• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan. DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2014.

(2) LAPORAN AKHIR Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(3) Kata Pengantar. Pemetaan tanah adat mutlak diperlukan sebagai jalan keluar terbaik yang diikuti oleh program strategis BPN berupa pendaftaran tanah di wilayah adat masyarakat..

(4) M. asyarakat adat menganggap bahwa Pemerintah kurang mengakui dan menghormati hak-hak mereka yang kemudian menimbulkan gejolak politik. Masyarakat telah ada sebelum republik ini diproklamirkan. Negara dihadapkan pada persoalan pengakuan tanah secara adat peraturan menteri agraria soal tanah adat telah dikeluarkan setahun setelah reformasi. Tidak cukup sebatas pengakuan karena tanah bagi masyarakat dayak adalah identitas ’pareneant’ garis keturunan satu nenek. Konsep ini terlihat dalam temuan lapangan bahwa kolektif komunal untuk tanah-tanah tembawang. Masyarakat dayak yang tinggal di sekitar wilayah hutan membutuhkan menjadi probelematika tersendiri dalam pengaturannya. Pengelolaan tanah yang berbaur dengan alam membuat sulit pengaturan tanah bagi masyarakat adat. Adanya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi membuat persoalan kian keruh. Secercah harapan dibalik komitmen politik dalam Ketetapan MPR No IX tahun 2001. Perhatian yang serius dan sebuah langkah problem solving diperlukan untuk membantu masyarakat adat, sehingga eksistensi mereka tidak mengalami benturan dengan kepentingan negara. Pemetaan tanah adat mutlak diperlukan sebagai jalan keluar terbaik yang diikuti oleh program strategis BPN berupa pendaftaran tanah di wilayah adat masyarakat.. Penyusun,. Tim Penelitian. iii. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN.

(5) Daftar Isi.

(6) Kata Pengantar Daftar Isi . ii iv. Bab I. Pendahuluan . 1. 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan 1.4 Kegunaan Hasil Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian . 2 6 6 6 6. BAB II . Tinjauan Pustaka 2.1 2.2 2.3 2.4. 2.5 2.6. Sejarah suku-suku di Pulau Kalimantan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia : Suatu Konsepsi Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Tanah dan Konsepsi Welfare State 2.4.1 Negara Kesejahteraan: Implementasi Kebijakan dan Pemberdayaan Masyarakat 2.4.2 Pemberdayaan Masyarakat Adat Pendekatan Teori Konflik Atas Tanah Masyarakat Adat Tanah Sebagai Sumber Daya Alam. 9 10 13 17 23 25 27 31 34. BAB III. Metode Penelitian 3.1 3.2 3.3. Pendekatan Penelitian Lokasi Penelitian Responden . 37 38 38 38. 3.4. Pengolahan dan analisis data . 39. BAB IV. Deskripsi Wilayah 4.1. 4.2. Profil Kalimantan Barat 4.1.1 Kabupaten Bengkayang 4.1.2 Kabupaten Landak 4.1.3 Kabupaten Sanggau 4.1.4 Identifikasi Suku 4.1.5 Hubungan Masyarakat Adat Dengan Tanah 4.1.6 Struktur Kepemimpinan dan Tatanan Hukum Profil Kalimantan Tengah 4.2.1 Identifikasi Suku 4.2.2 Hubungan Masyarakat Adat Dengan Tanah 4.2.3 Struktur Kepemimpinan dan Tatanan Hukum Adat.. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 41 42 43 46 48 49 65 70 76 77 79 83. v.

(7) 4.3. Profil Kalimantan Timur 4.3.1 Identifikasi Suku 4.3.2 Hubungan masyarakat adat dengan tanah 4.3.3 Struktur kepemimpinan dan tatanan hukum adat. 87 91 94 96. BAB V. Pembahasan 5.1 Menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan 5.2 Tata Administrasi Pertanahan 5.3 Kearifan lokal Peradilan Masyarakat Dayak 5.4 Welfare State Bagi Masyarakat Adat . 5.4.1 Peraturan Perundang-undangan yang Tidak Sinkron. 5.4.2 Harmonisasi Kebijakan Pertanahan Pusat dan Daerah 5.5 Pengaruh Sistem Religi Dayak terhadap Kehidupan . 103 107 119 121 127 129 131 132. BAB VI. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan B. Rekomendasi . 137 138 139. Daftar Pustaka . 141. . vi.

(8) 1. BAB I Pendahuluan LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN.

(9) 1.1. LATAR BELAKANG Pasal 18 B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, mengamanatkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik. Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28 ayat (3) UUD45, yang menyebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zamandan peradaban. Pengakuan dan penghormatan serta perlindungan juga tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain dalam hukum nasional, Deklarasi Rio de Janeiro menyatakan semua Negara agar memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat asli (indigenous people) termasuk hak-hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alamnya. Undang-Undang Pokok Agraria secara jelas mengakui keberadaan hak ulayat, yaitu pasal 3 dan pasal 5, yang mengamanatkan bahwa Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.. 2. Masyarakat adat menganggap bahwa Pemerintah kurang mengakui dan menghormati hakhak mereka yang kemudian menimbulkan gejolak politik sejak dimulainya era reformasi, sehingga banyak terjadi tuntutan atau gugatan atas tanah yang telah dipakai untuk berbagai kegiatan usaha atau untuk pembangunan dengan dalih bahwa perolehan tanah itu dulu secara tidak sah. Menanggapi fenomena tersebut, maka pada tahun 1999 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5/1999 yang berisi Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini antara lain mengatur bahwa 1)Penetapan apakah sesuatu wilayah merupakan tanah ulayat atau bukan, dilakukan oleh Pemerintah Daerah, 2) Hak Ulayat dianggap ada bila a) ada masyarakat hukum adat yang telah lama eksis, b) Ada wilayah yang jelas mereka kuasai, c)ada tatanan hukum adat mengenai pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Adapun keberadaan tanah ulayat tersebut dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan menggambarkan batas-batasnya.. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(10) Terkait dengan PMNA No. 5 tahun 1999, maka Pemda Provinsi Kalimantan Tengah telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah yang di tindak lanjuti dengan Peraturan Gubernur No 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah. Dalam Pergub No. 13 tahun 2009 disebutkan bahwa terhadap seluruh tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah akan ditertibkan. Penertiban akan diselesaikan paling lambat selama 6 (enam) tahun sejak ditetapkan. Penertiban akan meliputi kegiatan inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, penerbitan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A), sertifikasi dan atau pemutihan kepemilikan tanah adat. Bila tidak dilakukan upaya inventarisasi selama waktu 6 tahun tersebut, maka hak kepemilikan atau penguasaan dan pemanfaatan atas tanah adat tidak diakui dan akan dikenakan sanksi sesuai adat yang berlaku. Tataran pelaksanaan Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur tersebut di atas belum memberikan implikasi yang berdampak pada penentuan hak ulayat dan pendaftarannya sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999. Kondisi ini juga di pengaruhi oleh ketentuan dalam UU Kehutanan yang tidak mengakui adanya hutan adat, walau fakta menunjukkan bahwa hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat yang menghuninya. Terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di ajukan judicial review dan dikeluarkan Putusan MKNo. 35/PUU-X/2012, para pemohon terdiri dari 1) aliansi masyarakat adat nusantara (aman), 2) kesatuan masyarakat hukum adat kenegerian kuntu, 3) kesatuan masyarakat hukum adat kasepuhan cisitu, sehingga beberapa pasal mengalami perubahan antara lain pasal 1 angka 6 menjadi berbunyi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, pasal 4 ayat 3 dimaknai penguasaan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam undang-undang. Selanjutnya pasal 5 ayat 1 dimaknai hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak termasuk hutan adat. Putusan tersebut menjadi momen penting bagi masyarakat adat karena dengan putusan ini maka masyarakat adat dapat menuntut pengakuan terhadap wilayah adatnya, masyarakat Hukum Adat yang wilayah adatnya dikategorikan sebagai kawasan hutan dapat mengklaim wilayahnya sebagai hutan adat. Tidak dapat dipungkiri keberadaan masyarakat adat dalam kawasan hutan adalah nyata, dan telah lama ada sebelum adanya penunjukan kawasan hutan melalui TGHK maupun RTRW. Hutan mempunyai arti sangat penting bagi masyarakat adat, terutama bagi masyarakat adat di daerah Kalimantan, hutan tidak hanya mempunyai fungsi sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian, tetapi juga mempunyai nilai magis sebagai tempat keramat.Alam adalah ruang hidup bagi masyarakat dayak dan hutan adalah napas.. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 3.

