iv
ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI dan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA
Ahmad Firmansyah 1187080
ABSTRAK
Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakanan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu,negara berupaya melaksanakan pembangunan di semua sektor maupun sendi-sendi kehidupan lainya. Melalui proses yang disebut dengan tender pengadaan barang atau jasa, Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan oleh perusahaan pemenang tender. Dalam pelaksanaannya Penyediaan Barang dan Jasa untuk kepentingan publik dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan barang dan Jasa. Untuk itu, perlu adanya dana talangan yang disebut dengan bridging loan agar pembangunan dapat berjalan dengan benar. Namun demikian proses bridging loan selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini menjadi permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa. Sehingga perlu dikaji kedudukan bridging loan dan perlindungan hukum bagi pelaksana tender maupun pemenang tender.
Metode penelitian, yuridis normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis, dengan menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
v KATA KUNCI
BRIDGING LOAN ANALYSIS IN PRACTICE OF PROCUREMENT OF GOODS AND SERVICES BASED ON LAW NUMBER 20 OF 2001 ON
COMBATING Corruption Juncto REGULATION LEGISLATION ON PROCUREMENT OF GOODS AND SERVICES
Ahmad Firmansyah (1187080) ABSTRACT
Destination country Indonesia as stated in the preamble of the 1945 Constitution, namely a State Government that Indonesia protect the Nations Indonesia and all the spilled blood of Indonesia and to promote the general welfare, the intellectual life of the nation and the world order melaksakanan on the basis of independence, peace and social justice. To that end, the State seeks to carry out development in all sectors as well as other life joints. Through a process called with a tender for the procurement of goods or services, the implementation of the construction can be carried out by the company winning a tender. In practice the provision of goods and services for the benefit of the public is done based on the presidential Regulation No. 54 of 2010 On the procurement of goods and services. To that end, the need for bailouts that called the bridging loan in order that construction can be run correctly. However, the process of bridging loan is always associated with the criminal acts of corruption. This is a problem in the procurement of goods and services. So it needs to be examined the position of bridging loan and legal protection for the executor of the tender or the tender winner.
Methods of juridical research, normatife, with a descriptive research analytical properties, using secondary data, consisting of primary law, secondary, and tertiary. Bridging loan that basically refers to the provisions of the rules of the law of contract, as provided for in Book III KUHPerdata that the rights and obligations in the treaties bridging loan pour in. Given the bridging loan agreement based on the Treaty so it can be inferred that it is entered into the realm of private law, however given the object in enforced by contain elements relating to public bailouts of countries and Finance the procurement of public facilities, then bridging loan does not contain private items only remain also involves an element of so public a shift from private law to public lawservices that it allows the parties to use a bridging loan facility, as well as providing training to the parties who will be doing the tender provided an understanding of the bridging loan facilities not belonging to the public domain i.e. criminal acts of corruptionThe implementation of the procurement of goods and services, on the other hand legislation also provides protection in preventive and repressive, where in case of violation or abuse then executing a tender and the winner of the tender will be penalized in accordance with the legislation in force. However as for the violation or abuses, should be processed in a civil or criminal proceeding with the application of the sanctions fair. In order for the Government to form the umbrella of law related to the bridging loan practices which are currently very necessary not only by establishments-government agencies but also has penetrated to the community
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PANITIA SIDANG... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Permasalahan ...7
C. Tujuan Penulisan ...7
D. Kegunaan Penelitian ...8
E. Kerangka Pemikiran ...9
F. Metode Penelitian ...19
G. Sistematika Penulisan ...22
BAB II ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI INDONESIA A. Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia ...25
1. Pengadaan Barang dan Jasa Serta Pengaturannya di Indonesia ...25
2. Metode-Metode Pengadaan Barang dan Jasa ...27
a. Metode-Metode Pemilihan Barang dan Jasa ...27
b. Metode Evaluasi Penawaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa ...30
c. Hal-hal Lain Berkenaan Dengan Pengadaan Barang dan Jasa ...32
3. Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang dan Jasa ...36
4. Swakelola dalam Pengadaan Barang dan Jasa ...40
a. Pengadaan yang dapat Dilaksanakan Dengan Cara Swakelola ...42
A. Perbuatan Hukum Pinjam Meminjam di Indonesia ...55
1. Perjanjian Sebagai Dasar dalam Pinjam Meminjam ...55
a. Ketentuan Umum Mengenai Perjanjian ...55
b. Unsur-Unsur Perjanjian ...56
c. Syarat Sahnya Perjanjian dan Akibat Hukumnya ...57
d. Hapusnya Perjanjian ...59
e. Wanprestasi dan Pengaturannya ...60
f. Bentuk-Bentuk Wanprestasi dan Akibat Hukumnya ...62
2. Ketentuan Umum Mengenai Pinjam-Meminjam ...70
a. Pengertian Pinjam-Meminjam ...70
b. Kewajiban-Kewajiban Para Pihak dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam ...74
c. Bunga dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam ...76
B. Bridging loan dalam Aktifitas Bisnis di Indonesia ...78
1. Sejarah Bridging Loan ...78
2. Pengertian Bridging Loan ...79
3. Jenis-Jenis Bridging Loan ...79
a. Briding loan haji ...79
b. Bridging Loan Personal ...83
c. Bridging Loan Konstruksi ...83
4. Skema Bridging Loan dengan persetujuan Bank ...86
BAB IV ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Juncto PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA A. Pergeseran Ruang Lingkup Privat Menjadi Ruang Lingkup Publik dalam Pengadaan Barang dan Jasa...100
1. Ruang Lingkup Publik dari Hukum Indonesia ...100
2. Ruang Lingkup Privat dalam Sistem Hukum di Indonesia ...100
3. Pergeseran Ruang Lingkup Privat Menjadi Ruang Lingkup Publik ...111
B. Kedudukan Bridging Loan dalam Praktek Pengadaan Barang di Tinjau dari Hukum Pidana dan Hukum Bisnis ...116
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksakanan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu, negara
berupaya melaksanakan pembangunan di semua sektor maupun sendi-sendi
kehidupan lainya.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara dan
pemerintahanya yang berdaulat, dalam rangka memenuhi hajat hidup orang
banyak dan pemenuhan hak asasi manusia, adalah melalui pembangunan di
sektor ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya. Salah satu cara guna
mewujudkan pembangunan adalah membangun infrastruktur dan mencari
pelaksana pembangunan yang profesionalkredibel, dan akuntabel serta dapat
melaksanakan proyek sesuai dengan waktu yang ditentukan, melalui proses
yang disebut dengan tender pengadaan barang atau jasa. Pelaksanaan
pembangunan dapat dilakukan oleh perusahaan pemenang tender, atas
Pembangunan di berbagai sektor untuk kepentingan masyarakat
memerlukan pendanaan yang cukup besar, oleh karena itu dalam hal
pendanaan pembangunan, tidak hanya bersumber dari APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) tetapi juga dari alternatif pembiayaan
lainya. Pada pelaksanaannya, pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan
publik diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang barang dan jasa.
Peraturan perundang-undangan tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah
mengalami perubahan yakni, perubahan pada Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, Peraturan Presiden nomor
70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan Peraturan Presiden
Nomor 172 tahun 2014 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, serta Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Namun
perubahan tersebut tidak menggantikan peraturan yang lama, jadi peraturan
yang lama masih berlaku untuk hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam
Peraturan Presiden yang baru.
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa menyatakan bahwa ruang lingkup Peraturan
Presiden ini meliputi:
a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik
sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara).
b.Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia,
Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan
pada APBN/APBD.
Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadaan
Barang/Jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD, mencakup
Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah. Sedangkan, Pasal 2 ayat (3) menyebutkan ketentuan
Pengadaan Barang/Jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal
dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) berpedoman pada ketentuan
Peraturan Presiden ini. Pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan, apabila terdapat
perbedaan antara Peraturan Presiden ini dengan ketentuan Pengadaan
Barang/Jasa yang berlaku bagi pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri, para
pihak dapat menyepakati tata cara Pengadaan yang akan dipergunakan.1
Pada kenyataanya, kebutuhan masyarakat akan pembangunan cukup
mendesak. Namun di sisi lain, anggaran yang dibutuhkan oleh pelaksana
pembangunan lambat terealisasi, khususnya terkait pembangunan dan
penyediaan sarana dan prasarana. Kondisi ini memaksa peserta tender yakni
kontraktor mencoba mencari alternatif pembiayaan dengan berinisiatif
mengajukan dana talangan dari pihak ketiga apabila ditunjuk sebagai
pemenang tender. Pihak ketiga tersebut biasanya adalah lembaga pembiayaan
seperti misalnya bank yang menjadi penyedia Bridging Loan.
