• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek hepatoprotektif jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. terhadap aktivitas laktat dehidrogenase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek hepatoprotektif jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. terhadap aktivitas laktat dehidrogenase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida."

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida berdasarkan penurunan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) serta untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 130-180 gram. Tiga puluh ekor tikus dibagi acak dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I merupakan kontrol negatif CMC-Na 1% yang diberikan selama 6 hari berturut-turut. Kelompok II merupakan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Kelompok III diberikan FHEMM dosis tertinggi tanpa induksi karbon tetraklorida selama 6 hari berturut-turut. Kelompok IV-VI merupakan perlakuan FHEMM dengan 3 peringkat dosis (34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB) yang diberikan selama 6 hari berturutan, pada hari ke-7 diberikan karbon tetraklorida. Pengambilan darah dilakukan pada jam ke-24 untuk pengukuran kadar LDH. Kadar LDH dianalisis dengan metode

Shapiro-Wilk dan diperoleh distribusi data tiap kelompok normal maka dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way Anova) dengan taraf kepercayaan 95%. Uji Scheffe dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FHEMM terbukti berpengaruh dalam menurunkan aktivitas serum LDH tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Tidak terdapat kekerabatan antar dosis FHEMM dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari semakin besar dosis praperlakuan FHEMM, kadar LDH relatif sama.

(2)

Abstract

The purposes of this research were to find out the long-term effect of hexane-ethanol fraction, derived from methanol-water extract Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM), toward Wistar female rats that were induced by carbon tetrachloride based on the decreased lactate dehydrogenase (LDH) activity; and to perceive the correlation of FHEMM doses toward the decreased in LDH activity on Wistar female rats induced by carbon tetrachloride.

This research was done in a pure experimental method by using completely randomized design in one direction. Animal tested for this research was Wistar female rats at the age of 2 to 3 months and with a weight of 130-180 grams. Thirty rats were divided randomly into 6 groups. The first group was the negative control of 1% CMC-Na which was given for 6 days in a row. The second group was the control of 2 ml/kgBW carbon tetrachloride as a hepatotoxin. The third group was given the highest dose of FHEMM without being induced by carbon tetrachloride for six days in a row. The fourth to sixth group were provided with FHEMM with three rankings of dose (34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW) for six days in a row, and on the 7th day carbon tetrachloride was granted. The blood sampling was accomplished on the 24th hour to carry out the measurement of LDH level. LDH level was analyzed by refering to Shapiro-Wilk, and since the data distribution of each group was normal, One Way Anova design with 95% confidence interval continued. Scheffe test was performed to witness the difference between significant groups (p<0.05) and insignificant groups (p>0.05)

The result showed that the FHEMM had an effect in lowering the serum LDH activity of Wistar female rats induced by 2 ml/kgBW carbon tetrachloride. There’s no correlation found between FHEMM doses and the emergence of serum LDH activity, which was seen from the more the dose of FHEMM pre-treatment given, the more LDH levels looked relatively the same.

(3)

EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius L. TERHADAP AKTIVITAS LAKTAT DEHIDROGENASE PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

oleh :

Penina Kurnia Uly

NIM : 128114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius L. TERHADAP AKTIVITAS LAKTAT DEHIDROGENASE PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

oleh :

Penina Kurnia Uly

NIM : 128114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

PERSEMBAHAN

orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu.

Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan

(Mario Teguh)

I never dreamed about success. I worked for it

(Estee Lauder)

Bukan kemampuan yang memutuskan kesuksesan hidup orang. Namun

kesungguhan dan tekad berusaha

(Mario Teguh)

Kupersembahkan skripsi untuk……… Tuhan Yesus Kristus, sumber segala pengharapan, kekuatan, berkat, dan jalan keluar dari setiap persoalan,

Papa, Mama, Kakak Ariata dan Beatrix Sahabat-sahabat dan teman-temanku tersayang,

(8)
(9)
(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Hepatoprotektif Jangka Panjang Fraksi Heksan-Etanol Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius L. Terhadap Aktivitas Laktat Dehidrogenase Pada Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida”

ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi tentunya tidak lepas

dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan

Dosen Penguji pada skripsi ini atas segala kesabaran, masukan, bantuan,

bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Erna Tri Wulandari, Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah

memberi banyak perhatian, masukan, dan saran kepada penulis.

4. Ibu Dita Maria Virginia, S. Farm., M.Sc., Apt. selaku Dosen Penguji

skripsi yang telah memberi banyak perhatian, masukan, dan saran kepada

penulis.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab

Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam

penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian

(11)

viii

6. Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Kayat, Pak Wagiran, dan Pak Agung selaku

laboran laboratorium Fakultas Farmasi, atas segala bantuan dan kerja sama

selama di laboratorium.

7. Rekan-rekan tim skripsi Macaranga 2015, Novita, Cyndi Yulanda P.,

Cinthya Anggarini, Oktariani Aurelia J., Dian Ayu M., Maria Angelika S.,

Rahayu Triwanti, dan Sona Karisnata I., atas segala kerja sama, bantuan

dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

8. Seluruh dosen dan teman-teman FSM D 012, FKK B 012 serta seluruh

angkatan 2012 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

9. Orang tua penulis yang selalu memotivasi dan mendanai sebagian besar

penelitian ini.

10. Kedua kakak penulis yang selalu setia membantu dan mendukung

pengerjaan skripsi.

11. Pihak-pihak lain yang ikut membantu selama penyusunan skripsi yang

tidak dapat disebutkan satu-persatu

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan yang berguna

bagi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat memiliki

manfaat sekecil apapun bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di

bidang kefarmasian, serta semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis,

maupun masyarakat.

Yogyakarta, 5 November 2015

(12)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 5

3. Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6

b. Manfaat praktis ... 6

(13)

x

1. Tujuan umum ... 6

2. Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Hepar ... 8

1. Anatomi dan Fisiologi hepar ... 8

2. Kerusakan hepar ... 11

B. Laktat Dehidrogenase ... 19

C. Hepatotoksin ... 23

D. Karbon tetraklorida ... 24

E. Macaranga tanarius L. ... 27

1. Sinonim ... 27

2. Nama lain ... 28

3. Taksonomi ... 28

4. Morfologi ... 28

5. Kandungan ……... 29

6. Khasiat dan kegunaan ... 31

F. Ekstraksi ... 32

G. Fraksinasi ... 34

H. Landasan teori ... 35

I. Hipotesis ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN ... 38

(14)

xi

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 38

1. Variabel utama... 38

2. Variabel pengacau ... 39

3. Definisi operasional ... 39

C. Bahan Penelitian ... 41

1. Bahan utama ... 41

2. Bahan kimia ... 41

D. Alat Penelitian ... 42

1. Alat pembuatan serbuk kering daun M. tanarius …………. 42

2. Alat pembuatan fraksi daun M. tanarius ……….. 42

3. Alat uji hepatoprotektif ………. 43

E. Tata Cara Penelitian ... 43

1. Determinasi daun M. tanarius ... 43

2. Pengumpulan bahan uji ... 43

3. Pembuatan serbuk daun M. tanarius ... 44

4. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 44

5. Pembuatan ekstrak metanol-air daun M. tanarius ... 44

6. Pembuatan fraksi daun M. tanarius ... 45

7. Pembuatan larutan CMC-Na 1% ... 46

8. Pembuatan suspensi FHEMM ………... 46

9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida ………. 46

(15)

xii

11.Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 47

12.Pengukuran aktivitas LDH ... 48

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 49

G. Ruang Lingkup Penelitian ………. 50

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Penyiapan Bahan ... 51

1. Hasil determinasi tanaman ... 51

2. Pembuatan serbuk daun M. tanarius ... 52

3. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 52

B. Hasil Penimbangan Bobot Pengeringan tetap dan rendemen FHEMM ... 53

C. Uji Pendahuluan ... 56

1. Penetapan dosis FHEMM ... 56

2. Penetapan dosis hepatotoksin CCl4………... 56

3. Penetapan waktu pencuplikan darah ………. 57

4. Penetapan lama pemejanan FHEMM... 64

D. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif FHEMM Jangka Panjang Terhadap Tikus Betina Galur Wistar Terinduksi CCl4 berdasarkan Aktivitas Serum LDH ... 64

