viii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN dipilih berdasarkan keinginan untuk mengetahui metode penafsiran feminis seperti pendekatan feminis terhadap teks-teks Alkitab. Penulis ingin mengetahui peran yang dimainkan perempuan dalam Kitab Hakim-hakim serta ingin mengetahui metode penafsiran hermeneutika kecurigaan yang berpihak pada perempuan. Melalui skripsi ini penulis juga ingin memberikan sumbangan katekese untuk pemberdayaan perempuan melalui katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA. Skripsi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan metode penafsiran yang berpihak pada perempuan terutama dalam Kitab Hakim-hakim dan membantu para siswi lulusan SMA menganalisis pengalaman hidupnya melalui terang Kitab Suci.
Tema pokok dalam skripsi ini adalah teologi feminis sebagai gerakan perempuan yang menolak dominasi laki-laki dan menuntut adanya keadilan dan kesetaraan martabat sebagai ciptaan Allah. Teologi feminis berusaha untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang membebaskan perempuan melalui penafsiran feminis. Salah satu metode penafsiran yang dipakai adalah hermeneutika kecurigaan yang menguraikan bagaimana dan mengapa cerita itu ditulis dengan melibatkan tokoh perempuan tersebut.
Analisis penggambaran tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan belum mendapatkan martabat yang sama dengan laki-laki. Kitab Hakim-hakim menampilkan perempuan dengan karakter yang buruk dan tidak mempunyai kemerdekaan. Melalui hermeneutika kecurigaan, perempuan dalam Kitab Hakim-hakim lebih dimaknai sebagai pahlawan dalam hidup sang hakim.
ix
ABSTRACT
The title of this thesis is FEMINIST ANALYSIS ABOUT WOMEN IN THE BOOK OF JUDGES AND THE CONTRIBUTION FOR WOMEN EMPOWERMENT CATECHESIS. The choice of this title is based upon a curiosity to know the feminist interpretation methods such as feminist approach to the biblical texts. The author would like to find out the women’s role in the book of Judges, and want to know the methods of interpretation hermeneutics of suspicion in favor of women. Through this thesis the author would give contribution to the empowerment of women through catechesis. It is a social analysis catechesis for the female high school graduates. This thesis intended to introduce the method of interpretation in favor of women, especially in the book of Judges and help the female high school graduates to analyze the experience of his life through the message of Scripture.
The main theme of this thesis is a feminist theology as a women's movement that rejected the male dominance and demands for justice and equality of dignity as God's creation. Feminist theology seeks to interpret biblical texts that liberate women through feminist interpretation. One of the interpretation method used is hermeneutics of suspicion that explains how and why the story was written with the involvement of the female characters.
Analysis depiction of female characters in the book of Judges shows that the majority of women do not the same dignity as men. The book of Judges presenting women with bad character and do not have independence. Through the hermeneutics of suspicion, women in the book of Judges are interpreted as hero in the judge's life.
i
ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM
KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan
Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Tri Agnes
NIM: 101124004
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria Sang Ibu Sejati,
orang tua, kakak, keponakan yang sangat penulis cintai,
para Dosen yang telah mendampingi dan membimbing penulis,
teman-teman SMP dan SMA yang menginspirasi penulis,
dan kepada siapa saja yang telah membantu penulis dengan doa dan dukungan
v
MOTTO
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Desember 2014
Penulis,
vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Tri Agnes
NIM : 101124004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang bagi
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul
ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM
KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN. Dengan demikian penulis memberikan
kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun
memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 17 Desember 2014
Yang menyatakan,
viii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN dipilih berdasarkan keinginan untuk mengetahui metode penafsiran feminis seperti pendekatan feminis terhadap teks-teks Alkitab. Penulis ingin mengetahui peran yang dimainkan perempuan dalam Kitab Hakim-hakim serta ingin mengetahui metode penafsiran hermeneutika kecurigaan yang berpihak pada perempuan. Melalui skripsi ini penulis juga ingin memberikan sumbangan katekese untuk pemberdayaan perempuan melalui katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA. Skripsi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan metode penafsiran yang berpihak pada perempuan terutama dalam Kitab Hakim-hakim dan membantu para siswi lulusan SMA menganalisis pengalaman hidupnya melalui terang Kitab Suci.
Tema pokok dalam skripsi ini adalah teologi feminis sebagai gerakan perempuan yang menolak dominasi laki-laki dan menuntut adanya keadilan dan kesetaraan martabat sebagai ciptaan Allah. Teologi feminis berusaha untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang membebaskan perempuan melalui penafsiran feminis. Salah satu metode penafsiran yang dipakai adalah hermeneutika kecurigaan yang menguraikan bagaimana dan mengapa cerita itu ditulis dengan melibatkan tokoh perempuan tersebut.
Analisis penggambaran tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan belum mendapatkan martabat yang sama dengan laki-laki. Kitab Hakim-hakim menampilkan perempuan dengan karakter yang buruk dan tidak mempunyai kemerdekaan. Melalui hermeneutika kecurigaan, perempuan dalam Kitab Hakim-hakim lebih dimaknai sebagai pahlawan dalam hidup sang hakim.
ix
ABSTRACT
The title of this thesis is FEMINIST ANALYSIS ABOUT WOMEN IN THE BOOK OF JUDGES AND THE CONTRIBUTION FOR WOMEN EMPOWERMENT CATECHESIS. The choice of this title is based upon a curiosity to know the feminist interpretation methods such as feminist approach to the biblical texts. The author would like to find out the women’s role in the book of Judges, and want to know the methods of interpretation hermeneutics of suspicion in favor of women. Through this thesis the author would give contribution to the empowerment of women through catechesis. It is a social analysis catechesis for the female high school graduates. This thesis intended to introduce the method of interpretation in favor of women, especially in the book of Judges and help the female high school graduates to analyze the experience of his life through the message of Scripture.
The main theme of this thesis is a feminist theology as a women's movement that rejected the male dominance and demands for justice and equality of dignity as God's creation. Feminist theology seeks to interpret biblical texts that liberate women through feminist interpretation. One of the interpretation method used is hermeneutics of suspicion that explains how and why the story was written with the involvement of the female characters.
Analysis depiction of female characters in the book of Judges shows that the majority of women do not the same dignity as men. The book of Judges presenting women with bad character and do not have independence. Through the hermeneutics of suspicion, women in the book of Judges are interpreted as hero in the judge's life.
Based on the results of this literature study, the author propose an analysis social catechesis for female high school graduates for the empowerment of women. The female high school graduates as young people are expected to develope their
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang Maha Baik, karena telah
membimbing dan menuntun penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN
DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK
KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN. Skripsi ini diilhami dari
peran perempuan yang ada dalam Alkitab. Kebanyakan dari mereka diceritakan
sebagai perempuan tidak baik. Melalui skripsi ini penulis berharap pembaca
Alkitab tidak hanya membaca saja tapi juga memaknai peran perempuan
melalui tafsiran feminis. Penulis juga tertarik bagaimana kaum feminis
memaknai peran perempuan dalam Alkitab sehingga mereka mendapatkan
karakter sebagai perempuan yang baik.
Penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu, dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Romo Drs. F.X. Heryatno W.W., SJ., M.Ed, selaku Kaprodi IPPAK,
Universitas Sanata Dharma, dan dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dukungan, perhatian dan sapaan selama proses
menyelesaikan skripsi ini.
2. Romo Dr. V. Indra Sanjaya, Pr, selaku dosen pembimbing utama yang
selalu mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
3. Bapak P. Banyu Dewa HS. S. Ag, M.Si, selaku dosen penguji yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap staf dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
xi
membimbing penulis selama proses belajar mengajar hingga penulis dapat
menyelesaikan studi di kampus IPPAK.
5. Segenap staf sekretariat dan perpustakaan Prodi IPPAK, dan karyawan
bagian lain yang telah memberikan dukungan dan sapaan kepada penulis
selama kuliah.
