• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN LANSKAP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA BATU RONGRING DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERENCANAAN LANSKAP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA BATU RONGRING DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER TESIS."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN LANSKAP DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA BATU RONGRING DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER

TESIS

Oleh :

Ovie Farizal NIM 177004005

SEKOLAH PASCASARJANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

ii

PERENCANAAN LANSKAP DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN POTENSI DAYA TARIK EKOWISATA BATU RONGRING DESA PEYANGGA TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh Ovie Farizal NIM 177004005

SEKOLAH PASCASARJANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)

iii

(4)

i

(5)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Adapun judul dari tesis ini adalah Perencanaan Landskap dan Strategi Pengembangan Potensi Daya Tarik Ekowisata Batu Rongring Desa Peyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Tesis ini berisi tentang potensi objek daya tarik wisata yang terdapat didesa peyangga kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, meliputi daya tarik obyek wisata kawasan,, kondisi sosial ekonomi, akomodasi, dan aksesibilitas. Pengembangan ekowisata yang baik tentunya diperlukan strategi yang mendukung kegiatan ekowisata dan tetap menjaga kelestarian kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis selama mengikuti kegiatan perkuliahan;

2. Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M. Si Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Komisi Pembimbing

3. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, S.Si, M.Si Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M. Si, Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan ppenulis dalam penulisan tesis ini 5. Ibu Dr. Marifatin Zahrah, M. Si Anggota Komisi Pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan untuk menambah pembendaharaan kalimat dalam tesis ini.

(6)

iii

7. Seluruh pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SPs USU yang telah memberikan ilmu dan nasihat yang sangat bermanfat bagi penulis

8. Terimakasih Endang Anggraini dan tersayang Muhammad Fauzil Adim Mumtaz yang telah dengan sabar menanti dan menunggu hari-hari panjang penulis di perantauan, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi

9. Ayah (Alm) Ubit Abdullah dan Ibu Sri Rosnah yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga sampai saat ini.

10. Pemerintah daerah Kabupaten Langkat yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

11. Terima kasih Bapak Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser atas Izin Belajar yang telah diberikan

12. Terima kasih Bapak Kepala SPTN Wilayah V Bukit Lawang dan Kepala Resort Bohorok yang telah menyediakan lokasi tempat penelitian serta membantu peneliti selama pengambilan data penelitian dilapangan.

13. Terima kasih KPH I Langkat yang telah memberikan data dan informasi yang telah memperkaya tulisan dalam tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengelola kawasan, pemerintah daerah dan semua kalangan dalam menjaga dan mengembangkan ekowisata di Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Penulis berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan tesis ini, jika terdapat kekurangan, kritik dan sarannya sangat penulis harapkan.

Medan, Januari 2020

Penulis

Ovie Farizal

(7)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, pada tanggal 05 November 1981. Anak ke empat dari tiga bersaudara dari pasangan Ubaidillah dan Sri Rosnah. Tahun 1994 penulis menamatkan Sekolah Dasar di SDN 14 Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Tahun 1997 penulis lulus dari SMPN 4 Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Tahun 2000 penulis menamatkan Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Pekan Baru. Tahun 2007 penulis menamatkan pendidikan nya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Gunung Leuser Jurusan Agronomi dan mendapatkan tugas di Taman Nasional Gunung Leuser (sekarang bernama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser).

Tahun 2017 penulis di terima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Pascasarjana USU.

(8)

v

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRAK ... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.4.Manfaat Penelitian ... 5

1.5.Kerangka Berfikir ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Ekowisata ... 9

2.2. Desa Wisata ... 15

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Ekowisata ... 16

2.4. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) ... 18

2.5 Taman Nasional ... 20

2.6. Zonasi di Taman Nasional Gunung Leuser... 21

2.6.1. Daerah Peyangga / Zona Peyangga ... 21

2.6.2. Zona Inti ... 21

2.6.3. Zona Rimba ... 22

2.6.4. Zona Pemanfaatan ... 22

2.6.5. Zona Tradisional ... 22

2.6.6. Zona Rehabilitasi ... 22

2.6.7. Zona Religi, Budaya dan Sejarah ... 23

2.6.8. Zona Khusus ... 23

2.7. Ekowisata di Kecamatan Batang Serangan ... 23

2.8. Wisata Minat Khusus ... 24

2.9. Strategi Pengembangan Ekowisata ... 25

2.10.1 Analisis SWOT ... 27

2.10.2. Perencanaan Lanskap ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Waktu dan Tempat ... 32

3.2. Alat dan Bahan ... 32

3.3. Batasan Penelitian ... 32

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.4.1. Wawancara ... 33

3.4.2. Focus Group Discussion ... 33

3.4.3. Studi Literatur ... 34

(9)

vi

3.4.4. Observasi Lapangan ... 34

3.5. Analisis Data ... 34

3.5.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal ... 34

3.5.2. Analisis SWOT ... 34

3.5.3. Alternatif-alternatif Strategi ... 35

3.5.4. Perencanaan Lanskap ... 35

3.5.5. Strategi (SWOT) ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Kondisi Umum dan Lokasi Penelitian ... 40

4.1.1. Kondisi Fisik ... 41

4.1.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 42

4.1.2.1. Kondisi Sosial ... 42

4.1.2.2. Kondisi Ekonomi ... 44

4.1.3. Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam ... 46

4.1.3.1. Aliran Sungai Sei Musam ... 47

4.1.3.2. Flora dan Fauna ... 47

4.1.3.3. Pondok dan Perkebunan Masyarakat ... 50

4.1.3.4. Wisata Adat Istiadat dan Jelajah Desa ... 52

4.1.3.5. Gua-gua di Taman Nasional Gunung Leuser ... 55

4.1.4. Aksesibilitas ... 56

4.2. Perencanaan Lanskap ... 58

4.2.1. Tata Ruang Ekowisata Batu Rongring ... 58

4.2.2. Sirkulasi Ekowisata Batu Rongring ... 63

4.2.3. Rencana Pembangunan Sarana Prasarana ... 64

4.3. Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam Ekowisata Batu Rongring ... 67

4.3.1. Analisis Faktor-Faktor Internal Ekowisata Batu Rongring ... 67

4.3.2. Analisis Faktor-Faktor Eksternal Ekowisata Batu Rongring ... 71

4.3.3. Matrik IE (Internal Eksternal) ... 77

4.3.4. Analisis SWOT ... 78

4.3.4.1. Matrik SWOT ... 78

4.3.5. Alternatif-Alternatif Strategi ... 82

4.4. Kebijakan Pengembangan Ekowisata Batu Rongring ... 87

4.5. Analisa Perumusan Masalah Ekowisata Batu Rongring ... 92

4.5.1. Analisa Perencanaan Lanskap dalam Pengembangan Ekowisata Batu Rongring ... 92

4.5.2. Analisa Strategi Pengembangan Ekowisata Batu Rongring Sebagai Desa Peyangga TN Gunung Leuser ... 94

4.5.3. Analisa Kebijakan Pengembangan Ekowisata Batu Rongring Sebagai Daerah Peyangga TN Gunung Leuser ... 95

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

5.1. Kesimpulan ... 97

5.2. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(10)

vii

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Matriks Faktor Strategi Internal Ekowisata Batu Rongring ... 36 3.2. Matriks Faktor Strategi Eksternal Batu Rongring ... 37 3.3. Matriks SWOT ... 39 4.1. Topografi Wilayah KPHP Unit I Langkat Bagian dari Desa Batu