1. Kontrol Negatif ………... 67

2. Kontrol Hepatotoksin ... 67

(16)

xiii

4. Kelompok perlakuan FHEMM dosis I (34,28 mg/kgBB),

dosis II (68,57 mg/kgBB) dan dosis III (137,14 mg/kgBB)

pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 dengan

dosis 2 mL/kgBB………... 71

E. Rangkuman Pembahasan ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 86

(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Nilai purata ± SE aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian CCl4 dengan dosis 2

mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam

………... 59

Tabel II. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian 2 mL/kgBB CCl4 pada

waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48

……… 61

Tabel III. Nilai purata ± SE aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian CCl4 dengan dosis 2

mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam

………... 61

Tabel IV. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian 2 mL/kgBB CCl4 pada

waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24 dan 48

……… 63

Tabel V. Efek hepatoprotektif FHEMM jangka panjang pada dosis 34,28; 68,57; 137,14 mg/kgBB

terhadap aktivitas serum LDH darah tikus

terinduksi CCl4 ……….. 65

Tabel VI. Hasil statistik dengan uji Scheffe nilai aktivitas serum LDH tikus setelah pemberian FHEMM

jangka panjang dan induksi CCl4 dengan dosis

(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Hepar ... 8

Gambar 2. Lobulus Hepar ... 10

Gambar 3. Mekanisme kerusakan sel hepar karena obat ... 14

Gambar 4. Patogenesis perlemakan hepar ... 16

Gambar 5. Isoenzim LDH ... 20

Gambar 6. Mekanisme produksi dan eliminasi laktat ………... 22

Gambar 7. Struktur Karbon Tetraklorida ………. 24

Gambar 8. Mekanisme CCl4 merusak hepar ………. 25

Gambar 9. Mekanisme CCl4 terhadap akumulasi lemak di hepar …. 27 Gambar 10. Kandungan senyawa ekstrak metanol M. tanarius……. 29

Gambar 11. Kandungan senyawa ekstrak etanol M. tanarius…... 30

Gambar 12. Tiga senyawa baru dari M. tanarius: tanarifuranolol (1) tanariflavanone C (2) tanariflavanone D (3) …... 30

Gambar 13. Kandungan senyawa ekstrak etil asetat M. tanarius: mallotinic acid (1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4) dan macatannin B (5) …... 31

Gambar 14. Flowchart ruang lingkup penelitian ... 50

(19)

xvi

Gambar 16. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian 2 ml/kgBB CCl4 pada waktu

pencuplikan 0, 24, dan 48 jam ………... 62

Gambar 17. Diagram batang purata aktivitas serum LDH setelah praperlakuan pemberian FHEMM selama 6 hari dan

(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto daun M. tanarius L. ... 87

Lampiran 2. Foto ekstrak daun M. tanarius L. ... 87

Lampiran 3. Foto fraksi daun M. Tanarius ... 88

Lampiran 4. Surat determinasi tanaman M. tanarius ... 89

Lampiran 5. Surat Ethical Clearance ... 90

Lampiran 6. Hasil analisis statistik data ALT dan AST pada uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah induksi CCl4 2 ml/kgBB ……… 91

Lampiran 7. Hasil analisis statistik data kontrol CMC-Na 1%, kontrol CCl4, kontrol dosis tertinggi, dan perlakuan pemberian FHEMM dosis 34,28; 68,57; 137,14 mg/kgBB ………. 100

Lampiran 8. Perhitungan penetapan peringkat dosis fraksi daun M. tanarius pada kelompok perlakuan ……… 106

Lampiran 9. Perhitungan konversi dosis untuk manusia ……….. 107

Lampiran 10. Penetepan kadar air serbuk daun M. tanarius ... 108

(21)

xviii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida berdasarkan penurunan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) serta untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar umur 2-3 bulan dengan berat 130-180 gram. Tiga puluh ekor tikus dibagi acak dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I merupakan kontrol negatif CMC-Na 1% yang diberikan selama 6 hari berturut-turut. Kelompok II merupakan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Kelompok III diberikan FHEMM dosis tertinggi tanpa induksi karbon tetraklorida selama 6 hari berturut-turut. Kelompok IV-VI merupakan perlakuan FHEMM dengan 3 peringkat dosis (34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB) yang diberikan selama 6 hari berturutan, pada hari ke-7 diberikan karbon tetraklorida. Pengambilan darah dilakukan pada jam ke-24 untuk pengukuran kadar LDH. Kadar LDH dianalisis dengan metode

Shapiro-Wilk dan diperoleh distribusi data tiap kelompok normal maka dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way Anova) dengan taraf kepercayaan 95%. Uji Scheffe dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FHEMM terbukti berpengaruh dalam menurunkan aktivitas serum LDH tikus betina galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida 2 ml/kgBB. Tidak terdapat kekerabatan antar dosis FHEMM dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari semakin besar dosis praperlakuan FHEMM, kadar LDH relatif sama.

(22)

xix

Abstract

The purposes of this research were to find out the long-term effect of hexane-ethanol fraction, derived from methanol-water extract Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM), toward Wistar female rats that were induced by carbon tetrachloride based on the decreased lactate dehydrogenase (LDH) activity; and to perceive the correlation of FHEMM doses toward the decreased in LDH activity on Wistar female rats induced by carbon tetrachloride.

This research was done in a pure experimental method by using completely randomized design in one direction. Animal tested for this research was Wistar female rats at the age of 2 to 3 months and with a weight of 130-180 grams. Thirty rats were divided randomly into 6 groups. The first group was the negative control of 1% CMC-Na which was given for 6 days in a row. The second group was the control of 2 ml/kgBW carbon tetrachloride as a hepatotoxin. The third group was given the highest dose of FHEMM without being induced by carbon tetrachloride for six days in a row. The fourth to sixth group were provided with FHEMM with three rankings of dose (34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW) for six days in a row, and on the 7th day carbon tetrachloride was granted. The blood sampling was accomplished on the 24th hour to carry out the measurement of LDH level. LDH level was analyzed by refering to Shapiro-Wilk, and since the data distribution of each group was normal, One Way Anova design with 95% confidence interval continued. Scheffe test was performed to witness the difference between significant groups (p<0.05) and insignificant groups (p>0.05)

The result showed that the FHEMM had an effect in lowering the serum LDH activity of Wistar female rats induced by 2 ml/kgBW carbon tetrachloride. There’s no correlation found between FHEMM doses and the emergence of serum LDH activity, which was seen from the more the dose of FHEMM pre-treatment given, the more LDH levels looked relatively the same.

