• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dukungan untuk studi penelitian peneliti. Beberapa penelitian sebelumnya. jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dukungan untuk studi penelitian peneliti. Beberapa penelitian sebelumnya. jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya telah menjadi salah satu pertimbangan dan referensi penulis ketika melakukan penelitian sehingga peneliti dapat mereplikasi dan mengembangkan teori yang digunakan untuk mempelajari penelitian. Referensi penelitian sebelumnya ini berfungsi sebagai referensi dan dukungan untuk studi penelitian peneliti. Beberapa penelitian sebelumnya berupa beberapa jurnal terkait penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai bahan referensi. Berikut ini adalah studi sebelumnya dalam bentuk beberapa jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

Tabel 1 Penelitian Terdahulu

No Judul Temuan Relevansi

1. Sukmana, O., & Rupiah, S. “Jaringan Sosial Praktek Prostitusi Terselubung di Kawasan Wisata Kota Batu”.

(2017)

dalam jurnal yang berjudul Jaringan Sosial dalam praktik prostitusi terselubung di kawasan Songgoriti terdapat keterkaitan antar pihak- pihak yang telibat antara pemakai (user), ojek (tourguide), pemilik villa, Pekerja Seks Komersial (PSK), pemilik usaha karoke serta billyard, pemerintah, dan masyarakat Songgoriti. Stakholder- stakeholder tersebut terbentuk berdasarkan kepentingan (interest) yang sama serta jaringan perasaan (sentiment) bersumber pada tipe jaringan yang tercipta sehingga hal tersebut terus

Relevansi dari penelitian ini yaitu bentuk jaringan dalam praktik prostitusi terselubung dimana pada prosesnya terdapat pelaku- pelaku dengan perannya masing-masing. Pelaku- pelaku dalam praktik prostitusi tersebut menjalin keterkaitan antara satu-sama lain dan membentuk jaringan sosial yang saling mendukung

dan saling

menguntungkan,

khususnya secara ekonomi. Kedua penelitian ini juga berhubungan karena lokasi tempat penelitian berada di Kota yang bersebelahan yaitu

(2)

10

memperkuat jaringan sosial tersebut. Peranan-peranan dari setiap pihak menjadikan bisnis prostitusi ini berjalan begitu mudah tanpa adanya terendus oleh media.

Sehingga dibutuhkan adanya peran dan ketegasan dari Pemerintah Kota Batu dalam mengatasi binis prostitusi terselubung, sehingga lebih menjadikan kawasan wisata yang kondusif serta tidak melegalkan bisnis tersebut.

Kota Malang dan Kota Batu. Alasan ekonomi menjadi faktor kuat dalam adanya praktik prostitusi dalam penelitian tersebut.

2. Adnan, dkk. “Praktek Prostitusi Terselubung di Kota Bima”. (2017).

Bahwa faktor yang menyebabkan pelajar dan mahasiswa melakukan prostitusi terselubung di Kota Bima disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal dimaksud merupakan faktor yang terdapat dalam diri pelaku antara lain; rendahnya standar moral dan lemahnya kualitas iman, gaya hidup (life style) yang berlebihan, beban psikologis (trauma), kecewa, dll), sedangkan faktor eksternal yakni faktor yang berada diluar diri pelaku yakni lemahnya sanksi hukum, pengaruh lingkungan (teman), kurangnya pengawasan baik orang tua, masyarakat, maupun pemerintah sehingga ikut mendorong terjadinya prostitusi terselubung dikalangan pelajar dan mahasiswa.

Lebih lanjut dapat dikemukakan ternyata faktor dominan yang

Relevansi dari penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi adalah karena tekanan gaya hidup berlebihan dan faktor lingkungan keluarga baik teman juga mempengaruhi adanya proses prostitusi terselubung ini, gaya hidup yang berlebihan membuat para pelaku ini melakukan kegiatan prostitusi.

(3)

11

mempengaruhi mereka melakukan prostitusi karena tuntutan gaya hidup (life style) yang serba mewah dan mahal, sementara kondisi ekonomi keluarga tidak mampu menutupi berbagai kebutuhan mereka sehingga membuat mereka terpaksa melakukan prostitusi terselubung.

3. Ronaning, Elva.

“Interaksi Simbolik Pekerja Seks Komersial High Class di Kalangan

Mahasiswa Kota

Padang”. (2014).

Faktor kebutuhan dan ekonomi menjadi alasan utama di kalangan mahasiswi untuk bekerja sebagai Pekerja Seks

Komersial. Dalam

lekakukan aksinya, komunikasi interpersonal dalam bentuk komunikasi persuasive, yang menunjukkan simbol- simbol diri baik verbal dan non verbal dilakukan untuk

mengambil hati

pelanggannya. Sementara bentuk interaksi simbolik Pekerja Seks Komersial High Class di Kalangan Mahasiswa Kota Padang ketika mereka berada di kampus penampilannya berbanding terbalik dengan ketika mereka berada di dunia malam. Saat menjadi mahasiswi biasa, mereka hanya menggunkan pakaian casual dan berpenampilan biasa saja di kampus.

Mereka juga cenderung memilih-milih teman dalam bergaul. Motivasi mahasiswi PSK tetap melanjutkan pendidikan tidak hanya sebagai prestise namun juga unutk

Relevansi dari jurnal ini

yaitu yang

melatarbelakangi mereka menjadi PSK selain kekecewaan karena putus cinta, tidak perawan dan himpitan faktor ekonomi, juga disebabkan kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua mereka, sehingga saat mengalami permasalah seringkali melakukan hal- hal yang merusak diri sendiri. Diharapkan orang tua juga mengambil peranan yang penting dalam proses pergaulan anaknya, dalam hal ini mereka yang terlanjur menajdi pekerja seks komersial.

(4)

12

memenuhi tuntutan bagi keluarga agar diri mereka kelak menjadi sosok

intelektual yang

berpendidikan.

B. Pengertian Prostitusi

Pelacuran atau prostitusi secara etimonologi berasal dari bahasa latin yaitu

“pro-stituere” yang artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata ‘prostitute’ merujuk pada kata keterangan seseorang atau sundal yang dikenal dengan istilah wanita tuna susila (WTS) atau seseorang yang menjual jasa seksual yang kini kerap disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) wanita tuna susila (WTS) adalah orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau seorang sundal. Koentjoro (2004) mendefinisikan wanita tuna susila (WTS) sabagai perempuan yang tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat dan dianggap tidak memiliki adap dan sopan santu dalam berhubungan seks. Prostitusi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya (Siregar, 2016).

Dalam bukunya, Kartono (1981) mendefinisikan prostitusi, yaitu:

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan model organisasi impuls atau impuls seksual yang abnormal, dalam bentuk pertambahan keinginan seksual yang tidak terkendali dengan banyak orang (pergaulan bebas), disertai dengan eksploitasi dan seks komersial nonpribadi.

(5)

13

b. Prostitusi adalah kegiatan penjualan diri (pelacuran) dengan cara memperjual belikan tubuh, kehormatan dan kepribadian pada banyak orang untuk memuaskan nafsu seksual mereka dan mendapat imbalan.

c. Prostitusi adalah tindakan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan diri / tubuh mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan kotor secara seksual dengan mendapatkan upah.

C. Penyebab Prostitusi

Penyebab pelacuran yang dijelaskan oleh Koentjoro (2004) adalah tingginya tingkat aspirasi material dan dukungan budaya, meskipun peran kemiskinan tidak diabaikan. Karena itu, jika kita melihat penyebab pelacuran, itu universal. Sitepu (dalam Irwansyah, 2016) menyebutkan beberapa faktor yang menjadi faktor pelacuran:

a. Kurangnya pemahaman tentang populasi, pendidikan dan buta huruf yang membenarkan prostitusi untuk menghindari kesulitan hidup dan mendapatkan kemewahan dengan berjalan kaki singkat.

b. Adanya keinginan seksual yang abnormal, tidak terintegrasi ke dalam kepribadian. Hubungan seksual, histeris, dan hiperseksualitas keroyalan adalah hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pria / suami.

c. Kompensasi untuk perasaan yang lebih rendah. Karena itu ada penyesuaian negatif yang terjadi terutama selama masa pubertas dan remaja.

(6)

14

d. Keingintahuan gadis-gadis muda dan anak-anak pubertas tentang masalah seksual yang kemudian terjun ke dunia pelacuran oleh persuasi para bandit seks.

e. Di masa kecilnya, dia melakukan hubungan seks atau berhubungan seks sebelum menikah, jadi dia ketagihan atau terbiasa membuat banyak seks bebas.

f. Gadis-gadis kumuh -yang lingkungannya tidak bermoral dan tidak bermoral sejak masa kecil mereka selalu melihat hubungan orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga mereka secara mental dikondisikan oleh tindakan tidak bermoral.

g. Banyak rangsangan seksual dalam bentuk film biru, gambargambar porno, bacaan cabul, lorong-lorong anak muda yang melakukan hubungan seks.

h. Aspirasi material yang tinggi yang disukai wanita dan wanita, yang tamak akan pakaian indah dan perhiasan mewah, ingin hidup mewah tetapi malas bekerja.

i. Disorganisasi dan disintegrasi kehidupan keluarga, rumah yang berantakan, pernikahan kembali ayah atau ibu atau hidup bersama dengan pasangan lain, sehingga gadis itu merasa sangat puas, tidak bahagia, pemberontak dan menghibur dirinya sendiri dengan memasuki dunia prostitusi

j. Gadis dan wanita muda yang kecanduan narkotika dan minuman beralkohol tinggi melacurkan diri untuk membeli obat ini dan lainnya.

Koentjoro (2004) menjelaskan ada lima faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial, yaitu:

(7)

15 a. Materialisme

Materialisme yaitu aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. Pandangan hidup ini terkadang membuat manusia dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi yang diinginkan.

b. Modeling

Modeling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model. Masyarakat menjadikan model ini sebagai orang yang ingin ditiru keberhasilannya. Sebagai contoh dalam dunia pelacuran, ada seorang PSK yang kini sukses dan kaya sehingga memicu orang di sekitarnya untuk meniru kegiatan PSK.

c. Dukungan orangtua

Dalam beberapa kasus, orangtua menggunakan anak perempuannya sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. Dukungan yang diberikan oleh orangtua membuat anak lebih yakin untuk menjadi PSK.

Dalam hal ini, terkadang orangtua termasuk dalam anggota dunia prostitusi.

Misal, seorang ibuadalah PSK dan anak perempuan dipaksa ibunya untuk menjadi PSK pula.

(8)

16 d. Lingkungan yang permisif

Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dan jika suatu komunitas sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang dalam komunitas tersebut. Lingkungan sosial adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi perilaku manusia, maka dari itu masyarakat harus menciptakan lingkungan yang sehat agar terhindar daripenyakit masyarakat.

e. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi adalah alasan klasik seseorang untuk menjadi PSK.

Faktor ini lebih menekankan pada uang dan uang memotivasi seseorang PSK.

Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, menyebabkab adanya pertimbangan- pertimbangan ekonomis untuk mempertahakan kelangsungan hidupnya, dan khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan wanita terjerumus dalam dunia pelacuran. Faktor yang paling kuat adalah faktor ekonomi. Wanita-wanita cenderung ingin hidup mewah dan berkecukupan, tetapi juga malas untuk bekerja, maka memilih pekerjaan menjadi PSK

Weisberg (dalam Koentjoro, 2004) menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran, yaitu :

(9)

17

a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial

b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang.

c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua.

Kemudian Reno Bachtiar & Edy Purnomo (2007) menjelaskan beberapa alasan dasar seseorang perempuan menjadi pelacur yaitu:

a. Faktor Ekonomi

Permasalahan ekonomi yang sangat menyesakkan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi mapan. Jalan pintas mereka tempuh sehingga lebih mudah untuk kemudahan mencari uang. Faktor ini bukan faktor utama seorang perempuan memilih profesi pelacur. Hal ini merupakan tuntutan hidup praktis mencari uang sebanyak-banyaknya bermodal tubuh/fisik. Mereka melakukannya bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi orang tua, keluarga dan anak. Kemiskinan memang tidak mengenakkan, sehingga untuk keluar dari belitan ekonomi, mereka rela

“berjualan diri” agar hidup lebih layak.

b. Faktor Kemalasan

Mereka malas untuk berusaha lebih keras dan berfikir lebih inovatif dan kreatif untuk keluar dari kemiskinan. Persaingan hidup membutuhkan

(10)

18

banyak modal baik uang, kepandaian, pendidikan, dan keuletan. Kemalasan ini diakibatkan oleh faktor psikis dan mental rendah, tidak memiliki norma agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Tanpa memikirkan semua itu, hanya modal fisik, kecantikan, kemolekan tubuh, sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.

c. Faktor pendidikan

Mereka yang tidak bersekolah, mudah sekali untuk terjerumus ke lembah pelacuran. Daya pemikiran yang lemah menyebabkan mereka melacurkan diri tanpa rasa malu. Mungkin kebodohkan telah menuntun mereka untuk menekuni profesi pelacur. Hal ini terbukti ketika ditemukan pelacur belia berusia belasan tahun di lokalisasi. Bukan berarti yang berpendidikan tinggi tidak ada yang menjadi pelacur.

d. Niat Lahir Batin

Hal ini dilakukan karena niat lahir batin telah muncul di benaknya untuk menjadi pelacur yang merupakan jalan keluar “terbaik”. Tidak perlu banyak modal untuk menekuninya, mungkin hanya perlu perhiasan palsu, parfum wangi, penampilan menarik, keberanian merayu, keberanian diajak tidur oleh orang yang baru dikenal, hanya beberapa menit, tidur lalu mereka langsung dapat uang. Niat lahir batin diakibatkan oleh lingkungan keluarga yang berantakan, tidak ada didikan dari orang tua yang baik, tuntutan untuk menikmati kemewahan tanpa perlu usaha keras, atau pengaruh dari diri sendiri terhadap kenikmatan duniawi. Niat ini muncul di semua kalangan, dari kelas bawah sampai kelas atas. Profesi ini tidak di dominasi oleh kelas

(11)

19

bawahan saja, tetapi juga merata di semua kalangan. Buktinya ada mahasiswa yang berprofesi pelacur.

e. Faktor Pengasingan

Kompetisi yang keras di perkotaan, membuat kebimbangan untuk bekerja di jalan yang “benar”. Kemiskinan, kebodohan, dan kurangnya kesempatan bekerja di sektor formal, membuat mereka bertindak criminal, kejahatan, mengemis di jalan-jalan, dan jadi gelandangan. Bagi perempuan muda yang tidak kuat menahan hasrat terhadap godaan hidup, lebih baik memilih jalur “aman” menjadi pelacur karena cepat mendapatkan uang dan bisa bersenang-senang. Maka, menjadi seorang pelacur dianggap sebagai solusi.

f. Faktor Sakit Hati

Maksudnya seperti gagalnya perkawinan, perceraian, akibat pemerkosaan, melahirkan seorang bayi tanpa laki-laki yang bertanggung jawab, atau gagal pacaran karena sang pacar selingkuh. Lalu mereka marah terhadap laki-laki, menjadi pelacur merupakan obat untuk mengobati luka yang paling dalam. Cinta mereka gagal total sehingga timbul rasa sakit hati, pelampiasan bermain seks dengan laki-laki dianggap sebagai jalan keluar.

g. Tuntutan Keluarga

Seorang pelacur mempunyai tanggung jawab terhadap orang tuanya di desa, atau anak-anak yang masih membutuhkan uang SPP. Setiap bulan harus mengirimkan uang belanja kepada orang tua. Jika mempunyai anak, maka uang kiriman harus ditambah untuk merawatnya, membeli susu, atau

(12)

20

pakaian. Mereka rela melakukan ini tanpa ada paksaan dari orang tuanya.

Kadangkadang ada orang tua yang mengantarkan mereka ke germo untuk bekerja sebagai pelacur. Pelacur sendiri tidak ingin anaknya seperti dirinya.

D. Jenis-Jenis Prostitusi

Kartono (1992) membagi prostitusi menurut jumlahnya, jenis prostitusi tersebut diantaranya :

a. Single Operator merupakan prostitusi yang beroperasi secara individual b. Prostitue adalah bisnis prostitusi yang berkerja dengan keberadaan

organisasi dan sindikat yang teratur rapi.

Kartono (1981) membedakan prostitusi dan lokalisasi menurut aktivitasnya sebagai berikut :

a. Prostitusi yang Terdaftar

Pelaku dalam prostitusi yang terdaftar diawasi oleh Vice Control dari kepolisian dan dibantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawaatan kesehatan. Umumnya pelaku prostitusi dilokalisir di suatu daerah tertentu, dimana mereka diwajibkan melakukan pemeriksaan secara rutin kepada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapat pengobatan sebagai tindakan umum.

a. Prostitusi yang Tidak Terdaftar

Pelaku yang berperan dalam bisnis prostitusi yang tidak terdaftar ini termasuk dalam kelompok orang yang melakukan prostitusi secara ilegal dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. Kegiatannya tidak terorganisir, tempat prostitusi pun tidak menentu. Bisa

(13)

21

disembarang tempat, mencari pelanggan sendiri melalui mucikari atau germo dan panggilan.

PSK di Indonesia beraneka ragam, menurut Hendrina (2012) PSK mempunyai tingkatan-tingkatan operasional, diantaranya :

a. Segmen kelas rendah

Dimana PSK tidak terorganisir. Tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan biaya beroperasi di kawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan,taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan para PSK tersebut.

b. Segmen kelas menengah

Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa wisma menetapkan tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman.

c. Segmen kelas atas.

Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tinggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan ayau menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut.

d. Segmen kelas tertinggi

Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini.

(14)

22

Irma Pebrianti (2015) mengklasifikasikan prostitusi berdasarkan bentuk dan caranya sebagai berikut :

a. Prostitusi jalanan

Pada umumnya pelayanan yang diberikan oleh jenis prostitusi semacam ini diberikan kepada pelanggan dengan ekonomi menengah kebawah. Hal ini disebabkan karena tarif pelayanan seksual yang ditawarkan tidak mahal dan mudah terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Kalau ditinjau dari segi ekonomi, maka WTS semacam ini umumnya dikategorikan sebagai golongan ekonomi lemah dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka rela memberikan pelayanan seksual kepada setiap laki-laki yang membutuhkannya. Oleh karena itu hubungan seksual dengan kegiatannya prostitusi jalanan ini akan berisiko terhadap kesehatan, hal ini disebabkan mereka jarang, ataupun tidak pernah sama sekali memeriksa kesehatannya khususnya pemeriksaan kelamin yang mungkin mendatangkan penyakit.

Para pelacur jalanan tidak terikat pada seorang germo, mereka mendapatkan keuntungan dan seksual itu hanya untuk diri sendiri.

Dalam praktiknya sering terjadi para pelacur jalanan mendapatkan perlindungan dari seorang atau beberapa orang laki-laki bagi keselamatan mereka dari laki-laki yang berlaku kasar atau tidak bersedia membayar. Untuk urusan tersebut para pelacur jalanan bersedia

(15)

23

membagi penghasilan mereka dengan laki-laki yang memberikan perlindungan tersebut.

b. Prostitusi Panggilan

Prostitusi ini sering disebut call girl. Di Indonesia prostitusi semacam ini biasanya dilakukan melalui perantara seperti mucikari, menajer, mamas atau mami sekaligus operasi kegiatan seks tersebut di bawah pengawasan perantara tadi dan semakin berkembangnya teknologi biasanya cara memesan para PSK menggunakan media online. Seperti menggunakan Facebook, WhatsApp, Line dll.

Salah satu ciri khas dari prostitusi panggilan biasanya kegiatan tidak dilakukan pada tempat-tempat tertentu saja akan tetapi selalu berubah- ubah. Pemilihan tempat didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak, adakalanya dilakukan di hotel-hotel, kos-kosan atau yang lain.

Bila dibandingkan dengan prostitusi jalanan, prostitusi panggilan ini tergolong yang memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Mereka biasanya meminta bayaran dengan tarif mencapai ratusan ribu untuk short time. Penghasilan yang di peroleh dari pelayanan seksual tersebut

dibagi dua berdasarkan kesepakatan dengan germo ataupun mucikari.

c. Prostitusi Rumah Bordil

Prostitusi rumah berdil yaitu praktik pelacuran, dimana pelacur dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa rumah-rumah yang dinamakan bordil, yang mana umumnya di setiap bordil dimiliki oleh

(16)

24

namanya mucikari atau germo. Sering disebut bahwa jenis prostitusi yang berbentuk rumah bordil mempunyai fungsi social karena memberikan lapangan kerja pada berbagai pihak, antara lain penjual makanan, tukang cuci pakaian, penjual obat dan usaha-usaha lainnya yang mendapatkan keuntungan dengan adanya rumah bordil tersebut.

d. Prostitusi Terselubung

Prostitusi ini terjadi bukan hanya secara langsung antara penjual dan pembeli, tetapi bisa juga melalui perantara (mucikari atau germo).

Biasanya prostitusi ini dijumpai dengan kedok salon dan spa, panti pijat, bisa juga tempat hiburan malam (karaoke dan club malam), dan bisa juga melalui media sosial (prostitusi online).

Referensi

Dokumen terkait

Furnitur dalam bentuk partisi ruangan ini sering kali diaplikasikan ke dalam konsep rumah modern yaitu dimana rumah modern tidak terlalu banyak mengandalkan tembok-tembok

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

Sedangkan Istarani (2011: 15) model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan titik-titik / daerah potensi panas bumi (geothermal), menganalisa hal-hal yang berkaitan lainnya dengan menggunakan citra Landsat ETM

Melangsungkan pernikahan dibawah umur di Jorong Galagah Nagari Alahan Panjang dilakukan dengan motif untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,

Dari hasil analisa mineral berat, ternyata daerah Selat Bali khususnya perairan sekitar Pantai Banyuwangi. mengandung cukup banyak besi terutama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi di sekitar abutmen pada kondisi aliran jernih (clear-water scour) untuk saluran

Antagonis reseptor muskarinik menyekat efek asetilkolin dengan memblok ikatan ACh dan reseptor kolinergik muskarinik pada neuroefektor yang terdapat pada otot