Rongring ... 41 4.2. Penduduk di Dusun Penampean, Desa Batu Rongring

Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 42 4.3. Persentase Penduduk Dusun Penampean Batu Rongring Menurut

Suku ... 43 4.4. Persentase Penduduk Dusun Penampean Batu Rongring Menurut

Agama ... 43 4.5. Pendidikan Penduduk di Dusun Penampean Batu Rongring

Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 44 4.6. Pekerjaan Penduduk Dusun Penampean Batu Rongring Kecamatan

Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 44 4.7. Fasilitas Penunjang di Ekowisata Batu Rongring Kecamatan

Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 45 4.8. Fasilitas Penginapan/homestay di Dusun Penampean Ekowisata

Batu Rongring Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat ... 46 4.9. Flora dan Fauna yang ada di Ekowisata Batu Rongring ... 47 4.10. Hasil Analisis IFAS Kekuatan (Strenghts) dan kelemahan (Weakness)

di Ekowisata Batu Rongring ... 67

(11)

viii

4.11. Matrik IFAS Pengembangan Ekowisata Batu Rongring ... 69

4.12. Hasil Analisis EFAS Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threath) di Ekowisata Batu Rongring ... 71

4.13. Matrik EFAS Pengembangan Ekowisata Batu Rongring ... 73

4.14. Rekapitulasi Hasil Perhitungan IFAS dan EFAS ... 75

4.15. Hasil Matrik IE (Internal Eksternal) ... 78

4.16. Matrik SWOT ... 78

4.17. Hasil Rangking Prioritas Strategi ... 83

(12)

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 8

3.1. Diagram Analisis SWOT ... 37

4.1. Lokasi Penelitian Dusun Penampean Ekowisata Batu Rongring ... 40

4.2. Lokasi pondok masyarakat di sepanjang alur Sungai Sei Musam ... 52

4.3. Aktifitas Masyarakat Memancing di Sungai Sei Musam ... 53

4.4. Ukiran Bambu 3 (tiga) dimensi Ekowisata Batu Rongring ... 54

4.5. Peta Aksesibilitas Menuju Ekowisata Batu Rongring ... 57

4.6. Peta Jalur Objek Daya Tarik Wisata Batu Rongring ... 62

4.7. Situasi Dusun Penampean ... 64

4.8. Denah Pembangunan Areal Parkir, Visitor Centre, Mushola dan Toilet ... 65

4.9. Grafik Analisis SWOT pengembangan ekowisata Batu Rongring ... 76

(13)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan satu dari lima puluh empat kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, kawasan ini terletak antara dua provinsi, yaitu Propinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser berbasis zonasi dengan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor SK.35/IV-SET/2014 tanggal 28 Februari 2014 dengan status penunjukkan Menteri Kehutanan Nomor 276/Kpts-II/1997 dengan luas ± 1.094.692 ha. Kondisi perubahan luasan kawasan berdasarkan penetapan TNGL didasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.103/MenLHK- II/2015 (sebagian TNGL di Provinsi Aceh) dan Nomor SK.4039/Menhut- VII/KUH/2014 (sebagian TNGL di Provinsi Sumatera Utara) menjadi 830.268,95 ha, dengan pembagian zona terdiri atas areal Zona Inti seluas 619.184,80 ha, Zona Rimba seluas 132.732,87 ha, Zona Pemanfaatan seluas 20.371,06 ha, Zona Tradisional seluas 2.359,67 ha, Zona Religi, Budaya dan Sejarah seluas 33, 45 ha, Zona Rehabilitasi seluas 55.185,06 ha dan Zona Khusus seluas 402,04 ha.

(Penataan Zonasi TNGL, 2019).

Permasalahan utama di Taman Nasional Gunung Leuser adalah ilegal loging yang berakhir pada perambahan kawasan. Hal ini menyebabkan terbuka dan berubahnya fungsi ekosistem kawasan penunjang kehidupan baik yang langsung pada kawasan berupa habitat flora dan fauna maupun dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap masyarakat sekitar dan masyarakat pada umumnya.

Akibat yang ditimbulkan bila hutan konservasi terambah antara lain: hilangnya

(14)

2

habitat fauna hal ini dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem dan terjadinya konflik antara manusia dan satwa, sebagai tempat penyimpanan air dalam volume yang besar/ hutan sebagai pengendali banjir, untuk mencegah terjadinya banjir bandang, longsor dan kekeringan. (RPTN, 2019).

Beberapa ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser sudah mulai terganggu oleh aktifititas ilegal loging diantaranya kawasan yang berbatasan langsung, seperti Desa Batu Rongring yang sebagian besar wilayahnya berbatasan alam dengan TNGL. Menurut penuturan masyarakat Desa Batu Rongring khususnya yang tinggal di sepanjang sungai Sei Musam, mereka dulu sering melakukan pembalakan liar, kemudian bekas areal terbuka tersebut mereka alih fungsikan menjadi perkebunan sawit dan karet. Mereka melakukan aktivitas tersebut karena kondisi sulitnya untuk bertahan hidup di tengah semakin terbatasnya alternatif mata pencaharian. Bukit Lawang dan Tangkahan merupakan destinasi wisata terdekat dengan Batu Rongring. Melihat kondisi sekarang destinasi wisata tersebut sudah dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dan menjadi salah satu penghasil PAD dari kunjungan wisata. Memotivasi masyarakat Batu Rongring untuk juga menerapkan pengelolaan pariwisata seperti kedua destinasi wisata tersebut, maka melihat kondisi Batu Rongring alternatif dalam peningkatan perekonomian dengan fungsi kawasan konservasi yang seimbang yaitu Ekowisata.

Desa Batu Rongring merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL di Kecamatan Batang Serangan. Salah satu upaya untuk menjaga keberlanjutan Taman Nasional Gunung Leuser adalah dengan kegiatan

(15)

3

ekowisata. Penelitian ini difokuskan pada pengembangan Ekowisata di Desa Batu Rongring yang merupakan Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser..

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam adalah kawasan yang mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formulasi yang unik, mempunyai luas yang cukup, dan kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Peraturan Pemerintah tersebut juga menyatakan bahwa kawasan Taman Nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam terbatas, dalam hal ini ekowisata.

Prinsip kegiatan dan pengembangan ekowisata (ecotourism) yaitu dengan menghindari dampak negatif yang dapat merusak integritas atau ciri khas kawasan alami yang dikunjungi, mendidik pengunjung untuk memahami pentingnya konservasi kawasan, memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya, dan membangun infrastruktur yang harmonis dengan tidak mengubah bentang alam (Sudirman, 2013).

1.2 Perumusan Masalah

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi yang diperuntukkan untuk penyelamatan flora dan fauna, kawasan merupakan habitat beberapa satwa endemik dan terancam punah diantaranya Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera, Gajah Sumatera dan Badak Sumatera. Taman Nasional Gunung Leuser mempunyai tipe ekosistem yang lengkap dari Rawa, Gambut,

(16)

4

Pengunungan bawah sampai pengunungan atas. Fungsi penting lain dari kawasan ini sebagai pemasok karbon, oksigen dan penyimpan air dengan kuota besar. Batu Rongring merupakan satu dari dua ratus lima puluh dua desa penyangga yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Namun desa penyangga apabila tidak dikelola dengan baik akan berakibat tekanan terhadap kawasan dalam bentuk perambahan, ilegal logging dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit dan perkebunan karet. Bila hal tersebut dibiarkan dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem dan habitat dari flora dan fauna di Taman Nasional Gunung Leuser.

Salah satu upaya untuk melindungi Taman Nasional Gunung Leuser adalah dengan kegiatan ekowisata. Ekowisata menjadi pilihan untuk dikembangkan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser karena jenis wisata ini merupakan wisata yang sangat terbatas dan memiliki aturan-aturan yang jelas. Pada saat yang sama ekowisata dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan dan fungsi konservasi dapat tercapai.

Saat ini pemerintah Provinsi Sumatera Utara khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat sedang mendata potensi-potensi objek wisata yang terdapat di Kabupaten Langkat. Selain Bukit Lawang dan Tangkahan yang sudah menjadi destinasi tujuan wisata, diantara objek wisata tersebut terdapat Batu Rongring yang kegiatan wisatanya masih belum berkembang. Sebagai salah satu destinasi wisata, tentu saja data potensi Batu Rongring sangat diperlukan sebagai pedoman dalam pengembangan kawasan tersebut menjadi kawasan Ekowisata

Dengan melihat latar belakang diatas, maka beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

(17)

5

1. Bagaimana perencanaan lanskap dalam pengembangan Ekowisata Batu Rongring sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser?

2. Bagaimana strategi yang dilakukan dalam pengembangan ekowisata Batu Rongring sebagai penyangga Taman Nasional Gunung Leuser?

3. Bagaimana kebijakan pengembangan ekowisata Batu Rongring sebagai Daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengumpulkan potensi dan arah kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata alam di Dusun Batu Rongring. Adapun tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengkaji dan menganalisis potensi-potensi yang mempengaruhi pengembangan ekowisata Batu Rongring sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser;

2. Menganalisis perencanaan lanskap dalam pengembangan ekowisata Batu Rongring sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser;

3. Merumuskan strategi yang dilakukan dalam pengembangan ekowisata Batu Rongring sebagai daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Informasi yang didapat bermanfaat bagi pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional;

(18)

6

2. Bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pengembangan ekowisata Batu Rongring.

1.5 Kerangka Berfikir

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik dan khas hutan tropis, sebagian dari flora dan fauna tersebut menyandang status sebagai satwa prioritas yang tingkat keberadaaanya terancam punah seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Bunga Rafflesia (Rafflesia atjehensis) dan Bunga Bangkai (Amorphophallus titanum). Namun begitu tingkat tekanan terhadap Taman Nasional Gunung Leuser dari kegiatan perambahan, ilegal loging, pendudukan kawasan tanpa izin terus meningkat. Hilangnya pohon - pohon yang berfungsi untuk penyusun tipe hutan dan keanekaragaman hayati lain jadi ancaman serius keberadaan flora fauna dan ekosistem di dalamnya.

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tidak luput dari perambahan dan ilegal logging oleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi ini, maka upaya mencegah konversi lahan di Taman Nasional Gunung Leuser, perlu adanya strategi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Taman Nasional Gunung Leuser tetap lestari dan masyarakat sekitar juga mendapat keuntungan ekonomi tanpa merusak kawasan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan pengembangan ekowisata.

Sebagai Desa Penyangga Batu Rongring mempunyai batasan langsung dengan kawasan konservasi TNGL, maka perlu dilakukan pengelolaan yang

(19)

7

menguntungkan dari segi ekonomi dengan tetap mempertahan fungsi konservasi yaitu ekowisata.

Konsep ekowisata dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mengutamakan aspek perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, keseimbangan, dan keberlanjutan, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bukan hanya terhadap kawasan koservasi tetapi juga dapat menimbulkan nilai tambah terhadap perekonomian masyarakat yang disekitarnya.

Upaya pengembangan ekowisata Batu Rongring perlu dilakukan perencanaan lanskap dan strategi – strategi pembangunan yang bersifat pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan tanpa merubah bentuk asli dari kawasan ekowisata Batu Rongring. Indentifikasi kekuatan dan kelemahan ekowisata Batu Rongring menggunakan metode Internal Strategic Factors Analysis (IFAS) dan External Strategic Factors Analysis (EFAS). Perencanaan partisipatif untuk menentukan kebutuhan dan keinginan masyarakat, pengelola serta informan kunci (key informan) ditampilkan dalam SWOT. Keterlibatan masyarakat, pengelola serta informan kunci (key informan) Batu Rongring juga dilakukan dalam pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) untuk menentukan Potensi Objek Daya Tarik Wisata (ODTWA). Akhirnya ditemukan Perencanaan Lanskap dan Strategi Pengembangan Ekowisata Batu Rongring berbasis kearifan lokal (local wisdom) sesuai dengan kondisi masyarakat, stakeholder dan pelaku wisata di Ekowisata Batu Rongring.

(20)

8

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Perencanaan Lanskap dan Strategi Pengembangan Ekowisata Batu

Rongring TNGL

Pengelolaan Ekowisata

IFAS / EFAS Perencanaan

Partisipatif

(21)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekowisata

Pengelolaan wisata alam di Taman Nasional Gunung Leuser dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta turunannya yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dan terakhir dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tanggal 26 Maret 2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Letak Desa Sei Musam lokasi ekowisata Batu Rongring berada disebelah barat ibu kota Kecamatan Batang Serangan. Jarak dari Desa Sei Musam ke ibu kota Kecamatan sekitar ± 12 kilometer dan ke ibu kota Kabupaten ± 49 kilometer.

Desa Sei Musam memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Namo Sialang Kecamatan Batang Serangan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sei Musam Kendit Kecamatan Bohorok, sebelah barat berbatasan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser, sebelah timur berbatasan dengan Desa Kwala Musam Kecamatan Batang Serangan (Sei Musam, 2016). Keberadaan Desa Sei Musam ini yang berbatasan alam langsung kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, membuat ekowisata Batu Rongring memiliki keindahan alam yang belum pernah terekspos sehingga terjaga kealamiannya. Desa Sei Musam dengan ekowisata Batu Rongring

(22)

10

merupakan salah satu desa yang menjadi binaan Taman Nasional Gunung Leuser yang diperuntukkan sebagai Desa Wisata.