1
Dana Talangan/Bridging Loan yang diberikan setelah pemenang tender/
Peminjam/Debitur mendapatkan persetujuan bank mengenai dana
talangan/Bridging Loan dengan jangka waktu maksimal sebagaimana
diperjanjikan pada waktu awal peminjaman. Adapun prosedur persetujuan
Bank untuk menggunakan fasilitas Bridging Loan yaitu antara lain:
1. Debitur telah memegang persetujuan/dari Bank;
2. Debitur masih membutuhkan dana cepat/dana talangan;
3. Pihak Funder (Penyedia dana) akan memberikan kebutuhan dana dengan
persyaratan tercantum di atas dengna diskonto 10% (sepuluh persen);
4. Pihak Peminjam (Debitur) membuat Standing Instruction yang
menyatakan bahwa jika sudah menerima dana dari Bank penerbit
OL/Persetujuan Kredit akan membayarkan sesuai kesepakatan ke rekening
yang ditunjuk oleh pihak funder;
5. Minimal pembiayaan/plafond Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah);
6. Proses 1 hari kerja.2
Salah satu pemenang tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan
adalah pemenang tender untuk melaksanakan proyek di PT. Garuda
Indonesia3.Permasalahan yang muncul kemudian adalah terkait penggunaan
dana talangan oleh pemenang tender dengan pelaksana tender tidak jarang
dikaitkan dengan tindak pidana dan korupsi, sehingga perludikaji kedudukan
2
http://www.finansialplus.com/danatalanganbridging, diakses pada tanggal 19 april 2015
Bridging Loan dalam proyek pengadaan barang dan jasa dikaji secara
komperhensif tentang bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tender
dan pemenang tender dalam pengadaan barang dan jasa.4
Selain PT. Garuda Indonesia, Institusi/Departemen Pemerintah yang
melakukan mekanisme Bridging Loan antara lain adalah Universitas Indonesia,
di mana proyek Universitas Indonesia ini bernilai Rp 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah). Namun demikian, atas proyek tersebut diduga telah terjadi
penggelembungan dana pemerintah sebesar Rp 21.000.000.000.00 (dua puluh
satu miliar rupiah) hingga tahun 2010 akhir. Pada Tahun 2010 pihak
Universitas Indonesia melakukan peminjaman kepada PT. Makara Mas sebagai
pihak ketiga senilai Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dikarenakan dana
pembangunan dari pemerintah belum juga turun menyebabkan terhentinya
proses pembangunan infrastruktur perpustakaan Universitas Indonesia.
Sebagaimana halnya proyek pengadaan barang dan jasa yang bersumber
dari APBN, proyek fasilitas perpustakaan tersebut harus segera dimasukan ke
dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) sebelum dilakukan audit
oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Inspektorat Jendral
Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi Gumilar Rusliwa Soemantri selaku
Rektor Universitas Indonesia saat itu, tidak pernah memasukan proyek Instalasi
IT perpustakaan pusat tersebut ke dalam RKAT. Pada saat ada pemeriksaan
dari BPK dan ltjen Kemendiknas, Tafsir selaku Wakil Rektor pada saat itu
mengatakan agar semua instansi dibereskan untuk pemeriksaan. Donanta
4
selaku Direktur Umum dan Fasilitas Universitas Indonesia mengaku dibuat
kerepotan karena akan dilakukannya audit terhadap proyek tersebut. Donanta
berdalih mengambil jalan pintas agar proyek IT bisa masuk dalam RKAT,
yakni dengan membuat dokumen bertanggal mundur karena proyek fasilitas
perpustakaan tersebut tidak ada di direktorat manapun. Donanta kemudian
memanipulasi tanggal persetujuan proyek tersebut dengan cara membuat surat
back dated pada bulan November yang dijatuhkan pada bulan Juli, karena di
bulan Juli adalah waktu di mana RKAT masih dapat direvisi.5
Sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, tidak ditemukan karya
ilmiah yang sama dengan judul karya ilmiah maupun pembahasan yang sedang
penulis susun. Namun demikian, terdapat beberapa tulisan yang relevan atau
berkenaan dengan tulisan ini, salah satunya adalah tulisan dengan judul :
Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan Sumatra Utara, yang disusun oleh Kiki Fitri M.Manurung dari
Fakultas Hukum Sumatra Utara Tahun 2010”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan suatu penelitian yang
berjudul : Bridging Loan dalam praktik pengadaan barang dan jasa dikaitkan
dengan tindak pidana korupsi ditinjau dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctis Peraturan
Perundang-undangan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas maka
dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pergeseran ruang lingkup privat menjadi ruang lingkup publik
dalam pengadaan barang dan jasa ?
