• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan dan Uji Coba Modul Pelatihan untuk Meningkatkan Role Salience menjadi Kategori Sedang pada Wanita Dual Career di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan dan Uji Coba Modul Pelatihan untuk Meningkatkan Role Salience menjadi Kategori Sedang pada Wanita Dual Career di Bandung."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Pratiwi, Nurvianti K. Thesis. Perancangan dan Uji Coba Modul Pelatihan untuk Meningkatkan Role Salience Menjadi Kategori Sedang pada Wanita Dual Career di Bandung.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya wanita dual career di Bandung yang mengalami kesulitan dalam menjalankan peran sehari-hari, terutama peran dalam pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare). Mereka tidak mampu bertingkah laku efektif dan optimal saat menjalankan sebuah peran karena terganggu dengan pemenuhan peran yang lain. Gejala yang dirasakan oleh wanita dual career tersebut terkait dengan role reward value dan role commitment yang merupakan dimensi dari role salience. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka diperlukan intervensi yang dapat membantu wanita dual career untuk menjalankan peran secara efektif dan optimal. Model intervensi yang sesuai adalah pelatihan dengan meningkatkan dimensi role reward value dan role commitment menjadi kategori sedang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan role salience sesudah diberi pelatihan pada wanita dual career di Bandung.

Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah Teori Role Salience dari Ellen S. Amatea, Gail Cross, Jack E. Clark, dan Carol l. Bobby (1986). Role salience dapat diukur melalui area pekerjaan (occupational), perkawinan (marital), orang tua (parental), dan pemeliharaan rumah (homecare) pada dua dimensi, yaitu role reward value dan role commitment.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah quasi experimental dengan teknik one group design, pre and post test. Rancangan modul pelatihan terdiri dari 5 sesi, terbagi atas 1 sesi pembuka dan 4 sesi materi. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur role salience berbentuk kuesioner yang dikembangkan oleh Amatea et al (1986), yaitu The Life Role Salience Scale (LRSS). Teknik analisis hasil uji coba pelatihan menggunakan teknik uji beda Wilcoxon untuk mengetahui peningkatan pada setiap dimensi role salience sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.

Dari hasil uji hipotesis Wilcoxon, diperoleh T hitung < T Tabel sehingga H0 ditolak dan

H1 diterima, yang berarti terdapat peningkatan pada setiap dimensi role salience sebelum dan

(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR BAGAN

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah ………...1

1.2.Identifikasi Masalah ………...16

1.3.Maksud Dan Tujuan Penelitian ………...16

1.3.1. Maksud ………..……….16

1.3.2. Tujuan ………..………….16

1.4.Kegunaan Penelitian ………..………....17

1.4.1. Kegunaan Teoritis ………..…………....17

1.4.2. Kegunaan Praktis ………...17

1.5.Prosedur Penelitian ………....………....18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work and Family Role Salience ………..………...19

2.2 Individu Dual Career ………..………..…………...26

(3)

2.5 Merancang Modul Pelatihan ………...29

2.5.1 Mengembangkan Tujuan Pelatihan Aktif ………...31

2.5.2 Mengembangkan Tujuan Umum ………..31

2.5.3 Mengembangkan Tujuan Khusus ………...32

2.5.4 Taksonomi Tujuan Instruksional ………..35

2.5.5 Menginformasikan Materi Pelatihan ………....36

2.5.6 Pedoman Umum Merancang Program Training ………..37

2.5.7 Metode Pelaksanaan Pelatihan ……….38

2.5.8 Evaluasi Modul Pelatihan ………....42

2.5.8.1 Penerapan Model Evaluasi Empat Level . ………...43

2.6 Kerangka Pemikiran ……….46

2.7 Asumsi Penelitian ………...61

2.8 Hipotesis Penelitian . ………...61

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ………....63

3.2 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional ………..65

3.2.1 Variabel Penelitian ………....65

3.2.2 Definisi Konseptual ………..66

3.2.3 Definisi Operasional ……….66

3.3 Alat Ukur ………..70

(4)

3.3.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ………..71

3.3.3 Sistem Penilaian ………....71

3.3.4 Validitas alat ukur The Life Role Salience Scale ………..72

3.3.5 Reliabilitas alat ukur The Life Role Salience Scale ………..74

3.4 Data Penunjang ………...75

3.4.1 Data Pribadi (Identitas) ……….75

3.4.2 Hasil Observasi ...………....75

3.5 Populasi Sasaran Dan Teknik Penarikan Sampel ..………....75

3.5.1 Populasi Sasaran ………...75

3.5.2 Karakteristik Populasi ……..……….76

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ..………...76

3.6 Waktu Penelitian . ………...76

3.7 Teknik Analisis Data ……….………...77

3.7.1 Tahap Analisis Mengenai Role Salience ………..………....77

3.7.2 Tahap Penyusunan Rancangan Modul Pelatihan untuk Mengoptimalkan Role Salience pada Individu Dual-Career ………...78

3.7.3 Tahap Evaluasi Pelatihan Role Salience .. ………...78

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden ………...81

4.2 Hasil Evaluasi Uji Coba Modul Pelatihan . ………...83

4.2.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Evaluasi Learning Pelatihan ...83

(5)

4.2.2.2 Evaluasi Reaksi Responden terhadap Trainer dan Pendamping ...91

4.2.2.3 Evaluasi Reaksi Responden terhadap Setiap Sesi Pelatihan ...92

4.3 Data Penunjang ... 96

4.3.1 Hasil self-assessment responden ... 96

4.3.2 Hasil Observasi ……….... 97

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ...100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...………..118

5.2 Saran ………...119

DAFTAR PUSTAKA ………121

DAFTAR RUJUKAN ………123

(6)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran ………....60

(7)