(23)

1

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Pada hepar

terjadi proses-proses penting bagi kehidupan seperti metabolisme karbohidrat,

lemak, protein, dan detoksifikasi racun atau obat yang masuk ke dalam tubuh

(Price and Wilson, 2005). Hepar merupakan organ yang paling sering rusak (Lu,

1995). Beberapa penyebab kerusakan hepar yaitu infeksi virus, imunologi, dan

obat-obat yang dapat merusak hepar (Williamson, David, and Fred, 1996).

Karbon tetraklorida (CCl4) adalah salah satu dari bahan-bahan kimia

beracun yang menyebabkan model kerusakan hepar atau bersifat hepatotoksik.

Pada penelitian ini, CCl4 digunakan sebagai induktor kerusakan hepar.

Hepatotoksik yang ditimbulkan oleh CCl4 disebabkan oleh senyawa hasil

metabolisme yang bersifat radikal bebas. Senyawa radikal bebas tersebut adalah

triklorometil yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk

triklorometilperoksida (Weber, Boll, and Stampfl, 2003). Triklorometil dengan

bantuan katalis enzim sitokrom P-450 dapat menimbulkan peroksidasi lipid. Hasil

ini dapat menyebabkan kerusakan sel berupa perlemakan hepar (steatosis)

(24)

2

Pada tahun 2001, angka kejadian perlemakan hepar 30,6% dari 1000

orang dengan usia 25 tahun ke atas di kota Depok. Pasien perlemakan hepar

umumnya berusia 40-50 tahun. Perlemakan hepar dapat menyebabkan sirosis,

tetapi potensinya lebih kecil dibandingkan akibat virus. Dari 100 orang penderita

perlemakan hepar, 10-15 orang dapat mengalami sirosis (Sey, 2003). Prevalensi

kejadian steatosis dan steatohepatitis pada obesitas tipe 1 (BMI 30-39,9 kg/m2)

adalah 65% dan 20%, sedangkan pada obesitas tipe 2 (BMI ≥ 40 kg/m2) adalah

85% dan 40% (Petersen, Dufour, Feng, Befroy, Dziura, and Dalla Man, 2006).

Sel-sel hepar yang mengalami kerusakan akan mengakibatkan

enzim-enzim yang terdapat di dalam hepatosit tersebut terlepas ke dalam sirkulasi

sistemik sehingga kadar enzim-enzim tersebut akan meningkat dalam darah.

Enzim-enzim tersebut antara lain alkaline phosphatase (ALP), laktat dehidrogenase (LDH), aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase

(ALT), dan gamma glutamil transferase (GGT) (Weber, Boll, and Stampfl, 2003).

Pada penelitian ini digunakan enzim LDH sebagai parameter kerusakan hepar.

Laktat dehidrogenase (LDH) merupakan enzim intraseluler yang terdapat

pada hampir semua sel yang bermetabolisme. LDH memfasilitasi proses glukosa

menjadi energi di dalam sel. LDH terdapat pada banyak organ dan jaringan di

dalam tubuh seperti hepar, jantung, pankreas, ginjal, otot rangka, otak, dan sel

darah. Aktivitas LDH total dalam serum dapat meningkat pada hampir semua

keadaan kerusakan organ atau jaringan atau bila terjadi destruksi sel. Ada 5 tipe

(25)

3, LDH 4, dan LDH 5. Isoenzim LDH-5 mempunyai konsentrasi yang tertinggi

pada organ hepar (Vincent and Muhopadhyay, 2008).

Radikal bebas dari CCl4 dapat diredam oleh suatu antioksidan. Dalam

kondisi normal radikal bebas jumlahnya seimbang dengan antioksidan sebagai

suatu mekanisme pertahanan. Hepar berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh

tentunya juga memiliki sistem antioksidan yang cukup baik. Tetapi bila hepar

telah rusak karena bahan toksik, maka perlu diberi tambahan antioksidan dari luar

(Zimmerman, 1999). Salah satu tanaman yang mempunyai aktivitas antioksidan

yaitu Macaranga tanarius L. Macaranga tanarius L. (M. tanarius, Euphorbiaceae) merupakan tanaman tropis yang tersebar secara merata di Asia

Selatan dan biasanya disebut sebagai tanaman bersemut (Kumazawa, Murase,

Momose, and Fukumoto, 2013). Akan tetapi, M. tanarius juga dapat ditemukan di Indonesia dan merupakan tanaman asli Indonesia (World Agroforestry Centre,

2002). Pada penelitian Kumazawa et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak etanol

M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan dan antimikroba. Phommart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, Ruchirawat, and Sutthivaiyakit (2005) melaporkan

bahwa M. tanarius mempunyai aktivitas antiinflamasi. Pada penelitian Matsunami, Otsuka, Kondo, Shinzato, Kawahata, Yamaguchi, and Takeda (2009)

melaporkan bahwa ekstrak metanol M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan karena mempunyai macarangiosida A-C dan malofenol B yang dapat menangkap

radikal terhadap DPPH. Berdasarkan penelitian Adrianto (2010) melaporkan

(26)

efek hepatoprotektif. Fraksi heksan-diklorometan ekstrak metanol daun

Macaranga denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan fraksi pelarut lainnya (Mazlan, Mediani, Abas,

Ahmad, Shaari, Khamis, dan Lajis, 2013). Belum ada penelitian mengenai fraksi

heksan-etanol ekstrak metanol-air M. tanarius (FHEMM). Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang

FHEMM terhadap aktivitas LDH pada tikus yang terinduksi CCl4. Selain itu,

pemilihan pelarut fraksi heksan dan etanol didasarkan pada kepolaran senyawa M. tanarius. Kepolaran heksan dan etanol diketahui dengan menggunakan aplikasi

Marvin sketch yaitu sebesar 2,97 yang memiliki kepolaran yang hampir sama dengan senyawa ellagitannin pada M. tanarius yang berhasil diteliti oleh Puteri dan Kawabata (2010) yaitu Chebulagic acid (2,64), Macatanin A (2,76) dan

Macatanin B (2,94) sehingga diharapkan ketiga senyawa tanin tersebut dapat diisolasi dengan pelarut heksan dan etanol karena adanya persamaan kepolaran.

Fraksi ekstrak metanol-air M. tanarius dipilih karena pada bentuk ekstrak dan infusa sudah dapat menghasilkan efek hepatoprotektif, sehingga diharapkan pada

bentuk fraksi juga dapat menghasilkan efek hepatoprotektif dengan kandungan

senyawa yang lebih spesifik yaitu ellagitannin.

1. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan uraian latar

(27)

a. Apakah pemberian jangka panjang FHEMM pada tikus betina

galur Wistar yang terinduksi CCl4 mempunyai efek hepatoprotektif

berdasarkan aktivitas LDH ?

b. Apakah terdapat kekerabatan antara dosis FHEMM jangka panjang

terhadap penurunan kadar serum LDH pada tikus betina galur

Wistar yang terinduksi CCl4 ?