6. Kedua orang tua penulis yang sangat mendukung, memperhatian,
membimbing, dan banyak memberikan doa.
7. Kakak penulis dan kedua keponakan penulis yang memberi penghiburan
dan harapan.
8. Teman-teman SMP dan SMA penulis yang menyapa dan memberi
semangat kepada penulis.
9. Teman-teman asrama Putri Seraphine yang telah mendukung, memotivasi
penulis selama proses sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
10. Teman-teman mahasiswa IPPAK angkatan 2010 yang selalu memberikan
dukungan dan bantuan kepada penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini
dengan tulus memberikan bantuan, dukungan hingga skripsi ini selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, maka penulis
terbuka akan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi
ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 17 Desember 2014
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 5
C. TUJUAN PENULISAN ... 6
D. MANFAAT PENULISAN ... 6
E. METODE PENULISAN ... 7
F. SISTEMATIKA PENULISAN ... 7
BAB II TEOLOGI FEMINIS DAN PENAFSIRAN FEMINIS ... 9
A. Munculnya Gerakan Feminisme ... 9
B. Pengaruh Gerakan Feminisme Terhadap Teologi Feminis ... 17
C. Teologi Feminis Dalam Gereja ... 21
D. Penafsiran Alkitab Menurut Teologi Feminis ... 27
xiii
Berorientasi Feminis ... 36
RANGKUMAN ... 38
BAB III ANALISIS PENGGAMBARAN TOKOH PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM ... 39
A. Kitab Hakim-Hakim Sebagai Kitab Iman ... 39
B. Tokoh Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 42
C. Penerapan Metode Hermeneutika Kecurigaan Dalam Menggali Karakter Dan Peran Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 45
1. Akhsa, seorang istri yang cerdas ... 45
2. Debora:karisma perempuan yang meruntuhkan patriarki ... 51
3. Teman perjuangan yang sangat heroik: Yael ... 53
4. Delila, perempuan mandiri yang berinisiatif ... 54
5. Perempuan yang disebutkan tanpa nama secara individu ... 59
a. Putri Yefta, gadis yang dikurbankan ayahnya demi nazar ... 59
b. Ibu Simson, Ibu teladan merawat anak ... 65
c. Perempuan sebagai pelaksana kutuk ... 68
d. Ibu Yefta, perempuan yang ditemui Simson sebagai perempuan sundal dan Ibu Abimelekh sebagai gundik Gideon ... 69
e. Istri pertama Simson ... 71
f. Adik ipar Simson ... 73
g. Ibu Mikha ... 73
h. Gundik orang Lewi ... 75
i. Anak perempuan yang akan dikorbankan ayahnya demi keselamatan ayahnya dan orang Lewi... 80
6. Perempuan yang disebutkan tanpa nama secara berkelompok ... 80
a. Kelompok perempuan yang memegang peran tak berarti ... 81
b. Perempuan-perempuan yang berkemah dengan Yael ... 83
xiv
RANGKUMAN ... 86
BAB IV USULAN KATEKESE ANALISIS SOSIAL DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN ... 88
A. Refleksi Atas Pemahaman Teologi Feminis dan Ulasan Tentang Tokoh Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 89
B. Program Katekese Analisis Sosial ... 92
1. Katekese Analisis Sosial ... 92
2. Latar belakang program katekese ... 95
3. Alasan pemilihan tema katekese ... 100
4. Rumusan dan tema tujuan ... 101
5. Petunjuk pelaksanaan program ... 102
6. Matriks program katekese bagi perempuan lulusan SMA ... 103
7. Contoh persiapan katekese analisis sosial ... 106
BAB V PENUTUP ... 112
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 113
DAFTAR PUSTAKA ... 115
LAMPIRAN ... 117
Lampiran 1 :Bacaan Kitab Suci Hak 4:17-24 ... (1)
xv
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan-
singkatan dalam Lembaga Alkitab Indonesia. (2010). Alkitab. LAI: Jakarta.
B. SINGKATAN DOKUMEN GEREJA
GS :Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965
CT : Catechesi Tradendae(Penyelenggaraan Katekese): AnjuranApostolik
Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat
beriman tentang katekese masa kini, disampaikan pada tanggal 16
Oktober 1979 di Roma.
C. SINGKATAN LAINNYA
R.A : Raden Ajeng
dll :dan lain-lain
art :artikel
HAM :Hak Asasi Manusia
terj :terjemahan
UMR :Upah Minimum Regional
SMK :Sekolah Menengah Kejuruan
SMA :Sekolah Menengah Atas
Ansos :Analisis Sosial
OMK :Orang Muda Katolik
xvi
SISKA : Siswa-Siswi Katolik Ambarawa
TKW :Tenaga Kerja Wanita
MB :Madah Bakti
no. :nomor
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di abad ke-21 ini kita hidup di zaman globalisasi di mana perempuan
bukanlah orang yang hanya berada di dapur dengan pendidikan rendah dengan
status ibu rumah tangga. Jauh sebelum zaman globalisasi ini, dominasi kaum pria
yang telah berlangsung secara mengglobal melukai sangat dalam hati para
perempuan. Fenomena ini tercermin di dalam segala bentuk penghinaan,
eksploitasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan (Lecrerc, 2000:v).
Kondisi perempuan yang tersubordinasi, tereksploitasi, diperbudak, dibungkam
tidak hanya merupakan kezaliman yang bukan alang kepalang, tetapi juga suatu
kebodohan (Lecrerc, 2000:ix).
Penderitaan ataupun kegagalan yang dialami perempuan yang sifatnya
massal semacam itu, akhirnya jelas berasal dari suatu sistem yang „gagal‟ untuk
memperhitungkan kepentingan semua anggota-anggotanya, karena hanya
kepentingan laki-laki (Iswanti, 2006:9). Permasalahan yang dialami perempuan
tersebut tidak dapat diselesaikan dengan nasihat-nasihat psikologis dan moralis
semata, tetapi dibutuhkan transformasi terhadap sistem realitas sosial politis yang
adil terhadap perempuan. Pendapat konvensional yang hidup dalam benak para
perencana pembangunan di negara berkembang adalah bahwa pendidikan
merupakan terapi paling tepat untuk memajukan negara berkembang yang hidup
serba terbelakang (Lukman, 1997:25). Secara teoritis, pendidikan memang
ketertinggalan termasuk dari ketidakadilan. Melalui pendidikan, selain
memperoleh kepandaian berupa keterampilan berolah pikir, manusia juga
memperoleh wawasan baru yang akan membantu upaya mengangkat martabat
hidup mereka (Lukman, 1997:25).
Menurut kaum feminis, ketidakadilan gender bersumber pada budaya
patriarkal. Selama berabad-abad budaya tersebut telah menempatkan laki-laki
sebagai pusat sejarah kehidupan. Budaya patriarkal secara riil diperkuat oleh
sistem politik dan ekonomi kapitalis yang berkembang sekitar abad ke-18. Dalam
budaya patriarkal tersebut perempuan dinomorduakan, dianggap tidak setara
dengan laki-laki. Maka sebenarnya gerakan kaum feminis berupaya
membangkitkan kesadaran kaum perempuan atas situasi yang tidak adil.
Di Indonesia, R.A. Kartini dicatat sebagai salah satu tokoh emansipasi
perempuan (Naning, 2010:46). Kartini adalah perempuan yang mengalami
ketidakadilan namun ia berani menyuarakan pendapatnya demi banyak orang.
Berbagai perjuangan Kartini mengacu pada pembentukan perempuan mandiri.
Perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar yang harga dirinya ada
dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri (Naning, 2010:49).
Seperti Kartini, ia adalah perempuan mandiri yang berani membela kaum
perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Tidak semua perempuan berani dan
mandiri melihat ketidakadilan yang dialaminya.
sekitarnya, sehingga sebenarnya mereka berada di garis layang (Naning, 2010:108).