Tabel 2.1 Taksonomi Bloom ...36

Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Ceramah ...39

Tabel 2.3 Proses Pengukuran dan Pengumpulan Data Evaluasi ...45

Tabel 3.1 Rancangan Training Role Salience ...67

Tabel 3.2 Penyebaran Jumlah Item Alat Ukur The Life Role Salience Scale ……….. 71

Tabel 3.3 Bobot Penilaian Item The Life Role Salience Scale ………..71

Tabel 3.4 Norma Kelompok Role Salience ...72

Tabel 3.5 Validitas Item Menggunakan Pearson Moment Correlation ...74

Tabel. 3.6 Reliabilitas Alat Ukur dari Guilford ………....75

Tabel 3.7 Aspek Penilaian Evaluasi Level Reaksi Program ………...79

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ...………...82

Tabel 4.2. Hasil Uji Wilcoxon Setiap Dimensi Role Salience ...85

Tabel 4.3. Role Salience Responden Sebelum (pretest) dan Sesudah (posttest) Mengikuti Pelatihan Role Salience ... 86

Tabel 4.4. Evaluasi Reaksi Akhir Pelatihan ... 89

Tabel 4.5. Evaluasi Reaksi Responden terhadap Trainer dan Pendamping ... 91

Tabel 4.6. Evaluasi Reaksi Responden terhadap Kegiatan Setiap Sesi ... 93

Tabel 4.7. Hasil Self-Assessment Responden ... 96

Tabel 4.8. Makna/Pengalaman Responden dalam Setiap Sesi Pelatihan ... 97

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A. Gambaran Umum Rancangan Modul Pelatihan Role Salience

LAMPIRAN B. Modul Pelatihan Role Salience

LAMPIRAN C. Materi Pelatihan

LAMPIRAN D. Pretest dan Post-test Pelatihan

LAMPIRAN E. Lembar Kuesioner Identitas & Letter of Consent

LAMPIRAN F. Lembar Kerja

LAMPIRAN G. Lembar Evaluasi Pelatihan

LAMPIRAN H. Identitas dan Hasil Self-Assessment Responden

LAMPIRAN I. Data Mentah Pretest dan Post-test Responden

LAMPIRAN J. Hasil Observasi

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dewasa menghabiskan sebagian besar waktunya dalam dunia kerja dan keluarga.

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua area yang berbeda, namun keduanya tetap merupakan

bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui bekerja, individu mendapatkan kepuasan

pribadi dan dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga sedangkan keluarga dianggap sebagai hal

yang pertama dan paling penting dalam human society. Keluarga juga dikaitkan dengan kasih

sayang yang membuat seseorang dapat mengembangkan diri dan memperoleh pemenuhan

dirinya, serta merupakan tempat yang penting bagi sebuah kebahagiaan dan harapan. Dengan

demikian pekerjaan dan keluarga merupakan dua area yang berbeda namun interdependent

sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang (Guitian, 2009 dalam

Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.12, No. 2, September 2010).

Pembagian peran antara pekerjaan dan tugas keluarga di masa lalu sangatlah jelas, yaitu

suami adalah pencari nafkah melalui pekerjaannya sedangkan istri merawat keluarga dan

anak-anak. Sejalan dengan perkembangan bisnis dan dunia usaha, kesempatan menempuh pendidikan

dan bekerja terbuka tidak hanya bagi lelaki namun juga bagi perempuan. Saat ini makin banyak

perempuan yang bekerja di berbagai bidang dan memiliki karier tersendiri. Dengan demikian

struktur keluarga tradisional, yaitu suami bekerja di luar rumah untuk memperoleh pendapatan

bagi keluarga dan istri bekerja di rumah mengurus rumah tangga mulai mengalami pergeseran.

Saat ini, kecenderungan yang muncul di kota-kota besar adalah pasangan suami istri yang

(10)

(1992:390), menyebut pasangan tersebut sebagai dual career. Individu dual-career adalah

mereka yang bekerja di bidang manajerial maupun pekerjaan profesional, memiliki anak, dan

pasangannya juga bekerja di bidang manajerial maupun pekerjaan profesional lainnya yang

berarti bahwa wanita yang bekerja secara profesional di sebuah perusahaan, menikah, dan

memiliki anak disebut sebagai wanita dual career.

Adanya kecenderungan dual career terjadi tidak hanya karena tuntutan kebutuhan

ekonomi rumah tangga, namun juga karena suami maupun istri memiliki keinginan untuk

mengaktualisasikan diri di masyarakat sejalan dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka

peroleh selama pendidikan. Saat ini pria dan wanita banyak yang memiliki ambisi dan komitmen

untuk menampilkan peran yang baik dalam area pekerjaan dan keluarga secara bersamaan

(Christine W.S.,2010).

Muchinsky (2003) dalam Nuzul Rahmi Daeng (2010), menjelaskan bahwa individu

dalam dual career family dicirikan sebagai pasangan suami istri yang memiliki karier

masing-masing dan mencoba untuk menyeimbangkan karier mereka dengan urusan rumah tangga. Pada

saat itu juga suami dan istri diharapkan mampu menjalani peran-peran yang muncul dalam

pekerjaan dan perkawinannya, yaitu sebagai suami atau istri, orangtua, karyawan, serta

mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan

tugas-tugas baru sebagai pria atau wanita dewasa. Suami dan istri harus membagi waktu dan perhatian

yang seimbang dalam setiap peran tersebut sehingga setiap peran dapat berjalan dengan selaras

dan efektif.

Dalam Journal of Managerial Psychology (Vol.24 No.4,2009, p.372-385), Sutanto

(2000) menyatakan bahwa perkembangan ekonomi dan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya

(11)

cenderung semakin meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 1950 wanita bekerja mencapai

29% dan pada tahun 1990, angkatan kerja wanita mencapai 57.7 %. Hal ini memperlihatkan

mayoritas wanita di Amerika Serikat bekerja sebagai wanita karier. Beberapa faktor yang

menjadi penyebab partisipasi wanita dalam dunia kerja adalah faktor ekonomi dan faktor non

ekonomi (Sutanto, 2000:4). Selain faktor ingin memperoleh pendapatan, wanita bekerja juga

didorong oleh keinginan untuk berkembang dan memperoleh kepuasan yang datang dari

pekerjaan. Adanya peningkatan dalam angkatan kerja wanita seakan menyiratkan adanya

perubahan peran wanita dari semula mengasuh anak dan mengurus rumah menjadi turut serta

dalam memikul tugas ekonomi keluarga dan aktualisasi diri (Melissa A. Warner & Peter A.