2. Keaslian Penelitian

Sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan

daun M. tanarius. Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) melaporkan bahwa flavonoid dari ekstrak n-heksan dan kloroform daun M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan terhadap 1,1-diphenyl-2-pycrylhydrazyl (DPPH). Macarangioside A, macarangioside B, macarangioside C, dan malofenol B yang diisolasi dari ekstrak metanol daun M. tanarius menunjukkan aktivitas yang poten terhadap DPPH (Matsunami et al., 2009). Pada penelitian invivo menunjukkan bahwa ekstrak metanol-air M. tanarius mempunyai efek analgesik pada mencit betina (Andini, 2010). Windrawati (2013) melaporkan bahwa dosis

sebesar 3840 mg/kgBB merupakan dosis efektif untuk memberikan efek

hepatoprotektif jangka panjang ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Berdasarkan penelitian Tiala (2013) telah dilakukan penelitian efek

hepatoprotektif dengan pemberian ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Nurcahyanti (2013) melaporkan bahwa infusa air daun M. tanarius

(28)

metanol daun Macaranga denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi (Mazlan dkk., 2013). Sejauh

penelurusan pustaka yang dilakukan, penelitian mengenai efek

hepatoprotektif jangka panjang FHEMM pada tikus betina galur Wistar

yang terinduksi CCl4 berdasarkan aktivitas LDH belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat memberikan informasi dalam

bidang kefarmasian yang berhubungan dengan efek hepatoprotektif

jangka panjang FHEMM

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai manfaat penggunaan jangka panjang daun M. tanarius dalam menurunkan kadar LDH.

B. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui FHEMM terhadap penurunan aktivitas LDH

(29)

b. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM pada

tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl4 berdasarkan aktivitas

LDH.

- Untuk mengetahui kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM

terhadap penurunan kadar serum LDH pada tikus betina galur Wistar

(30)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hepar

1. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia dengan berat

kurang lebih 1,5 kg, 2,5% dari berat tubuh orang dewasa normal (Jungueira and

Carneiro, 2002).Pada kondisi hidup, hepar berwarna merah tua karena kaya akan

persediaan darah (Sloane, 2004). Permukaan atas hepar terletak bersentuhan

dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ

abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas

bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior

hepar berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem

[image:30.595.98.528.230.671.2]

porta hepatis (Gambar 1) (Amirudin, 2009).

Gambar 1: Anatomi Hepar (Toole and Susan, 1999)

Secara anatomis hepar terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri

(31)

falsiforme dan postero-inferior oleh fisura untuk ligamentum venosum dan

ligamentum teres. Pada klasifikasi anatomis, lobus kanan terdiri dari lobus

kaudatus dan kuadratus. Akan tetapi, secara fungsional lobus kaudatus dan

sebagian besar lobus kuadratus merupakan bagian dari lobus kiri karena mendapat

darah dari arteri hepatika sinistra dan aliran empedunya menuju duktus hepatika

sinistra. Oleh karenanya, klasifikasi fungsional hepar menyatakan bahwa batas

antara lobus kanan dan kiri terletak pada bidang vertikal yang berjalan ke

posterior dari kandung empedu menuju vena kava inferior (Faiz and Moffat,

2003).

Bila permukaan postero-inferior (viseral) hepar dilihat dari belakang

terlihat bentuk huruf H yang terdiri dari sulkus dan fosa. Batas-batas huruf H ini

adalah :

a. Kaki anterior kanan-fosa kandung empedu.

b. Kaki posterior kanan-sulkus untuk vena kava inferior.

c. Kaki anterior kiri-fisura yang berisi ligamentum teres (sisa vena umbilikalis

sinistra fetus yang mengalirkan kembali darah yang mengandung oksigen

dari plasenta ke fetus).

d. Kaki posterior kiri-fisura untuk ligamentum venosum (struktur ini

merupakan sisa ductus venosus fetus; pada fetus duktus venosus berfungsi

sebagai jalan pintas yang mempersingkat aliran darah dari vena umbilikalis

sinistra langsung ke vena kava inferior tanpa melalui hepar).

e. Kaki horizontal-porta hepatis. Lobus kaudatus dan kuadratus hepar adalah

(32)

Hepar terdiri dari banyak unit fungsional (Gambar 2). Hepar disuplai

oleh dua pembuluh darah yaitu vena porta hepatika yang berasal dari lambung dan

usus yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang

larut dalam air dan mineral; dan arteri hepatika, cabang dari arteri koliaka yang

kaya akan oksigen. Cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika mentranspor

darah melalui kanalis porta menuju vena sentralis melalui sinusoid yang melintasi

lobulus. Vena sentralis akhirnya bergabung dengan vena hepatika dekstra, sinistra,

dan sentralis yang mengalirkan darah dari daerah hepar di sekitarnya kembali ke

vena kava inferior. Kanalis porta juga mendapat percabangan dari duktus hepatika

yang mengalirkan empedu dari lobulus ke bawah ke cabang bilier dimana empedu

bisa dikonsentrasikan dalam kandung empedu dan akhirnya dikeluarkan ke

duodenum. Panjang usus yang darahnya mengalir melalui vena porta menjelaskan

[image:32.595.99.513.273.632.2]

predisposisi tumor usus bermetastasis ke hepar (Faiz and Moffat, 2003).

Gambar 2: Lobulus Hepar (Faiz and Moffat, 2003).

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini

penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hepar menghasilkan

empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus kanan

(33)

sekresi empedu, hepar juga melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal

berikut:

1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein).

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa

asing lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting

untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan

kolesterol dalam darah.

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D yang dilakukan oleh hepar bersama dengan ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang sudah tua atau rusak.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin yang merupakan produk penguraian yang

berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah tua atau rusak

(Sherwood, 2001).

2. Kerusakan Hepar

Kondisi toksisitas hepar dipersulit oleh berbagai kerusakan hepar dan

mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hepar sering menjadi organ

sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui

sistem gastrointestinal dan setelah toksikan diserap lalu dibawa oleh vena porta ke

(34)

Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti jenis zat kimia, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut

seperti akut, subkronik atau kronik. Semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa

yang diberikan maka respon toksik yang ditimbulkan semakin besar. Kerusakan

hepar dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya

disfungsi hepar secara perlahan-lahan (Amalina, 2009).

Hepatotoksisitas akibat senyawa kimia merupakan komplikasi potensial

yang hampir selalu ada pada setiap senyawa kimia yang diberikan karena hepar

merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan asing yang

masuk. Sebagaimana yang dinyatakan Robins and Kumar (1992) bahwa

kerusakan sel hepar jarang disebabkan oleh suatu substansi secara langsung,

melainkan seringkali oleh metabolit toksik dari substansi yang bersangkutan.

Hepar merupakan organ paling sering rusak (Lu, 1995). Karena

metabolisme obat/ berbagai senyawa terutama terjadi dalam hepar, sehingga

kemungkinan terjadinya kerusakan organ ini menjadi sangat besar (Powell and

Piper, 1989). Apabila proses metabolisme tidak berjalan dengan normal, maka

akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit yang terjadi

di hepar. Sel-sel yang terdapat di hepar akan terdeposit sehingga akan mengalami

perubahan (Sherwood, 2001). Selain itu, hepar juga mempunyai kemampuan

untuk mengeluarkan toksikan dengan kapasitasnya yang lebih tinggi dalam proses

biotransformasi toksikan. Akan tetapi paparan oleh berbagai bahan toksik secara

(35)

Kerusakan hepar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kerusakan hepar akut

dan kerusakan hepar kronis. Kerusakan hepar akut disebabkan karena virus,

obat-obatan, alkohol dan keadaan iskemik. Kerusakan hepar akut ditandai dengan

adanya penyakit kuning, hipoglikemia, gangguan elektrolit dan asam-basa,

ensefalopati hepar, dan kenaikan serum enzim yang berhubungan dengan kasus

nekrosis hepar. Kerusakan hepar akut memiliki angka kematian yang tinggi.

