ia akan mengetahui tuhannya.11
Sehingga menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan bentuk peringatan
akan kebodohan manusia yang tidak akan bisa sampai mengetahui hakikat
tuhannya karena mengeetahui dirinya saja tidak akan bisa sampai, maka manusia
pun tidak akan mengetahui zat tuhan.12
Ayat di atas memang apabila dilihat dari sekilas menyatakan ketidak
bolehan umat islam untuk mempertanyakan atau mencari tau tentang ruh. Hal ini
dapat menjadi kesalahpahaman, karena ayat di atas masih menyimpan arti
“Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit
.
” Dengan ini berarti umatmanusia masih memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian tentang ruh
walaupun jawaban secara sempurna tidak akan tercapai karena masih terdapat
ilmu yang sedikit tersebut.13
Sebagian ulama berpendapat bahwa hakikat ruh tidak mungkin bisa
diketahui karena pengetahuan tentang ruh ini khusus bagi Allah, artinya hanya
Allah yang mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak mungkin manusia melakukan
penelitian lebih lanjut tentang hakikat ruh. Allah Swt pun telah memberikan
penjelasan bagi orang-orang yang bertanya tentang ruh, bahwa mereka hanya
diberi sedikit ilmu yang tidak mungkin akan cukup untuk mengungkapkan hakikat
11 Ibid., 119
12 Ibid., 118-119
untuk membuat definisi tentang ruh. Mereka mengatakan bahwa ruh adalah materi
yang berbeda dari materi yang bisa dilacak indra.14 Memang manusia tidak akan
tahu tentang hakikat murni dari ruh, yakni seperti apa ruh itu, bagaimana ia
datang, bagaimana ia pergi, dimana ia berada, akan kemana perginya. Akan tetapi,
manusia masih bisa mengindentifikasi sekelumit pengetahuan tentang ruh.
Lebih lanjut, Al-Biqa>’I yang dikutip oleh M. Quraish Shihab
menghubungkan ayat ini (al-Isra>’ ayat 85) dengan ayat sebelumnya yang
berbicara tentang pertanyaan kaum musyrikin menyangkut kebangkitan setelah
manusia menjadi tulang belulang dan kepingan-kepingan kecil bagaikan debu (
Al-Isra>’ ayat 49)
. Di ayat tersebut dinyatakan bahwa manusia akan kembali
dihidupkan dan ruhnya akan dikembalikan ke jasad mereka.15
Imam Ahmad mengatakan, Sabab Nuzul ayat ini adalah ketika ‘Abdulla>h
Ibn Mas’u>d sedang berjalan mengiringi Rasulullah Saw di sebuah lahan pertanian
Madinah yang pada saat itu Rasulullah berjalan dengan memakai pelepah kurma
sebagai tongkatnya. Rasulullah kemudian bersua dengan sejumlah orang-orang
yahudi, sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, “Tanyailah
dia oleh kalian tentang ruh.” Akhirnya mereka bertanya kepada Rasulullah
. Maka
turunlah al-Isra>’ ayat 85 ini sebagai jawaban untuk pertanyaan kaum Yahudi.16
14 Majdi Muhammad Asy-Syahawi, Memanggil Ruh dan Menaklukan Jin (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 6
menjawab pertanyaan mereka karena mereka mengajukan pertanyaannya dengan
nada ingkar. Menurut pendapat lainnya lagi, makna yang dimaksud “Katakanlah
bahwa Ruh adalah Urusan Tuhanku” yakni termasuk sebagian dari syari’at-Nya.
Dengan kata lain, masuklah kalian ke dalam agama-Nya, karena pengetahuan ini
tidak dapat diperoleh dari berfikir, namun dari ilmu-ilmu syari’at-Nya.17
Walaupun Al-Suhaili> mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan
kebenarannya, akan tetapi hal ini bisa dianggap suatu acuan bahwa tidak menutup
kemungkinan adanya pengetahuan ruh yang lebih luas di dalam ajaran Islam,
karena Islam mengajarkan lebih dari sekedar barang ghoib seperti ruh manusia.18
Dalam kitab tafsir Ma’alimut Tanzi>l karangan al-Bagha>wi
,
ketikamembahas ayat tersebut menuliskan bahwa Nabi Muhammad SAW mengerti
tentang ruh, tetapi tidak menggambarkannya pada orang lain atau sudah
menjelang ajal sebelum memberitahukannya. Sebenarnya para ulama’ klasik
berinsiatif untuk mengunkap ruh, walaupun banyak kemasukan cerita isra’illiyat
dan juga kepercayaan Yunani kuno. Ibn Qoyyim al-Jauziyah di abad ke 8 H
menulis kitab al-Ru>h
, berdasarkan dalil al-
Qur’an, al-Sunah dan pendapat para
Islam membahas tentang ruh.19
Maka dari itu penulis membuat Skripsi dengan judul, “Ruh Manusia
Dalam Al-Qur’an dan Sains (Studi Korelatif Fenomena Ruh Manusia Menurut
Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi> Jauhari> dengan Sains) dengan harapan
adanya kemajuan Islam dibidang sains terutama untuk mengindentifikasi zat ruh
manusia, sehingga banyak ilmu yang berkembang di kedua bidang ilmu baik
dibidang ilmu khazanah keislaman maupun dibidang ilmu sains.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa masalah pokok dalam kajian
ini adalah Substansi Ruh Manusia
Adapun permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi, di antaranya:
1. Ruang lingkup Ruh Manusia menurut M
.