(11) Begitu lekatnya hubungan manusia Dayak dengan alamnya sehingga alam juga dipandang layaknya seorang ibu yang harus dihormati, dimuliakan dan dirawat dengan penuh kasih. Perspektif masyarakat dayak dalam memperlakukan alam sangat kontras dengan perspektif ekonomis. Masyarakat dayak berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata. Didalam perspektif etnoreligi Kaharingan, semua benda alam memiliki semacam roh, yang disebut ‘gana”, ‘gana” ini tidak terbatas pada sesuatu yang bergerak atau bernapas1. Secara historis, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantanalias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan2. Adat Dayak mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri atas 1) kepemilikan seko menyeko atau kepemilikan perseorangan, 2) kepemilikan parene’ant, yang merupakan tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan, 3) kepemilikan saradangan, merupakan kepemilikan oleh suatu kampung dan 4) kepemilikan binua, yaitu kepemilikan atas tanah oleh beberapa kampung satuan wilayah adat Ketemanggungan3. Penguasaan tanah di Kalimantan menarik dikaji sebab penguasaan original suku dayak memiliki ciri dan kharakter yang sesuai dengan kearifan lokal. Secara konseptual, Van Vallenhoeven mengemukakan cici-ciri keberadaan tanah ulayat sebagai berikut)4 : 1. hanya persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya yang dapat bebas mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah untuk pertanian (clearing it for agricultural), mendirikan kampung (founding a village), dan mengambil hasil hutan (gathering forest produce or toexploit any virgin land);. 4. 1 2 3 4. Eddy Taufan D mahar, Kearifan Lokal Masyarakat dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber daya Alam, Jurnal Borneo Institute Tahun I Nomor 1, 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli 2006. Bulletin Badan Pertanahan Nasional, edisi khusus 1 bulan Juli 2001, Laporan Workshop Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Barat. Dr. Mochtar Naim dalam makalahnya berjudul “Kedaulatan Tanah Adat Dewasa Ini”, mengemukakan pendapat hak ulayat dalam pengertian aslinya bukan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA (hak keperdataan) melainkan hak yang mengandung unsur-unsur kekuasaan atas sustu wilayah mesyarakat hukum adat, yang di kenal dengan kedaulatan. Hak ulayat yang sekarang ini nyata-nyata masih ada harus di artikan hak ulayat minus kedaulatan atau kekuasaan atas suatu wilayah, karena unsur kedaulatan sudah diserap dalam hak menguasai negara.. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(12) 2. orang boleh melakukan hal tersebut, hanya dengan ijin persekutuan; 3. orang luar dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut (rekcoqnisi); 4. persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands; 5. persekutuan bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat ditangkap); 6. hak ulayat can not be permanently alienated atau tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya.. Uraian di atas, menunjukkan bahwa penentuan karakteristik hak ulayat (das solen) masyarakat atas tanahsangat bergantung kepada: 1. Obyek, dengan tanda-tanda/ciri-ciri khas keberadaan tanah ulayat (Voorkeursrecht)5, penguasaan fisik (Ontginningsrecht), pemanfaatan tanah dengan cara memungut hasil (Genon recht); 2. Subyek (Gemeenschapen)6 yang terdiri dari struktur masyarakat hukum adat didasari hubungan kekerabadan (genologis), prinsip teritorial dan gabungan antara 1 dan 2; dan 3. Struktur Lembaga Hukum Adat dan Perangkat Tatanan Hukum dan Anggota Masyarakat Ada. H.M. Koesnoe menyatakan ada tidaknya hak ulayat dapat dijawab dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Apakah dalam territoir yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan suatu kesatuan yang terorganisir? b. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya? c. Sejak kapankah kelompok itu ada di dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (jelas sudah berapa generasi)? d. Apakah kelompok itu mengikuti suatu tradisi yang homogen dalam kehidupannya, sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum? e. Bagaimana menurut tradisinya asal-usul kelompok itu sehingga merupakan suatu kesatuan dalam lingkungan tanahnya? Menentukan keberadaan hak ulayat baik mengenai obyek dan subyeknya, wilayah hukum adat dan penetapan batasnya dalam rangka penataan pertanahan perlu diadakan penelitian mengenai Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah di Kalimantan.. 5 6. Ibid. hal. 52. Op.cit. hal.49.. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 5.