Sedangkan kerusakan hepar kronis yaitu hepatitis kronis, sirosis hepar dan

hepatoma (Chandrasoma and Taylor, 1995). Mekanisme kerusakan sel hepar

karena obat (Gambar 3) :

1. Apabila reaksi energi tinggi melibatkan enzim sitokrom p-450

menyebabkan ikatan kovalen obat dengan protein intrasel, maka akan terjadi

disfungsi intraseluler berupa hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP,

dan disrupsi aktin pada permukaan hepatosit yang menyebabkan

pembengkakan sel.

2. Disrupsi aktin pada membran kanalikuli dapat menghalangi aliran bilier

menyebabkan kolestasis. Kolestasis bersama dengan proses kerusakan

intrasel akan menyebabkan akumulasi asam empedu sehingga menyebabkan

kerusakan hepatosit lebih lanjut.

3. Reaksi hepatoseluler yang melibatkan senyawa besi heme akan

menyebabkan timbulnya ikatan kovalen antara enzim dengan obat sehingga

reaksi enzimatik tidak bekerja.

4. Obat dengan molekul kecil berfungsi sebagai hapten membentuk kompleks

(36)

menginduksi sel T untuk membentuk antibodi atau menginduksi respon

sitotoksik sel T dan sitokin.

5. Obat yang bersifat imunogenik dapat mengaktifasi Tumor Necrosis Factor -α (TNF-α) sehingga memicu terjadinya apoptosis.

6. Obat yang menghambat proses oksidasi dan sistem respirasi mitokondria,

akan menyebabkan penumpukan Reactive Oxygen Species/Reactive Ntrogen Species (ROS/RNS), gangguan sintesis ATP. Selama sel tidak mendapat energi dari proses oksidatif, maka akan terjadi glikolisis anaerob yang

memproduksi ATP dan energi. Akibatnya, produksi asam laktat meningkat

menyebabkan DNA inti memadat, sehingga sintesis RNA baru dan protein

akan terhenti. Selain itu, akumulasi ROS/RNS yang berlebihan dapat

[image:36.595.100.524.170.686.2]

memacu proses apopotosis (Lee, 2003).

(37)

Jenis-jenis kerusakan hepar yang dapat timbul dari berbagai jenis

senyawa toksik :

1. Steatosis (Perlemakan hepar)

Perlemakan hepar adalah keadaan dimana lemak yang terdapat di hepar

melebihi 5% dari berat hepar normal (Soemarto, 1996). Secara teoritis lemak

dapat mengalami akumulasi di hepar melalui beberapa mekanisme (Gambar 4)

yaitu,

a. Peningkatan transfer lemak atau asam lemak dari usus ke hepar. Makanan

berlemak dikirim melalui sirkulasi terutama dalam bentuk kilomikron.

Lipolisis pada jaringan adiposa melepaskan asam lemak kemudian

bergabung dengan trigliserida di dalam adiposit, tetapi beberapa asam lemak

dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diambil oleh hepar, sisa kilomikron juga

dikirim ke hepar.

b. Peningkatan sintesis asam lemak atau pengurangan oksidasi di mitokondria,

keduanya akan meningkatkan sintesis trigliserida melalui proses esterifikasi.

c. Gangguan pengeluaran trigliserida keluar dari sel hepar. Pengeluaran

trigliserida dari sel hepar tergantung ikatannya dengan apoprotein, fosfolipid

dan kolesterol untuk membentuk very low density lipoprotein (VLDL). d. Kelebihan karbohidrat yang dikirim ke hepar dapat dirubah menjadi asam

(38)
[image:38.595.97.514.115.537.2]

Gambar 4 : Patogenesis perlemakan hepar (Zivkovic, German, and Sanyal 2007).

2. Nekrosis Hepar

Nekrosis hepar merupakan kematian hepatosit dan merupakan kerusakan

hepar akut. Beberapa zat kimia dapat menyebabkan nekrosis akut (Lu, 1995).

Nekrosis ditandai dengan pembengkakan sel, kebocoran, disintegrasi nukleus, dan

adanya sel-sel inflamasi. Nekrosis sel hepar fokal adalah nekrosis yang terjadi

secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah

lobulus-lobulus hepar. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik

(councilman) yang merupakan sel hepar nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga

pada daerah lisis sel hepar yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hepar adalah nekrosis sel hepar yang terjadi pada

regio-regio yang identik disemua lobulus hepar, sedangkan nekrosis submasif

merupakan nekrosis sel hepar yang meluas melewati batas lobulus, sering

(39)

(Chandrasoma and Taylor, 2005). Nekrosis dapat dideteksi dengan pengujian

biokimia plasma (atau serum) untuk enzim yang dihasilkan di sitosol, aktivitas

enzim alanin aminotransferase (ALT) yang mendominasi enzim di hepatosit dan

aktivitas enzim LDH yang terdapat di berbagai jaringan (Gregus and Klaaseen,

2001).

3. Kolestasis

Kegagalan produksi atau pengeluaran empedu merupakan definisi dari

kolestasis. Kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak, vitamin

dan juga terjadi penumpukan asam empedu, bilirubin, dan kolesterol di hepar

(Depkes RI, 2007).

4. Sirosis Hepar

Sirosis hepar adalah penyakit hepar menahun yang ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan nekrosis sel hepar yang luas, pembentukan jaringan

ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar akan menimbulkan

perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan

jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan

stadium terakhir dari penyakit hepar kronis dan terjadinya pengerasan dari hepar

yang akan menyebabkan penurunan fungsi hepar dan bentuk hepar yang normal

akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan

(40)

portal. Pada sirosis dini biasanya hepar membesar, kenyal, tepi tumpul, dan terasa

nyeri bila ditekan.

Secara fungsional sirosis hepar dibagi menjadi:

a. Sirosis hepar kompensata atau sirosis hepar laten, yang berarti belum

adanya gejala klinis yang spesifik. Skrining adalah cara untuk mengetahui

penyakit ini.

b. Sirosis hepar dekompensata atau Active Liver Cirrhosis, dimana terdapat gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan

kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat

perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar

(Nurdjanah, 2007).

Secara morfologi sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:

a. Makronodular

Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya

bervariasi dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi

parenkim (Lawrence, 2005).

b. Mikronodular

Sirosis mikronodular ditandai dengan terbentuk septa tebal teratur yang

terdapat dalam parenkim hepar, mengandung nodul halus dan kecil tersebar

diseluruh lobul

(Lawrence, 2005).

c. Kombinasi antara bentuk makronodular dan mikronodular

(41)

Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis

hepar atas:

a. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronodular atau

subacute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrosis.

b. Nutritional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronodular, sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.

c. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita hepatitis (Nurdjanah, 2007).

5. Kanker Hepar

Kanker pada hepar yang banyak terjadi yaitu Hepatocellular carcinoma

(HCC) yang merupakan komplikasi dari hepatis kronis yang serius terutama

karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Lu, 1995).

B. Laktat Dehidrogenase

LDH adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel

yang bermetabolisme dan jika sel rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH

dalam serum. LDH serum total tidak spesifik terhadap suatu jaringan tertentu,

melainkan isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH 1 hingga LDH 5 yang spesifik

terhadap jaringan tertentu(Gavaghan, 1999).

Ada 5 tipe LDH atau isoenzim dengan konsentrasi yang berbeda pada

(42)

darah merah, LDH 2 terdapat pada sel darah putih, LDH 3 terdapat pada

paru-paru, LDH 4 terdapat pada ginjal, plasenta, dan pankreas, LDH 5 terdapat pada

[image:42.595.98.512.193.558.2]

hepar dan otot rangka (Rahaju, 2003) (Gambar 5).

Gambar 5: Isoenzim LDH (Berg, Tymoczko and Stryer, 2002)

Nilai normal LDH berdasarkan umur yaitu umur 1-3 hari sebesar

135-750 U/L; 31 hari- 11 bulan sebesar 180-435 U/L; 1-3 tahun sebesar 160-370 U/L;

4-6 tahun sebesar 145-345 U/L; 7-9 tahun sebesar 143-290 U/L; 10-12 tahun

sebesar 120-293 U/L; 13-15 tahun sebesar 110-283 U/L; 16-17 tahun sebesar

105-233 U/L; lebih besar sama dengan 18 tahun sebesar 122-222 (Burtis and

Ashwood, 2006).

Pengukuran isoenzim dilakukan apabila terjadi peningkatan LDH.

Presentasi kadar normal isoenzim pada dewasa yaitu, LDH 1 sebesar 17-27%;

LDH 2 sebesar 27-37%; LDH 3 sebesar 18-25%; LDH 4 sebesar 3-8%; LDH 5

sebesar 0-5%. Peningkatan LDH 5 menandakan bahwa terjadi kerusakan pada

hepar atau penyakit hepar (Marianne, 2015).

Laktat dehidrogenase mengkatalisis proses reduksi piruvat menjadi laktat

menghasilkan NADH. Reaksi ini berlangsung di sitosol. Asam laktat atau laktat

(43)

laktat diproduksi setiap hari. Semua jaringan dapat memproduksi laktat dan asam

piruvat dari glukosa (Luft, 2001).

Jalur metabolisme glikolisis merupakan langkah awal metabolisme

glukosa dan terjadi pada sitoplasma sel. Produk akhir dari proses ini adalah

piruvat, yang selanjutnya berdifusi ke dalam mitokondria dan dimetabolisme

menjadi karbon dioksida melalui siklus kreb. Metabolisme glukosa menjadi

piruvat juga terjadi sebagai akibat reduksi dari kofaktor enzim yang

mengoksigenasi bentuk nicotinic acid dehydrogenase (NAD+) menjadi nicotinic acid dehydrogenase (NADH), bentuk tereduksi (Murray, Granner, and Mayes, 1995).

NADH/NAD+ merupakan kofaktor pertukaran atom hidrogen yang

dilepaskan atau yang dipakai. Oleh karena itu, rasio laktat/piruvat selalu

sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di sitosol. Konsentrasi laktat yang tinggi

juga disertai dengan konsentrasi yang tinggi dari piruvat atau NADH di sitosol,

atau keduanya. Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di sitosol

melebihi penggunaannya oleh mitokondria. Sintesis laktat juga dapat terjadi bila

metabolisme glukosa melebihi kapasitas oksidatif mitokondria (Luft, 2001).

Laktat berdifusi keluar dari sel dan dikonversi menjadi piruvat dan

selanjutnya dimetabolisme secara aerob menjadi karbondioksida dan ATP.

Jantung, hepar, dan ginjal menggunakan laktat dengan cara ini. Sebagai alternatif,

jaringan hepar dan ginjal dapat menggunakan laktat untuk menghasilkan glukosa

(44)

dan eritrosit. Laktat dimetabolisme oleh hepar, ginjal, dan jantung (Gambar 6)

(Duke, 1999).

Glucose Mitochondrial pO2 (mmHg)

Pyruvic acid 10

Oxidation by Krebs cycle

36 molecules of ATP

(1270 kJ energy)

Metabolic adaption: Liver glycogen

Recruitment of redox component 4

of electron transport 1 Glucose Cori cycle

changes in phosphorylation state Pyruvic acid ATP

requiring

DYSOXIA 2 molecules of ATP + lactate

(67 kJ energy)

Membrane transport Increased intra-

Cell consumption cellular lactate

Microcirculatory blood flow

Increased blood

ATP production lactate

Unable to match demand

Sepsis Clearance by liver,

Alkalosis Kidney, GI tact,

Regional blood flow Decreased Muscle

Liver function Intracellular pH

Disruption of Transport proteins,

Cell membrane synthesis and

[image:44.595.104.502.174.673.2]

Specialized cell function

(45)

C. Hepatotoksin

Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada

jaringan hepar (Robbins and Kumar, 1995). Hepatotoksin juga merupakan zat

yang mempunyai efek toksik pada hepar dengan dosis berlebih atau dalam jangka

waktu yang lama (Watt and Zimmerman, 1978). Berdasarkan mekanisme

kerusakan hepar, hepatotoksin dibagi menjadi dua macam :

a. Hepatotoksin intrinsik

Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi,

tergantung dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat

dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan

hepar sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa minggu). Contoh obat

dari hepatotoksin tipe ini antara lain tetrasiklin, parasetamol, karbon tetraklorida,

dan salisilat (Aslam, Tan dan Prayitno, 2003).

b. Hepatotoksin idiosinkratik

Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat

diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan

metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak

tergantung pada dosis pemberian. Contoh obat dari hepatotoksin tipe ini antara

(46)
[image:46.595.98.514.93.527.2]

D. Karbon Tetraklorida

Gambar 7. Struktur Karbon Tetraklorida (Dirjen POM, 1995).

CCl4 (Gambar 7) merupakan cairan jernih, tak berwarna, tidak larut

dalam air, mudah menguap dan mempunyai bau khas. Berat Molekul CCl4 yaitu

153,82 (Dirjen POM, 1995). CCl4 merupakan cairan yang tidak mudah terbakar

dan larut dalam etanol, aseton, benzene, dan karbon disulfida. CCl4 digunakan

dalamindustri sebagai pelarut organik. (Oehha, 2000).

CCl4 merupakan senyawa kimia yang sudah terbukti bersifat

karsinogenik. Pada penelitian Haki (2009) telah dilakukan penelitian

menggunakan hepatotoksin CCl4. Panjaitan, Handharyani, Chairul, Masriani,

Zakiah, dan Manalu (2007) melaporkan bahwa sekelompok tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi karbon tetraklorida mengalami steatosis pada sel-sel hepar tikus dan kerusakan yang diakibatkan oleh CCl4 sebanding dengan dosis yang

diinduksikan. Rosnalini (1995) melakukan penelitian mengenai hepatotoksin CCl4

dengan menggunakan senyawa hepatoprotektif kurkuminoid. CCl4 dapat melalui

membran sel dan CCl4 yangtertelan akan didistribusikan ke semua organ, tetapi

(47)
[image:47.595.99.524.114.642.2]

Gambar 8: Mekanisme CCl4 merusak hepar (Fausto, 2006)

Hepar menjadi target utama karena senyawa ini bergantung pada

aktivasi metabolisme sitokrom P-450 (CYP2E1). Dosis rendah karbon tetraklorida

dapat menyebabkan perlemakan hepar dan destruksi CYP2E1. Destruksi CYP2E1

terjadi terutama di sentrilobular dan daerah tengah hepar. Senyawa ini selektif

untuk isoenzim tertentu, pada tikus diketahui selektif untuk CYP2E1, sedangkan

pada isoenzim lain seperti CYP1A1 tidak mempengaruhi (Timbrell, 2008).