2009).

Di Australia, hanya sedikit keluarga yang saat ini masih memegang tatanan tradisional,

yaitu pria sebagai pencari nafkah dan wanita sebagai pengurus rumah dan merawat anak di

rumah, dan pasangan dual career mencapai 52% dari pasangan keluarga dalam angkatan kerja

(Australian Bureau of Statistics, 1996). Dalam tujuh belas tahun terakhir, jumlah pasangan dual

career meningkat sampai 58%, sedangkan pada periode yang sama, jumlah pasangan menikah hanya meningkat sebesar 24% (Australian Bureau of Statistics, 1997). Menurut Biro, hal ini

terjadi karena jumlah wanita bekerja yang meningkat 66%, perubahan sikap masyarakat,

pengaturan kerja yang lebih fleksibel, dan ketersediaan tempat perawatan anak yang lebih baik

(David F. Elloy & Catherine R. Smith, 2003).

Menurut Cascio (1998:214) dalam Kussudyarsana dan Soepatini (2008), pada saat ini,

dua dari tiga karyawan pria mempunyai istri yang bekerja. Dalam detikFinance (2 Februari

2008), disebutkan bahwa partisipasi wanita Indonesia di dunia kerja cenderung semakin

(12)

wanita dalam lapangan pekerjaan meningkat secara signifikan selama bulan Agustus 2006 –

Agustus 2007 dengan jumlah pekerja wanita Indonesia yang bertambah sebanyak 3,3 juta orang

(Kuswaraharja (2008) dalam Nuzul Rahmi Daeng, 2010). Dengan demikian, individu dual

career telah menjadi suatu norma pada saat ini (Journal of Managerial Psychology, Vol. 24 No. 4, 2009, hal. 372-385).

Hubungan dual career menunjukkan interaksi kompleks dari peran di pekerjaan dalam

masyarakat modern (Hansen, 1984). Hal ini menyiratkan komitmen psikologis atau pernikahan

bagi kedua relasi keluarga dan karier pribadi masing-masing. Hal ini telah dikukuhkan sebagai

relasi pernikahan middle-class yang ideal (Hertz, 1986) karena hal ini memberikan pasangan

kesempatan untuk memaksimalkan baik pemenuhan secara pribadi maupun keuntungan

finansial. Meskipun memberikan keuntungan, tuntutan dari dua karier paralel dapat

menimbulkan overload, konflik dan stres, yang diperparah ketika pasangan tersebut memiliki

anak atau tanggung jawab keluarga lainnya. Dual career akan memunculkan loyalitas ganda

(Smith, 1992a) yang dapat berakibat negatif pada hubungan personal dan lingkungan kerja

(dalam David F. Elloy & Catherine R. Smith, 2003). Kondisi tersebut juga menimbulkan

masalah dalam hal mengelola pekerjaan dan tanggung jawab keluarga (Melissa A. Warner &

Peter A. Hausdorf, 2009). Masalah yang muncul pada wanita dual career sering kali berkaitan

dengan peran mereka dalam keluarga dan pekerjaan.

Menurut sejumlah peneliti (Hall & Hall, 1979; Johnson & Johnson, 1977; Poloma,1972;

Rapoport & Rapoport, 1978) dalam Amatea (1986), sumber utama stres bagi wanita yang

memiliki komitmen untuk melakukan beberapa peran (multiple roles) adalah sifat dari pekerjaan

yang dilakukan dan harapan ketika berperan di keluarga. Dalam pekerjaan, wanita mendapatkan

(13)

kerja dan tekanan waktu seperti rush job, pekerjaan yang berisiko, peralatan kerja yang tidak

memadai, berbagai tuntutan kerja dari atasan atau rekan, dan deadlines. Di dalam keluarga pun,

wanita mendapat tekanan (family demand) yang terutama mengacu pada tekanan waktu yang

berkaitan tugas seperti mengurus rumah dan merawat anak (Jeffrey H. Greenhaus and Nicholas

J. Beutell, 1985).

Dari hasil wawancara saat survei awal peneliti kepada 10 orang yang merupakan wanita

dual career, diperoleh data bahwa 5 orang (50 %) mengalami stres pekerjaan yang sering kali terkait dengan beban kerja, 3 orang (30%) karena deadline tugas, dan 2 orang (20%) karena

kelelahan saat perjalanan untuk bekerja atau pulang. Seluruh istri (100%) yang diwawancara

menyatakan bahwa mereka juga harus mengurus rumah, memasak, dan merawat anak (seperti

memandikan, menyuapi makanan, bermain) saat berada di rumah dan hal tersebut dirasakan

berat setelah lelah bekerja di kantor.

Sebagian besar wanita dual career ini saat diwawancara memilih mendahulukan untuk

merawat dan mengurus anak setelah pulang kantor. Mereka merasa kelelahan saat harus

membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika baju sehingga memilih untuk

mengerjakannya di hari libur atau diserahkan kepada orang lain, seperti pembantu rumah tangga.

Para wanita ini tidak terlalu memperhatikan rumahnya selama terlihat bersih dan rapi. Selain itu,

wanita dual career ini pun jarang memiliki waktu untuk dihabiskan bersama pasangan sehingga

suami mereka sering mengeluh merasa kurang diperhatikan. Beberapa dari mereka malah

menyerahkan semua urusan rumah tangga kepada orang lain, termasuk urusan merawat anak

karena merasa tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya.

Meskipun dalam beberapa dekade terakhir, wanita dan pria semakin berusaha untuk

(14)

berbagai peran tersebut. Sejauh mana keterlibatan individu, seberapa besar nilai serta komitmen

individu terhadap suatu peran berkaitan dengan role salience pada diri individu tersebut. Role

salience atau importance dikenal juga sebagai role centrality (Martire, Stephens, & Townsend, 2000), role commitment (Brown, Bifulco, & Harris, 1987), atau personal involvement (Frone,

Russell, & Cooper, 1995) bertujuan untuk memberikan makna, penghargaan, dan tujuan bagi

individu (dalam Tina R. Norton, 2005).