Seharusnya, semua perempuan berani membawa jiwanya ke dalam
pencerahan dengan melakukan apapun yang sesuai dengan yang diinginkannya
tanpa meninggalkan norma-norma dan ajaran agama.
Pelucutan citra sejati perempuan terjadi baik dalam sejarah maupun dalam
cerita mitos. Mitos yang menghidup-hidupkan bahwa perempuan adalah makhluk
lemah adalah prinsip mendasar yang ditentang oleh para tokoh dari berbagai aliran
feminisme yang ada. Aliran-aliran tersebut adalah : feminisme liberal, feminisme
radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme eksistensialis, dan feminisme
multikultural dan feminisme global (Naning, 2010:84). Untuk sebagian kalangan
feminis, tidak heran jika timbul berbagai reaksi mulai dari yang sekedar
memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara bahkan yang lebih
ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah berakar di masyarakat. Tidak
heran pula jika di berbagai penjuru dunia kita akan menemukan gerakan kaum
perempuan yang dikenal dengan istilah “feminisme.” Feminisme adalah suatu
gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum perempuan bahwa mereka adalah
makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan pria (Johnson, 2003:94).
Kekristenan tidak luput dari konteks budaya patriarkal. Hal ini tampak
dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sangat
dipengaruhi oleh budaya patriarkal. Misalnya dalam Mat 14:21 tertulis,” yang ikut
makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak”.
Gambaran perempuan yang memprihatinkan tersebut, ternyata juga dapat
mereka yang diutus Allah mempunyai karakter sendiri, percaya diri, penuh akal,
berani, dan bisa menjadi sangat militan. Sayangnya, banyak ditemukan dalam
Perjanjian Lama yang mengisahkan peran perempuan sebagai budak, selir, bahkan
perempuan sundal. Bagimana dengan sikap Yesus, apakah masih
mendiskriminasikan perempuan? Dalam masyarakat Yahudi, pemisahan laki-laki
dan perempuan sangat ditekankan. Kehadiran Yesus mendobrak tradisi ini, Yesus
mengangkat martabat perempuan dengan banyak melibatkan perempuan dalam
karya-Nya.
Tugas Gereja dalam perutusannya adalah mewartakan “Kabar Gembira”,
yakni warta keselamatan dan pembebasan yang datang dari Allah melalui
Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus yang dikandung oleh Roh Kudus dilahirkan oleh
Perawan Maria. Maka pewartaan Gereja harus menjadi sebuah cerita tentang
Allah yang hadir menyertai manusia dan membebaskannya dari berbagai situasi
yang membelenggu. Wahyu Allah harus disesuaikan dengan situasi dan
masyarakat tertentu karena wahyu Allah dinamis untuk segala situasi dan zaman.
Gereja zaman sekarang telah mengangkat masalah perempuan melalui
dokumen-dokumen Gereja. Dalam GS art.9, manusia diajak untuk
mengembangkan martabatnya sendiri sehingga kesamaan hak diberikan kepada
perempuan. Ditegaskan kembali dalam art.29 bahwa hak-hak asasi pribadi itu
belum dimana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Maka
lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani
setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi
manusia di bawah setiap pemerintahan.
Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan
yang tersedia di abad ke-21 ini perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap
mandiri, di samping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai
manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil perempuan saat ini
digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam situasi dilematis. Contoh situasi
dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah berkarier namun
mereka juga terpanggil untuk tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan
yang mendidik anaknya.
Bertolak dari kenyataan ini, penulis ingin membahas gambaran perempuan
menurut teologi feminis di zaman Perjanjian Lama dengan mengambil salah satu
kitab dalam Perjanjian Lama yaitu Kitab Hakim-hakim. Penulis memilih Kitab
Hakim-hakim karena di dalamnya banyak dikisahkan tentang berbagai karakter
perempuan. Dikisahkan juga perempuan sebagai hakim Israel. Selain itu ada
banyak dikisahkan perjuangan perempuan yang menginspirasi penulis.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka dirumuskan
beberapa permasalahan antara lain :
1. Apa itu teologi feminis dan bagaimana metode penafsiran feminis?
2. Bagaimana metode penafsiran feminis diterapkan dalam analisis
3. Bagaimana gambaran perempuan dari hasil penafsiran feminis dalam Kitab
Hakim-hakim dapat dipakai untuk pemberdayaan perempuan?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penulisan ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui pokok-pokok tentang teologi feminis dan metode yang
berorientasi feminis.
2. Melalui metode penafsiran feminis, mengenal karakter
perempuan-perempuan yang ada di zaman para hakim Israel.
3. Membantu umat untuk merefleksikan pengalaman hidupnya dan lebih
memberdayakan diri sebagai perempuan dengan adanya katekese berdasarkan
analisis feminis dalam Kitab Hakim-hakim.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini, antara lain:
1. Akademis
Menambah wawasan tentang teologi feminis dan gambaran perempuan dalam
Kitab Hakim-hakim.
2. Praktis
Sebagai inspirasi dan refleksi bagi pihak lain dalam penyajian informasi, juga
dapat menjadi bahan kajian studi untuk mengetahui perempuan pada zaman
memberdayakan perempuan menjadi perempuan yang mandiri dan
bertanggung jawab.
3. Penulis
Semakin membantu penulis untuk mengembangkan spiritualitas pelayanan,
dan menambah pengetahuan tentang teologi feminis sehingga dapat
menyumbangkannya dalam katekese untuk membantu memberdayakan
perempuan.
E. METODE PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif
analitis yaitu metode yang menggambarkan pandangan para ahli, kemudian
memaknai, memahami, dan menganalisis data-data yang diperoleh melalui studi
pustaka, sehingga dapat menjelaskan dan akhirnya dapat menarik kesimpulan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, penulis menyampaikan pokok
-pokok sebagai berikut;
Pada bab I, penulis mengawali pendahuluan dengan membicarakan
latar belakang penulisan dan rumusan masalah yang penulis gunakan, sehingga
menemukan tujuan dan manfaat serta metode yang akan dipakai dalam penulisan
skripsi ini. Sebagai akhir dari bagian ini, penulis menguraikan secara singkat
Pada bab II, penulis akan memaparkan secara jelas tentang munculnya
gerakan feminisme, pengaruh gerakan feminisme terhadap teologi feminis, teologi
feminis dalam Gereja dan penafsiran Alkitab menurut teologi feminis.
Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang gambaran umum Kitab
Hakim-hakim, tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim dan penerapan
metode hermeneutika kecurigaan dalam menggali karakter dan peran perempuan
dalam Kitab Hakim-hakim.
Pada bab IV, penulis akan merefleksikan hasil studi dan analisis serta
memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat. Salah satu bentuk
sumbangan pemikiran yang dapat penulis berikan adalah katekese dengan model
analisis sosial.
Dan sebagai penutup dari skripsi ini, pada bab V, penulis akan menarik
kesimpulan berdasarkan pemikiran yang telah tertuang dalam beberapa bab
sebelumnya serta saran yang dapat penulis berikan untuk pembaca dan umat agar
BAB II
TEOLOGI FEMINIS DAN METODE PENAFSIRAN FEMINIS
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang sejarah feminisme.
Awalnya, feminisme muncul akibat penindasan perempuan dalam berbagai segi
kehidupan di Amerika Latin. Kemudian, beberapa perempuan berani
menyuarakan bahwa perempuan mempunyai kebebasan dan martabat yang utuh
layaknya laki-laki. Gerakan tersebut muncul di berbagai tempat hingga
berlangsung sekitar dua dekade. Gerakan tersebut juga menyentuh ranah Gereja.
Menurut mereka, teologi pembebasan dalam Gereja belum dirasakan oleh
perempuan karena masih adanya perbudakan dan androsentrisme yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah. Akhirnya gerakan ini melahirkan teologi feminis.