(13) 1.2. PERMASALAHAN Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan 2) Bagaimana mengatur tata laksana administrasi Hak Ulayat atas tanah masyarakat hukum adat Dayak. 3) Bagaimana kearifan lokal masyarakat hukum adat setempat 1.3. TUJUAN 1) Untuk menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan 2) Untuk mengatur tata laksana administrasi Hak Ulayat atas tanah masyarakat hukum adat Dayak tersebut. 3) Mengetahui Gambaran kearifan lokal masyarakat adat setempat dalam kehidupan sehari-hari. 1.4. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN Penelitian ini mempunyai kegunaan/bermanfaat dalam rangka merumuskan peluang dan metode pemetaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat dayak di Kalimantan sebagai dasar bagi Bupati/Walikota atau Gubernur dalam menentukan tanah ulayat masyarakat hukum adat. 1.5. RUANG LINGKUP PENELITIAN. 6. Untuk menggali karakteristik keberadaan hak ulayat ditentukan oleh beberapa karakteristik, yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari penelitian, sebagai berikut: 1. Karakteristik keberadaan Hak Adat adalah penentuan obyek dan subyek hak adat masyarakat hukum adat tentang struktur masyarakat adat dan lembaga adat, sumber hukum adat, susunan lembaga adat, wilayah pemberlakuan hukum adat dan peradilan atas tanah hak adat masyarakat hukum adat dayak. 2. Hak adat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atau suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk untuk memanfaatkan tanah beserta segala isinya. 3. Obyek hak adat masyarakat hukum adat adalah wilayah pemberlakuan hukum adat dan peradilan atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang di akui masyarakat dayak. 4. Subyek hak adat masyarakat hukum adat adalah masyarakat dan atau lembaga adat yang tunduk pada hukum dan peradilan adat atas tanah hak ulayat dalam ligkup wilayah adat tertentu di suku dayak.. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(14) 5. Lembaga masyarakat hukum adat adalah struktur organsasi kepemimpinan tradisionil pada wilayah masyarakat hukum adat. 6. Anggota Masyarakat Hukum Adat adalah warga yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya. 7. Wilayah Masyarakat Hukum Adat adalah wilayah teritorial dan atau geneologi warga yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk untuk memanfaatakan tanah beserta segala isinya sesuai dengan pertaturan perundang-undangan. 8. Tatanan Hukum Adat adalah hukum adat dalam wilayah masyarakat hukum adat tertentu yang dipatuhi, ditaati dan mengikat dan mengikat pada adat masyarakat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. 9. Bagaimana mensinergikan antara hukum adat masyarakat yang merupakan salah satu pendukung berlakunya hukum tanah nasional dan peraturan perundangundangan yang lain.. 7. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN.

(15) 8. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(16) 9. BAB II Tinjauan Pustaka LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN.

(17) 2.1. SEJARAH SUKU-SUKU DI PULAU KALIMANTAN Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (KenyahKayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciriciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebutbanua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda7. Berdasarkan kajian lingusitik yang sempat dilakukan di pulau Kalimantan oleh Daryona dapat dikategorikan bahwa persebaran sub suku dayak meliputi Language Families: G - Greater Barito, L - Land Dayak, M - Malayic, N - North Borneo, S - South Sulawesi, persebarannya menarik dikaji dimana setiap subsuku memiliki kharakteristik yang berbeda disisi lain secara dialektika linguistik ditemukan adanya padanan kata yang mirip meski pengucapan dan maknanya sudah berbeda untuk lebih jelas lihat peta bahasa berikut:. 10. 7. Dihimpun dari berbagai sumber terkait sejarah suku dayak di Kalimantan. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(18) Gambar 1: Peta Kalimantan. 11 Gambar 2: Peta Suku Dayak. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN.

(19) Hukum Adat di negara kita oleh segolongan orang masih kurang mendapat penghargaan, jika di bandingkan dengan Hukum Barat. Sementara orang menganggap Hukum Adat itu sudah ketinggalan zaman. Hal ini mengingatkan bahwa Hukum Adat merupakan hukum masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara turun menurun. Dasar berlakunya Hukum Adat yang merupakan salah satu sumber Hukum Nasional tersebut adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 18b (2) “Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut, memang tidak menyebut tentang Hukum Adat. Akan tetapi menurut pasal 17 ayat 2 Undang-undan Nomor 19 tahun 1964 serta sesuai dengan penjelasan pasal 10 telah menyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Maka hukum yang tidak tertulis disini mempunyai arti adalah Hukum Adat. Selain pasal diatas, walaupun telah dicabut sekarang dan diganti dengan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 dalam penjelasan umum bagian 7, telah menyebutkan pula Hukum Adat yang tidak tertulis yang maksudnya adalah Hukum Adat 8 Salah satu inti dari Hukum Adat adalah Hukum Tanah Adat, oleh karenanya bahan Hukum Tanah Adat perlu diperkaya dengan penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, untuk mengetahui apakah dari berbagai sistem dan asas hukum Tanah Adat yang ada di Indonesia ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran Hukum Nasional. Hukum Adat sebenarnya meliputi aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad. Satu hal yang sangat menarik perhatian keanekaragaman dari satu suku terhadap suku lainnya. Hukum Tanah Adat sebagai bagian dari Hukum Adat mengalami beberapa perkembangan sehingga sering timbul masalah karena adanya perbedaan pendapat atau adanya persengketaan mengenai Tanah Adat. Persengketaan biasanya terjadi diantara sesama masyarakat Hukum Adat ataupun antara masyarakat Hukum Adat dengan pihak perusahaan.. 12. Pendapat dari Prof.Van Vollenhoven, apabila kita kaji dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi (kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas) hak ulayat atau adat atas tanah tampak adanya 2 fungsi yaitu : 1. Fungsi kedalam daerah-daerah persekutuan hukum dapat penjelmaannya antara lain : • Anggota-anggota persekutuan hukum mempunyai hak-hak tertentu atas objek hak ulayat yaitu : • Hak atas tanah : hak membuka tanah, hak memungut hasil, mendirikan tempat tinggal, hak mengembala. 8. Iman Sudiyat “Asas-asas Hukum Adat”, Liberty, Jakarta, 1981, hal 21,27. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(20) • Hak atas air : memakai air, menangkap ikan dan lain-lain • Hak atas hutan : hak berburu, hak-hak mengambil hutan dan sebagainya. • Kembalinya hak ulayat atas tanah-tanah dalam hal pemiliknya pergi tak tentu rimbanya, meninggal tanpa waris atau tandatanda membuka tanah telah punah. • Persekutuan menyediakan tanah untuk keperluan persekutuan umpamanya tanah perkuburan, jembatan dan lainnya. • Bantuan kepada persekutuan dalam hal transaksi-transaksi tanah dalam hal ini dapat dikatakan kepada persekutuan bertindak sebagai pengatur. 2. Fungsi ke luar daerah-daerah persekutuan hukum tampak penjelmaannya antara lain: • melarang untuk membeli atau menerima gadai tanah (terutama dimana tanah ulayat itu masih kuat) • Untuk mendapat hak memungut hasil atas tanah memerlukan izin serta membayar restribusi. • Tanggung jawab persekutuan atas reaksi adat, dalam hal-hal terjadinya suatu delik dalam wilayahnya yang sipembuatnya tidak diketahui. Dalam persoalan menyangkut kepemilikan hak atas tanah tersebut, seringkali pula terjadi sengketa tanah. Untuk pola penyelesaian sengketa tanah tersebut ada beberapa mekanisme yang beranjak dari kearifan kultural yang mengedepankan aspek kekeluargaan. 2.2. MASYARAKAT (HUKUM) ADAT DI INDONESIA : SUATU KONSEPSI Masyarakat adat9 merupakan unsur esensial masyarakat nasional dalam lingkup negara Republik Indonesia. Merupakan bagian dari keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk (plural) terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan lingkungan masyarakat adat yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil. Pada sebaran pulau besar dan kecil inilah hidup masyarakat adat yang memiliki norma hukum tersendiri. Masyarakat adat yang merupakan lingkungan masyarakat yang masih sederhana dan melekat dengan alam menjadi bagian penting dari keberadaan bangsa Indonesia di samping masyarakat perkotaan yang telah memiliki teknologi tinggi10. 9. Apabila ditelusuri dalam literatur dan peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah masyarakat adat yaitu ada yang menyebutnya “masyarakat adat” dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”. Namun demikian, perbedaan peristilahan tersebut tidak menafikan/menegasikan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. perlu diketahui, bahwa seringkali kita juga menyebut istilah Masyarakat Hukum Adat, Komunitas Adat, Masyarakat Tradisional, Indigineous People’s yang maksud dan artinya disamakan dengan masyarakat adat. Bahkan dalam satu waktu yang sama kita menggunakan semua istilah-istilah tersebut secara bergantian tanpa memaksudkan adanya perbedaan arti. (lihat dalam Asep Yunan Firdaus, Masih eksiskah hukum masyarakat (hukum) adat Indonesia, Advanced training Hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples’ rights) Bagi dosen pengajar HAM Di indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007, halaman 2. 10 Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsaIndonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Pengertian: Pengertian iniidak merujuk kepada defenisi secara tertutup tetapi lebih kepada kepada kriteria, agar dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang besar kepada komunitas untuk melakukan self identification/ mengidentifikasikan dirinya sendiri. Pengertian Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini adalah: “Komunitas-komu-. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 13.