Quraish Shihab dan T}ant}awial-Jauhari>
2. Ruang Lingkup Ruh Manusia menurut beberapa Ilmuwan
3. Hal-hal mengenai ruh manusia menurut para Filosofi dan pemikir Islam
4. Tinjauan dan kolerasi antara pendapat Mufassir dan Ilmuwan.
untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan
masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target
dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah yang dimaksud
,
yaitu akandifokuskan pada bagaimana penafsiran M
.
Quraish Shihab dan T}ant}awi al-Jauhari>terhadap ayat QS. Al-Hijr ayat 29, QS. Al-Sajdah ayat 9 dan QS. Al-Zumar ayat 42
mengenai ruh manusia.
C. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arahan yang jelas terhadap permasalahan yang akan
diteliti, maka perlu kiranya ada perumusan masalah. Rumusan masalah yang
dimaksud, di antaranya:
1. Bagaimanakah Penafsiran M. Quraish Shihab dan T}ant}awi Jauhari> tentang
Ruh?
2. Bagaiamanakah pendapat ilmuwan tentang ruh?
3. Bagaimana korelasi dari pendapat antara pendapat mufassirin dan ilmuwan?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
tentang Ruh.
2. Untuk mengetahui pendapat ilmuwan tentang ruh.
3. Untuk mengetahui korelasi dari pendapat antara pendapat mufassirin dan
ilmuwan?
E. Manfaat Penelitian
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tentang khazanah Islam dan
juga sains. Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti untuk
memperluas wawasan keislaman terutama pada pengembangan keilmuan dalam
bidang al-Qur’an dan Sains
.
Manfaat khusus penelitian Substansi Ruh manusia yang Pertama: untuk
memperluas kajian al-Qur’an kebidang ilmu lainnya
, sehingga membuktikan
bahwa al-Qur’an mampu menjadi induk segala ilmu yang dapat disandingkan
dengan cabang-cabang ilmu yang lain.
Kedua: mengetahui substansi dari ruh sehingga manusia dapat mengenali
setiap jiwa masing-masing dan juga terhadap sang pencipta yaitu Allah.
Ketiga; membuka wawasan baru dibidang sains sehingga bidang sains
terutama dibidang fisika akan lebih maju dan memiliki wawasan luas terhadap
Telaah pustaka dalam sebuah penelitian dan penggambarkan hasil sebuah
kajian atau penelitian terdahulu dirasa sangat perlu. Tujuannya agar tidak
mengganggu nilai orisinilitas penelitian yang akan dilakukan.
Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya
ilmiyah, baik dari beberapa buku atau skripsi yang ada, terdapat permasalahan
yang serupa dengan pembahasan ini. Yaitu:
1. Ruh dalam perspektif Imam Fakhruddi>n al-Razi>
. Penelitian ini ditulis oleh
Abdu al-Rahman Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis tahun 2002.
Perbedaan karya Ilmiah penulis dengan karya ilmiah ini adalah dari perspektif
ulama’ dan juga keluasan pembahasan penulis akan menghubungkannya
dengan ilmu-ilmu sains.
2. Ruh dalam al-Qur’an analisis penafsiran Quraish Shihab atas Surah al-Isra>’
ayat 85. Skripsi ini di tulis oleh Atti Nurliati Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsir Hadis tahun 2011. Karya ini menjelaskan dengan detail tentang
Quraish Shihab dan penafsirannya pada al-Isra>’ ayat 85. Perbedaan dari
skripsi penulis adalah bahwa skripsi ini sangat spesifik dalam menjelaskan
terhadap ayat, sedangkan skripsi penulis menjelaskan hal yang luas pada
1. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif.20 Sebuah
metode penelitian yang mendasarkan pada usaha mengungkap dan
menformulasikan data dalam bentuk narasi verbal (kata- kata) dari satu obyek
yang dapat diamati dan diteliti.21 Model ini digunakan sebagai upaya
memposisikan peneliti untuk bersifat obyektif dalam penelitian agar
menghasilkan data yang komprehensif.
Bermula dari persoalan hubungan antara Penafsiran dan Ilmu Sains
tentang ruh kemudian hal tersebut akan dikaji dengan seksama dari hal-hal
yang bersifat umum hingga ditemukan berbagai kesimpulan terkait hakikat
ruh manusia
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu
penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data
penelitiannya.22 Jadi pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian
dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang
memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian. Dan dengan cara
mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai
keilmuan tafsir.