2. Bagaimanakah kedudukan Bridging Loan dalam praktek pengadaan
barang ditinjau dari hukum pidana dan hukum bisnis terkait tindak pidana
korupsi ?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tender dan pemenang
tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan dalam pengadaan
barang dan jasa ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas
maka tujuan Penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan memahami pergeseran ruang lingkup privat menjadi
ruang lingkup publik dalam pengadaan barang dan jasa;
2. Untuk mengkaji dan memahami kedudukan Bridging Loan dalam praktek
pengadaan barang dan jasa di dalam ruang lingkup hukum pidana dan
3. Mengkaji dan memahami perlindungan hukum bagi pelaksana tender dan
pemenang tender yang menggunakan fasilitas Bridging Loan dalam
pengadaan barang dan jasa.
D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penelitian dan
pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat
baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
a. Dari segi teoritis, penulisan ini diharapkan berguna bagi
pengembangan ilmu hukum, penajaman dan aktualisasi ilmu hukum
terkait praktik Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa
dikaitkan dengan aspek pidana dan bisnis;
b. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis
khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya tentang
pelaksanaan Bridging Loan dalam pengadaan barang dan jasa.
2. Kegunaan Praktis
a. Secara praktis, penulis berharap penulisan ini dapat memberikan
masukan yang berarti bagi praktisi dalam menghadapi kasus-kasus
terkait praktik Bridging Loan dan tindak pidana korupsi;
b. Memberikan masukan dan gambaran terkait kedudukan Bridging Loan
E. Kerangka Pemikiran
Tujuan negara yang selama ini dicita-citakan oleh masyarakat adalah
terciptanya suatu kesejahteraan, ketertiban, dan keadilan bagi segenap bangsa
Indonesia. Tujuan Negara tersebut termaktub di dalam aline ke 4 (empat)
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Maka, dibentuklah suatu organ pemerintah untuk mewujudkan tujuan tersebut
yang mampu melaksanakan fungsi Pemerintah. Hal itu telah secara jelas
dicantumkan di dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Guna mewujudkan tujuan negara terkait pembangunan infrastruktur
termasuk sarana dan prasarana, Pemerintah dapat melakukan kegiatan
pengadaan barang dan jasa melalui institusi atau departemen (pelaksana
tender). Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan
barang/jasa yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.6 Dalam
penyediaan barang dan jasa harus memuat asas-asas akuntabilitas,
transparansi, dan prudensial.Asas-asas tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
6
Soeharyo Salamoen dan Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negera Kesatuan
a) Asas Akuntabilitas
Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b) Asas Transparansi
Asas transparansi adalah pemberian informasi yang lengkap kepada
peserta yang disampaikan melalui media informasi yang dapat
menjangkau seluas-luasnya dunia usaha yang diperkirakan akan ikut
dalam proses pengadaan barang/jasa. Setelah informasi didapatkan oleh
seluruh calon peserta, harus diberikan waktu yang cukup untuk
mempersiapkan respon pengumuman tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya Pengadaan
Barang/Jasa memenuhi prinsip tranparansi adalah:
1) semua peraturan/kebijakan/aturan administrasi/prosedur dan praktek yang
dilakukan (termasuk pemilihan metoda pengadaan) harus transparan
kepada seluruh calon peserta;
2) peluang dan kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengadaan
barang/jasa harus transparan;
3) seluruh persyaratan yang diperlukan oleh calon peserta untuk
4) kriteria dan tata cara evaluasi, tata cara penentuan pemenang harus
transparan kepada seluruh calon peserta.