Amatea, Cross, Clark, & Bobby (1986:831) mendefinisikan role salience sebagai

keyakinan yang diinternalisasi dan sikap individu terhadap (a) kesesuaian pribadi terhadap peran

yang dijalankan, (b) standar kinerja yang ditampilkan oleh peran, dan (c) komitmen dalam

penggunaan sumber daya pribadi (misalnya waktu, uang, dan energi) untuk menampilkan sebuah

peran pada area pekerjaan (occupational), perkawinan (marital), orang tua (parental), dan

pemeliharaan rumah (homecare). Role salience dapat diukur melalui dua dimensi, yaitu: (a)

kepentingan pribadi atau value yang dikaitkan dengan partisipasi dalam peran tertentu (role

reward value), dan (b) tingkat komitmen yang dikehendaki dari waktu dan sumber daya energi yang dimiliki untuk melakukan sebuah peran (role commitment).

Tingkat kepentingan dan komitmen setiap wanita dual career berbeda sesuai dengan

keyakinan dan harapannya terhadap suatu peran. Wanita dual career dapat memiliki kepentingan

dan komitmen yang tinggi pada salah satu peran, namun rendah pada peran lainnya. Hal ini dapat

menimbulkan masalah karena ia tidak dapat menjalankan peran secara optimal dan kurang

efektif. Jika dilihat dari dimensi role salience di setiap peran, wanita dual career dengan multiple

(15)

atau rendah terhadap perannya, juga dapat memiliki role commitment yang tinggi, sedang, atau

rendah dalam perannya.

Dari penelitian Amatea et al. (1986), diperoleh hasil bahwa value perempuan untuk

menjadi orangtua (parental) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Peneliti

melakukan survei awal dengan menggunakan kuesioner the Life Role Salience Scales milik

Amatea, Cross, Clark, & Bobby (1986) kepada 102 responden di Jakarta dan Bandung yang

merupakan individu dual career dan menemukan gejala yang serupa. Hasil kuesioner yang

diberikan saat survei awal kepada suami menunjukkan bahwa 24 orang (47.1%) memiliki role

reward value yang rendah dalam peran parental, 15 orang (29.4%) memiliki role reward value yang sedang dalam peran parental, dan 12 orang (23.5%) memiliki role reward value yang

tinggi dalam peran parental. Dalam dimensi parental role commitment, 21 orang suami (41.2%)

memiliki role commitment yang tergolong sedang, 18 orang (35.3%) memiliki role commitment

yang rendah, dan hanya 12 orang (23.5%) yang memiliki role commitment tinggi pada perannya

sebagai orang tua (parental).

Berbeda dengan hasil kuesioner milik 51 orang wanita dual career yang menunjukkan

bahwa 19 orang (37.3%) memiliki role reward value yang tinggi dalam peran parental, 19 orang

(37.3%) memiliki role reward value yang rendah dalam peran parental, dan 13 orang (25.4%)

memiliki role reward value yang sedang dalam peran sebagai orang tua (parental). Dalam

dimensi role commitment, 20 orang istri (39.2%) memiliki role commitment yang tergolong

sedang, 16 orang (31.4%) memiliki role commitment yang rendah, dan 15 orang (29.4%) yang

memiliki role commitment tinggi pada perannya sebagai orang tua (parental).

Wanita dengan role salience (value dan komitmen) tinggi pada perannya sebagai orang

(16)

sayang. Wanita ini akan meninggalkan tugas yang sedang dikerjakan tanpa ada perencanaan jika

mengetahui anaknya mengalami kesulitan atau sakit. Berbeda dengan wanita yang memiliki role

salience (value dan komitmen) rendah terhadap parental, maka ia memilih untuk melakukan hal lain yang lebih penting dan kurang menggunakan waktu serta uang yang dimilikinya untuk

menjalin hubungan bersama anak. Wanita dengan value dan komitmen yang tergolong sedang

terhadap peran parental akan menganggap anak adalah hal penting dalam hidup yang perlu

dididik dan dirawat sesuai kemampuan dengan tidak meninggalkan peran yang lain.

Hal yang mengejutkan dalam penelitian Amatea et al. (1986) adalah temuan bahwa

perempuan juga menunjukkan value terhadap pekerjaan yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Meskipun value perempuan dalam bekerja lebih tinggi daripada laki-laki, pada umumnya mereka

kurang berkomitmen untuk itu. Cinnamon dan Rich (2002b) menyatakan bahwa perempuan yang

bekerja di kantor memiliki value untuk bekerja sangat tinggi yang memungkinkan mereka untuk

bersaing dengan rekan laki-laki, sementara mereka biasanya mengelola kewajiban keluarga.

Meskipun value terhadap pekerjaan lebih tinggi daripada laki-laki, namun perempuan tidak lebih

berkomitmen untuk peran tersebut. Hal ini mungkin mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh

perempuan dalam menyeimbangkan peran di pekerjaan dan keluarga (Catherine Mary Sullivan,

2008).

Dari kuesioner yang diberikan kepada 51 orang suami, peneliti memperoleh hasil bahwa

25 orang (49%) memiliki role reward value tinggi dalam pekerjaan, 21 orang (41,2%) memiliki

role reward value yang sedang terhadap pekerjaan, dan 5 orang (9,8%) memiliki role reward value yang rendah terhadap pekerjaan. Role commitment yang ditunjukkan para suami pun berbeda, yaitu 25 orang (49%) memiliki role commitment sedang dalam pekerjaan, 23 orang

(17)

role commitment yang rendah terhadap pekerjaan. Hasil kuesioner dari wanita dual career menunjukkan hal yang berbeda, yaitu 20 orang (39,2%) ternyata memiliki role reward value

yang tergolong rendah dalam pekerjaan, 16 orang (31,4%) memiliki role reward value tinggi dan

15 orang (29,4%) memiliki role reward value yang sedang terhadap pekerjaan. Role commitment

para istri yang bekerja ini juga bervariasi, yaitu 20 orang (39,2%) ternyata memiliki role

commitment yang tergolong sedang dalam pekerjaan, 16 orang (31,4%) memiliki role commitment rendah dan 15 orang (29,4%) memiliki role commitment yang tinggi terhadap pekerjaan.