20 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 33.
21 Ibid., 4-6.
Metode pengumpulan datanya dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai
hal-hal atau variable berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya
.
Melalui metode dokumentasi, diperoleh data-data yang berkaitan dengan
penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini, tehnik analisa datanya memakai pendekatan metode
Analisa Deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang
paling dasar, ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun
rekayasa manusia. Penelitian ini mengkaji bentuk, aktivitas, karakteristik,
perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain.23
5. Sumber Data
Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen
perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan sekunder:
Sumber primer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu dari
beberapa kitab tafsir, antara lain:
b)Tafsir al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari
Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, antara lain :
a)Kitab al Ruh Karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah
b)Kitab Ahwa al-Nafs, karya Ibnu Sina,
c)Buku A Lawyer Present the Case for The Afterlife karya Victor James
Zammit,
H. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini sistematis, maka sistematika pembahasan diuraikan
menjadi lima bab:
Bab pertama berisi pendahuluan yang merupakan gambaran umum dan
sebagai pengantar pembahasan. Bab ini mengungkapkan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka konseptual,
metode penelitian, kajian riset sebelumnya dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berbicara tentang kajian teori tentang bagaimana Tafsir ‘Ilmi
dan juga hal-hal berkaitan dengan sains.
Bab ketiga ini terdiri dari beberapa sub bab yang kesemuanya merupakan
hasil pembacaan dan temuan tentang ruh manusia yakni berisi tentang apa
pengertian tentang ruh, penafsiran para mufassir dan juga tentang penelitian para
yakni analisis dan sintesa antara pendapat mufassir dan pendapat ilmuwan.
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan
merupakan jawaban atas masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini.
Sedangkan saran, diharapkan menjadi masukan bagi segenap kalangan ulama’
,
BAB II
TAFSIR ‘ILMI DAN SAINS
A. Tafsir ‘Ilmi
1. Pengertian Tafsir Ilmi
Kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (رسفلا) yang berarti
(فشكلاو ةنابإا) “menerangkan dan menyingkap”
. Di dalam kamus, kata
al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.1Adapun dikalangan mufassir, kata tafsir merupakan istilah yang khas ia
memiliki pengertian tersendiri yang sedikit berbeda dengan arti bahasa.ada
banyak pengertian tafsir yang dikemukakan oleh ulama,misalnya menurut
Abu Hayan sebagai berikut:2
ةييبكرلااو ةيدارفاااهماكحاو اهاول دم و نأرقلا ظافلاب قطنلا ةيفيك نع ثحبي ملع
بيكرلا ةل اح اهيلع لم يلااهيناعمو
3Ilmu yang membahas mengenai tata cara lafadz-lafadz al-Qur’an, dalil-dalil, aturan-aturan ditinjau dari kata (mufrada>t), susunan kalimat, serta penjelasan
makna yang terkandung dalam susunan kalimat.
1 Muh. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 5
2 Ibid., 14
Sedangkan Kata ‘ilm (ilmu) dapat diartikan sebagai ilmu empiris yang
mempelajari berbagai gejala alam raya dan di dalam diri manusia agar sampai
pada hukum yang menafsirkan perilaku gejala-gejala tersebut dan
mengemukakan alasan terjadinya serta menyingkap fakta dan kebenaran yang
tercermin pada keimanan yang benar kepada Allah swt.4
Secara sederhana corak Al-Tafsir al-‘Ilmi dapat didefinisikan sebagai
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat
yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah,5 mendalami tentang teori-teori hukum
alam yang ada dalam Al-Qur’an
, teori-teori pengetahuan umum dan
sebagainya.6
Lebih lanjut H}usain Al-Dhahabi> memberikan pengertian tafsir ‘Ilmi
yaitu:
4 Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al -Qur’an (Solo : Tiga Serangkai, 2004), 23
5 Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang berarti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat
يذّلا رسفّتلا
رختسا ى دهت و نأرقلا تارابع ى ةّيملعلا تاحاطصإا مك
ا
فلتخ ج
اهنم ةّيفسلفلا ءارأاو مولعلا
7“Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan
Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Qur’an dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat
falsafi”
.
8Sedangkan ‘Abd Al-Ma>jid ‘Abd Al-Sala>m Al-Mahrasi> juga
memberikan batasan kurang lebih sama terhadap tafsir ‘Ilmi
, yaitu:
يذّلا رسفّتلا
نأرقلا تارابع عاضخإ هباحصأ ىّحوتي
ةّيملعلا تاحاطصإاو تايرظّنلل
اهنم ةّيفسْلفلا ءارأاو مولعلا لئ اسم فلتخ جارختسا ى دهجا ىضقآ اذبو
9“Tafsir yang mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam
Al-Qur’an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu
pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.10
Tafsir ‘ilmi merupakan penafsiran al-Qur’an yang pembahasannya
menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam
mengungkapkan al-Qur’an
, dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai
7
Muh. Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 349
8 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 109
9‘Abd Al-Ma>jid ‘Abd Al-Sala>m Al-Mahrasi>, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi ‘As}r Al-Ra>hn, (Beirut:
cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran
filsafat.11
Dijelaskan pula mengenai Tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran corak yang
berusaha untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an
dengan bidang ilmu pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat
Al-Qur’an
.
12 Meskipun Al-Qur’an bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di
dalamnya banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu
pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.
Pengertian tafsir ‘Ilmi secara singkat bisa disebut penafsiran
Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dari berbagai
dimensi ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an13 atau yang dimaksud
dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir
dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan
kemukjizatan al-Qur’an
.
14 Jadi secara garis besar, maksud dari Tafsir ‘Ilmiadalah yang mana antara ilmu pengetahuan dan tafsir dari al-Qur’an tidaklah
bertentangan, saling menguatkan satu sama lain, mengkorelasikan antara
Tafsir al-Qur’an dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan.
11 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 135
12 Rahmawati, Ulumul Qur’an…, 195
13 Khaeruman, Sejarah Perkembangan…, 108
14 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan
Tafsir ‘Ilmi berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu
pengetahuan modern, sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan
sains modern.15 Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para
mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya
ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk
menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan
Al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern
.
2. Sejarah dan Perkembangan Tafsir ‘Ilmi
Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah
akidah, hukum syari’at dan akhlak
. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya di
dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)
ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari,
membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin
telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan
ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an
, dan di kemudian hari usaha ini
semakin meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang
banyak faedahnya.16
15 U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),34
Maka dari itu, lahirnya metode-metode penafsiran disebabkan oleh
tuntutan perkembangan masyarakat yang dinamis. Umat Islam yang semakin
majemuk dengan berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam,
terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah
Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan
pemikiran Islam, berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk ke
dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi
terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, para pakar
tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan
kehidupan umat yang semakin beragam.17 Sehingga dapat disimpulkan bahwa
corak tafsir ‘Ilmi muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha
penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan
perkembangan ilmu.18
Corak penafsiran ilmiah telah lama dikenal. Benihnya bermula pada
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun
(w.853 M),19 pada masa pemerintahan Al-Ma’mun ini muncul gerakan
penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu
17 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 6
18 Tim Kementrian Agama, Al Qur’an dan Tafsirnya (Kementerian Agama RI : Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), 76
19 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
agama dan science serta klasifikasi, pembagian dan bab-bab dan sistematikanya . Tafsir terpisah dari hadits, menjadi ilmu yang berdiri sendiri
dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat al-Qur’an dari awal sampai
akhir.20 Al-Makmun sendiri merupakan putra khalifah Harun al-Rasyid yang
dikenal sangat cinta dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Bait al-Hikmah
, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah,
Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan dunia.21
Al-Qur’an menjadi sumber bermacam-macam ilmu pengetahuan di
zaman Abbasiyah. Ahli nahwu (tata bahasa) bertumpu pada al-qur’an dalam
menentukan kaidah/peraturan bahasa Arab. Bagaomanapun juga, keterangan
panjang lebar membantu dalam menginterpretasikan al-Qur’an dan dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tertentu
. Maka dari itu ahli tata bahasa
mengarang buku-buku dengan judul The Meaning of The Quran
(maksud-maksud al-Qur’an)
, para ahli hukum islam menjadikan al-
Qur’an sebagaisumber primer ketika menulis karya mereka, yang mereka beri judul
al-Ahkam Al-Qur’an
, begitu juga dengan para teolog
, ahli astronomi,
20 ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 23
21
matematika, kimia dan kedokteran muslim menginterpretasikan al-Qur’an
sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing keilmuan mereka.22
Al-Ghazali mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan tafsir
ilmi kepada umat Islam yang dianggap sebagai perintis tafsir ‘Ilmi
. Sedang
Fahrur Ar-Razi23 merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu
pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat
al-Qur’an
. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya
Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Karya monumental TanthowiJauhari (w. 1940),24 yaitu Tafsir al-Jawahir
,
cukup representatif untukdiajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat
dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya, diantaranya adalah Tafsir
22 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. A. Bahauddin (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 136-140
23 Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Umar Ibn Husain Ibn al-Hasan Ibn Ali al-Quraisy at-Taimi al Bakri ath-Thabrastani ar-Razi. Gelarnya Fakhruddin dan dikenal dengan Ibn Al-Khatib. Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari delapan jilid yang tebal, dan mendapat perhatian yang besar dari para pelajar Al-Qur’an karena mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang beraneka ragam. Menurut Mahmud dalam bukunya, tafsir ar-Razi secara global lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu yang ada hubungannya baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya. Lihat: Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 320-324.