Dalam penerapannya dalam Gereja, para teolog feminis berjuang demi martabat
perempuan yang tertulis dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja. Kemudian Gereja
membuka diri pada teolog feminis dengan ambil bagian dalam penafsiran Alkitab.
Artinya, tidak mengubah tulisan Alkitab namun memaknai bersama demi tujuan
pemberitaan Kabar Gembira bagi kaum tertindas. Hal ini ditanggapi oleh teolog
feminis dengan menyusun model dan metode penafsiran Alkitab yang berpihak
pada perempuan.
A. MUNCULNYA GERAKAN FEMINISME
Diskriminasi gender tersingkap tidak saja dalam pola-pola dominasi
patriarkal kaum laki-laki, tetapi juga dalam perilaku yang menjadikan pengalaman
2002:34). Tak heran jika di seluruh penjuru dunia muncul gerakan perempuan
untuk bersuara dan menemukan martabat mereka. Era 1960 an dan 1980 an
merupakan masa mobilisasi besar-besaran bagi perempuan Amerika Latin
(Zakiyuddin,1996:59). Para perempuan di Amerika Latin berjuang demi hak
kewarganegaraan, menghadapi situasi kemiskinan yang makin meningkat di
bawah rezim-rezim diktator militer, dalam gerakan-gerakan sosial kerakyatan di
wilayah perkotaan maupun pedesaan, mereka maju untuk berpartisipasi secara
mendalam di bidang politik (Fiorenza ed, 1996:4-5). Dalam keagamaan di
Amerika Latin, di berbagai gereja, Katolik maupun Kristen Protestan, masa itu
ditandai dengan adanya komunitas basis gerejawi beserta wacana yang
membenarkan keberadaan mereka, yakni teologi pembebasan. Sejumlah
perempuan Katolik terlibat dalam proyek pembentukan sebuah „gereja untuk
kaum miskin‟. Di sinilah perempuan Amerika Latin mulai menghasilkan teologi.
Karya-karya para teolog perempuan pertama yang diterbitkan muncul di berbagai
ulasan pastoral dalam karya-karya teologi pembebasan (Zakiyuddin,1997:59).
Namun, teologi itu sering ditolak karena dianggap jauh atau tidak relevan dengan
perhatian perempuan Amerika Latin (Zakiyuddin,1997:77). Teolog perempuan
peka terhadap bentuk kekuasaan yang merancang simbol-simbol sosial, budaya
dan teologi (Andalas,2009:62). Dalam karyanya, mereka menggaungkan teologi
pembebasan dan mencatat ketiadaan sumbangan spesifik dari sudut pandang
perempuan serta menggugah peran serta aktif perempuan-perempuan Amerika
Latin, sebagai agen-agen intelektual di dalam proses kerakyatan (Fiorenza ed,
perempuan tidak lebih rendah daripada laki-laki. Feminisme sering dituduh
menyatakan perang gender, seolah-olah pada masa sebelumnya hubungan antara
laki-laki dan perempuan berjalan dengan baik. Seolah-olah sikap memusuhi
perempuan yang berakar kuat pada diri laki-laki, yang terjadi di segala penjuru
dunia dan di dalam seluruh sejarah peradaban manusia, yang tercermin di dalam
segala bentuk penghinaan, eksploitasi, penindasan, dan kekerasan terhadap
perempuan tidak merupakan keadaan perang dingin tetapi nyata dilestarikan
(Leclerc, 2000:v-vi). Feminisme tidak menginginkan dominasi perempuan
terhadap laki-laki maupun masyarakat luas. Feminisme sebagai gerakan untuk
mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan (Andalas, 2009:60).
Feminisme adalah sebuah wawasan sosial, yang berakar dalam pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin, suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk seksisme dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang ilmu (Clifford, 2002:29).
Christine de Pizan, seorang penyair dan pengarang menceburkan dirinya
dalam perdebatan yang sangat penting bagi kaum perempuan. Menurutnya ada
beberapa makna dari perjuangan kaum feminis yang dapat disimpulkan bahwa
feminisme adalah gerakan/perubahan/kebangkitan/perjuangan dari kaum
perempuan yang mendengar dan mengalami ketidakadilan untuk mendapatkan
hak-hak kaum perempuan di tengah masyarakat serta untuk menyuarakan
pendapat mereka demi martabat mereka dan eksistensi mereka bahwa mereka juga
bisa berpikir dan melakukan profesi serupa kaum laki-laki. Sehingga musuh kaum
perempuan bukanlah laki-laki, namun sebuah sistem yang tidak mengenal jenis
harus dimiliki bagi kaum perempuan yaitu pendidikan dan peluang profesi. Hal ini
dapat berarti bahwa di dua segi ini terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Untuk mencapai semua hal yang diharapkan oleh kaum perempuan,
Pizan menegaskan juga bahwa selain merombak sistem dan paradigma juga harus
ada motivasi dari perempuan itu sendiri tentang tujuan dan arti menjadi seorang
perempuan.
Feminisme berupaya melahirkan wawasannya tentang kaum perempuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai stereotip gender, entah yang terlihat atau terselubung, yang merintangi penentuan diri yang sehat dari kaum perempuan (Clifford, 2002:30).
Dalam bukunya, Clifford membedakan gerakan feminisme menjadi tiga
gelombang. Gelombang pertama feminisme bertalian dengan akses perempuan
untuk memperoleh hak suara. Setelah mereka memperoleh hak tersebut, maka
gerakan feminisme berakhir di Amerika Serikat. Gerakan feminisme kedua terjadi
setelah Perang Dunia II di tahun 1960 diperjuangkan oleh kaum perempuan di
Amerika Serikat dan Eropa Barat yang memiliki kulit hitam. Mereka tidak
mempunyai hak yang sama layaknya kaum perempuan berkulit putih di sana.
Mereka juga ingin menampilkan kajian-kajian kaum feminis sebagai suatu
disiplin ilmu yang baru. Gelombang ketiga feminisme terjadi pada penghujung
tahun 1970-an yang diselenggarakan di New York dalam konferensi kaum feminis
internasional (Clifford, 2002:21). Mereka memperjuangkan hak-hak mereka dan
penghapusan dikriminasi terhadap perempuan atas dasar apapun (etnis, warna
kulit, kelas sosial, dll) serta menentang Perang Vietnam. Gelombang ketiga
feminisme ini menjangkau seluruh dunia yang memperhatikan perbedaan yang
utama setiap gerakan feminisme ialah guna mengakhiri penindasan, diskriminasi
dan tindak kekerasan yang ditimpakan kepada kaum perempuan, serta
memperoleh kesederajatan dan martabat manusia yang sepenuhnya bagi setiap
perempuan (Clifford, 2002:22).
Dalam gelombang kedua feminisme, kaum perempuan memiliki beragam
pengalaman tentang patriarkal dan androsentrisme, maka mereka mempunyai
berbagai cara guna menganalisis sebab dan mencari penawarnya. Analisis atas
berbagai sisi tilik menyangkut beragam bentuk ungkapan gerakan feminisme
bermuara pada rupa-rupa pengelompokan atas feminisme oleh para cendekia
(Clifford, 2002:38). Model-model utama feminisme dari gelombang kedua
adalah: feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal. (Clifford,
2002:41).
Feminisme liberal; gerakan feminisme yang umum dan logis. Ciri dari
gerakan ini adalah penekanan dan motivasi utamanya adalah untuk
menggapai kesederajatan yang penuh antara kaum perempuan dan kaum
laki-laki dalam setiap ranah kehidupan bermasyarakat di bidang hukum,
politik, ekonomi dan sipil sebagai seorang pribadi dewasa yang otonom.
Perwujudan gerakan dengan menuntut agar setiap perempuan memiliki
hak privasi yang menjamin keputusan atas tubuhnya sendiri, khususnya
menyangkut hal melahirkan keturunan, kesehatan seksual dan
reproduksinya.