(21) Sandra Moniaga11 dengan kritis menyebutkanIstilah masyarakat adat tidaklah populer di Indonesia, orang lebih sering menyebut masyarakat adat sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar atau bahkan yang lebih ekstrem ialah sebagai penghambat pembangunan. Hal ini berbeda jika pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing. Istilah ini populer sejak beberapa aktivis Ornop dan masyarakat melakukan sebuah pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati sebutan masyarakat adat sebagai terjemahan dari indigenous peoples. Pertemuan ini menyebutkan masyarakat adat adalah : “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”. Sejak itu, dalam perkembangannya, istilah ini menjadi sebutan baku di dalam percakapan Ornop Indonesia. Bahkan telah diterima luas oleh kelompok kelompok masyarakat yang diberi cap sebagai masyarakat adat sendiri. Lebih lanjut menurutnya penyebutan masyarakat adat masih harus dipahami dari dua segi. Pertama, sebutan ini merupakan suatu abstraksi yang bersifat umum karena berb Ibid., hal. 93-94. agai komunitas masyarakat adat sendiri tidak akrab dengan istilahini. Masyarakat adat Lindu di Sulawesi Tengah lebih akrab menyebutkan diri mereka dengan To Lindu (Orang Lindu), bukan masyarakat adat Lindu. Sebutan masyarakat adat lebih tepat digunakan dalam komunikasi yang lebih luas. Kedua, sebutan masyarakat adat digunakan sebagai kontra wacana terhadap berbagai sebutan yang penuh dengan prasangka, seperti “suku terasing” atau “masyarakat terasing”, masyarakat terkebelakang, masyarakat primitif, peladang berpindah dan sebagainya. Sebutan-sebutan yang mencerminkan penjajahan pengetahuan, budaya, dan kemudian penjajahan pembangunan.. 14. Cornelis van Vollenhoven membagi masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) di Indonesia ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskring), salah satunya yaitu Kalimantan (Tanah Dayak). Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi-bagi dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouw). Antara kukuban-hukum satu dan lainnya adalah terdapat perbedaan corak hukum adat, tetapi perbedaan itu tidak begitu besar, jika dibandingkan dengan perbedaan antara lingkaran hukum satu dan lainnya12. Sementara itu, M. Jaspan dengan menggunakan kriteria bahasa, daerah kebudayaan, dan susunan masyarakat menemukan adanya 49 suku di Sumatera, 7 di Jawa, 73 di Kalimantan, 117 di Sulawesi, 30 di Nusa Tenggara, 41 di Ambon Maluku, dan 49 di Irian Jaya13. Dengan ragam masyarakat hukum adat yang begitu kaya maka tidak salah apabila sudah seyogianya pemerintah dan publik luas memberikan perhatian tinggi terhadap masyarakat adat. nitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”. 11 Sandra Moniaga, Masyarakat Adat, Hak-Hak Dasar Serta Pengharapan, 24 Nopember 2008. 12 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 59-60. 13 Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981, hal. 19-32.. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(22) Pada umumnya konsepsi tentang masyarakat adat dilekatkan dengan penggabungan dari konsep antropologi hukum dan hukum nasional Indonesia. Dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, Soerjono Soekanto merujuk rumusan masyarakat hukum adat dari ter Haar dan Hazairin, sebagai berikut14: “…geordende gropen van blijvend karakter met eigen bewind en eigen materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: …kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda meteril maupun immaterial)” (B ter Haar Bzn 1950:16). “Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapabuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyara-katan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…” (Hazairin 1970:44). Dengan mengutip Soepomo, Soerjono Soekanto kemudian membagi masyarakat-masyarakat adat di Indonesia menjadi beberapa golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (geneologi) dan yang berdasar lingkungan (territorial), serta susunan yang didasarkan pada penggabungan dari kedua hal tersebut. Sementara dari bentuknya, masyarakat hukum adat dibagi menjadi tunggal, bertingkat, dan berangkai15. Sementara itu secara teroritis, Kusumadi Pudjosewojo membedakan pengertian antara masyarakat hukum dengan masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat hukum adalah suatu masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya16. Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) pada Kongres pertamanya di Jakarta tahun 1999 mulai mempopulerkan istilah “Masyarakat hukum adat” yang merupakan arti terjemahan kata “Indigenous People” yang terdapat dalam sejumlah perjanjian internasional, salah satunya adalah Konvensi ILO No.169. Karena dipopulerkan dengan istilah Masyarakat hukum adat, kemudian dalam salinan terjemahan Konvensi ILO 169 bahasa Indonesia, selanjutnya istilah Indigenous People di artikan dengan menggunakan kata masyarakat hukum adat17 . 14 Ibid., hal. 93-94. 15 Ibid., hal. 95. 16 I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 111. 17 Lebih lanjut Pasal 1 (b) Konvensi ILO juga memberikan batasan pengertian Masyarakat Hukum Adat, yaitu sebagai berikut: Mas-. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 15.