CCl4 merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk menginduksi

peroksidasi lipid dan keracunan. Dalam endoplasmik retikulum hepar CCl4

dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas

triklorometil (CCl3*) (Jeon, Hwang, Park, Shin, Choi, Park, 2003). Triklorometil

dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi yang dapat

menyerang lipid membran endoplasmik retikulum dengan kecepatan yang

melebihi radikal bebas triklorometil. Selanjutnya triklorometilperoksi

(48)

akhirnya menyebabkan kematian sel (Shanmugasundaram and Venkataraman,

2006).

Penyusun utama membran sel adalah lipid, protein, dan karbohidrat.

Lipid yang menyusun membran adalah fosfolipid. Fosfolipid merupakan molekul

yang bersifat amfipatik, artinya memiliki daerah hidrofilik dan hidrofobik.

Keberadaan dua lapis fosfolipid mengakibatkan membran memiliki permeabilitas

selektif, tetapi protein juga ikut menentukan sebagian besar fungsi spesifik

membran. Membran plasma dan membran organel memiliki ragam protein yang

spesifik. Molekul lipid dan molekul protein pada membran tidak terikat secara

kovalen, melainkan melalui interaksi nonkovalen yang kooperatif (Delgado and

Remers, 1991).

Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai

panjang tak jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas. Menurut Jeon et al. (2003) jumlah PUFAs dalam fosfolipid membran endoplasmik retikulum akan berkurang sebanding dengan jumlah CCl4 yang diinduksikan. Pemberian CCl4

dalam dosis tinggi dapat merusak endoplasmik retikulum, mengakumulasi lipid,

mengurangi sintesis protein, mengacaukan proses oksidasi, menurunkan bobot

badan, menyebabkan pembengkakan hepar sehingga bobot hepar menjadi

bertambah, dan pemberian jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis

(49)
[image:49.595.100.511.117.596.2]

Gambar 9: Mekanisme CCl4 terhadap akumulasi lemak di hepar (Fausto, 2006)

E. Macaranga tanarius L.

Hepatoprotektor merupakan senyawa atau zat berkhasiat yang dapat

melindungi sel-sel hepar terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel

hepar. Mekanisme senyawa hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksifikasi

senyawa racun baik yang masuk dari luar (eksogen) maupun yang terbentuk

dalam tubuh (endogen) pada proses metabolisme, meningkatkan regenerasi hepar

yang rusak, antiradang, dan sebagai imunostimulator (Dalimarta, 2000). Hepar

berfungsi sebagai pertahanan tubuh tentunya juga memiliki sistem antioksidan

yang cukup baik. Tetapi bila hepar telah rusak karena bahan toksik, maka perlu

diberi tambahan antioksidan dari luar. Pada penelitian ini, M. tanarius dipilih sebagai senyawa yang mempunyai fungsi hepatoprotektif terhadap kerusakan

yang diinduksi oleh CCl4.

1. Sinonim

(50)

2. Nama lain

Inggris : hairy mahang

Filipina : binunga, himindan, kuyonon

Indonesia : hanuwa, mapu, mara, tutup ancur

Malaysia : ka-lo, kundoh, mahang puteh, tampu

Thailand : hu chang lek, ka-lo, lo khao, mek, paang

Vietnam : hach dâu-nam

(World Agroforestry Centre, 2002)

3. Taksonomi

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Macaranga

Spesies : Macaranga tanarius L. (Mus, 2008).

4. Morfologi

Tinggi pohon tanaman M. tanarius mencapai 20 meter. Daun berwarna hijau, berbentuk jantung dan pangkalnya berbentuk bulat dengan ukuran daun

(51)

tebal dan berwarna hijau keabu-abuan. Buah tanaman berbentuk kapsul biccocus

dengan panjang 1 cm, berwarna kekuningan. Biji tanaman berbentuk bulat dengan

ukuran 5 mm (World Agroforestry Centre, 2002).

5. Kandungan

M. tanarius memiliki berbagai macam kandungan kimia. Daun M. tanarius mempunyai kandungan senyawa lauroside E, metil brevifolin karboksilat, isoquercitrin, hiperin, mallophenol B, macarangioside A,

macarangioside B, macarangioside C, macarangioside D yang diisolasi dari ekstrak metanol (Gambar 10) (Matsunami, Ichiko, Takakazu, Mitsunori,

[image:51.595.99.515.238.654.2]

Kazunari, Hideaki, et al., 2006).

Gambar 10 : Kandungan senyawa ekstrak metanol M. tanarius(Matsunami et al., 2006)

Kumazawa et al. (2013) menganalisis mengenai kandungan senyawa antioksidan dari ekstrak etanol M. tanarius yaitu nymphaeol A, nymphaeol B,

(52)
[image:52.595.100.513.111.634.2]

Gambar 11 : Kandungan senyawa ekstrak etanol M. tanarius (Kumazawa et al., 2013)

Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) terdapat tiga kandungan senyawa baru ekstrak n-heksan dan kloroform daun M. tanarius yaitu tanarifuranonol, tanariflavanone C, dan tanariflavanone D (Gambar 12) beserta tujuh kandungan yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B,

nymphaeol C, tanariflavanone B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8

dihydrovomifoliol dan annuionone)

Gambar 12 : Tiga senyawa baru dari M. tanarius: tanarifuranonol (1)

tanariflavanone C (2) tanariflavanone D (3) (Phommart et al., 2005)

Puteri dan Kawabata (2010) menganalisis kandungan senyawa

antioksidan dari ekstrak etil asetat daun M. tanarius yaitu mallotinic acid,

(53)
[image:53.595.98.511.106.621.2]

Gambar 13: Kandungan senyawa ekstrak etil asetat M. tanarius: mallotinic acid

(1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4) dan macatannin B (5) (Puteri dan Kawabata, 2010)

6. Khasiat dan Kegunaan

Daun M. tanarius dapat digunakan sebagai obat diare dan sebagai antiseptik (Lin, Nonaka, and Nishioka, 1990). Akar M. tanarius dapat digunakan sebagai agen emetik dan ekstrak metanol daun M. tanarius mempunyai aktivitas antibakteri (Lim, Lim, and Yule, 2009). Kumazawa et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak etanol M. tanarius mempunyai aktivitas antioksidan dan antimikroba. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor jangka panjang (Ardianto, 2010). Nugraha (2010) melaporkan

bahwa infusa daun M. tanarius juga memiliki khasiat sebagai efek hepatoprotektif. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius memiliki khasiat sebagai antiinflamasi (Kurniawaty, 2007). Menurut penelitian Puteri dan Kawabata

(2010), pada ekstrak etil asetat daun M. tanarius mempunyai aktivitas menghambat α-glukosidase yang berpotensi sebagai antidiabetik. Khasiat lain

(54)

dapat digunakan sebagai antidiabetes (Oktavia, 2012). Di Cina, tanaman ini

dijadikan sebagai produk minuman kesehatan (Lim, et al., 2009).

F. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewan menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Dirjen POM, 1995).

Ekstrak dikelompokan atas dasar sifatnya, yaitu :

a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan

dapat dituang.

b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak

dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya

kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran

bakteri.

c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah

dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikian sehingga satu bagian

simplisia sesuai dengan dua bagian ekstrak cair (Voight, 1994).

Ekstrak diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi adalah penarikan

konstituen yang diinginkan dari simplisia dengan pelarut tertentu, yang dapat

(55)

dibedakan menjadi infudasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian

berkesinambungan (Dirjen POM, 1979).

Proses ekstraksi dapat melalui tahap pembuatan serbuk, pembasahan,

penyarian, dan pemekatan. Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus

dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum

dari zat aktif dan yang seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan

(Depkes RI, 2000).

Ekstraksi dengan metode maserasi merupakan cara penyarian sederhana

yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari

selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambal

diaduk (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010) .

Proses maserasi berakhir artinya bahwa keseimbangan antara bahan yang

diekstraksi pada bagian dalam sel dan luar sel telah tercapai maka proses difusi

segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan

berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi

yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi

menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu

maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar

perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil

yang diperoleh (Voight, 1994).

Kerugian dari ekstraksi dengan metode maserasi yaitu pengerjaannya

lama dan penyarian kurang sempurna. Maserasi kinetik berarti dilakukan

(56)

pertama, dan seterusnya. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi

(Depkes RI, 2000).

G. Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat cair.

Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu

dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan

larut dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam pelarut semi

polar, dan yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar (Harborne, 1987).

Fraksinasi umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong

pisah atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu

metode pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom (Sastrohamidjojo,

1985). Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk

memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara dua fase pelarut yang

memiliki massa jenis berbeda yang tidak tercampur.

Macam-macam proses fraksinasi :

a. Proses fraksinasi kering (Winterization)

Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat

molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah

dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian

fraksinasinya rendah.

b. Proses fraksinasi basah (Wet fractionation)

Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat

(57)

proses detergen. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi

kering.

c. Proses fraksinasi dengan menggunakan solvent/pelarut (Solvent fractionation)

Proses fraksinasi ini menggunakan pelarut. Proses fraksinasi ini lebih mahal

dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan

pelarut.

d. Proses fraksinasi dengan pengembunan (Fractional condentation)

Proses fraksinasi ini didasarkan pada titik didih dari suatu zat/bahan

sehingga dihasilkan suatu produk dengan kemurnian yang tinggi. Fraksinasi

pengembunan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi (Stahl, 1985).

H. Landasan Teori

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini

penting untuk sekresi empedu, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta

detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa, hormon, obat dan juga senyawa asing

lainnya (Sherwood, 2001).

Senyawa yang bersifat hepatotoksin dapat menyebabkan kerusakan

hepar. Salah satu model senyawa hepatotoksin yaitu CCl4. CCl4 merupakan

molekul sederhana, yang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular hepatik dan

perlemakan di hepar. Target utama dari ketoksikan CCl4 adalah hepar. Toksisitas

CCl4 bergantung pada metabolisme aktivasi oleh sitokrom P-450 (CYP2E1)

(58)

CYP3A untuk membentuk radikal triklorometil (Naik and Panda, 2007). CCl4

akan bereasi dengan oksigen membentuk radikal triklorometil peroksi (Gregus

dan Klaaseen, 2001). Radikal bebas triklorometil dengan katalis enzim sitokrom

P-450 dapat menimbulkan peroksidasi lipid serta dapat berikatan secara kovalen

dengan protein dan lipid sehingga mengakibatkan steatosis dan penimbunan lipid

yang dapat mengganggu integritas membran sel hepar (Timbrell, 2008).

Kadar LDH menjadi tinggi secara abnormal saat serangan jantung dan

penyakit hepar, juga beberapa jenis penyakit lain. LDH memegang peranan

penting dalam produksi energi dalam sel-sel tubuh (Michael and Roizen, 2007).

Daun M. tanarius memiliki aktivitas antioksidan dengan kandungan senyawa laurosida E, metil brevifolin karboksilat, isokuercitin, hiperin,

mallophenol B, macarangioside A, macarangioside B, dan macarangioside C,

macarangioside D yang diisolasi dari ekstrak metanol yang dapat menangkap radikal bebas terhadap DPPH (Matsunami et al., 2009). Kumazawa et al. (2013) menganalisis mengenai kandungan senyawa antioksidan dari M. tanarius yaitu

nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, isonymphaeol B, dan 3’ -geranyl-naringenin. Berdasarkan penelitian Phommart et al. (2005) terdapat tiga kandungan senyawa baru yaitu tanarifuranonol, tanariflavanon C, dan

(59)

denticulate dan Macaranga pruinosa memiliki kandungan aktivitas antioksidan tertinggi (Mazlan dkk., 2013).

Kandungan senyawa-senyawa ellagitannin M. tanarius yang terlarut dalam pelarut heksan-etanol diharapkan dapat menghambat perlemakan hepar

sehingga dapat mengurangi ketoksikan yang disebabkan oleh CCl4.

I. Hipotesis

Pemberian jangka panjang FHEMM dapat menurunkan kadar serum

(60)

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni untuk

mengetahui hubungan ada tidaknya akibat setelah perlakuan yaitu penurunan

aktivitas serum LDH setelah diberi FHEMM, kemudian terdapat kelompok

kontrol sebagai pembanding dan kelompok perlakuan yang diberi perlakuan yang

sama. Setiap kelompok diambil darahnya sebelum dan sesudah perlakuan untuk

perbandingan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian acak lengkap

pola searah dimana hewan uji diambil secara ra

Gambar

Tabel I.  Nilai purata ± SE aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian CCl4 dengan dosis  2
Gambar 17. Diagram batang purata aktivitas serum LDH setelah
Gambar 1: Anatomi Hepar (Toole and Susan, 1999)
Gambar 2: Lobulus Hepar (Faiz and Moffat, 2003).  Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Cara ini dapat dilakukan dengan cepat dan sederhana. • Uji didih ini dapat digunakan utk mendeteksi apakah susu sdh disimpan terlalu lama tanpa pendinginan dan sudah

Selama ini perkara yang berasal dari wilayah kabupaten Nunukan ditangani di Pengadilan Agama Tarakan, ada yang disidangkan di Tarakan dan juga ada yang disidangkan dengan cara

- Bahwa Terdakwa memperoleh 1 (satu) batang rokok ganja terbalut dengan kertas tiktak putih tersebut dari seorang laki-laki yang namanya tidak diketahui seharga

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan Kebakaran Lahan dan Hutan (Lembaran Negara

kebohidnr. pnlein .bn lenat heniadi 2arzi ydg lebih ederhsa scFeni.. asm anino de asm lenal sehingga frud:n dicema oleh temal,. dGmping it! lemenusi.iDea dapat

[r]

cflb{n€ruP*u$Ld$fuloD!di]ek sdda4LinaPdd.klqdddFogtd@arb.Unqoapdo] 'l'i0,1'l!1Ln!Fb' sqdode^@F*eob4utb&amp;nod d4kl*uhsnFit@ddag\d n{gmb'gls6nnigb*orM. a&amp; &amp;L$4a hLi!r3 najldi

[r]