Transparansi dalam pengadaan barang dan jasa dapat ditunjukan
melalui kegiatan-kegitan sebagai berikut:
1) pengumuman yang luas dan terbuka;
2) memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan
proposal/penawaran;
3) menginformasikan secara terbuka seluruh persyaratan yang harus
dipenuhi;
4) memberikan informasi yang lengkap tentang tata cara penilaian
penawaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa asas transparansi
mewajibkan semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang/jasa termasuk syarat teknis/administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa bersifat
terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta
masyarakat luas pada umumnya.
C Asas Prudensial
Asas Prudensial adalah suatu asas yang menegaskan bahwa Instansi
Pemerintah dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada anggota
pengadaan barang dan jasa harus sangat berhati-hati. Tujuan
dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi
ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia
perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
Pada praktiknya, pengadaan barang dan jasa membutuhkan
fasilitas-fasilitas yang dapat dijadikan alternatif dalam hal pembiayaan. Oleh karena
pembayaran dari Negara/Pemerintah tidak selalu tepat waktu yang
menyebabkan terkendalanya proses pembangunan, dan salah satu fasilitas
yang dikenal adalah Bridging Loan. Bridging Loan Loan pada prakteknya
didasarkan pada suatu perjanjian.
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau
satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang
atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian
itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan
diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau
dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Adapun beberapa prinsip hukum perjanjian yang sangat mendukung
1. Prinsip Kesepakatan
Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan
kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi
kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kedua kontrak tersebut.
Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua
belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi.
2. Prinsip Asumsi Risiko
Dalam suatu kontrak setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi
risiko. Artinya bahwa jika ada risiko ada risiko tertentu yang mungkin
terbit dari suatu kontrak tetapi salah satu pihak bersedia menanggung
risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang
jika risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko
tersebutlah yang harus menagunggung risikonya. Dalam hubungan dengan
kontrak baku, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan,
berart segala risiko apapun bentuknyaakan ditanggung oleh pihak yang
menandatanganinya sesuai isi dari kontrak tersebut.
3. Prinsip Kewajiban Membaca
Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban
membaca duty to read bagi setiap pihak yang akan menandatangani
kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak yang
bersangkutan, hukum mengasumsikanbahwa dia telah membacanyadan
4. Prinsip Kontrak Mengikuti Kebiasaan
Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak
dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara
lain juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata
yang ada dalam kontrak tersebut, tapi juga terhadap hal-hal yang bersifat
kebiasaan. Lihat Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia. Dan kontrak baku
merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan
sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya
mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.7
Adapun asas-asas dari perjanjian antara lain yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,
menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya,
menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Asas
kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III
BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat
saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu
yang sifatnya memaksa.
7
2. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian
Asas yang menyatakan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang
mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Terikatnya
para pihak dalam suatu perjanjian tidak semata- mata terbatas pada
apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur
lain yang dikehendaki oleh asas-asas moral, kepatutan dan
kebiasaan. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa kekuatan
mengikat dari suatu perjanjian itu baru ada, bila perjanjian yang
dibuat menurut hukum. Dengan menekankan „secara sah‟ berarti
bahwa perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan, yaitu ketentuan Pasal 1320 KUH Perrdata.
3. Asas Konsensualisme
asas yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu perjanjian
dikarenakan adanya perjumpaan kehendak ( consensus) dari pihak-
pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat
bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui
konsensus belaka.
Ruang lingkup Bridging Loan tidak hanya mencakup aspek privat saja,
tetapi juga aspek publik, mengingat fasilitas Bridging Loan merupakan dana
pinjaman sebagai dana talangan bagi APBN. Pada praktiknya, penggunaan
fasilitas Bridging Loan dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, khususnya
terkait penyuapan/gratifikasi yang menimbulkan kerugian Negara
korupsi. Tindak Pidana Korupsi adalah adalah suatu perbuatan atau serentetan
perbuatan yang bersifat ilegal dimana dilakukan secara fisik dengan
terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari
pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan
bisnis atau keuntungan pribadi. Tindak Pidana Korupsi dapat didefiniskan ke
dalam 4 jenis yaitu :
1. Discritionery Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
2. Illegal Corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi
tertentu.
3. Mercenry Corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan.
4. Ideological Corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun
discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Oleh karena hukum dibentuk yaitu dengan tujuan agar terciptanya
keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban, kesejahteraan, di dalam
kehidupan masyarakat. R.Soeroso berpendapat tentang fungsi hukum dalam
“1. Sebagai alat pengaturan tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum befungsi menunjang manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur;
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dihukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya;
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju;
4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil;
5. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.”8
Oleh karena fasilitas Bridging Loan selalu dikaitkan dengan tindak pidana
korupsi, maka pemenang tender harus mampu membuktikan bahwa
mekanisme Bridging Loan yang telah sesuai dengan mekanisme Bridging
Loan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara
yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa.9 Bila melihat pengertian pembuktian yang
dikemukakan oleh Andi Hamzah adalah hanya tentang tata cara untuk
membuktikan seseorang bersalah atau tidak, sedangkan yang sebenarnya
bahwa pembuktian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
menyatakan seseorang bersalah atau tidak. Pembuktian merupakan hal yang
sangat penting dalam membenarkan guna menghindari dugaan
penyalahgunaan fasilitas Bridging Loan sebagai modus Tindak Pidana
8 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 53
9
Korupsi, pemenang tender harus mampu membuktikan sesuai dengan
Perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, penelitian yuridis
normatif adalah penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada
ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat
normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan
peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara
deskriptif analitis, yaitu menjelaskan suatu gejala, peristiwa yang sedang
diteliti dan berkaitan dengan kejadian sekarang. Pada penelitian ini penulis
mencoba menjelaskan bagaimana fasilitas Bridging Loan dalam praktik
pengadaan barang dan jasa ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctis
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian skirpsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
perundang-undang (statue approach) dan Pendekatan Konseptual
(conseptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan
menelaah undang-undang regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum
yang sedang dihadapi.
Pendekatan Konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan, doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, akan
menghasilkan pengertian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan.
4. Jenis Data
Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder
yang terdiri dari 10:
a.Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
penulisan ini seperti peraturan-peraturan tentang pengadan barang dan
jasa, kasus-kasus tentang fasilitas Bridging Loan dengan UU Nomor 31
tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP);
10
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan primer, berupa buku-buku yang ada hubungannya
dengan penulisan ini;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap badan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus hukum.
5) Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini meliputi data sekunder yang
diperoleh dari studi pustaka, adapun data-data tersebut diperoleh melalui :
Studi kepustakaan (Library Research), yaitu melalui penelaahan data yang
diperoleh dalam perauran perundang-undangan, buku, teks, jurnal, dan
lain-lain melalui inventaris data secara sistematis dan terarah, sehingga diperoleh
gambaran apakah yang terdapat dalam suatu penulisan, apakah suatu aturan
bertentangan dengan aturan yang lain atau tidak, sehingga data yang akan
diperoleh lebih akurat. Lebih lanjut digunakan metode pendekatan
Yuridis-Normatif, yaitu menitikberatkan pada penggunaan data kepustakaan atau
data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang
ditunjang oleh data primer.
6) Teknik Analisis Data
Penulisan sebagai instrumen utama dalam pengumpulan data kepustakaan
dengan menggunakan alat tulis untuk mecatat bahan-bahan yang diperlukan
mengetik dan menyusun bahan-bahan yang telah diperoleh. Guna menarik
kesimpulan penulis menggunakan metode analisis Yuridis-Kualitatif,
dengan melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan
menekankan pada tinjauan normatif terhadap objek penulisan dan
peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif.
G. Sistematis Penulisan
Untuk mengetahui keseluruhan isi dari penulisan ini, maka dibuat suatu
sistemaika secara garis besar yang terdiri dari 5 (lima) bab.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab pertama ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan,
Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan,
Kerangka Pemikiran, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI
INDONESIA
Bab kedua membahas tentang Dasar Hukum Pengadaan Barang
dan Jasa, Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa,
Metode-Metode Pengadaan Barang dan Jasa, Sertifikasi Keahlian
Pengadaan Barang dan Jasa, Swakelola Dalam Pengadaan Barang
BAB III : ASPEK HUKUM BRIDGING LOAN DALAM PRAKTIK
PENGADAAN BARANG DAN JASA DIKAITKAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA
Bab ketiga membahas tentang Perbuatan Hukum Pinjam
Meminjam di Indonesia, Perjanjian Sebagai Dasar Dalam
Pinjam Meminjam, Ketentuan Umum Mengenai Perjanjian,
Unsur-Unsur Perjanjian, Syarat Sahnya Perjanjian dan Akibat
Hukumnya, Hapusnya Perjanjian, Wanprestasi dan
Pengaturanya, Bentuk-Bentuk Wanprestasi dan Akibat
Hukumnya, Pengertian Pinjam Meminjam,
Kewajiban-Kewajiban Para Pihak Dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam,
Bunga Dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam. Bagian Kedua
Membahas Tentang Bridging Loan Dalam Aktifitas Bisnis di
Indonesia, Sejarah Bridging Loan, Pengertian Bridging Loan,
Jenis-Jenis Bridging Loan, Skema Bridging Loan di Indonesia
Dengan Persetujuan Bank.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP BRIDGING LOAN DALAM
PRAKTIK PENGADAAN BARANG DAN JASA
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGADAAN BARANG DAN
JASA
Bab keempat ini membahas Pergeseran Ruang lingkup privat
menjadi ruang lingkup publik dalam pengadaan barang dan
jasa, ruang lingkup publik ditinjau dari hukum Indonesia,
ruang lingkup privat dalam system hukum di Indonesia,
pergeseran ruang lingkup privat menjadi lingkup publik,
bagian kedua membahas tentang kedudukan Bridging Loan
dalam praktek pengadaan barang ditinjau dari hukum pidana
dan hukum bisnis, bagian ketiga membahas tentang
perlindungan hukum pelaksaan tender dan pemenang tender
atas pengguna fasilitas Bridging Loan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab kelima ini membahas tentang kesimpulan dan
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas
maka dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bahwa pada dasarnya Bridging Loan mengacu pada ketentuan dari
kaidah hukum kontrak, sebagaimana diatur dalam buku III
KUHPerdata bahwa hak dan kewajiban dituangkan dalam perjanjian
Bridging Loan. Mengingat perjanjian Bridging Loan didasarkan pada
perjanjian maka dapat disumpulkan bahwa hal tersebut masuk ke
dalam ranah hukum privat, namun demikian mengingat objek yang
diperjanjikan mengandung unsur publik yang menyangkut talangan
keuanganan Negara dan pengadaan fasilitas umum, maka Bridging
Loan tidak saja mengandung unsur privat saja tetapi juga memuat
unsur publik sehingga terjadi pergeseran dari hukum privat ke hukum
publik;
2. Pada dasarnya perjanjian Bridging Loan adalah suatu ikatan antara
pihak dengan pihak yang menggunakan fasilitas Bridging Loan, murni
sebagai suatu pinjaman yang didasarkan pada perjanjian, sehingga
kedudukan Bridging Loan berada dalam lingkup privat, namun jika
proyek pemerintah guna kepentingan umum, maka hal ini akan
berurusan dengan unsur publik. Bahkan kedudukan Bridging Loan
akan menjadi urusan pidana apabila dalam hal pembiayaan melalui
Bridging Loan menimbulkan kerugian keuangan negara;
3. Bagi pelaksanaan tender sebagai penjamin maupun pemenang tender
sebagai pengguna fasilitas Bridging Loan, perlu diberikan adanya
perlindungan hukum sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan memberikan
pedoman bagi pelaksanan pengadaan barang dan jasa. Pengadaan
barang dan jasa, disisi lain peraturan perundang-undangan juga
memberikan perlindungan secara preventif dan represif, dimana
apabila terjadi pelanggaran maupun penyalahgunaan maka pelaksana
tender dan pemenang tender akan dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian halnya dalam
pelaksaan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan fasilitas
Bridging Loan tidak selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi
selama dilakukan dengan prosedur yang benar dan tidak merugikan
keungan Negara. Namun demikian adapun terjadi pelanggaran atau
penyelewengan, seyogyanya dapat diproses secara perdata maupu
B. Saran
1. Agar Pemerintah membentuk payung hukum terkait dengan praktik
Bridging Loan yang saat ini sangat diperlukan tidak hanya oleh
instansti-instansi pemerintah saja tetapi juga sudah merabah kepada
masyarakat yang membutuhkan dana, dan melakukan revisi
peraturan-peraturan pemerintah tentang pengadaan barang dan jasa bahwa di
dalamnya memperbolehkan para pihak untuk menggunakan fasilitas
Bridging Loan.
2. Serta memberikan pelatihan kepada pihak-pihak yang akan melakukan
tender agar diberikan pemahaman tentang fasilitas Bridging Loan agar
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang & Jasa dan berbagai
permasalahannya, Jakarta: Sinar Grafika
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan , Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Agus Kuncoro, langkah-langkah melaksanakan Pengadaan Barang /Jasa
Pemerintah, Jakarta: Guskun, 2011
Albert Ryan, Buku Pegangan Pengadaan Barang dan Jasa, Jakarta: Gradien
Mediatama
Amik Tri Istiami, Peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah,
PERPRES 54, 35, 70 dan 172, Jakarta: Prima Print, 2010
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar
Graika, 2001
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Menyelesaikan Masalah di Luar
Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2008
Daud Busroh, Ilmu Negara, Cetakan Keenam, Jakarta: Bumu Akasara, 2009
Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum
Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994
Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives,
Butterwoths: FT Adviser, 2013
Haill, Types of bridging loan and how they compare to alternatives,
Butterwoths: FT Adviser, 2013
Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2008
Heldi Yudiatna, Cara Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Jakarta: Gramedia, 2012
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju,
2004
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Mandar Maju,
2004
Kartini, Muljadi, Gunawan widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
M. Abdul Kholiq, Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, 2002
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986
Mudji Santosa, Kontrak Pengadaan Pemerintah , Jakarta: Prima Print, 2013
Mudjisantosa, Mudah memahami Pengadaan Barang dan Jasa Pemrintah,
Mudjisantosa, Pengadaan barang dan jasa di Indonesia, Jakarta:Citra Adytia
Bakti, 2010
Philipus M. Hadjon , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
R. Subekti, Aneka jaminan, Bandung: Citra Aditya Bakti , 1995
R.soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2007
Samsul Ramli & Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta: Visi Media Pustaka
Samsul Ramli, Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Jakarta: Visi media, 2013
Samsul ramli, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Jakarta, 2013
Samsul Ramli, Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta:Visi Media,
2011
Soeharyo Salamoen dan Nasri Effendy,Sistem Penyelenggaraan
Pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta:
Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tindakan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1995
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2007
Sugiyono, Metode Penlitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2000
Suharnoko, Hukum perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana,
2007
Suharnoko, Hukum perjanjian, Jakarta: Kencana, 2007
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2009
Uti Ilmu Royen, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh Outsourcing,
Bandung: Unpad, 2009
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986
Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, Bandung: Alumni, 1986
B. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Barang dan
Jasa
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Korupsi
C. LAMAN
http://edukasi.kompas.com/read/2014/08/13/14233791/Kasus.Perpustakaan.M
antan.Warek.UI.Mengaku.Sudah.Kembalikan.Desktop.dan.iPad, di akses pada
tanggal19 april 2015 pukul 20.43 wib
http://liputan6.com/news/read/2103630/saksi-sebut-anak-buah-gumilar-manipulasi-proyek-it-di-ui, di akses pada tanggal 06 mei 2015, pukul 20.32
wib
http://www.finansialplus.com/danatalanganbridging, diakses pada tanggal19
april 2015
http://www.ift.co.id/posts/garuda-peroleh-fasilitas-bridging-loan-us-400-juta,diakses pada tanggal 05 mei 2015