• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI TOFAN"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG

DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI

SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI TOFAN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

TOFAN. D14204034. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi

Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan. Skripsi. Program Studi

Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.

Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.

Pembuatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan merupakan alternatif pengolahan daging sapi dalam upaya meningkatkan nilai guna, pengawetan, dan memudahkan distribusi. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan tambahan kerupuk, sehingga diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein dan mineral secara praktis, selain itu dapat meningkatkan daya terima kerupuk menjadi lebih baik dengan flavor daging yang nikmat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai Maret 2008 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung daging sapi yang berbeda pada adonan kerupuk, yaitu penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Peubah yang diukur antara lain rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik untuk pemilihan formulasi terbaik penambahan tepung daging sapi. Formulasi terbaik digunakan untuk analisis fisik dan organoleptik kerupuk dengan lama penyimpanan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan untuk sifat fisik selama penyimpanan adalah penyimpanan kerupuk goreng pada 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari. Peubah yang diukur antara lain: derajat gelatinisasi, rendemen, densitas kamba, aktivitas air, tingkat kekerasan, dan analisis organoleptik kerupuk goreng berupa uji hedonik dan mutu hedonik. Peubah rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik kerupuk goreng dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap untuk pemilihan formulasi terbaik dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi. Peubah aktivitas air, tingkat kekerasan dan analisis organoleptik kerupuk goreng selama penyimpanan dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap dengan perlakuan lama penyimpanan 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari.

Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging mempengaruhi tingkat kesukaan dan mutu kerupuk goreng. Hasil analisis Kruskal-Wallis pemilihan formulasi terbaik dengan menggunakan skoring uji hedonik menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan, menghasilkan produk kerupuk goreng terbaik dengan tingkat kesukaan tertinggi terhadap warna (suka), rasa daging (suka), bau daging (agak suka), kekerasan (suka) dan ketengikan (agak suka).

Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kekerasan, dan aktivitas air kerupuk goreng.

(3)

Hal ini berpengaruh terhadap mutu dari kerupuk goreng. Penurunan mutu dari kerupuk goreng selama penyimpanan adalah peningkatan tingkat kekerasan dan penurunan tingkat bau dan rasa daging kerupuk goreng. Lama penyimpanan tidak mempengaruhi tingkat warna kerupuk goreng sampai hari ke-42.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi kerupuk mentah. Rataan dan simpangan baku derajat gelatinisasi pada pengukusan ke-1 adalah 5,23 ± 0,08, pengukusan ka-2 adalah 8,01 ± 0,17, dan pengukusan ke-3 adalah 15,61 ± 0,75. Lama penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap aktivitas air dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Rataan dan simpangan baku aw pada penyimpanan P-0 adalah 0,41 ± 0,06, P-14 adalah 0,66 ± 0,01, P-28 adalah 0,67 ± 0,04, dan P-42 adalah 0,69 ± 0,11. Rataan dan simpangan baku tingkat kekerasan kerupuk pada penyimpanan P-0 adalah 1277,77 ± 176,05 gf, P-14 adalah 1916,66 ± 240,38 gf, P-28 adalah 2055,55 ± 45,90 gf, dan P-42 adalah 2186,11 ± 165,48 gf. Rataan dan simpangan baku randemen kerupuk mentah dari adonan adalah 42,14% ± 1,90; rendemen kerupuk goreng dari adonan adalah 73,303% ± 4,024; dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah adalah 107,15% ± 0,48.

Kata-kata kunci: Tepung daging sapi, pengembangan pati, karakteristik kerupuk, gelatinisasi

(4)

ABSTRACT

Physics and Sensory Evaluation of Kerupuk with Additional of Beef Meal During Storage

Tofan, Z. Wulandari, T. Suryati

ABSTARCT

The study of making kerupuk which made by additional of beef meal with four different formulas was conducted to evaluate the characteristic of physic and sensory from kerupuk which was made. Measured observations from fried kerupuk were physic (gel forming ability, water activity, bulk density, and degrees of hardness) and also sensory evaluation. The sensory evaluation included hedonic and mutual hedonic test. Measured observations from un-fried kerupuk were moisture, bulk density and ratio from dough and un-fried kerupuk. The data were analyzed by ANOVA. The study was divided into two phase. First was preliminary experimental to find the best formulas of beef meal addition for making kerupuk. The second was main experimental to study the effect of additional beef meal in making kerupuk and also the effect during storage. The first experimental showed that from hedonic test, 10% of beef meal addition become a best formula of making kerupuk. In main experimental showed that there is a significant effect on kerupuk during storage (p<0.05) for variable degrees of hardness, moisture and water activity. But, during storage there was no significant effect in color and the odor especially off-flavor of kerupuk (p>0.05).

(5)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG

DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI

SELAMA PENYIMPANAN

TOFAN D14204034

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG

DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI

SELAMA PENYIMPANAN

Oleh : TOFAN D14204034

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2008

Pembimbing Utama

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246

Pembimbing Anggota

Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP. 131 955 531

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Nopember 1986 di Banyumas, Jawa Tengah. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Imam Fadholie dan Ibu Sunarsih. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis tahun 1998 di SDN Jatilawang II, pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Jatilawang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Jatilawang. Penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan persama (DPM TPB), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan, Aptech Creative Team (ACT) Fakultas Peternakan, D’Cafe Teknologi Hasil Ternak, Enterprenership Club Fakultas Peternakan, MAPAJI Club, asisten mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Susu, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Daging, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Telur dan Daging Unggas, dan Ikatan Mahasiswa se-Karesidenan Banyumas (IKAMAHAMAS).

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrohiim.

Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala karunia serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis berkemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa dan menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia.

Skripsi berjudul “Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi

Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan” ini mempelajari sifat

fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini hanyalah langkah awal yang kecil untuk membuka peluang penelitian yang lebih mendalam dan lebih matang. Meskipun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai suatu sumber informasi yang baik, penulis tetap berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kebaikan dan dapat menjadi amal penulis kepada pendidikan, amin.

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iv LEMBAR PERNYATAAN ... v LEMBAR PENGESAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Daging Sapi ... 3

Kualitas Daging Sapi ... 3

Tepung Daging Sapi ... 4

Kerupuk ... 6

Sifat kerupuk ... 6

Bahan Baku Kerupuk ... 7

Tepung Tapioka ... 7 Gula ... 8 Garam ... 9 Air ... 10 Bawang Putih ... 10 Bahan Pengembang ... 10 Pengolahan Kerupuk ... 11 Pembuatan adonan ... 11 Pengukusan ... 11

Pendinginan dan Pengirisan ... 11

Pengeringan ... 12

Penggorengan ... 13

Plastik Polipropilen (PP) ... 14

Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan ... 15

Gelatinisasi ... 16

Kerenyahan ... 17

Ketengikan ... 17

Reaksi Maillard ... 18

Sifat Sensori Bahan ... 19

(10)

