• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

LANDASAN TEORI II. 1 Pengertian Pajak Secara Umum

II.1.1 Definisi Pajak

Para ahli pajak baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah memberikan definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai pengertian pajak, tetapi pada dasarnya mempunyai banyak persamaan secara substansinya.

Prof. Dr. Rochmat Soemitro yang telah dikutip oleh Prof. Dr. M ardiasmo (2008) mendefinisikan ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” (hal. 1)

Adriani dalam buku Sukardji (2005) merumuskan pengertian pajak sebagai berikut, ”Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. (h.1)

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (hal. 4)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

(2)

8 1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya yang

bersifat dapat dipaksakan,

2. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah,

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi atau imbalan kepada individual oleh pemerintah,

4. Pajak berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara (budgeter) dan untuk tujuan mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi (regulerend).

II.1.2 Klasifikasi Pajak

M ardiasmo (2004) menulis, ”Pajak dapat dikelompokkan tiga kelompok besar menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya”. Berikut ini adalah kelompok pengelompokkannya :

1. Menurut Golongannya

a. Pajak Langsung; pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)

b. Pajak Tak Langsung; yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif; yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)

(3)

9 b. Pajak Objektif; yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh : PPN dan PPnBM 3. Menurut Lembaga Pemungutnya

a. Pajak Pusat; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh : PPh, PPN dan PPnBM serta Bea M aterai

b. Pajak Daerah; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak daerah terdiri atas :

1) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor

2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.

II.1.3 S istem Pemungutan Pajak

M enurut M ardiasmo (2008), ”Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan atas tiga macam, antara lain :

1. Official Assessment Sytem

Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, ciri-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus.

b. Wajib Pajak bersifat pasif.

(4)

10 c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus

2. Self Assessment System

Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, ciri-cirinya :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri.

b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.

c. Fiskus tidak ikut campur, melainkan hanya mengawasi.

3. With Holding System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga, untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Pihak ketiga ini selain Fiskus dan Wajib Pajak, yaitu pemotong pajak atau pemungut pajak”(hal. 7-8).

II.1.4 Fungsi Pajak

Setiap negara yang memungut pajak dari rakyatnya pasti mempunyai tujuan, yaitu untuk membiayai pemerintahan yang dijalankan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri. Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan dapat mencerminkan keadilan dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai dengan Objek Pajak yang dimiliki rakyat. Sedangkan besarnya Objek Pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu pelaksanaan pemungutan pajak juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk di dalamnya ekonomi rakyat secara individu.

(5)

11 Ada dua jenis fungsi pajak, diantaranya :

1. Fungsi Budgeter (Penerimaan)

Pajak mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Pemerintah berupaya untuk menghimpun dana dari masyarakat sebesar-besarnya untuk mengisi kas negara yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Pada fungsi budgeter ini dapat dianalisis dengan cara melihat APBN atau APBD untuk pajak daerah. Penerimaan negara dari pemungutan pajak dalam APBN merupakan bagian dari penerimaan atau pendapatan dalam negeri, dimana jumlah penerimaan dalam negeri ini bila melebihi pengeluaran rutin maka sisanya merupakan tabungan pemerintah.

2. Fungsi Regulered (Mengatur)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial, sebagai contoh : Pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

Pajak juga berfungsi sebagai salah satu alat dekorasi, yaitu alat perekonomian rakyat.

Pajak diambil dari orang pribadi atau badan usaha yang memiliki pendapatan lebih untuk digunakan dalam pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana untuk kepentingan umum dan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah.

II. 2 Teori Pajak Pertambahan Nilai II.2.1 Definisi Pajak Pertambahan nilai

Djoko M uljono (2008) mendefinisikan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut, ”Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added Tax (VAT) merupakan Pajak Penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada setiap transaksi. Nilai tambah adalah setiap tambahan

(6)

12 yang dilakukann pejual atas barang atau jasa yang dijual, karena pada prinsipnya setiap penjual menghendaki adanya tambahan tersebut yang bagi penjual merupakan keuntungan”.

