• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi jika berbicara era modern dewasa ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok atau lebih, tidak jarang mengalami eskalasi dan harus diselesaikan dengan cara kekerasan seperti perang. Internal Conflict (konflik internal) seperti ini tentu memiliki metode tersendiri dalam penyelesaiannya. Begitu pula dengan konflik- konflik lainnya seperti konflik internasional yang terjadi antara dua negara atau lebih. Konflik Internal sebuah negara adalah salah satu kasus yang sering terjadi bahkan di era modern seperti saat ini.

Pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan merupakan sebuah dinamika yang sering ditemui jika berbicara dalam konteks hubungan internasional. Rivalitas politik yang menghasilkan sebuah pihak kalah, tentu akan berakibat fatal terhadap pihak-pihak lainnya yang merasa dirugikan. Keadaan tersebut biasa menjadi latar belakang dari penggunaan coercive action (tindakan koersif) atau penggunaan kekerasan agar kepentingan pihak-pihak tersebut bisa terealisasi.

Kasus pemberontakan dalam sebuah negara terhadap sebuah pemerintahan merupakan kasus yang kerap terjadi di Negara-negara Afrika. Afrika sebagai sebuah benua yang dianggap paling tertinggal dalam konteks perkembangan di masa kini, masih dihadapkan dengan penyelesaian konflik melalui kekerasan yang tidak jarang

(2)

2 menghasilkan melayangnya nyawa rakyat yang menjadi korban dari konflik itu sendiri. Terdapat banyak kasus di Afrika, bisa dilihat di Sudan dengan konflik antara agama Islam dan Kristen, di Somalia dengan kasus perompak Somalia, hingga ke Zimbabwe dengan pemerintahan seorang diktator bernama Robert Mugabe yang kerap menjadi fokus internasional terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia. Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut telah berlangsung selama waktu yang tidak singkat, termasuk sebuah konflik yang bermula di Uganda Utara, disebabkan oleh kelompok yang disebut sebagai Lord’s Resistance Army (Tentara Pertahanan Tuhan).1

Kelompok Lord’s Resistance Army merupakan sebuah kelompok militan yang hingga kini belum juga mendapatkan cukup perhatian internasional.

Pelanggaran hak asasi manusia secara masif yang dilakukan kelompok ini-lah yang akhirnya membedakan Lord’s Resistance Army dengan kelompok-kelompok militan dan pemberontak lainnya yang bertahan hingga kini. Pemerkosaan, pembunuhan, dan yang paling parah adalah pemaksaan anak-anak untuk menjadi bagian dari Lord’s Resistance Army merupakan beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang hingga kini terus dilakukan oleh kelompok LRA ini.2 Ideologi yang diterapkan oleh Lord’s Resistance Army sangat unik, dan dapat dikaji dari segi historis, dan lebih spesifik melalui pemahaman akan masalah politik di Uganda. Kerumitan banyak terjadi dalam menganalisa kelompok Lord’s Resistance Army ini sebab LRA di satu

1 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations; Theories and Approaches 3rd edition, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 101.

2 The Lord’s Resistance Army. http://www.globalsecurity.org/military/world/para/lra.htm. Diakses tanggal 10 November 2012.

(3)

3 sisi dapat dikatakan sebagai sebuah kelompok separatis, dan bahkan kelompok teroris modern.3

Tahun 1987 menjadi awal munculnya kelompok Lord’s Resistance Army.

Kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok etnis yang ada di Uganda, menginspirasi seorang Joseph Kony untuk membawa keadilan kembali di Uganda melalui kekuatan yang menurutnya diberikan langsung oleh tuhan. Joseph menyebut dirinya seorang nabi, yang diberikan kewajiban oleh tuhan untuk membawa restorasi politik dan perdamaian di Uganda melalui kekerasan, yang kala itu di Uganda, dihadapkan dengan banyak masalah.4

Sejak saat itu, kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) yang telah bertahan selama 25 tahun lebih itu tidak pernah kehilangan akal dalam memberi terror kepada rakyat Uganda. Permasalahan dalam memahami LRA adalah tujuan dari kelompok Lord’s Resistance Army itu sendiri. Kepentingan kelompok Lord’s Resistance Army yang cenderung dinamis seiring dengan waktu, menjadi penghambat utama bagi beberapa aktor yang ingin bernegosiasi dengan kelompok yang telah membunuh hingga ribuan warga ini. Beberapa pemerintahan yang mendapat dampak langsung dari Lord’s Resistance Army seperti Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo hingga kini selalu menemui kesulitan. Jumlah warga yang diperkirakan meninggal akibat konflik dengan kelompok Lord’s Resistance Army ini di tahun 2008-2011 sebanyak

3 Walter Laquer, New Terrorism; Fanaticism and Weapons of Mass Destruction, Oxford University Press, New York, 1999, hal. 262.

4 Background: Lord’s Resistance Army, http://www.guardian.co.uk/katine/2007/oct/20/about.uganda.

Diakses tanggal 18 November 2012.

(4)

4 2.400 orang.5 Organisasi internasional juga hingga kini menemui banyak kesulitan dalam mengatasi masalah ini, terutama Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Internasionalisasi konflik yang terjadi bermula saat LRA dan pemerintahan Uganda sama-sama menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian di tahun 2006.

Perjanjian tersebut disebut sebagai Juba Talks dan berlangsung hingga 2008.6 Juba talks ternyata hanya digunakan oleh LRA untuk melarikan diri dari Uganda, menuju perbatasan dari negara Sudan Selatan, Congo, dan Republik Afrika Tengah.

Penyebaran tersebut hingga kini membawa ancaman kepada keempat negara tersebut.

Kebijakan-kebijakan dari berbagai aktor internasional telah berupaya menyelesaikan masalah LRA ini. Kebijakan yang dikeluarkan Uni Afrika misalnya yang akan merencanakan pengiriman 5,000 pasukan menuju perbatasan-perbatasan di negara-negara yang mendapatkan dampak LRA di pertengahan tahun 2012 dianggap sebagai salah satu solusi yang komprehensif dalam pemberantasan LRA.7 Masalah yang muncul adalah komitmen dari empat negara yang mendapat pengaruh LRA tersebut, yakni Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo, dalam pemberantasan kelompok tersebut. Perlawanan militer telah dilakukan, namun signifikansi dari komitmen negara menyebabkan hasil yang didapatkan tidak maksimal, dan malah memberikan lebih banyak waktu bagi Joseph Kony untuk merekrut lebih banyak warga untuk bergabung dalam LRA ini.

5 Key Statistics, http://theresolve.org/key-statistics. Diakses tanggal 15 November 2012.

6 Adam Branch, Displacing Human Rights: War and Intervention in Northern Uganda, Oxford University Press, New York, 2011, hal.30.

7 Ibid

(5)

5 Permasalahan utama lainnya yang muncul adalah kurangnya koordinasi negara- negara tersebut dengan sesama negara dan organisasi-organisasi internasional yang terkait.

Kenyataan ini sangat tidak rasional, melihat urgensi yang dibawa oleh kelompok LRA tersebut. Salah satu cara mengatasi kelompok pemberontakan adalah mengetahui motif dari kelompok tersebut, yang ingin mereka perjuangkan hingga mati. Pemahaman akan motif dari kelompok pemberontak, akan membawa berbagai aktor untuk mengatasi pemberontak tersebut dengan cara mediasi konflik, yang berusaha menyatukan kepentingan dari aktor pemberontak, dan aktor-aktor berkepentingan lainnya. LRA mampu bertahan hingga sekarang sebab keunikan motif yang dimilikinya, yang dapat dikategorisasikan menjadi 2 bagian, yaitu motif internal dan eksternal. Motif ini-lah yang membuat LRA mampu bertahan hingga sekarang.

