• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

IV KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

4.1. Kondisi Fisik DAS Ciliwung Hulu

Luas DAS Ciliwung bagian hulu adalah + 14.876,37 ha. Curah hujan rata- rata tahun 1989-2001 adalah 3.636 mm/tahun ( BP DAS Citarum-Ciliwung 2003).

Tipe iklim DAS Ciliwung hulu menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm ) dan Bulan Kering (< 100 mm ) adalah termasuk kedalam Type A. Berdasarkan klasifikasi Oldeman tipe iklim di DAS Ciliwung hulu termasuk pada tipe iklim B2 yang mempunyai 7 sampai 9 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4 bulan kering, dan tipe iklim C1 yang mempunyai 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering (Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil 2003b). Tipe iklim B2 terdapat di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung, sedangkan tipe ikllim C1 terdapat di Kecamatan Ciawi ((Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil 2003b). Suhu udara di DAS Ciliwung hulu berkisar antara 14,8o– 26,6o C. Hasil penelitian Fakhrudin (2003) menyebutkan curah hujan di Stasiun Katulampa kurun waktu 1972-1999 terbesar harian rata-rata114 mm.

4.1.1. Morfologi, Litologi dan Tanah

Berdasarkan kondisi lereng dan beda tinggi, serta kenampakan lapangan, DAS Ciliwung Hulu dikelompokkan menjadi 4 (empat) satuan morfologi yaitu, morfologi pedataran tinggi, morfologi bergelombang landai, morfologi perbukitan terjal dan morfologi pegunungan (Suhari et al.1991). Morfologi pedataran tinggi terletak pada elevasi antara 600 – 1300 m dpl, kemiringan lereng kurang dari 8%

akan tetapi pada lembah sungai kemiringannya lebih terjal (Suhari et al. 1991).

Batuan penyusunnya terutama tufa dan breksi hasil erupsi G. Gede dan G.Pangrango, dengan aliran sungai dendritik-paralel (Suhari et al. 1991).

Morfologi bergelombang landai berada pada elevasi 1000 m sampai 1500 m dari muka laut, umumnya merupakan kaki G. Gede dan G. Pangrango, dengan

(2)

kemiringan lereng antara 8-45% (Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil 2003).

Batuan penyusun morfologi bergelombang landai adalah tufa dan breksi, dengan sungai berpola dendritik-paralalel (Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil 2003).

Morfologi perbukitan terjal terdapat dibagian hulu DAS Ciliwung hulu, dengan kemiringan lereng berkisar antar 25% sampai lebih dari 70%, tersusun dari satuan breksi dan tufa hasil erupsi G. Gede dan Pangrango (Suhari et al.1991).

Elevasi terendah pada morfologi perbukitan terjal adalah 1400 m dari muka laut dan elevasi tertinggi 1950 m dari muka laut. Sungai-sungai yang mengalir berpola subradial-subparalel (Ditjen Penataan Ruang Depkimpraswil 2003).

Morfologi pegunungan merupakan bagian lereng daerah pegunungan, dengan puncak-puncaknya antara G. Talaga (1.608 m), G Gedogan 1.688 m), G Luhur (1.745 m), G Kencana (1.803 m) G. Joglog (1.844 m), Bukit (pasir) Gegerbentang (2.042 m) dan G Pangrango (3.019 m). Elevasi di kawasan ini berkisar antara 1.015 m dan 3.019 m dpl. dan kemiringan lereng >40%. Satuan morfologi tersusun dari endapan volkanik, yaitu lava dan breksi, dengan sungai berpola dendritik (Suhari et al. 1991).

Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung hulu dibangun oleh formasi geologi volkanik, yaitu komplek utama G. Gede dan Komplek G. Pangrango. Litologi kawasan DAS Ciliwung hulu adalah batuan volkanik, breksi dan lava dari G.

Kencana dan Limo berumur kuarter tua dan sebagian batuan tersebut ditutupi oleh batuan gunung api muda berkomposisi andesitik hasil erupsi G Pangrango dan G.

Gede ( Suhari et al. 1991).

Berdasarkan peta tanah tinjau Kabupaten Bogor skala 1 : 250.000, jenis- jenis tanah yang ada di wilayah DAS Ciliwung hulu meliputi jenis komplek Aluvial Kelabu, Andosol Coklat, Latosol Coklat, Regosol Coklat, dan Latosol Coklat Kemerahan. Bahan induk tanah di DAS Ciliwung hulu adalah tufa volkanik sebagai bahan dasar pembentuk tanah Latosol. Jenis tanah Latosol umumnya berbahan induk batuan volkanik yang bersifat intermidier, bersolum dalam, pH agak tinggi dengan kepekaan terhadap erosi rendah, sedangkan jenis tanah Regosol dan Andosol umumnya agak peka terhadap erosi.

(3)

4.1.2. Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan dan Tanah

Terdapat 4 sifat fisik dan keteknikan batuan dan tanah di DAS Ciliwung hulu yaitu (Suhari et al.1991 ) :

a. Batuan Lahar, Breksi Tufaan dan Lapili dari G. Salak (Qvsb)

Pada kelompok ini, batuan terdiri dari tufa dengan sisipan breksi. Umumnya tufa telah lapuk menjadi lempung atau lempung pasiran tebal yang sifatnya lunak dan rapuh. Daya dukung tanah1 hasil lapukan batuan untuk menopang fondasi bangunan, rendah sampai menengah (15-25 kg/cm2). Batuan menunjukkan sifat lunak sehingga mudah digali atau dipotong dengan peralatan sederhana. Tanah hasil pelapukan batuan (top soil) tipis (<30 cm), dan bersifat agak lepas, akan tetapi cukup tahan terhadap erosi jika vegetasi diatasnya tidak terganggu. Nilai permeabilitasnya sedang sampai tinggi yaitu antara 10-410-3cm/detik, sehingga secara umum endapan batuan mempunyai daya resap air sedang sampai tinggi.

Breksi terdapat sebagai sisipan-sipan tipis dengan ketebalan <1 m dan sebarannya tidak menerus. Sisipan breksi terdapat pada kedalaman 1-5 m dari permukaan tanah setempat, berupa bongkahan dengan diameter 10 cm hingga lebih dari 50 cm, hubungan antar bongkah masih lepas, daya dukung terhadap fondasi sangat tinggi (tekanan konus pada sondir >100 kg/cm2) dan mampu menopang fondasi bangunan berat.

b. Batuan volkanik G. Pangrango (Qvpo):

Endapan breksi volkanik hasil erupsi G. Pangrango terdiri dari kerikil sampai bongkah yang tertanam dalam masa dasar tufa berbutir pasir, sifatnya lepas. Daya dukung tanah hasil lapukan batuan untuk menopang fondasi, sangat tinggi(>100 kg/cm2). Batuan ini agak sulit dipotong atau digali, untuk pemotongan atau penggalian skala besar diperlukan peralatan mekanik. Tanah hasil pelapukan batuan, tipis berupa pasir kerikilan yang bersifat lepas dan mudah tererosi khususnya pada lereng terjal. Nilai permeabilitas batuan berkisar

1Daya dukung tanah untuk fondasi diukur dari tekanan konus sondir. Daya dukung rendah tekanan konus sondir <20 Kg/cm2; menengah 20-50 kg/cm2; tinggi 50- 100 kg/cm2 ; sangat tinggi >100 kg/cm2 (Suhari et al. 1991)

(4)

antara 10-410-3cm/detik, secara umum daya resap air dari endapan batuan adalah sedang sampai tinggi.

c. Lava Basal dari G. Geger Bentang (Qvba):

Pada kelompok lava basal dari G. Geger Bentang(Qvba), tufa umumnya telah lapuk menjadi lempung atau lempung pasiran tebal yang sifatnya cukup padu namun lunak, dan daya dukungnya untuk menopang fondasi rendah sampai menengah (15-25 kg/cm2). Batuan menunjukkan sifat lunak sehingga mudah digali atau dipotong dengan peralatan sederhana. Tanah hasil lapukan Qvba tipis (<40 cm) sifatnya kohesif dan tahan terhadap erosi. Nilai permeabilitas antara 10-510-4 cm/detik sehingga secara umum daya resap air dari endapan batuan ini adalah rendah sampai sedang.

d. Breksi Volkanik dan Lava G Kancana dan G Limo (Qvk):

Sifat fisik dan keteknikan breksi volkanik dan lava hampir sama, sifatnya padu dan keras. Daya dukung tanah hasil lapukan batuan, sangat tinggi (>100 kg/cm2) dan mampu menopang bangunan berat. Batuan menunjukkan sifat kaku dan keras sehingga pemotongan atau penggalian dalam skala besar harus menggunakan peralatan mekanik. Tanah hasil lapukan kedua batuan secara umum relatif tipis (<40 cm). Namun untuk batuan lava yang telah melapuk dapat mencapai tebal 200 cm dan untuk batuan volkanik dapat mencapai tebal 500 cm.

Tanah lapukan tersebut berupa lempung pasiran kerikilan yang bersifat agak lepas sampai agak lengket sehingga tahan terhadap erosi. Nilai permeabilitas kedua batuan yang belum lapuk 10-5 cm/detik, namun untuk breksi volkanik yang telah lapuk nilai permeabilitasnya antara 10-410-3 cm/detik sehingga secara umum daya resap air dari batuan ini adalah rendah sampai tinggi.

4.1.3 Kawasan Resapan Air Tanah

Kawasan resapan air tanah adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aquifer) yang berguna sebagai sumber air. Kemampuan lahan untuk meresapkan

(5)

air tergantung pada struktur tanah dan batuan pembentuknya serta geomorfologi.

Menurut PP No 26/2008 tentang RTRWN kriteria kawasan resapan air adalah:

a. Memiliki jenis fisik batuan dengan kemampuan meluluskan air dengan jumlah yang berarti.

b. Memiliki lapisan penutup tanah berupa pasir sampai lanau.

c. Memiliki hubungan hidrogeologis yang menerus dengan daerah lepasan.

d. Memiliki muka air tanah tidak tertekan yang letaknya lebih tinggi daripada muka air tanah yang tertekan.

Batuan hasil erupsi gunung api yang lebih tua umumnya mempunyai permeabilitas yang lebih rendah yaitu <10-4 cm/detik, akan tetapi apabila tanah lapukannya cukup tebal maka nilai permeabilitasnya dapat mencapai 10-3 cm/detik (Suhari et al. 1991). Batuan dan tanah yang dibentuk oleh breksi dan tufa yang belum padu, sifat permeabilitasnya tinggi (>10-3cm/detik) (Suhari et al. 1991).

Berdasarkan peta hidrogeologi skala 1:100.000, sebagian besar DAS Ciliwung hulu tertutup oleh batuan dan tanah hasil lapukan dari breksi volkanik hasil erupsi G Pangrango(Qvpo) dan breksi volkanik dan lava hasil produksi G.

Kancana dan Limo(Qvk). Permeabilitas hasil pelapukan batuan tersebut, sedang sampai tinggi (10-410-3 cm/detik). Daerah Gunung Mas merupakan daerah breksi volkanik dan tufa hasil erosi G. Pangrango nilai permeabilitas batuannya > 10-3 cm/detik. Di DAS Ciliwung hulu juga dijumpai breksi volkanik dan lava hasil erupsi G Kencana dan Limo dengan permeabilitas rendah (<10-5 cm/detik). Di DAS Ciliwung hulu, daerah peresapan air terutama terletak pada ketinggian

>1.050 m dpl.

Berdasarkan peta hidrogeologi, komposisi litologi dan sifat permeabilitas batuan, DAS Ciliwung hulu mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Aluvial endapan pantai terutama terdiri atas pasir dan kerikil.

Permeabilitas antara 5 – 102 m/hari (berada di seputar puncak gunung Pangrango, G Kencana-Limo daerah Cisarua).

(6)

b. Aluvium endapan sungai, terdiri dari lempung lanau kerikil dan kerakal.

Permeabilitas berkisar antara 103 sampai 10-1 m/hari ( berada di sekitar aliran sungai Ciliwung, Ciawi, Cisarua, Megamendung).

c. Lempung-pasir halus, permeabilitas antara 105sampai 32 m/hari (di utara Megamendung).

Berdasarkan peta hidrogeologi 1:100.000, ketersediaan air tanah dan produktivitas aquifer Das Ciliwung hulu terdiri atas:

a. Aquifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir.

- Aquifer produktif tinggi dengan penyebaran luas berada di sekitar Kecamatan Megamendung dan Ciawi dekat kota Bogor.

- Aquifer produktif sedang dengan penyebaran luas, berada disekitar Ciawi, Megamendung dan Cisarua utara.

- Aquifer produktif setempat berada di sekitar kecamatan Megamendung dan Cisarua.

b. Aquifer (bercelah atau sarang) dengan produktivitas kecil dan daerah air tanah langka atau tak berarti, berada sekitar Cisarua selatan.

4.1.4 Potensi Bencana Alam

Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang teridentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Berdasarkan PP no 26/2008 tentang RTRWN, kawasan rawan bencana alam ditetapkan berdasarkan kriteria berikut :

a) Kawasan yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi.

b) Kawasan rawan bencana gunung api dengan kriteria berada sekitar kawah /kaldera, dan atau sering dilanda awan panas, aliran lava, aliran lahar, aliran gas beracun.

c) Kawasan rawan gempa bumi dengan kriteria kawasan yang berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi skala Modified Mercally Intensity (MMI) VII – XII.

d) Kawasan yang terletak di zona patahan aktif, dengan kriteria sempadan dengan lebar paling sedikit 250 m dari tepi jalur patahan aktif.

(7)

e) Kawasan rawan tsunami dengan kriteria pantai dengan elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah mengalami tsunami.

f) Kawasan rawan abrasi dengan kriteria pantai yang berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi.

g) Kawasan rawan bahaya gas beracun dengan kriteria wilayah yang berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya gas beracun.

Bencana alam yang ditemui di DAS Ciliwung hulu adalah longsor dan gerakan tanah. Bahaya letusan gunung api tidak dijumpai, karena gunung api yang terakhir aktif adalah G. Pangrango yang kini telah padam (Suheri et al.

1991), sedangkan G. Gede aliran laharnya tidak menuju ke DAS Ciliwung hulu (ESDM 2008b).

Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi–ESDM (2008) untuk Provinsi Jawa Barat, Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua merupakan zona berpotensi gerakan tanah menengah. Artinya pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan diatas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. Dengan menggunakan kriteria daerah rawan bencana yang tercantum dalam PP No 26/2008 tentang RTRWN, wilayah dengan potensi gerakan tanah menengah belum digolongkan sebagai daerah rawan bencana alam.

Berdasarkan peta rawan longsor 1:100.000 dari BP DAS Ciliwung-Citarum, 2007 (Lampiran 9), terdapat 4 klasifikasi longsor di DAS Ciliwung hulu, yaitu : a) Kawasan dengan klasifikasi sangat bahaya, dijumpai di Kecamatan Ciawi

yang berbatasan dengan Kota Bogor dan di kawasan tengah DAS Ciliwung hulu yaitu di Kecamatan Cisarua.

b) Daerah dengan klasifikasi bahaya, berada di kawasan bermorfologi pegunungan, merupakan kawasan hutan dan kebun teh di Kecamatan Cisarua.

c) Daerah klasifikasi longsor potensial berada di bagian utara DAS Ciliwung hulu yaitu di Kecamatan Megamendung, dan sepanjang jaringan jalan Bogor- Cianjur.

(8)

d) Daerah dengan klasifikasi normal, artinya tidak rawan longsor, berada di bagian tengah DAS meliputi sebagian Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Megamendung.

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi 4.2.1. Jumlah Penduduk

Selama kurun waktu 1997 sampai 2006, laju pertumbuhan penduduk yang terdiri dari laju kelahiran dan kematian serta laju migrasi masuk dan keluar, di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua adalah 3,15 % per tahun, dengan kepadatan penduduk untuk tiga kecamatan tersebut sebesar 23 orang/ha. Laju pertumbuhan penduduk di DAS Ciliwung hulu pada kurun waktu yang sama adalah 3,14 % per tahun dengan kepadatan penduduk 17 orang/ha. Jumlah orang per KK di DAS Ciliwung hulu selama tahun 1997 -2006 berkisar antar 4–4,79 orang atau rata-rata 5 orang (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Penduduk DAS Ciliwung Hulu dan Kecamatan Ciawi, Cisarua Megamendung Tahun 1997-2006

DAS Ciliwung Hulu Kab. Bogor Kec. Ciawi,Cisarua, Megamendung Tahun

Jumlah pddk (orang)

Kepadatan pddk (org/ha)

Laju Pertum buhan * (%)/tahun

Rata-rata Penduduk per KK

Jumlah Penduduk

(orang)

Laju Pertum buhan * (%)/tahun

1997 188.670 13 - 4,67 220.409 -

1998 190,594 13 1,02 td 220.430 0.01

1999 196.015 13 2,84 td 222.088 0.75

2000 200.955 14 2,52 4,79 228.746 3.00

2001 202.623 14 0,83 td 230.182 0.63

2002 208.849 14 3,07 4,76 234.911 2.05

2003 210.834 14 0,95 4,01 236.116 0.51

2004 222.212 15 5,40 td 244.727 3.65

2005 236.705 16 6,52 td 268.819 9.84

2006 249.199 17 5,28 4.17 291.258 8.35

Laju pertumbuhan penduduk

(1997-2006) 3,14

Laju pertumbuhan

penduduk 1997-2006 3,15

Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2002; DitJen Penataan Ruang Dep Kimpraswi(,2003); Bapeda Kabupaten Bogor (2007); dan hasil perhitungan(*)

4.2.2. Kondisi Sosial - Ekonomi Penduduk

Keadaan ekonomi penduduk DAS Ciliwung hulu Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa keluarga miskin tahun 2006 terbanyak berada di Kecamatan

(9)

Ciawi sebesar 31,22 % dari jumlah kepala keluarga (KK) di Kecamatan Ciawi, keluarga miskin terbanyak (45,45%) di Desa Jambu Luwuk (Tabel 4).

Tabel 4. Jumlah Keluarga dan Penduduk Miskin DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor Tahun 2006

Kecamatan KK Orang %

1.Ciawi 485 2.226 31,22

2. Megamendung 440 1.740 21,84

3. Cisarua 571 1938 21,21

Rata-rata DAS Ciliwung hulu 499 1968 24.76

Sumber: Bapeda Kab. Bogor, 2007 diolah

Mata pencaharian penduduk di DAS Ciliwung hulu didominasi oleh kegiatan di bidang jasa. Di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang jasa dan perdagangan, sedangkan di Kecamatan Sukaraja mata pencaharian penduduk masih tetap didominasi kegiatan pertanian, selain kegiatan perdagangan. Perkembangan kegiatan pariwisata yang pesat di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua, memberikan peluang pada masyarakat untuk bekerja di sektor non pertanian.

(Tabel 5).

Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk DAS Ciliwung Hulu Tahun 2006

Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja DAS Ciliwung Hulu Mata

pencaharian

orang % orang % orang % orang % orang %

Pertanian 560 3,78 2.028 8,35 1.349 4,59 2.066 44,20 6.003 8,21 Pedagang 6.739 45,51 8.879 36,57 12.832 43,73 1.845 39,47 30.295 41,44

Jasa 6.159 41,60 12.087 49,79 13.781 46,96 614 13,14 32.641 44,65

Industri 111 0,75 205 0,84 118 0,40 41 0,88 475 0,65

PNS/ABRI 1.238 8,36 1.078 4,44 1.266 4,31 108 2,31 3.690 5,05 Jumlah 14.807 100,00 24.277 100,00 29.346 100,00 4674 100,00 73.104 100,00 Sumber :Dinas Kependudukan Kab. Bogor, 2006 (diolah)

Tingkat pendidikan penduduk di DAS Ciliwung hulu didominasi oleh tamatan SD (57,21%). Kecamatan Ciawi merupakan kecamatan dengan tingkat pendidikan penduduk tamat perguruan tinggi, yang relatif cukup besar (8,57%) dibandingkan kecamatan lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Tingkat Pendidikan Penduduk DAS Ciliwung Hulu Tahun 2006

Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja DAS Ciliwung hulu

Tingkat

Pendidikan orang % orang % orang % orang % orang %

Tdk tmt SD 1.909 4,40 4.571 6,04 5.259 6,13 28 0,79 11.767 5,65

Tamat SD 21.847 50,40 45.948 60,72 48.980 57,08 2455 68,88 119.230 57,21

(10)

Ciawi Megamendung Cisarua Sukaraja DAS Ciliwung hulu Tingkat

Pendidikan orang % orang % orang % orang % orang %

Tamat SLTP 7.386 17,04 11.218 14,82 14.991 17,47 772 21,66 34.367 16,49

Tamat SLTA 8.489 19,58 10.524 13,91 13.172 15,35 227 7,77 32.412 15,58

AK/PT 3.717 8,57 2.906 4,51 3.409 3,97 32 0,90 10.567 5,07

Jumlah 43.348 100,00 75.670 100,00 85.811 100,00 3564 100,00 208.393 100,00 Sumber : Dinas Kependudukan Kabupaten Bogor, 2006 (diolah)

4.2.3. Partisipasi Masyarakat dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Partisipasi masyarakat adalah salah satu unsur penting dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena pada dasarnya kualitas lingkungan hidup tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Umumnya faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah tingkat pendidikan jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan (Sudjono 1990; Dewi 1997). Penelitian Sabri (2004) di Sub-Das Ciliwung hulu menunjukkan partisipasi masyarakat dalam membayar iuran konservasi, yang ditunjukkan oleh nilai WTP (willingness to pay), cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang pendidikan dan penghasilannya lebih tinggi (Sabri 2004).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu ukuran kualitas kehidupan masyarakat dari perspektif pembangunan manusia, terdiri atas empat komponen yaitu: angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Keempat komponen tersebut secara tidak langsung menunjukkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan tingkat kesehatan masyarakat. Nilai IPM Kabupaten Bogor selama kurun waktu 2002-2007 relatif masih rendah (Tabel 7 ).

Tabel 7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Kabupaten Bogor 2002-2007 Tahun Rata-rata

Lama Sekolah (tahun)

Angka

Harapan Hidup (tahun)

Angka Melek Huruf (%)

Kemampuan Daya Beli (Rp)

IPM (tanpa satuan)

2002 6,10 66,80 92,80 550.400 67,70

2003 6,18 66,82 92,80 551.520 67,80

2004 6,26 66,94 93,22 552.450 68,10

2005 6,89 67,10 93,91 556.750 68,99

2006 td td td td 69,45

2007 td td td td 69,70

Sumber:http://www.Bogor kab.go.id [ 1 Nov 2008]

(11)

Semakin tinggi komponen rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli masyarakat, secara tidak langsung menunjukkan tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat yang semakin tinggi pula. Berdasarkan komponen pembentuk IPM tersebut, maka IPM dapat menjadi langkah awal untuk memperkirakan kecenderungan peningkatan partisipasi masyarakat.

4.3. Tutupan Lahan

Peningkatan luas kawasan permukiman diperlihatkan oleh peningkatan tutupan lahan permukiman. Sebelum tahun 2000 kenaikan tutupan lahan permukiman relatif lambat yaitu dari 3,96% (1992) menjadi 8,49% (2000), atau meningkat sebesar 4,53%, akan tetapi setelah tahun 2000 kenaikan tutupan lahan relatif lebih cepat selama kurun waktu 6 tahun 2000 – 2006, tutupan lahan permukiman meningkat sebesar 12%. Kenaikan tutupan lahan permukiman diimbangi oleh berkurangnya luas tutupan lahan hutan/vegetasi lebat. Hal tersebut sejalan dengan semakin maraknya pembangunan kawasan perumahan baik yang berizin (ber IMB) maupun tidak berizin. Cepatnya kenaikan tutupan lahan permukiman di duga berkaitan dengan diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 dan habisnya masa berlaku HGU dan belum terbitnya HGU yang baru dari beberapa perkebunan yang berlokasi di DAS Ciliwung hulu.

Tahun 2006, tutupan lahan hutan/vegetasi lebat hanya tersisa 29,55 % dan tidak seluruhnya berstatus hutan lindung. Kawasan hutan lindung berstatus hutan negara, didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami (BP DAS Citarum-Ciliwung dan Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS bagian atas merupakan hutan produksi yang didominasi oleh tanaman Pinus sp (BP DAS Citarum-Ciliwung dan Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Tutupan lahan berupa ladang, dan tegalan sebesar 33,80 % dan tidak seluruhnya tertutup vegetasi atau sedang ditanami (Tabel 8 dan Lampiran 10).

(12)

Tabel 8. Persentase Tutupan Lahan di DAS Ciliwung Hulu Tahun 1992,1995,2000 dan 2006

1992* 1995* 2000* 2006

Bentuk Tutupan Lahan

% % % %

1. Permukiman 3,96 5,72 8,49 20,17

2.Vegetasi Lebat/Hutan 41,62 39,73 37.76 29,55

3. Perkebunan 14,93 13,15 13,41 12,80

4. Lahan Kering 35,85 36,62 36,42 33,80

5. Lahan Basah/Badan air 2,00 4,78 3,35 3,67

6. Lain-lain 1,84 0,00 0,57 0,00

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: *Biotrop (diolah) ; hasil analisis

Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung hulu secara tidak langsung dipengaruhi oleh daya tarik kawasan sebagai daerah pariwisata. Sebagai bagian dari kawasan puncak, DAS Ciliwung hulu mempunyai daya tarik bagi masyarakat sekitar Bogor dan luar Bogor untuk mendirikan rumah peristirahatan (villa, bungalow). Pemukiman yang berada di wilayah DAS Ciliwung hulu terutama di bagian atas, tidak seluruhnya berfungsi sebagai tempat tinggal (hunian), sebagian berfungsi sebagai tempat peristirahatan yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu (hari libur). Daya tarik DAS Ciliwung hulu secara tidak langsung diperlihatkan oleh meningkatnya permohonan IMB selama kurun waktu 1997-2007 (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah pemohon IMB yang Berdomisili di Luar Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung Tahun 1998 -2007

Tahun Pemohon IMB Non Perumahan (%) Keterangan

1998 23,53

1999 32,00

2000 42,98

2001 33,92

2002 td

2003 48,33

2004 58,33

2005 47,83

2006 41,73

2007 51,43

Asal pemohon adalah kota Bogor, Jakarta, Tangerang,

Bekasi, Bandung, Jawa tengah.

Sumber: Bidang Tata Bangunan Dinas Cipta karya Kab Bogor (2004); Bidang Tata Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2005); Bidang Perumahan Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor (2006); Bidang Perumahan Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2007).

Daya tarik kawasan DAS Ciliwung hulu (kawasan puncak), selain diperlihatkan oleh permohonan IMB dari luar DAS Ciliwung hulu yang terus

(13)

meningkat, diperlihatkan pula oleh perkembangan kawasan permukiman.

Pemukiman di bagian hulu cenderung memusat ke arah sepanjang jalan raya Ciawi-Cisarua.

4.4. Kualitas Lingkungan Hidup DAS Ciliwung hulu

Degradasi DAS Ciliwung hulu ditunjukkan oleh beberapa indikator yaitu lahan kritis, erosi, sedimentasi, debit air sungai, run off, kualitas air, sampah permukiman dan kejadian longsor di kawasan permukiman. Degradasi DAS Ciliwung hulu berkaitan dengan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi permukiman. Perubahan penggunaan lahan secara umum akan mengubah: a) aliran permukaan DAS; b) kualitas air; dan c) sifat hidrologi DAS (Taufik et al. 2004). Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik aliran permukaan terutama berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi lahan. Vegetasi secara fisik mampu menahan aliran permukaan dan meresapkannya ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi volume run off maupun debit air sungai (Taufik et al. 2004).

Perubahan penggunaan lahan dapat menyebabkan volume air permukaan di DAS Ciliwung hulu meningkat. Penelitian Sawiyo (2005) di salah satu sub DAS Ciliwung hulu yaitu di sub DAS Cibogo, menunjukkan debit puncak sungai Ciliwung meningkat dari 280 m3/det(1990) menjadi 383 m3/det (1996), dan terjadi peningkatan volume air hujan yang melimpas menjadi aliran permukaan (direct run-off) dari 53% (1990) menjadi 63%(1996). Hal tersebut menandakan kondisi hidrologi DAS terganggu sehingga volume air hujan yang turun sebagian besar tidak meresap kedalam tanah tetapi mengalir sebagai air permukaan dan memperbesar debit air sungai. Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu juga diperlihatkan oleh kecenderungan peningkatan debit air sungai Ciliwung maksimum pada musim hujan dan penurunan debit air sungai Ciliwung minimum pada musim kering di Bendung Katulampa Ciawi. Keputusan Menteri (Kepmen) Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 tentang pedoman penyelengggaraan pengelolaan

(14)

daerah aliran sungai menyatakan bahwa nisbah debit air sungai maksimum dengan debit air sungai minimum (Q maks/Qmin) antara 1-50 kondisi hidrologi DAS baik; 50-100 kondisi hidrologi DAS sedang dan >100 kondisi hidrologi DAS buruk. Tahun 1990 nilai Qmaks/Q min sebesar 28,92 artinya kondisi hidrologi DAS baik, sedangkan tahun 2005 nilai Q maks /Q min meningkat menjadi 4.274, artinya kondisi hidrologi DAS buruk. Penurunan kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu dari baik menjadi buruk menunjukkan fungsi ekologis DAS sebagai pengatur tata air menurun. Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu yang menurun juga diperlihatkan oleh debit banjir seratus tahunan yang cenderung meningkat, tahun 1973 sebesar 370 m3/dtk tahun 2000 meningkat menjadi 570 m3/dtk dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi 760 m3/dtk (Tabel 10).

Kondisi hidrologi DAS Ciliwung hulu yang menurun disebabkan berbagai macam faktor seperti penggunaan lahan yang tidak tepat; perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan menjadi pertanian atau permukiman dan lahan pertanian menjadi permukiman; serta erosi dan sedimentasi. Selama tahun 2001 -2002 laju erosi cenderung meningkat demikian pula dengan sedimentasi (Tabel 10).

Tabel 10. Indikator Kondisi Hidrologi DAS Ciliwung Hulu

Tahun No Indikator kondisi hidrologi

A B

Keterangan

1 Debit maksimum(m3/dtk) 132,47 17.096 Data tahun 1990 Bendung Katulampa (Kadar 2003) dan data 2005 di sub DAS Ciliwung hulu (BP DAS Citarum Ciliwung 2005)

2 Debit minimum (m3/dtk) 4,58 0.004 Data tahun 1990 Bendung Katulampa (Kadar 2003) dan data 2005 di sub DAS Ciliwung hulu (BP DAS Citarum Ciliwung 2005)

3 Q maks/Qmin 28,92 4.274 Data tahun 1990 dan 2005 Q maks/Qmin

< 50 baik 50-100 sedang

>100 buruk

4 Direct run off (%) 53 63 Data tahun 1990 dan 1996 di sub DAS Cibogo (Sawiyo 2005)

5 Kontribusi DAS Ciliwung hulu terhadap banjir di Jakarta (%)

43,20 50,70 Data tahun 1981 dan 1999 (Irianto 2000)

6 Laju erosi (ton/ha/bln) 44 74,7 Data tahun 2001 dan 2002 (Qodariahet-al.

2004)

7 Sedimentasi (ton/ha/tahun) 19,70 36,96 Data tahun 2001 dan 2002 (Qodariahet-al.

2004)

(15)

Kualitas air sungai Ciliwung hulu dipengaruhi oleh penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu, penelitian Taufik et al. (2004) menunjukkan sumber pencemar berasal dari limbah domestik akibat meningkatnya kawasan permukiman.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Taufik et al. (2004) menggunakan Indeks Storet menunjukkan kualitas air mengalami penurunan. Pada tahun 2000 indeks Storet (-18) status baik, tahun 2002 indeks Storet menjadi (-36) status buruk Selain itu penelitian Fachrul et al. (2005) menunjukkan water quality index (WQI) di Kecamatan Ciawi (Gadog) mengalami penurunan dari 95 pada tahun 1995 menjadi 70,65 pada tahun 2005. Penelitian KLH menunjukkan pada tahun 2007 kualitas air sungai Ciliwung di DAS Ciliwung hulu berstatus mutu D. Status mutu D menunjukkan DAS Ciliwung hulu telah tercemar berat sehingga tidak layak untuk dijadikan air minum, hanya layak untuk menyiram tanaman. Sumber pencemar air sungai Ciliwung berasal dari limbah domestik (permukiman), pertanian, peternakan, dan industri. Tahun 2002 dan 2009 parameter kimia, biologi dan fisik sungai Ciliwung mengalami penurunan. Sebagian besar parameter kualitas air telah melampaui baku mutu air kelas I dan II, artinya air sungai Ciliwung tidak layak untuk dijadikan pasokan air minuman (Tabel 11).

Tabel 11 Kualitas Air di DAS Ciliwung Hulu Tahun 2002 dan 2009

BM Kondisi

N o

Parameter Kualitas Air

I II 2002* 2009**

Parameter kimia

1 pH 6-9 6-9 6,1-7,28 7,4-8,19

2 BOD (mg/l) 2 3 1,6-80,7 td

3 DO (mg/l) 6 4 6-8 6-9,96

4 COD (mg/l) 10 25 7,46-120,5 132-157

Parameter Biologi

1 Tot coliform ( mg/l) 1000 5000 110-2800 200-34.100 Parameter fisika

2 Residu terlarut (TDS)mg/l 1000 1000 80 - 1.250 51-59,25 3 Residu tersuspensi (TSS) mg/l 50 50 td 8-39,50

4 Kekeruhan - - 5-90 6-27,50

Keterangan : BM= baku mutu

Sumber : *Taufik et al (2004). **Badan Lingkungan Hidup Pemda kab. Bogor (2009)

Sumber timbulan sampah di DAS Ciliwung hulu umumnya berasal dari rumah tangga, perdagangan, pariwisata, perkantoran, dan industri rumah tangga.

(16)

Pelayanan pengangkutan sampah terbatas, hanya sebagian kecil (9-27%) yang sudah terlayani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melalui dinas kebersihan dan dinas pasar. Sebagian besar penduduk mengelola sampah secara individual dengan membakar atau menimbun disekitar pekarangan rumah, bahkan sebagian masyarakat masih membuang sampah ke sungai atau lahan kosong (Tabel 12).

Tabel 12 Timbulan Sampah dan Kemampuan Pembuangan

Sampah Permukiman di DAS Ciliwung Hulu tahun 2006

Pembuangan Sampah Dibakar/ditimbun) Ke TPS No Kecamatan Asal Sampah Timbulan

sampah

(m3/hr) (m3/hr % m3/hr %

Permukiman 160 142 88,75 18 11,25

1 Ciawi

Pasar 30 0 0 30 100

Permukiman 200 182 91,00 18 9,00

2 Megamendung

Pasar td td td td td

Permukiman 200 146 73 54 27

3 Cisarua

Pasar 45 0 0 45 100

4 Sukaraja td td td td

Sumber: : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor(2006).

Bencana tanah longsor di kawasan permukiman terjadi di beberapa desa di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua. Dari tiga kecamatan tersebut, Kecamatan Megamendung yang sebagian besar wilayahnya berada di bagian tengah DAS Ciliwung hulu merupakan daerah rawan longsor, selama tahun 2007- 2008 di Kecamatan Megamendung terjadi 11 kali longsor dan jumlah desa yang mengalami longsor berjumlah 12 desa (Tabel 13).

Tabel 13 Bencana Longsor Tahun 2007-2008

di Kecamatan Ciawi, Cisarua, Megamendung

Tahun 2007 Tahun 2008

No Kecamatan

Desa Frek. longsor Desa Frek. longsor

1 Ciawi 2 2 - -

2 Megamendung 12 11 4 3

3 Cisarua 6 3 2 4

4 Sukaraja td td td td

Sumber : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, 2007 – 2008.

Berdasarkan peta rawan longsor (BP DAS 2007), terdapat empat klasifikasi daerah rawan longsor di DAS Ciliwung hulu yaitu normal, potensial, bahaya dan sangat bahaya. Sebagian besar DAS Ciliwung hulu merupakan wilayah rawan

(17)

longsor. Klasifikasi longsor sangat bahaya terdapat di bagian tengah DAS yaitu di Kecamatan Megamendung dan di perbatasan Ciawi dengan kota Bogor (Tabel 14).

Tabel 14 Klasifikasi Kawasan Rawan Longsor di DAS Ciliwung Hulu Luas

NO Klasifikasi Kawasan Longsor ha %

1 Normal 4,870.75 32,74

2 Potensial 3,115.26 20,94

3 Bahaya 6,249.93 42,01

4 Sangat Bahaya 640.42 4,30

Jumlah 14,876.37 100

Sumber: Peta Rawan Longsor BP DAS Citarum- Ciliwung (2007)

Lahan kritis di DAS Ciliwung hulu dilihat dari prosentasenya tidaklah begitu besar, akan tetapi keberadaannya perlu menjadi perhatian karena tersebar disekitar kawasan hutan konservasi di bagian selatan DAS Ciliwung hulu yaitu di Kecamatan Cisarua (Tabel 15).

Tabel 15 Tingkat Kekritisan Lahan di DAS Ciliwung Hulu 2005 Luas

No Tingkat Kekritisan Lahan ha %

1 Tidak Kritis 13,782.65 92.65

2 Potensial Kritis 228.54 1.54

3 Agak Kritis 227.55 1.53

4 Kritis 382.25 2.57

5 Sangat Kritis 255.37 1.72

Jumlah 14,876.37 100.00

Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor

4.5. Kelembagaan Penataan Ruang dan Permukiman

4.5.1. Peraturan Perundangan-Undangan Penataan Ruang dan Permukiman Penataan ruang di DAS Ciliwung, khususnya DAS Ciliwung hulu telah dimulai sejak tahun 1963 melalui Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda) provinsi dan kabupaten, maupun Surat Keputusan (SK) Gubernur. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang DAS Ciliwung hulu tertera pada Tabel 16.

(18)

Tabel 16. Peraturan Berkaitan dengan Penataan Ruang dan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu

Peraturan Perundangan Substansi

1. Perpres RI No. 13 tahun 1963 Mengatur ketertiban pembangunan baru disepanjang jalan antara Jakarta – Bogor – Puncak – Cianjur.

2 Keppres No 48 Tahun 1983 Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak- Cianjur.

3 Keppres No. 79/1985 Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak.

4 SK Gubernur KDH Tk. I Jawa BaratNo.556.1/SK.295-Huk/

1985

Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada kawasan pariwisata jalur jalan Bogor – Puncak – Cianjur.

5 Perda Kab Bogor No.3/ 1988 RDTR Kawasan Puncak Bogor .

6 Permendagri No 22/1989 Tata laksana Pengendalian dan penertiban Kawasan Puncak.

7 Keppres No 32/1990 Pengelolaan kawasan Lindung

Kriteria Kawasan : hutan lindung, resapan air,

sempadan sungai, sempadan danau, sempadan mata air.

Kriteria kawasan rawan bencana

Kewenangan pengendalian kawasan lindung.

8 SK Gubernur Jabar No 413.12/SK/222-Huk/1991 .

Kriteria lokasi dan standar teknis pelaksanaan ruang di kawasan Puncak .

9 Perda Kab. Bogor No.3/1993 RDTR Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor : cakupan isi RDTR sama dengan RDTR Kawasan Puncak Bogor 1988 10 PP No 47/1997 Ⅻ Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN).

Kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan yang memerlukan penanganan khusus dan mempunyai nilai strategis yaitu kawasan yang yang memberikan perlindungan bagi kawasan dibawahnya yaitu wilayah provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Banten.

11 Keppres No 114/1999 Penataan Ruang Kawasan Bopunjur.

• Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua yang berada di DAS Ciliwung Hulu ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan;

• kegiatan budidaya tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan energi

12 SK Bupati Kab .Bogor No 503/Kpts/Huk/1999

Susunan Tim Pertimbangan Pemberian Izin Lokasi

Mengkoordinasikan dinas/instansi terkait dlm rangka proses penerbitan izin lokasi,

• Pembentukan tim pertimbangan,

• Tugas dan tanggungjawab tim pertimbangan,

• Susunan tim pertimbangan 13 Perda Kab. Bogor No.17

/2000

RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010

Ⅻ Kecamatan Cisarua, Megamendung dan Ciawi yang berada di DAS Ciliwung Hulu ditetapkan sebagai kawasan permukiman perdesaan, permukiman perkotaan, dan pengembangan perkotaan.

(19)

Peraturan Perundangan Substansi

14 Perda Kab Bogor No 19/2000 Retribusi IPPT

Objek dan subjek retribusi;

Cara mengukur tingkat penggunaan jasa berdasarkan luas , jenis peruntukan dan lokasi;

struktur dan besarnya tarif, ketentuan perijinan.

15 Perda Kab Bogor No 23/2000 IMB : digunakan untuk pengawasan dan pengendalian pembangunan.

16 Perda Kab Bogor No 24/2000 Retribusi IMB

• Dalam rangka pengawasan dan pengendalian IMB secara teknis dan administratif diperlukan biaya.

• Penetapan besarnya retribusi IMB didasarkan pada kajian, pengawasan dan pengendalian mendirikan bangunan .

17 Keputusan Bupati No 19/2002 Juklak IMB :Persyaratan permohonan IMB dan Jangka waktu penyelesaian IMB.

18 Keputusan Bupati No 20/2002 Juklak Retribusi IMB: Kewajiban retribusi, tata cara perhitungan retribusi, tata cara pemungutan retribusi.

19 SK Bupati Kab. Bogor No 60/266/Kpts/huk/2002

Prosedur tetap pemrosesan dokumen adm pelayanan umum di bidang tata ruang dan lingkungan hidup

• Memberikan kejelasan pd masyarakat dan sebagai standar pelayanan minimal (SPM) bagi instansi terkait,

• Jenis perizinan dan pelayanan di bidang TRLH (izin lokasi ,IPPT, Izin usaha (HO), SIPAL, UKL/UPL, Amdal

• Instansi pemroses

• Persyaratan administrasi

• Mekanisme pemrosesan

• Jangka waktu penyelesaian.

20 Perda Prov Jabar No 2/ 2003 RTRW Provinsi Jabar.

• Das Ciliwung Hulu merupakan bagian dari Kawasan Andalan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.

• Terdapat kawasan di DAS Ciliwung Hulu yang merupakan bagian dari kawasan hutan yang berfungsi lindung yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor.

21 Keputusan Presiden no 34/2003 tentang

Kebijakan nasional di bidang pertanahan

Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Kewenangan tersebut adalah :

a) Pemberian izin lokasidan izin membuka tanah;

b)penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

c) Penyelesaian masalah : sengketa tanah garapan, ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, tanah ulayat, tanah kosong;

d) Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, tanah ulayat;

e) Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten /kota

(20)

Peraturan Perundangan Substansi

22 Peraturan Bupati Kab. Bogor No 2/2006

Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Pemanfaatan Ruang

• Mengakomodasi dinamika pembangunan secara terkendali

• Sebagai pedoman untuk pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan .

23 Peraturan Bupati No 14/2007 Pedoman Pengesahan Master Plan, Site Plan, dan Peta Situasi. Dalam upaya peningkatan pelayanan di bidang pengesahan rencana tapak guna mewujudkan tertib pemanfaatan ruang

24 UU No 26/2007 Penataan Ruang, ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 % dari luas daerah aliran sungai.

25 PP No 26/2008 RTRWN.

• Bopunjur merupakan kawasan Andalan

• Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional memperhatikan pola pengelolaan sumber daya air.

• Kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur merupakan kawasan Strategis Nasional.

26 Perpres No 54/2008 Penataan ruang Jabodetabekpunjur

• Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung hulu berada pada zona B3, B4 dan B5.

• Kawasan budidaya di DAS merupakan kawasan prioritas

• RTRW dijabarkan menjadi Rencana Detail yang ditetapkan dengan Perda

• RTR Kawasan Jabodetabekpunjur memuat pengaturan zonasi, rencana teknik bangunan dan lingkungan dan persyaraan teknis lainnya.

• Penyusunan rencana detail oleh daerah dikonsultasikan dengan daerah lainnya di bawah koordinasi Menteri.

27 Perda Kab Bogor No 19/2008 RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 merupakan pedoman dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan tata ruang di wilayah Kabupaten Bogor.

28 Peraturan Bupati No 75/2008 Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang merupakan pedoman teknis untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan

4.5.2. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu

Peraturan perundangan yang berkaitan langsung dengan penataan ruang permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah PP No 26/2008, Perpres No 58/2008 dan Perda Kabupaten Bogor No 19/2008. Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan pedoman dalam pembuatan rencana tata ruang di seluruh Indonesia. Pada pasal 9 PP No 26/2008

(21)

disebutkan bahwa Kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak- Cianjur (Jabodetabekpunjur) merupakan kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Untuk mewujudkan ketentuan dalam PP No 26/2008 tersebut dibuat Perpres No 58/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur(Jabodetabekpunjur).

Tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah : a) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu wilayah perencanaan dengan memperhatikan kesejahteraan dan ketahanan; b) mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; c) mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan. Pasal 49 Perpres No 58/2008 menyebutkan bahwa rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi, kabupaten dan kota yang berada di kawasan Jabodetabekpunjur harus disesuaikan dengan rencana tata ruang kawasan (RTRK) Jabodetabekpunjur. Oleh karena sebagian besar (99,41 %) dari DAS Ciliwung hulu merupakan wilayah Kabupaten Bogor sisanya 0,59 % merupakan wilayah Kota Bogor, maka penataan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu harus berpedoman pada RTRW Kabupaten Bogor. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor telah disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam RTRK Jabodetabekpunjur dan diundangkan menjadi Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor. Untuk melaksanakan ketentuan dalam Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tersebut, Bupati Kabupaten Bogor telah mengeluarkan Peraturan Bupati Kabupaten Bogor No 75/2008 tentang pedoman operasional pemanfaatan ruang.

Keterkaitan antar peraturan perundangan yang menjadi payung dalam pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu meliputi perencanaan

(22)

tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang dan kelembagaan.

Perencanaan permukiman berdasarkan UUPR No 26/2007 tidak diizinkan berada di kawasan lindung. Kawasan lindung yang dimaksud UUPR No 26/2007 maupun Perpres No 58/2008 antara lain terdiri atas: hutan lindung; kawasan resapan air; sempadan sungai/danau/waduk/mata air; kawasan rawan bencana.

Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tentang RTRW sebagai turunan dari UUPR No 26/2007 justru memperbolehkan permukiman perdesaan (Pd2) dan permukiman perkotaan (Pp3) berada di dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan. Permukiman perdesaan (Pd2) dan permukiman perkotaan(Pp3) tersebut disyaratkan mempunyai kepadatan rendah/jarang (KDB < 30%) dan berorientasi pertanian dan pariwisata/agrowisata. Permukiman di dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan yang dimaksud Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 terdiri atas : sempadan sungai/danau/mata air; kawasan resapan air; kawasan gerakan tanah tinggi (Tabel 18) . Rencana pembangunan jalan baru (kolektor primer III) menuju Kecamatan Cisarua dan Megamendung dari kecamatan lain di luar DAS Ciliwung hulu, dan pembangunan jalan baru (lokal primer I)di Kecamatan Megamendung dan Cisarua diperkirakan dapat berpengaruh terhadap perkembangan permukiman (Tabel 17).

Rencana pemanfaatan ruang untuk permukiman berdasarkan UUPR No 26/2007 dan Perpres No 58/2008 pengembangan permukiman dengan kepadatan rendah di kawasan pertanian. Dalam Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 menjadi tidak jelas karena membolehkan pengembangan permukiman bercirikan perkotaan di kawasan yang berfungsi sebagai perdesaan (Tabel 18). Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang diuraikan secara garis besar dalam UU No 26/2007 dan Perpres No 58/2008, dan dibahas lebih detail dalam Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 (Tabel 18).

Pengendalian pemanfaatan ruang pada UUPR NO 26/2007 dan Perpres No 58/2008 terdiri atas : peraturan zonasi, perizinan, insentif& disinsentif, serta sanksi, sedangkan dalam Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 ditambahkan jasa

(23)

lingkungan. Perpres No 58/2008 mengatur secara rinci tentang perizinan. UUPR No 26/2007 mengatur secara rinci sanksi administratif. Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tidak membahas perizinan dan sanksi administrarif secara rinci, tetapi membahas secara rinci partisipasi masyarakat dalam pengendalian permukiman (Tabel 19).

Koordinasi tidak disebutkan secara jelas dalam UUPR No 26/2007 tetapi Perpres No 58/2008 menyebutkan koordinasi teknis penataan ruang kawasan strategis nasional dilakukan oleh Menteri. Koordinasi kelembagaan dan kebijakan kerja sama antar daerah dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerja sama antar daerah. Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tidak membahas koordinasi secara jelas, pembahasan difokuskan pada pembentukan Badan atau Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD atau TKPRD), sebagai badan atau tim yang bersifat ad-hoc di daerah, berfungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah (Tabel 20).

Kerjasama antar daerah tidak dibahas dalam UUPR No 26/2007. Bidang yang dapat dibuat kerjasama antar daerah dibahas pada Perpres No 58/2008 yaitu persampahan, banjir, perencanaan dan pengembangan transportasi, listrik, air baku, penataan ruang dan jaringan komunikasi. Perda Kabupaten Bogor No 19/2008 tidak secara jelas membahas bidang yang dapat dibuat kerjasama antar daerah, tetapi memfokuskan diri pada perjanjian kerjasama dalam memanfaatkan jasa lingkungan. Kerjasama tidak hanya dilakukan antara daerah, tetapi juga dengan setiap penyedia jasa lingkungan (perorangan atau lembaga). Bentuk kerjasama dan kesepakatan diatur melalui peraturan bupati (Tabel 20).

(24)

Tabel 17 Perencanaan Tata Ruang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Komponen

Perencanaan

PP No 26/2008 (RTRWN)

Perpres No 54/2008( RTR Jabodetabekpunjur)

Perda Kab Bogor No 19/2008 (RTRW Kab Bogor 2005-2025)

2. Rencana Permukiman

Kawasan permukiman 1. Berlokasi diluar kws

lindung, berupa kws perkotaan atau perdesaan

2. Berlokasi di luar kws yg ditetapkan sebagai kws rawan bencana;

3. Memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kws;

4. Memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung.

1. Zona B1 untuk perumahan dgn tingkat hunian padat

2. Zona B3 dan B4 untuk perumahan tingkat hunian rendah, dilakukan rekayasa teknis dan koefisien zona terbangun diatur Perda.

3. Pemanfaatan ruang pada Zona B3 intensitas lahan terbangun rendah dilakukan rekayasa teknis dan koef isien zona terbangun diatur Perda.

4. Zona B6 untuk permukiman dan fasilitasnya dan/penyangga fungsi Zona N1. dilakukan rekayasa teknis

& koefisien zona terbangun <50%.

PM Permukiman terdiri atas permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan.

QMPermukiman perdesaan : a) permukiman perdesaan di luar kws yang berfungsi lindung (PD 1); b) permukiman perdesaan yg berada di dalam kws lindung di luar kws hutan (PD 2) RMPD 2 diarahkan utk hunian kepadatan rendah, bangunan tidak memiliki beban berat

terhadap tanah, memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa maupun terhadap potensi lingkungan (pertanian, peternak an, kehutanan, pariwisata /agrowisata).

SMPermukiman perkotaan terdiri atas : permukiman perkotaan di luar kws lindung (Pp1 dan Pp2) dan di dalam kws lindung diluar kws hutan (Pp3)

TMPp 2 diarahkan utk permukiman sedang, industri berbasis tenaga kerja & non polutan, jasa, dan perdagangan,

UMPp 3 diarahkan utk hunian rendah sampai sangat rendah /jarang, merupakan bangunan tunggal, berorientasi lingkungan (pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan, agro wisata dan pariwisata) melalui rekayasa teknologi, bangunan tdk memiliki beban berat thd tanah, dan tersebar.

2. Rencana jaringan jalan baru

Tidak diatur secara khusus Tidak diatur secara khusus 1. Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi kolektor primer III, merupakan jalan lingkar kabupaten dan jalan tembus antar wilayah kabupaten /kota perbatasan:

Cigombong – Caringin – Ciawi – Megamendung – Cisarua;

2. Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi lokal primer I, meliputi ruas:

• Cipayung – Megamendung;

• Cibanon – Gadog – Cikopo Selatan – Cisarua – Jogjogan

• Cilember – Batulayang – Ciburial – Tugu – Cisarua – Cibeureum – Taman Safari;

• Pasar Cisarua – Kopo;

• Sukagalih – Cibeureum

Tabel 18 Rencana Pemanfaatan Ruang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu

Komponen Pemanfaatan

Ruang

PP No 26/2008 (RTRWN)

Perpres No 54/2008( RTR Jabodetabekpunjur) Perda Kab Bogor No 19/2008 (RTRW Kab Bogor 2005-2025)

1. Kawasan Permukiman

Pemanfaatan ruang utk permukiman petani dan/nelayan

1. Di zona permukiman hunian rendah B3, B4, dilarang melakukan pembangunan yg mengurangi areal produktif pertanian dan wisata alam; mengurangi

1.Pengembangan permukiman bercirikan perkotaan dilakukan dgn memperhatikanfungsi kws sebagai kws perdesaan yang harus dijaga dan tidak mengganggu ekosistem kws.

(25)

Komponen Pemanfaatan

Ruang

PP No 26/2008 (RTRWN)

Perpres No 54/2008( RTR Jabodetabekpunjur) Perda Kab Bogor No 19/2008 (RTRW Kab Bogor 2005-2025)

dengan kepadatan rendah di kws peruntukan pertanian dan perikanan

daya resap air; dan/atau mengubah bentang alam.

2. Kegiatan pembangunan permukiman yg diperkenan kan di zona B6 dilakukan berdasarkan hasil kajian mendalam dan komprehensif dan setelah mendapat rekomendasi dari ketua badan yang tugas dan fungsi nya mengkoordinasikan penataan ruang nasional.

2. Pengembangan permukiman melalui sistem cluster utk menghindari penum pukan dan penyatuan antar kws permukiman, diantara cluster permukiman disediakan RTH

3. Pengembangan pemukiman khusus, melalui penyediaan tempat peristirahatan pada kws pariwisata, dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada, memperhatikan LH dan selaras dengan rencana tata ruang.

2. Peranserta Masyarakat

Tidak diatur secara detail

Tidak diatur secara detail 1. Masyarakat berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

2. Bentuk peranserta masyarakat: dalam pemanfaatan ruang :

• bantuan pemikiran dan pertimbangan

• penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan RTRW dan rencana tata ruang kawasan.

• perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW.

• bantuan teknik dan pengelolaan dlm pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Tabel 19 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu Komponen

Pengendalian

PP No 26/2008 (RTRWN) Perpres No 54/2008( RTR Jabodetabekpunjur)

Perda Kab Bogor No 19/2008 (RTRW Kab Bogor 2005-2025)

1. Pengendalian tata ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui : 1. Peraturan zonasi sistem nasional;

2. Arahan perizinan;

3. Arahan pemberian insentif & disinsentif;

4. Arahan sanksi.

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui : 1. Peraturan zonasi,

2. Perizinan,

3. Pemberian insentif dan disinsentif, 4. Pengenaan sanksi.

Pengendalian dilakukan melalui 1. Arahan peraturan zonasi;

2. Arahan perizinan;

3. Arahan pemberian insentif dan disinsentif;

4. Arahan pemanfaatan jasa lingkungan, dan 5. Arahan sanksi.

2. Zonasi Peraturan Zonasi untuk kws peruntukan permukiman disusun dgn memperhatikan:

1. Penetapan amplop bangunan;

2.Penetapan tema arsitektur bangunan;

3.penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan;

4.penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

1. Pembangunan di Zona B1 dilaksanakan melalui penerapan rekayasa teknis dan koefisien zona terbangun, diatur Perda.

2. Pembangunan di Zona B3 dan B4 dilaksanakan dgn intensitas rendah, menerapkan rekayasa teknis dan koefisien zona terbangun diatur Perda.

3. Pembangunan di zona B6 dilaksanakan dgn rekayasa teknis, koefisien zona terbangun

Peraturan zonasi permukiman disusun dgn memperhatikan:

1. Penetapan amplop bangunan;

2. Penetapan tema arsitektur bangunan;

3. Penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan;

4. Penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan

Referensi

Dokumen terkait

Model perubahan parameter kualitas air dapat digunakan untuk memprakirakan nilai kualitas air setiap segmen dari hulu sampai hilir dengan adanya baku mutu air di Daerah Aliran

Model persamaan perubahan debit aliran sungai DAS Ciliwung hulu yang dihasilkan dari analisis regresi berganda menghasilkan multikolinearitas tinggi antar peubah bebas

Dengan keterpaduan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai serta terciptanya good governance, merupakan prasyarat dari

Kebijakan otonomi daerah dalam tata kelola lingkungan hidup berimplikasi adanya kebijakan ekonomi dan politik yang berbeda antar wilayah, peme- rintah daerah yang lebih mengejar

Peningkatan penggunaan lahan pemukiman sebesar 58,34 % (Tabel 5) mengakibatkan koefisien aliran permukaan langsung semakin besar dari (dari 0,59 menjadi 0,73) karena curah hujan

Di dalam kawasan DAS yang sangat luas, di mana air mengalir dari bukit-bukit tinggi ke lembah- lembah yang rendah (seperti di daerah pegunungan), ada banyak DAS kecil

Dalam perencanaan penataan ruang kedepan, sinergi antara masyarakat Desa pekasiran, Sumberejo, Gembol, dan Pasurenan sangat diperlukan, khususnya dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengananalisis karakteristik curah hujan (CH harian, bulanan, dan tahunan), menganalisis erosivitas hujan (EI 30 ), dan untuk mengkaji