(h.4)

Sedangkan M uhammad Rusjdi (2007) mendefinisikan PPN sebagai berikut, ”Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang di pungut berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen”. (h.01-3)

Kemudian undang-undang ini diubah dengan undang-undang No.11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 dimana dilakukan perubahan kedua atas UU no.8 Tahun 1983 tesebut menjadi UU No. 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2001 hingga sekarang. PPN merupakan pajak tidak langsung yang sudah mulai diterapkan di Indonesia mulai tahun 1950 dengan nama pungutan Pajak Peredaran, kemudian pada tahun 1951 diubah menjadi Pajak Penjualan dan terakhir pada tahun 1985 nama pungutannya berubah menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang beraku sampai saat ini.

II.2.2 Latar Belakang Penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai Sukardji (2005) menjelaskan secara gamblang mengenai lahirnya Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengganti Pajak Penjualan yang sebelumnya berlaku di Indonesia sebagai berikut, ”Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-undang nomor 35 Tahun 1985, sejak tanggal 1 April 1985 telah diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya didasarkan pada Undang-undang nomor 8 Tahun 1983. Lebih dari

(7)

13 tiga dasawarsa Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah menunjukkan dedikasinya dalam pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia, namun dalam angka pelaksanaan program reformasi (pembaharuan) sistem perpajakan tahun 1983, Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Adapun latar belakang pengamatan tersebut dapat diartikan sebagai berikut :

1. Dalam pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951, sudah terjadi banyak perubahan yang fundamental baik yang bersifat penyempurnaan maupun tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.

2. M ekanisme pemungutan Pajak Penjualan 1951, dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan Pajak Berganda. Keadaan ini mendorong wajib pajak untuk menghindar dari pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak.

3. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak, untuk pengusaha tertentu diterapkan sistem self assesment system, sedangkan untuk pengusaha lainnya digunakan official assesment system.

Keadaan ini sangat menyulitkan dalam pelaksanaan pengawasannya.

4. Sebagai akibat pengenaan Pajak Berganda, maka Pajak Penjualan menjadi tidak netral baik dalam perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional, karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan diekspor.

(8)

14 5. Variasi tarif yang cukup banyak sampai 9 (sembilan) macam tarif, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pegaruhnya terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak.

II.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Terra dalam buku Sukardji (2005) mengemukakan, ”karakteristik legal Pajak Pertamahan Nilai adalah sebagai berikut :

1. General Tax on consumption;

2. Indirect Tax;

3. Neutral;

4. Non-cumulative.

Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut :

a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung

Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antar pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab ats pembayaran pajak ke kas negara berada di pihak yang berbeda. Pemikul pajak itu secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau pengsaha JKP. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, administrasi pajak (fiskus) akan meminta pertanggungjawaban

(9)

15 kepada penjual BKP atau pengsaha JKP tersebut, bukan kepada pembeli walaupum kemungkinan pembeli tersebut juga berstatus sebagai PKP.

b. Pajak objektif

Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hkum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak.

Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak.

c. M ulti Stage Tax

M ulti Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.

Setiap penyerahan barang yang menjadi objek pakjak pertambahan nilai mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian ditingkat perdagangan besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan pajak pertambahan nilai.

d. PPN terutang untuk dibayar ke kas negara di hitung menggunakan indirect substraction method/credit method/invoice method.

Pajak yang dipungut oleh PKP penjual atau pengusaha jasa tidak secara otomatis di bayar ke kas negara. PPN teutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan pajak masukan (input tax) dengan PPN

(10)

16 yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan pajak keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method). Pajak Keluaran yang dikurangkan dengan Pajak M asukannya untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayarkan ke kas negara dinamakan tax credit. Oleh karena itu pola ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlihat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti. Dokumen penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (Tax Invoice). Sehingga metode ini dinamakan juga M etode Faktur (Invoice M ethod).

e. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi dalam negeri

Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu komoditi impor dikenakan PPN dengan presentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan untuk perseorangan maupun badan baik swata maupun badan pemerintah, karena konsumen tidak semata-mata mengkonsumsi barang tetapi juga mengkonsumsi jasa. M aka agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, PPN disamping dikenakan terhadap konsumsi atas barang juga dikenakan terhadap konsumsi atas jasa.

f. Pajak pertambahan nilai bersifat netral

(11)

17 Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu :

- PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa

- Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle)

Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip pemungutan yaitu :

1. Prinsip tempat asal (origin principle)

2. Prinsip tempat tujuan (destination principle)

Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa akan dikonsumsi.

Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN dipungut berdasarkan tempat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kedudukan PPN dalam perdagangan internasional. Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN di bidang perdagangan internasional, maka prinsip yang dianut adalah prinsip tempat tujuan (destination principle). Pada prinsip ini komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri. Karena kedua komoditi ini sama-sama dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan beban pajak yang sama. Dengan demikian maka kompetisi komoditi impor dan produk domestik tidak dipengaruhi oleh PPN.

g. Tidak menimbulkan pengenaan Pajak Berganda

(12)

18 Kemungkinan pengenaan Pajak Berganda seperti yang di alami pada era Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dapat dihindari sebanyak mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai di pungut atas nilai tambah saja.

Keadaan ini berbeda dengan situasi di era Undang-undang Pajak Penjualan 1951, yang dalam pelaksanaannya, pengusaha tidak diberi hak untuk memperoleh kembali Pajak Penjualan yang di bayar atas perolehan bahan baku atau barang modal. Akibatnya Pajak Penjualan yang terutang sepenuhnya merupakan hasil perkalian Pajak Penjualan dengan peredaran bruto””. (h.19-25)

II.2.4 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Sukardji (2005) menyebutkan bahwa ”dengan mengenakan PPN atas nilai tambah (added value) dari barang kena pajak atau jasa kena pajak yang diserahkan oleh pengusaha kena pajak maka kekhawatiran timbul efek pengnenaan pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimakud dengan nilai tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi pembelian, bunga modal, gaji/upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik, serta pengeluaran lainnya, dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah dibidang perdagangan dapat diartikan juga sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.

Dalam menghitung pajak yang terutang atas nilai tambah tersebut, dikenal ada tiga metode yaitu :

1. Addition M ethod

(13)

19 Berdasarkan metode ini, PPN dihitung berdasarkan jumlah seluruh unsur nilai tambah dkalikan dengan tarif PPN yang berlaku. Kelemahan metode ini adalah menuntut setiap pengusaha untuk melakukan pembukuan yang dikerjakan dengan tertib dan akurat mengenai biaya yang dikeluarkan dan laba yang diharapkan dari masing-masing barang produlsi atau barang dagangan.

2. Substraction M ethod

Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku. M etode ini benar-benar sangat sederhana.

3. Credit M ethod

M etode terakhir ini sebenarnya hampir sama dengan substraction method, hanya bedanya dalam credit method yang dicari bkan sekedar selisih antara harga jual dan harga beli, melainkan selisih antara pajak yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat penjualan. Oleh karena itu, berrdasarkan metode ini PPN yang terutang merupakan hasil pengurangan antara PPN yang dipungut oleh pengusaha pada saat melakukan penjualan dengan PPN yang dibayar pada saat ia melakukan pembelian.

Dari ketiga metode perhitungan berikut, UU PPN 1984 menganut credit method/invoice method/indirect substraction method. Sesuai dengan semua metode ini, mekanisme pengurangan pajak yang dibayar pada saat melakukan pembelian terhadap pajak yang dipungut pada saat melakukan penjualan, dalam UU PPN 1984 disebut mekanisme pengkreditan. Dengan metode ini walaupun pengenaan PPN dikenakan secara bertingkat, dapat dihindari kemungkinan timbulnya pengenaan pajak berganda.

(14)

20 Dalam credit method, dikenal adanya pajak yang dibayar pada saat perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan pajak yang dipungut pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Karena Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diperoleh tersebut merupakan masukan (input) untuk kegiatan usaha, maka pajak yang dibayar pada saat perolehannya dinamakan Pajak M asukan (Input Tax). Sedangkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada pihak lain selaku pembeli atau penerima jasa, merupakan produk (output) dari kegiatan usaha. Oleh karena itu pajak yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran (Output Tax).

Setiap pemungutan PPN, Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan wajib membuat Faktur Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak, dinamakan Faktur Pajak Keluaran. Sebaliknya bagi Pengusaha Kena Pajak yang menerima, merupakan Faktur Pajak M asukan.