Flavor dan Bau ... 21

Tekstur ... 21

Rasa ... 21

METODE ... 22

Lokasi dan Waktu ... 22

Materi ... 22

Rancangan Percobaan ... 22

Prosedur ... 24

Penelitian Tahap Pertama ... 24

Penelitian Tahap Kedua ... 25

Pengukuran Peubah ... 28

Rendemen (AOAC, 1995) ... 28

Densitas Kamba (Lavlinesia, 1995) ... 28

Aktivitas Air (AOAC, 1999) ... 29

Analisis Derajat Gelatinisasi ... 29

Pengujian Tingkat Kekerasan (Analisis Tekstur) ... 30

Analisis Organoleptik ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

Penelitian Tahap Pertama ... 33

Sifat Fisik Adonan ... 33

Sifat Fisik Kerupuk Mentah ... 35

Sifat Fisik Kerupuk Goreng ... 37

Pengujian Organoleptik ... 38

Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Daging Kerupuk Goreng ... 40

Tingkat Kesukaan terhadap Warna Kerupuk Goreng .. 40

Tingkat Kesukaan terhadap Bau Daging Kerupuk Go- reng ... 42

Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan ... 42

Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Kerupuk Go- reng ... 43

Penelitian Tahap Kedua ... 44

Derajat Gelatinisasi ... 45

Densitas Kamba ... 46

Rendemen ... 48

Analisis Fisik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 49

Uji Organoleptik selama Penyimpanan ... 51

Tingkat Kesukaan terhadap Warna selama Penyim- panan ... 53

Tingkat Kesukaan terhadap Rasa dan Bau Daging se- lama Penyimpanan ... 54

Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan selama Pe - nyimpanan ... 54

Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan selama Penyim- panan ... 55

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

UCAPAN TERIMA KASIH ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging

Sapi ... 5

2. Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka ... 7

3. Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air ... 9

4. Syarat Mutu Minyak Goreng ... 13

5. Sifat-sifat Polipropilen (PP) dibandingkan dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene) ... 15

6. Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng ... 25

7. Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan ... 26

8. Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka 26

9. Sifat Fisik Biang Adonan dengan Perbandingan Penambahan dan Tepung Tapioka yang Berbeda ... 34

10. Rendemen Kerupuk Mentah terhadap Adonan dengan Berbagai For- mulasi Penambahan Tepung Daging Sapi ... 36

11. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng terhadap Berbagai Penambahan Tepung Daging Sapi ... 36

12. Hasil Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda ... 38

13. Hasil Uji Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Go- reng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda ... 38

14. Hasil Skoring Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Ber- beda ... 44

15. Hasil Analisis Fisik Derajat Gelatinisasi ... 45

16. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Mentah dan Kerupuk Goreng ... 46

17. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi Sebanyak 10% selama Penyimpanan ... 48

18. Hasil Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 52

19. Hasil Uji Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 53

20. Hasil Perangkingan Pemilihan Kerupuk Goreng Terbaik selama Pe- nyimpanan ... 56

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tepung Daging Sapi ... 5 2. Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati Kentang; C. Tapioka ... 8 3. Mekanisme Gelatinisasi ... 16 4. Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pa-

ngan ... 17 5. Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wi-

riano (1984) yang Dimodifikasi ... 27 6. Ilustrasi Hasil Pengukuran Tingkat Kekerasan Menggunakan Alat

Rheoner ... 30 7. Tingkat Warna Kerupuk Mentah dengan Berbagai Penambahan

Tepung Daging ... 36 8. Ilustrasi Struktur Pori-pori Kerupuk Goreng Tampak Melintang .... 38 9. Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging

Sapi yang Berbeda ... 41 10. Grafik Nilai Rata-rata Rendemen Kerupuk pada Beberapa Tahap

Pembuatan Kerupuk ... 48 11. Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Kadar Air selama

Penyimpanan Kerupuk Goreng ... 51 12. Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Aktivitas Air se-

lama Penyimpanan Kerupuk Goreng ... 51 13. Warna Kerupuk Goreng dengan selama Penyimpanan ... 53

(14)

LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Form Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng ... 65 2. Form Uji Hedonik Kerupuk Goreng ... 65 3. Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Ter-

baik ... 66 4. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging .... 66 5. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Daging

Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 67 6. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Ta-

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 67 7. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Ta-

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 67 8. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Tahap

Pemilihan Formulasi Terbaik ... 68 9. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Rasa Daging Ta-

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 68 10. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Bau Daging Ta-

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 68 11. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Tahap

Pemilihan Formulasi Terbaik ... 68 12. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Ketengikan Ta -

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 69 13. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Ta-

hap Pemilihan Formulasi Terbaik ... 69 14. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging

selama Penyimpanan ... 69 15. Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik selama Penyimpanan .. 70 16. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Ke-

rupuk selama Penyimpanan ... 70 17. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan

Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 71 18. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Daging

Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 71 19. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Keru –

puk Goreng selama Penyimpanan ... 71 20. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Warna Kerupuk Goreng

(15)

21. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Kekerasan Kerupuk Go-

reng selama Penyimpanan ... 72

22. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 72

23. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 72

24. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Formulasi Kerupuk Mentah yang Berbeda ... 73

25. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 73

26. Tabel Sidik Ragam untuk Aktivitas Air Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ... 73

27. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Kerupuk Goreng selama Pe – nyimpanan ... 73

28. Tabel Sidik Ragam untuk Kekerasan Kerupuk Goreng selama Pe – nyimpanan ... 74

29. Hasil Uji Asumsi Peubah Rendemen Kerupuk Mentah dan Rende- men Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Da - ging yang Berbeda ... 74

30. Hasil Uji Asumsi Peubah Densitas Kamba Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Daging yang Berbeda ... 74

31. Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Mentah ... 74

32. Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Goreng ... 75

(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Daging merupakan sumber pangan hasil ternak dengan komposisi gizi berupa mineral besi (Fe) dan protein yang tinggi dengan asam amino yang lengkap tetapi memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan suatu bentuk pengolahan untuk tetap dapat mempertahankan nilai gunanya. Hal ini memacu pengembangan metode pengawetan daging secara modern untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat secara praktis dan higienis. Tepung daging sapi merupakan salah satu produk olahan daging yang bersifat higroskopis dengan kandungan air rendah (11,24%-15,24%) (Aditya, 2008). Sifat ini akan memudahkan penggunaan dalam pembuatan produk pangan yang memanfaatkan air sebagai media pencampurannya. Hal ini akan meningkatkan pemanfaatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan sehingga didapatkan produk pangan yang mempunyai kandungan nutrisi daging khususnya protein yang alami.

Kerupuk tapioka oleh sebagian masyarakat Indonesia dikenal sebagai makanan ringan dan praktis yang tidak memerlukan metode penyimpanan khusus dalam hal distribusi. Bahan utama pembuatan kerupuk berupa tepung tapioka dan bumbu rempah-rempah dengan pencampuran bahan tambahan makanan sintetis (BTM) untuk meningkatkan flavor yang relatif murah, membuat industri kerupuk dapat berproduksi secara massal dan kontinu. Kandungan gizi yang rendah dan cita rasa khas kerupuk yang biasa menjadi suatu peluang untuk membuat kerupuk yang lebih bernilai gizi dan memiliki flavor yang lezat. Penambahan bahan alami dan bergizi sebagai bahan pengisi pada kerupuk merupakan modifikasi dan improvisasi teknologi yang berpeluang menghasilkan teknologi produksi kerupuk. Teknologi pembuatan kerupuk dengan menambahkan atau mengubah sifat fungsionalnya sedemikian rupa sehingga bentuk, sifat dan penerimaan konsumen dapat lebih baik akan meningkatkan pangsa pasar kerupuk, baik nasional, maupun internasional.

Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu usaha diversifikasi produk tepung daging sapi sehingga peningkatan nilai guna dari tepung daging sapi dapat dioptimalkan. Penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya produk kerupuk diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang

(17)

menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein-mineral secara praktis dan alami dangan daya terima yang lebih baik berupa flavor daging yang nikmat. Penambahan tepung daging sapi dapat mempengaruhi lama penyimpanan kerupuk yaitu dapat menghasilkan produk yang rentan terhadap ketengikan, sehingga diperlukan metode penyimpanan khusus untuk mempertahankan masa simpan produk dari ketengikan. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sifat fisik dan organoleptik pada kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan kerupuk goreng.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi

Daging didefinisikan sebagai bahan pangan yang berasal dari hasil penyem-belihan hewan ternak hidup secara benar dan telah mengalami proses deboning (pemisahan tulang) dari karkas. Standardisasi proses pemotongan hewan ternak harus diperhatikan untuk menghindari kontaminasi dari bahan pencemar berupa fisik, kimia, maupun mikrobiologi (Nel et al., 2003; Fahey dan Noor, 2001). Daging sapi merupakan bagian urat daging sapi yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).

Kualitas Daging Sapi

Komposisi daging sapi segar terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein larut dan 2,5 % lemak. Daging sapi mengandung berbagai asam amino baik essensial maupun non-essensial yang lengkap dan diperlukan oleh tubuh manusia. Keadaan asam amino tertentu dapat berbeda pada bagian yang berbeda dari karkas. Kadar asam amino dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak serta proses pengolahan misalnya panas (Lawrie, 2003) dan radiasi ionisasi yang berpengaruh terhadap flavor, warna, dan masa penyimpanan (Montgomery et al., 2003). Protein sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Aktivitas fisik anak-anak yang tinggi dapat mempengaruhi metabolisme protein dalam tubuh sehingga diperlukan asupan nutrisi protein yang tinggi dan berkualitas (Bolster et al., 2001)

Warna daging segar merupakan atribut terpenting dalam kualitas daging yang berhubungan langsung dengan daya terima konsumen. Warna daging ditentukan oleh mioglobin, pigmen kromoprotein dan haemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Faktor yang dapat mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen (Soeparno, 1994; Fahey dan Noor, 2001). Nilai pH daging sapi dapat menentukan umur simpan, warna, keempukan, dan kualitas daging. Nilai pH normal daging berkisar 5,4 sampai 5,9. Nilai pH dibawah 5,4 akan membentuk daging yang lembek (pale soft exudative) dan nilai pH diatas 5,9 akan membentuk daging yang berwarna gelap (dark firm dry). Nilai pH dipengaruhi oleh proses pemotongan (Lawrie, 2003; dan Fahey dan Noor, 2001).

(19)

Flavor daging berasal dari reaksi kimia dalam daging dari bahan-bahan prekusornya. Salah satu prekusor yang digunakan dalam penentu flavor adalah lemak, pirolisis dari peptida-peptida dan asam-asam amino, degradsi gula-gula, degradasi tiamin dan ribonukleotida dan interaksi yang melibatkan gula-gula, asam amino, lemak, H2S dan NH3 (Lawrie, 2003). Produksi volatil berasal dari asam amino dalam pirolisis melalui degradasi Strecker yang melibatkan deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino ke dalam aldehid dan adanya reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asam-asam amino dan gugus karbonil (Murthy et al., 2003; Chun dan Ho, 1997). Zat volatil daging dapat berubah dengan adanya denaturasi protein. Hal ini berhubungan dengan suhu pengolahan daging yang menghasilkan senyawa turunan protein seperti pentanal dan heksanal yang bersifat volatil. Suhu lebih dari 70 oC dapat mendenaturasi protein daging yang meyebabkan komponen protein berubah (Grimm et al., 1997).

Perubahan kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan lemak daging yang dapat menimbulkan ransiditas (ketengikan) pada penyimpanan freezer kira-kira satu tahun. Ketengikan lemak akan terhambat apabila daging kering mengandung air hanya sampai kira-kira 1,5%, tetapi kadar air yang sangat rendah dapat mempengaruhi tekstur, flavor dan daya rehidrasi yang rendah (Soeparno, 1994). Penambahan antioksidan seperti vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi lemak dan mioglobin sehingga kualitas daging akan lebih baik (Wood et al., 2004).

Konsentrasi asam α-linolenat (18:3) yang mendekati 3% dari lemak alami atau fosfolipida berefek terhadap kualitas daging yang rendah, menurunkan masa simpan (oksidasi lemak dan mioglobin) dan flavor. Daging ruminansia seperti sapi mengandung sumber n-3 PUFA yang relatif baik disebabkan karena adanya kandungan asam α-linolenat pada rumput yang digunakan sebagai pakan alami (Wood et al., 2004). Proses penyimpanan yang baik untuk daging sapi segar adalah pada ruangan khusus dan tertutup dengan temperatur kurang dari -15oC (frozen meat) (Fahey dan Noor, 2001).

Tepung Daging Sapi

Kandungan zat besi yang tinggi (72% - 87%) menentukan kualitas dari daging sapi. Pemanasan daging sapi dapat menurunkan kandungan zat besi sampai 24% menjadi non heme yang lebih stabil (Boccia et al., 2002). Tepung daging sapi

(20)

merupakan salah satu produk diversifikasi daging sapi yang memanfaatkan metode pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60 oC selama 24 jam. Pengeringan daging segar akan menghasilkan daging kering yang dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung daging. Pembuatan tepung daging dari daging segar dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pencucian, penggilingan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan (Anggoro, 2007). Kandungan nutrisi tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging Sapi Komposisi Kadar Nutrisi I II Kadar Air (%) - 11,24 – 15,44 Protein (%) 75,42 - 78,31 80,90 – 84,16 Lemak (%) 6,07 – 7,24 10,81 – 12,41 Fe (ppm) 64,41 – 85,30 81,36 – 85,96 Sumber : I : Anggoro, 2007 II : Aditya, 2008

Pengeringan bahan pangan dapat menurunkan kadar air bahan pangan tersebut, tetapi dapat meningkatkan persentase kandungan nutrisi seperti protein, lemak, dan mineral (Winarno, 1993). Kadar air yang rendah dapat meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan daging akan menurunkan kandungan air bahan sehingga konsentrasi bahan kering meningkat (Buckle et al., 1987).

(21)

Tepung daging sapi memiliki karakteristik berwarna coklat, kering, higroskopis (menyerap air), dan mempunyai aroma daging matang. Daging sapi segar dengan bobot 1 kg dapat dijadikan tepung daging sapi sebanyak 163,4 g (Anggoro, 1997).

Kerupuk

Kerupuk merupakan salah satu produk pangan yang berasal dari Indonesia, terbuat dari tepung tapioka, dicampur dengan bahan tambahan makanan dan dilakukan penggorengan menggunakan minyak sebelum disajikan. Kadar air kerupuk berkisar antara 10,3% sampai 11,3% (Fumiko dan Yasuko, 2000). Pati berperan dalam proses gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan yang merupakan salah satu mutu kerupuk yaitu semakin besar volume pengembangan maka mutu kerupuk tersebut semakin baik (Wiriano, 1984).

Sifat Kerupuk

Kerupuk pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kerupuk halus dan kerupuk kasar. Kerupuk kasar dibuat hanya dari bahan pati yang ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk halus ditambah lagi dengan bahan berprotein seperti ikan sebagai bahan tambahan. Kerupuk tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar protein bahan baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah. Penambahan ikan, tepung udang dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan meningkatkan kandungan protein kerupuk yang dihasilkan. Pembuatan adonan merupakan tahap yang penting dalam pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan utama dan bahan-bahan tambahan yang diaduk hingga diperoleh adonan yang liat dan homogen (Wijandi et al., 1975). Kerupuk dengan campuran tepung tapioka mempunyai mutu yang lebih baik daripada tanpa campuran dilihat dari warna, aroma, tekstur dan rasa (Suhardi et al., 2006).

Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode penyimpanan suatu produk pangan (Wiratakusumah et al., 1989). Sifat kerupuk mudah melempem, hal ini berkaitan dengan kelembaban udara lingkungan dan tingkat penyerapan air pada

(22)

produk kerupuk. Kelembaban udara di Indonesia yang relatif tinggi (80% - 90%) memacu teknologi pembentukan bahan pengemas yang tahan terhadap kondisi lingkungan dan sesuai dengan produk bahan yang dikemas (Setyawan, 1999). Bahan pengemas tahan uap air dan udara yang sering digunakan untuk produk kerupuk adalah plastik, kaleng, dan gelas (Syarief dan Halid, 1993).

Bahan Baku Kerupuk

Bahan pembuat kerupuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Bahan tambahan dari kerupuk adalah garam, bumbu, bahan pengembang dan air. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk berfungsi untuk memperbaiki dan menambah cita rasa kerupuk (Djumali et al., 1982).

Tepung Tapioka. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot

utilisima) yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Tepung tapioka digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk karena harga yang relatif murah (Suhardi et al., 2006). Tepung tapioka mempunyai karakteristik yang diinginkan bagi industri pangan. Penambahan tepung tapioka pada produk pangan dapat meningkatkan kandungan serat hingga 12%. Produk pangan tersebut dapat dimetabolisme dengan baik oleh tubuh (Niba dan Jackson, 1999). Kandungan nutrisi tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka

Kandungan Nutrisi Jumlah

Kadar Air (%) 12,00

Kadar Protein (%) 0,30

Kadar Lemak (%) 0,30

Kadar Abu (%) 0,50

Kadar Karbohidrat (%) 86,90

(23)

Penambahan tepung tapioka pada industri pangan berfungsi memperbaiki tekstur misalnya industri roti. Tepung tapioka memiliki bentuk granula yang unik, hal ini merupakan sifat khas yang membedakan tepung tapioka dengan yang lain (Winarno, 1992). Bentuk granula beberapa pati dapat dilihat pada Gambar 2.

A B C

Gambar 2. Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati kentang; C. Tapioka

Sumber : Winarno, 1992

Industri pangan menggunakan tepung tapioka karena tepung tapioka berwarna jernih apabila membentuk pasta, mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir dan memiliki suhu gelatinisasi yang rendah. Suhu gelatinisasi adalah suhu awal mulai terjadinya pembengkakan granula (swelling) yang ditandai dengan naiknya viskositas. Waktu gelatinisasi adalah waktu mulai terjadinya gelatinisasi sampai gelatinisasi maksimal yang menunjukkan kemudahan “tanak” (Desphande et al, 1983). Titik gelatinisasi tepung tapioka (awal terbentuknya gel) terjadi pada suhu 60,3oC - 69,5oC, dengan waktu 2 menit 10 detik – 5 menit 46 detik (Maarif, 1984).

Gula. Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan pada setiap karbohidrat

yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al., 1987). Penggunaan gula pada produk makanan berprotein dapat menyebabkan reaksi browning atau pencoklatan karena adanya reaksi antara gugus asam amino bebas seperti amin, asam amino, peptida dan protein dengan komponen karbonil yaitu partikel gula pereduksi pada gula (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy, 2003). Penggunaan gula pada bahan makanan bermanfaat terhadap peningkatan kualitas sensori terutama flavor bahan pangan (Reineccius, 1994). Penggunaan gula berpengaruh terhadap penurunan aktivitas air bahan pangan sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet bahan pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan gula berpengaruh terhadap kekentalan gel. Gula dapat menurunkan kekentalan gel karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat yang

. . . . . . . . . . . .

(24)

menyebabkan suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Keuntungan penggunaan gula adalah gel yang terbentuk lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 1992).

Daya larut yang tinggi dari sukrosa merupakan salah satu dari sifat-sifatnya yang penting. Keanekaragaman daya larut sukrosa dalam air pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Semakin tinggi suhu air yang digunakan untuk melarutkan gula, semakin tinggi daya larut sukrosa (Buckle et al., 1987).

Tabel 3. Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air

Suhu (oC) Daya larut (%)

20 30 100 67,1 72,4 84,1 Sumber: Buckle et al., 1987

Sukrosa (C12H22O11) berbentuk kristal putih keras, kering dan diperoleh dari evaporasi bahan gula. Sifat khas dari gula adalah mempunyai daya larut dalam air yang tinggi. Sukrosa merupakan disakarida yang mempunyai dua unit rantai heksosa yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa bukan gula pereduksi sehingga tidak reaktif terhadap proses pemanasan. Tingkat kemanisan dan karakteristik sukrosa terhadap suhu dan waktu dijadikan standar mutu produk (Reineccius, 1994).

Garam. Penggunaan garam NaCl (natrium klorida) berperan terhadap pembentukan

flavor, mengawetkan dan menstabilkan struktur produk akhir. Penambahan garam pada makanan dapat memberikan rasa yang spesifik karena sifat yang asin. Penggunaan secara umum pada produk pangan sebanyak 2%. Penggunaan terlalu berlebih dapat menyebabkan produk akhir sulit dicerna dalam saluran pencernaan dan menimbulkan efek mual pada orang yang mengkonsumsinya (Reineccius, 1994; Soeparno, 1994).

Garam sebagai bahan tambahan makanan berperan untuk menambah cita rasa produk akhir. Garam mempengaruhi aktivitas air dari bahan dengan menyerap air sehingga aktivitas air menurun dengan menurunnya kadar air. Konsentrasi rendah (1%-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme, tetapi hanya sebagai bumbu yang dapat memberi cita rasa gurih pada bahan pangan (Buckle et al., 1987).

(25)

Penggunaan gula akan membantu mereduksi total penggunaan garam untuk setiap penambahan gula (Reineccius, 1994).

Air. Air (H2O) merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, tingkat kerenyahan produk akhir serta cita rasa makanan. Reaksi pembentukan gel memerlukan air sebagai penentu tingkat keberhasilan produk yang diinginkan (Winarno, 1992). Jumlah air yang digunakan dalam adonan kerupuk dapat mempengaruhi tingkat adonan kerupuk, penyerapan minyak dan kerenyahan produk akhir (Wiriano, 1984). Air dan penggunaan suhu tinggi dapat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dan kecepatan pelarutan bahan (Graham, 2000).

Bawang Putih. Bawang putih (Allium sativum L.) mempunyai bau yang kuat, rasa

tajam, dan bereaksi secara enzimatis membentuk produk allicin (C3H5-S-S-C3-H5), yang memecah alil disulfida. Alil disulfida merupakan karakteristik bau khas bawang putih. Kandungan lain pada bawang putih yang menentukan bau adalah 20% dialil trisulfida, 6% alil propil disulfida, sejumlah kecil dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin dan alisin. Bawang putih dapat dijadikan tepung dengan sifat higroskopis yang sangat tinggi (Farrell, 1990). Bawang putih mengandung antioksidan alami. Antioksidan secara alami dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan dapat melindungi komponen bahan pangan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Antioksidan dalam dunia kesehatan dapat berfungsi sebagai pencegah sel kanker dan menyehatkan jantung (Medikasari, 2002).

Bahan Pengembang (Baking Powder/NaHCO3). Jenis bahan pengembang akan

mempengaruhi tingkat viskositas atau kekentalan adonan kue. Secara umum komposisi baking powder terdiri atas asam (acidic agents) dan natrium bikarbonat. Mekanisme kerja dari baking powder adalah ketika kontak dengan air dan panas, akan bereaksi membentuk gas karbondioksida (CO2) yang dapat mengontrol pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas bersama udara dan uap air yang terperangkap dalam adonan akan mengembang sehingga diperoleh suatu bahan kue dengan struktur berpori (Winarno, 1992). Asam digunakan sebagai katalis

(26)

untuk mempercepat reaksi pembentukan CO2. Air dan penggunaan suhu tinggi akan berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dari bahan pengembang (Graham, 2000).

Pengolahan Kerupuk

Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu bahan pangan, baik dari nilai gizi maupun daya cerna, memberikan kemudahan dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma, menganekaragamkan produk dan memperpanjang masa simpan. Tahap pengolahan kerupuk dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pembuatan Adonan. Tahap pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat

penting. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan adalah kehomogenan adonan. Pengadonan berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk, yaitu berhubungan dengan udara dan gas (Lavlinesia, 1995). Proses pembuatan adonan kerupuk ada dua jenis, yaitu proses panas dan proses dingin. Pembuatan adonan proses panas yaitu pemasakan bahan tambahan kemudian dicampur dengan bahan utama. Pembuatan adonan proses dingin pada pembuatan adonan kerupuk yaitu mencampurkan semua bahan dan diaduk sampai homogen tanpa melalui pemasakan pendahuluan (Wiriano, 1984).

Pengukusan. Proses pengukusan dilakukan setelah adonan mentah dicetak.

Pengukusan ini bertujuan untuk menggelatinisasikan adonan sehingga dapat membentuk tekstur yang kompak. Pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan air yang terperangkap oleh gel pati terlalu banyak, sehingga proses pengeringan dan penggorengan menjadi tidak sempurna. Adonan yang setengah matang menyebabkan pati tidak tergelatinisasi dengan sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997). Menurut Djumali et al. (1982), adonan yang telah masak ditandai dengan seluruh bagian berwarna bening serta teksturnya kenyal. Lama pengukusan tergantung dari bentuk adonan yang dicetak. Elyawati (1997) menjelaskan pengukusan adonan yang baik dalam bentuk silinder dengan ukuran diameter ±5 cm adalah sekitar 25 menit dengan suhu 100-110oC.

Pendinginan dan Pengirisan. Pendinginan adonan dilakukan setelah proses

(27)

sehingga pengirisan mudah dilakukan. Pendinginan adonan dilakukan selama dua malam. Proses pendinginan dapat dipercepat dengan menggunakan bantuan referigerator (Wiriano, 1984).

Pengirisan adonan dapat dilakukan dengan bantuan pisau atau alat pemotong khusus (slicer) dengan ketebalan 2-3 mm. Pengirisan adonan dengan ketebalan tersebut dapat memudahkan proses pengeringan. Proses pengirisan menggunakan slicer kerupuk dapat menghasilkan produk dengan ketebalan irisan yang sama sehingga efisiensi proses pengeringan yang seragam dapat tercapai. Hal ini berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas mutu kerupuk setelah penggorengan (Wiriano, 1984).

Pengeringan. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau

meng-hilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian besar air melalui penggunaan energi panas sehingga terjadi penurunan tingkat kadar air (Wiratakusumah et al., 1989). Pengurangan kadar air menyebabkan kandungan senyawa-senyawa bahan pangan seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari (Winarno, 1993).

Prinsip pengeringan menggunakan oven listrik adalah sistem pindah panas secara konveksi yaitu adanya perpindahan massa zat berupa udara panas yang ditiupkan melalui pemanas (heater) sebagai sumber panas. Udara panas ini akan menjadi panas konduksi pada rak oven, dinding oven dan wadah bahan pangan yang secara langsung akan mempengaruhi bahan pangan yang dioven (Fellow, 1990). Keuntungan dari sistem pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet, volume bahan menjadi lebih ringkas sehingga memudahkan distribusi produk, menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta berat bahan menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih murah. Kerugiannya adalah sifat bahan asal menjadi berubah seperti bentuk, sifat-sifat fisik dan kimiawinya serta penurunan mutu (Wiratakusumah et al., 1989).

(28)

Penggorengan. Menggoreng adalah suatu metode penyiapan produk pangan secara

cepat untuk menghasilkan flavor goreng yang spesifik menggunakan lemak atau minyak pangan (Shahidi et al., 1997). Makanan yang digoreng tidak saja menjadi matang, tetapi menjadi cukup tinggi suhunya sehingga menjadi coklat dan menghasilkan komponen flavor volatil sebagai hasil reaksinya (Fayle dan Gerrard, 2002). Penggunaan metode penggorengan deep frying baik untuk produk seperti kerupuk karena memerlukan minyak yang banyak (Winarno, 1999). Alat penggorengan yang berasal dari stainless steel lebih baik digunakan dibandingkan yang terbuat dari besi karena besi dapat merangsang terjadinya oksidasi lemak dan bersifat prooksidan (Winarno, 1999). Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu mencapai 170-180oC (Shahidi et al., 1997) membantu proses pengembangan kerupuk yang merata pada seluruh permukaan bahan yang digoreng. Minyak dan lemak pangan sangat mempengaruhi sifat fisik dan organoleptik suatu produk pangan dengan kandungan kalori mencapai 9 kkal/g. Minyak dan lemak merupakan bahan yang membawa vitamin terlarut seperti vitamin A, D, E dan K dan dapat meningkatkan flavor dan tekstur produk pangan (Akoh, 1996). Pemilihan minyak goreng dengan tujuan penggorengan deep frying harus memiliki nilai titik asap (smoke point) yang tinggi (Winarno, 1999). Minyak goreng sangat mudah teroksidasi. Hasil dari proses penggorengan selalu menghasilkan oksidasi lemak dan dapat menghasilkan komponen hasil oksidasi yang dapat menurunkan kualitas dari minyak goreng (Fayle dan Gerrard, 2002). Syarat mutu minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Minyak Goreng

Komponen Maksimum

Air

Bilangan Peroksida

Asam Lemak Bebas Logam-logam Berbahaya Keadaan (bau, warna, rasa)

0,3%

1,0 mg oksigen/100 g 0,3%

negatif negatif

(29)

Plastik Polipropilen (PP)

Pengemasan bahan pangan didefinisikan sebagai suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar misalnya melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya, mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, tahan terhadap tekanan atau benturan dan transparan (Buckle et al., 1987). Pewadahan produk ke dalam suatu wadah seperti bags, botol, box, tube atau plastik, disusun secara teratur merupakan salah satu contoh metode pengemasan bahan pangan. Pengemasan bertujuan untuk penyimpanan, distribusi dan menjaga produk supaya aman dari pencemaran baik secara biologis, fisik maupun kimia (Kropf, 2004).

Syarat bahan pengemas adalah kuat, sifat permeabilitas yang tahan gas, transparan, anti kabut, menghambat masuknya gas seperti oksigen dan karbondioksida, permukaan yang halus dan mempunyai harga yang relatif murah (Montgomery et al., 2003). Pengemasan fleksibel mensyaratkan bahan yang akan dikemas tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan kemasan itu sendiri. Oleh karena itu tinta dan solvent hasil printing tidak akan mengkontaminasi bahan yang dikemas karena kemasan sudah dilapis (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). Plastik merupakan pengemas yang penting di dalam industri pangan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Secara umum, industri pangan banyak menggunakan jenis plastik polietilen (PE) dan polipropilen (PP) (Syarief dan Halid, 1993).

Produk kering (kerupuk) yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu produk kering harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi tidak renyah dan teksturnya rusak. Plastik PP memiliki permeabilitas gas yang sedang (23 cc/cm/ cm2/cmHg)1011) dibandingkan LDPE (80 cc/cm/ cm2/cmHg)1011). Sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan platik PP digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak (Syarief dan Halid, 1993).

(30)

Polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen dikembangkan dari tahun 1950 dengan berbagai nama dagang seperti : bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan pro fax (Syarief dan Halid, 1993). Sifat polipropilen dibandingkan dengan plastik kemasan HDPE dan LDPE dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sifat-sifat PP (Polypropilen) Dibandingkan dengan HDPE (High

Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene)

Deskripsi LDPE HDPE PP

Densitas pada (20oC (g/cm3) 0,92-0,925 0,93-0,96 0,90 Permeabilitas gas (cc/cm/ cm2/cmHg)1011 - Nitrogen 20 3 4,4 - Oksigen 59 11 23 - Uap air 800 180 600

Warna Tidak transparan Tidak transparan Transparan

Rigiditas Tidak kaku Tidak kaku Kaku

Sumber : Syarief dan Halid, 1993

Plastik PP memiliki sifat yang ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih. Plastik PP mempunyai sifat yang utama adalah tahan terhadap asam kuat, basa dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap minyak dan lemak, stabil pada suhu tinggi, dan cukup mengkilap. Hal ini menyebabkan plastik PP digunakan pada produk pangan berlemak seperti kerupuk dibandingkan plastik HDPE dan LDPE (Syarief dan Halid, 1993).

Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan

Perubahan sifat fisiko-kimia pada bahan pangan dapat terjadi pada saat pengolahan, distribusi, maupun penyimpanan. Sistem pangan yaitu produksi, pengadaan dan konsumsi, harus ditangani dengan baik. Sistem produksi, pengadaan, dan konsumsi bahan pangan banyak mengalami perubahan, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan (Winarno, 1992). Beberapa perubahan sifat fisiko-kimia selama pengolahan bahan pangan dijelaskan sebagai berikut.

(31)

Gelatinisasi

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan dengan pengamatan menggunakan mikroskop karena bentuk, ukuran, dan letak hilum yang unik. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55oC – 65oC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali ke kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi (Winarno, 1992).

Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi

Sumber : Muchtadi et al., 1988

Granula pati mentah yang terdiri atas amilosa (helix) dan amilopektin (bercabang)

Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang.

Penambahan air panas menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar dari granula

Struktur matriks amilosa membentuk suatu gel. Granula hanya mengandung amilopektin saja.

(32)

Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat semula. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dan instant pudding dapat menyerap air dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno,1992). Gelatinisasi tepung tapioka terjadi pada tahap pengukusan akibat adanya penambahan air pada adonan dan proses pemanasan. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis.

Kerenyahan

Kerupuk merupakan salah satu produk makanan padat sehingga perlu dilakukan uji kerenyahan yaitu digigit dan didengarkan. Tekstur dalam bahan pangan bersama flavor lebih berperan dalam penerimaan atribut sensori dan mutu dalam bahan pangan. Kecenderungan panelis lebih mementingkan penampilan, flavor, tekstur dan bentuk dalam penerimaan atribut sensori pangan (Hutchings, 1999). Tekstur bahan pangan dipengaruhi oleh aktivitas air (aw) bahan tersebut. Menurut FSA (2005) tingkat aw bahan pangan berpengaruh terhadap perubahan karakteristik tekstural seperti kerapuhan dan kerenyahan (dikenal sebagai bunyi yang dihasilkan pengunyahan sereal sarapan, yang hilang pada aktivitas air di atas 0,65). Pemotongan dalam bentuk lembaran tipis dan penggunaan metode penggorengan deep frying dapat mempengaruhi tekstur bahan pangan terutama terhadap pembentukan porositas produk hasil penggorengan (Sulaeman et al., 2004).

Ketengikan

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Faktor yangmempercepat ketengikan adalah cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam feritin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1992). Uji ketengikan dilakukan dengan menggunakan uji

(33)

thiobarbiturat (TBA). Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan kimia atau penguraian lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa bahan makanan. Kerusakan lemak dan minyak menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau. Penyimpangan bau dapat disebabkan oleh adanya senyawa aldehid dan keton hasil penguraian radikal bebas membentuk zat volatil yang bersifat tengik (Winarno, 1992).

Reaksi Maillard

Proses penggorengan metode deep frying menggunakan minyak jagung akan menghasilkan 29 komponen volatil yang mengandung nitrogen akibat reaksi Maillard yang berpengaruh terhadap palatabilitas produk pangan (Chun dan Ho, 1997). Reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Warna coklat pada pemanggangan daging dan roti adalah warna yang dikehendaki. Penggunaan suhu penggorengan berkisar 177-201 oC dianjurkan untuk menghindari reaksi pencoklatan (Winarno,1999; Shahidi et al., 1997).

Menurut Ismunandar (2005), reaksi Maillard dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung gula pereduksi dan protein, dalam kondisi yang memungkinkan reaksi tersebut terjadi, yaitu tergantung pada suhu, pH, dan aktivitas air (aw) selama penyimpanan bahan pangan yang cukup lama. Maillard terjadi dengan cepat pada nilai aw antara (0.5-0.8) (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy et al., 2003; Purnomo, 1995). Reaksi Maillard dapat terjadi selama proses penyimpanan bahan pangan dan dapat mempengaruhi nilai gizi, warna dan tekstur. Aktivitas energi pada pembentukan senyawa Amadori menurun dengan meningkatnya nilai aw dan terhenti pada nilai aw kira-kira 0,50. Kecepatan reaksi sangat tergantung pada suhu dan nilai aw yang lebih besar dari 0,50. Pengaturan nilai aw merupakan salah satu teknik dalam mengendalikan reaksi Maillard (Purnomo,1995).

Perubahan fisiko-kimia selama penyimpanan produk pangan sangat mempengaruhi kualitas produk pangan terutama produk pangan berlemak dan berminyak. Molekul lemak yang terdapat pada produk pangan mengalami reaksi kimia selama proses separasi bahan segar dan selama penyimpanan. Bahan kimia

(34)

hasil reaksi dari lemak yang terjadi pada proses pengolahan dapat berpengaruh menguntungkan maupun merugikan yang menyebabkan perubahan flavor bahan pangan (Shahidi et al., 1997). Kurva hubungan aktivitas air dengan tingkat reaksi dalam pangan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pangan

Sumber : Labuza dan Saltmarch, 1981

Sifat Sensori Bahan

Cara penilaian mutu suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan alat atau instrumen dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukuran menjadi lebih objektif. Penilaian terhadap warna, rasa, aroma, dan kerenyahan memegang peranan penting dalam menentukan daya terima produk kerupuk goreng. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat. Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Jumlah panelis yang diperlukan untuk uji mutu hedonik adalah minimal 30 orang dan uji hedonik adalah minimal 80 orang (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998).

(35)

Warna. Faktor warna sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum

faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 1992). Baik atau tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata. Hal ini juga dipengaruhi indera penglihatan dari panelis dan adanya pencahayaan yang sesuai pada saat penyajian (Hutchings, 1999). Warna pada bahan pangan dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi karamelisasi, reaksi Maillard, reaksi senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1992).

Flavor dan Bau. Penyerapan minyak dalam struktur bahan yang memerlukan proses

penggorengan serta adanya bumbu-bumbu seperti bawang putih, garam dan gula yang ditambahkan ke dalam formulasi dapat mempengaruhi aroma dan flavor bahan pangan (Winarno, 1992). Flavor bahan pangan berpengaruh sangat penting dibandingkan warna produk setelah panelis merasakan bahan pangan tersebut. Aroma dan flavor berperan dalam penerimaan konsuman setelah bahan pangan dikonsumsi, apakah bahan pangan tersebut diterima atau tidak (Hutchings, 1999). Rasa suatu bahan pangan sesungguhnya terdiri atas tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Bau baru dapat dikenali apabila berbentuk uap, dan molekul-molekul bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori, dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Bau dapat dideteksi karena adanya depolarisasi elektris sel olfaktori apabila molekul senyawa bau mengenai sel, sehingga isyarat akan diteruskan ke otak. Penerimaan indera pembau akan berkurang oleh adanya senyawa tertentu misalnya formaldehida (Winarno, 1992). Proses penyimpanan dapat menyebabkan reaksi oksidasi bahan pangan yang berlemak. Oksidasi akan menghasilkan senyawa peroksida yang dapat menimbulkan ketengikan. Proses pengemasan akan mengurangi reaksi oksidasi, sehingga bahan pangan tetap awet dan layak untuk dikonsumsi (Winarno, 1994).

Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang

(36)

mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno, 1992).

(37)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak dan Laboratorium Organoleptik, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dari bulan Nopember 2007 sampai Maret 2008.

Materi

Bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka, garam, gula, bawang putih, baking powder, minyak goreng, air mineral dan tepung daging sapi. Bahan yang digunakan sebagai pembungkus kerupuk goreng adalah plastik polyprophylen (PP) ukuran ½ kg dan plastik PP ukuran 5 kg. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, nampan, baskom, alat penggorengan, sendok, pisau, alat penusuk kayu, kompor gas, gelas plastik, piring kertas, jam weker, termometer, timbangan analitik digital, jangka sorong digital, Rh meter, alat tulis, sealer, oven listrik dan slicer kerupuk. Bahan yang digunakan untuk analisis derajat gelatinisasi adalah larutan iodium, aquades, HCl 0,5 M, dan NaOH 10 M. Peralatan yang digunakan untuk analisis produk adalah Waring blender, tabung reaksi, sentrifuse dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan untuk analisis aktivitas air adalah larutan NaCl. Peralatan yang digunakan untuk uji aktivitas air adalah aw meter, kertas saring dan cawan Petri. Peralatan yang digunakan untuk analisis tingkat kekerasan adalah rheoner tipe RE 305.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan untuk analisis organoleptik pemilihan formulasi terbaik menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi pada taraf 0%, 10%, 20%, dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991):

(38)

Keterangan :

Yij = Hasil pengukuran

μ

= Rata-rata umum

τ

i = Pengaruh perlakuan formulasi ke-i (formulasi 0%, 10%, 20%, dan 30%)

ε

ij = Galat percobaan

Rancangan percobaan untuk analisis fisik berupa aktivitas air, tingkat kekerasan, dan derajat gelatinisasi menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyimpanan yang berbeda. Lama penyimpanan yang digunakan adalah 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari dengan tiga kali ulangan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991):

Yij

=

μ

+

τ

i

+

ε

ij

Keterangan :

Yij = Hasil pengukuran

μ

= Rata-rata umum

τ

i = Pengaruh perlakuan metode lama penyimpanan ke-i (penyimpanan hari ke-0,

14, 28, dan 42)

ε

ij = Galat percobaan

Data pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1991).

Hasil penilaian uji organoleptik untuk uji mutu hedonik diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Data uji hedonik dan mutu hedonik yang tidak memenuhi uji asumsi untuk analisis ragam (keaditifan model, kehomogenan ragam, kebebasan galat, dan kenormalan galat) diuji menggunakan metode non-parametrik Kruskall-Wallis (Steel dan Torrie, 1991). Jika diantara perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka dilakukan uji banding rataan ranking (Gibbons, 1975).

(39)

Keterangan :

Ri = Nilai rataan rangking ke-i Rj = Nilai rataan rangking ke-j K = Jumlah level dalam perlakuan N = Jumlah total data

Jika | Ri – Rj | lebih dari Z [ K(N+1) / 6 ]0,5 maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf Z, dengan taraf

α

= 0,05.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik melalui uji hedonik dengan formulasi penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dengan lima atribut sensori yaitu kekerasan, bau, rasa, warna dan tingkat ketengikan. Tahap kedua adalah analisis penerimaan konsumen terbaik lama penyimpanan yang berbeda. Analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisik dan organoleptik kerupuk formulasi terbaik dengan lama penyimpanan ke-0, 14, 28 dan 42 hari pada suhu ruang (27-28oC).

Penelitian Tahap Pertama

Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mencari formulasi terbaik kerupuk goreng dengan empat taraf penambahan tepung daging sapi yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% dari 100% tapioka. Hasil pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik adalah formulasi dengan sifat sensori berupa warna, rasa daging, bau daging, tingkat kekerasan, dan tingkat ketengikan yang disukai oleh panelis. Pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan pemberian skor hasil uji hedonik (kesukaan) terhadap empat formulasi kerupuk goreng.

Pembuatan kerupuk dilakukan dalam dua tahap utama pembuatan adonan. Tahap pertama pembuatan adonan kerupuk adalah pembuatan biang adonan yaitu seperempat bagian tepung tapioka beserta bumbu berupa bawang putih, gula, garam dan baking powder yang telah dihomogenkan menggunakan air dimasak menggunakan api kecil. Biang adonan berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang kompak. Total penambahan air sebanyak 72% dari total bahan yang digunakan.

(40)

Tahap kedua pembuatan kerupuk adalah penambahan tepung daging dan sisa tepung tapioka (3/4 bagian) pada adonan biang sudah jadi kemudian dihomogenkan. Adonan yang telah jadi dimasukkan ke dalam cetakan ukuran 7x18x7 cm kemudian dilakukan pengukusan selama 2 jam. Pengukusan ini dilakukan untuk menggela-tinisasikan tepung tapioka dan memudahkan pemotongan adonan kerupuk karena hasil dari proses pengukusan dapat membentuk adonan yang kompak dan solid. Adonan hasil pengukusan didinginkan di suhu ruang. Setelah adonan dingin, adonan disimpan pada suhu 4oC selama 18 jam. Tahap selanjutnya adalah pengirisan adonan hasil proses pengukusan menggunakan slicer kerupuk dengan ketebalan maksimal 3 mm dan dikeringkan menggunakan oven listrik pada suhu 50ºC selama 18 jam membentuk kerupuk mentah. Penggorengan kerupuk mentah dilakukan dengan metode penggorengan deep frying pada suhu 180 - 200oC. Kerupuk matang ditandai dengan pengapungan kerupuk pada permukaan atas minyak goreng.

Biang adonan kerupuk yang sudah jadi dianalisis sensori secara deskriptif terhadap tingkat warna dan tekstur biang adonan. Analisis biang adonan, kerupuk mentah, dan kerupuk goreng dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng

Bahan Analisis Peubah yang Diukur Metode

Biang Adonan Warna

Tekstur

Deskriptif Deskriptif

Kerupuk Mentah Tingkat Rendeman

Warna Tekstur

Pengukuran Manual Deskriptif

Deskriptif

Kerupuk Goreng Tingkat Rendemen

Densitas Kamba Organoleptik

Pengukuran Manual Pengukuran Manual Uji Hedonik

Penelitian Tahap Kedua

Hasil yang didapatkan pada penelitian tahap kedua selanjutnya dianalisis fisik dan organoleptik dengan lama penyimpanan yang berbeda yaitu 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari. Hari ke-2 setelah pengeringan menggunakan oven listrik dilakukan analisis fisik berupa rendemen dan derajat gelatinisasi dan proses penggorengan

(41)

kerupuk mentah. Analisis yang dilakukan terhadap kerupuk mentah, dan kerupuk goreng formulasi terbaik secara hedonik dengan berbagai persentase penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 7. Formulasi bahan pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7. Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan

Bahan Analisis Peubah yang Diukur Metode

Kerupuk Mentah Derajat Gelatinisasi* Analisis Derajat Gelatinisasi Kerupuk Goreng Tingkat Rendemen **

Densitas Kamba ** Tingkat Kekerasan *** Aktivitas Air *** Organoleptik *** Pengukuran Manual Pengukuran Manual

Pengukuran menggunakan rheoner Pengukuran menggunakan aw meter Uji Hedonik dan Mutu Hedonik

Keterangan : * = analisis yang dilakukan pada H-2 setelah keluar dari oven listrik ** = analisis yang dilakukan pada H-0

*** = analisis yang dilakukan pada H-0, H-14, H-28, dan H-42

Tabel 8. Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka

Bahan Formulasi 0% 10% 20% 30% g % g % g % g % Tepung daging 0 0 10 8,62 20 15,87 30 22,06 Tepung tapioka 100 94,34 100 86,20 100 79,37 100 73,53 Bawang putih 1 0,94 1 0,86 1 0,79 1 0,74 Gula 1,5 1,42 1,5 1,29 1,5 1,19 1,5 1,10 Garam 3 2,83 3 2,59 3 2,38 3 2,21 Baking powder 0,5 0,47 0,5 0,44 0,5 0,40 0,5 0,36 Total 106 100 116 100 126 100 136 100

Keterangan: Total penambahan air (80-90oC) pada setiap formulasi sebesar 72% dari total bahan

sampai adonan menjadi kalis dan tidak lengket.

Pengukuran tingkat rendemen hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena pengukuran rendemen hanya membutuhkan data (berat) awal dan akhir produk dari proses pembuatan kerupuk. Pengukuran densitas kamba hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena hanya untuk mengetahui daya kembang produk kerupuk

(42)

setelah dilakukan proses penggorengan. Kerupuk goreng kemudian dikemas menggunakan plastik polipropilen (PP), dirapatkan dan disimpan pada suhu ruang (26-27oC) dengan lama penyimpanan 0, 14, 28, dan 42 hari. Diagram alir proses pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi

Sumber: Wiriano, 1984

Kerupuk goreng Dihomogenkan

Air 40%, Gula 2%, Garam 3%, Bawang Putih 1%, 0,5% Soda Kue, 25% Tepung Tapioka

Dipanaskan

Pembuatan adonan dengan penambahan sisa tapioka(75%) dan air panas sampai terbentuk

adonan yang kalis

Pencetakan

Pengukusan 120 menit

Pendinginan dalam Referigerator (4oC) selama 18 jam

Pengirisan dengan ketebalan 3 mm

Pengeringan menggunakan oven listrik 50 oC, 18 jam

Penggorengan deep frying (180-200 oC)

Didiamkan 48 jam Tepung daging sapi

0%,10%, 20%, dan 30%

Gambar

Tabel  1.  Kandungan  Nutrisi  Tepung  Daging  Sapi  per  100  g  Tepung  Daging  Sapi  Komposisi  Kadar Nutrisi I  II Kadar Air (%)  - 11,24 – 15,44 Protein (%)  75,42 - 78,31 80,90 – 84,16 Lemak (%)  6,07 – 7,24 10,81 – 12,41 Fe (ppm)  64,41 – 85,30 81,3
Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi
Gambar  4.  Kurva  Hubungan  Aktivitas  Air  dengan  Tingkat  Reaksi  dalam        Pangan
Gambar  5.  Proses  Pembuatan  Kerupuk  Daging  Sapi  berdasarkan  Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Subjek ERF dengan kemampuan matematika tinggi memiliki karakteristik yaitu: dapat memberikan contoh tentang sampel, dapat mendeskripsikan istilah tentang sampel, memahami

Teori kepemimpinan, adalah: tentang perilaku pemimpin, konsep kepemimpinan, (latar belakang dan sebab munculnya kepemimpinan, syarat pemimpin, sifat-sifat

Includes project circuits with parts list and component layouts for a Buffer Line Amplifier with 25db gain, Triode Balanced-Unbalanced Input, Tone Control Stage,

Diharapkan minyak pliek u dan pliek u yang dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa secara tradisional dari daerah Aceh (makanan khas tradisional Aceh) dapat

Dalam periode tiga tahun terakhir perusahaan mengalami penurunan hasil penjualan, hal tersebut diduga kedisiplinan karyawan yang kurang dalam melakukan produksi yang menyebabkan

Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa penerapan model pembelajaran sentra balok di PAUD Islam Makarima Kartasura, Sukoharjo tahun ajaran 2013 / 2014 pada pijakan

Perlakuan terhadap urang bainduak pada masyarakat Minangkabau di Nagari Ampang Kuranji tidak semuanya sama, karena harus dilihat terlebih dahulu siapakah yang diangkat sebagai