Feminisme kultural, disebut juga feminisme romantis atau feminisme
tradisional. Misalnya peran sebagai ibu. Feminisme kultural merupakan
reaksi dari revolusi industri. Feminisme kultural melihat perempuan
sebagai makhluk yang kurang ambisius dan bernafsu dibandingkan dengan
laki-laki dan lebih cenderung bersikap egaliter, mengasuh dan
menciptakan kedamaian daripada laki-laki.
Feminisme radikal; gerakan yang lebih banyak memperhatikan kesetaraan
sosial kaum perempuan. Gerakan ini berupaya membasmi setiap bentuk
dominasi kaum laki-laki. Untuk seorang feminis radikal, unsur terpenting
dari analisis sosial ialah kesadaran tentang bagaimana patriarkal telah
menata masyarakat. Yang membuat feminisme menjadi radikal adalah
keyakinan bahwa dominasi kaum laki-laki merupakan akar dari semua
masalah kemasyarakatan.
Feminisme sosialis dipengaruhi oleh prinsip-prinsip marxis, yakni
perjuangan kelas ekonomi. Kapitalisme patriarkal tampak nyata dalam
perendahan nilai kerja kaum perempuan dalam melahirkan dan
membesarkan anak karena hal itu tidak dianggap sebagai hal yang
produktif secara ekonomi. Sosialisme tidak secara otomatis membebaskan
kaum perempuan. Walaupun dalam masyarakat sosial kaum perempuan
bebas bekerja di luar rumah sama seperti kaum laki-laki, namun sebagian
besar dari kaum pekerja perempuan tetap saja melakukan hampir semua
pekerjaan rumah tangga di rumahnya. Sasaran dari feminisme sosialis
adalah perubahan, sembari mensosialisasikan kaum perempuan dan
dengan bidang ekonomi. Kaum perempuan dan laki-laki dari semua kelas
harus memiliki peluang yang sama untuk mencari nafkah dengan bekerja
dan terlibat secara aktif dalam peran sebagai orangtua.
Gelombang kedua feminisme ini diteruskan dalam gelombang ketiga
feminisme. Mereka memiliki beragam pengalaman serta keprihatinan yang unik
yang bertalian dengan lokasi sosial mereka yang khas. Setiap kelompok berupaya
mengembangkan agenda-agenda pembebasannya masing-masing yang
menanggapi berbagai pengalaman serta hasratnya yang unik akan pembaruan
yang positif. Guna menarik perhatian kepada pertalian antara perjuangan kaum
perempuan di dalam sistem-sistem patriarkal dan krisis ekologis, muncullah
istilah “ekofeminisme”. Merangkum kemajemukan suara yang memautkan
dominasi atas diri kaum perempuan (dan kelompok orang tertindas lainnya)
dengan eksploitasi atas alam non insani, seraya menandaskan bahwa kedua bentuk
dominasi tersebut bertalian secara erat dan memperkokoh satu sama lain.
Diarahkan oleh wawasan tentang keadilan ekologis yang merangkul semua ranah
kehidupan, kaum ekofeminis berupaya mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan
eksploitasi, karena tidak ada upaya untuk membebaskan kaum perempuan, atau
kelompok tertindas yang mana pun, yang akan berhasil kecuali ia dikaitkan
dengan pembebasan alam non insani.
Dewasa ini, feminisme menjadi benar-benar gamblang kalau
mempertimbangkan permasalahan global yang ada menyangkut kriminalitas dan
kekerasan yang ditujukan kepada kaum perempuan dan anak-anak perempuan.
perempuan, pengucilan serta perdagangan internasional kaum perempuan dan
anak-anak perempuan, bersama dengan pelecehan di tempat kerja, menjadikan
tindak kekerasan terhadap kaum perempuan sebagai persoalan hak asasi manusia
yang paling meraja lela di dunia ini. Seringkali hak asasi yang selayaknya
dilindungi oleh negara dan hukum belum layak dirasakan oleh masyarakat pada
umumnya. Bahkan ajaran moral dari agama-agama bukanlah lagi hal yang
memberikan pencerahan bagi penganutnya.
Sikap yang berprasangka itu berasal dari ketidakmampuan orang untuk
berhadapan dengan orang-orang lain yang berbeda dengan dirinya atau untuk
menerima mereka sebagai orang yang sepenuhnya manusia seperti dirinya sendiri.
Seksisme menampilkan diri dengan dua cara. Cara pertama, seksisme
menampilkan diri dalam struktur-struktur yang dibentuk sedemikian rupa
sehingga kekuasaan selalu ada dalam tangan kaum laki-laki yang mendominasi,
orang laki-laki yang lain berada dalam kedudukan di bawah yang bertingkat –
tingkat, dengan tingkat paling bawah ditempati orang-orang yang paling kecil
kekuasaannya. Struktur ini disebut patriarki. Cara kedua, seksisme menampilkan
diri dalam pola-pola berpikir yang mengangkat kemanusiaan laki-laki dan
menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Cara berpikir seperti ini
disebut androsentrisme, visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki
dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut haknya sendiri,
melainkan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukan yang
berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Citra diri perempuan mengalami
perempuan terdapat dimana-mana, bahkan di kalangan perempuan yang memiliki
kemampuan lebih. Apa yang diserukan adalah transformasi diri dan sistem-sistem
sosial yang mendukung hubungan-hubungan yang bersifat eksploitasi, terutama
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
B. PENGARUH GERAKAN FEMINISME TERHADAP TEOLOGI FEMINIS
Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari
mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi
feminis.
Sebelum abad ke 19, kaum perempuan dipandang sebagai yang kedua sesudah kaum laki-laki. Kitab Suci dalam masyarakat Barat disalahfungsikan sebagai sumber utama dan pembenar terhadap penindasan perempuan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun Gereja (Andalas, 2009:147).
Teologi lahir dari keinginan jemaat beriman untuk memahami secara lebih
penuh relasi keimanannya dengan Allah, dengan menafsir keyakinannya itu atas
cara-cara yang dapat dipahami oleh zaman dan tempatnya (Clifford, 2002:50).
Teologi feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan kaum perempuan yang
tertindas yang dinilai bertentangan dengan martabat mereka sebagai manusia dan
kehendak Allah.
Aruna Granadason memilah kekerasan terhadap perempuan menjadi
kekerasan terbuka dan terselubung. Kekerasan terhadap perempuan disebut
terbuka karena indra statistik dapat menangkapnya meskipun seringkali terbatas
rengkuhannya. Sedangkan kekerasan pada perempuan seringkali terselubung
karena ukuran statistik seringkali sulit menangkapnya. Kekerasan terselubung,
baik verbal, mental, maupun fisik menimpa jutaan perempuan (Andalas,
2009:129-130). Teologi feminis mengandung renungan-renungan yang penting
untuk dipahami (Zakiyuddin, 1997:47). Bahasa dalam upacara-upacara
keagamaan serta bahasa dalam menamai Tuhan telah serius dibatasi tanpa
mengikutsertakan pengalaman-pengalaman perempuan. Tujuan bentuk teologi
feminis tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi
itu sejauh membawa harapan dan kabar baik kepada kaum perempuan (Fiorenza
ed, 1996:6-9).
Teologi feminis juga bisa didefinisikan sebagai sebuah cara tertentu untuk mengajar dan menyusun teologi yang dengan permenungannya yang konkret, menentang pengajaran teologis lain yang berpangkal pada ortodoksi dan bukanlah berlandaskan praksis (Zakiyuddin,1997:162).
Semua teologi feminis Kristen menganut prinsip bahwa patriarkal dan
androsentrisme dalam berbagai bentuknya bertentangan dengan iman akan Allah
yang oleh pewahyuan Kristen dimaklumkan sebagai kasih itu sendiri (Clifford,
2002:52). Tujuan bentuk berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi
iman, tetapi juga mengubah tradisi itu sejauh tidak memberi arti kabar baik bagi
orang-orang yang adalah kaum perempuan (Johnson, 2003:122). Visi yang
berdasarkan pada nilai-nilai saling dan timbal balik. Visi itu muncul dari analisis
yang dilakukan oleh teolog feminis.