II.3 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Terutang II.3.1 Dasar Pengenaan Pajak dan tarif PPN

A. Dasar Pengenaan Pajak

Berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-undang PPN 1984, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan M enteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

Sukardji (2003) menjelaskan dan merinci mengenai dasar pengenaan pajak sebagai berikut, ”dasar pengenaan pajak dalam PPN adalah

a. Harga jual dan penggantian

(15)

21 Dalam pasal 1 angka 18 UU PPN 1984 dirumuskan harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Kemudian dalam pasal 1 angka 19 UU PPN 1984 dirumuskan penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b. Nilai impor

Djoko M uljono (2008) menjelaskan bahwa, ”nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah punutan lainnya yan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan Perundang-undangan Pabean.

Dimana nilai impor yang menjadi dasar pengenaan pajak dihitung menggunakan nilai kurs yang ditentukan oleh M enteri Keuangan”. (h.41)

Pasal 1 angka 20 UU PPN 1984 disebutkan nilai impor adalah niali berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan pabean untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut undang-undang ini.

(16)

22 B. Tarif PPN

Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak M asukan yang telah dibayar dari barang yang di ekspor dapat dikreditkan.

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan peraturan pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15%

(lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

II.3.2. S ubjek dan Objek Pajak 1. Subjek PPN

Sukardji (2005) menyebutkan, ”subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang

• Melakukan atau sejak semula berniat untuk melakukan penyerahan BKP/JKP

• Melakukan bentuk kerjasama operasi Sedangkan pengusaha non-PKP adalah

• Orang pribadi atau badan yang mengimpor BKP

• Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

• Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya”. (h.54)

(17)

23 2. Objek PPN

Pasal 4 (empat) undang-undang PPN 1984 menyebutkan objek PPN sebagai berikut, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

• Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

• Impor Barang Kena Pajak;

• Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

• Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

• Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau

• Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Djoko M uljono (2008) menjabarkan bahwa, ”barang yang merupakan objek PPN atau yang akan dikenakan PPN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

• Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak;

• Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak;

• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;

• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya”. (h.13-14)

(18)

24 II.3.3. Pengkreditan pajak masukan

Dalam rangka menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu dalam satu masa pajak, perlu diperhatikan pajak masukannya terlebih dahulu.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (24) Unang-Undang PPN, Pajak M asukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

Sukardji (2005) menjelaskan, ”kriteria Pajak M asukan yang dapat dan tidak dapat dikreditkan serta hal-hal teknis mengenai Pajak M asukan lainnya adalah sebagai berikut :

1. Pengkreditan dalam masa pajak yang tidak sama (pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984)

Pada dasarnya pengkreditan Pajak M asukan dilakukan dalam masa pajak yang sama. Namun dalam pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 dibuka kemungkinan untuk melakukan pengkreditan dalam masa pajak yang tidak sama yang dapat digambarkan dengan skema berikut ini :

2. Pengkreditan Pajak M asukan sebelum ada Pajak Keluaran

(19)

25 Berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) UU PPN 1984, dalam hal belum ada pajak keluaran dalam satu masa pajak, maka Pajak M asukan tetap dapat dikreditkan. Penjelasan ayat ini menegaskan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak sehingga Pajak Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak M asukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan Barang Kena Pajak, atau penerimaan Jasa Kena Pajak,atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan.

3. Kriteria Pajak M asukan yang dapat dikreditkan

Berdasarkan pasal 9 ayat (5) jo pasal 9 ayat (6) huruf b UU PPN 1984 dapat dipahami bahwa Pajak M asukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak M asukan untuk memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

”Berhubung langsung” dengan kegiatan usaha mengandung pengertian bahwa Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang terkait dimaksudkan untuk melakukan kegiatan penyerahan kena pajak atau dengan kalimat lain

”untuk tujuan lain yang bersifat produktif”. Kriteria ini dinamakan syarat materiil. Selain memenuhi syarat materiil tersebut, supaya Pajak M asukan dapat dikreditkan harus memenuhi syarat formal yaitu tercantum dalam

(20)

26 Faktur Pajak Standar yang tidak cacat. Kriteria Faktur Pajak yang cacat adalah sebagi berikut :

a. Faktur Pajak tidak diisi dengan benar b. Faktur pajak diisi tidak lengkap

c. Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan

d. Pengisian/pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar e. Faktur pajak dibuat melampau batas waktu yang telah ditetapkan

f. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP

4. Kriteria pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan

Pasal 9 ayat (8) dan pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984 menyebutkan kriteria pajak yang tidak dapat dikreditkan :

a. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP

b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha

c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

(21)

27 e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa faktur

pajak sederhana.

f. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984

g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 h. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan

penerbitan ketetapan pajak

i. Perolehan BKP atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984)”.

II.3.4. Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat oleh PKP pada waktu penyerahan BKP atau JKP atau apabila pembayaran dilakukan sebelum penyerahan BKP atau JKP, maka Faktur Pajak harus dibuat pada waktu pembayaran seperti yang diatur pasal 13 ayat (1) dan (3) UU PPN. Djoko M uljono (2008) menjelaskan bahwa, ”Faktur Pajak dapat dibedakan menjadi :

1. Faktur Pajak Standar

Faktur Pajak Standar merupakan Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan perpajakan yaitu pasal 13 ayat (4) dan (5) UU

(22)

28 PPN. Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau JKP yang paling sedikit memuat :

a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP atau JKP;

b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli BKP atau JKP;

c. Jenis barang atau jasa, jumlah araga jual atau penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak pertambahan nilai yang dipungut;

e. Pajak penjualan atas barang mewah yang dipungut;

f. Kode nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan

g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar tersebut dapat disesuaikan dengan kepentingan PKP dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dan bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar dapat dibuat sebagaimana contoh dari Direktur Jenderal Pajak.

Saat pembuatan Faktur Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut :

Faktur Pajak harus di buat paling lambat :

− Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP.

− Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau JKP.

(23)

29

− Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau JKP.

− Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

− Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai.

2. Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau JKP yang terjadi selama satu nbulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima JKP yang sama (pasal 13 ayat (2) UU PPN).

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP dan atau JKP atau pada akhir bulan penyerahan BKP atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan atau JKP.

3. Faktur Pajak Sederhana

Berdasarkan pasal 13 ayat (7) UU PPN, pengusaha kena pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(24)

30 PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana apabila melakukan :

- Penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir; dan

- Penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli dan atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap.

Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat :

− Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP

− Jenis atau kuantum BKP dan atau JKP yang diserahkan

− Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah.

− Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana

Beberapa tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP yang memenuhi syarat dan dapat diperlakukan sebagai faktur pajak, yaitu :

- Bon kontan - Faktur penjualan - Segi cash register - Karcis

- Kuitansi atau

- Tanda bukti penyerahan atau pembayaran yang sejenis.

(25)

31 4. Dokumen sebagai Faktur Pajak

Berdasarkan pasal 13 ayat (6) UU PPN, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak. Dokumen tersebut paling sedikit harus memuat :

− Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen

− Nama dan alamat penerima dokumen

− NPWP dalam hal penerima dokumen adalah sebagai wajib pajak dalam negeri

− Jmlah satuan barang bila ada

− Dasar pengenaan barang

− Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak standar menurut Kep DIP No KEP 522/PJ/2000 jo No 312/PJ/2001 adalah

a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau buku pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor BKP.

b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB.

c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu.

(26)

32 d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNPB) yang dibuat atau dikeluarkn oleh

PERTAM INA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM .

e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi.

f. Tiket, tagihan Surat M uatan Udara (Airway bill), atau delivery bill, yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri.

g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean.

h. Nota Penjualan Jasa yang diibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke pelabuhan.

i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik”. (h.93-106)

II.3.5. S aat dan Tempat Pajak Terutang

Djoko M uljono (2008) menjelaskan, ”saat dan terutangnya PPN adalah sebagai berikut :

A. Saat Terutangnya PPN

Saat terutangnya PPN diatur dalam pasal 11 UU PPN, yang dapat dibedakan menjadi seperti berikut :

− Penyerahan Barang Kena Pajak

Terutangnya PPN pada saat penyerahan BKP dapat terjadi pada saat dilakukan penyerahan barang, pada saat pembayaran sebelum penyerahan BKP, dan pada saat lainnya.

(27)

33

− Impor Barang Kena Pajak

Terutangnya impor BKP adalah pada saat impor BKP dilakukan, yaitu pada saat Pemberitahuan Impor Barang (PIB) ditandatangani, sehingga saat pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan oleh Direktorat Bea dan Cukai dilakukan sesuai saat PIB ditandatangani.

− Penyerahan Jasa Kena Pajak

Terutangnya PPN Jasa Kena Pajak adalah pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, sehingga pada saat pemungutan PPN dan PPnBM menganut prinsip akrual.

− Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

Terutangnya PPN atas Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean adalah pada saat BKP tidak berwujud tersebut dimanfaatkan oleh PKP, yaitu pada saat terjadinya penyerahan BKP tidak berwujud tersebut.

− Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

(28)

34 Terutangnya PPN atas Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean adalah pada saat pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean, yaitu pada terjadinya penyerahan JKP dari luar Daerah Pabean

− Ekspor Barang Kena Pajak

Terutangnya PPN pada ekspor BKP adalah pada waktu ekspor dilakukan, yaitu pada saat dokumen PEB ditandatangani.

B. Tempat Terutangnya PPN

Tempat terutangnya PPN dapat dibedakan menjadi seperti berikut :

− Tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (diatur dalam pasal 12 ayat (1) dan (4) UU PPN)

− Tempat BKP dimasukkan (diatur dalam pasal 12 ayat (3) UU PPN).

(h.85-90)

II.3.6. Kewajiban menyampaikan S PT dan bentuk S PT Masa PPN

Djoko M uljono (2008) menjelaskan, ”bentuk dan penyampaian SPT sebagai berikut :

A. Bentuk Surat Pemberitahuan

Bentuk SPT PPN dapat dibedakan menurut jenis SPT sebagai berikut :

(29)

35 - SPT PPN PKP

SPT PPN PKP adalah SPT PPN yang dipergunakan oleh PKP untuk melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan kewajiban PPN. Bentuknya dibedakan dengan batasan jumlah Faktur Standar yang diterbitkan, yaitu tidak lebih 30 dalam 1 masa pajak dan lebih 30 dalam 1 masa pajak.

- SPT PPN Pemungut

SPT PPN Pemungut adalah SPT yang digunakan oleh pemungut PPN untuk melaporkan kegiatan berkaitan dengan kewajiban PPN yang telah dipungutnya.

M odel formulir SPT PPN pemungut terdiri dari formulir berikut :

• Induk SPT – Formulir 1107PUT (F.1.2.32.02).

• Lampiran 1 daftar PPN dan PPnBM yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah – Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03)

• Lampiran 2 daftar PPN dan PPnBM yang dipungut oleh selain bendaharawan pemerintah – Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04)

B. Penyampaian SPT PPN

SPT PPN dapat disampaikan oleh PKP dengan cara manual maupun elektronik. Batas waktu penyampaian SPT adalah sebagai berikut,

(30)

36 dikarenakan SPT PPN merupakan SPT masa, yang setiap masanya harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 masa berikutnya.

Lebih lanjut, M ardiasmo (2008) menjelaskan, ”pengertian dan sifat SPT masa PPN sebagai berikut :

Surat Pemberitahuan M asa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai perhitungan :

1. Pajak M asukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.

2. Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP.

3. Penyetoran pajak atau kompensasi.

Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT :

1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak).

2. Dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.

3. M enggunakan formulir SPT M asa.

4. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan dan atau dilampirkan pada SPT masa ditetapkan oleh M enteri Keuangan.

5. SPT dianggap tidak dimasukkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan UU PPN 1984.

6. Perhatikan juga Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.” (h.303- 304)

Referensi

Dokumen terkait

Jaringan syaraf tiruan berfungsi untuk menentukan apakah asap yang terdeteksi adalah asap kebakaran hutan atau bukan melalui karakteristik tegangan setiap asap

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

Parfum Laundry Aceh Tengah Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para informan penulis, yakni Juanico Soares, Yustina Soares, Aniceto Benigno Soares, dan Constantino Soares yang telah dengan

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kadar iodium dari sampel urin sesaat pada semua rentang waktu pengambilan sampel urin dalam sehari dengan kadar

Pada masa perang angka kematian dipulau jawa diperkirakan lebih tinggi dari pulau-pulau lainya karena masalah kurang pangan dan kondisi kesehatan yang kurang baik

Alasan menggunakan metode Naïve Bayes Classifier adalah karena metode Naïve Bayes Classifier merupakan penyederhanaan dari teorema Bayes.Variabel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Tujuan penelitian adalah mengetahui karakteristik tanaman dalam taman kota, untuk mengetahui tingkat pencemaran debu di udara di bandingkan dengan BML, mengetahui efektifitas