Wanita yang memiliki role salience tinggi dalam pekerjaan ditunjukkan dengan value

dan komitmen tinggi. Ia menganggap bahwa perannya di pekerjaan lebih penting dan banyak

menggunakan tenaga serta waktunya untuk melakukan tugas dalam perannya di pekerjaan dan

kelelahan untuk melakukan peran yang lain. Wanita memiliki value yang tergolong sedang

dengan komitmen kerja yang tinggi, sehingga wanita ini merasa bahwa pekerjaan cukup penting

bagi dirinya dan ia akan mengupayakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk dapat

memberikan hasil terbaik bagi tempatnya bekerja. Bagi wanita yang memiliki role salience

rendah terhadap pekerjaan, yang ditunjukkan dengan value dan komitmen yang rendah akan

lebih mementingkan perannya di area kehidupan lain, yaitu keluarga, dan kurang menunjukkan

perstasi kerja yang memuaskan dalam pekerjaannya.

Dalam peran wanita dual career sebagai pasangan, hasil responden survei awal kepada

51 orang menunjukkan bahwa 19 orang (37.3%) ternyata memiliki role reward value yang

tergolong sedang dalam peran marital, 17 orang (33.3%) memiliki role reward value rendah dan

15 orang (29.4%) memiliki role reward value yang tinggi terhadap peran dalam perkawinan,

(18)

perkawinan menyebar merata, yaitu 17 orang (33.3%) untuk masing-masing kategori. Dari hasil

survei awal, diketahui bahwa sebagian wanita dual career masih memiliki role slaience yang

rendah terhadp perannya sebagai pasangan dalam perkawinan.

Wanita yang memiliki role salience tinggi pada perkawinan akan dapat berperan sebagai

wanita yang berusaha keras untuk memahami pasangannya dan membuat pasangan bahagia

meskipun harus mengorbankan perannya yang lain. Wanita yang memiliki role salience rendah

terhadap perannya dalam perkawinan akan lebih mementingkan perannya di area kehidupan lain,

tidak menganggap bahwa perkawinan itu sesuatu yang penting, dan kurang bertahan dalam

menghadapi permasalahan di perkawinan. Wanita dengan value yang tergolong sedang terhadap

perkawinan memiliki perasaan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang penting bagi dirinya, Jika

wanita itu memiliki komitmen yang tergolong sedang, maka ia akan menjadi pasangan yang

sesuai dengan kemampuannya tanpa melupakan tanggung jawabnya di dalam peran lain.

Peran lain yang harus dijalankan secara efektif dan optimal oleh wanita dual career

adalah dalam pemeliharaan rumah (homecare). Hasil kuesioner survei awal kepada istri

mengenai perannya dalam pemeliharaan rumah (homecare), menunjukkan bahwa 22 orang

(43.1%) ternyata memiliki role reward value yang tergolong rendah dalam peran pemeliharaan

rumah (homecare), 15 orang (29.4%) memiliki role reward value tinggi dan 14 orang (27.5%)

memiliki role reward value yang tinggi terhadap peran pemeliharaan rumah (homecare). Role

commitment istri terhadap perannya dalam pemeliharaan rumah (homecare), terlihat bahwa 24 orang (47.1%) ternyata memiliki role commitment yang tergolong tinggi dalam pemeliharaan

rumah (homecare), 18 orang (35,3%) memiliki role commitment rendah dan 9 orang (17.6%)

(19)

Wanita yang memiliki value dan komitmen tinggi terhadap perannya dalam mengurus

rumah akan menganggap bahwa ‘rumahku istanaku’ dan tidak mau rumahnya sedikit berantakan

atau kotor. Bagi wanita yang memiliki value dan komitmen rendah dalam perannya di homecare,

rumah hanyalah tempat singgah dan tidak penting sehingga ia tidak perlu menggunakan sumber

daya yang dimiliki untuk membuat rumahnya tampak menarik dan indah. Wanita dengan value

yang tegolong sedang merasa bahwa rumah adalah bagian penting dari kehidupannya, dan

dengan komitmennya yang sedang maka ia bersedia untuk mengisi rumah dengan barang-barang

yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya atau menyempatkan waktu untuk

membersihkan rumah.

Secara umum, value dan komitmen individu yang menempel pada peran tertentu

berkorelasi kuat satu sama lain (Amatea dkk, 1986; Campbell & Campbell, 1995; Rajadhvaksha

& Bhatnagar, 2000). Meskipun value dan komitmen umumnya berkorelasi, value yang melekat

pada peran biasanya lebih besar dari pada komitmen terhadap peran. Dengan kata lain,

kepercayaan dan sikap mengenai keterkaitan pribadi dalam peran perkawinan, pekerjaan,

parental, dan homecare biasanya lebih besar dari komitmen untuk bersedia dan mampu dalam menggunakan sumber daya pribadi untuk melakukan peran tersebut.

Hasil wawancara saat survei awal menunjukkan bahwa 4 orang (40 %) dari 10 wanita

dual career memiliki value dan komitmen yang tinggi terhadap perannya di berbagai area kehidupan, yaitu pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah. Mereka merasa

bahwa seluruh peran tersebut penting bagi dirinya dan berusaha memenuhi tuntutan peran sebaik

mungkin dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya. Wanita dual career ini sering kali

mengalami konflik saat harus memenuhi salah satu tuntutan peran namun terhambat dengan

(20)

Berbeda dengan wanita dual career yang memiliki value dan komitmen rendah terhadap

perannya di kehidupan. Hasil dari wawancara survei awal menyatakan bahwa terdapat 1 orang

(10%) yang memiliki value dan komitmen yang rendah terhadap perannya di pekerjaan. Wanita

dual career ini merasa peran tersebut tidak penting bagi dirinya sehingga ia tidak berusaha untuk menunjukkan komitmen dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya, baik itu waktu,

energi, atau uang, secara optimal dalam bekerja dan memiliki performansi kerja yang rendah. Ia

bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Dalam bekerja pun, ia ini hanya

berusaha untuk memenuhi sebatas minimal tuntutan peran dan jabatannya tanpa ada keinginan

yang kuat untuk berkembang.