24 T}ant}awi Jauhari> adalah seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawa>hir di Tafsir Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang “in” pada masanya. Karya tafsirnya layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang
sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan “di dalamnya terdapat segala sesuatu, kecuali
Musthafa Zaid
,
Al-Qur’an Wa I’jazuhu al-Ilmi karya Isma’il Ibrahim,
Al-Qur’an wa ‘Ilm karya Ahmad Sulaiman, dan lain-lain.25
Penafsiran ilmiah (tafsir ‘ilmi) ini akhirnya telah berkembang pesat
pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di negara-negara Barat serta
posisi dan sikap umat Islam dalam menghadapi perkembangan saat ini.
Mufasir dan intelektual di Timur Tengah, Eropa dan Asia Selatan sangat
prihatin tentang penafsiran ilmiah dan mereka menerapkannya dalam tulisan
mereka tentang penafsiran Al-Qur'an. Penafsiran ilmiah dalam lingkup
penafsiran berdasarkan pendapat (tafsir bi al-ra'yi). Sebagian ahli tafsir
menerima penafsiran yang didasarkan pada pendapat dengan kondisi (aturan)
dan pedoman tertentu yang interpretasinya dilakukan dengan benar dan tidak
bertentangan dengan makna sebenarnya dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat
Al-Qur'an. Dengan kata lain, tafsir bi al-ra'yi dapat digunakan asalkan
dipandu oleh prinsip-prinsip umum Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, dari
sudut penulisan, karya-karya Timur Tengah yang sangat menonjol dan
pendekatan terkenal dalam menerapkan penafsiran ilmiah dari Al-Qur'an
dalam tafsir komentar pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua
puluh.26
25 Ibid., 284
26 Syamimi Mohd, Nor, Haziyah Hussin & Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Article of
Sedangkan menurut Abdul Mustaqim munculnya tafsir ‘Ilmi ini
karena dua faktor yaitu:
Pertama
,
faktor internal yang terdapat dalam teks al-Qur’an, dimana
sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan
penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat
kosmologi (Lihat misalnya Q.S. al-Gasyiyah (88): 17-20). Bahkan ada pula
ayat-ayat al-Qur’an yang disinyalir memberikan isyarat untuk membangun
teori-teori ilmiah dan sains modern, karena seperti dikatakan Muhammad
Syahrur, wahyu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan akal dan
realitas (revelation does not contradict with the reality)
.
Dengan asumsitersebut, ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dideduksi untuk menggali teori-teori
ilmu pengetahuan, oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan pendekatan sains
modern, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para
sahabat. Sebab para pendukung tafsir ilmi sependapat, bahwa penafsiran
al-Qur’an sesungguhnya tidak mengenal titik henti
, melainkan terus
berkembang seiring dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan. Sebagai
contoh, ayat yang berbunyi:
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.27
Dahulu, kata al-‘alaq dalam ayat ini ditafsirkan oleh para mufasir
klasik dengan pengertian segumpal darah yang membeku. Namun
sekarang, dalam dunia kedokteran akan lebih tepat jika ditafsirkan dengan
zigot, sesuatu yang hidup, yang sangat kecil menggantung pada dinding
rahim perempuan.28
Kedua
,
faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmupengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha
untuk melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains dan mencari
‘justifikasi telogis’ terhadap sebuah teori ilmiah
. Mereka juga ingin
membuktikan kebenaran al-Qur’an (baca: i’jaz ilmi) secara ilmiah-empiris,
tidak hanya secara teologis-normatif.29
Dari berbagai proses kemunculan perkembangan tafsir ‘Ilmi
, terdapat
isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an yang banyak sekali, diantaranya yaitu:30
Reproduksi manusia (surat al-Qiyamah ayat 37-39), kejadian alam semesta
(surat al-Anbiya ayat 30), awan (surat al-Nur ayat 43), kalender syamsiyah
dan qomariyah (surat al-Kahfi ayat 25), cahaya matahari bersumber dari
dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan (surat Yunus ayat 5 dan Nuh
28 Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu-ilmu al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 5-6
29 Ibid.
ayat 16), masa penyusunan ideal dan masa kehamilan minimal (surat
al-Baqarah ayat 233 dan al-Ahqaf ayat 15), adanya apa yang dinamai nurani
(superego) dan bawah sadar manusia (surat al-Qiyamah ayat 14-15), asal kejadian cosmos (surat Fushilat ayat 11), pembagian atom (surat Yunus ayat
61), perjodohan bagi semua benda atau makhluk (surat al-Dzariyat ayat 49,
surat Yasin ayat 36), selaput rahim (surat Zumar ayat 6), penyerbukan dengan
angin (surat al-Hijr ayat 22), sel-sel (benih hidup) (surat al-‘Alaq ayat 1-2),
penyelidikan dengan sidik jari manusia (surat al-Qiyamah ayat 3-4).
3. Kaidah penafsiran dengan corak Ilmi
a) Kaidah Kebahasaan (Semantik)
Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang
ingin memahami Al-Qur’an
. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu
yang terkait dengan bahasa seperti í’rab
,
nahwu,
tashrif, dan berbagai
ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir.31
Semantik atau kaidah kebahasaan ini tujuannya adalah mencari
sebuah makna dari suatu teks. 32 Makna yang dimaksud dalam semantik ini
adalah makna bahasa, baik dalam bentuk morfem, kata, atau kalimat.