Analisis yang dilakukan oleh para teolog feminis yaitu seksisme sudah
merasuk ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha
dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam “tempat”
mereka sendiri (Johnson, 2003:123).
Maka beberapa ahli mengelompokkan model-model teologi feminis menjadi tiga
bentuk, yaitu :
Teologi feminis revolusioner; teologi ini dipengaruhi oleh kaum feminis
radikal yang pada mulanya ambil bagian dalam Gereja-Gereja Kristen dan
menyimpulkan bahwa agama Kristen itu adalah patriarkal yang tidak dapat
disembuhkan lagi, dan bahkan anti perempuan. Maka mereka
meninggalkan agama Kristen serta hukum patriarkal yang dipengaruhi
oleh Kitab Suci Kristen karena tidak akan memberikan harapan perbaikan.
Masalah utama mereka ialah peran utama yang diberikan kepada
pewahyuan tentang seorang Allah “laki-laki”, yang mereka yakini
digunakan untuk mengabsahkan penindasan patriarkal atas kaum
perempuan oleh Gereja-Gereja Kristen. Di samping itu, mereka
menunjukkan bahwa orang-orang Kristen tetap saja merendahkan kaum
perempuan di dalam Gereja-Gereja mereka dan di dalam relasi perkawinan
mereka.
Teologi feminis reformis; teologi yang tidak berupaya untuk
berkehendak menggantikan Allah yang telah diwahyukan oleh Yesus
Kristus. Pendukung model teologi feminis ini percaya bahwa mereka
dapat memecahkan masalah menyangkut status kelas dua kaum
perempuan melalui cara seperti terjemahan Kitab Suci yang lebih baik dan
penekanan lebih banyak pada perikop-perikop yang berbicara tentang
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam Kitab Suci.
Teologi feminis rekonstruksionis; model ini memiliki titik temu dengan
feminis reformis dalam komitmen kepada agama Kristen. Para teolog
feminis rekonstruksionis mencari pokok teologis yang membebaskan
kaum perempuan di dalam bingkai tradisi Kristen itu sendiri, namun juga
mencita-citakan suatu pembaruan yang lebih dalam, suatu konstruksi yang
sejati, bukan saja menyangkut struktur-struktur gerejani melainkan juga
struktur-struktur masyarakat madani. Kaum feminis rekonstruksionis
membuat penilaian kritis terhadap patriarkal, namun mereka percaya
bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan
tradisional agama Kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan
dalam Yesus Kristus merupakan hal yang dicita-citakan. Feminisme
rekonstruksionis sangat menekankan pentingnya tindakan konkret yang
secara efektif mewujudnyatakan bahasa religius yang menyuarakan
kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh sebab itu, mereka tidak tertarik pada
ihwal membangkitkan kesadaran akan berbagai bentuk ungkapan
patriarkal serta merancang tafsir yang berciri pembebasan, tapi berusaha
Wawasan-wawasan teologis yang dirumuskan mengalir dari dan bermuara ke dalam aksi yang berupaya mengakhiri seksisme, penindasan atas orang-orang tertekan dalam setiap bentuk dan kerusakan yang dilakukan manusia pada bumi ini (Clifford, 2002:66).
Dari ketiga model tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan
terutama mereka yang aktif dalam kegiatan gerejani, atau yang menjadi umat
gerejani memberikan aspirasi-aspirasi mereka dalam pemikiran melalui
pendekatan yang khas agar impian-impian mereka demi memastikan adanya
tindakan Gereja yang tanggap terhadap permasalahan kaum perempuan. Teologi
feminis mengandung renungan-renungan yang penting untuk dipahami karena
mengungkapkan pandangan-pandangan serta harapan-harapan akan dunia yang
lebih baik. Sialnya hal ini kerap disepelekan, dengan begitu malah memblokir
jalan bagi Gereja untuk memperoleh sumbangan yang akan membuatnya semakin
kaya (Zakiyuddin, 1997:47). Kaum feminis mengupayakan adanya kemitraan
sejati antara laki-laki dan perempuan di dalam Gereja, adanya keimanan terhadap
masyarakat baru yang dijanjikan dalam Kristus.
C. TEOLOGI FEMINIS DALAM GEREJA
Kata “Gereja” berasal dari kata Yunani kyriakos, yang berarti “milik”
kepunyaan Tuhan. (Clifford, 2002:219). Proses penerjemahan yang mengubah
ekklesia/perhimpunan menjadi kyriake/ gereja menunjukkan suatu perkembangan
historis yang telah menguntungkan bentuk gereja yang kyriarkhal/patriarkhal
(Fiorenza, 1995: xlvii). Istilah patriarki secara harafiah berarti kekuasaan
kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Pergumulan ini ditimbulkan oleh
proses patriarkal bertahap dari gereja-gereja purba ( Fiorenza, 1995:82).
Satu dari sekian kritik yang dilancarkan oleh para ilmuwati sosial mengenai teologi pembebasan ditujukan kepada pemiskinan kategori-kategori seksual yang sebenarnya merupakan produk sosial yaitu gender yang menjadi sekedar hasil pencirian biologis (Zakiyuddin, 1997:70).
Tidak hanya sampai di situ, melalui teologi feminis diharapkan tidak ada lagi
kaum perempuan yang tertindas.
Para teolog feminis menyangkal klaim teologi yang ada sekarang, yang
menyatakan diri sebagai teologi “universal.” Mereka menunjuk pada
karakter tertentu misalnya kenyataan bahwa teologi itu dihasilkan lewat cara pandang lelaki dan karenanya bersifat eksklusif. Mereka mengajukan rancangan pengkajian ulang, yang akan memungkinkan masuk dan diakuinya bukan saja perempuan, melainkan juga orang-orang yang bukan kulit putih, bukan berasal dari Barat. Menurut mereka, mendobrak struktur-struktur patriarkal harus disertai sebuah perubahan pola-pola pemikiran secara radikal (Fiorenza ed, 1996:10).
Namun ditemukan bahwa telaah atas sejarah Gereja-Gereja Kristen di
Eropa Barat dan Amerika menyingkapkan adanya bentuk-bentuk ungkapan yang
terang dan jelas mengenai patriarkal. Seperti terungkap dalam cara para teolog
dan pejabat gerejani gagal membawa Injil agar bersinggungan dengan penaklukan
atas diri kaum perempuan, perbudakan orang berwarna serta kezaliman
kolonialisme. Agama Kristen kadang kala menggunakan Kitab Suci untuk
mendukung kejahatan-kejahatan yang ada di tengah masyarakat, dengan
menafsirkan teks-teks relevan sebagai “bukti” bahwa praktik-praktik bersangkutan
disetujui dan didukung oleh Allah.
oleh Aristoteles menyebut perempuan sebagai makhluk “cacat” dan
“terkutuk”( Clifford, 2002:52-53).
Akibatnya, kaum perempuan dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani.
Para teolog perempuan tidak hanya menyusun metodologi mereka sendiri,
mereka mengikuti alur teologi pembebasan, mulai dari pilihan kaum miskin dan
keikutsertaan dalam praksis pembebasan. Beberapa di antara naskah-naskah
mereka menyiratkan kemiskinan perempuan sebagai materi teologi mereka.
Kajian-kajian Kitab Suci teolog feminis tidak terbatas pada penemuan kembali
berbagai pribadi perempuan yang dikisahkan, namun memusat pada penafsiran
kembali seluruh Kitab Suci dengan memihak perempuan, menyingkap keberadaan
mereka sebagai tokoh-tokoh protagonis, dalam makna yang sepenuhnya dalam
tindakan penyelamatan.