Motif internal menjadi motif yang paling mengerikan dalam LRA ini.

Seringkali kelompok LRA melakukan kekerasan dan pembunuhan massal di desa- desa terpencil yang terletak di empat negara korban LRA. Alasan pembunuhan massal tersebut daripada eksternal, sebenarnya merupakan motif internal.

Kenyataan bahwa mayoritas kekuatan LRA merupakan hasil dari penculikan, maka LRA menggunakan sebuah mekanisme doktrinasi melalui ketakutan, guna membangun yang namanya kesetiaan dalam kelompok LRA ini.

Seringkali kita temui bahwa kelompok LRA melakukan kekerasan bahkan terhadap anggota LRA itu sendiri. Motif dibalik tindakan tersebut juga merupakan motif internal yang bertujuan membangun sebuah rasa takut. Akan tetapi, tujuan

(6)

6 kekerasan dalam internal LRA adalah memberikan contoh kepada seluruh anggota LRA, bahwa siapapun yang ingin melakukan pemberontakan terhadap kelompok LRA, akan mendapatkan hal yang sama dengan apa yang dialami anggota LRA yang disiksa ini. Banyaknya anggota LRA yang merupakan child soldier (tentara anak-anak), maka mekanisme menakuti yang diterapkan LRA sangat mempan dalam membangun ketakutan, sekaligus loyalitas dalam diri anggota LRA itu sendiri. Meskipun tidak begitu terlihat, terdapat usaha dari berbagai aktor dalam penyelesaian kasus LRA ini di tingkatan internasional, misalnya oleh organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi yang sejak berdiri di tahun 1945, menjadi harapan dunia internasional agar terdapat penyelesaian konflik yang damai. PBB telah berusaha melakukan berbagai mekanisme yang dianggap mampu mengurangi kekuatan dari Lord’s Resistance Army itu sendiri.

Perpanjangan dan penambahan mandat yang diberikan kepada MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo) yang merupakan sebuah misi pasukan perdamaian PBB dalam mengatasi perang sipil di Congo adalah salah satu pendekatan militer yang telah dilakukan PBB.8

PBB dianggap sebagai salah satu organisasi yang memiliki kewajiban dalam merespon masalah yang terjadi akibat eksistensi LRA. Dalam mengatasi berbagai kasus konflik yang ada, PBB membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai

8 United Nations Department of Public Information, Basic Facts About the United Nations, United Nations Publication, New York, 2011, hal. 75.

(7)

7 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menerapkan mekanisme penyelesaian konflik.

Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) terdiri atas 15 negara, dan 5 negara diantaranya memiliki hak veto yang merupakan hak untuk menolak sebuah resolusi secara langsung, tanpa adanya diskusi terlebih dahulu oleh forum Dewan Keamanan. Berbagai konflik telah diatasi oleh PBB dalam bentuk mandat Peacekeeping maupun secara Humanitarian intervention di beberapa negara Afrika, yang memang dianggap sebagai benua dimana konflik merupakan hal yang lazim terjadi. Kasus LRA yang jelas merupakan bukan hanya sebuah ancaman internal sebuah negara, namun merupakan sebuah ancaman keamanan regional (akibat pengaruh yang diberikan kepada empat negara), maka tentunya PBB melalui lembaga seperti Dewan Keamanan PBB, memiliki tanggung jawab yang besar dalam penyelesaian konflik LRA itu sendiri.

Kerjasama yang intensif melalui pemberian intelijen dan arahan kepada Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari LRA ini adalah salah satu solusi lainnya yang telah dilakukan oleh PBB. Pertanyaan paling besar yang muncul adalah signifikansi solusi yang telah diberikan oleh PBB tersebut dalam pemberantasan LRA secara keseluruhan, berdasarkan analisa kebijakan berbagai badan PBB dalam beberapa tahun terakhir ini. Analisa kebijakan PBB perlu dilakukan dalam menganalisa signifikansi dari kehadiran PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki obligasi untuk menciptakan perdamaian dunia, dan mengupayakan mekanisme-mekanisme dalam menciptakan perdamaian tersebut.

(8)

8 Urgensi dari pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army ini sebenarnya sudah terlihat dari puluhan tahun lalu, ketika Lord’s Resistance Army melakukan pembantaian secara berkelanjutan di berbagai desa di Uganda Utara.

Masalah akan tetapi tidak berhenti disitu, sebab di masa kini perkembangan Lord’s Resistance Army sangat pesat. Internasionalisasi konflik yang melibatkan Lord’s Resistance Army dan beberapa negara yang terletak di wilayah tengah Benua Afrika menjadi salah satu contoh mengapa masalah Lord’s Resistance Army ini harus diselesaikan secepatnya. Dampak dari Lord’s Resistance Army kini tidak hanya dirasakan di Uganda, namun telah menyebar ke tiga negara tetangga dari Uganda, sehingga membuat masalah lebih rumit, serta kemungkinan lebih banyak rakyat yang menjadi korban juga semakin meningkat.9

Penelitian akan secara khusus difokuskan pada beberapa hal. Penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang berbagai kontribusi yang diberikan PBB dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army dalam bentuk apapun. Penelitian ini juga akan menganalisa kendala yang dihadapi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok tersebut dari tahun 2008 hingga 2012, mengingat berbagai dinamika yang terjadi antara Perserkiatan Bangsa-Bangsa dan kelompok LRA tersebut.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penulis akan meneliti lebih dalam tentang aktor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih spesifik terhadap badan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika. Penulis akan

9 Ibid, hal. 76.

(9)

9 tetapi juga akan mendeskripsikan hubungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan berbagai aktor seperti Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari perbuatan-perbuatan Lord’s Resistance Army seperti Republik Afrika Tengah, Republik Demokratis Congo, Sudan Selatan, dan Uganda.

Eskalasi konflik terjadi pada tahun 2008 akibat kegagalan dari forum negosiasi Juba Talks. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus Lord’s Resistance Army ini juga terlihat mulai di tahun 2008. Penulis karena hal tersebut, akan membatasi waktu dari tahun 2008 hingga 2012 berbicara tentang tindakan- tindakan yang telah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok tersebut. Penulis juga meneliti kendala yang dihadapi dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army.

Untuk itu, penulis merumuskan dua pertanyaan penelitian sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008-2012?

2. Bagaimana kendala Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008- 2010?

(10)

10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa dalam pemberantasan Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008- 2012.

2. Untuk mengetahui kendala Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008-2010.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi bahan kajian bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang, khususnya bagi pemerhati masalah konflik internasional dan yang tertarik untuk menganalisis kelompok Lord’s Resistance Army serta kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa di masa yang akan mendatang.

2. Sebagai referensi tambahan bagi pengkaji konflik internasional khususnya mengeni kelompok Lord’s Resistance Army.

(11)

11 D. Kerangka Konseptual

Benua Afrika merupakan benua yang dipenuhi oleh banyak konflik yang disebabkan oleh beragam hal. Konflik antar etnis, hingga konflik memperebutkan sumber daya alam sebuah negara kerap menjadi alasan utama terjadinya konflik- konflik tersebut. Motif yang biasanya menjadi latar belakang konflik di Afrika tidak terjadi dalam kasus Lord’s Resistance Army yang memiliki tujuan yang sangat berbeda dengan kelompok pemberontak pada umumnya. Sejak tahun 2000an, kelompok ini menjadi pusat perhatian banyak pemerhati hak asasi manusia, dan organisasi internasional terbesar di masa kini, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Organisasi Internasional menurut Cheever dan Haviland adalah pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik melalui peretemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala.10 Terdapat dua macam organisasi internasional secara umum, yakni IGO (Intergovernmental Organization) dan INGO (International Nongovernmental Organization).11

Pendekatan Liberal merupakan awal mula fokus dunia internasional terhadap aktor-aktor seperti organisasi internasional. Ide tersebut pertama dikemukakan oleh Haas (paradigma liberalism institusionalisme). Liberal Institusionalisme menyatakan bahwa adanya ketidakmampuan pemerintah negara dalam memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada warga negara tersebut. Organisasi internasional memiliki

10 John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; An Introduction to

International Relations, Oxford University Press, New York, 2001, hal. 185.