Morfem boleh saja memiliki makna, misalnya reaktualisasi, yang
maknanya perbuatan mengaktualisasikan kembali (Rekontrucksi
31 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 161
Historis).33 Coseriu dan Geckeler mengatakan bahwa istilah semantik mulai populer tahun 50-an yang diperkenalkan oleh sarjana Perancis yang
bernama M. Breal pada tahun 1883.34
Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang
yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap
penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini.35 Oleh
karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang
hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang
digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.
b) Memperhatikan Korelasi Ayat (Munasabah)
Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus
memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga
dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munasabah al-ayat) baik
sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini
tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan
terhadap Al-Qur’an
. Sebab penyusunan ayat-ayat Al-
Qur’an tidakdidasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan didasarkan pada
korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu
33 Ibid.,25.
34 Ibid.,3.
selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.36 Sehingga dengan
mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.
c) Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka
ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang
bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak
memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan h
akikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai
pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah
tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-teori
ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an
.
37 Fakta-fakta Al-Qur’an harusmenjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian yang harus
menjadi rujukan adalah fakta-fakta Al Qur’an
, bukan ilmu yang bersifat
eksperimental.38
d) Pendekatan Tematik
Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir
tahlili (analitik). Sehingga kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu
tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan
36 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 163 37 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 169
mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan,
tetapi justru sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya.39
Misalnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep
penciptaan manusia, yang dalam terminologi Al-Qur’an diilustrasikan
sebagai suatu proses evolusi dengan menggunakan beberapa term yang
berbeda-beda. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia
diciptakan dari dari air, atau air mani yang hina. Jika ayat-ayat Al-Qur’an
yang memiliki term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan berdiri
sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak
utuh. Akibatnya, pemaknaan atas persoalan tersebut akan menjadi
pertentangan dalam Al-Qur’an
.
40Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah
menggunakan metode tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan
menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-ayat tersebut dihimpun
dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori.41 Dengan
demikian, bagi seorang mufassir ‘Ilmi haruslah menghimpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema pembahasan
, sehingga
dapat sampai kepada makna hakiki.
39 Ichwan, Tafsir Ilmy…, 171 40 Ibid.
B. Sains
Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains
berasal dari bahasa latin yaitu iscire yang berarti tahu atau mengetahui.
Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan al`ilm yang berarti tahu,
sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.42
Sains secara istilah pada hakikatnya adalah teorisasi tehadap fenomena
alam jagad raya, khususnya fenomena alam yang bersifat fisik kebendaan yang
dapat dikuantitatifkan. Singkatnya sains adalah ilmu pengetahuan ilmiah tentang
alam jagad raya yang bersifat fisik, seperti matematika, fisika, biologi astronomi,
kedokteran, dan sebagainya.43 Berikut ini merupakan beberapa pendapat filosof
tentang sains:44
a) Darmojo, 1992 menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains
adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta
dengan segala isinya.
b) Nash, 1993 menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau metode
untuk mengamati alam.
c) James, 1997 mendefinisikan Sains sebagai suatu deretan konsep serta skema
konseptual yang berhubungan satu sama lain dan yang tumbuh sebagai hasil
42 Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat
Modern (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 39
eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan
dieksperimentasikan lebih lanjut.
d) Whitehead, 1999 menyatakan bahwa Sains dibentuk karena pertemuan dua
orde pengalaman.
e) Vessel, memberikan jawaban yang sangat singkat tetapi bermakna yakni
“science is what scientists do”
. Sains adalah apa yang dikerjakan para ahli
Sains (saintis).45
Sedangkan secara etimologi, istilah “teknologi” dalam bahasa Indonesia
diambil dari bahasa Inggris; “technology’
. Menurut leksikon, dikutip dalam
bukunya Abdurrahman technology berarti: “1
.
Scientific study and use ofmechanical arts and applied sciences
,
eg.
Engineering.
2.
Application of this to practical tasks in industry,
ect: recent advances in medical technology,
technology of computers
.
”46Definisi di atas mengisyratkan beberapa hal penting. Pertama, teknologi
adalah ilmu tentang cara menerapkan sains. Kedua, teknologi bersumber atau
berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan
, penciptaan dan penerapan
teknologi adalah untuk kenyamanan manusia. Dengan demikian, teknologi tidak
45 Vessel, M.F, Elementary School Science Teaching (New Delhi: Pentice-Hall of India, 1965), 2
dapat dipisahkan dari alam dan manusia.47 Maka dengan demikian, yang
dimaksud dengan teknologi adalah penerapan ilmu-ilmu saintik dengan dasar atau
menggunakan apa yang ada di alam semesta untuk mempermudah segala
kesulitan manusia.
Pengertian ilmu sebenarnya tidak berbeda dengan sains hanya saja sains
hanya dibatasi dalam bidang fisik dan indrawi, sedangkan ilmu melampauinya
pada bidang-bidang non fisik seperti metafisika.48 Sehingga keduanya hanya
berbeda pada kekhususan dan juga keumuman dari suatu makna kalimat itu
sendiri.
C. Islam dan Sains
1. Pandangan Islam terhadap sains
Kebenaran itu telah ada sebelum manusia ada. Sebab kebenaran
sendiri berada di luar alam manusia. Kebenaran itu suatu esensi, suatu
hakikat, suatu ide yang mendahului manusia yang membutuhkannya.
Memang dalam pendekatan sejarah peradaban Barat diakui, kaum filsuf
dinilai sebagai pelopor pencari kebenaran. Kaum filsuf ditempatkan pada
kedudukan sebagai sosok yang cinta (philosphilre) kebenaran (Sophia).
47 Ibid., 349
Kebenaran yang dihasilkan oleh para filsuf adalah kebenaran yang didasarkan
pada penilaian menurut nalar manusia.49
Dalam tradisi keilmuan barat, memang “perseteruan” antara filsafat
dan agama, sudah berlangsung cukup lama. Sejak zaman Yunani Kuno,
filsafat berbenturan dengan tradisi mitologi. Pada Abad Pertengahan, para
filsuf dihadapkan pada nilai-nilai dogmatis gereja. Kasus yang dialami
Galileo Galilei (1564-1642) adalah bagian dari benturan pemikiran filsafat
dan dogmatis teologis. Teori heliosentris yang dikemukakan Galileo Galilei
dinilai bertentangan dengan pendapat gereja yang menganut teori ptolemaeus,
yaitu bahwa bumi adalah pusat jagad. Galilei dihukum tahanan rumah hingga
akhir hidupnya.50
Lalu jika melihat perkembangan keilmuan pada Islam sangatlah
baik, bahkan sejak awal kelahiran Islam, baik secara normatif, filosofis,
maupun aplikatif pragmatis telah memberikan perhatian yang besar terhadap
pentingnya sains dan teknologi. Ayat yang pertama kali turun, yaitu ayat
1-5 Surat Al-Alaq (96) antara lain berisi perintah membaca dan menulis dalam
arti yang seluas-luasnya. Kata “membaca” yang diulang sebanyak dua kali
(ayat 1 dan 3) sebagaimana dikemukakan A. Baiquni:
Bukan hanya berarti membaca rangkaian huruf menjadi kata-kata,
atau rangkaian kata-kata, atau rangkaian kata-kata menjadi kalimat
sebagaimana yang umumnya dipahami orang kebanyakan,
melainkan juga berarti meneliti, mengobservasi, menelaah,
mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan, dan
memverifiksi. Semua kegiatan yang terdapat dalam arti membaca ini
merupakan kegiatan dalam rangka menghasilkan sains dan
tekhnologi.51
Sikap yang paling umum di dunia Islam adalah melihatnya sebagai
suatu kajian yang objektif terhadap alam dunia, yaitu sebagai suatu cara
untuk menguraikan ayat-ayat Tuhan tentang alam semesta. 52
Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok
kandungan kitab suci al-Qur’an
. Kata
‘ilm itu sendiri disebut dalamal-Qur’an sebanyak 105 kali
, bahkan kalau dengan kata jadiannya ia disebut
lebih dari 744 kali. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam,
betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu
memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya
melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji
semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang
tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan
dikenal istilah “sains mengenai waktu-waktu tertentu”
.
53
51 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 253-254
52 Muzaffar Iqbal Dkk, Tuhan, Alam Manusia: Prespektif Sains dan Agama (Bandung : Mizan, 2005), 75
Para filosof Islam pun banyak yang mengakui bahwa sains
merupakan ilmu yang patut disejajarkan dengan ilmu-ilmu agama.
Al-Ghazali, mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kategori, yaitu “ilmu
agama” dan ilmu “non agama”
. Ilmu agama yaitu ilmu yang diajarkan lewat
ajaran-ajaran nabi dan wahyu, sedangkan ilmu ilmu non agama beliau
mengklasifikasikannya dengan tiga kategori, yaitu mahmud
,
mubah danmadzmum
. Beliau memasukkan hukum
mubah terhadap sejarah; ilmu sihirtermasuk kategori ilmu madzmum; ilmu-ilmu terpuji yang penting didalam
kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah
, seperti contoh ilmu
obat-obatan, matematika dan ilmu lain yang menunjang kemaslahatan
masyarakat termasuk fardu kifayah
. Mulla Muhsin Faiydh Al-Kasyani
mengemukakan: Mempelajari hukum Islam sesuai dengan kebutuhannya
sendiri hukumnya wajib `ainy bagi setiap orang Islam dan belajar fiqih
untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah
.
54Shadr al-Din Syirazi meragukan pendapat Al-Ghazali dan Alamah
Kasyani55 terhadap kategori yang termasuk fardu kifayah
,
beliaumengemukakan:
a) Klasifikasi ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non agama, menyebabkan
miskonsepsi bahwa ilmu non agam itu terpisah dari Islam, dan tampak
tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam yang menyatakan dapat
merahmati kebahagiaan penuh kepada kemanusiaan. Dalam Al-Qur’an
dan hadis, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang
umum, seperti dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"56
b) Beberapa ayat al-Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan
bahwa ilmu itu tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum
agama saja, sebagai contoh dalam surat An-Naml ayat 15-16:
15. dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan
Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang
melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman".
16. dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai
manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami
diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu
kurnia yang nyata".57
Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya
sebatas pada studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang
berhubungan dengan halal haram saja. Hal ini dikukuhkan oleh
sejarawan-sejarawan pada masa kini bahwa selama beberapa abad para ulama-ulama
Islam merupakan pembawa obor pengetahuan, karya-karya mereka dipakai
sebagai buku-buku teks di Eropa selama berabad-abad. Memilah-milah
kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan nilai
dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang
konsumtif terhadap pemeliharan dan kekuatan vitalitas masyarakat Islam,
ilmu tersebut wajib kifayah
.
582. Hubungan Sains dengan Islam.
Sains merupakan hal yang masih diperbincangkan baik dari pihak
Filosof agama dan juga ilmuwan, di mana keduanya, yakni sains dan
agama, apakah bisa disejajarkan atau dipisahkan, berikut adalah beberapa
tipologi hubungan sains dan agama:
a) Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui
dua buku berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion
and Science karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A. D. White.59
Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua
ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan
pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu
di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan
mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan
eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui
keabsahan eksistensi masing-masing. Adapun alasan utama para
pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa
didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:60
1) Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan
kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat
melakukan itu.
2) Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi
petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara
59 Maurice Buccaile, Bible, Qur'an dan Sains Modern, terj; H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 10.
60 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural: Ber-Islam Secara
dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua
teorinya berdasarkan pengalaman.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang
diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya
tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam
orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi
sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili
pada tahun 1633.61
b) Independensi
Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah
dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda.
Agama dan sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang
terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan
damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak
untuk menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga
didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap
era pemikiran ini.62
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji,
domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka
61 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog,Terj.Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), 3.
berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama
mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau
dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.63
c) Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama
dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan
independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan
yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain.
Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu
bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan
agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.64
63 Ibid.,13.
BAB III
PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN T}ANT}AWI
JAUHARI< TENTANG AYAT-AYAT RUH SERTA PENELITIAN
DAN TEORI SAINS
A. Ruh Manusia 1. Pengertian Ruh
Ruh merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan, karena
kehidupan makhluk hidup tergantung dari ruhnya. Dalam bahasa Arab, kata
ruh mempunyai banyak arti, kata ( حو ) ru>h yang berarti jiwa, berbeda dengan
kata (حي ) ri>h yang berarti angin, kata ( حو ) rawh yang berarti rahmat. Ruh
dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas,
wahyu, perintah dan rahmat.1
Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) seperti yang dikutip oleh
Baharudin, menjelaskan bahwa kata al-ru>h dan semua kata yang memiliki kata
aslinya terdiri dari huruf ra
,
wawu,
ha, mempunyai arti dasar besar, luas dan
asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ru>h merupakan sesuatu yang agung,
besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.2
1 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, (ttp: Dar al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad
Warson M., Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.
2 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
Kemudian untuk kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk
menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat
ru>h}a>ni>un ru>h}a>ni> digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang
tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.3
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti, term-term
yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh bermacam-macam, di
antaranya ruh di sebut sebagai sesuatu zat yang merupakan rahasia Allah:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".4
Jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85),
menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya
bisa diketahui oleh Allah semata dan itu adalah urusan ketuhanan yang
menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada
mengetahui hakikatnya.5
Ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih
tetap hidup, seperti yang dikatakan al-Farra'6
3 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab…, 1763-1771 4 Al-Qur’an, 17: 85
5 Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 2, ce.IV,
(Singapore: Pustaka Nasional, 1998), 899-900.
6 AL-Farra dalam Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (London: Islamic
حورلا
وه
ي لا
شيعي
هب
ناسنإا
Ruh adalah Sesuatu yang dengannya manusia hidup.
Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia
menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai
khalqan akhar
, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk
lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam QS
. Al-
Mu’minun: 14.7Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali
,
masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat. Dalam 3 ayat kata
al-ruh berarti pertolongan atau rahmat Allah, dalam 11 ayat yang berarti Jibril,
dalam 1 ayat bermakna wahyu atau al-Qur’an
, dalam 5 ayat lain al-ruh
berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia.8
Berikut ini merupakan beberapa penggolongan makna ruh dalam
al-Qur’an:9
a) Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam beberapa ayat, salah satunya QS.