Para perempuan tersebut dalam dokumennya menekankan sumbangan-sumbangan positif yang diberikan oleh gereja-gereja di Amerika Latin dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) serta dalam perjuangan demi keadilan sosial, juga pentingnya teologi pembebasan dalam mengatasi situasi-situasi ketidakadilan yang menurut mereka teologi pembebasan tidak menyentuh penindasan terhadap perempuan atau mengangkatnya menjadi isu penting (Zakiyuddin, 1997:64).
Masalah dalam mengaitkan teologi feminis dengan teologi pembebasan
terus muncul dalam kritik terhadap struktur-struktur Gereja. Tujuannya adalah
mendorong semua bentuk kepeduliaan yang sedang dirasakan dan diwujudkan
dalam tindakan oleh perempuan di tingkat lokal, nasional, regional serta global
(Zakiyuddin, 1997:45). Selama dua dekade terakhir, perhatian Gereja lokal
terhadap masalah seputar tema perempuan telah menunjukkan perkembangan.
Peranan Gereja lokal semakin besar mewujudkan Gereja sebagai kumpulan Umat
perempuan, memperlihatkan fakta bahwa pelayanan Gereja lokal sebagai Gereja
yang hidup di tengah umat mampu menyentuh langsung serta memahami
permasalahan kehidupan jemaat. Gereja Katolik pada tingkat lokal, lebih
menyadari arti pentingnya kehadiran dan peran perempuan di dalam Gereja,
terlebih lagi menyadari bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang
sama sebagai anggota dan bagian Gereja, bahkan Gereja itu sendiri (Iswanti,
2006:30-33). Dekade itu memusatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan,
hingga perempuan dapat menjadi penentu agenda kepedulian yang akan
dilaksanakan oleh Gereja (Zakiyuddin, 1997:46). Perempuan-perempuan tersebut
mempunyai kesadaran feminis. Kesadaran feminis adalah kesadaran yang berasal
dari pengalaman bahwa penyebab mereka menjadi korban adalah karena mereka
perempuan, kesadaran bahwa menjadi laki-laki lebih menguntungkan (Iswanti,
2006:6). Menurut Iswanti, teori feminis muncul akibat :
Pengalaman pribadi perempuan.
Sumber dari pengetahuan-pengetahuan yang baru, misalnya pemerkosaan atau
aborsi.
Sektor publik dan privat yang berhubungan dengan penindasan individual.
Konsep tentang perempuan sebagai suatu kelas berdasar jenis kelamin.
Kelompok-kelompok yang memiliki kesadaran feminis.
Selain membicarakan tentang Gereja, kaum feminis juga merasa tidak adil
ketika berbicara tentang Allah. Selama berabad-abad Allah dialami dan dipahami
dengan cara-cara yang berbeda oleh orang-orang yang berbeda dalam waktu dan
“melampaui” gender, namun bahasa yang digunakan sebagai acuan tentang Allah
sangat dominan berciri maskulin. Emosi ini memiliki akar yang kuat dalam pola
pengunaan nama “Bapa” secara harafiah dan eksklusif ketika berbicara tentang
Allah (Clifford, 2002:157). Diantara kaum feminis yang paling kuat menentang
gagasan Allah sebagai “Bapa” adalah mereka yang berpikir bahwa simbol Allah
Bapa sebagai penguasa dunia yang transenden dan memutuskan untuk tidak
memeluk dan menerima agama Kristen. Kaum feminis ini bersama dengan kaum
feminis Yahudi yang juga menolak seorang Allah laki-laki terus memberikan
kritik terhadap simbol Allah yang maskulin yang akhirnya membuat mereka
keluar dari Yudaisme dan kekristenan. Mereka percaya bahwa kaum perempuan
dan masyarakat pada umumnya membutuhkan seorang Allah perempuan, atau
seorang Dewi. Maka mereka kembali lagi pada tradisi Yahudi dan
pra-Kristen, yaitu agama-agama Para Dewi. Disana mereka menyembah sosok dewi
tertentu dengan karakter yang mereka kagumi, misalnya Ibu Pertiwi yang
melahirkan bumi dan menjaga bumi ini.
Agama ini meluhurkan berbagai kenangan masyarakat yang berciri matrilineal (warisan diturunkan melalui garis perempuan) dan matriarkat (kaum perempuan menduduki tempat berkuasa di dalam keluarga dan masyarakat) (Clifford, 2002:159).
Keyakinan bahwa agama-agama kuno yang didominasi oleh para dewi
benar-benar memberi pengasuhan, kelembutan dan kedamaian tentu saja hal yang
menarik bagi banyak perempuan, namun menimbulkan banyak pertanyaan.
Romantisme agama Para Dewi ini bersifat problematis. Oleh karena itu, para
perempuan penganut agama Para Dewi ini membutuhkan lebih banyak proyeksi
kaum perempuan membayangkan Allah sebagai suatu realitas keilahian yang
berjenis kelamin laki-laki, maka mereka cenderung berelasi dengan Allah sebagai
“yang lain” dan bukan sebagai “yang sama dengan aku”. Gambaran-gambaran
yang ditarik dari pengalaman kaum perempuan dapat memperkuat ikatan
kemesraan yang dipunyai kaum ini dengan Allah. Bagaimanapun, nilai-nilai dan
aspirasi-aspirasi gender perempuan tidak dicakup dalam Allah tadi, maka
perempuan menjadi tidak mempunyai kemungkinan untuk menyadari keberadaan
diri mereka sendiri yang “tidak menjadi lelaki”. Supaya mampu meneguhkan dan
menyadari keberadaan diri perempuan, maka para perempuan tersebut mau tidak
mau menamai sosok Allah secara feminin. Menurut Ruether, seorang teolog
Katolik Roma keyakinan agama Para Dewi “tidak tepat secara historis dan rancu
secara ideologis.” Ajaran itu menolak kemungkinan adanya sumber daya positif di
dalam tradisi alkitabiah menyangkut simbol-simbol tentang Allah yang sepadan
dengan pengalaman kaum perempuan. Kritikan ini layak ditujukan kepada Agama
Para Dewi sebagai berhala. Bahasa tentang Allah secara intrinsik bertalian dengan
dunia dan pengalaman “keduniawian” manusia yang secara sangat mendasar
dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial kita (Clifford, 2002:160). Di dalam
tradisi Kristen, Allah sebagai Bapa memainkan suatu peran yang penting.
Penggunaan analogi ini tidak lepas dari pengalaman manusia tentang relasi
dengan seorang ayah.
Pendekatan relasional antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan
berdasarkan kisah penciptaan manusia (Kej 2:4-25). Allah menciptakan manusia
“sepadan” dengan dia dan menamai dia perempuan. Kerukunan hidup antara laki
-laki dan perempuan sejak awal merupakan bentuk pertama persekutuan antar
pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial, dan tanpa
berhubungan dengan sesama, ia tidak dapat hidup atau mengembangkan
potensinya (GS art 12).
D. PENAFSIRAN ALKITAB MENURUT TEOLOGI FEMINIS
Meski teologi pembebasan membuka bagi „pengalaman perempuan‟,
namun belum menyerap kritik yang diajukan kaum feminis. Akibatnya adanya
kelas prioritas yang diperjuangkan kaum feminis. Padahal, Kitab Suci memuat
teks-teks yang digunakan sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi
perbaikan kondisi kaum perempuan. Permasalahan dalam tafsir Kitab Suci lebih
dalam daripada sekedar menerjemahkan kata-kata kuno dalam bahasa yang mudah
dipahami. Upaya ini juga banyak menuai kontroversi. Karena, untuk merevisinya
perlu dikaji dari berbagai pandangan (The Pontifical Biblical Commision,
1993:69). Bagi mereka yang mendukung, kegiatan ini sebagai wadah emansipasi.
Namun, mereka mengalami hambatan karena kurangnya pengetahuan tentang
bahasa Kitab Suci. Meski demikian, tetap saja pembicaraan mengenai Kitab Suci
menurut kaum feminis tidak sirna.
Baru pada tahun 1943, tahun yang sama dimana Paus Pius XII meminta agar para cendekia Katolik mendayagunakan berbagai metode kritik Kitab
Suci modern dalam telaah mereka atas Kitab Suci (“Divino Afflante
Spiritu”), program teologi Katolik Roma ini untuk pertama kalinya terbuka bagi perempuan (Clifford, 2002:86).
satu buku saja, melainkan kumpulan buku. Ketika kata biblia
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, ia berubah menjadi bentuk tunggal dan tetap tinggal sebagai kata benda tunggal dalam padanan bahasa Inggrisnya. Dalam dunia kuno pada masa Kitab Suci disusun, buku-buku itu berbentuk gulungan. Karena dikumpulkan dalam rentang waktu berabad-abad, maka Kitab Suci itu merupakan sebuah perpustakaan yang terus bertambah koleksinya berupa gulungan-gulungan kitab yang ditulis dalam banyak bahasa berbeda dan dalam rupa-rupa ragam literer, yang kesemuanya mewakili dan menyajikan beragam kebudayaan serta sisi tilik teologis (Clifford, 2002:85-87).
Kitab-kitab yang kemudian tercakup dalam Kitab Suci sudah mulai
diterjemahkan dan disunting bahkan sebelum keputusan akhir mengenai
komposisinya diambil (Clifford, 2002:87). Karena tidak ada satupun kitab atau
gulungan yang asli yang masih tersisa, maka terjemahan dibuat berdasarkan
salinannya. Akibatnya, salinan teks-teks menghasilkan beberapa variasi yang
menyelinap ke dalam manuskrip-manuskrip awal. Hal ini menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam berbagai terjemahan. Setiap ihwal penerjemahan menyiratkan
upaya menciptakan istilah, karena tidak ada satu bahasapun yang dapat
diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa yang lain. Persoalan terjemahan ini
semakin pelik karena Kitab Suci adalah teks kuno yang ditulis selama beberapa
abad yang berbeda, di tempat yang berbeda dan oleh pengarang yang berbeda
pula. Oleh karena itu, para cendekia yang melakukan terjemahan atas teks Kitab
Suci harus berhati-hati memeriksa pemakaian istilah untuk memberikan makna
dalam perikop tertentu dan diselaraskan dengan zaman penulisan Kitab Suci dan
zamannya.
Kitab Suci sebagai sebuah cerita tentang relasi Allah dengan manusia
terbuka kepada lebih dari satu penjelasan. Setiap rekonstruksi penjelasan
alkitabiah yang muncul di dalam cerita-cerita Kitab Suci dan kurun waktu
penyuntingan kisah-kisah itu beserta penulisan akhirnya. Sebuah rekonstruksi
penafsiran imajinatif sangat diperlukan karena jemaat-jemaat alkitabiah itu tidak
menyimpan sebuah rekaman tentang proses yang menghasilkan kitab-kitab yang
terdapat dalam Kitab Suci.
Dalam Perjanjian Lama, kisah-kisah tentang berbagai momen pewahyuan
sangat sering dihubungkan dengan sosok-sosok pemimpin, seperti Abraham,
Musa, Daud dan Salomo, serta para nabi seperti Amos, Hosea dan Yeremia yang
semuanya adalah laki-laki. Dalam Perjanjian Baru, cerita-cerita Injil terpusat pada
Yesus yang walaupun dimaklumkan oleh orang-orang Kristen sebagai Yang Ilahi
dan karenanya bebas dari keterbatasan-keterbatasan insani, namun meraga sebagai
seorang laki-laki Nazaret dari abad pertama. Cerita-cerita Injil juga menampilkan
lebih banyak kaum laki-laki khususnya para murid laki-laki Yesus, daripada kaum
perempuan. Sejarah tentang pembentukan kanon Kitab Suci memperlihatkan
bahwa tidak semua teks awal yang ada dalam komunitas-komunitas Yahudi dan
Kristen diterima sebagai otoritatif. Kadangkala tidak mudah menentukan mengapa
kitab-kitab tertentu dinilai sebagai kanonik dan yang lain tidak. Kriteria yang
digunakan pun tidak jelas sehingga menimbulkan kontroversi berkaitan dengan
kanon Kitab Suci.
Ada beberapa model penafsiran alkitab menurut Elizabeth Fiorenza dalam
a. Model pendekatan doktriner
Model ini memahami Kitab Suci sebagai pernyataan ilahi dan kewibawaan
kanonik dalam pengertian dogmatis yang ahistoris. Dalam bentuk-bentuknya
yang konsisten, pendekatan ini menekankan pengalaman verbal dan ineransi
(tidak mungkin salah) historis-hurufiah Kitab Suci. Teks Kitab Suci bukan
hanya sebuah ungkapan pernyataan yang historis melainkan pernyataan itu
sendiri. Artinya adalah tidak hanya mengkomunikasikan firman Allah, tetapi
Kitab Suci adalah Firman Allah itu sendiri.
b. Model eksegesis historis positif.
Model ini dikembangkan untuk mengkonfrontasikan klaim-klaim dogmatis
Kitab Suci dan kewibawaan doktriner Gereja. Serangannya terhadap
kewibawaan pernyataan Kitab Suci dikaitkan dengan sebuah pemahaman
mengenai eksegesis dan historiografi yang positif, faktual, objektif dan bebas
nilai. Penafsiran ini berusaha untuk dapat membaca teks-teks dan suatu
penyajian “fakta-fakta” historis secara ilmiah. Pendekatan ini masih menganut
dogma tentang penafsiran yang tidak memihak. Pendekatan ini sering kali
menghindarkan diri dari menyebutkan akibat-akibat dan signifikansi
penelitiannya karena tidak mau dituduh memaksakan teks-teks dan “data”
Alkitab ke dalam cetakan ideologis yang telah ditetapkan sebelumnya.
c. Penafsiran hermeneutik-dialogis
Model ini dengan sungguh-sungguh memanfaatkan metode-metode historis
yang dikembangkan oleh model kedua, sementara pada saat yang sama
Telaah-telaah metodologis tentang kritik bentuk dan redaksi telah
membuktikan bahwa tulisan-tulisan Kitab Suci merupakan
tanggapan-tanggapan teologis atas situasi-situasi praktis-pastoral sementara
diskusi-diskusi hermeneutik telah menguraikan keterlibatan sang ahli dalam
penafsiran teks-teksnya. Namun, studi kritik bentuk dan kritik redaksi telah
dikritik karena mengkonseptualisasikan situasi komunitas-komunitas Kristen
perdana terlalu banyak dalam bentuk pengertian perjuangan keyakinan
tradisional. Maka, studi-studi tentang dunia sosial Kitab Suci menekankan
bahwa tidak cukup merekonstruksi ruang lingkup gerejawi. Komunitas dan
kehidupan Kristen selalu saling terjalin dengan konteks-konteks budaya,
politik dan masyarakat. Model ini sangat menekankan penafsiran dialogis,
karenanya model hermeneutik ini dapat digabungkan dengan usaha teologis
neoortodoks.
d. Model teologi pembebasan
Berbagai bentuk teologi pembebasan telah menantang apa yang disebut
teologi akademik yang objektif. Pemahaman dasar dari semua teologi
pembebasan, termasuk teologi feminis adalah pengakuan bahwa semua teologi
dari definisinya selalu terlibat demi atau menentang kaum tertindas.
Objektivitas intelektual tidak mungkin terjadi dalam sebuah dunia yang penuh
dengan pemerasan dan penindasan. Oleh karena itu, teologi tidak dapat
berbicara tentang keberadaan manusia secara umum atau tentang teologi
biblika secara khusus tanpa secara kritis mengidentifikasi mereka yang