Selain manfaat ekonomi, pengembangan wisata juga dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kegiatan konservasi, khususnya apabila kegiatan wisata alam telah memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi mereka. Apabila kondisi ini dapat tercapai, maka pembayaran jasa lingkungan wisata alam, seperti di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dapat bermanfaat sebagai solusi trade-off antara kepentingan ekologi dan ekonomi (Ekayani et al. 2014)

Melalui pengembangan desa wisata, parawisata juga terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lokal meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan serta memotivasi masyarakat untuk lebih bangga terhadap indentitas budayanya (Hermawan, 2016).

Menurut Vibriyanto et al., (2015) kehadiran wisatawan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menjaga kawasan alam untuk keberlangsungan wisata alam. Tanpa keindahan dan konservasi lingkungan tidak akan ada aktivitas wisata, dan itu berarti tidak ada manfaat ekonomi bagi masyarakat. Berdasarkan keadaan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan maksud melihat potensi dan daya tarik ekowisata di Batu Rongring Desa Sei Musam Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat

Ekowisata merupakan tipe wisata alternatif dari wisata masal sehingga memiliki segmen yang signifikan dalam pasar wisata. Selain kesadaran lingkungan yang berkembang sejak akhir tahun 1980.

(23)

11

Menurut Damanik dan Weber (2006), beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan ekowisata adalah sebagai berikut:

1) Pengembangan produk wisata yang bernilai ekonomi tinggi (green product);

2) Seleksi kawasan wisata yang menawarkan keanekaragaman hayati (biodiversity);

3) Pengabaian produk dan jasa yang banyak mengonsumsi energi dan yang menimbulkan limbah (polusi, kongesti, dan lain-lain);

4) Penciptaan standarisasi dan sertifikasi produk wisata berbasis ekologi;

5) Pelatihan dan peguatan kesadaran lingkungan di kalangan warga masyarakat;

6) Pelibatan penduduk lokal dalam kegiatan penyediaan dan pengelolaan jasa wisata;

7) Pengembangan kolaborasi manajemen trans-sektoral dalam pengembangan ekowisata.

Konsep pengembangan ekowisata hutan mangrove terkait konservasi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan dirumuskannya sebuah konsep pengembangan ekowisata hutan mangrove Desa Mojo maka dapat lebih mengoptimalkan kegiatan ekowisata hutan mangrove dengan lebih bertanggung jawab melalui upaya konservasi dan peningkatan kesejahteraan (Mutia, 2014). Pengembangan ekowisata Batu Rongring dilokasi yang berdampingan dengan masyarakat juga dapat memberikan nilai ekonomi dan tidak menghilangkan nilai-nilai konservasi seperti ekosistem, populasi dan habitat yang menjadi daya dukung lingkungan.

Rumusan ecotourism sudah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain (1987), yaitu sbb:

(24)

12

Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami relatif masih belum terganggu terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemadangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini.

Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan manfaat dan sekaligus melestarikan potensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus-plus. Definisi ini telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.

Adapun unsur plus-plus diatas yaitu kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat ditimbulkan oleh:

1. Kekuatiran akan makin rusaknya lingkungan oleh pembangunan yang bersifat eksploitasi terhadap sumber daya alam.

2. Asumsi bahwa pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik dan sehat 3. Kelestarian lingkungan tidak mungkin dijaga tanpa partisipatif aktif

masyarakat setempat.

4. Partisipasi masyarakat lokal akan timbul jika mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi (economic benefit) dari lingkungan yang lestari

5. Kehadiran wisatawan (khususnya ekowisatawan) ke tempat-tempat yang alami itu memberikan peluang bagi penduduk setempat untuk mendapatkan penghasilan alternatif dengan menjadi pemandu wisata, porter, membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usaha-usaha lain

(25)

13

berkaitan dengan ekowisata, sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka atau meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal, baik secara materil, spiritual, kultural maupun intelektual.

Fandeli (2001), unsur-unsur yang mendukung kegiatan ekowisata, antara lain:

a. Hubungan ekowisata dengan konservasi sumberdaya alam:

1. Ekowisata memperhatikan kualitas daya dukung alam (Carrying Capacity) dan bersifat ramah lingkungan;

2. Ekowisata merupakan salah satu program pembangunan dan pelestarian secara terpadu (Integrating Conservation and Development Program) antara upaya konservasi sumberdaya alam dengan pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan;

3. Keberadaan ekowisata dapat meningkatkan status suatu kawasan menjadi diakui sebagai kawasan alam yang dilindungi

4. Ekowisata merupakan alternatif yang dapat dipakai untuk meningkatkan partisipasi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati;

5. Kegiatan ekowisata mengusahakan sumbangan dana (Eco-cost) bagi upaya konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati. Ekowisata meminimalkan dampak negatif terhadap mutu dan kuantitas keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan wisata yang bersifat massal/ konvensional (mass tourism).

b. Ekowisata dapat memberikan dukungan bagi pemberdayaan masyarakat:

(26)

14

1. Ekowisata menghargai potensi sumberdaya lokal, sehingga mencegah terjadinya perubahan kepemilikan lahan, tatanan sosial dan budaya masyarakat;

2. Kegiatan ekowisata berbasiskan masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat sebagai pemilik, pelaku dan penerima manfaat utama;

3. Daya tarik kegiatan ekowisata bertumpu pada kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, sehingga kegiatan ekowisata diharapkan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati;

4. Masyarakat dituntut memiliki keyakinan bahwa ekowisata merupakan alternatif peningkatan pendapatan

c. Ekowisata dapat memberikan dukungan bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan:

1. Ekowisata membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat untuk menjadi pelaku ekonomi secara langsung

2. Ekonomi menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka otonomi daerah

3. Ekowisata merupakan kegiatan yang sangat menghargai dan memanfaatkan potensi serta sumberdaya lokal;

4. Karena memerlukan dukungan partisipasi masyarakat, maka ekowisata dapat diupayakan sebagai usaha ekonomi yang berkelanjutan dan terpadu dengan konservasi.

(27)

15 2.2 Desa Wisata

Pemberdayaan masyarakat melalui program desa wisata juga dimaksudkan untuk memberikan konstribusi bagi pembangunan kawasan yang baik guna melindungi kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi, seperti misalnya ancaman hilangnya sumber-sumber potensi budaya yang ada dimasyarakat. Menurut (Nuryanti dalam Nalayani, 2016) desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan suatu dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Pendirian desa wisata merupakan salah satu bentuk penerapan Community Based Tourism (CBT). Melalui pengembangan desa wisata diharapkan terjadi pemerataan kesejahteraan, dimana hal tersebut sesuai dengan konsep pembangunan pariwisata yang berkesinambungan. Di samping itu, keberadaan desa wisata mampu menjaga kelestarian budaya masyarakat pedesaan melalui keterlibatan masyarakatnya sebagai pelaku kegiatan pariwisata di desanya (Susyanti, 2013).