11 Ibid

(12)

12 obligasi moral dalam menutupi kekurangan tersebut, melalui optimalisasi organisasi internasional yang mampu fasilitasi kepentingan nasional bersama.12

Pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi internasional seperti PBB melewati berbagai tahapan yang tidak terlepas dari kepentingan nasional negara- negara. Sebuah negara tentu sangat membutuhkan kehadiran dari sebuah organisasi internasional dalam keadaan dimana negara tersebut tidak mampu menyelesaikan sebuah masalah (isu politik, ekonomi, atau isu lainnya) tanpa bantuan aktor tersebut.13 Masalah yang utama dihadapi oleh negara-negara adalah dalam merealisasikan sebuah bantuan dengan organisasi internasional, negara memiliki obligasi untuk menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada organisasi internasional tersebut. Hal tersebut terjadi sebab dalam memberikan asistensi, organisasi internasional pasti akan melakukan sidang yang nantinya akan menentukan bentuk asistensi yang diberikan.

PBB merupakan organisasi internasional terbesar saat ini, dan melalui Dewan Keamanan PBB, PBB ini diharapakan mampu membawa perdamaian di tempat- tempat berkonflik yang ada di dunia. Kasus Lord’s Resistance Army yang terjadi di Uganda tahun 1980an merupakan salah satu tanggung jawab dari PBB, mengingat adanya ketidakmampuan pemerintahan Uganda dalam menyelesaikan masalah tersebut.14 PBB tentunya memiliki banyak srategi dalam pemberantasan kelompok

12 John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; An Introduction to International Relations, Oxford University Press, New York, 2001, hal. 190.

13 Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of International Relations, ST. Martin’s Press, New York, 2009, hal. 98.

14 New UN Report Highlights Lord’s Resistance Army Atrocities Against Children,

http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=42163&Cr=LRA&Cr1. Diakses tanggal 20 November 2012.

(13)

13 tersebut, namun efektifitas masih banyak dipertanyakan. Salah satu penghambat paling besar bisa dilihat dari berbagai prosesi pengambilan keputusan yang rumit, serta adanya kooperasi yang kurang dengan organisasi internasional lainnya seperti African Union (Uni Afrika) dan Negara-negara anggota PBB lainnya. Kenyataan tersebut membuat penyelesaian konflik semakin kompleks, mengingat dibutuhkannya resolusi dan mekanisme penyelesaian konflik dalam kasus ini.

Perbedaan merupakan hal yang mendasari konflik apapun yang ada. Konflik merupakan perbedaan dalam hal sosio-kultural, politik, ataupun ideologi sehingga membuat seseorang atau kelompok melakukan perlawanan dimana salah satu bentuknya adalah melalui kekerasan.15 Konflik dalam konteks hubungan internasional dapat dipecahkan dalam dua kategori, yaitu external conflict, dan internal conflict.

Perbedaan keduanya pada dasarnya hanya terletak pada tingkatan dari konflik tersebut, dimana ada konflik yang berlangsung di dalam sebuah negara, dan konflik yang terjadi antar negara.16

Berbagai macam konflik tentunya membutuhkan mekanisme resolusi konflik yang berbeda. Mekanisme resolusi konflik yang tepat dibutuhkan agar tidak terjadi eskalasi konflik dan konflik bisa dipecahkan dengan cepat. Terdapat beberapa konflik yang membutuhkan mediator dalam penyelesaiannya, bahkan ada pula yang membutuhkan sebuah tindakan koersif.

15 Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, SAGE Publications Ltd., London, 2008, hal. 5.

16 Conflict. http://oxforddictionaries.com/definition/english/conflict. Diakses tanggal 20 November 2012.

(14)

14 Kasus LRA merupakan sebuah konflik yang sangat unik. Keunikan motif yang awal mulanya merupakan motif freedom fighters dengan penerapan ideologi Kristen sebagai sebuah negara, kini berubah menjadi motif untuk bertahan hidup.

Berbagai penyerangan yang bersifat Hit and Run yang dilakukan oleh LRA, merefleksikan bahwa walaupun kelompok ini ingin bertahan hidup, LRA masih mampu memberikan ancaman besar bagi dunia internasional.

Johan Galtung menjelaskan di tahun 1960an mengenai asymmetric conflict dan symmetric conflict. Asymmetric Conflict merupakan konflik yang terjadi antara aktor yang memiliki kekuatan tidak imbang, misalnya konflik antara mayoritas dan minoritas, antara sebuah pemerintahan dan kelompok separatis. Symmetric Conflict merupakan konflik diantara dua aktor yang tidak memiliki sumber daya yang signifikan.17 LRA dapat dikategorikan sebagai asymmetric conflict. Galtung kemudian menjelaskan bahwa dalam resolusi konfliknya, beberapa perubahan perlu dilaksanakan yakni de-eskalasi konflik, dan upaya transformasi hubungan dan kepentingan yang bertabrakan antar aktor yang berkonflik.

Berbagai tahapan terjadinya sebuah konflik, membuat resolusi konflik sendiri menjadi lebih rumit. Konflik yang terjadi pada kasus LRA merupakan konflik yang kini memasuki fase konflik aktif. Spesifik apabila berbicara masalah konflik aktif, penyelesaiannya apabila negosiasi dan diplomasi telah gagal, hanyalah melalui metode war limitation yang berarti berbagai aktor diharapkan untuk melakukan

17 Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution, Polity Press, Cambridge, 2011, hal. 10.

(15)

15 penerapan perdamaian, serta pengiriman pasukan untuk mendukung prosesi perdamaian dan stabilisasi. Resolusi Konflik dalam penerapannya, dapat menerapkan beberapa metode, termasuk penyelesaian konflik oleh beberapa aktor, yang biasa disebut sebaga Collective Security.

Collective Security merupakan perjanjian dimana setiap negara dalam sistem, menyetujui bahwa sebuah masalah keamanan merupakan masalah bersama, serta menyetujui sebuah respon secara kolektif dalam menghadapi agresi.18 Menurut mantan presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, sebuah kerjasama militer dibutuhkan dalam penyelesaian sebuah konflik. Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa merupakan latar belakang pernyataan dari Woodrow tersebut, dengan harapan bahwa Liga Bangsa-Bangsa secara ideal, diobligasikan untuk menyelesaikan sebuah perang dengan cara kekerasan. Liga Bangsa-Bangsa pada akhirnya gagal disebabkan oleh kerasnya kepentingan nasional beberapa negara, yaitu kegagalan Liga Banga-Bangsa dalam menarik negara-negara besar waktu itu. Istilah Collective Security akan tetapi masih digunakan dalam penyelesaian sebuah kasus konflik yang melibatkan kerjasama beberapa negara di dalamnya (misalnya NATO).19

Bentuk dari Collective Security sangat beragam. Collective Security dapat berbentuk sebuah system aliansi keamanan, dimana Negara-negara bergabung sebagai respon terhadap sebuah masalah eksternal yang spesifik. Era modern seperti ini, istilah Collective Security dapat menjelaskan mengapa beberapa negara

18 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: Key Concepts, Routledge, London, 2002, hal. 131.

19 Ibid

(16)

16 menggabungkan kekuatan militernya, untuk menghadapi sebuah ancaman keamanan yang dihadapi oleh beberapa negara tersebut. North Atlantic Treaty Organization merupakan salah satu organisasi Collective Security yang ada hingga kini, namun kini banyak terlihat Negara-negara yang melakukan aplikasi Collective Security untuk mengatasi beberapa kasus saja (bersifat sementara) dan ada pula yang langsung merupakan mandat dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Konsep Collective Security akan digunakan dalam menganalisa berbagai perkembangan Collective Security dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army oleh beberapa aktor. Keamanan kolektif telah dilaksanakan oleh negara-negara yang langsung mendapatkan dampak dari konflik LRA tersebut. Analisis lebih dalam akan dilakukan mengenai tingkat kesuksesan dari kerjasama tersebut, serta kaitan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengoptimalkan usaha Collective Security tersebut. Kerjasama yang dilakukan oleh Congo, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Uganda juga dikaitkan dengan organisasi internasional selain PBB, yaitu Uni Afrika. Hasil analisis tersebut digunakan dalam melihat sedalam apa kontribusi PBB dalam pemberantasan kelompok LRA tersebut, serta hambatan apa yang dihadapi selama beberapa tahun terakhir.20

Kunci dari kesuksesan Collective Security adalah kepentingan nasional yang sama dalam menghadapi sebuah ancaman eksternal. PBB sebagai organisasi internasional yang berkomitmen dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada hingga kini, perlu dianalisa perannya dalam menyatukan kepentingan nasional dalam

20 Ibid

(17)

17 upaya menghadapi kelompok LRA ini. Kompleksitas kepentingan nasional yang terdapat dalam PBB juga akan menjadi pertimbangan analisa dalam penelitian penulis, dimana faktor yang mampu memberi akselerasi terhadap sebuah resolusi konflik adalah kepentingan-kepentingan nasional yang terdapat dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Spesifik akan lebih banyak dibahas malasah forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Konsep Organisasi Internasional, Resolusi Konflik, dan Collective Security akan digunakan dalam menganalisa peranan PBB dalam kasus Lord’s Resistance Army. Ketiga konsep akan digunakan dalam mendapatkan jawaban terhadap aktor yang paling bertanggung jawab, dan resolusi yang tepat diterapkan seperti apa.

Konsep tersebut akan penting dalam mendalami rumusan-rumusan masalah yang telah dibatasi oleh penulis sebelumnya. Namun, tujuan utama dari konsep-konsep tersebut adalah penyelesaian konflik yang terjadi akibat eksistensi dari kelompok Lord’s Resistance Army tersebut.

E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif, dimana metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta dari usaha pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2. Jenis dan Sumber Data

(18)

18 Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder, yang diperoleh dari berbagai literature dan hasil olahan yang diperoleh dari berbagai sumber.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah telaah pustaka (Library Search) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. Bahan-bahan tersebut akan dikumpulkan dari tempat-tempat berikut ini:

a. Center for Strategies and International Studies (CSIS) di Jakarta.

b. United Nations Information Center (UNIC) di Jakarta.

c. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin d. Perpustakaan Fisip Unhas

4. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, dengan menganalisa kemudian disimpulkan sedangkan data kuantitatif digunakan sebagai data pelengkap untuk menjelaskan data kualitatif.

5. Metode Penulisan

(19)

19 Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.

(20)

20 BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Organisasi Internasional

Negara dalam konteks hubungan Internasional merumuskan berbagai kebijakan luar negeri untuk mencapai yang disebut national interest (kepentingan nasional). Dalam mencapai kepentingan nasional sebuah negara, negara terlebih dahulu perlu mengetahui dan mengukur kemampuan dari negara sendiri. Seringkali negara tidak mampu untuk memenuhi kepentingan nasionalnya secara independen, sehingga membutuhkan aktor-aktor negara lain yang dianggap mampu membantu negara tersebut dalam pencapaian kepentingan nasionalnya. Keadaan tersebut yang menjadi faktor utama sebuah negara menjadi anggota berbagai organisasi internasional, yang kemudian akan menjadi bagian dari kerjasama multilateral melalui perjanjian-perjanjian internasional.

Organisasi Internasional dibentuk berdasarkan kepentingan nasional negara- negara yang menjadi anggota. Hal ini terjadi karena organisasi internasional dalam pengambilan keputusannya, akan ditentukan oleh hasil dari negosiasi para anggota organisasi internasional tersebut. Negara yang tidak mampu menyelesaikan atau memenuhi kepentingan nasionalnya secara independen akan menjadi bagian dari organisasi internasional tersebut setelah menyetujui secara internal negara, bahwa merupakan sebuah urgensi untuk menjadi bagian dari organisasi internasional

(21)

21 tersebut. Sekilas dapat disimpulkan bahwa organisasi internasional merupakan sebuah lembaga yang akan selalu menguntungkan negara, sebab tujuan untuk membantu kepentingan nasional negara. Namun, sering terlihat bahwa negara menjadi anggota beberapa organisasi internasional, dan juga menolak keanggotaan sebuah organisasi internasional lainnya dengan berbagai alasan.

Menyerahkan kedaulatan negara kepada forum internasional dari organisasi internasional tersebut, menjadi faktor utama hal tersebut. Kedaulatan dapat didefinisikan sebagai hak yang dimiliki aktor negara untuk menentukan arah kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.21 Dalam pengambilan keputusan sebuah organisasi internasional, proses tersebut akan meghilangkan sebagian dari kedaulatan negara. Keadaan ini terjadi sebab negara tidak lagi memiliki otoritas untuk sepenuhnya menentukan arah kebijakan terhadap negerinya, akan tetapi ditentukan oleh forum dari organisasi internasional tersebut, yang tentunya terdiri atas beberapa negara anggota. Tentunya ini merupakan keadaan modern dari dinamika hubungan internasional, tidak seperti masa sebelum perang dunia II, dimana negara memutuskan apapun tanpa intervensi pengambilan keputusan, yang diakibatkan oleh ketidakhadiran organisasi internasional.

Adapun sejarah dari organisasi internasional tersebut, dapat dilihat dalam konsep Liberal Institusionalisme yang dibentuk pada masa-masa setelah kejatuhan dari Liga Bangsa-Bangsa. Pasca keruntuhan Liga Bangsa-Bangsa, beberapa pendapat

21 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: The Key Concepts, Routledge, London, 2002, hal. 316.

(22)

22 muncul untuk mendirikan organisasi lainnya, yang memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan Liga Bangsa-Bangsa sebelumnya. Menurut Haas, institusi regional dan nasional merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi negara-negara yang mulai memiliki kapasitas menjalankan fungsi negara berkurang.22 David Mitrany, seorang ahli dalam konsep integrasi, menyatakan bahwa kerjasama transnasional dibutuhkan dalam penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di tahun 1940an tersebut. David Mitrany juga mengemukakan tentang konsep Ramification, dimana kerjasama di sebuah sektor, akan membuat pemerintahan untuk mengembangkan kerjasama dalam bidang-bidang lainnya.23

Liberal Institusionalisme menjelaskan banyak tentang keuntungan dari sebuah organisasi internasional. Masa di tahun 1940an menjadi awal mula pendapat yang menyatakan pentingnya organisasi internasional untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh aktor negara itu sendiri. Dalam perkembangan dinamika hubungan internasional, terbukti bagaimana pentingnya liberal institusionalisme dalam pembentukan berbagai peran masif beberapa organisasi internasional dalam penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan umum yang tidak mampu diselesaikan oleh aktor negara itu sendiri.

Definisi universal dari organisasi internasional sangat sulit untuk didefinisikan. Dalam sebuah sisi, organisasi internasional dapat diartikan sebagai Intergovernmental Organization (organisasi internasional antar pemerintah), namun

22 John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; Second Edition, Oxford University Press Inc., New York, 2001, hal.169.

23 Ibid, hal. 171.

(23)

23 dapat juga diartikan sebagai organisasi non-pemerintah yaitu NGO (Non- Governmental Organization). Meskipun demikian, penulis akan menggunakan definisi organisasi internasional yang berdasarkan organisasi antara pemerintahan negara. Organisasi Internasional merupakan wadah negara-negara dalam menjalankan tugas bersama, baik dalam bentuk kerjasama yang sifatnya koordinatif maupun subordinatif. Definisi tersebut merupakan karakterisasi umum dari sebuah organisasi internasional, apabila dilihat dari fungsi dan tujuan dari organisasi internasional tersebut. Organisasi Internasional menurut Cheever dan Haviland adalah pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala.

Namun sekarang tujuan berdirinya sebuah organisasi internasional sangat beragam, sehingga secara umum organisasi internasional memiliki beberapa ciri yang disebutkan oleh Leroy Bennet24, yaitu:

1. A permanent organization to carry on a continuing set of functions;

2. Voluntary membership of eligible parties;

3. Basic instrument stating goals, structure, and methods of operation;

4. A broadly representative consultative conference organ;

5. Permanent secretariat to carry on continous administrative, research and information functions.

24 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Indonesia, 2004, hal. 5

(24)

24 Organisasi Internasional berdasarkan ciri-ciri yang telah dikemukakan oleh Leroy Bennet, menunjukkan betapa terorganisirnya sebuah organisasi internasional.

Meskipun demikian, yang paling penting dilihat dalam sebuah organisasi internasional adalah tujuan dari organisasi itu sendiri. Tujuan serta legalitas dari sebuah organisasi internasional dapat dilihat dari Piagam atau Charter dari organisasi tersebut, yang akan menguraikan apa saja yang menjadi landasan terbentuknya organisasi internasional tersebut. Selain itu, akan terdapat penjelasan yang jelas tentang kinerja dan sistem yang diterapkan dalam organisasi tersebut. Perkembangan sebuah organisasi internasional tentunya akan bergantung pada hasil dari organisasi internasional tersebut, apakah telah mewakili kepentingan nasional negara, atau malah sebaliknya. Namun, Inis L. Claude Jr.25 mengemukakan beberapa prasyarat yang mesti dipenuhi oleh organisasi internasional, jika ingin berkembang dengan cepat, yaitu:

1. The world must be divided into a number of states as independent political units;

2. A substantial measure of contact must exist between sub-devision;

3. The states must develop an awareness of the problem which arise out of their coexistence;

4. On this basis they must recognize the need for creation of institutional devices and systematic methods for regulating their relation each other.

Kehadiran organisasi internasional, memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum internasional yang diterapkan di era modern saat ini. Status organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional yang membantu proses

25 Ibid, hal. 6.

(25)

25 pembentukan hukum internasional itu sendiri, dapat dikatakan sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati. Hukum internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan negara satu sama lain.26

Setiap organisasi internasional memiliki kewenangan yang berbeda, namun setiap perjanjian yang dihasilkan merupakan sebuah hukum internasional. Terdapat banyak contoh, namun salah satu contoh jelas dari organisasi internasional yang meghasilkan perjanjian yang mengikat kepada semua anggotanya adalah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan ini, memiliki sifat yang mengikat untuk diterapkan oleh negara yang menjadi fokus resolusi Dewan Keamanan tersebut. Kenyataan ini terjadi sebab dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan memiliki otoritas untuk menghasilkan resolusi yang berkaitan dengan keamanan global, dan sifat dari resolusi tersebut adalah mengikat langsung kepada semua negara, meskipun negara tersebut tidak menjadi bagian dari pembahasan resolusi yang disetujui nantinya.

Klasifikasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki beberapa macam.

Metode yang paling mudah untuk melakukan klasifikasi terhadap organisasi internasional antar pemerintah (Intergovernmental) adalah klasifikasi organisasi internasional berdasarkan tujuan organisasi dan keanggotaan organisasi tersebut.

26 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hal. 1.

(26)

26 Secara keanggotaan, terdapat organisasi internasional universal. Tujuan organisasi general, salah satu contohnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi dengan tujuan spesifik adalah organisasi-organisasi seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) dan WHO (World Health Organization).27

Sedangkan klasifikasi organisasi intrnasional berdasarkan keanggotaan lainnya adalah organisasi internasional regional. Klasifikasi organisasi ini secara general misalnya Uni Afrika (African Union), Uni Eropa (European Union), dan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Klasifikasi organisasi internasional regional berdasarkan tujuan yang spesifik adalah organisasi-organisasi seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization), NAFTA (North American Free Trade Agreement) dan organisasi bersifat spesifik dan regional lainnya.28

Adapun beberapa syarat sebuah organisasi disebut sebagai organisasi internasional adalah sebagai berikut29;

1. Tujuannya haruslah merupakan tujuan internasional;

2. Harus mempunyai anggota, dimana setiap anggota mempunyai hak suara;

3. Didirikan berdasarkan pada anggaran dasar dan harus mempunyai markas besar (headquarters) demi kelangsungan organisasi,

4. Pejabat/pegawai yang mempunyai tugas menjalankan pekerjaan organisasi harus terdiri dari berbagai bangsa/negara.;

27 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations; Theories and Approaches 3rd edition, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 109.

28 Ibid

29 Clive Archer, International Organizations; Third Edition, Routledge, New York, 2001, hal. 24.

(27)

27 5. Organisasi harus dibiayai oleh anggota yang berasal dari berbagai negara/bangsa. Organisasi harus berdiri sendiri (independent) dan harus masih aktif. Organisasi yang tidak aktif lebih dari lima tahun tidak diakui lagi.

Penulis dalam penelitian ini, akan fokus terhadap organisasi internasional universal, yang bertujuan general yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terdapat beberapa hal yang perlu diteliti dalam menganalisa PBB ini, yakni bagaimana mekanisme penentuan anggota dari PBB, proses pengambilan keputusan, serta sifat dari keputusan yang dihasilkan. Adapun PBB terdiri atas banyak badan dan organisasi spesialisasi, maka penulis akan fokus pada Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) dalam menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut.

Persyaratan keanggotaan di PBB dibagi menjadi 2 bagian. Pertama adalah anggota asli (original member) dan anggota yang akan datang (admitted member).

Negara anggota asli didefinisikan oleh PBB sebagai negara-negara yang berpartisipasi langsung terhadap United Nations Conference on International Organization di San Fransisco. Mekanisme lainnya dalam penentuan negara anggota asli adalah apakah negara tersebut menandatangani Deklarasi Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Januari 194230.

30 Rumki Basu, The United Nations; Structure and Functions of an International Organization, Sterling Publishers, India, 2004, hal. 134.

(28)

28 Negara-negara lainnya yang tidak masuk kedua kriteria di atas, termasuk ke dalam negara-negara yang baru akan datang. Persyaratan keanggotaan baru PBB dijelaskan dalam Pasal 4(1), Pasal 4(2) serta Pasal 18(2) dalam piagam PBB31;

Pasal 4(1): Memberhip in the United Nations is open to all other peace loving states which accept the obligations contained in the present charter and, in the judgement of the organization, are able and willing to carry out these obligations.

Pasal 4(2): The admission of any such state to membership in the United Nations will effected by a decision of the General Assembly upon the recommendation of the Security Council.