Hasil wawancara saat survei awal juga menggambarkan fenomena lain, yaitu terdapat 1

orang (10%) memiliki value yang rendah dengan komitmen yang tinggi terhadap perannya di

pekerjaan. Wanita dual career ini kurang menganggap penting perannya dalam bekerja, namun

ia melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas yang menjadi tuntutan dari peran sebagai

karyawan. Ia berusaha bertahan untuk menjalankan perannya dan berkomitmen dalam

menggunakan sumber daya yang dimiliki, namun sering kali dengan perasaan terpaksa. Dari

hasil wawancara diperoleh data bahwa wanita seperti ini kadang mengalami masalah-masalah

psikologis lainnya, seperti stress atau burn out karena pekerjaannya.

Selain hasil tersebut, diperoleh data dari wawancara survei awal bahwa 4 orang (40%)

responden memiliki value tinggi namun komitmen yang rendah terhadap perannya, yaitu 2 orang

(20%) memiliki komitmen yang rendah dalam pekerjaan dan 2 orang (20%) memiliki komitmen

yang rendah terhadap perannya dalam homecare. Wanita dual career dengan tipe seperti ini

menyadari bahwa peran yang dilakukannya adalah penting bagi dirinya, namun ia kurang dapat

(21)

menunjukkan kinerja peran yang efektif. Mereka kurang dapat berkomitmen dalam perannya

karena adanya pemenuhan peran lain yang menghambat pemenuhan peran lainnya. Mereka

sudah merasa kelelahan dan kehabisan waktu dalam mengurus keluarga sehingga tidak dapat

bekerja dengan optimal. Ada juga yang menyatakan bahwa ia lebih memilih menyisihkan uang

untuk kebutuhan anaknya daripada menghias atau memperbaiki rumah.

Menurut Parasuraman dan Greenhaus (2002), pengaruh role salience menjadi lebih

signifikan pada pasangan dual career karena keduanya memiliki peran dalam pekerjaan dan

keluarga,dan kedua hal itu merupakan sumber potensial munculnya konflik terutama saat kedua

peran menuntut lebih. Sekaran (1985) juga menemukan bahwa ketika pasangan dual career

menganggap bahwa karir mereka merupakan pusat dari kehidupan, maka wanita akan mengalami

konflik peran lebih besar dan memiliki kesehatan mental lebih buruk karena mereka tidak dapat

menempatkan karir di atas keluarga sebagaimana dilakukan oleh pria (David F. Elloy and

Catherine R. Smith, 2003).

Wanita dual career pada kenyataannya perlu memiliki role salience yang optimal di

seluruh peran kehidupan sehingga dapat bertindak efektif terhadap perubahan peran yang

dimainkan dan melakukan peran tersebut dengan baik. Role salience yang optimal berada pada

kategori sedang, yaitu individu memiliki role reward value dan role commitment yang selaras

pada semua perannya. Keselarasan ini merupakan kecenderungan untuk terlibat penuh dalam

kinerja setiap peran dalam sistem peran individu, untuk mendekati setiap peran spesifik dan

peran pasangan dengan sikap penuh perhatian dan kepedulian (Stephen R. Marks & Shelley M.

MacDermid, 1996).

Marks (1977, 1979) menunjukkan bahwa ketika individu atau wanita dual career

(22)

muncul manfaat bagi kesejahteraan mereka. Begitu pula dengan Hoelter (1985b) yang

membuktikan bahwa ketika identitas salient individu cenderung “berimbang” daripada

terorganisir secara hirarki, maka beberapa hasil yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka

secara umum akan lebih baik.

Semua orang memiliki logika secara implisit bagaimana mereka harus menyesuaikan diri

dengan berbagai peran. Individu atau wanita dual career yang lebih menjaga keselarasan di

seluruh sistem peran dan aktivitas mereka akan memiliki skor yang lebih rendah saat pengukuran

role strain dan depresi serta memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran self-esteem, role ease, dan indikator lain dari kesejahteraan (Stephen R. Marks & Shelley M. MacDermid, 1996). Saat wanita dual career memiliki role salience yang selaras dan optimal dalam seluruh perannya,

maka mereka akan dapat berperan sesuai dengan tuntutan dan memiliki tingkat stres yang

rendah.

Dengan menyadari pentingnya keselarasan dalam role salience, diperlukan suatu teknik

intervensi yang dapat membantu wanita dual career ini untuk mengoptimalkan role salience

dalam berbagai peran di kehidupan sehingga mereka dapat berperan secara efektif. Salah satu

intervensi yang dapat membantu para wanita dual career ini untuk meningkatkan role salience

menjadi kategori sedang dan seimbang dalam multiple roles yang dijalankannya adalah melalui

program pelatihan. Pelatihan adalah suatu proses yang disusun secara sistematis dalam

menyediakan kesempatan untuk mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk situasi

saat ini atau yang akan datang. Pelatihan sesuai untuk meningkatkan pemahaman dan

pembentukan sikap wanita dual career sehingga dapat menjalankan semua peran secara optimal

(23)

Dari hasil survei awal dapat diketahui bahwa masih banyak istri yang juga merupakan

wanita dual career memiliki role salience yang rendah dalam keempat peran utama yang

dijalankan setiap hari. Para wanita dual career ini memiliki role reward value dan role

commitment yang tergolong rendah sehingga belum dapat mengoptimalkan role salience dan bertingkah laku efektif dalam memenuhi multiple roles yang dihadapinya. Wanita dual career

tersebut juga belum memahami dan menghayati seberapa penting role reward value serta role

commitment terhadap peran dapat memengaruhi kinerja peran tersebut sehingga mereka belum menjalankan perannya dengan optimal dan efektif. Oleh karena itu, peneliti memilih wanita dual

career dalam uji coba pelatihan role salience ini. Melalui program pelatihan ini, wanita dual career diajak untuk mengevaluasi role salience pribadi terhadap multiple roles yang dilakukan pada empat area kehidupan setiap hari, meningkatkan role reward value pribadi dalam multiple

roles di empat area kehidupan, meningkatkan role commitment pribadi dalam multiple roles di empat area kehidupan, dan menyusun rencana untuk menjalankan role secara efektif dan optimal

dengan menggunakan waktu, tenaga, dan uang pribadi yang dimiliki.

Sampai saat ini, peneliti belum menemukan pelatihan yang telah disusun untuk

meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career. Oleh karena itu,

pada penelitian ini, peneliti akan menyusun rancangan modul pelatihan yang sesuai dan tepat

untuk dapat meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.

Program pelatihan ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu mereka meningkatkan role

salience wanita dual career melalui dimensi role reward value dan role commitment sehingga mereka mampu berperan secara efektif dan optimal di area pekerjaan (occupational), perkawinan

(24)

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana rancangan modul pelatihan yang sesuai untuk dapat meningkatkan role

salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career?

2. Apakah terdapat peningkatan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual

career sesudah diberi pelatihan role salience?

1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud

Maksud penelitian ini, adalah:

1. Menyusun dan menguji coba rancangan modul pelatihan yang dapat

meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.

2. Memperoleh gambaran mengenai role salience pada wanita dual career

sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan role salience.

1.3.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini, adalah:

1. Mengajukan rancangan dan menguji coba modul pelatihan yang dapat

meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.

2. Mengetahui peningkatan role salience pada wanita dual career menjadi kategori

(25)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi Sosial, Psikologi

Keluarga, serta Psikologi Industri dan Organisasi mengenai role salience pada

wanita dual career.

2. Peneliti lain dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi,

referensi, atau acuan untuk penelitian berikutnya mengenai role salience dan

intervensi yang sesuai untuk meningkatkan role salience menjadi kategori

sedang.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi dan masukan bagi wanita dual career untuk memahami

bagaimana gambaran role salience masing-masing agar dapat dimanfaatkan

untuk menjalankan peran secara optimal dan efektif, baik dalam area pekerjaan

dan keluarga.

2. Memberikan informasi kepada para psikolog sosial, keluarga, maupun industri

dan organisasi sebagai bahan referensi dalam mengembangkan teknik intervensi

untuk meningkatkan role salience menjadi kategori sedang pada wanita dual

(26)

3. Memberikan intervensi yang sesuai dalam bentuk modul program pelatihan bagi

wanita dual career yang memiliki role salience rendah untuk meningkatkan

role salience mereka menjadi kategori sedang.

1.5 Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian ini adalah:

1. Melakukan tahap wawancara dan survei awal.

2. Menerjemahkan alat ukur the Life Role Salience Scales (LRSS) dari Amatea et al.

3. Melakukan pengukuran role salience pada wanita dual career.

4. Menganalisis hasil pengukuran role salience pada wanita dual career sehingga

diperoleh wanita dengan role salience rendah.

5. Menyusun rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role salience menjadi

kategori sedang pada wanita dual career.

6. Menguji coba dan mengevaluasi rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role

salience menjadi kategori sedang pada wanita dual career.

Prosedur penelitian yang digunakan digambarkan secara skematis pada bagan berikut:

Wawancara & Survei

Awal

Penyusunan rancangan modul pelatihan untuk meningkatkan role salience menjadi kategori sedang

pada wanita dual career. Penerjemahan

alat ukur The

Life Role Salience Scales (LRSS) Pengukuran role salience Menganalisa hasil pengukuran role salience Wanita dual career yang memiliki role salience rendah

Model intervensi dalam bentuk modul pelatihan yang sesuai untuk meningkatkan role salience menjadi

(27)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Modul pelatihan role salience ini dapat digunakan untuk meningkatkan role salience

melalui peningkatan derajat dimensi role reward value dan role commitment menjadi

kategori sedang pada wanita dual career sehingga optimal dan efektif dalam menjalankan

peran di area pekerjaan, perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare).

2. Sebagian besar wanita dual career yang mengikuti pelatihan role salience mengalami

peningkatan dari kategori rendah menjadi kategori sedang pada seluruh dimensi role

salience. Hal ini menunjukkan bahwa Tujuan Instruksional Umum pelatihan role salience tercapai.

3. Wanita dual career menghayati bahwa pelatihan role salience ini sangat bermanfaat dan

sangat menarik sehingga membantu mereka dalam menghayati pentingnya role salience

dalam menjalankan peran sehari-hari dan melaksanakan hasil yang mereka peroleh dari

(28)

119

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan saran teoritis dan saran praktis, sebagai

berikut:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Kepada peneliti lain, dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk:

a. Melakukan penelitian lanjutan mengenai efektivitas pelatihan role salience

terhadap peningkatan role salience di setiap dimensinya dengan adanya jangka

waktu pemberian pretest dan post-test yang lebih lama.

b. Melakukan penelitian lanjutan mengenai role salience dengan menggunakan

sampel yang lebih besar dan norma standar.

c. Melakukan penelitian lanjutan menggunakan metode time series dengan

melakukan follow-up kepada wanita dual career yang menjadi responden

pelatihan untuk mengetahui perubahan setelah pelatihan role salience

menggunakan evaluasi level behavior dan level result.

5.2.2 Saran Praktis

1. Kepada wanita dual career dapat menggunakan hasil pelatihan sebagai salah satu

media untuk melakukan refleksi diri dan memberikan gambaran mengenai

pentingnya role salience dalam menjalankan peran sehari-hari di area pekerjaan,

perkawinan, parental, dan pemeliharaan rumah (homecare).