Dalam perkembangannya adanya desa wisata yang berdampingan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat dengan mengelola kawasan hutan yang selama ini dimanfaatkan secara ilegal dan cenderung menghilangkan sisi konservasi, akan tetapi untuk mempertahankan fungsi kawasan antara lain sebagai penghasil oksigen, sebagai cadangan penampungan air pada musim kemarau, perlu usaha mengelola daya tarik lain seperti pertunjukkan alam dan keanekaragaman hayati.

(28)

16

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Ekowisata

Motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata, karena motivasi merupakan trigger dari proses perjalanan wisata, walau motivasi ini seringkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri. Pearce (1998) dalam Pitana (2005) berpendapat bahwa wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni: kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestice, dan aktualisasi diri.

Kedatangan wisatawan ke tempat rekreasi di Negara tropika, menurut MacKinnon et al. (1993) faktor-faktor yang membuat suatu kawasan hutan menjadi menarik untuk dikunjungi bagi pengunjung adalah:

1. Letaknya dekat, cukup dekat atau jauh dengan Bandar udara internasional atau pusat wisata;

2. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya;

3. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu;

4. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwa liar dijamin;

5. Terdapat beberapa alasan yang mendorong atau memotivasi seseorang untuk berwisata;

6. Memiliki budaya yang menarik;

7. Unik dalam penampilannya;

(29)

17

8. Mempunyai objek rekreasi pantai, danau, sungai, air terjun, kolam renang, atau tanpa rekreaksi lainnya;

9. Cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisata lainnya;

10. Sekitar kawasan itu memiliki pemandangan indah;

11. Keadaan makanan dan akomodasi tersedia

Penawaran pariwisata yang berupa produk kepariwisatawan terdiri dari tiga komponen yaitu atraksi wisata, jasa wisata dan angkutan wisata. Suatu daerah dapat dijadikan tempat tujuan wisata kalau kondisinya mendukung sehingga ada yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata disebut sebagai modal atau sumberdaya kepariwisatawan. Sumberdaya yang dapat menarik kedatangan wisatawan ada tiga yaitu alam, kebudayaan dan manusia itu sendiri (Soekadijo, 2000).

Penawaran wisata merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Menurut Gold (1980) penawaran wisata adalah jumlah dan kualitas dari sumberdaya wisata yang tersedia untuk penggunaan pada waktu tertentu.

Faktor penawaran wisata menurut WTO (1995) meliputi: daya tarik (alam, budaya dan jenis kegiatan wisata), akomodasi, fasilitas dan layanan, infrastruktur, elemen institusi. Menurut PHKA (2002) dalam menilai penawaran objek wisata dan kelayakan pengembangannya ada 10 faktor yang harus dinilai yaitu:

1. Daya Tarik;

2. Potensi Pasar;

(30)

18 3. Kadar hubungan/aksesibilitas;

4. Kondisi lingkungan sosial ekonomi;

5. Pelayanan masyarakat;

6. Kondisi iklim;

7. Perhotelan/penginapan;

8. Sarana prasarana pengunjung;

9. Tersedianya air bersih;

10. Hubungan dengan objek wisata lain;

Permintaan wisata merupakan macam dan banyaknya kesempatan rekreaksi dari individu atau keinginan sub grup populasi atau penggunaan periode waktu luang, tempat atau bagian perencanaan (Gold, 1980). Permintaan periwisata alam adalah jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan wisata alam di daerah tujuan wisata objek wisata alam. Semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisata dapat mendatangkan keuntungan ekonomi bagi kawasan terpencil dengan cara menyediakan kesempatan kerja, merangsang pasar setempat, memperbaiki prasarana angkutan dan komunikasi (MacKinnon et al. 1993).

2.4 Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis, dan genetik. Kekayaan tersebut merupakan modal dasar pembangunan yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. Kekayaan ini perlu dimanfaatkan dan dikelola dengan optimal serta dilindungi dari kepunahan,

(31)

19

sehingga memberikan manfaat bagi negara secara khusus dan dunia secara umum. Keanekaragaman ekosistem Indonesia diketahui berjumlah sekitar tujuh puluh empat tipe yang membentuk formasi satu dengan yang lain yang sangat komplek. Variasi ekosistem tersebut menunjukkan bahwa setiap ekosistem kaya akan jumlah spesies flora dan fauna. Untuk melindungi keberadaan ekosistem tersebut, khususnya yang mempunyai nilai keanekaragaman tinggi, maka dilakukan penetapan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam (Dirjen KSDAE, 2016).

Salah satu agenda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015-2019 adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Pada sub agenda peningkatan ketahanan air tertuang bahwa salah satu yang ingin dicapai adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemulihan kesehatan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 12,7 juta ha melalui pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), pengembangan ekowisata skala kecil, serta hasil hutan bukan kayu (KEMENLHK, 2015).

Organisasi-organisasi yang bergerak pada bidang konservasi mulai mencari alternatif dalam menerapkan konservasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian, pada masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya. Sejak tahun 1970 an organisasi-organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai jenis usaha yang tepat untuk menjembatani antara konservasi dan perekonomian. Ekowisata merupakan sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Pola ekowisata masyarakat dapat memanfaatkan keindahan alam yang

(32)

20

masih utuh, budaya dan sejarah setempat tanpa menjual isinya (DEPBUDPAR &

WWF Indonesia, 2009).

2.5 Taman Nasional

Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional haruslah memenuhi: 1) memiliki sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam unik, 2) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, 3) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; dan 4) merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan peruntukan.

Taman nasional bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (IUCN, 1994)

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki fungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan/ atau satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (UU No.5 1990; PP No. 68 1998). Fungsi taman nasional sesuai dengan strategi konservasi dunia (IUCN 1991) adalah: 1) perlindungan proses-proses ekologi dan sistem penyangga kehidupan, 2) perlindungan keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai pengguna

(33)

21

sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan dan 3) pemanfaatan spesies atau ekosistem secara lestari, yang mendukung kehidupan penduduk serta menopang sejumlah industri.

2.6 Zonasi di Taman Nasional Gunung Leuser 2.6.1. Daerah Penyangga / Zona Penyangga

Menurut UU No. 5 Tahun 1990 daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam kawasan pelestarian alam.

Sedangkan menurut definisi PHKA (2008), yang dimaksud daerah penyangga, adalah wilayah yang berada diluar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi, maupun melindungi kepentingan masyarakat.

Manfaat daerah penyangga menurut FORDA (2015) merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi, dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional baik sebagai aset wisata alam, penyangga kawasan konservasi kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat- obatan.

(34)

22 2.6.2. Zona Inti

Bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

2.6.3. Zona Rimba

Bagian wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan

2.6.4. Zona Pemanfaatan

Bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/ jasa lingkungan lainnya.

2.6.5. Zona Tradisional

Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

2.6.6. Zona Rehabilitasi

Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

(35)

23 2.6.7. Zona Religi, Budaya dan Sejarah

Bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

2.6.8. Zona Khusus

Bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian- kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. (RPTN, 2019).

2.7 Ekowisata di Kecamatan Batang Serangan

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Langkat Tahun 2013- 2033, bahwa kawasan pariwisata yang potensial untuk dikembangkan di Kecamatan Batang Serangan adalah sumber air panas Kuala Buluh, Batu Rongring Desa Sungai Musam dan Tangkahan.

(36)

24

Menurut Wiranatha et al. (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan internal sebagai kekuatan di Ekowisata Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok adalah daya tarik wisata, atraksi wisata, aksesibilitas, fasilitas pariwisata, sarana pendukung kawasan pariwisata, SDM pariwisata, persepsi masyarakat, kesadaran pelaku pariwisata dan masyarakat terhadap konservasi alam. Faktor- faktor lingkungan internal sebagai kelemahan adalah pemasaran pariwisata, lembaga terkait pengelolaan pariwisata, penataan kawasan, kemampuan permodalan /investasi masyarakat lokal, kondisi kebersihan dan sanitasi lingkungan, resiko kecelakaan pada aktivitas pariwisata.

Lebih lanjut Wiranatha et al. (2009) menjelaskan faktor-faktor lingkungan eksternal yang menjadi peluang di Ekowisata Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok adalah minat masyarakat untuk berwisata meningkat, tren dunia “back to nature”

kondisi politik dan keamanan (global dan nasional) yang kondusif, peranan pemerintah dalam pengembangan ekowisata (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), kerjasama dengan pihak-pihak lain. Faktor-faktor eksternal yang menjadi ancaman adalah kondisi ekonomi (global dan nasional) yang belum membaik, kurangnya dukungan pihak penyedia jasa perbankan, komunikasi dan listrik pesaing oleh destinasi wisata sejenis, penebangan hutan secara ilegal, dan isu-isu pemanasan global (global warming). Zahedi (2012) mengemukakan bahwa karateristik gua di Kecamatan Bahorok dikategorikan gua ilmiah dengan tingkat kemudahan yang tinggi, masyarakat setempat lebih menghendaki goa-goa dijadikan lokasi wisata petualang dengan harapan mendapat tambahan pendapatan.

(37)

25 2.8 Wisata Minat Khusus

Menurut Anindita (2010) bahwa wisata minat khusus petualangan dapat didefinisikan sebagai bentuk perjalanan wisata yang dilakukan di suatu lokasi yang memiliki atribut fisik yang menekankan unsur tantangan, rekreatif, dan pencapaian keinginan seorang wisatawan melalui keterlibatan/ interaksi dengan unsur alam. Wisatawan yang terlibat dalam wisata minat khusus dapat dibagi menjadi 2 (dua) antara lain:

a. Kelompok Ringan (Soft Adventure): Kelompok yang melihat keterlibatan dirinya lebih merupakan keinginan untuk mencoba aktifitas baru, sehingga tingkat tantangan yang dijalani cenderung pada tingkat ringan sampai rata-rata.

b. Kelompok Berat (Hard Adventure): Kelompok yang memandang keikutsertaannya dalam kegiatan wisata minat khusus petualangan lebih merupakan sebagai tujuan atau motivasi utama, sehingga cenderung mencari produk yang menawarkan tantangan di atas rata-rata.

Berdasarkan pengertian diatas, maka pengertian wisata minat khusus adalah suatu ketertarikan seseorang yang berkaitan dengan hobi dimana wisatawan akan datang ke tempat wisata yang memiliki atribut fisik yang unik.

2.9 Strategi Pengembangan Ekowisata

Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang secara ekonomi menguntungkan (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan (environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) adalah jasa lingkungan ekowisata. Strategi pengembangan ekowisata didesain berdasarkan

(38)

26

hasil analisis tingkat prospektif masing-masing faktor penentu. Untuk dapat menentukan beberapa faktor kunci/ penentu dalam pengembangan ekowisata dan analisis untuk menentukan beberapa faktor kunci dalam pengembangan ekowisata yang dikaji berdasarkan diskusi dengan ahli ekowisata, ahli kelembagaan, dan studi pustaka. (Karsudi et al. 2010)

Menurut Pradana et al. (2013) pengembangan Taman Margasatwa Mangkang Kota Semarang adalah dengan perumusan program-program yang dapat mendukung guna tercapainya strategi yang telah tersusun dalam pengembangan Taman Margasatwa Mangkang Kota Semarang. Strategi tersebut terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Memanfaatkan kesesuaian visi dan misi dengan kondisi kepariwisataan, sebagai landasan untuk menambah daya tarik wisata melalui kondisi ekonomi, sosial budaya yang ada serta adanya komitmen dari stakeholder.

2. Meningkatkan sarana dan prasarana kebersihan tempat wisata serta sosialisasi mengenai kebersihan di tempat wisata.

3. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM dengan memanfaatkan kondisi politik yang stabil.

4. Meningkatkan media informasi yang baik untuk meningkatkan investor.

Menurut Purwanti (2010) bahwa variabel yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan untuk ekowisata adalah faktor kebijakan pemerintah, pemerintah merupakan faktor utama dalam pengembangan ekowisata.

Menurut Dalilla et al. (2013) Strategi pengembangan ekowisata kawasan Mempura Kabupaten Siak Provinsi Riau menyimpulkan beberapa strategi pengembangan yaitu:

(39)

27

1. Meningkatkan pelayanan terkait pariwisata kawasan;

2. Penguatan aspek penataan ruang;

3. Peningkatan sumberdaya manusia dan sarana pariwisata;

4. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat;

5. Peningkatan kegiatan promosi;

6. Meningkatkan pengawasan terhadap kelestarian alam dan budaya;

7. Penguatan aspek pengelolaan kawasan.

Pemerintah Kabupaten Langkat mendukung berkembangnya berbagai potensi ekowisata di Langkat baik di pantai maupun hutan. Batu Katak merupakan salah satu daerah yang akan dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata dengan konsep ekowisata. Hal ini sesuai dengan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Balai Besar TNGL yang menjadikan Batu Katak sebagai salah satu Model Desa Konservasi. (Indarjo Slamet. 2016)

2.10.1 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Sudana (2013) dalam penelitiannya menggunakan analisis faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dalam merumuskan strategi pengembangan Desa Wisata Ekologis di desa Belimbing Kabupaten Tambanan, Bali.

(40)

28

Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan kebijakan perusahaan. Perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (Rangkuti, 2014). Para pakar sependapat bahwa instrument untuk menilai berbagai faktor yang layak dipergunakan yakni analisis SWOT dan pendekatan matriks (Siagian, 2000).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategis. langkah pertama dalam analisis SWOT adalah menentukan indikator-indikator dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman), kemudian melakukan penilaian bobot, rating dan score dari setiap faktor. Bobot ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan atau urgensi penanganan dengan skala 1 sampai 4 (1=tidak penting, 2= agak penting, 3=penting dan 4= sangat penting). Langkah selanjutnya adalah melakukan Analisis strategi faktor-faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary-EFAS) (Rangkuti, 2014).

Dalam analisis SWOT, Rangkuti (2014) menggunakan matriks yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu:

 Strategi SO : Strategi yang dibuat dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang besarnya

 Strategi ST : Strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul

(41)

29

 Strategi WO : Strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada

 Strategi WT : Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman

Langkah-langkah dalam analisis IFAS (Rangkuti, 2014) sebagai berikut:

1. Analisis IFAS dilakukan dengan menghitung bobot dari seluruh indikator dengan menjumlahkan seluruh bobot kemudian dihitung bobot relatif dari masing-masing indikator. Jumlah seluruh bobot relatif dari faktor internal adalah 1 (100%);

2. Menentukan nilai dari rating kekuatan, setiap indikator berdasarkan nilai yang diberikan pada skala 1 sampai 4, nilai 1 kalau lemah (poor), nilai 2 kinerjanya biasa atau sama, nilai 3 atau 4 kalau kuat (oustanding). Rating kelemahan juga diberikan skala 1 sampai 4, nilai 1 apabila kelemahannya semakin besar dan nilai 4 apabila kelemahannya semakin kecil;

3. Perhitungan score adalah dengan mengalikan antara bobot dan rating. Hasil perhitungan dengan angka yang semakin mendekati nilai 4 maka faktor- faktor internal merupakan kekuatan, apabila mendekati angka 1 maka faktor-faktor internal merupakan kelemahan.

Langkah-langkah dalam analisis EFAS (Rangkuti, 2014) sebagai berikut:

1. Analisis EFAS dilakukan dengan menghitung bobot dari seluruh indikator dengan menjumlahkan seluruh bobot kemudian dihitung bobot relatif dari

(42)

30

masing-masing indikator. Jumlah seluruh bobot relatif dari faktor eksternal adalah 1;

2. Menentukan nilai dari rating peluang, setiap indikator berdasarkan nilai yang diberikan pada skala 1 sampai 4, nilai 1 kalau peluangnya kecil sedangkan peluang besar diberi nilai 4. Nilai rating ancaman pada skala 1 sampai 4, nilai 1 untuk ancaman yang besar dan nilai 4 untuk ancaman yang kecil;

3. Perhitungan score adalah dengan mewakilkan antara bobot dan rating. Hasil perhitungan dengan angka yang semakin mendekati nilai 4 maka faktor- faktor eksternal merupakan peluang, apabila mendekati angka 1 maka faktor-faktor eksternal merupakan ancaman.

2.10.2 Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap mengkhususkan pada studi pengkajian secara sistematik area lahan bagi berbagai kebutuhan di masa yang akan datang melalui pengamatan masalah ekologi dan kerjasama lintas disiplin merupakan syarat mutlak untuk bisa sampai kepada produk kebijakan atau tata guna tanah (Hakim, 2012 dalam Nugraha et al. 2015). Menurut Rahantoknam et al. (2012) bahwa dalam pengembangan ekowisata, perlu disediakan ruang, aktifitas dan fasilitas yang mengakomodasi motivasi pengunjung, baik wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.

Arsitektur lanskap bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara yang dibangun dan lingkungan alami. Hal ini membutuhkan pendekatan multi disiplin melibatkan ilmu lingkungan, seni dan ekologi untuk menghasilkan ke arah yang

(43)

31

luar biasa. Merancang arsitektur lanskap harus mempertimbangkan dengan yang ada sekarang (ASLA, 2015).

Menurut Beljai et al. (2014) bahwa perencanaan wisata dapat menggunakan modifikasi Wearing dan Neil (2009) yaitu dengan mengumpulkan data yang meliputi data biofisik lahan, sosial masyarakat sekitar serta obyek dan atraksi wisata alam. Data-data tersebut bersumber dari data primer dan sekunder, yang diperoleh melalui studi pustaka, wawancara dan survei lapangan. Data yang sudah terkumpul sebagai bahan dalam penyusunan penataan lanskap.

Menurut Maryani et al. (2014) pengelolaan lanskap untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini merupakan pegelolaan lanskap dan ekosistem secara eksplisit bersama masyarakat. Konsep yang digunakan adalah keberlanjutan ekologi dan proaktif. Salah satu prinsipnya adalah keterlibatan masyarakat.

(44)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Ekowisata Batu Rongring Desa Sei Musam, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat pada Bulan Juni sampai dengan Juli 2019.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain yaitu: alat tulis, Geography Positioning System (GPS), alat perekam dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: panduan wawancara, program aplikasi Arcgis versi 10.3, peta dari image citra SPOT 4 tahun 2019 dan image Google Earth tahun 2019.

3.3. Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa batasan yaitu:

1. Objek wisata yang telah ada dan akan dikembangkan di Batu Rongring adalah jenis ekowisata yang berada di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Leuser;

2. Perencanaan lanskap yang akan disusun dalam sebuah rencana tertulis dan disajikan dalam bentuk peta rencana pengembangan Ekowisata Batu Rongring sebagai daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Leuser;

(45)

33

3. Strategi merupakan respon secara terus menerus ataupun secara adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi dalam mengembangkan ekowisata;

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data seperti yang dilakukan oleh Ami dan Hamzah (2013) menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara semi terstruktur secara mendalam terhadap key informan (informan kunci), Focus Group Discussion (FGD) sebanyak 1 (satu) kali, studi literatur, dan observasi lapangan

3.4.1. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap masyarakat Batu Rongring, Pemilik Homestay, Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Kesatuan Pemangkuan Hutan Wilayah I Langkat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Biro Perjalanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

3.4.2. Focus Group Discussion

Menentukan indikator dari faktor-faktor tersebut dengan melakukan curah pendapat (brainstorming), setiap peserta menuliskan segala hal yang diketahui tentang ekowisata secara umum dan Ekowisata Batu Rongring khususnya. Hasil brainstorming kemudian didiskusikan untuk dikelompokkan dalam indikator- indikator faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan dan faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Setelah indikator-indikator dari faktor internal dan eksternal diketahui maka setiap peserta melakukan penilaian bobot 1 (tidak penting), 2 (agak penting), 3 (penting) dan 4 (sangat penting) kemudian

(46)

34

masing-masing indikator dihitung bobot relatifnya dan rating 1 (tidak baik), 2 (agak baik), 3 (baik), dan 4 (sangat baik) kemudian dirata-ratakan untuk masing- masing indikator.

3.4.3. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari literatur yang terkait dengan penelitian. Studi literatur dilakukan di perpustakaan USU, perpustakaan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan penelitian- penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal nasional dan internasional melalui internet.

3.4.4. Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan di lokasi penelitian di dusun Batu Rongring, desa Sei Musam, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat. Kegiatan observasi lapangan dilakukan sebelum pengambilan data dilapangan untuk memperkuat hasil wawancara dan studi alternatif. Kegiatan ini dimaksud untuk membuat rencana lanskap awal Pengelolaan Ekowisata Batu Rongring.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal

Analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan ekowisata Batu Rongring dilakukan dengan menggunakan model matriks IFAS-EFAS sehingga menjadi acuan dalam penyusunan strategi dan kebijakan.

(47)

35 3.5.2. Analisis SWOT

Matrik SWOT dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan posisi kondisi saat ini dan strategi pengembangan Ekowisata Batu Rongring. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi dengan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dalam pengembangan Ekowisata Batu Rongring, sehingga dari analisis tersebut dan hasil wawancara dengan berbagai pihak dapat diambil suatu rekomendasi untuk alternatif-alternatif strategi. Analisis ini akan menghasilkan 4 (empat) buah alternatif strategi SO, WO, ST, SW.

3.5.3. Alternatif-Alternatif Strategi

Menurut Khoiri et al. (2014) alternatif-alternatif strategi disusun berdasarkan hasil sintesis antara kekuatan dengan peluang (S-O), kekuatan dengan ancaman (S-W), kelemahan dengan peluang (W-O) dan kelemahan dengan ancaman (W-T). pembobotan dilakukan dengan menjumlahkan bobot setiap faktor yang digunakan untuk satu alternatif strategi, semakin tinggi bobot semakin menjadi prioritas.

3.5.4. Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap dilakukan untuk memelihara dan menjaga karakter alam sekaligus menjadikan alam tersebut memiliki manfaat keindahan dan keunikan untuk kehidupan manusia. Menurut Gold (1980), perencanaan lanskap adalah penyesuaian antara lanskap dan program yang akan dikembangkan untuk

(48)

36

menjaga kelestarian ekosistem dan pemandangan lanskap sehingga mencapai penggunaan terbaik.

Perencanaan lanskap dituangkan dalam Peta Dasar, Peta Administratif, Peta Topografi dengan menggunakan image citra SPOT 4 Tahun 2012 dan diolah dengan program Arcgis versi 10.3 dan Google Earth Image 2019 yang ada di Kantor Balai Besar TNGL di Medan.

3.5.5. Strategi (SWOT)

Tahap pertama yaitu pengumpulan data. Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan mengumpulkan data, tetapi juga merupakan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Tahap pengumpulan data dapat dibagi menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Ekowisata Batu Rongring dan wawancara yang dilakukan terhadap stakeholder yang dipilih secara purposive sampling yaitu; 1) BBTNGL Provinsi Sumatera Utara, 2) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Wil. I Langkat, 3) Lembaga Pariwisata (Relasi) Batu Rongring, maka dapat disusun matrik faktor strategi internal (Internal Strategic Factors Analysis (IFAS) (Tabel 3.1)

Tabel 3.1. Matriks Faktor Strategi Internal Ekowisata Batu Rongring

Variabel Bobot Rating Bobot x Rating

Kekuatan:

Sub Total Kekuatan Kelemahan:

Sub Total Kelemahan TOTAL

Sumber: Rangkuti (2014)

(49)

37

Seperti halnya matriks IFAS, matriks EFAS juga diperoleh dari hasil pengamatan di Batu Rongring dan wawancara yang dilakukan terhadap stakeholder yang dipilih secara purposive sampling yaitu; 1). BBTNGL Provinsi Sumatera Utara, 2) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Wil. I Langkat, 3) Lembaga Pariwisata (Relasi) Batu Rongring. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara tersebut maka disusun matriks faktor strategi eksternal (External Strategic Factors Analysis atau EFAS) (Tabel 3.2).

Tabel 3.2. Matriks Faktor Strategi Eksternal Batu Rongring

Variabel Bobot Rating Bobot x Rating

Kekuatan:

Sub Total Kekuatan Kelemahan:

Sub Total Kelemahan TOTAL

Sumber: Rangkuti (2014)

Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup obyek wisata Batu Rongring, maka tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Model kuantitatif tersebut diperoleh dengan melakukan pengurangan antara jumlah sub total faktor kekuatan dengan kelemahan (yang

KELEMAHAN

PELUANG

KEKUATAN

ANCAMAN

Kuadran I

Kuadran II Kuadran IV

Kuadran III

(50)

38

selanjutnya akan menjadi titik pada sumbu X) dan jumlah sub total faktor peluang dengan ancaman (yang selanjutnya akan menjadi titik pada sumbu Y) (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Diagram Analisis SWOT (Sumber: Rangkuti 2014)

Kuadran I : Merupakan situasi yang menguntungkan. Suatu kawasan memiliki peluang dan kekuatan, sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada

Kuadran II : Meskipun menghadapi ancaman, suatu kawasan masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus dipilih adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang yakni dengan cara diversifikasi.

Kuadran III : Suatu kawasan mempunyai peluang yang sangat besar, namun disaat yang bersamaan juga menghadapi kelemahan dari segi internal. Focus strategi kawasan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internalnya, sehingga perusahaan tersebut dapat merebut peluang yang lebih baik.

Kuadran IV : Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan karena suatu kawasan menghadapi berbagai ancaman dari faktor eksternal dan juga memiliki kelemahan dari sisi internal.

Adapun strategi yang dapat diterapkan dalam kondisi seperti ini adalah strategi defensive dalam arti mengurangi atau merubah bentuk keterlibatan suatu kegiatan wisata yang dijalankan pada

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 3.2. Matriks Faktor Strategi Eksternal Batu Rongring
Gambar 4.1. Lokasi Penelitian Dusun Penampean Ekowisata Batu Rongring
Gambar  4.2.  Lokasi  pondok  masyarakat  setelah  jalur  hijau  (Green  Belt)  alur  sungai Sei Musam
+7

Referensi

Dokumen terkait

lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur gedung secara keseluruhan. 5) Sistem struktur gedung tidak

Lancar : Apabila peserta didik dapat menceritakan kisah keteladanan Nabi Adam dengan lancar., akan tetapi masih ada kesalahan satu kalimat.. Sedang : Apabila peserta didik

[r]

[r]

atau orang yang ditugaskan oleh direktur/pimpinan perusahaan dengan membawa surat tugas dari direktur/pimpinan perusahaan dan kartu pengenal. Demikian disampaikan, atas

• Pasal 263 ayat (3) UU Pemda “RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran,

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo adalah hampir setengahnya baik, sedangkan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi yang nyata (P<0,05) antara legum dengan taraf cekaman kekeringan terhadap produksi bahan kering legum Stylosanthes guianensis dan