Pasal 18(2): Decisions of the General Assembly on important questions shall be made by two-thirds majority of the members present and voting.

Pengambilan Keputusan dalam sebuah organisasi internasional merupakan hal yang sangat krusial dalam kesuksesan sebuah organisasi internasional. Alasan utama sebuah negara menjadi bagian dari organisasi internasional sebab adanya kebutuhan negara-negara agar kepentingan nasionalnya dipenuhi atau setidaknya dibantu oleh organisasi tersebut. Selepas dari kepentingan dipenuhi atau tidak, hal yang paling penting dalam hal ini adalah transparansi, dan sistem pengambilan keputusan yang bisa dikatakan adil bagi semua negara anggota yang menjadi bagian dari organisasi internasional tersebut.

Organisasi internasional memiliki beban yang berat dalam memenuhi kepentingan dari banyak aktor negara. Aktor negara tentunya memasuki ruangan

31 Ibid, hal. 135.

(29)

29 forum organisasi internasional dengan kepentingan-kepentingannya sendiri.

Organisasi internasional harus memastikan bahwa tidak ada negara yang kepentingannya tidak difasilitasi. Kegagalan untuk memenuhi satu saja kepentingan nasional, dapat berakibat fatal terhadap organisasi tersebut di masa yang akan mendatang.

Dalam organisasi internasional universal secara umum, terdapat beberapa fase pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut. Fase tersebut terdiri atas prosesi rumusan teks keputusan, diskusi usulan, dan pengambilan keputusan.32 Fase pertama yaitu rumusan teks keputusan, merupakan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan dengan baik sebelum diusulkan nantinya pada forum organisasi tersebut.

Berbagai cara dilakukan oleh delegasi negara dalam memperlancar sidang forum nantinya, misalnya menanyakan kepada negara lainnya tentang rumusan teks yang telah dibuat. Pada saat sidang berlangsung, maka tentu akan mendapatkan pandangan-pandangan yang berbeda akan masalah yang dibahas. Semua pandangan tersebut akan dituangkan dalam teks keputusan, atau yang biasa disebut sebagai Resolusi. 33

Diskusi suatu usulan dan pengambilan voting merupakan 2 tahapan terakhir dalam pengambilan keputusan organisasi internasional universal. Diskusi usulan merupakan usulan-usulan yang diusulkan oleh negara, yang negara tersebut anggap mampu menyelesaikan topik pembahasan yang sedang diperdebatkan dalam sidang

32 Benedetto Conforti, Law and Practice of the United Nations, Martinus Nijhoff Publishing, Netherlands, 2005, hal. 99.

33 S. Robert Jordan, International Organizations; A Comparative Approach to the Management of Cooperation, Greenwood Publishing Group, USA, 2001, hal. 34.

(30)

30 atau forum organisasi internasional. Usulan tersebut yang berbentuk proposal (penjelasan spesifik) bisa berasal dari satu negara ataupun dari beberapa negara, yang kemudian proposal tersebut diedarkan untuk dibahas lebih spesifik. Setelah merumuskan resolusi, maka akan memasuki tahap pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan dalam mayoritas organisasi internasional, menerapkan yang namanya kesetaraan suara (equality of the voting) yakni setiap negara memiliki 1 suara saja. Terdapat beberapa mekanisme penentuan pengambilan suara. Misalnya dalam Sidang Umum PBB (General Assembly), dalam pemilihan resolusi, dibutuhkan suara 2/3 dari keseluruhan anggota Sidang Umum tersebut. Berbeda dengan Dewan Keamanan yang terdiri atas 15 negara, dan kehadiran hak veto tentu mengubah pola pemilihan resolusi tidak seperti Sidang Umum PBB.34

Meskipun demikian, mayoritas organisasi internasional akan menerapkan yang namanya konsensus atau mayoritas. Mendapatkan suara mayoritas penting hanya untuk memastikan bahwa resolusi yang diterapkan merupakan hasil dari kepentingan nasional banyak negara dan tidak merupakan kepentingan nasional beberapa negara saja. Sementara itu, suara konsensus kerap sulit untuk menghasilkan sebuah resolusi, sebab sulitnya untuk menyamakan persepsi tentang semua bagian dari sebuah resolusi. Akan tetapi, konsensus banyak dianggap sebagai satu-satunya metode pengambilan keputusan yang tidak akan mengecewakan aktor siapapun dalam organisasi internasional universal tersebut.

34 Ibid

(31)

31 Sifat dan bentuk dari resolusi yang dihasilkan juga merupakan hal yang sangat penting dalam organisasi internasional. Hasil atau outcome pertama adalah dalam bentuk rekomendasi. Sebuah organisasi internasional dalam beberapa keadaan hanya memberikan saran atau opini saja mengenai sebuah permasalahan, yang dimana rekomendasi tersebut tidak bersifat mengikat (tidak harus diterapkan). Banyak badan di bawah PBB yang menghasilkan resolusi yang berbentuk rekomendasi (kadang digunakan istilah Resoulution dalam PBB). Outcome yang biasanya muncul dalam rekomendasi adalah penjelasan umum masalah, serta langkah-langkah umum yang sebaiknya dilaksanakan sebagai respon masalah.35

Deklarasi merupakan outcome lainnya dari sebuah organisasi internasional.

Deklarasi merupakan klarifikasi suatu keadaan atau fakta yang dibutuhkan untuk suatu penerapan hukum. Kebutuhan dunia internasional akan pengaturan secara universal dalam berbagai bidang, menjadi alasan lainnya deklarasi diterapakan.

Deklarasi seperti Universal Declaration of Human Rights 1948 merupakan salah satu contoh perjanjian yang tidak mengikat negara-negara, namun karena berisi beberapa anjuran kepada pemerintahan yang umum akan perlindungan HAM, maka mayoritas negara-negara dalam PBB menyetujui deklarasi tersebut. Deklarasi tidak bersifat mengikat, namun karena faktor-faktor seperti deklarasi merupakan masalah umum, maka jarang terdapat negara yang tidak menyetujui atau menerapkan deklarasi tersebut.

35 Nigel D. White, The Law of International Organizations; Second Edition, Manchester University Press, UK, 2005, hal. 77.

(32)

32 Setelah itu, terdapat juga outcome yang bersifat mengikat antar semua negara anggota organisasi internasional tersebut. Tidak terdapat resolusi yang mengikat dalam PBB selain dari resolusi keamanan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB. Meskipun PBB membahasakan agar negara anggota menerapkan resolusi tersebut, namun tidak terdapat sanksi yang akan diberikan apabila tidak dilaksanakan oleh aktor negara. Khusus berbicara masalah organisasi PBB, maka terlihat dalam Piagam PBB Pasal 25 dan Pasal 2(6) mengenai mengikatnya sebuah resolusi36;

Pasal 25 : “The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the Present Charter”.

Pasal 2(6) : “The organization shall ensure that States which are not members of the United Nations act in accordance with these principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security”.

Berdasarkan beberapa uraian tentang konsep organisasi internasional, penulis akan membahas dalam penelitian ini lebih fokus terhadap PBB itu sendiri. Meskipun demikian, penulis akan kaitkan organisasi PBB dengan organisasi regional yang terdapat di Afrika yaitu Uni Afrika (African Union). Dewan Keamanan PBB yang merupakan forum yang mengatasi masalah ancaman-ancaman global, juga akan penulis teliti lebih banyak dalam hal resolusi yang telah diterapkan dalam kasus Lord’s Resistance Army di Afrika. Berhubung fokus peneliti ke Dewan Keamanan PBB, maka sifat dari resolusi yang diterapkan adalah legally binding (mengikat)

36 A.S. Muller, International Organizations and Their Host States; Aspects of Their Legal Relationship, Kluwer Law Internation, Netherlands, 1995, hal. 16

(33)

33 kepada semua negara yang menjadi anggota PBB, dan perlu dihargai oleh negara- negara yang belum atau tidak menjadi anggota PBB.