(23) Pengertian mendalam tentang masyarakat adat perlu dihayati pada dua faktor, yaitu: teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005:6). Contoh masyarakat adat yang terikat pokok secara territorial (Dorpsgemeenschap) adalah desa di Jawa dan masyarakat hukum adat yang terikat secara genealogis sekaligus territorial adalah Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat). Khususnya Nagari terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genealogis matrilineal. Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan dari kaumkaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012: 41). Suku merupakan ikatan pertalian darah (genealogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial. Himpunan beberapa suku akan membentuk satu Nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan (territorial), Menurut Ter Haar, masyarakat adat itu merupakan golongan-golongan masyarakat yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal itu merupakan kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan itu mempunyai pengurus dan harta benda, milik keduniaan dan milik gaib18. Pendapat Ter Haar tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1). Kesatuan manusia yang hidup teratur (memiliki tata susunan) ; 2). Menetap di suatu wilayah tertentu; 3). Memiliki pimpinan/penguasa sendiri; 4). Mempunyai harta kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; 5). Berkumpul dalam jangka waktu yang lama. Pelapor Khusus PBB kepada Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas, Martinas Cobo19. memberikan batasan masyarakat hukum adat sebagai berikut:. 16. Masyarakat hukum adat adalah mereka yang secara historis baik pada masa sebelum invasi ataupun masa penjajahan telah mengelola sebuah wilayah, menganggap diri berbeda dengan kelompok-kelompok masyarakat lain yang ada di wilayahnya atau merupakan bagian dari mereka. Mereka yang terbentuk bukan dari masyarakat pada umumnya ini memutuskan untuk melestarikan, mengembangkan dan mentransfer-nya kepada generasi selanjutnya tentang wilayah dan identitas adat etnisnya sebagai dasar untuk tetap eksis sebagai masyarakat, sesuai dengan pola kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, dan sistem hukum mereka sendiri. Sementara Erica Irene Deas, seorang ahli tentang Mekanisme Hak Hak Masyarakat adat, memberikan pengertian lebih komprehensif tentang Masyarakat Hukum Adat, yakni bahwa Masyarakat Hukum Adat dapat dikenali dari sejumlah kriteria yang meliputi: (a) Pekerjaan yarakat hukum adat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan dari penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan, atau berdasarkan wilayah geografis tempat negara yang bersangkutan berada, pada waktu penaklukan ataupenjajahan atau penetapan batas-batas negara saat ini dan yang, tanpa memandang status hukum mereka, tetap mempertahankan beberapa atau seluruh institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri. 18 Ter Haar “Beginselen en Stelsel” dalam Bushar Muhammad , Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003, hal. 21. 19 Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations, Final report submitted by the Special Rapporteur, Mr. J. Martinez Cobo. E/CN.4/ Sub.2/1982 /2/Add.6.,di http://www.un.org/esa /socdev/ unpfii/en/ spdaip. html.. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(24) dan wilayah yang dikerjakannya, (b) secara sukarela melestarikan kekhasan budayanya, (c) mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok lain, dan mendapatkan pengakuan dari kelompok lain, (d) memiliki pengalaman pernah dijajah,dipinggirkan, dikucilkan, atau didiskriminasi20. Kemudian Forum Permanen PBB untuk Masyarakat Hukum Adat, mengembangkan definisi masyarakat hukum adat secara modern dengan berbasis pada data sebagai berikut: (a) mengidentifikasi diri sebagai masyarakat hukum adat sebagai individu dan diakui oleh masyarakat sebagai anggotanya, (b) memiliki sejarah yang terhubung baik dengan masa sebelum penjajahan dan setelah pra pemukiman, (c)memiliki hubungan yang kuat dengan sumber daya alam sekitarnya, (d) Memiliki perbedaan sistem ekonomi, sosial, dan politik dengan kelompok pada umumnya, (e) memiliki keyakinan dan budaya yang berbeda, f) memutuskan untuk memilih menggunakan tradisi turun temurun.Masyarakat adat merupakan masyarakat dengan bentuk komunal. Masyarakat komunal merupakan masyarakat di mana segala bidang kehidupan diliputi oleh kebersamaan. Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antarpersonal dan proses interaksi sosial yang terjadi antarmanusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or customary of behaving within a social group). 2.3. EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA. Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan sebuah hal keniscayaan yang tidak terbantahkan. Van Vollenhoven sebagai pemerhati hukum adat Indonesia pernah memetakan lingkungan hukum adat dalam 19 lingkungan hukum adat Indonesia. R.Z Titahelu 21 , menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat yang masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial, ekonomi maupun budaya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu, ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu: (1) Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat; (2) Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan masyarakat itu; (3) Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang sosial, politik, budaya maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.. 20 Secara lebih komprehensif dalam risetnya Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto, yang berjudul Stelah kami Dilarang Masuk Hutan: Studi Dampak Pembatasan dan Pelarangan Aktivitas Tradisional Turun Temurun di Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya Terhadap kenikmatan Hak Hak dan Kebebasan Dasar Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Siyai Kabupaten Melawi Kalimantan Barat, telah menjelaskan cakupan dan kreteria masyarakat hukum adat, HUMA, 2010, halaman 11-15 21 Ibid, halaman 78. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 17.

(25) Untuk memastikan adanya masyarakat adat ada 4 (empat) indikator yang menentukannya, yaitu: 1). Adanya satu kesatuan manusia yang teratur; 2). Menetap di suatu daerah tertentu; 3) mempunyaipenguasa; dan 4) mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.. 18. Berdasarkan asal-usulnya masyarakat adat menurut Soepomo dibagi atas dua golongan, yaitu: (1) pertalian keturunan (genealogi) dan (2) lingkungan daerah (teritorial). Menurut Soepomo, ada lima jenis masyarakat hukum adat: 1. Suatu daerah atau kampong yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal dalam daerah itu. Daerah atau kampong-kampong yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian klan. Ter Haar menulis bahwa susunan masyarakat semacam itu barangkali terdapat di daerah pedalaman di Pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores. Di tepi-tepi laut dari pulau-pulau adalah kampong-kampong terbaur yang penduduknya terdiri atas beberapa famili yang telah memisahkan diri dari golongan-golongan (klan) di pedalaman. Terdapat pula pada tepi-tepi laut tersebut penduduk orang-orang Indonesia yang berasal dari seberang lautan. Di daerah pedalaman di Irian Barat adalah klan-klan yang masing-masing mendiami daerah sendiri-sendiri, tetapi dekat tepi laut terdapat beberapa golongan kecil, bernama keret yang berdiri sendiri dan masing-masing mendiami tanah tertentu. Tempattempat kediaman para famili tersebut berada dalam daerah kampong yang dikepalai oleh seorang kepala kampong (korano). Kepala kampong ini hanya memiliki sedikit kekuasaan terhadap orang-orang di luar golongannya sendiri. 2. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: bagian-bagian klan (marga) masing-masing mempunyai daerah sendiri; tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami huta-huta di daerah tersebut disebut marga asal, marga raja atau marga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu, sedangkan marga-marga tertentu yang kemudian masuk ke daerah itu disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta berada di bawah marga raja. Antara marga asal dan marga rakyat ada hubungan perkawinan yang erat. 3. Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogi-teritorial kita dapati di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Di sana terdapat suatu klan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di daerah itu. Namun, kekuasaan itu kemudian dipindahkan kepada klan lain yang masuk ke daerah tersebut dan. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(26) merebut kekuasaan pemerintah dari klan yang asli itu. Kedua klan itu kemudian berdamai dan bersama-sama, dan merupakan kesatuan badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintah dipegang oleh klan yang datang kemudian, sedangkan klan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di daerah itu sebagai wali tanah. 4. Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat geneologi-teritorial kita dapati di beberapa nagari di Minangkabau dan di beberapa marga (dorp) di Bengkulu. Di sana tidak ada golongan yang menumpang ataupun golongan yang menguasai tanah, melainkan segala golongan suku yang bertempat tinggal di dalam daerah nagari berkedudukan sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan teritorial (nagari), sedangkan daerah nagari bagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku) di mana tiap-tiap golongan mempunyai daerah sendirisendiri. 5. Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat geneologi-teritorial adalah terdapat di nagari-nagari lain di Minangkabau dan pada dusun di daerah Rejang (Bengkulen), di mana dalam satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian klan yang satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah-daerah nagari atau dusun menjadi daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi) dan segala bagian-klan pada badan persekutuan nagari (dusun) itu. Dalam perkembangannya, keberadaan masyarakat hukum adat dewasa ini, juga perlu mendapatkan perhatian secara optimal, mengingat bahwa keberadaan masyarakat adat beserta hukum adatnya mengalami degradasi pengakuan. Beberapa aturan hukum yang ada di Indonesia seperti UUPA, serta beberapa perundangan lainnya membatasi eksistensi masyarakat adat beserta hukumnya. Pasal 3 ayat (1) UUPA menyatakan: “mengingat ketentuanketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat Hukum adat, sepanjang kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pasal tersebut di atas menunjukkan adanya pengakuan, tetapi sekaligus membatasi pengakuan tersebut. Pada satu sisi keberadaan masyarakat hukum adat diakui, tetapi masyarakat hukum adat juga dibatasi, yaitu dengan adanya klausul “…sepanjang menurut kenyataannya masih ada….” Kalimat tersebut mengandung makna bahwa eksistensi suatu keberadaan masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pembuat hukum tampaknya melihat bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu saat akan mengalami kepunahan (asumsi kuat), sehingga pada saat tersebut secara hukum masyarakat adat tidak akan diakui keberadaannya. hal ini dapat dilihat dari masuknya investor asing di bidang sumber daya alam yang banyak bersinggungan dengan hak-hak ulayat masyarakat adat.. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 19.

(27) Tak dapat dipungkiri, otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah yang seharusnya memberikan ruang untuk hidup bagi keanekaragaman sosial dan budaya (hukum adat) justru menimbulkan implikasi terjadinya pemusnahan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. oleh sebab itu, hukum nasional yang berlaku sering kali mengabaikan prinsip-prinsip hukum lokal (adat). Eksistensi Masyarakat adat dan hukum adat di Indonesia setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua argumen, yaitu: 1. Argumen Sosiologis. Hukum adat sampai saat ini masih relevan untuk dipertahankan sebagai hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum adat adalah hukum yang berasal dari budaya asli bangsa Indonesia, ia tumbuh dan berkembang bersama nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat berpikir, bertindak dan berbuat sesuai dengan tataran nilai yang membedakan ia dengan masyarakat dengan budaya Barat. Masyarakat Indonesia merupakan pula masyarakat yang majemuk (plural) yang dalam hal ini terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang menurut Theodorson diartiakan sebagai berikut: “cultural heterogeneity, with ethnic and order minority group maintaining their identity within a society.” Bentuk masyarakat majemuk menunjukkan bentuk kebudayaan yang heterogen yang dalam hal ini mencirikan identitas tertentu dalam kelompok masyarakat. Bentuk sosiologis masyarakat hukum adat yang majemuk menjadikan hukum yang berlaku tentu saja bersifat majemuk pula, dan hukum yang majemuk tersebut menunjukkan kepribadian asli bangsa Indonesia yang multikultur. Nilai dan kepribadian bangsa Indonesia yang dicerminkan dalam hukum adat telah menunjukkan kesesuaian dan keselarasan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai konflik yang terjadi pada masyarakat bahwa masyarakat cenderung untuk menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena sesuai dengan nilai dan kultur bangsa.. 20. 2. Argumen Yuridis. Pengakuan terhadap pemberlakuan hukum adat secara normatif telah diatur sejak dari masa Hindia Belanda dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staatsregering yang menyatakan, bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya. pada masa kini, pengakuan atas keberlakuan hukum adat secara konstitusional tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Pengakuan secara yuridis terhadap keberlakuan masyarakat hukum adat dalam Amandemen Kedua UUD 1945 menjadikan keberadaan hukum adat di Indonesia semakin kukuh, karena telah dianggap sebagai hak konstitusional warga negara yang dimiliki oleh masyarakat hukum. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(28) adat. Keberlakuan hukum adat dengan demikian tidak menjadi hal yang bersifat ambivalen yaitu dalam hal ini mengakui, tetapi pengakuan tersebut secara nyata-nyata dibatasi. Selanjutnya berdasarkan studi kolaboratif antara AMAN , ICRAF dan Forest People Programe22 pada tahun 2002-2003, menemukan beberapa persoalan penting dalam hal hubungan antara masyarakat adat, khususnya yang terkait dengan tanah dan pengelolaan sumber daya alam, temuan dalam studi tersebut dapat dikelompokan kedalam beberapa bagian: (1) Dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat; (2) Adanya self-governance bagi komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam konteks perluasan Otonomi komunitas khususnya berkaitan dengan sistem pemerintahan dan peradilan; (3) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia (4) Perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti pendidikan yang perlu membert ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan lokal dengan segala muatan kearifan lokalnya. Memperhatikan temuan-temuan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep teori otonomi dalam prinsip hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat, pada hakikatnya juga dapat merunjuk pada pandangan Leopold pospisil yang mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Eigen eirlich mengawali tinjaunnya tentang ‘’the living law’’ hukum dari aspek sejarah dan kebudayaan masyarakat masa lalu mematuhi, aturan-aturan, yang kebiasaan, tradisi dan daya ikat tanpa tertulis tetapi ia hidup dalam masyarakat. Penegasan ini menunjukan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup didalam masyarakat sebagai referensi utama. Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada yang dikemukakan oleh von savignij, filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan ini diterapkan dalam konteks otonomi masyarakat adat di Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat adat yang satu dengan yang lainya. Pencerminan volksgeist ini, tampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari roh otonomi masyarakat adat tersebut. Seiring dengan itu, pandangan von scholten menjadi relevan untuk dijadikan tolok ukur pemikiran hukum di Indonesia. Sebab, hukum bukan sekedar hasil karya logika semata, tetapi juga ada unsur-unsur ruhaniyah yang menentukan kepatuhan masyarak terhadap hukum. 22 Lihat dalam Dalam draft Naskah akademik RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak oleh: Masyarakat Adat, HUMA, AMAN, Epistema Institute, Telapak, Pusaka, Jakarta, 2011, halaman 56. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 21.

