Pratiwi, Nurvianti K. Thesis. Perancangan dan Uji Coba Modul Pelatihan untuk Meningkatkan Role Salience Menjadi Kategori Sedang pada Wanita Dual Career di Bandung.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya wanita dual career di Bandung yang mengalami kesulitan dalam menjalankan peran sehari-hari, terutama peran dalam pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare). Mereka tidak mampu bertingkah laku efektif dan optimal saat menjalankan sebuah peran karena terganggu dengan pemenuhan peran yang lain. Gejala yang dirasakan oleh wanita dual career tersebut terkait dengan role reward value dan role commitment yang merupakan dimensi dari role salience. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka diperlukan intervensi yang dapat membantu wanita dual career untuk menjalankan peran secara efektif dan optimal. Model intervensi yang sesuai adalah pelatihan dengan meningkatkan dimensi role reward value dan role commitment menjadi kategori sedang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan role salience sesudah diberi pelatihan pada wanita dual career di Bandung.
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah Teori Role Salience dari Ellen S. Amatea, Gail Cross, Jack E. Clark, dan Carol l. Bobby (1986). Role salience dapat diukur melalui area pekerjaan (occupational), perkawinan (marital), orang tua (parental), dan pemeliharaan rumah (homecare) pada dua dimensi, yaitu role reward value dan role commitment.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah quasi experimental dengan teknik one group design, pre and post test. Rancangan modul pelatihan terdiri dari 5 sesi, terbagi atas 1 sesi pembuka dan 4 sesi materi. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur role salience berbentuk kuesioner yang dikembangkan oleh Amatea et al (1986), yaitu The Life Role Salience Scale (LRSS). Teknik analisis hasil uji coba pelatihan menggunakan teknik uji beda Wilcoxon untuk mengetahui peningkatan pada setiap dimensi role salience sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.
Dari hasil uji hipotesis Wilcoxon, diperoleh T hitung < T Tabel sehingga H0 ditolak dan
H1 diterima, yang berarti terdapat peningkatan pada setiap dimensi role salience sebelum dan
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah ………...1
1.2.Identifikasi Masalah ………...16
1.3.Maksud Dan Tujuan Penelitian ………...16
1.3.1. Maksud ………..……….16
1.3.2. Tujuan ………..………….16
1.4.Kegunaan Penelitian ………..………....17
1.4.1. Kegunaan Teoritis ………..…………....17
1.4.2. Kegunaan Praktis ………...17
1.5.Prosedur Penelitian ………....………....18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work and Family Role Salience ………..………...19
2.2 Individu Dual Career ………..………..…………...26
2.5 Merancang Modul Pelatihan ………...29
2.5.1 Mengembangkan Tujuan Pelatihan Aktif ………...31
2.5.2 Mengembangkan Tujuan Umum ………..31
2.5.3 Mengembangkan Tujuan Khusus ………...32
2.5.4 Taksonomi Tujuan Instruksional ………..35
2.5.5 Menginformasikan Materi Pelatihan ………....36
2.5.6 Pedoman Umum Merancang Program Training ………..37
2.5.7 Metode Pelaksanaan Pelatihan ……….38
2.5.8 Evaluasi Modul Pelatihan ………....42
2.5.8.1 Penerapan Model Evaluasi Empat Level . ………...43
2.6 Kerangka Pemikiran ……….46
2.7 Asumsi Penelitian ………...61
2.8 Hipotesis Penelitian . ………...61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ………....63
3.2 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional ………..65
3.2.1 Variabel Penelitian ………....65
3.2.2 Definisi Konseptual ………..66
3.2.3 Definisi Operasional ……….66
3.3 Alat Ukur ………..70
3.3.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ………..71
3.3.3 Sistem Penilaian ………....71
3.3.4 Validitas alat ukur The Life Role Salience Scale ………..72
3.3.5 Reliabilitas alat ukur The Life Role Salience Scale ………..74
3.4 Data Penunjang ………...75
3.4.1 Data Pribadi (Identitas) ……….75
3.4.2 Hasil Observasi ...………....75
3.5 Populasi Sasaran Dan Teknik Penarikan Sampel ..………....75
3.5.1 Populasi Sasaran ………...75
3.5.2 Karakteristik Populasi ……..……….76
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ..………...76
3.6 Waktu Penelitian . ………...76
3.7 Teknik Analisis Data ……….………...77
3.7.1 Tahap Analisis Mengenai Role Salience ………..………....77
3.7.2 Tahap Penyusunan Rancangan Modul Pelatihan untuk Mengoptimalkan Role Salience pada Individu Dual-Career ………...78
3.7.3 Tahap Evaluasi Pelatihan Role Salience .. ………...78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden ………...81
4.2 Hasil Evaluasi Uji Coba Modul Pelatihan . ………...83
4.2.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Evaluasi Learning Pelatihan ...83
4.2.2.2 Evaluasi Reaksi Responden terhadap Trainer dan Pendamping ...91
4.2.2.3 Evaluasi Reaksi Responden terhadap Setiap Sesi Pelatihan ...92
4.3 Data Penunjang ... 96
4.3.1 Hasil self-assessment responden ... 96
4.3.2 Hasil Observasi ……….... 97
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ...100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...………..118
5.2 Saran ………...119
DAFTAR PUSTAKA ………121
DAFTAR RUJUKAN ………123
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran ………....60
Tabel 2.1 Taksonomi Bloom ...36
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Ceramah ...39
Tabel 2.3 Proses Pengukuran dan Pengumpulan Data Evaluasi ...45
Tabel 3.1 Rancangan Training Role Salience ...67
Tabel 3.2 Penyebaran Jumlah Item Alat Ukur The Life Role Salience Scale ……….. 71
Tabel 3.3 Bobot Penilaian Item The Life Role Salience Scale ………..71
Tabel 3.4 Norma Kelompok Role Salience ...72
Tabel 3.5 Validitas Item Menggunakan Pearson Moment Correlation ...74
Tabel. 3.6 Reliabilitas Alat Ukur dari Guilford ………....75
Tabel 3.7 Aspek Penilaian Evaluasi Level Reaksi Program ………...79
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ...………...82
Tabel 4.2. Hasil Uji Wilcoxon Setiap Dimensi Role Salience ...85
Tabel 4.3. Role Salience Responden Sebelum (pretest) dan Sesudah (posttest) Mengikuti Pelatihan Role Salience ... 86
Tabel 4.4. Evaluasi Reaksi Akhir Pelatihan ... 89
Tabel 4.5. Evaluasi Reaksi Responden terhadap Trainer dan Pendamping ... 91
Tabel 4.6. Evaluasi Reaksi Responden terhadap Kegiatan Setiap Sesi ... 93
Tabel 4.7. Hasil Self-Assessment Responden ... 96
Tabel 4.8. Makna/Pengalaman Responden dalam Setiap Sesi Pelatihan ... 97
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A. Gambaran Umum Rancangan Modul Pelatihan Role Salience
LAMPIRAN B. Modul Pelatihan Role Salience
LAMPIRAN C. Materi Pelatihan
LAMPIRAN D. Pretest dan Post-test Pelatihan
LAMPIRAN E. Lembar Kuesioner Identitas & Letter of Consent
LAMPIRAN F. Lembar Kerja
LAMPIRAN G. Lembar Evaluasi Pelatihan
LAMPIRAN H. Identitas dan Hasil Self-Assessment Responden
LAMPIRAN I. Data Mentah Pretest dan Post-test Responden
LAMPIRAN J. Hasil Observasi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dewasa menghabiskan sebagian besar waktunya dalam dunia kerja dan keluarga.
Pekerjaan dan keluarga merupakan dua area yang berbeda, namun keduanya tetap merupakan
bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui bekerja, individu mendapatkan kepuasan
pribadi dan dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga sedangkan keluarga dianggap sebagai hal
yang pertama dan paling penting dalam human society. Keluarga juga dikaitkan dengan kasih
sayang yang membuat seseorang dapat mengembangkan diri dan memperoleh pemenuhan
dirinya, serta merupakan tempat yang penting bagi sebuah kebahagiaan dan harapan. Dengan
demikian pekerjaan dan keluarga merupakan dua area yang berbeda namun interdependent
sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang (Guitian, 2009 dalam
Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.12, No. 2, September 2010).
Pembagian peran antara pekerjaan dan tugas keluarga di masa lalu sangatlah jelas, yaitu
suami adalah pencari nafkah melalui pekerjaannya sedangkan istri merawat keluarga dan
anak-anak. Sejalan dengan perkembangan bisnis dan dunia usaha, kesempatan menempuh pendidikan
dan bekerja terbuka tidak hanya bagi lelaki namun juga bagi perempuan. Saat ini makin banyak
perempuan yang bekerja di berbagai bidang dan memiliki karier tersendiri. Dengan demikian
struktur keluarga tradisional, yaitu suami bekerja di luar rumah untuk memperoleh pendapatan
bagi keluarga dan istri bekerja di rumah mengurus rumah tangga mulai mengalami pergeseran.
Saat ini, kecenderungan yang muncul di kota-kota besar adalah pasangan suami istri yang
(1992:390), menyebut pasangan tersebut sebagai dual career. Individu dual-career adalah
mereka yang bekerja di bidang manajerial maupun pekerjaan profesional, memiliki anak, dan
pasangannya juga bekerja di bidang manajerial maupun pekerjaan profesional lainnya yang
berarti bahwa wanita yang bekerja secara profesional di sebuah perusahaan, menikah, dan
memiliki anak disebut sebagai wanita dual career.
Adanya kecenderungan dual career terjadi tidak hanya karena tuntutan kebutuhan
ekonomi rumah tangga, namun juga karena suami maupun istri memiliki keinginan untuk
mengaktualisasikan diri di masyarakat sejalan dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka
peroleh selama pendidikan. Saat ini pria dan wanita banyak yang memiliki ambisi dan komitmen
untuk menampilkan peran yang baik dalam area pekerjaan dan keluarga secara bersamaan
(Christine W.S.,2010).
Muchinsky (2003) dalam Nuzul Rahmi Daeng (2010), menjelaskan bahwa individu
dalam dual career family dicirikan sebagai pasangan suami istri yang memiliki karier
masing-masing dan mencoba untuk menyeimbangkan karier mereka dengan urusan rumah tangga. Pada
saat itu juga suami dan istri diharapkan mampu menjalani peran-peran yang muncul dalam
pekerjaan dan perkawinannya, yaitu sebagai suami atau istri, orangtua, karyawan, serta
mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan
tugas-tugas baru sebagai pria atau wanita dewasa. Suami dan istri harus membagi waktu dan perhatian
yang seimbang dalam setiap peran tersebut sehingga setiap peran dapat berjalan dengan selaras
dan efektif.
Dalam Journal of Managerial Psychology (Vol.24 No.4,2009, p.372-385), Sutanto
(2000) menyatakan bahwa perkembangan ekonomi dan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya
cenderung semakin meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 1950 wanita bekerja mencapai
29% dan pada tahun 1990, angkatan kerja wanita mencapai 57.7 %. Hal ini memperlihatkan
mayoritas wanita di Amerika Serikat bekerja sebagai wanita karier. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab partisipasi wanita dalam dunia kerja adalah faktor ekonomi dan faktor non
ekonomi (Sutanto, 2000:4). Selain faktor ingin memperoleh pendapatan, wanita bekerja juga
didorong oleh keinginan untuk berkembang dan memperoleh kepuasan yang datang dari
pekerjaan. Adanya peningkatan dalam angkatan kerja wanita seakan menyiratkan adanya
perubahan peran wanita dari semula mengasuh anak dan mengurus rumah menjadi turut serta
dalam memikul tugas ekonomi keluarga dan aktualisasi diri (Melissa A. Warner & Peter A.
2009).
Di Australia, hanya sedikit keluarga yang saat ini masih memegang tatanan tradisional,
yaitu pria sebagai pencari nafkah dan wanita sebagai pengurus rumah dan merawat anak di
rumah, dan pasangan dual career mencapai 52% dari pasangan keluarga dalam angkatan kerja
(Australian Bureau of Statistics, 1996). Dalam tujuh belas tahun terakhir, jumlah pasangan dual
career meningkat sampai 58%, sedangkan pada periode yang sama, jumlah pasangan menikah hanya meningkat sebesar 24% (Australian Bureau of Statistics, 1997). Menurut Biro, hal ini
terjadi karena jumlah wanita bekerja yang meningkat 66%, perubahan sikap masyarakat,
pengaturan kerja yang lebih fleksibel, dan ketersediaan tempat perawatan anak yang lebih baik
(David F. Elloy & Catherine R. Smith, 2003).
Menurut Cascio (1998:214) dalam Kussudyarsana dan Soepatini (2008), pada saat ini,
dua dari tiga karyawan pria mempunyai istri yang bekerja. Dalam detikFinance (2 Februari
2008), disebutkan bahwa partisipasi wanita Indonesia di dunia kerja cenderung semakin
wanita dalam lapangan pekerjaan meningkat secara signifikan selama bulan Agustus 2006 –
Agustus 2007 dengan jumlah pekerja wanita Indonesia yang bertambah sebanyak 3,3 juta orang
(Kuswaraharja (2008) dalam Nuzul Rahmi Daeng, 2010). Dengan demikian, individu dual
career telah menjadi suatu norma pada saat ini (Journal of Managerial Psychology, Vol. 24 No. 4, 2009, hal. 372-385).
Hubungan dual career menunjukkan interaksi kompleks dari peran di pekerjaan dalam
masyarakat modern (Hansen, 1984). Hal ini menyiratkan komitmen psikologis atau pernikahan
bagi kedua relasi keluarga dan karier pribadi masing-masing. Hal ini telah dikukuhkan sebagai
relasi pernikahan middle-class yang ideal (Hertz, 1986) karena hal ini memberikan pasangan
kesempatan untuk memaksimalkan baik pemenuhan secara pribadi maupun keuntungan
finansial. Meskipun memberikan keuntungan, tuntutan dari dua karier paralel dapat
menimbulkan overload, konflik dan stres, yang diperparah ketika pasangan tersebut memiliki
anak atau tanggung jawab keluarga lainnya. Dual career akan memunculkan loyalitas ganda
(Smith, 1992a) yang dapat berakibat negatif pada hubungan personal dan lingkungan kerja
(dalam David F. Elloy & Catherine R. Smith, 2003). Kondisi tersebut juga menimbulkan
masalah dalam hal mengelola pekerjaan dan tanggung jawab keluarga (Melissa A. Warner &
Peter A. Hausdorf, 2009). Masalah yang muncul pada wanita dual career sering kali berkaitan
dengan peran mereka dalam keluarga dan pekerjaan.
Menurut sejumlah peneliti (Hall & Hall, 1979; Johnson & Johnson, 1977; Poloma,1972;
Rapoport & Rapoport, 1978) dalam Amatea (1986), sumber utama stres bagi wanita yang
memiliki komitmen untuk melakukan beberapa peran (multiple roles) adalah sifat dari pekerjaan
yang dilakukan dan harapan ketika berperan di keluarga. Dalam pekerjaan, wanita mendapatkan
kerja dan tekanan waktu seperti rush job, pekerjaan yang berisiko, peralatan kerja yang tidak
memadai, berbagai tuntutan kerja dari atasan atau rekan, dan deadlines. Di dalam keluarga pun,
wanita mendapat tekanan (family demand) yang terutama mengacu pada tekanan waktu yang
berkaitan tugas seperti mengurus rumah dan merawat anak (Jeffrey H. Greenhaus and Nicholas
J. Beutell, 1985).
Dari hasil wawancara saat survei awal peneliti kepada 10 orang yang merupakan wanita
dual career, diperoleh data bahwa 5 orang (50 %) mengalami stres pekerjaan yang sering kali terkait dengan beban kerja, 3 orang (30%) karena deadline tugas, dan 2 orang (20%) karena
kelelahan saat perjalanan untuk bekerja atau pulang. Seluruh istri (100%) yang diwawancara
menyatakan bahwa mereka juga harus mengurus rumah, memasak, dan merawat anak (seperti
memandikan, menyuapi makanan, bermain) saat berada di rumah dan hal tersebut dirasakan
berat setelah lelah bekerja di kantor.
Sebagian besar wanita dual career ini saat diwawancara memilih mendahulukan untuk
merawat dan mengurus anak setelah pulang kantor. Mereka merasa kelelahan saat harus
membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika baju sehingga memilih untuk
mengerjakannya di hari libur atau diserahkan kepada orang lain, seperti pembantu rumah tangga.
Para wanita ini tidak terlalu memperhatikan rumahnya selama terlihat bersih dan rapi. Selain itu,
wanita dual career ini pun jarang memiliki waktu untuk dihabiskan bersama pasangan sehingga
suami mereka sering mengeluh merasa kurang diperhatikan. Beberapa dari mereka malah
menyerahkan semua urusan rumah tangga kepada orang lain, termasuk urusan merawat anak
karena merasa tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya.
Meskipun dalam beberapa dekade terakhir, wanita dan pria semakin berusaha untuk
berbagai peran tersebut. Sejauh mana keterlibatan individu, seberapa besar nilai serta komitmen
individu terhadap suatu peran berkaitan dengan role salience pada diri individu tersebut. Role
salience atau importance – dikenal juga sebagai role centrality (Martire, Stephens, & Townsend, 2000), role commitment (Brown, Bifulco, & Harris, 1987), atau personal involvement (Frone,
Russell, & Cooper, 1995) bertujuan untuk memberikan makna, penghargaan, dan tujuan bagi
individu (dalam Tina R. Norton, 2005).
Amatea, Cross, Clark, & Bobby (1986:831) mendefinisikan role salience sebagai
keyakinan yang diinternalisasi dan sikap individu terhadap (a) kesesuaian pribadi terhadap peran
yang dijalankan, (b) standar kinerja yang ditampilkan oleh peran, dan (c) komitmen dalam
penggunaan sumber daya pribadi (misalnya waktu, uang, dan energi) untuk menampilkan sebuah
peran pada area pekerjaan (occupational), perkawinan (marital), orang tua (parental), dan
pemeliharaan rumah (homecare). Role salience dapat diukur melalui dua dimensi, yaitu: (a)
kepentingan pribadi atau value yang dikaitkan dengan partisipasi dalam peran tertentu (role
reward value), dan (b) tingkat komitmen yang dikehendaki dari waktu dan sumber daya energi yang dimiliki untuk melakukan sebuah peran (role commitment).
Tingkat kepentingan dan komitmen setiap wanita dual career berbeda sesuai dengan
keyakinan dan harapannya terhadap suatu peran. Wanita dual career dapat memiliki kepentingan
dan komitmen yang tinggi pada salah satu peran, namun rendah pada peran lainnya. Hal ini dapat
menimbulkan masalah karena ia tidak dapat menjalankan peran secara optimal dan kurang
efektif. Jika dilihat dari dimensi role salience di setiap peran, wanita dual career dengan multiple
atau rendah terhadap perannya, juga dapat memiliki role commitment yang tinggi, sedang, atau
rendah dalam perannya.
Dari penelitian Amatea et al. (1986), diperoleh hasil bahwa value perempuan untuk
menjadi orangtua (parental) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Peneliti
melakukan survei awal dengan menggunakan kuesioner the Life Role Salience Scales milik
Amatea, Cross, Clark, & Bobby (1986) kepada 102 responden di Jakarta dan Bandung yang
merupakan individu dual career dan menemukan gejala yang serupa. Hasil kuesioner yang
diberikan saat survei awal kepada suami menunjukkan bahwa 24 orang (47.1%) memiliki role
reward value yang rendah dalam peran parental, 15 orang (29.4%) memiliki role reward value yang sedang dalam peran parental, dan 12 orang (23.5%) memiliki role reward value yang
tinggi dalam peran parental. Dalam dimensi parental role commitment, 21 orang suami (41.2%)
memiliki role commitment yang tergolong sedang, 18 orang (35.3%) memiliki role commitment
yang rendah, dan hanya 12 orang (23.5%) yang memiliki role commitment tinggi pada perannya
sebagai orang tua (parental).
Berbeda dengan hasil kuesioner milik 51 orang wanita dual career yang menunjukkan
bahwa 19 orang (37.3%) memiliki role reward value yang tinggi dalam peran parental, 19 orang
(37.3%) memiliki role reward value yang rendah dalam peran parental, dan 13 orang (25.4%)
memiliki role reward value yang sedang dalam peran sebagai orang tua (parental). Dalam
dimensi role commitment, 20 orang istri (39.2%) memiliki role commitment yang tergolong
sedang, 16 orang (31.4%) memiliki role commitment yang rendah, dan 15 orang (29.4%) yang
memiliki role commitment tinggi pada perannya sebagai orang tua (parental).
Wanita dengan role salience (value dan komitmen) tinggi pada perannya sebagai orang
sayang. Wanita ini akan meninggalkan tugas yang sedang dikerjakan tanpa ada perencanaan jika
mengetahui anaknya mengalami kesulitan atau sakit. Berbeda dengan wanita yang memiliki role
salience (value dan komitmen) rendah terhadap parental, maka ia memilih untuk melakukan hal lain yang lebih penting dan kurang menggunakan waktu serta uang yang dimilikinya untuk
menjalin hubungan bersama anak. Wanita dengan value dan komitmen yang tergolong sedang
terhadap peran parental akan menganggap anak adalah hal penting dalam hidup yang perlu
dididik dan dirawat sesuai kemampuan dengan tidak meninggalkan peran yang lain.
Hal yang mengejutkan dalam penelitian Amatea et al. (1986) adalah temuan bahwa
perempuan juga menunjukkan value terhadap pekerjaan yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Meskipun value perempuan dalam bekerja lebih tinggi daripada laki-laki, pada umumnya mereka
kurang berkomitmen untuk itu. Cinnamon dan Rich (2002b) menyatakan bahwa perempuan yang
bekerja di kantor memiliki value untuk bekerja sangat tinggi yang memungkinkan mereka untuk
bersaing dengan rekan laki-laki, sementara mereka biasanya mengelola kewajiban keluarga.
Meskipun value terhadap pekerjaan lebih tinggi daripada laki-laki, namun perempuan tidak lebih
berkomitmen untuk peran tersebut. Hal ini mungkin mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh
perempuan dalam menyeimbangkan peran di pekerjaan dan keluarga (Catherine Mary Sullivan,
2008).
Dari kuesioner yang diberikan kepada 51 orang suami, peneliti memperoleh hasil bahwa
25 orang (49%) memiliki role reward value tinggi dalam pekerjaan, 21 orang (41,2%) memiliki
role reward value yang sedang terhadap pekerjaan, dan 5 orang (9,8%) memiliki role reward value yang rendah terhadap pekerjaan. Role commitment yang ditunjukkan para suami pun berbeda, yaitu 25 orang (49%) memiliki role commitment sedang dalam pekerjaan, 23 orang
role commitment yang rendah terhadap pekerjaan. Hasil kuesioner dari wanita dual career menunjukkan hal yang berbeda, yaitu 20 orang (39,2%) ternyata memiliki role reward value
yang tergolong rendah dalam pekerjaan, 16 orang (31,4%) memiliki role reward value tinggi dan
15 orang (29,4%) memiliki role reward value yang sedang terhadap pekerjaan. Role commitment
para istri yang bekerja ini juga bervariasi, yaitu 20 orang (39,2%) ternyata memiliki role
commitment yang tergolong sedang dalam pekerjaan, 16 orang (31,4%) memiliki role commitment rendah dan 15 orang (29,4%) memiliki role commitment yang tinggi terhadap pekerjaan.
Wanita yang memiliki role salience tinggi dalam pekerjaan ditunjukkan dengan value
dan komitmen tinggi. Ia menganggap bahwa perannya di pekerjaan lebih penting dan banyak
menggunakan tenaga serta waktunya untuk melakukan tugas dalam perannya di pekerjaan dan
kelelahan untuk melakukan peran yang lain. Wanita memiliki value yang tergolong sedang
dengan komitmen kerja yang tinggi, sehingga wanita ini merasa bahwa pekerjaan cukup penting
bagi dirinya dan ia akan mengupayakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk dapat
memberikan hasil terbaik bagi tempatnya bekerja. Bagi wanita yang memiliki role salience
rendah terhadap pekerjaan, yang ditunjukkan dengan value dan komitmen yang rendah akan
lebih mementingkan perannya di area kehidupan lain, yaitu keluarga, dan kurang menunjukkan
perstasi kerja yang memuaskan dalam pekerjaannya.
Dalam peran wanita dual career sebagai pasangan, hasil responden survei awal kepada
51 orang menunjukkan bahwa 19 orang (37.3%) ternyata memiliki role reward value yang
tergolong sedang dalam peran marital, 17 orang (33.3%) memiliki role reward value rendah dan
15 orang (29.4%) memiliki role reward value yang tinggi terhadap peran dalam perkawinan,
perkawinan menyebar merata, yaitu 17 orang (33.3%) untuk masing-masing kategori. Dari hasil
survei awal, diketahui bahwa sebagian wanita dual career masih memiliki role slaience yang
rendah terhadp perannya sebagai pasangan dalam perkawinan.
Wanita yang memiliki role salience tinggi pada perkawinan akan dapat berperan sebagai
wanita yang berusaha keras untuk memahami pasangannya dan membuat pasangan bahagia
meskipun harus mengorbankan perannya yang lain. Wanita yang memiliki role salience rendah
terhadap perannya dalam perkawinan akan lebih mementingkan perannya di area kehidupan lain,
tidak menganggap bahwa perkawinan itu sesuatu yang penting, dan kurang bertahan dalam
menghadapi permasalahan di perkawinan. Wanita dengan value yang tergolong sedang terhadap
perkawinan memiliki perasaan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang penting bagi dirinya, Jika
wanita itu memiliki komitmen yang tergolong sedang, maka ia akan menjadi pasangan yang
sesuai dengan kemampuannya tanpa melupakan tanggung jawabnya di dalam peran lain.
Peran lain yang harus dijalankan secara efektif dan optimal oleh wanita dual career
adalah dalam pemeliharaan rumah (homecare). Hasil kuesioner survei awal kepada istri
mengenai perannya dalam pemeliharaan rumah (homecare), menunjukkan bahwa 22 orang
(43.1%) ternyata memiliki role reward value yang tergolong rendah dalam peran pemeliharaan
rumah (homecare), 15 orang (29.4%) memiliki role reward value tinggi dan 14 orang (27.5%)
memiliki role reward value yang tinggi terhadap peran pemeliharaan rumah (homecare). Role
commitment istri terhadap perannya dalam pemeliharaan rumah (homecare), terlihat bahwa 24 orang (47.1%) ternyata memiliki role commitment yang tergolong tinggi dalam pemeliharaan
rumah (homecare), 18 orang (35,3%) memiliki role commitment rendah dan 9 orang (17.6%)
Wanita yang memiliki value dan komitmen tinggi terhadap perannya dalam mengurus
rumah akan menganggap bahwa ‘rumahku istanaku’ dan tidak mau rumahnya sedikit berantakan
atau kotor. Bagi wanita yang memiliki value dan komitmen rendah dalam perannya di homecare,
rumah hanyalah tempat singgah dan tidak penting sehingga ia tidak perlu menggunakan sumber
daya yang dimiliki untuk membuat rumahnya tampak menarik dan indah. Wanita dengan value
yang tegolong sedang merasa bahwa rumah adalah bagian penting dari kehidupannya, dan
dengan komitmennya yang sedang maka ia bersedia untuk mengisi rumah dengan barang-barang
yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya atau menyempatkan waktu untuk
membersihkan rumah.
Secara umum, value dan komitmen individu yang menempel pada peran tertentu
berkorelasi kuat satu sama lain (Amatea dkk, 1986; Campbell & Campbell, 1995; Rajadhvaksha
& Bhatnagar, 2000). Meskipun value dan komitmen umumnya berkorelasi, value yang melekat
pada peran biasanya lebih besar dari pada komitmen terhadap peran. Dengan kata lain,
kepercayaan dan sikap mengenai keterkaitan pribadi dalam peran perkawinan, pekerjaan,
parental, dan homecare biasanya lebih besar dari komitmen untuk bersedia dan mampu dalam menggunakan sumber daya pribadi untuk melakukan peran tersebut.
Hasil wawancara saat survei awal menunjukkan bahwa 4 orang (40 %) dari 10 wanita
dual career memiliki value dan komitmen yang tinggi terhadap perannya di berbagai area kehidupan, yaitu pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah. Mereka merasa
bahwa seluruh peran tersebut penting bagi dirinya dan berusaha memenuhi tuntutan peran sebaik
mungkin dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Wanita dual career ini sering kali
mengalami konflik saat harus memenuhi salah satu tuntutan peran namun terhambat dengan
Berbeda dengan wanita dual career yang memiliki value dan komitmen rendah terhadap
perannya di kehidupan. Hasil dari wawancara survei awal menyatakan bahwa terdapat 1 orang
(10%) yang memiliki value dan komitmen yang rendah terhadap perannya di pekerjaan. Wanita
dual career ini merasa peran tersebut tidak penting bagi dirinya sehingga ia tidak berusaha untuk menunjukkan komitmen dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya, baik itu waktu,
energi, atau uang, secara optimal dalam bekerja dan memiliki performansi kerja yang rendah. Ia
bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Dalam bekerja pun, ia ini hanya
berusaha untuk memenuhi sebatas minimal tuntutan peran dan jabatannya tanpa ada keinginan
yang kuat untuk berkembang.
Hasil wawancara saat survei awal juga menggambarkan fenomena lain, yaitu terdapat 1
orang (10%) memiliki value yang rendah dengan komitmen yang tinggi terhadap perannya di
pekerjaan. Wanita dual career ini kurang menganggap penting perannya dalam bekerja, namun
ia melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas yang menjadi tuntutan dari peran sebagai
karyawan. Ia berusaha bertahan untuk menjalankan perannya dan berkomitmen dalam
menggunakan sumber daya yang dimiliki, namun sering kali dengan perasaan terpaksa. Dari
hasil wawancara diperoleh data bahwa wanita seperti ini kadang mengalami masalah-masalah
psikologis lainnya, seperti stress atau burn out karena pekerjaannya.
Selain hasil tersebut, diperoleh data dari wawancara survei awal bahwa 4 orang (40%)
responden memiliki value tinggi namun komitmen yang rendah terhadap perannya, yaitu 2 orang
(20%) memiliki komitmen yang rendah dalam pekerjaan dan 2 orang (20%) memiliki komitmen
yang rendah terhadap perannya dalam homecare. Wanita dual career dengan tipe seperti ini
menyadari bahwa peran yang dilakukannya adalah penting bagi dirinya, namun ia kurang dapat
menunjukkan kinerja peran yang efektif. Mereka kurang dapat berkomitmen dalam perannya
karena adanya pemenuhan peran lain yang menghambat pemenuhan peran lainnya. Mereka
sudah merasa kelelahan dan kehabisan waktu dalam mengurus keluarga sehingga tidak dapat
bekerja dengan optimal. Ada juga yang menyatakan bahwa ia lebih memilih menyisihkan uang
untuk kebutuhan anaknya daripada menghias atau memperbaiki rumah.
Menurut Parasuraman dan Greenhaus (2002), pengaruh role salience menjadi lebih
signifikan pada pasangan dual career karena keduanya memiliki peran dalam pekerjaan dan
keluarga,dan kedua hal itu merupakan sumber potensial munculnya konflik terutama saat kedua
peran menuntut lebih. Sekaran (1985) juga menemukan bahwa ketika pasangan dual career
menganggap bahwa karir mereka merupakan pusat dari kehidupan, maka wanita akan mengalami
konflik peran lebih besar dan memiliki kesehatan mental lebih buruk karena mereka tidak dapat
menempatkan karir di atas keluarga sebagaimana dilakukan oleh pria (David F. Elloy and
Catherine R. Smith, 2003).
Wanita dual career pada kenyataannya perlu memiliki role salience yang optimal di
seluruh peran kehidupan sehingga dapat bertindak efektif terhadap perubahan peran yang
dimainkan dan melakukan peran tersebut dengan baik. Role salience yang optimal berada pada
kategori sedang, yaitu individu memiliki role reward value dan role commitment yang selaras
pada semua perannya. Keselarasan ini merupakan kecenderungan untuk terlibat penuh dalam
kinerja setiap peran dalam sistem peran individu, untuk mendekati setiap peran spesifik dan
peran pasangan dengan sikap penuh perhatian dan kepedulian (Stephen R. Marks & Shelley M.
MacDermid, 1996).
Marks (1977, 1979) menunjukkan bahwa ketika individu atau wanita dual career
muncul manfaat bagi kesejahteraan mereka. Begitu pula dengan Hoelter (1985b) yang
membuktikan bahwa ketika identitas salient individu cenderung “berimbang” daripada
terorganisir secara hirarki, maka beberapa hasil yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka
secara umum akan lebih baik.
Semua orang memiliki logika secara implisit bagaimana mereka harus menyesuaikan diri
dengan berbagai peran. Individu atau wanita dual career yang lebih menjaga keselarasan di
seluruh sistem peran dan aktivitas mereka akan memiliki skor yang lebih rendah saat pengukuran
role strain dan depresi serta memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran self-esteem, role ease, dan indikator lain dari kesejahteraan (Stephen R. Marks & Shelley M. MacDermid, 1996). Saat wanita dual career memiliki role salience yang selaras dan optimal dalam seluruh perannya,
maka mereka akan dapat berperan sesuai dengan tuntutan dan memiliki tingkat stres yang
rendah.
Dengan menyadari pentingnya keselarasan dalam role salience, diperlukan suatu teknik
intervensi yang dapat membantu wanita dual career ini untuk mengoptimalkan role salience
dalam berbagai peran di kehidupan sehingga mereka dapat berperan secara efektif. Salah satu
intervensi yang dapat membantu para wanita dual career ini untuk meningkatkan role salience
menjadi kategori sedang dan seimbang dalam multiple roles yang dijalankannya adalah melalui
program pelatihan. Pelatihan adalah suatu proses yang disusun secara sistematis dalam
menyediakan kesempatan untuk mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk situasi
saat ini atau yang akan datang. Pelatihan sesuai untuk meningkatkan pemahaman dan
pembentukan sikap wanita dual career sehingga dapat menjalankan semua peran secara optimal
Dari hasil survei awal dapat diketahui bahwa masih banyak istri yang juga merupakan
wanita dual career memiliki role salience yang rendah dalam keempat peran utama yang
dijalankan setiap hari. Para wanita dual career ini memiliki role reward value dan role
commitment yang tergolong rendah sehingga belum dapat mengoptimalkan role salience dan bertingkah laku efektif dalam memenuhi multiple roles yang dihadapinya. Wanita dual career
tersebut juga belum memahami dan menghayati seberapa penting role reward value serta role
commitment terhadap peran dapat memengaruhi kinerja peran tersebut sehingga mereka belum menjalankan perannya dengan optimal dan efektif. Oleh karena itu, peneliti memilih wanita dual
career dalam uji coba pelatihan role salience ini. Melalui program pelatihan ini, wanita dual career diajak untuk mengevaluasi role salience pribadi terhadap multiple roles yang dilakukan pada empat area kehidupan setiap hari, meningkatkan role reward value pribadi dalam multiple
roles di empat area kehidupan, meningkatkan role commitment pribadi dalam multiple roles di empat area kehidupan, dan menyusun rencana untuk menjalankan role secara efektif dan optimal
dengan menggunakan waktu, tenaga, dan uang pribadi yang dimiliki.
Sampai saat ini, peneliti belum menemukan pelatihan yang telah disusun untuk
meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career. Oleh karena itu,
pada penelitian ini, peneliti akan menyusun rancangan modul pelatihan yang sesuai dan tepat
untuk dapat meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.
Program pelatihan ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu mereka meningkatkan role
salience wanita dual career melalui dimensi role reward value dan role commitment sehingga mereka mampu berperan secara efektif dan optimal di area pekerjaan (occupational), perkawinan
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana rancangan modul pelatihan yang sesuai untuk dapat meningkatkan role
salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career?
2. Apakah terdapat peningkatan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual
career sesudah diberi pelatihan role salience?
1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud
Maksud penelitian ini, adalah:
1. Menyusun dan menguji coba rancangan modul pelatihan yang dapat
meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.
2. Memperoleh gambaran mengenai role salience pada wanita dual career
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan role salience.
1.3.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini, adalah:
1. Mengajukan rancangan dan menguji coba modul pelatihan yang dapat
meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.
2. Mengetahui peningkatan role salience pada wanita dual career menjadi kategori
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis
Kegunaan teoretis penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi Sosial, Psikologi
Keluarga, serta Psikologi Industri dan Organisasi mengenai role salience pada
wanita dual career.
2. Peneliti lain dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi,
referensi, atau acuan untuk penelitian berikutnya mengenai role salience dan
intervensi yang sesuai untuk meningkatkan role salience menjadi kategori
sedang.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi dan masukan bagi wanita dual career untuk memahami
bagaimana gambaran role salience masing-masing agar dapat dimanfaatkan
untuk menjalankan peran secara optimal dan efektif, baik dalam area pekerjaan
dan keluarga.
2. Memberikan informasi kepada para psikolog sosial, keluarga, maupun industri
dan organisasi sebagai bahan referensi dalam mengembangkan teknik intervensi
untuk meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual
3. Memberikan intervensi yang sesuai dalam bentuk modul program pelatihan bagi
wanita dual career yang memiliki role salience rendah untuk meningkatkan
role salience mereka menjadi kategori sedang.
1.5 Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian ini adalah:
1. Melakukan tahap wawancara dan survei awal.
2. Menerjemahkan alat ukur the Life Role Salience Scales (LRSS) dari Amatea et al.
3. Melakukan pengukuran role salience pada wanita dual career.
4. Menganalisis hasil pengukuran role salience pada wanita dual career sehingga
diperoleh wanita dengan role salience rendah.
5. Menyusun rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role salience menjadi
kategori sedang pada wanita dual career.
6. Menguji coba dan mengevaluasi rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role
salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.
Prosedur penelitian yang digunakan digambarkan secara skematis pada bagan berikut:
Wawancara & Survei
Awal
Penyusunan rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role salience menjadi kategori sedang
pada wanita dual career. Penerjemahan
alat ukur The
Life Role Salience Scales (LRSS) Pengukuran role salience Menganalisa hasil pengukuran role salience Wanita dual career yang memiliki role salience rendah
Model intervensi dalam bentuk modul pelatihan yang sesuai untuk meningkatkan role salience menjadi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Modul pelatihan role salience ini dapat digunakan untuk meningkatkan role salience
melalui peningkatan derajat dimensi role reward value dan role commitment menjadi
kategori sedang pada wanita dual career sehingga optimal dan efektif dalam menjalankan
peran di area pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare).
2. Sebagian besar wanita dual career yang mengikuti pelatihan role salience mengalami
peningkatan dari kategori rendah menjadi kategori sedang pada seluruh dimensi role
salience. Hal ini menunjukkan bahwa Tujuan Instruksional Umum pelatihan role salience tercapai.
3. Wanita dual career menghayati bahwa pelatihan role salience ini sangat bermanfaat dan
sangat menarik sehingga membantu mereka dalam menghayati pentingnya role salience
dalam menjalankan peran sehari-hari dan melaksanakan hasil yang mereka peroleh dari
119
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan saran teoritis dan saran praktis, sebagai
berikut:
5.2.1 Saran Teoritis
1. Kepada peneliti lain, dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk:
a. Melakukan penelitian lanjutan mengenai efektivitas pelatihan role salience
terhadap peningkatan role salience di setiap dimensinya dengan adanya jangka
waktu pemberian pretest dan post-test yang lebih lama.
b. Melakukan penelitian lanjutan mengenai role salience dengan menggunakan
sampel yang lebih besar dan norma standar.
c. Melakukan penelitian lanjutan menggunakan metode time series dengan
melakukan follow-up kepada wanita dual career yang menjadi responden
pelatihan untuk mengetahui perubahan setelah pelatihan role salience
menggunakan evaluasi level behavior dan level result.
5.2.2 Saran Praktis
1. Kepada wanita dual career dapat menggunakan hasil pelatihan sebagai salah satu
media untuk melakukan refleksi diri dan memberikan gambaran mengenai
pentingnya role salience dalam menjalankan peran sehari-hari di area pekerjaan,
perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare).
2. Kepada para Psikolog Sosial, Keluarga, maupun Industri dan Organisasi dapat
intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan role salience menjadi
DAFTAR PUSTAKA
Amatea, Ellen S., E. Gail Cross, Jack E. Clark, Carol L. Bobby. 1986. Journal Of Marriage And Family, vol. 48, no. 4 (Nov., 1986), pg. 831 – 838. Assessing The Work And Family Role Expectations Of Career-Oriented Men And Women: The Life Role Salience Scales.
Blanchard, P. Nick & James W. Thacker. 2004. Effective Training: System, Strategies, and Practices, 2nd ed. New Jersey : Prentice Hall
Carlson, Dawn S., K. Michele Kacmar, and Larry J. Williams. 2000. Journal of Vocational Behavior, vol. 56, pg. 249 – 276. Construction And Initial Validation Of A Multidimensional Measure Of Work-Family Conflict.
Christine W.S., Megawati Oktorina, dan Indah Mula. 2010. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.12, No. 2, September 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga Terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel (Studi pada Dual Career Couple di Jabodetabek)
Cinamon, Rachel Gali, Tova Most, Rinat Michael. 2008. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 13:3 Summer 2008. Role Salience and Anticipated Work–Family Relations Among Young Adults With and Without Hearing Loss.
Elloy, David F. and Catherine R. Smith. 2003. Cross Cultural Management, Vol. 10, No. 1, 2003. Patterns of Stress, Work-Family Conflict, Role Conflict, Role Ambiguity, and Overload Among Dual Career And Single – Career Couples: An Australian Study.
Graziano, Anthony M. & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods : A Process of Inquiry, 4th ed. Boston: Allyn and Bacon
Greenhaus, Jeffrey H. and Nicholas J. Beutell. 1985. The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 1 (Jan., 1985), pp. 76-88. Sources of Conflict between Work and Family Roles.
Guitian, Gregorio. 2009. Conciliating Work and Family: a Catholic Social Teaching
Perspective. Journal of Business Ethic, 88: 513-524
Hammer, Leslie & Cynthia Thompson. 2003. Jurnal. Work-Family Role Conflict.
Marks, Stephen R. & Shelley M. MacDermid. 1996. Journal of Marriage and the Family Vol. 58 (May 1996): 417-432. Multiple Roles and The Self: A Theory of Role Balance.
Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, and Shane R. Premeaux. 2002. Human Resource Management, 8th ed. New Jersey: Prentice Hall
Noor, Noraini M. 2004. The Journal Of Social Psychology, 2004, 144(4), 389–405: Work-Family Conflict, Work- And Family-Role Salience, And Women’s Well-Being.
Norton, Tina R.; Gupta, Anita; Stephens, Mary Ann Parris; Martire, Lynn M.; Townsend, Aloen L. 2005. Sex Roles: A Journal of Research, March 1, 2005. Stress, Rewards, and Change in The Centrality Of Women's Family And Work Roles: Mastery As A Mediator.
Parasuraman, S. and Greenhaus, J. 2002. Human Resource Management Review, 12(3): 299-312. Toward Reducing Some Critical Gaps in Work-Family Research.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior, 9th ed. New Jersey: Prentice Hall.
Silberman, Mel. 1990. Active Training: A Handbook of Techniques, Designs, Case Examples, and Tips. San Diego: Lexington Books.
Sitepu, Nirwana SK. 1995. Analisis Korelasi. Bandung: FMIPA UNPAD
Walter, Gordon A. & Stephen E. Marks. 1981. Experiential Learning and Change: Theory, Design, and Practice. New York: Wiley
Warner, Melissa A., Peter A. Hausdorf. 2009. Journal of Managerial Psychology, Vol. 24 No. 4, 2009, pp. 372-385. The Positive Interaction of Work and Family Roles: Using Need Theory To Further Understand The Work-Family Interface.
Werther, William B. Jr, & Keith Davis. 1996. Human Resources and Personnel Management, 5th ed. Ohio: McGraw-Hill. Inc.
DAFTAR RUJUKAN
Daeng, Nuzul Rahmi. 2010. Skripsi. Perbedaan Kepuasan Pernikahan antara Suami dan Istri dalam Dual Career Family. Medan: Universitas Sumatera Utara
Prayogo, Adityanto. 2010. Tesis: Penelitian Tentang Perilaku Kerjasama Dalam Bekerja Pada Karyawan Produksi Vaksin Polio PT. X (Persero) Bandung dan Penyusunan Rencana Intervensi Peningkatan Perilaku Kerjasama Karyawan. Bandung: Universitas Kristen Maranatha