2. Kepada para Psikolog Sosial, Keluarga, maupun Industri dan Organisasi dapat

(29)

intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan role salience menjadi

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Amatea, Ellen S., E. Gail Cross, Jack E. Clark, Carol L. Bobby. 1986. Journal Of Marriage And Family, vol. 48, no. 4 (Nov., 1986), pg. 831 838. Assessing The Work And Family Role Expectations Of Career-Oriented Men And Women: The Life Role Salience Scales.

Blanchard, P. Nick & James W. Thacker. 2004. Effective Training: System, Strategies, and Practices, 2nd ed. New Jersey : Prentice Hall

Carlson, Dawn S., K. Michele Kacmar, and Larry J. Williams. 2000. Journal of Vocational Behavior, vol. 56, pg. 249 276. Construction And Initial Validation Of A Multidimensional Measure Of Work-Family Conflict.

Christine W.S., Megawati Oktorina, dan Indah Mula. 2010. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.12, No. 2, September 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga Terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel (Studi pada Dual Career Couple di Jabodetabek)

Cinamon, Rachel Gali, Tova Most, Rinat Michael. 2008. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 13:3 Summer 2008. Role Salience and Anticipated Work–Family Relations Among Young Adults With and Without Hearing Loss.

Elloy, David F. and Catherine R. Smith. 2003. Cross Cultural Management, Vol. 10, No. 1, 2003. Patterns of Stress, Work-Family Conflict, Role Conflict, Role Ambiguity, and Overload Among Dual Career And Single – Career Couples: An Australian Study.

Graziano, Anthony M. & Michael L. Raulin. 2000. Research Methods : A Process of Inquiry, 4th ed. Boston: Allyn and Bacon

Greenhaus, Jeffrey H. and Nicholas J. Beutell. 1985. The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 1 (Jan., 1985), pp. 76-88. Sources of Conflict between Work and Family Roles.

Guitian, Gregorio. 2009. Conciliating Work and Family: a Catholic Social Teaching

Perspective. Journal of Business Ethic, 88: 513-524

Hammer, Leslie & Cynthia Thompson. 2003. Jurnal. Work-Family Role Conflict.

(31)

Marks, Stephen R. & Shelley M. MacDermid. 1996. Journal of Marriage and the Family Vol. 58 (May 1996): 417-432. Multiple Roles and The Self: A Theory of Role Balance.

Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, and Shane R. Premeaux. 2002. Human Resource Management, 8th ed. New Jersey: Prentice Hall

Noor, Noraini M. 2004. The Journal Of Social Psychology, 2004, 144(4), 389405: Work-Family Conflict, Work- And Family-Role Salience, And Women’s Well-Being.

Norton, Tina R.; Gupta, Anita; Stephens, Mary Ann Parris; Martire, Lynn M.; Townsend, Aloen L. 2005. Sex Roles: A Journal of Research, March 1, 2005. Stress, Rewards, and Change in The Centrality Of Women's Family And Work Roles: Mastery As A Mediator.

Parasuraman, S. and Greenhaus, J. 2002. Human Resource Management Review, 12(3): 299-312. Toward Reducing Some Critical Gaps in Work-Family Research.

Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior, 9th ed. New Jersey: Prentice Hall.

Silberman, Mel. 1990. Active Training: A Handbook of Techniques, Designs, Case Examples, and Tips. San Diego: Lexington Books.

Sitepu, Nirwana SK. 1995. Analisis Korelasi. Bandung: FMIPA UNPAD

Walter, Gordon A. & Stephen E. Marks. 1981. Experiential Learning and Change: Theory, Design, and Practice. New York: Wiley

Warner, Melissa A., Peter A. Hausdorf. 2009. Journal of Managerial Psychology, Vol. 24 No. 4, 2009, pp. 372-385. The Positive Interaction of Work and Family Roles: Using Need Theory To Further Understand The Work-Family Interface.

Werther, William B. Jr, & Keith Davis. 1996. Human Resources and Personnel Management, 5th ed. Ohio: McGraw-Hill. Inc.

(32)

DAFTAR RUJUKAN

Daeng, Nuzul Rahmi. 2010. Skripsi. Perbedaan Kepuasan Pernikahan antara Suami dan Istri dalam Dual Career Family. Medan: Universitas Sumatera Utara

Prayogo, Adityanto. 2010. Tesis: Penelitian Tentang Perilaku Kerjasama Dalam Bekerja Pada Karyawan Produksi Vaksin Polio PT. X (Persero) Bandung dan Penyusunan Rencana Intervensi Peningkatan Perilaku Kerjasama Karyawan. Bandung: Universitas Kristen Maranatha

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk dan makna metafora yang terkandung dalam teks Syair Perahu berdasarkan pilihan Citra yang merupakan

Dalam perkuliahan ini dibahas mengenai: latar belakang bakat dan minat; konsep bakat dan minat menurut administrasi dan penskoran tes Adkudak, PTP, RMIB, TIU dan pengenalan beberapa

◦ Bagi random access memory, waktu akses adalah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan operasi baca atau tulis. ◦ Memori non-random akses merupakan waktu yang

Next, 3D point in LiDAR database corresponding to a pixel in intensity image is to be identified for every pixel/point selected in camera image for dimension

Sebelum membuka bisnis ini, kami sudah merencanakan rencana tata letak dimana kami memilih daerah bandung timur sebagai pusat bisnis agenda furniture yang bekanngan ini

Untuk pengembangannya sendiri dari rencana pengembangan pariwisata kota Solo, taman Sriwedari akan dijadikan seperti dulu yaitu kawasan wisata budaya yang di

Di samping pelaksanaan berbagai kergiatan tersebut, segenap mahasiswa juga memperoleh pemahaman tentang proses pendidikan dan pembelajaran di SMK N 1 Seyegan,

Produksi Probiotik Campuran Saccharomyces cerevisiae, Trichoderma viride dan AspergUlus niger Untuk Ruminansia Menggunakan Media Pucuk Tebu dan Limbab Serat Abaka.