B. Resolusi Konflik

Dasar dari sebuah resolusi konflik, adalah pemahaman dari konflik itu sendiri.

Pertama yang paling penting dianalisa adalah beberapa macam dan alasan mengapa konflik terjadi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Konflik telah ada sejak kehadiran manusia di muka bumi, sebab banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh manusia, menyebabkan terjadinya perbedaan paham dimana perbedaan paham itu sendiri merupakan konflik kepentingan antar individu. Beberapa macam konflik yang bersifat destructive (desktruktif) adalah beberapa konflik yang merupakan perang sipil (antar 2 kelompok dalam sebuah negara), ataupun ketika sebuah konflik telah memasuki tahapan kekerasan

Terdapat banyak pemahaman dan definisi dari konflik. Dahrendorf37 mendefinisikan konflik sebagai sebuah keadaan yang terjadi akibat adanya tekanan yang mengelilingi keputusan dalam beberapa pilihan, yang kadang dimanifestasi melalui konfrontasi antar pihak. Definisi lainnya yang dijelaskan oleh Azar38, bahwa konflik merupakan perbedaan dalam opini, pertentangan, dan argumen yang terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dalam organisasi, komunikasi, ataupun dalam tingkatan internasional. Akibat pengertian konflik yang begitu luas, maka beberapa

37 Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution; Third Edition, Polity Press, Cambridge, 2011, hal.19.

38 Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, Sage Publications, London, 2008, hal. 6.

(34)

34 aktor mencoba memberi definisi konflik yang lebih spesifik, guna mendapatkan pemahaman yang lebih mudah akan konflik itu sendiri. John W. Burton39 kemudian berusaha memberikan sebuah perbedaan antara konflik dan sengketa (sebab kedua istilah ini sering diintegrasikan menjadi satu bagian), dimana Burton menjelaskan Konflik sebagai tantangan terhadap norma-norma yang berlaku, hubungan, dan peraturan dalam pengambilan keputusan, sehingga konflikpun terjadi. Sengketa di sisi lainnya merupakan keadaan ketidakpuasan dalam sebuah implementasi kebijakan, sehingga sengketa pun terjadi dalam kasus tersebut.

Definisi konflik beragam, juga berdasarkan tingkatan dan aktor yang terlibat dalam konflik. Konflik yang terjadi antara 2 manusia, 2 kelompok dalam sebuah negara, ataupun antar 2 negara, membutuhkan pemahaman latar belakang yang berbeda dalam pemahamannya. Keadaan ini tentunya membawa tantangan tersendiri dalam resolusi konflik, sebab adanya ketergantungan pemahaman konflik itu sendiri sebelum bisa melangkah dalam pembahasan resolusi konflik yang tepat. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan adanya perbedaan yang terjadi antar berbagai aktor, merupakan dasar dari konflik itu sendiri. Berdasarkan keadaan tersebut, maka karakterisasi kepetingan aktor yang terlibat dalam konflik, menjadi langkah pertama dalam penyelesaian sebuah konflik.

Setelah mendapatkan pemahaman dasar dari konflik, perlu diketahui apa saja yang menjadi akibat dari konflik. Perbedaan nilai-nilai dan adanya perbedaan kekuatan atau power oleh berbagai aktor, menyebabkan terjadinya konflik. Eskalasi

39 Ibid, hal. 7.

(35)

35 konflik kemudian terjadi dalam keadaan mispersepsi ataupun miskomunikasi. Banyak faktor lain juga menjadi dasar sebuah konflik. Adanya kebutuhan ekonomi, ataupun adanya sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia menjadi beberapa contoh kasus sumber terjadinya konflik. Berbicara konteks hubungan internasional, Ross40 mengatakan bahwa konflik dalam beberapa negara terjadi akibat adanya pencampuran konsiderasi sosio-ekonomi dan budaya, dengan status kelompok minoritas dalam ranah politik.

Keadaan konflik yang berbicara masalah kelompok-kelompok sosial, membawa kompleksitas tersendiri dalam setiap kasus konflik. Setiap kelompok memiliki keinginan dalam meningkatkan pengaruhnya dalam negara, dan ingin meningkatkan dominasinya dalam negara tersebut. Keadaan tersebut menimbulkan sebuah konflik, yang tidak mampu memiliki penyelesaian konflik yang cepat, akibat prosesi negosiasi dan usaha mencapai keinginan setiap kelompok tersebut. Keadaan konflik menjadi semakin rumit ketika sebuah kelompok memiliki dominasi dan kekuatan yang lebih dibanding kelompok lainnya, dan menimbulkan usaha mobilisasi massa secara masif dilakukan oleh aktor-aktor yang merasa minoritas dalam sebuah negara.

Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi sumber konflik, kemudian dapat dikarakterisasi sebagai sebuah konflik etnis (salah satu contoh konflik). Dalam konflik etnis, konflik biasanya terjadi akibat bantahan dan penolakan terhadap akses pengambilan keputusan, serta penolakan untuk melakukan pembagian yang adil

40 Ibid

(36)

36 terhadap kekuasaan dalam institusi politik. Identifikasi ketidakadilan yang berkaitan erat dengan keadaan ekonomi, serta identifikasi perbedaan etnis, mampu dengan mudah menyebabkan eskalasi konflik. Ketidakpuasan terhadap kekuasaan politik, tidak meratanya pengembangan ekonomi, dan adanya asumsi diskriminasi yang disebabkan oleh perbedaan kelompok etnis, merupakan beberapa faktor utama terjadinya konflik etnis. Meskipun demikian, konflik etnis bisa saja terjadi akibat semua keadaan yang disebutkan di atas. Konflik kerap merupakan hal yang terjadi akibat sumber-sumber multi-dimensional dalam artian, konflik tidak terjadi hanya akibat satu faktor saja, akan tetapi terjadi akibat beberapa hal yang saling berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Dalam setiap resolusi konflik, Ho-Won Jeong mengatakan bahwa tahap pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang ingin diselesaikan. Tahap pertama ini terdiri atas 4 bagian secara umum, yakni parties, goals, issues dan interests.41 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal pertama yang perlu diketahui. Pengetahuan untuk mengetahui individu dan kelompok yang memiliki posisi kuat dalam dinamika konflik yang terjadi. Usaha dibutuhkan dalam menganalisa siapa saja pelaku dari konflik, dan kemungkinan korban akibat konflik tersebut itu siapa. Aktor-aktor yang menjadi pelaku dari konflik tentunya memiliki sebuah struktur yang telebih dahulu perlu dipahami, sebab adanya aktor yang hanya menjalankan perintah, dan adanya aktor yang memerintahkan sebuah tindakan secara langsung kepada anggota kelompok. Beberapa contoh dari aktor-

41 Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, Sage Publications, London, 2008, hal. 21.

(37)

37 aktor yang dimaksud adalah individu, kelompok, dan institusi yang memiliki peranan yang signifikan terhadap outcome sebuah konflik nantinya. Tidak hanya berhenti disitu, karena dalam konflik yang melibatkan aktor-aktor tersebut, terdapat beberapa aktor yang tidak terlibat langsung dalam konflik, namun memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap keberlangsungan sebuah konflik. Beberapa aliansi dari aktor-aktor, ataupun pemerhati, memiliki kontribusi yang tidak jarang sangat signifikan dalam penyediaan sumber daya aktor-aktor yang terlibat, sehingga secara tidak langsung berdampak terhadap outcome dari sebuah konflik. Para pemerhati ataupun aliansi ini muncul disebabkan oleh banyak faktor, beberapa diantaranya adalah faktor kesamaan etnis, warna kulit, bahasa, gender, dan banyak faktor lainnya.

Goals (target) adalah hal kedua yang perlu dipahami dalam tahap pertama menganalisa sebuah konflik. Target dalam hal ini, dapat didefinisikan sebagai sebuah kondisi masa depan yang masing-masing aktor ingin capai. Target bisa dalam bentuk wilayah, politik, ekonomi, dan banyak target lainnya. Terkadang formulasi target yang diaspirasikan oleh sebuah aktor tidak dapat tergolong sebagai hal yang rasional.

Keadaan ini membutuhkan aktor resolusi konflik untuk memisahkan beberapa kepentingan yang esensial (pokok) dan kepentingan yang non-esensial (sekunder).42 Dalam banyak kasus, target yang ingin dicapai oleh sebuah aktor bersifat dinamis, dan sangat bergantung terhadap sumber daya yang dimiliki oleh aktor tersebut. Sering terjadi, sebuah aktor yang awalnya memiliki target yang sangat masif, namun pada akhirnya menyerah terhadap target yang tergolong sangat minim akibat sumber daya

42 John A. Vasquez, The War Puzzle Revisited, Cambridge University Press, New York, 2009, hal.22.

(38)

38 yang mungkin saja telah habis. Persediaan sumber daya dalam beberapa kasus menjadi motif utama mengapa adanya dinamika dalam penentuan target sebuah aktor.

Issues (persoalan) merupakan beberapa bagian pertentangan yang dialami oleh aktor-aktor yang terlibat langsung dengan konflik. Konsiderasi terjadinya konflik akibat perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan itulah yang sering dianggap sebagai persoalan utama terjadinya konflik. Persoalan biasanya merupakan persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu, atau kelompok. Kesulitan dalam setiap mekanisme penyelesaian sebuah konflik banyak terletak pada persoalan ini, sebab sebuah penyelesaian pada akhirnya akan menguntungkan satu pihak, namun akan merugikan pihak lainnya. Penyelesaian konflik akan tetapi sangat bergantung terhadap apa saja yang menjadi persoalan diantara kedua pihak, agar dapat menentukan persoalan inti dan persoalan turunan yang seharusnya bukan merupakan prioritas dalam penyelesaian konflik tersebut.

Terakhir yang perlu diketahui sebagai tahap pertama resolusi konflik adalah interests (kepentingan). Kepentingan ini menjadi alasan utama sebuah aktor atau kelompok akan melakukan konflik dari awal, dan merupakan dasar tercapainya sebuah penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua pihak. Kepentingan ini dapat didefinisikan sebagai apa saja yang menjadi hal yang ingin dicapai oleh aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Kerumitan dalam resolusi konflik muncul pada saat penentuan aktor A mendapat apa saja, dan aktor B serta aktor-aktor lainnya mendapatkan apa. Keadaan ini menjadi latar belakang utama mengapa terjadi perselisihan, sehingga aktor-aktor yang terlibat konflik akan menegosiasikan untuk

(39)

39 mendapatkan keuntungan yang paling banyak dibanding aktor lainnya. Deadlock pun biasanya tidak dapat dihindari dalam proses fasilitasi kepentingan-kepentingan aktor yang terlibat. Kepentingan ini dapat disimpulkan sebagai bagian yang penting dalam merumuskan sebuah resolusi konflik, yang tingkat kesuksesannya bergantung pada fasilitasi kepentingan aktor-aktor yang terlibat.

Tahapan selanjutnya dalam resolusi konflik, banyak bergantung terhadap mekanisme penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks ilmu hubungan internasional, terdapat beberapa sifat dari resolusi konflik yang wajib disertakan dalam setiap resolusi konflik itu sendiri, menurut Johan Galtung43, yakni:

1. Multilevel: resolusi konflik harus menyertakan semua tingkatan konflik, yakni konflik antar-individu, antar-kelompok, dan antar aktor internasional, regional, dan nasional,

2. Multidisciplinary: resolusi konflik harus menyertakan beberapa ilmu termasuk ilmu politik, hubungan internasional, ilmu pengembangan, hinga ilmu psikologi, mengingat konflik merupakan sebuah masalah multidimensional yang melibatkan banyak ilmu,

3. Both analytic and normative: analisis dalam hal transformasi sebuah keadaan yang memperlihatkan kekerasan, menuju keadaan yang netral dan aman. Transformasi yang dimaksudkan adalah transformasi sosial dan politik,

43 Johan Galtung, Peace by Peaceful Means; Peace, Conflict, Development, and Civilization, International Peace Research Institute, Oslo, 1996, hal. 20.

(40)

40 4. Both theoretical and practical: resolusi konflik harus merupakan

gabungan dari teori dan implementasi.

Berdasarkan beberapa tolak ukur dan parameter yang telah disebutkan oleh Johan Galtung, muncul-lah beberapa mekanisme dan model penyelesaian konflik.

Model resolusi konflik yang penulis akan fokuskan adalah pada resolusi konflik yang berkaitan dengan aktor ketiga, dan merupakan model resolusi konflik asimetris (asymmetric conflict). Konflik asimetris merupakan konflik yang terjadi antara sebuah kekuatan yang besar melawan kekuatan yang kecil, misalnya konflik antara pemerintah dan kelompok pemberontak, atau konflik antara mayoritas dan minoritas.44 Keadaan ini sangat unik, sebab seringkali kekuatan di atas yang memiliki sumber daya jauh lebih banyak, cenderung akan menang, sehingga salah satu cara terbaik dalam penyelesaian konflik tipe ini adalah melakukan perombakan dan perubahan struktur sesuai dengan aspirasi dari kelompok yang melakukan pemberontakan.

Konsep terbaru muncul di tahun 1990an dimana resolusi konflik dapat dilihat dari keterlibatan aktor ketiga dalam resolusi konflik itu sendiri, serta waktu intervensi. Setiap konflik memiliki beberapa tahapan, yang diikuti dengan tipe intervensi yang cocok. Fisher dan Keashly45 di tahun 1991 memberikan 4 tahapan konflik, dan intervensi yang cocok dilakukan oleh pihak ketiga pada setiap konfliknya. Pertama adalah Conflict Formation (formasi dari konflik) yang

44 Johan Galtung dan Charles Webel, Handbook on Peace and Conflict Studies, Routledge, USA, 2007, hal. 36.

45 Ibid, hal. 40.

Referensi

Dokumen terkait

PROFIL KREATIVITAS D AN PENINGKATAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMP PAD A MATERI ENERGI D ALAM PEMBELAJARAN IPA BERBASIS STEM.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

ekstra untuk menyelesaikan penelitian yang akan saya gunakan untuk tesis ini, karena saat itu saya sedang hamil,” tutur Roisah Nawatila, ketika ditemui UNAIR NEWS

Ilmu aplikasi geologi pada dasarnya adalah keterampilan pemanfaatan lmu geologi untuk kemaslahatan kehidupan manusia di bumi, saat ini ada empat kelompok yang

Sektor industri pariwisata sebagai salah satu sektor yang diandalkan bagi penerimaan daerah maka Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow dituntut untuk dapat

Panel juri independen Danamon Award 2008 terdiri dari para individu terkenal dengan latar belakang yang beragam, yaitu; Ade Suwargo Mulyo, Senior Project Manager

Prinsip dari percobaan ini adalah menentukan volume molar parsial pada Prinsip dari percobaan ini adalah menentukan volume molar parsial pada system dengan suhu,

Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama,