• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Dari Bawah Tegakan Jati Ambon (Tectona grandis Linn. f.) Dan Potensi Pemanfaatannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Dari Bawah Tegakan Jati Ambon (Tectona grandis Linn. f.) Dan Potensi Pemanfaatannya"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATANNYA

SEDEK KAREPESINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon dan Potensi Pemanfaatannya adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

(3)

SEDEK KAREPESINA. Arbuskular mycorrhiza fungi diversity under Ambon teak stand and its potention of benefit. Supervised by IRDIKA MANSUR and SRI WILARSO BUDI R.

The purpose of this research is to understand the existence and diversity of AMF under Ambon teak stand supporting the growth of Ambon teaks seedling, to get effective and potential species of AMF under Ambon teak stand to imfrove Ambon teak seedling growth, and to understand the effect of dreparation of planting media towards efectivity of AMF soil inocullum from under Ambon teak stands Ambon teak seedling growth.

This research was done using two step, first step was isolation and AMF type identification under Ambon tek stand using soil and root sample. Second step was effectivity test of AMF soil inocullum under Ambon teak stand for Ambon teak seedling done by factorial experiment with completed randomize design using 2 treatmen factor, first factor is AMF soil inocullum consist of 11 smooth (Banda 1, 2, 3, 4, 5, Salahutu 1, 2, 3, 4, 5, and control). While the second factor is planting media consist of 2 smooth (unsterill and sterill media). For the first step, identification was done for AMF type under Ambon teak stand. While the second step was done by observing height, diameter, total leaf, total dry biomass, root-top ratio, root infection percentage and total spore.

The observation result of VAM type Ambon teak stand in moddle Maluku

District, Maluku Province fourd 10 type of spore from Glomus genus and

Acaulospora. AMF soil inocullum from Banda 4 and Salahutu 1 have the best performance in increasing growth (height, diameter, total leaves, and root-top ratio), infection percentage, and total spore of Ambon teak seedling amounting (38,58%, 25,08%); (57,89%, 52,63%); (16,67%, 8,33%); (49,24%, 43,18%); (89,67%, 89,33%); (420%, 220%) towards control. While the best interaction received from Banda 4 and Salahutu 1 with steril media in increasing total dry biomass amounting 296,55% and 248,97% towards control.

(4)

RINGKASAN

SEDEK KAREPESINA. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon dan Potensi Pemanfaatannya. Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan SRI WILARSO BUDI R.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon pada lokasi yang berbeda, mendapatkan jenis FMA yang efektif dan berpotensi terhadap pertumbuhan semai jati Ambon, mengetahui kombinasi inokulum tanah FMA yang berasal dari bawah tegakan jati Ambon dan media tanam terhadap pertumbuhan semai jati Ambon.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama yaitu isolasi dan identifikasi tipe FMA dengan cara pengambilan contoh tanah dan akar. Tahap kedua, yaitu uji efektivitas inokulum tanah FMA untuk semai jati Ambon yang dilaksanakan dengan percobaan faktorial dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 2 faktor perlakuan, faktor pertama adalah inokulum tanah FMA terdiri dari 11 taraf (Banda 1, 2, 3, 4, 5, Salahutu 1, 2, 3, 4, 5, dan kontrol), sedangkan faktor kedua, yaitu media tanam yang terdiri dari 2 taraf (media tidak steril dan media steril). Untuk tahap pertama, identifikasi terhadap tipe FMA yang terdapat di bawah tegakan jati Ambon. Sedangkan tahap kedua, pengamatan terhadap pertambahan tinggi, diameter, jumlah daun, biomas kering total, nisbah pucuk akar, persen infeksi akar dan jumlah spora.

Hasil pengamatan tipe FMA dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten

Maluku Tengah, Propinsi Maluku terdapat 10 tipe spora dari genus Glomus, dan

Acaulospora. Pengujian inokulum tanah FMA dan media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, persen infeksi akar, dan jumlah spora. Sedangkan interaksi antara kedua perlakuan hanya berpengaruh sangat nyata terhadap biomas kering total tanaman. Inokulum tanah FMA asal Banda 4 dan Salahutu 1 merupakan perlakuan terbaik yang dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi, diameter, jumlah daun, nisbah pucuk akar), persen infeksi

dan jumlah spora semai jati Ambon dengan peningkatan masing-masing sebesar (38,58%, 25,08%); (57,89%, 52,63%); (16,67%, 8,33%); (49,24%, 43,18%);

(89,67%, 89,33%); (420%, 220%) terhadap kontrol. Sedangkan interaksi terbaik yaitu Banda 4 dan Salahutu 1 dengan media steril dapat meningkatkan biomas kering total dengan peningkatan sebesar 296,55% dan 248,97% terhadap kontrol.

(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(6)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

DARI BAWAH TEGAKAN JATI AMBON

(Tectona grandis Linn. f.) DAN POTENSI

PEMANFAATANNYA

SEDEK KAREPESINA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Sedek Karepesina

NIM : E051050301

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For, Sc Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)
(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan segala tugas dan kewajiban

selama kuliah serta dapat menyelesaikan tulisan ini. Judul tesis ini adalah

“Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon

dan Potensi Pemanfaatannya”. Tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan (khususnya hutan jati) di

Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku dalam upaya pengembangan

pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkesinambungan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa

bantuan berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu secara khusus

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Dr. Ir. Irdika mansur, M.For.Sc dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS selaku

komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya memberikan

bimbingan dan masukan untuk penyelesaian tesis ini.

2. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan IPB beserta staf pengajar dan staf pegawai yang telah

memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi penulis dalam

menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku Kepala Laboratorium Silvikultur.

4. Ir. Abimanyu D. Nusantara, MP; Muhammad Dliyaul Umam, S.Hut;

Adjun Junaedi, S.Hut; Ramadhan Fitri, S.Hut serta rekan-rekan seangkatan

2005 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang tidak sempat

disebutkan namanya satu per satu.

5. Ayahanda Djahim Karepesina dan ibunda Nur Hawa Karepesina

(almarhumah), saudaraku tercinta : Sifa, Whia, Thima, Rhia, Sarka, Achmad

Kamal, Matson, Sam, Nis, Herry dan adikku tercinta Thima Marasabessy atas

doa, kasih sayang, dan dukungannya sehingga penulis dapat mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Sains.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabauw pada tanggal 19 Agustus 1979 dari ayahanda

Djahim Karepesina dan ibunda Nur Hawa Karepesina (almarhumah). Penulis

merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SD Negeri Kabauw, Tahun 1993 lulus dari

SLTP Negeri 2 Pelauw Kariu dan Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1

Salahutu. Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Program

Studi Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon

pada Tahun 2000 dan lulus pada Tahun 2004 dengan predikat cum laude.

Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f.) ... 6

Fungi Mikoriza Arbuskula ... 8

Inokulum Tanah ... 12

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza ... 13

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Batas Wilayah ... 15

Luas Wilayah ... 15

Topografi dan Kondisi Tanah ... 16

Kondisi Iklim ... 16

Status Kehutanan ... 16

Deskripsi Jati Ambon ... 16

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Metode Penelitian ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon ... 26

Uji Efektivitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Pada Semai jati Ambon ... 33

Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon ... 47

Uji Efektivitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Pada Semai jati Ambon ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah spora FMA per 50 g hasil isolasi dari tanah lapangan dari

bawah tegakan jati Ambon kabupaten Maluku Tengah

Propinsi Maluku ... 29

2 Jumlah spora FMA per 50 g hasil isolasi dari tanah trapping dengan

tanaman inang Sorghum vulgare ... 30

3 Hasil perhitungan Uji MPN berdasarkan metode Most Probable

Number pada inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon ... 32

4 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam terhadap peubah-peubah

pertumbuhan semai jati Ambon, persen infeksi akar, dan jumlah spora FMA pada umur 12 minggu setelah tanam ... 33

5 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap pertambahan tinggi

semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 34

6 Pengaruh faktor media tanam terhadap pertambahan tinggi semai jati

Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 34

7 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap pertambahan diameter

batang semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 36

8 Pengaruh faktor media tanam terhadap pertambahan diameter batang

semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 37

9 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap jumlah daun semai jati

Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 38

10 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah daun semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 38

11 Pengaruh interaksi faktor inokulum tanah FMA dan media tanam terhadap biomas kering total semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 39

12 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap BKP, BKA, nisbah

pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 41

13 Pengaruh faktor media tanam terhadap BKP, BKA, nisbah pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 41

14 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap persen infeksi akar

(13)

15 Pengaruh faktor media tanam terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 42

16 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap jumlah spora FMA

semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 44

17 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah spora FMA semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ... 44

18 Rata-rata kandungan hara N, P, K, Ca pada perlakuan inokulum tanah FMA terhadap semai jati Ambon umur 12 minggu

setelah tanam ... 45

19 Rata-rata kandungan hara N, P, K, Ca jaringan daun semai jati

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari

bawah tegakan jati Ambon dan potensi pemanfaatannya ... 5

2 Deskripsi tegakan jati Ambon pada dua lokasi (Banda dan Salahutu) pada umur yang berbeda ... 17

3 Teknik penangkaran dengan menggunakan tanah dari bawah tegakan jati Ambon dan tanah steril, tanaman inang Sorghum vulgare ... 20

4 Teknik pengujian propagul infektif dengan menggunakan inokulum tanah dari bawah tegakan jati Ambon, tanaman inang Sorghum vulgare ... 20

5 Semai jati Ambon yang mulai berkecambah dan yang siap untuk disapih ... 22

6 Pemeliharaan semai jati Ambon selama 12 minggu setelah tanam di rumah kaca ... 22

7 Glomus sp. 1 hasil isolasi dari Banda 4 ... 26

8 Glomus sp. 2 hasil isolasi dari Salahutu 5 ... 26

9 Glomus sp. 3 hasil isolasi dari Banda 1 ... 27

10 Glomus sp. 4 hasil isolasi dari Salahutu 3 ... 27

11 Glomus sp. 5 hasil isolasi dari Banda 2 ... 27

12 Glomus sp. 6 hasil isolasi dari Salahutu 2 ... 27

13 Glomus sp. 7 hasil isolasi dari Salahutu 1 ... 28

14 Glomus sp. 8 hasil isolasi dari Banda 3 dan Banda 4 ... 28

15 Acaulaspora sp. 1 hasil isolasi dari Banda 4 ... 28

16 Acaulaspora sp. 2 hasil isolasi dari Salahutu 1 dan 4 ... 28

17 Dendrogram jumlah spora jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon ... 30

(15)

19 Infeksi FMA pada contoh akar dari tegakan jati Ambon Kabupaten

Maluku Tengah, Propinsi Maluku ... 32

20 Grafik pertumbuhan tinggi semai jati Ambon pada umur 2 - 12 minggu setelah tanam ... 35

21 Semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam yang

diinokulasikan dengan inokulum tanah FMA pada media tanam steril dan tidak steril ... 35

22 Grafik Pertambahan diameter batang semai jati Ambon pada umur 2 - 12 minggu setelah tanam ... 37

23 Infeksi FMA pada semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam ... 43

24 Dendrogram peubah pertumbuhan, persen infeksi akar dan jumlah

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 63

2 Layout penelitian tahap II uji efektivitas inokulum tanah FMA dari

bawah tegakan jati Ambon untuk semai jati Ambon di rumah kaca ... 64

3 Analisis sifat kimia dan fisika tanah dari bawah tegakan jati Ambon

dan media tanam awal ... 65

4a Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap biomas kering total semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam ... 66

4b Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap biomas kering total

(17)

Latar Belakang

Usaha hutan rakyat di Maluku khususnya hutan tanaman jati Ambon mulai

menjadi perhatian yang sangat besar terutama oleh pihak masyarakat. Kayu jati

sampai saat ini merupakan produk utama bagi Indonesia, karena kayu jati

termasuk jenis kayu mewah dan bernilai ekonomi tinggi, tergolong ke dalam

kelas kuat II dan kelas awet II serta penampilan yang baik sehingga permintaan

kayu jati untuk pasar dalam negeri maupun ekspor terus meningkat. Kayu jati

banyak dibutuhkan untuk segala jenis kontruksi bangunan, mebel, kerajinan,

cindermata dan lain-lain (Sumarna 2005).

Jati bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tetapi tumbuh dan

menyebar pada beberapa daerah diantaranya pulau Jawa, Sulawesi Selatan,

Sulawesi tenggara (Muna), Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Lampung, dan

Maluku (Martawijaya et al. 1989).

Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu daerah penyebaran jati

Ambon. Keadaan lingkungan abiotis Maluku Tengah secara umum memenuhi

syarat sebagai tempat tumbuh jati berkualitas, antara lain adanya musim kering

yang nyata, curah hujan relatif rendah, dan ketinggian sekitar 100-1000 m dpl.

Keadaan tersebut sesuai dengan gambaran syarat tempat tumbuh yang

dijelaskan oleh Martawijaya et al. (1989). Pohon jati Ambon dapat tumbuh

dengan tinggi maksimum 30 m dan diameter 60 cm dengan masa tebangan

30-50 tahun. Namun akhir-akhir ini jati Ambon dapat ditebang pada umur yang

lebih muda yaitu 20 tahun dengan diameter antara 30-40 cm. Populasi jati

Ambon sekarang ini sudah semakin berkurang dan hanya tersisa 64 pohon dari

3,5 ha. Daerah penyebarannya terdapat di Banda dengan luas lahan 2 ha

(35 pohon) dan Salahutu dengan luas lahan 1,5 ha (29 pohon). Hal tersebut

mengindikasikan perlunya penyediaan bibit dan rehabilitasi hutan guna

mempertahankan jati Ambon yang semakin langka. Seiring dengan kebutuhan

manusia akan bahan baku kayu yang selalu meningkat, akibatnya persediaan

bahan baku kayu jati yang semula tersedia di hutan menjadi terbatas. Hal ini

menyebabkan tanaman ini mulai dibudidayakan

Saat ini perhatian masyarakat terhadap jati Ambon lebih tinggi namun

dalam pembudidayaan banyak menemukan masalah yang disebabkan kondisi

(18)

2

masam (pH rendah), kurangnya unsur hara terutama fosfor dan nitrogen, lapisan

tanah atas menipis dan miskin bahan organik. Kondisi tersebut merupakan

kendala utama bagi pertumbuhan tanaman, dan sulitnya mendapatkan bibit yang

berkualitas dan dalam jumlah yang banyak.

Keterbatasan ini menjadi alasan untuk memecahkan masalah tersebut di

atas maka perlu dicari alternatif baru yaitu pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula

(FMA) untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada tanah marjinal. Peran

FMA sebagai mikroorganisme alam adalah membantu penyerapan unsur hara

terutama P, membantu tanaman untuk dapat tahan pada kondisi kekeringan

karena adanya hifa-hifa fungi yang mampu menembus pori-pori tanah dan

memperluas daerah penyerapan air, dan sebagai proteksi dari serangan patogen

akar (Brundrett et al. 1994).

Fungi ini membentuk simbiosis mutualistik dengan perakaran tanaman

sehingga dapat membantu tanaman tumbuh lebih baik pada daerah-daerah

marjinal (Smith & Read 1997). Telah diketahui bahwa FMA merupakan salah

satu agen hayati yang berasosiasi dengan akar dari tumbuhan hidup terutama

untuk transfer hara (Brundrett 2004).

Di samping itu penggunaan FMA tidak membutuhkan biaya yang besar

karena 1) teknologi produksinya murah, 2) semua bahan tersedia di dalam

negeri, 3) dapat diproduksi dengan mudah di lapangan, 4) pemberian cukup

sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemungkinan memberikan manfaat

pada rotasi berikutnya, 5) tidak menimbulkan polusi, dan 6) tidak merusak

struktur tanah (Mansur 2003).

Walaupun jati merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang telah

diketahui dapat berasosiasi dengan FMA akan tetapi tingkat kompatibilitas

tanaman dengan jenis isolat FMA dapat berbeda antar spesies tanaman

(Azcon dan Ocampo 1981), diacu dalam (Suraya 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat simbiosis antara FMA

dengan tanaman jati. Hal ini ditunjukkan dengan adanya infeksi pada akar bibit

klon jati yang diinokulasi dengan Glomus etunicatum, Glomus agregatum,

Acaulospora tuberculata, Mycofer dan dapat juga meningkatkan serapan unsur

hara N sebesar 35,2%, K sebesar 60% dan Ca sebesar 38,6% dibandingkan

dengan kontrol (Suraya 2002).

Namun demikian penelitian status dan keanekragaman FMA pada jati di

Jawa dan Muna telah dilakukan (Maryadi 2001, Irmawati 2001 dan Husna et al.

(19)

dan genus FMA yang ditemukan di bawah tegakan jati berbeda-beda jumlahnya.

Menurut Widiastuti dan Kramadibrata (1992) bahwa perbedaan lokasi dan

rhizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi FMA.

Untuk mengetahui potensi suatu organisme, hal pertama yang harus diketahui

adalah melakukan kajian keanekaragaman dari organisme tersebut. Untuk itu

perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari

bawah tegakan jati Ambon dan potensi pemanfaatannya.

Perumusan Masalah

Meskipun telah diketahui bahwa peranan FMA dalam pertumbuhan

tanaman jati sangat penting, namun studi mengenai keanekaragaman FMA dari

bawah tegakan jati Ambon dan potensinya belum pernah dilakukan. Pengkajian

potensi FMA penting untuk dilakukan, hal ini berkaitan dengan peranannya di

ekosistem terutama pada lahan-lahan marjinal.

Studi tentang keanekaragaman FMA khususnya di bawah tegakan jati

masih kurang. Kurangnya informasi tentang keanekaragaman FMA pada suatu

ekosistem atau tegakan merupakan faktor pembatas penggunaan FMA secara

luas, disamping kurangnya jenis dan jumlah isolat yang tersedia.

Menurut Mansur et al. (2002) hampir 70% kegiatan penelitian FMA diarahkan

pada manfaatnya dalam pertumbuhan tanaman dan kurang dari 15% yang

mempelajari keanekaragaman pada suatu ekosistem atau tegakan.

Fungi mikoriza arbuskula dapat ditemukan pada semua ekosistem

termasuk dari bawah tegakan jati. Meskipun keberadaan FMA sudah lama

diketahui, akan tetapi data tentang keanekaragaman FMA dari bawah tegakan

jati Ambon belum diketahui.

Jati dikatakan mampu hidup pada kondisi lahan marjinal dengan adanya

bantuan FMA. FMA diharapkan akan membantu penyerapan unsur hara

terutama P dan unsur-unsur lainnya, membantu penyerapan hara dari yang tidak

tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, membantu tanaman untuk dapat

bertahan pada kondisi kekeringan, dan sebagai proteksi dari serangan patogen

akar (Brundrett et al. 1994; Smith & Read 1997).

Dalam mendapatkan hasil optimal dan infeksi yang intensif maka perlu

adanya suatu isolat yang mampu hidup dan dapat beradaptasi dengan kondisi

setempat sesuai dengan tanaman lokal tersebut. Mansur et al. (2002)

(20)

4

meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut daripada digunakan isolat

dari luar daerah. Hal ini disebabkan karena FMA adalah makhluk hidup dengan

daya adaptasi terhadap inang dan lingkungan yang spesifik.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk

menjawab beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimanakah keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon?

2. Bagaimana efektivitas FMA dari bawah tegakan jati Ambon untuk

meningkatkan pertumbuhan bibit jati Ambon?

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan

jati Ambon pada lokasi yang berbeda.

2. Mendapatkan jenis FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah tegakan

jati Ambon terhadap pertumbuhan semai jati Ambon.

3. Mengetahui pengaruh persiapan media terhadap efektifitas inokulum tanah

FMA dari bawah tegakan jati Ambon dalam meningkatkan pertumbuhan

semai jati Ambon.

Manfaat Penelitian

Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang

keanekaragaman FMA dan potensi pemanfaatannya untuk meningkatkan

pertumbuhan bibit jati Ambon, sebagai dasar dalam meningkatkan rehabilitasi

dan produktivitas hutan jati Ambon di Provinsi Maluku.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan keanekaragaman FMA pada beberapa lokasi tegakan

jati Ambon.

2. Terdapat perbedaan efektivitas diantara inokulum FMA yang berasal dari

beberapa tegakan jati Ambon terhadap pertumbuhan semai jati Ambon.

3. Terdapat interaksi yang terbaik antara inokulum FMA dari bawah tegakan jati

(21)

Deforestasi hutan jati Ambon

Upaya rehabilitasi hutan

Gangguan pertumbuhan Lahan marjinal & status nutrisi buruk

Masih terbatasnya

Informasi mengenai Input alternatif FMA keanekaragaman FMA

Keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon

Isolasi dan Trapping Pengujian potensi Identifikasi FMA FMA

Isolat potensial dari bawah tegakan jati Ambon

Pertumbuhan semai jati Ambon meningkat :

- Kualitas baik

- Kegagalan penanaman rendah

- Input rendah

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi JATI (Tectona grandis Linn. f.)

Klasifikasi

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini

mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona

berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki

kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama

daerah, seperti ching-jagu (di wilayah asam); saigun, segun (Bengali); tekku

(Bombay); kyun (Burma); saga sagach (Gujarat); sagun, sagwan (India); jadi,

saguan, ntega, tiayagadamara, sag, saga, sgwan (Manthi); singuru (Oriya);

bardaru, bhumisah, dwardaru, kaharachchad, saka (Sangskrit). Tanaman ini

dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teck atau teakbaum, sedangkan di

Inggris dikenal dengan nama teak (Sumarna 2005).

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai

berikut.

Divisi : Spermathophyta

Kelas : Angiospermae

Sub-kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Verbenales

Famili : Verbenaceae

Genus : Tectona

Species : Tectona grandis Linn. f.

Penyebaran dan Habitat

Di lihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 90 LS

hingga 250 LU, mulai dari benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia bahkan

sampai ke Selandia Baru (Tini dan Amri 2002). Areal penyebaran alaminya

terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian Barat Laos. Di Indonesia, jati

bukan tanaman asli tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di Pulau

Kangean, Muna, Maluku, Sumbawa, dan Jawa (Rachmawati et al. 2002).

Secara umum, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan

minimum 750 mm/th, optimum1000-1500 mm/thn, dan maksimum 2500 mm/thn

(23)

3750 mm/th). Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati minimum 13-170 C dan

maksimum 39-430 C. Adapun kelembaban lingkungan tanaman jati yang optimal

sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif.

Intensitas cahaya yang dibutuhkan cukup tinggi antara 75-100% (Mahfudz 2004;

Sumarna 2005).

Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk

berasal dari formasi limestone, granite, gneis, shale, clay dan lain-lain.

Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi

lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai sifat fisiologis

untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan

yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum sekitar 6,0. Namun, ada kasus

pada beberapa kawasan pertanaman jati dengan tingkat pH rendah (4-5),

dijumpai tanaman jati dengan pertumbuhan yang baik. Karena tanaman jati

sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah maka pada

lahan dengan berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan

pertumbuhan baik pula karena akar akan mudah menyerap unsur hara

(Sumarna 2005).

Morfologi Tanaman

Tinggi pohon antara 25-30 m, namun di daerah yang subur, tinggi pohon

bisa mencapai 50 m dengan diameter ± 150 cm. Batang umumnya bulat dan

lurus, kulit kayu agak tipis beralur dalam sampai agak dalam

(Departemen Kehutanan 1991).

Menurut Sutisna et al. (1998) pada tapak bagus, batang bebas cabang

15-20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Daun lebar 15-35 cm,

letak daun bersilang, bentuk daun ellips atau bulat telur, bagian bawah berwarna

abu-abu, tertutup bulu berkelenjar warna merah. Ukuran bunga kecil, diameter

6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda terdiri dari benang sari dan putik

yang terangkai dalam tandan besar. Benih berbentuk oval, ukuran kira-kira

6 x 4 mm. buah jati keras, terbungkus kulit berdaging lunak dan tidak merata.

Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari

kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak, lapisan tengah (mesokarp) tebal

seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras terbagi menjadi 4 ruang biji.

Secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan

(24)

8

lagi pada bulan Januari atau Maret. Masa pembungaan akan berlangsung

antara bulan Juni-Agustus atau September. Buah yang terbentuk akan masak

sekitar bulan November dan akan jatuh sekitar bulan Februari atau April. Buah

jati termasuk ringan, antara 1,1-2,8 g (Sumarna 2005).

Buah jati mengandung biji yang bervariasi antara 1-4 butir. Namun pada

umumnya buah jati berisi 1-2 biji yang sempurna sehingga secara normal setiap

buah jati pada dasarnya dapat diharapkan menghasilkan minimum satu anakan

jati baru hasil pembibitan generatif (Tini dan Amri 2002).

Kegunaan

Jati merupakan jenis kayu yang paling banyak untuk berbagai keperluan,

terutama di pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis

kontruksi seperti tiang, balok, gelagar pada bangunan rumah dan jembatan,

rangka atap, kosen pintu dan jendela, kereta, bantalan kereta api.

Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tetapi karena sifatnya

agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan

kekenyalan tinggi seperti tangkai perkakas, peti dan sebagainya. Daunnya

dimanfaatkan untuk membungkus makanan, juga untuk memberi warna pada

kulit telur rebus. Kulit akar dan daun mudanya dipergunakan untuk memberikan

warna pada barang anyaman, selain itu daunnya dapat dimanfaatkan pula untuk

obat-obatan seperti obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1989).

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Istilah mikoriza pertama kali dipublikasikan oleh Frank (Tahun 1885) pada

suatu komposit antara jamur dengan organ akar dari Cupufelirae (Harley dan

Smith 1983). Selanjutnya Harley (1972), diacu dalam Nuhamara (1994)

menyatakan bahwa nama mikoriza sah diberikan pada asosiasi-asosiasi dari

organ penyerap dan fungsi yang struktur dan perkembangannya tetap dan

secara terus menerus ada dan berfungsi dalam kondisi-kondisi alamiah.

Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu

myces (fungi) dan rhyza (akar). Jadi mikoriza adalah suatu bentuk simbiosis yang

saling menguntungkan antara akar tanaman dan fungi. Mikoriza untuk tumbuh

dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tanaman dan tanaman

memerlukan unsur hara dan air dari dalam tanah melalui hifa selama siklus

(25)

Mikoriza dapat dikelompokan menjadi 2 tipe berdasarkan bentuk dan cara

infeksi funginya terhadap tumbuhan inangnya, yaitu endomikoriza dan

ektomikoriza (Smith dan Read 1997). Sedangkan berdasarkan struktur tubuh

dan cara infeksinya terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokan

menjadi 3 (tiga) golongan besar, yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan

ektendomikoriza (Imas et al. 1989).

Karakteristik yang membedakan endomikoriza adalah 1) perakaran yang

terkena infeksi tidak membesar, 2) fungi tidak membentuk struktur lapisan hifa

pada permukaan akar, 3) hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan

interseluler, 4) adanya struktur khusus sistem percabangan yang disebut

arbuskula dan pada sub ordo tertentu juga membentuk struktur oval yang disebut

vesikula (Harley dan Smith 1983).

Berbeda dengan yang lainnya, endomikoriza atau fungi mikoriza arbuskula

adalah cendawan yang bersifat obligat dan memiliki toleransi yang luas di

ekosistem. FMA dapat berasosiasi dengan sebagian besar tumbuhan yang

termasuk Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta, dan Bryopita. Tanaman

kelompok dicotyledonous 83% dan kelompok monocotyledonous 79%

berasosiasi dengan CMA (Smith dan Read 1997; Sieverding 1991).

Fungi mikoriza arbuskula termasuk kedalam kelas klasifikasi filum

Glomeromycota yang memiliki 4 ordo, 9 suku (famili) dan 13 marga (genus)

antara lain yaitu 1) Glomales memiliki 2 famili Glomeraceae (Glomus Group A),

Glomeraceae (Glomus Group B); 2) Archaeosporales memiliki 3 famili

Archaeosporaceae, Geosiphonaceae, Appendicisporaceae; 3) Paraglomales

memiliki Paraglomaceae; 4) Diversisporales dengan famili Gigasporaceae,

Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Pacisporaceae, dan Entrophosporaceae.

Sedangkan 13 genus yang telah ditemukan sampai saat ini yaitu Gigaspora,

Scuttelospora dari famili Gigasporaceae, Glomus dari famili Glomeraceae,

Geosiphom dari famili Geosiphonaceae, Acaulospora dari famili

Acaulosporaceae, Entrophospora dari famili Entrophosporaceae (Morthon &

Benny 1990), Archaeospora dari famili Archaeosporaceae, Paraglomus

dari famili Paraglomaceae (Morton & Redecker 2001), Diversipora dari

famili Diversisporaceae (Walker & Schubler 2004), Pacispora dari famili

Pacisporaceae (Oehl & Sieverding 2004; Walker et al. 2007), Kuklospora

(26)

10

(Sieverding & Oehl 2006) dan Appendicispora dari famili Appendicisporaceae

(Spain et al. 2006; Walker et al. 2007) diacu dalam Nusantara (2007).

Bentuk, ukuran, dan warna spora FMA juga bervariasi yaitu globose, oval,

oblong, dengan atau tanpa hifa substending. Ukuran spora bervariasi

dari yang terkecil antara 20-50 μm hingga yang terbesar 200-1000 μm

(Brundrett et al. 1994) tetapi menurut Sylvia (2004) diameter spora

Glomus tenue berkisar 10 μm dan beberapa spora genus Scutellospora lebih dari 1000 μm.

Warna spora Ordo Glomales sangat beragam mulai dari hyaline sampai

hitam (Sylvia 2004) yang meliputi: merah, coklat, kuning, hitam, atau warna

lainnya, dengan atau tanpa ornamen seperti spot. Secara anatomi spora

berbeda-beda dalam hal jumlah dan ketebalan lapisan dinding sel spora maupun

isi sel (Brundrett et al. 2004).

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Tanaman

Mikoriza arbuskula telah diketahui memberikan sumbangan yang sangat

besar terhadap pertumbuhan tanaman, serapan hara dan juga produksinya.

Dalam mendapatkan sumber karbohidrat, FMA memberikan kuntungan pada

nitratnya. Hifanya menyebar dalam tanah menyerap air, fosfor dan hara lainnya

(Alexopoulus et al. 1996).

Tanaman bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik daripada yang tidak

bermikoriza. Hal ini karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan

penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur mikro. Selain itu, akar

bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia

untuk tanaman (Serrano 1985), diacu dalam (Setiadi 1989).

Hasil penelitian Coryanti dan Rohayati (2000) menunjukkan bahwa terdapat

respon pertumbuhan tanaman jati yang relatif lebih baik dapat terlihat dari

peningkatan tinggi, diameter dan berat keringnya. Namun terdapat perbedaan

respon yang disebabkan oleh perbedaan isolat FMA yang diinokulasikan, yaitu

pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh tanaman yang diinokulasi dengan

Glomus aggregatum, Mycofer, Acaulospora sp dan Glomus manihotis.

Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi terhadap serangan

infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungannya adalah sebagai berikut

(Zak 1967), diacu dalam (Setiadi 1989); 1) adanya lapisan hifa sebagai pelindung

(27)

kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta kondisi

lingkungan yang tidak cocok untuk patogen, 3) mikoriza dapat menghasilkan

antibiotik.

Menurut Imas et al. (1988) menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan

penyerapan P pada tanaman bermikoriza ditentukan oleh spesies tanaman,

kandungan P dalam tanah, serta infeksi mikoriza yang bergantung pada

tanaman, adaptasi fungi pada lingkungan, dan efisiensi spesies cendawannya.

Unsur P merupakan bahan pembentuk inti sel, dan berperan penting bagi

pembelahan sel serta perkembangan jaringan meristematik. Akar tanaman

bermikoriza akan terlindung dari serangan patogen akar karena terhalang hifa,

selain itu secara kimiawi terlindung karena mempunyai anti serangan patogen

(Fakuara et al. 1986).

Peranan FMA dalam menekan perkembangan patogen tanah terutama

disebabkan kolonisasi awal pada perakaran tanaman sehingga mampu

meningkatkan ketahanan tanaman. Secara normal FMA mampu meningkatkan

penyerapan fosfor dan mineral hara lainnya sehingga peningkatan ketahanan

tanaman merupakan efek tidak langsung pada peningkatan ketersediaan hara.

Dengan demikian penurunan serangan penyakit diduga terdapat hubungan

dengan peningkatan ketersediaan fosfor (Setiadi 2000).

Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Pertumbuhan Anakan Jati

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan FMA dapat

membantu meningkatkan pertumbuhan anakan jati. Hasil penelitian

Arifanti (1999) menunjukkan bahwa inokulasi Glomus etunicatum dapat

meningkatkan pertumbuhan tinggi rata-rata anakan jati sebesar 35.9% terhadap

kontrol. Selain itu inokulasi G. etunicatum dapat meningkatkan pertumbuhan

diameter anakan jati yaitu sebesar 8.1% terhadap kontrol, dapat meningkatkan

berat kering total anakan jati sebesar 23.1%, dan dapat meningkatkan nisbah

pucuk akar anakan jati sebesar 7.4% terhadap kontrol.

Hasil penelitian Budiyanto (2003) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada

bibit jati yang tidak dipangkas akarnya cenderung dapat meningkatkan

pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 34% dan 22%.

Sedangkan hasil penelitian Susanti (2004) menunjukkan bahwa rata-rata

pertumbuhan yang dinokulasi FMA tegakan jati Cepu dan FMA Mycofer bila

(28)

12

11%, rata-rata pertambahan diameter FMA Mycofer Bogor 28,1% dan FMA

tegakan jati Cepu sebesar 23,1% dibanding kontrol sedangkan berat kering total

anakan jati yang diinokulasi dengan FMA tegakan jati cepu 45,04% dan FMA

Mycofer Bogor sebesar 21,5% dibanding dengan kontrol.

Hasil penelitian Umam (2005) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dan

penambahan tepung tulang pada semai jati dapat meningkatkan pertambahan

tinggi semai 36%, diameter semai 57%, berat kering pucuk 110%, berat kering

akar 108% dan berat kering total 118% terhadap kontrol.

Hasil penelitian Arif (2006) menunjukkan bahwa secara umum inokulasi

semai dengan FMA mampu meningkatkan respon pertumbuhan terhadap semai

jati Muna. Formulasi inokulum G. etunicatum dengan vermikompos 40%

menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 529% dan serapan hara

P sebesar 11,43 mg P/semai. Sedangkan Glomus sp. dengan vermikompos 40%

menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 500% dan serapan hara

P sebesar 9,67 mg P/semai dibandingkan dengan kontrol.

Hasil penelitian Alimuddin (2006) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada

stek pucuk jati Muna dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit, jumlah daun,

jumlah akar, panjang akar adventif, berat kering total bibit, indeks kekokohan

bibit, dan indeks mutu bibit dengan masing-masing nilai sebesar 48,92%; 8%;

27%; 66,87%; 6,73%; 65,97% dan 57,14% terhadap kontrol.

Inokulum Tanah

Tanah yang berasal dari bawah tegakan pohon bermikoriza, lazim disebut

inokulum tanah, merupakan bentuk inokulum yang pertama kali dimanfaatkan.

Teknik inokulasinya sangat sederhana yaitu dengan mencampur inokulum tanah

dengan media semai (lazim 5-10% volume media), diberikan sekeliling batang

semai pada pada kedalam 0,5-1 cm (Marx & Kenny 1982).

Inokulum FMA terdapat dalam empat bentuk yaitu tanah terinfeksi, akar

tanaman terinfeksi, kultur murni fungi, dan spora (Mosse 1981). Ciri dan

kemelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung

kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah.

Inokulum tanah merupakan inokulum alami yang paling murah harganya dan

teknologinya juga paling sederhana. Keuntungan dengan menggunakan

(29)

inokulum tanah juga berisi spora, akar, dan hifa yang semuanya dapat

menginokulasikan bibit tanaman (Helm & Carling 1990).

Hasil penelitian Nova (2005) menunjukkan bahwa inokulum tanah FMA dari

bawah tegakan jati Muna yang berasal dari Wakuru, Matakidi, Raha, Sampolawa

dan Ewa dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit jati Muna dengan

peningkatan sebesar (142,82%; 147,37%; 143,95%; 134,42%; 93,49%), diameter

(196%; 192%; 173%; 134%; 53,85%), jumlah daun (95,60%; 77,60%; 68,80%;

66,80%; 60,00%), BKT (140%; 117%; 109%; 112%; 105%), sedangkan NPA

(892,06%; 893,65%; 1025,40%; 900%; 487,30%) terhadap kontrol.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza

Brundrett et al. (1994) menyatakan keberhasilan pembentukan mikoriza

tergantung dari interaksi tiga faktor antara tanah, fungi, dan tanaman inang.

Menurut Hetrick (1984) menyatakan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis fungi dan lingkungan. Faktor jenis fungi

dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan antara jenis fungi,

sedangkan faktor lingkungan yaitu:

Suhu

Respon tanaman bermikoriza terhadap suhu juga berbeda-beda

menurut spesies fungi yang mengoloninya (Bowen 2000). Kolonisasi

miselium pada permukaan akar paling baik pada suhu antara 280 C-340 C

(Tumerup 1983), diacu dalam (Bowen 2000). Pada suhu tinggi mengakibatkan

penurunan viabilitas spora dan bahkan kematian spora. Sedangkan suhu rendah

dilaporkan oleh Suhardi (1997) sangat dibutuhkan oleh mikoriza pada fase awal

kehidupannya. Suhu tanah < 170 C dapat menurungkan keefektifan dan

perkembangan CMA (Sieverding 1991). Menurut Daniel dan Trappe (1981)

spora Glomus epigaens berkecambah pada suhu 18-250 C dengan

suhu optimum 230 C.

Cahaya Matahari

Pada prinsipnya cahaya terutama intensitasnya mempengaruhi FMA

karena berhubungan dengan suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh fungi.

(30)

14

fotosintat bagi FMA, akibat pada meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam

akar.

pH Tanah

Setiap jenis fungi pembentuk mikoriza arbuskula mempunyai kisaran pH

masing-masing, ada yang kisarannya luas dan ada yang sempit. Spora Glomus

mossae dan Gigaspora margarita tidak ditemukan pada tanah tropis alam

dengan pH < 5,5, adapaun spora-spora Acaulospora scrobiculata,

A. morrawai, A. spinosa, Glomus agregatum, G. versiforme dan Scutellospora

pellucida, mempunyai kisaran pH yang cukup luas untuk perkembangannya

yaitu 3,8-8,0 (Sieverding 1991).

Kemasaman tanah sangat mempengaruhi kolonisasi dan perkembangan

FMA dalam hal proses infeksi dan proses pertumbuhan hifa. Umumnya FMA

berkecambah baik pada pH 5-8 (Bowen 2000), sedangkan Gunawan (1993)

menyatakan bahwa pH optimum untuk Glomus sp. antara 5,5-9,5 dan

Gigaspora sp. berkisar antara pH 4-6.

Aerasi dan Air

Di dalam tanah yang tergenang air, kekurangan oksigen menghambat

perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya. Read (1971),

diacu dalam (Nova 2005) melaporkan bahwa produksi spora FMA sangat baik

jika tanaman disiram setiap hari. Sedangkan Sieverding (1991) melaporkan

bahwa kadar air 40-80% dari kapisitas cekapan maksimum merupakan kondisi

(31)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Batas Wilayah

Secara Geografis wilayah Kabupaten Maluku Tengah berada diantara

2,5º-7,5º Lintang Selatan dan 126,5º-132º Bujur Timur dan memiliki batas-batas

sebagai berikut:

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Seram

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Laut Banda

Sebelah Timur : Berbatasan dengan perairan Papua

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Pulau Buru

Luas Wilayah

Kabupaten Maluku Tengah merupakan daerah kepulauan dengan

luas 257.890 km² yang terdiri dari luas laut 238.296 km² (92%) dan

luas daratan 19.594 km² (8%) yang terdiri dari sembilan wilayah kecamatan,

yaitu Kecamatan Amahai, Saparua, Nusa Laut, Pulau Haruku, Banda, Salahutu,

Leihitu, dan Seram Utara.

Perairan laut Kabupaten Maluku Tengah dengan luas 238.296 km²

mengandung berbagai sumber daya yang potensial dengan nilai ekonomi yang

tinggi, baik sebagai sumber biotis, mineral, wisata bahari dan sumber daya hayati

lainnya. Berbagai potensi kelautan yang diandalkan adalah berupa ikan pelagis

besar dan kecil, rumput laut, udang pineid, karang dan mutiara. Di samping itu

laut di sekitar pulau seram diperkirakan mempunyai beberapa cekung

hidrokarbon yang berpotensi sebagai penghasil minyak dan gas bumi.

Sedangkan luas daratan Kabupaten Maluku Tengah adalah 19.594 km²

yang terdiri dari lahan pertanian, pemukiman, kawasan hutan. Di mana

Kecamatan Banda dengan luas wilayah 172 km2 sedangkan Kecamatan

(32)

16

Topografi dan Kondisi Tanah

Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya dibentuk oleh relief yang besar

dimana palung laut dan punggung pegunungan silih berganti. Tofografi wilayah

daratan pada umumnya terdiri dari tanah perbukitan dan pegunungan yang

berada pada ketinggian 100-1000 m di atas permukaan laut.

Jenis tanah yang dimiliki adalah tanah podsolik merah kuning, tanah latosol

dan tanah mediteran yang penyebaran sebagai berikut:

1. Tanah podsolik terdapat di Pulau Seram 50% dan Pulau-pulau Lease 40%.

2. Tanah latosol terdapat di Pulau-pulau Lease 30%

3. Tanah mediteran terdapat di Pulau-pulau Lease 40%.

Kondisi Iklim

Iklim yang terdapat di Kabupaten Maluku Tengah adalah iklim Laut tropis

dan iklim musim yang sangat dipengaruhi oleh lautan. Rata-rata temperatur

adalah 27,80C dimana temperatur maksimum rata-rata 30,70C dan minimum

rata-rata 22,60C. Ketinggian cuarah hujan terjadi pada bulan April 339 mm, Maret

208,3 mm dan bulan Desember 194 mm, jumlah hari hujan terbanyak terjadi

pada bulan Desember 27 hari. Penyinaran matahari rata-rata 65,2% dan

kelembaban nisbi yang terjadi rata-rata 80,5%. Angin rata-rata dengan

kecepatan 5,4 knot dan arah angin terbanyak adalah dari arah Tenggara

kemudian kecepatan yang terbesar pada bulan Desember 37 knot dengan arah

angin rata-rata 110,0 knot (BPS Maluku Tengah Dalam Angka 2005)

Status Kehutanan

Luas kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah adalah seluas

1.976.379 ha (9,98%), hutan lindung 327.831 ha (16,58%), hutan produksi

terbatas 659.150 ha (33,35%), hutan produksi tetap 71.283 ha (3,60%) dan hutan

konversi dan lahan lainnya 720.861 ha (63,53%) (BPS Maluku Tengah Dalam

Angka 2005).

Kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah memiliki sumber daya hutan

tropis yang lengkap dengan biodiversitas tinggi. Jenis hasil hutan yang dominan

adalah kayu meranti, agatis, besi, jati, marsawa,linggua dan gaharu. Hasil hutan

(33)

damar, madu dan lain-lain merupakan hasil hutan yang sangat potensial untuk

dikembangkan.

Diskripsi Jati Ambon

Jati Ambon mulai dikembangkan permulaan abad ke-18, pada masa

pemerintah Hindia Belanda (kolonial), dimana benih dan bibit jati yang diperoleh

melalui tentara kolonial Belanda. Pembudidayaan jati Ambon pertama kali di

daerah Wetar Maluku Tenggara dan kemudiaan populasinya menyebar sampai

ke wilayah Maluku Tengah dimana daerah penyebarannya terdapat di Banda

dengan luas lahan 2 ha dan Salahutu dengan luas lahan 1,5 ha. Ukuran pohon

jati Ambon mencapai kisaran rata-rata 20-30 m dengan diameter rata-rata

40-60 cm.

Gambar 2 Deskripsi tegakan jati Ambon pada dua lokasi (a, b) lokasi Banda dengan umur tegakan 50 tahun, (c, d) lokasi Salahutu dengan umur tegakan 30 tahun.

a c

(34)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Pengambilan contoh dilakukan pada tanah dari bawah tegakan jati Ambon

di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku pada bulan September 2006,

dengan lokasi Banda dan Salahutu. Kemudian analisisnya dilaksanakan di

Laboratorium Silvikultur dan Rumah Kaca Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor sampai dengan Mei 2007.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar

yang diambil dari bawah tegakan jati Ambon. Bak kecambah,

benih Sorghum vulgare, gelas plastik, zeolit, hyponex merah (25-5-25),

larutan KOH 2,5%, HCl 2%, glyserin, asam laktat, trypan blue 0,05% dan

aquades, polyvynil alkohol lactogliserol (PVLG) dan Melzer’s reagent.

Sedangkan alat yang digunakan adalah handsprayer, mistar, timbangan

analitik, saringan berukuran (500 µm, 125 µm, dan 45 µm), pinset spora, cawan

Petri, mikroskop Nikon YS100, mikroskop Carton NSWT, gelas penutup, gelas

preparat, tabung film, gelas ukur, label, kamera dan alat tulis.

Metode Penelitian

Percobaan I Eksplorasi FMA dari bawah Tegakan Jati Ambon

Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Contoh tanah yang diambil dari bawah tegakan jati Ambon, tepatnya di

bawah pohon jati Ambon yang tersebar di dua lokasi, yaitu: Banda (5 sampel

tanah) dan Salahutu (5 sampel tanah). Contoh tanah yang di ambil sebanyak

500 g pada zona rizosfir perakaran dengan kedalaman 0-20 cm. Selain contoh

(35)

Pengamatan Mikoriza Arbuskula

Isolasi dan Identifikasi spora. Isolasi spora dari tanah contoh dilakukan mengikuti metoda tuang dan saring (Gerdemann & Nicolson 1963) dan

dilanjutkan dengan metode sentrifugasi (Brundrett et al. 1994). Tanah contoh dari

bawah tegakan jati Ambon masing-masing 50 g ditambah air secukupnya di aduk

sampai merata, kemudian disaring dengan saringan bertingkat berukuran

500 µm, 125 µm, dan 45 µm. Hasil dari saringan 125 µm, dan 45 µm ditambah

larutan glukosa 60% sebanyak 1/3 bagiannya, di masukan ke dalam tabung dan

disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Cairan yang agak

bening dibagian tengah tabung yang merupakan peralihan antara larutan gula

dengan air disedot menggunakan mikro pipet untuk dicuci dan disaring dengan

saringan 45 µm, hasilnya ditempatkan dalam cawan Petri dan diamati di bawah

mikroskop Carton NSWT perbesaran 3x untuk penghitungan kepadatan spora.

Preparat spora dibuat melakukan identifikasi spora FMA yang ditemukan.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan

pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat.

Spora-spora FMA yang diperoleh dari isolasi setelah dihitung jumlah diletakkan

dalam larutan Melzer’s dan PVLG. Selajutnya spora-spora tersebut dipecahkan

secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan

ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu

indikator untuk menentukan genus spora yang ada.

Trapping. Teknik trapping (penangkaran) digunakan mengikuti metoda

Brundrett et al. (1994), menggunakan gelas plastik dengan media yang terdiri

dari tanah contoh dari bawah tegakan jati Ambon 50 g dan tanah steril 100 g.

tanaman inang yang digunakan adalah Sorghum vulgare. Masing-masing sampel

tanah dari 2 lokasi diulang tiga kali. Propagul diamati setelah penangkaran

berumur 3 bulan. Kemudian dilakukan dengan isolasi dan identifikasi terhadap

(36)

20

Gambar 3 Teknik penangkaran dengan menggunakan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dan tanah steril, tanaman inang Sorghum vulgare.

Uji propagul infektif. Uji propagul infektif fungi mikoriza dapat dihitung

dengan metoda MPN (Most Probable Number) Porter (1979). Inokulum yang

digunakan adalah tanah dari bawah tegakan jati Ambon. Persiapan seri

pengenceran (dengan kelipatan 10) yaitu dengan mencampurkan contoh sampel

uji dengan media tanah steril. Untuk seri pengenceran 100 yaitu sampel uji murni

dari lapangan, 10-1 yaitu 10% bagian sampel uji murni dari lapangan (100) dan

90% bagian tanah steril, 10-2 yaitu 10% bagian sampel dari (10-1) lapangan dan

90% bagian tanah steril, dan seterusnya sampai pengenceran 10-8, dimana

setiap seri pengenceran diulang sebanyak 5 kali. Tanaman inangnya adalah

Sorghum vulgare dan infeksi diamati 3 minggu setelah tanam.

Gambar 4 Teknik pengujian propagul infektif dengan menggunakan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon (10%) dan tanah steril

(90%), tanaman inang Sorghum vulgare.

Tanah st eril

Tanah st eril

(37)

Percobaan II Uji Efektivitas Inokulum Tanah Pada Semai Jati Ambon

Persiapan Benih

Benih yang digunakan adalah benih jati Ambon. Benih diseleksi yaitu

dengan cara memisahkan benih dari kotoran dan benih yang rusak, cukup

kering dan tidak terserang hama penyakit. Perlakuan benih berdasarkan

metode Mahfudz (2004). Sebelum penyemaian, benih jati Ambon dijemur

kemudian direndam air dingin dan dijemur selanjutnya metode tersebut diulang

kembali selama 4-5 hari dengan tujuan untuk pemecahan dormansi dan benih

siap disemai.

Persiapan Media Perkecambahan dan Media Tanam

Media perkecambahan benih menggunakan pasir yang telah dikeringkan

dan diayak. Pasir ditempatkan pada bak kecambah dengan ketebalan

10 cm, selanjutnya benih jati ditanam dan ditutup dengan pasir dengan ketebalan

1 cm (Gambar 5a).

Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alluvial yang diambil

dari kebun percobaan persemaian Tlogoarto di Desa Cihideung Ilir Kecamatan

Ciampea, Kabupaten Bogor. Sebelum tanah dimasukan ke dalam polybag,

terlebih dahulu tanah dibersihkan dari akar-akar, kemudian diayak dan tanah

tersebut disterilisasi, tanah yang telah diayak kemudian dimasukan dalam

kantung plastik tahan panas selanjutnya disterilkan dalam autoclave pada

tekanan 1,5 atm selama 15 menit pada suhu 1210 C. Selanjutnya media tanam

dimasukan ke dalam polybag ukuran 15 x 20 cm (Gambar 6).

Penyapihan Jati

Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap untuk disapih yaitu

kecambah yang telah terbentuk dua daun pertama kira-kira berumur 21 hari dan

siap dipindahkan ke media tanam dalam polybag (Gambar 5b).

Inokulasi FMA

Inokulasi FMA dilakukan pada saat penyapihan, dengan cara memberikan

inokulum tanah yang mengandung FMA yang berasal dari bawah tegakan jati

(38)

22

terlebih dahulu dilakukan Uji MPN dari dari masing-masing taraf perlakuan untuk

mengetahui propagul infektif fungi mikoriza.

Gambar 5 Semai jati Ambon yang mulai berkecambah (a) dan semai jati Ambon yang siap untuk disapih (b), pada umur 21 hari.

Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman yang dilakukan pada pagi hari secara teratur

sesuai kebutuhan sampai kapasitas lapang, pencabutan gulma dan

pemeliharaan semai dari gangguan hama dan penyakit secara manual bila

diperlukan.

Gambar 6 Semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam di rumah kaca.

Pengamatan dan Pengukuran

Pertambahan tinggi. Pengukuran tinggi semai dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari pangkal batang hingga titik tumbuh tunas pucuk

semai. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali selama 3 bulan.

(39)

Pertambahan diameter. Pengukuran diameter semai dilakukan dengan menggunakan kaliper, diukur pada ketinggian sekitar 1 cm di atas pangkal

batang. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali selama 3 bulan.

Jumlah daun. Jumlah daun dihitung berdasarkan daun yang terbentuk secara sempurna. Penghitungan jumlah daun dilakukan 2 minggu sekali selama

3 bulan.

Biomas kering total. Penimbangan dilakukan setelah pengamatan tinggi, diameter dan jumlah daun selesai. Sampel tanaman dipotong, bagian pucuk dan

akarnya dibungkus kertas secara terpisah, kemudian dioven pada suhu 75oC

selama 2 x 24 jam. Setelah tercapai berat kering yang konstan, kemudian

dilakukan penimbangan.

Nisbah pucuk akar. Nisbah pucuk akar ditentukan dengan membandingkan berat kering pucuk semai dengan berat kering akar semai.

Persen infeksi akar. Pengamatan persen infeksi akar dilakukan setelah pengukuran tinggi dan diameter selesai. Menurut Setiadi (1992), pengamatan

persen infeksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Beberapa contoh akar diambil, dicuci dengan air biasa untuk melepaskan

semua miselium luar. Bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke

dalam tabung film dan direndam dalam larutan KOH 2,5%, dibiarkan selama

semalam atau akar sampai berwarna kuning bersih.

2. Setelah akar berwarna kuning bersih larutan KOH 2,5% dibuang dan akar

dibilas dengan air.

3. Larutan HCl 2%, ditambahkan dan dibiarkan semalam atau sampai akar

berwarna kuning jernih. HCl 2% dibuang, diganti dengan larutan staining

(gliserol, asam laktat dan aquades dengan perbandingan 2:2:1 dan ditambah

trypan blue sebanyak 0,05%), dibiarkan semalam.

4. Larutan staining dibuang dan diganti dengan larutan destaining

(gliserol, asam laktat dan aquades dengan perbandingan 2:2:1) dibiarkan

semalam.

5. Akar tersebut dipotong-potong sepanjang 1 cm, lalu disusun pada gelas objek

(1 gelas objek untuk 10 potong akar), diamati dengan mikroskop Nikon YS100

(40)

24

6. Jumlah akar yang terinfeksi FMA dari 10 potong akar tersebut dicatat.

Penampakan struktur hifa internal, spora, vesikula, atau arbuskula merupakan

suatu indikasi bahwa contoh akar tersebut telah terinfeksi oleh FMA.

7. Persen akar terinfeksi dihitung berdasarkan rumus:

∑ Bidang pandang akar terinfeksi

Akar Terinfeksi (%) = x 100% ∑ Bidang pandang akar yang diamati

Jumlah spora. Penghitungan jumlah spora dilakukan pada akhir penelitian dengan cara pengamatan pada sampel media tanah sebanyak 50 g

masing-masing perlakuan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam gelas kemudian

direndam dan diaduk agar spora yang melekat pada partikel tanah dapat

terlepas. Setelah tanah diaduk kemudian dituang dalam saringan bertingkat

(500 µm, 125 µm, dan 45 µm), selanjutnya spora hasil saringan 125 µm, dan

45 µm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan diberi larutan

glukosa 60% dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

Kemudian supernatan pada bagian tengah diambil dengan memakai mikro pipet

dan dicuci di bawah air mengalir dengan saringan 45 µm. Hasil saringan diambil

dan dituangkan dipisahkan pada cawan petri kemudian di hitung di bawah

mikroskop Carton NSWT.

Analisis kimia dan fisika tanah. Penetapan sifat kimia dan fisika tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Bogor. Untuk contoh tanah dari

bawah tegakan jati Ambon dan media awal, sifat kimia yang dianalisis antara

lain adalah pH, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (Kb), C-organik,

dan kandungan unsur-unsur seperti N total, P total, P tersedia, Ca, Mg, K, Na,

Al, Fe, Cu, Zn dan Mn. Sedangkan sifat fisika yang dianalisis adalah tekstur

(pasir, debu, liat). Kemudian dilakukan dengan analisis media akhir setelah

penelitian, sifat kimia yang dianalisis adalah unsur N, P, K, dan Ca.

Analisis jaringan tanaman. Analisis jaringan daun tanaman diamati pada akhir penelitian dan dilakukan analisisnya di Laboratorium Kimia Tanah

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB Bogor. Analisis jaringan

(41)

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktorial dalam

RAL. Faktor pertama, yaitu: inokulum tanah FMA yang diambil dari bawah

tegakan jati Ambon dari 2 lokasi terdiri dari 11 taraf (Banda = 5 contoh tanah,

Salahutu = 5 contoh tanah dan kontrol). Faktor kedua, yaitu: media tanam yang

terdiri dari 2 taraf (T1 = tanah tidak steril, T2 = tanah steril)

Pada masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan, sehingga jumlah unit

perlakuan sebanyak 11 x 2 x 3 = 66 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari

3 tanaman, sehingga jumlah tanaman yang digunakan sebanyak 198 tanaman.

Model statistik yang digunakan untuk percobaan ini adalah:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

dimana:

Yijk = Nilai pengamatan perlakuan inokulum FMA taraf ke-i,

media tanah taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = Nilai rata-rata

αi = Pengaruh perlakuan inokulum tanah FMA taraf ke-i

βj = Pengaruh perlakuan media tanah taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan inokulum tanah FMA taraf

ke-i dan Pengaruh perlakuan media tanam taraf ke-j

εijk = Pengaruh galat perlakuan inokulum tanah FMA taraf

ke-i, media tanam taraf ke-j dan ulangan ke-k

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik

ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan pada taraf kepercayaan 95%.

Apabila F hitung > F tabel maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan

(Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Pengolahan data dilakukan dengan

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon

Hasil isolasi dan identifikasi tipe spora FMA atas dasar perbedaan bentuk

dan warna menunjukkan bahwa terdapat 10 tipe spora FMA yang termasuk

dalam genus yaitu Glomus, dan Acaulospora dari 2 lokasi yang terdiri dari 10

sampel di bawah tegakan jati Ambon yang diamati. Genus Glomus yang berhasil

diisolasi terdiri atas 8 tipe spora, Acaulospora 2 tipe spora. Sebaliknya 1 tipe

spora baru dari genus Glomus diperoleh setelah penangkaran. Hasil identifikasi

selanjutnya disajikan sebagai berikut.

Tipe Spora FMA Diskripsi

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning kecoklatan. Permukaan spora

halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora

terdiri atas satu kelompok dinding yang

berwarna cokelat kemerahan. Spora diisolasi

dari daerah Banda 4.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning sampai kuning kecokelatan.

Permukaan spora halus, tidak memiliki

perhiasan. Dinding spora terdiri atas satu

kelompok dinding yang berwarna cokelat

kemerahan. Pada spora ini tidak ditemukan

bentuk hifa Spora diisolasi dari daerah

Salahutu 5.

Gambar 7 Glomus sp.1 1)

(43)

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning terang. Permukaan spora halus,

tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu

kelompok dinding yang berwarna cokelat tua,

pada spora ini tidak ditemukan bentuk hifa.

Spora diisolasi dari daerah Banda 1.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning kecokelatan. Permukaan spora

halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri

dari satu kelompok dinding yang berwarna

cokelat, pada spora ini tidak ditemukan bentuk

hifa. Spora diisolasi dari daerah Salahutu 3.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning. Permukaan spora halus, tidak

memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu

kelompok dinding yang berwarna cokelat, pada

spora ini ditemukan bentuk hifa berwarna

bening. Spora diisolasi dari daerah Banda 2.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna kuning kemerahan. Permukaan spora

halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri

dari satu kelompok dinding yang berwarna

cokelat kemerahan, pada spora ini tidak

ditemukan bentuk hifa. Spora diisolasi dari

daerah Salahutu 2.

Gambar 9 Glomus sp.31)

Gambar 10 Glomus sp.4 1)

Gambar 11 Glomus sp. 5 2)

(44)

28

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna bervariasi dari kuning muda sampai

kuning terang. Permukaan spora memiliki

perhiasan berupa tonjolan-tonjolan yang.

Dinding spora terdiri atas satu kelompok

dinding yang berwarna cokelat tua, hifa

berwarna bening. Spora diisolasi dari daerah

Salahutu 1.

Spora berbentuk bulat, agak bulat, berukuran

45-125 µm dengan warna bervariasi dari

kuning muda sampai kuning terang.

Permukaan spora halus, tidak memiliki

perhiasan. Dinding spora terdiri atas satu

kelompok dinding yang berwarna cokelat

muda, pada spora ini tidak ditemukan bentuk

hifa. Spora diisolasi dari daerah Banda 3 dan

Banda 4.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna bervariasi dari kuning sampai cokelat.

Permukaan spora terdapat perhiasan berupa

tonjolan-tonjolan yang halus. spora terdiri atas

satu kelompok dinding yang berwarna cokelat

kemerahan. Spora diisolasi dari daerah

Banda 4.

Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan

warna bervariasi dari kuning muda sampai

kuning terang. Permukaan spora terdapat

perhiasan berupa tonjolan-tonjolan yang halus.

spora terdiri atas satu kelompok dinding yang

berwarna kuning kecokelatan. Spora diisolasi

dari daerah Salahutu 1 dan Salahutu 4.

Gambar 15 Acaulospora sp. 1

1)

Gambar 16 Acaulospora sp. 2

1)

Gambar 14 Glomus sp.81)

(45)

Jumlah spora FMA hasil isolasi tanah lapangan dari bawah tegakan jati

Ambon Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku menunjukkan bahwa Banda

4 dan Salahutu 1 memiliki jumlah spora terbanyak yaitu 37 dan 34 per 50 g

tanah. Sedangkan Banda 5 dan Salahutu 3 memiliki jumlah spora terkecil yaitu

15 dan 18 per 50 g tanah (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah spora FMA hasil isolasi per 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku

Tipe FMA B1 B2 B3∑ Spora/50 g contoh tanah B4 B5 S1 S2 S3 S4 S5

Berdasarkan hasil analisis cluster terhadap jumlah spora FMA hasil isolasi

dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa

terdapat 9 cluster. Pada tahap pertama Banda 1 digabungkan dengan

Salahutu 3, tahap kedua Banda 3 dan Banda 5, tahap ketiga Banda 4

digabungkan dengan Salahutu 1 dan seterusnya. Pengabungan jumlah spora

pada masing-masing lokasi ditunjukkan dengan jelas pada dendrogram. Dengan

pengabungan ini dapat mengetahui jumlah spora yang berhubungan erat,

dimana jumlah spora pada Banda 1 memiliki kesamaan dengan Salahutu 3,

Banda 3 dan Banda 5 memiliki kesamaan Banda 2, sedangkan Banda 4 dan

(46)

30

Gambar 17 Dendrogram jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon.

Trapping

Setelah trapping dengan menggunakan tanaman inang Sorhum vulgare

menunjukkan bahwa jumlah spora FMA yang diperoleh berkisar antara

32-54 spora per 50 g tanah untuk lokasi Banda dan 24-40 spora per 50 g tanah

untuk lokasi Salahutu. Hasil isolasi dari contoh tanah dari bawah tegakan jati

Ambon terdapat tipe spora FMA yang tidak dijumpai sebelum penangkaran,

yaitu genus Glomus sp. 8. Hasil trapping (penangkaran) menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa tipe spora dari genus Glomus muncul lebih banyak dan

Acaulospora selalu ada setelah penangkaran (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50/g tanah trapping/penangkaran

dengan tanaman inang Sorghum vulgare

Tipe FMA B1 B2 B3 B4 B5 S1 S2 S3 S4 S5

Gambar

Gambar 2 Deskripsi tegakan jati Ambon pada dua lokasi (a, b) lokasi Banda dengan umur tegakan 50 tahun, (c, d) lokasi Salahutu dengan umur tegakan 30 tahun
Gambar 4 Teknik pengujian propagul infektif dengan menggunakan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon (10%) dan tanah steril (90%), tanaman inang Sorghum vulgare
Gambar 5  Semai jati Ambon yang mulai berkecambah (a) dan semai jati Ambon yang siap untuk disapih (b),  pada umur 21 hari
Gambar 9 Glomus sp.3 1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

faktor lainnya yang juga berpengaruh yaitu faktor aparat penegak hukumnya yang masih kaku dalam penanganan masalah Ujaran Kebencian ini karena masih kurangnya

Kegiatan dilakukan adalah pembuatan seminar dan workshop dengan tema Program Pencegahan dan Pengendalian penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT) di Unit Kebidanan

muR Ma;tf cjtpahsh; Njh;T vd;gJ

P : Apakah ada hal yang berubah di diri anak anda sejak ia memilih menjadi seorang fans JKT48. IL : Ya saya sih nggak bisa pantau langsung, tapi belum ada tanda-tanda hal

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Perlu dilakukan penelitian lanjutan sampai selesai satu musim tanam, sehingga dapat diketahui jumlah total kehilangan unsur hara dan bahan organik akibat erosi pada

Sehubungan dengan Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi paket pekerjaan Pembangunan Irigasi Air Permukaan Kecamatan Semadam pada Dinas Pendidikan TP&amp;H Kabupaten Aceh