(29) Tujuan dari otonomi pada komunitas masyarakat adat, paling tidak dapat dibaca pada keputusan kongres masyarakat adat No: 2/kman/1999 tentang deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang antara lain menyatakan: (1) Adat dalam sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan masyarakat adat yang utama; (2) Adat nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan Negara yang berlaku seragam bersifat; (3) Jauh sebelum negara berdiri, masyarakat adat di nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu system kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri, oleh sebab itu Negara harus menghormati kedaulatan masyarakat adat, sebab: (a) Masyarakat adat pada dasarnya terdiri dari makhluk manusia, oleh sebab itu warga masyarakat adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan Negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat adat harus segera diakhiri; (b) Atas dasar rasa kebersaman senasib sepenanggungan, masyarakat adat nusantara wajib untuk saling bahu membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat. Dengan demikian, otonomi komunitas yang dimaksud dalam konteks kehidupan masyarakat adat tidak lain adalah agar terciptanya kedaulatan dan kemandirian dalam mengelola suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri oleh suatu komunitas masyarakat adat. Menurut penelusuran azmi siradjudin23, jika ditinjau dari realitas sosialbudaya yang ada di Indonesia, secara garis besar entitas masyarakat adat dapat dikelompokan ke dalam 4 (empat) tipologi: Pertama, adalah kelompok masyarakat local yang masih kukuh berpegang pada prinsip ‘’pertama bumi’’ dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisional mereka, seperti komunitas Kajang di Bulukumba dan Kanekes di Banten.. 22. Kedua, adalah masyarakat lokalyang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan komersial dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga di Jawa Barat;. 23 Azmi Siradjudin, AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional, dalam http://www.ymp.or.id/content/ view/107/35. Lihat Dalam Naskah akademik RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak oleh: Masyarakat Adat, HUMA, AMAN, Epistema Institute, Telapak, Pusaka, Jakarta, 2011, halaman 58. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(30) Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup yang tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman, jika dibandingkan dengan masyarakat pada komunitas pertama dan kedua komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini antara lain: Dayak Punan di Kalimantan, Pakya dan Lindu di Sulawesi Tengah, Krui di Lampung, Dani di Papua, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang asli sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun, masuk dalam katagori ini adalah Melayu Deli di Sumtera Utara. Dalam Konteks ini masyarakat dayak di dataran Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Barat merupakan contoh yang relevan tentang tatanan kehidupan masyarakat suku Dayak yang harmonis antara lain karena mereka mengandalkan pola hidup mereka pada hutan, air, dan sungai. Sehingga pemikiran mereka masih menggunakan pola peladang yang yang sebagian masih berpindah-pindah. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat dipimpin oleh seorang kepala desa/kepala adat. Segala aktivitas masyarakat hukum desa dipusatkan kepada kepala desa yang menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu. Oleh karena itu, aktivitas kepala adat umumnya dapat menjadi 3 (tiga) bidang: (1) Urusan tanah; (2) Penyelenggaraan tatatertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat hukum desa berjalan sebagaimana mestinya supaya mencegah adanya pelanggaran hukum (preventif); (3) Usaha yang tergolong penyelenggaraan hukum untuk mengembalikan (memulihkan) tata tertib sosial dan tata-tertib hukum serta keseimbangan (evenwicht) menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan religio-magis (represif). 2.4. TANAH DAN KONSEPSI WELFARE STATE Menurut konsep negara kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat tersebut24. Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya25. Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin26. Mengenai negara kesejahteraan ini, Utrecht menyebutkan27. 24 25 26 27. CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20. Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, 2000, hlm. 280. SF Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta. 2000,hlm. 45. E Utrecht, PengantarHukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan ke 4. Penerbit Ichtiar Djakarta, 1960, hlm. 22.. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 23.

(31) Campur tangan pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat di negara kesejahteraan tidak dapat dipersamakan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa di sebuah monarkhi absolut. Pemerintahan raja-raja yang absolut di Eropa Barat pada abad ke-18 menganut kekuasaan tanpa batas dimana kekuasaan membuat, menjalankan, serta mempertahankan undang-undang berada di bawah satu tangan. Dengan demikian tidak terdapat pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang ada, dan pemerintahan berjalan menurut kemauan yang berkuasa. Sebaliknya, penyelenggaraan tugas-tugas bestuurszorg di negara kesejahteraan mengacu adanya pemisahan diantara ketiga kekuasaan yang ada28. Indonesia menetapkan diri sebagai negara kesejahteraan berdasarkan nilai-nilai luhur yang dikandung dan hidup di tengah-tengah masyarakat, walaupun terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa negara kesejahteraan Indonesia lebih diwarnai oleh konsep negara Eropa Barat29. Rudolf Stammler menyatakan bahwa hukum adalah kebutuhan manusia. Menurut Konrad Zweigert dalam buku Introduction to Comparative Law, hal seperti itu adalah; “the primary task of a legal sistem is to protect the freedom of the individual and safeguard his power of self-determination”30.. 24. Kerangka pemikiran yang meletakkan gagasan pada kepemilikan tanah oleh negara berawal dari konsep penguasaan untuk kepentingan publik. Menurut pemikiran Aristoteles bahwa mendeskripsikan perbedaan antara ekonomi rumah tangga yang berorientasi kebutuhan dan ekonomi penumpukan harta31. Dasarnya Aristoteles menganggap “oikonomia “ itu tidak lain dan tidak bukan adalah ekonomi rumah tangga (kepentingan bersama) yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan (koinonia, polis). Ini berarti tujuan utama dari ekonomi yang wajar adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Dengan kata lain, harta benda dan tanah dapat dianggap sebagai sarana penunjang hidup untuk digunakan secara praktis. Guna menanggapi pemikiran Aristoteles kemudian Karl Polanyi menulis32 : “Aristoteles bersikeras pada produksi untuk digunakan, bukan produksi untuk mencapai keuntungan, sebagai inti dari kewajaran berumah tangga. Namun ia berkata bahwa produksi tambahan untuk pasar tidak perlu merusak pemenuhan kebutuhan rumah tangga selama hasil bumi dan ternak diperbanyak untuk bertahan hidup. Hanya orang jenius yang tahu bahwa keuntungan adalah motif untuk menaikkan produksi pasar, dan diperkenankannya uang memberi unsur baru dalam situasi ini. Namun demikian, selama pasar dan uang tetap digunakan hanya sebagai pelengkap untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, prinsip produksi untuk digunakan akan tetap berjalan”. Pembedaan dua model ekonomi seperti dikemukakan Aristoteles adalah cikal bakal lahirnya 28 Lihat Hans Kelsen, Menyebutkan bahwa pada zaman sekarang yang dapat dipraktekkan adalah pembagian kekuasaan (distribution of powers), bukan pemisahan kekuasaan (separation of powers), hlm. 272, Lihat juga E. Utrecht, hlm. 30. Yudha Bhakti Ardhnvisastra, Immunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm. 363. 29 Amich Alhumami, Negara Kesejahteraan (www.freelists.org. tanggal 26 Juni 2007). 30 Konrad Zweigert dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, Third Revised Edition, translated from the German by Tony Weir, Fellow of Trinity College, Cambridge, Oxford Clarendon Press, New York, 1987, Hlm. 325. 31 Aristoteles dalam Politics, Buku I. Bab 8-13, Lihat Karl Polanyi,Origin of Our Times; The Great Transformation, hlm.53. 32 Ibid. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(32) ide penguasaan negara terhadap barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum. Konsep penguasaan negara sangat erat hubungannya dengan ide res publicae yang diwariskan oleh sistem hukum Romawi. Akan tetapi, dewasa ini konsep kepemilikan yang berbasis komunal itu ternyata berkembang secara revolusioner lalu terbelah menjadi konsep imperium versus dominium. Terminoiogi imperium mengindikasikan adanya kapasitas penguasa untuk mengatur penggunaan barang-barang yang dikuasai perorangan; oleh Montesquieu persoalan ini disebut the rule over individual by the prince; kemudian ia mengintrodusir ide penguasaan benda oleh perorangan yang disebut dominium atau the rule over things by the individual33 . Asas domeinverklaring yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang Pertanahan termuat dalam Pasal 1 “’Agrarische Besluit” (S. 1870-118) yang terjemahannya sebagai berikut: “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Ayat (2) dan (3) Agrarische Wet, maka tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein negara”. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia asas domeinverklaring banyak itinggalkan, dengan asas hak menguasai tanah oleh negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 2.4.1. Negara Kesejahteraan: Implementasi Kebijakan Masyarakat. dan Pemberdayaan. Negara kesejahteraan atau kebijakan pro-kesejahteraan rakyat penting dikembangkan untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan sosial-ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Tantangan dihadapi tidak sedikit dalam soal ini ditengah berkembangnya liberalisasi ekonomi pasar melanda Indonesia sekarang. Logika ekonomi pasar berkembang mendorong peran negara dalam intervensi ekonomi perlu dikurangi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, logika pertumbuhan ekonomi ini mendapat penolakan dari logika ekonomi kesejahteraan. Pengurangan peran negara dalam intervensi ekonomi harus dilakukan karena akan mendorong kesenjangan sosial-ekonomi mengingat peningkatan kesejahteraan rakyat tidak bisa sepenuh-nya diserahkan pada bekerjanya ekonomi pasar tetapi harus mendapatkan pengendalian dari negara terhadap ekonomi pasar sedang berlangsung. Dalam garis besarnya, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker34 , misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “… stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang33 Baron de Montesquieu, L’Esprit des Lois, Book XXVI, Chapter 15, Oxford University Press, New York, 1784, hlm 41-49. 34 Paul Spickerl Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, London: Catalyst, 2002, halaman 52. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 25.

(33) orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation). Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin. sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam mening-katkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). Di Indonesia, konsep kesejahteraan merujuk pada konsep pem-bangunan kesejahteraan sosial, yakni serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah ‘kesejahteraan’ sejatinya tidak perlu pakai kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga termasuk dalam wilayah pembangunan sosial dan tidak memakai embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’. Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah ‘welfare’ (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung35. Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia. Meskipun pembangunan kesejahteraan dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya terpenuhinya kebutuhan hidup yang paling mendasar. Fungsi dan peran utama pembangunan kesejahteraan adalah:. 26. (1) Mendorong investasi sosial (social investment) melalui penyiapan dan penyediaan SDM atau angkatan kerja yang berkualitas; (2) Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui kebijakan dan pelayanan sosial yang berdampak langsung pada peningkatan keberdayaan rakyat dalam mengakses sumber dan pelayanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. 35 Edi Suharto , “Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia, 2006, halaman 45. PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

(34) (3) Mempertegas peran dan mandat ‘kewajiban negara’ (state obligation) dalam mewujudkan kemerataan kehidupan secara nyata melalui sistem perlindungan sosial36. Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran yang menentukan dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena Pemerintah daerah memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi kemiskinan, melalui regulasi dan kebijaknnya. Tetapi mereka sering kesulitan dalam menentukan prioritas, menetapkan strategi dan mengambil tindakan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kerangka hukum yang disediakan oleh proses desentralisasi, sumber daya yang tersedia dan keputusan yang dibuat untuk menggunakan hak-hak dan sumber daya tersebut. 2.4.2. Pemberdayaan Masyarakat Adat. Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu ”proses” menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya37. Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang men-cerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan keca-kapan-ketrampilan yang baik38. Makna “memperoleh” daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata “memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan, menciptakan situasi atau meminta kepada pihak lain untuk memberikan daya/kekuatan/ kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika masyarakat tersebut menyadari ketidakmampuan/ketidak-berdayaan/tidak adanya kekuatan, dan sekaligus disertai dengan kesadaran akan perlunya memperoleh daya/kemampuan/ kekuatan39. Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari 36 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan kebijakan Sosial, Alfabeta Bandung, 2005, halaman 57 37 Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gaya Media, Jakarta, 2001, halaman 37-40 38 Pranarka dan Moeljarto,menyebutkan, pemberdayaan secara substansial merupakan proses dari hubungan antara subjek dengan obyek. Proses ini mementingkan pengakuan subjek dan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek, lihat dalam Mboi, Napsiah, 1997. Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta, Penerbit Obor. 39 Konsep pemberdayaan dapat dikatakan merupakan jawaban atas realitas ketidak-berdayaan (disempowerment). Mereka yang tidak berdaya jelas adalah pihak yang tidak memiliki daya (atau kehilangan daya)-kekuatan. Dapat dikatakan bahwa yang tidak berdaya adalah mereka yang tidak atau kehilangan kekuatannya. Di sini kita memiliki dua kemungkinan utama: Pertama, apa yang di lukiskan sebagai tidak punya (tidak memiliki) kekuatan. Dan kedua, apa yang disebut sebagai kehilangan kekuatan, Lihat. LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN. 27.

Gambar

Gambar 2: Peta Suku Dayak
TABEL 2.1. PERGESERAN PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN      MASYARAKAT
Gambar 2 : Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif 59
Gambar 3. Kepala Desa Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Panurèksan puniki maduè tetujon mangda prasida nlatarang struktur miwah nlatarang fungsi sane wènten ring teks Geguritan Darmakaya. Panyelehan teks Geguritan Darmakaya wantah

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

Pokja Pemeliharaan / Perbaikan dan Jasa Lainnya RSUP Dr.Kariadi Semarang akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan

[r]

Bagi para peserta yang keberatan atas pengumuman pemenang hasil seleksi sederhana tersebut, diberi kesempatan untuk mengajukan sanggahan secara online melalui

Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel teman sebaya dan variabel kepercayaan diri terhadap aktualisasi diri

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan