• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI-JUNI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI KESESUAIAN DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI-JUNI"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG

MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI-JUNI 2018

SKRIPSI

OLEH :

YUSRI MEI PRATIWI LUBIS NIM 151501208

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG

MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI-JUNI 2018

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH :

YUSRI MEI PRATIWI LUBIS NIM 151501208

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

EVALUASI KESESUAIAN DOSIS OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS

DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI-JUNI 2018 ABSTRAK

Latar Belakang: Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh peningkatan tekanan arteri mengakibatkan perubahan patologis pada sistem sirkulasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi , seperti penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui persentase penggunaan golongan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodalisis dan mengetahui kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik.

Metode: Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan desain pendekatan retrospektif.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan usia, kelompok usia terbanyak berada pada usia 46-55 tahun yaitu 33,3%. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan pada pasien laki-laki sebanyak 34 orang (81%). Golongan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan kalsium antagonis yaitu amlodipin sebesar 35%. Tingkat kesesuaian dosis penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebesar 92,9%.

Kesimpulan: Hasil penelitian dapat disimpulkan tingkat kesesuaian dosis penggunaan antihipertensi pada pasien gangguan ginjal kronik yang menjalani hemodialisis masih harus ditingkatkan, karena terdapat satu data rekam medik pasien tidak memeuhi syarat sesuai dengan yang direkomendasi Renal Pharmacotherapy Tahun 2013.

Kata Kunci: Kesesuaian Dosis, Antihipertensi, Gagal Ginjal Kronik, Hemodialisis

(8)

EVALUATION CONFORMITY DOSE OF ANTIHYPERTENSIVE DRUG ON CHRONIC KIDNEY DISEASE PATIENTS UNDERGOING HEMODIALYSIS IN H. ADAM MALIK HOSPITALPERIOD JANUARY-

JUNE 2018

ABSTRACT

Background:Hypertension is a cardiovascular disease caused by increased arterial pressure resulting in pathological changes in the circulatory system and left ventricular hypertrophy. Kidney is an important organ in controlling blood pressure because of that various diseases and abnormalities in the kidneys can cause high blood pressure, such as narrowing of the arteries leading to one of the kidneys (renal artery stenosis) can cause hypertension.

Objective: The purpose of this study was to determine the percentage of antihypertensive drug use on chronic kidney disease patients undergoing hemodalysis and determine the appropriateness of the antihypertensive drug dose on chronic kidney disease patients in H. Adam Malik hospital.

Method: The research method in this study is a descriptive method using a retrospective approach design.

Results: The results showed that based on age, the largest age group was at the age of 46-55 years, 33.3%. Based on gender found in 34 male patients (81%). The most widely used antihypertensive drug group is calcium antagonist namely amlodipine is 35%. The level of conformity dose of antihypertensive drugs on patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis is 92.9%.

Conclusion: The results of the study can be concluded the level of conformity dose of antihypertensive on patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis must still be improved, because there is a medical record data of patients not qualify the requirements in accordance with the recommendedRenal Pharmacotherapy Dosage Adjustment in 2013.

Keywords:Conformity Dose, Antihypertensive, Chronic Kidney Disease, Hemodialysis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMANPENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 PerumusanMasalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 ManfaatPenelitian ... 5

1.6 Kerangka Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Hipertensi ... 7

2.1 Epidemiologi ... 7

2.2 Etiologi ... 8

2.3 Patofisiologi ... 8

2.4 Klasifikasi Hipertensi ... 9

2.2.1Hemodialisis ... 9

2.2.2 Indikasihemodialisis ... 10

2.2.3 Tujuanhemodialisis ... 10

2.3 GagalGinjal Kronik (GGK)... 10

2.3.1 Epidemiologi ... 11

2.3.2 Etiologi ... 11

2.3.3 Klasifikasi gagal ginjal kronik ... 11

2.4 Farmakokinetik Pada Pasien GGK ... 13

2.4.1 Absorbsi obat ... 13

2.4.2 Volume distribusi ... 13

2.4.3 Metabolisme ... 14

2.4.4 Ekskresiginjal ... 14

2.5 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal ... 14

2.5.1 Pemeriksaan kreatinin serum ... 15

2.5.2 Pemeriksaan perhitungan LFG ... 15

2.6Penyesuaian Dosis Pada Pasien GGK ... 16

2.6.1 Dosis loading ... 17

2.6.2Dosis pemeliharaan ... 17

2.7 Penyakit Hipertensi Pada Pasien GGK ... 17

2.8 Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien GGK ... 18

2.9 Obat Antihipertensi Yang Perlu Penyesuaian Dosis Pada Pasien GGK ... 20

(10)

BAB III METODE PENELITIAN... 22

3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian... 22

3.3 Populasi Dan Sampel ... 22

3.3.1Populasi ... 22

3.3.2Sampel ... 23

3.4 Definisi Operasional... 23

3.5 Cara Kerja ... 24

3.6 Analisis Data ... 25

3.7 Bagan Alur Penelitian ... .26

3.8 TahapanPenelitian ... .27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Karakteristik Berdasarkan Usia... 29

4.2 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

4.3Penggunaan Golongan Obat Antihipertensi ... 30

4.4KarakteristikObat Antihipertensi Yang Tidak Perlu Penyesuaian Dosis ... 33

4.5KarakteristikObatAntihipertensi Yang Memerlukan Penyesuaian Dosis ... 34

4.6Karakteristik Kesesuaian Dosis Antihipertensi Pada Pasien GGK ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1Kesimpulan ... 38

5.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

2.1Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VIII, 2013 ... 9

2.2 Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik ... ..12

4.1 Distribusi frekuensi usia pasien yang menjalani hemodialisis ... 28

4.2 Distribusi frekuensi jenis kelamin pasien gagalginjalkronik ... 29

4.3 Distibusi penggunaan golongan obat antihipertensi ... 30

4.4Distibusi obat antihipertensi yang tidak perlu penyesuaian dosis ... 33

4.5Distibusi obat antihipertensi yang memerlukan penyesuaian dosis ... 34

4.6Distribusi karakteristik kesesuaian dosis antihipertensi ... 35

(12)

DAFTAR GAMBAR

1.1. Skema kerangka pikir penelitian evaluasi kesesuaian dosisobat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis di RSUP H. Adam Malik periode januari-juni2018. ... 6 3.1 Bagan alur penelitian evaluasi kesesuaian dosis obat antihipertensi

Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di

RSUP H. Adam Malik Medan periode januari-juni 2018 ... 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1.Master data rekammedik ... 42

2. Perhitungan penyesuaian dosis antihipertensi pada pasien GGK di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018 ... 46

3. Daftar obat antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis ... 60

4. Daftar obat antihipertensi yang tidak perlupenyesuaian dosis ... 61

5.Surat persetujuan judul penelitian ... 62

6.Surat izin penelitian... 63

7. Surat persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian ... 64

8.Surat izin penelitian di RSUP H. Adam Malik ... 65

9.Suratselesai penelitian di RSUP H. Adam Malik... 66

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh peningkatan tekanan arteri mengakibatkan perubahan patologis pada sistem sirkulasi dan hipertrofi ventrikel kiri.Hipertensi merupakan penyebab utama stroke, yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner disertai infark miokardial dan merupakan kontributor utama gagal jantung dan infusiensi ginjal (Limbird, 2012).Prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 57,6% hal ini menunjukkan hipertensi termasuk dalam 10 pola penyakit terbanyak di seluruh rumah sakit di Indonesia (Kemenkes RI,2018).

Hipertensi lebih sering terjadi pada orang berusia 65 tahun atau lebih biasanya berupa hipertensi sistolik sesekali. Di negara maju risiko untuk terkena kardiovaskular mempunyai rentang mulai kurang dari 1% pada orang dewasa 25- 34 tahun sampai lebih besar dari 30% pada orang berusia 65-74 tahun. Profil kesehatan Sumatera Utara tahun 2016 menunjukkan jumlah penyakit tidak menular terjadi pada kasus hipertensi sebanyak 16,63% (Diskes, 2016).

Ginjal merupakan organ yang penting bagi tubuh karena berfungsi untuk membuang sisa metabolisme dan menyesuaikan ekskresi air dan pelarut.Ginjal mengatur volume cairan tubuh, asiditas dan elektrolit sehingga mempertahankan komposisi cairan yang normal. Sebagai organ utama filtrasi ginjal akan mengeluarkan segala bentuk toksin (Pranata, 2014).

(15)

Hasil penelitian Naomi (2018), menunjukkan bahwa pada tahun 2016 mengenai studi penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi periode Januari- Desember 2016. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Ginjal bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi, yang selanjutnya memicu pelepasan hormon aldoesteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi, seperti penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi (Triyanto, 2014).

Menurut penelitian yang dilakukan Utami (2015), bahwa identifikasi drug related problems (DRPs) pada pasien penyakit ginjal kronik diruang interna pria RSUP H. Adam Malik periode September-November 2015 menunjukkan bahwa terdapat 11 pasien yang mengalami DRPs dan diperoleh terdapat DRPs pada dosis obat sebanyak 6 kasus (50,0%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Siahaan (2015), evaluasi kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gangguan ginjal kronik di RSUD Dr. Pringadi periode Januari-Juni 2015 bahwa tingkat kesesuaian dosis penggunaan obat antihipertensi pada pasien gangguan ginjal kronik sebesar 92,31%.

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 0,3% dan terus meningkat hingga 0,6% pada kelompok umur ≥75 tahun

(16)

(Balitbangkes RI, 2013). Individu dengan gangguan fungsi ginjal diyakini lebih rentan terhadap masalah terkait obat dikarenakan adanya kecenderungan akumulasi obat dalam tubuh, mengingat banyaknya jenis obat yang diekskresikan melalui ginjal.Penelitian terdahulu di Perancis menunjukkan bahwa 93% pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami DRPs (Baleiche et al, 2012).

Masalah terkait obat yang mungkin terjadi akibat gangguan ginjal perlu dihindari dengan cara pemilihan obat yang tepat dan penyesuaian dosis untuk obat yang memerlukan berdasarkan kondisi ginjal pasien. Penyesuaian dosis perlu dilakukan agar efektivitas terapi, tercapai, meminimalkan kejadian toksisitas dan mecegah penurunan fungsi ginjal.Intervensi farmasis dalam penyesuaian dosis terbukti dapat meminimalisasi angka DRPs (Viva-Sosa et al, 2013).

Keberadaan apoteker atau farmasis sebagai bagian dari agen perubahan (agent of change) yang dapat mengoptimalkan perannya yakni memberikan informasi dan edukasi yang memadai bagi pasien dalam hal penggunaan obat secara benar dan pemantauan terapi obat untuk mencapai tujuan pengobatan.

Apoteker juga diharapkan mampu melakukan praktek kefarmasian yang profesional dan bertanggungjawab dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) dengan menjamin ketersediaan obat yang bermutu dan memberikan pelayanan kefarmasian sesuai standar ditempat praktek (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin mengetahui gambaran dari Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi Pada Pasien GagalGinjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018.

(17)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apa saja obat antihipertensi yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari-Juni 2018?

b. bagaimana kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari-Juni 2018?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. golongan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan Januari - Juni 2018 yaitu tepat.

b. kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018

yaitu tinggi.

(18)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hal yang telah dikemukakan, maka penelitian untuk mengetahui:

a. persentase penggunaan obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodalisis di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018.

b. kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjalkronik di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat pada penelitian ini yaitu:

a. mengetahui adanya kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018.

b. meningkatkan mutu dan evaluasi pada pelayanan kesehatan dan kefarmasian di RSUP H. Adam Malik Medan.

(19)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini menggambarkan tentang evaluasi kesesuaian dosis obat antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018. Pada hal ini faktor resiko berupa karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, stadium yang diderita,jenis obat antihipertensi) merupakan variabel bebas dan persentase penggunaan golongan obat antihipertensi sebagai variabel terikat.

Kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1 dibawah ini :

Gambar 1.1Skema Kerangka Pikir Penelitian Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

yang Menjalani Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Periode Januari–Juni2018.

Karakteristik Pasien : -Umur

-Jenis Kelamin

-Jenis Obat Antihipertensi

Parameter Pengamatan Variabel Pengamatan

Pola peresepan obat:

a. Persentase Golongan Obat Antihipertensi b. Kesesuaian Dosis

Antihipertensi - Sesuai - Tidak Sesuai

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal serta mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Hipertensi pada dasarnya memiliki sifat yang cenderung tidak stabil dan sulit untuk dikontrol, baik dengan pengobatan maupun dengan tindakan medis lainnya (Triyanto, 2014).

2.1.1 Epidemiologi

Penyakit hipertensi di Indonesia dengan tingkat kesadaran dan kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi dan yang tidak patuh minum obat kemungkinan lebih besar.

Kecenderungan perubahan tersebut dapat disebabkan meningkatnya ilmu kesehatan dan pengobatan, serta perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Dalam lingkup penyakit kardiovaskuler, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan penyakit terbanyak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2012 sedikitnya sejumlah 839 juta kasus hipertensi atau sekitar 29% dari total penduduk dunia, dimana penderitanya lebih banyak pada wanita (30%) dibanding pria (29%). Sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terjadi terutama di negara-negara berkembang (Triyanto, 2014).

Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 39,7% dari populasi usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu 60% penderita hipertensi mengalami komplikasi

(21)

stroke.Sedangkan sisanya mengalami penyakit jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Hipertensi sebagai penyebab kematian ketiga setelah stroke dan tuberkulosis, jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia (Riskesdas,2018).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur, di Amerika menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III) paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31%

pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mmHg (Triyanto, 2014).

2.1.2 Etiologi

Hipertensi pada penderitanya lebih dari 95% tidak dapat ditemukan penyebab yang khusus, berdasarkan etiologi hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder, yaitu hipertensi disebabkan penyakit lain. Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90% penderita hipertensi, penyebabnya dari faktor keturunan dan kebiasaan hidup. sedangkan 10% disebabkan oleh hipertensi sekunder, faktor penyebab hipertensi sekunder diantaranya berkaitan dengan penyakit ginjal ,endokrin dan obat-obatan (Padila, 2017).

2.1.3 Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit yang disebabkan oleh penyebab yang spesifik. Hipertensi primer, suatu kondisi dimana penyebabnya tidak ditemukan yang bergantung pada interaksi antara kecenderungan genetik dan faktor lingkungan, hipertensi diikuti oleh ginjal, sistem renin-angiotensin.Pada hipertensi

(22)

sekunder dapat terjadi karena beberapa obat dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya golongan kortikosteroid, simpatomimetika,siklosporin, obat antiinflamasi nonsteroid, eritropoietin (Padila, 2017).

2.1.4 Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat dikalsifikasikan berdasarkan tekanan darah sistolik ,diastolik dan penyebabnya. Berdasarkan tekanan darah seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan sistolik mencapai 140 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi bergantung pada komplikasi penyekit penderita (James, 2014).Untuk pembagian yang lebih rinci The Joint National Committee on prevention detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC), telah membuat klasifikasi tekanan darah Berdasarkan JNC VIII (2014) klasifikasi tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC VIII, 2014 Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi

Stage 1 140-159 90-99

Stage 2 ≥160 ≥100

Sumber: (JNC VIII, 2014) 2.2.1 Hemodialisis

Hemodialisis adalah pengaliran darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi kedalam tubuh pasien.Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu

(23)

mekanisme untuk membawa darah pasien dari dializen (tempat terjadi pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh) serta dialiser (Bayhakki, 2012)

2.2.2 Indikasi Hemodialisis

Pada gagal ginjal kronik dilakukan dialisis untuk memulihkan fungsi ginjal.

Hemodialisis diperlukan untuk mengatasi atau mencegah hiperkalemia, edema paru, hipervolemik, atau untuk mengatasi komplikasi gagal ginjal kronik seperti neuropati, kejang, dan koma, dam hemodialisis harus dilakukan secara lebih intensif (Larry, 2013).

2.2.3 Tujuan Hemodialisis

Prosedur hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat terlarut dengan berat molekul rendah dan tinggi. Prosedur ini terdiri dari pemompaan darah berheparin melalui dialyzer dengan kecepatan aliran 300 – 500 mL/menit, hemodialisis digunakan pada pasien dengan komplikasi gagal ginjal kronik maupun gagal ginjal akut (Larry, 2013).

2.3 Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah proses pengurangan signifikan jumlah nefron yang terus menerus dan ireversibel biasanya sesuai dengan stadium 3-5.

Pada stadium ini terjadi akumulasi toksin, cairan, dan elektrolit yang secara normal diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan sindrom uremik.

Dikategorikan GGK bila nilai LFG (Laju Filtrasi Glomeruler) adalah <60 mL/min/1.73m2. Umur lebih dari 60 tahun, proteinuria, dan tekanan darah sistolik berperan sebagai prediktor nilai LFG (Larry, 2013).

(24)

2.3.1 Epidemiologi

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Indonesian Renal Registry (IRR). Pada tahun 2015 IRR melapor dari 249 renal unit tercatat sekitar 30,554pasien aktif menjalani dialisis sebagian besar adalah pasien dengan gagal ginjal kronik.Pada tahun 2016hingga oktober terdapat 169 dari total 382 fasilitas pelayanan dialisis diIndonesia yang mengirimkan data sebanyak 44,2%, proporsi diagnosis penyakit utama pasien hemodialisis di Indonesia pada tahun 2015 adalah gagalginjal kronik 789,4% dan akan meningkat setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2017)

2.3.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).Penyebab yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi.Selain itu ada beberapa penyebab lainnya dari ginjal kronik, yaitu glomerulonefritis, penyakit vaskular, obstruksi saluran kemih dan obat-obatan nefrotoksik seperti aminoglikosida (Robinson, 2013).

2.3.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Klasifikasi derajat penurunan LFG perlu digunakan untuk panduan terapi, terbagi atas 5 tingkatan yang didasarkan dengan ada atau tidaknya kerusakan pada ginjal. Derajat gagal ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Iniciative (NKF- K/DOQI) (2015) dapat dilihat pada Tabel 2.2:

(25)

Tabel 2.2 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Keterangan

1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau meningkat

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG turun

ringan

3 30-59 Kerusakan ginjal dengan LFG turun

sedang

4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG turun

berat

5 <15 atau dialisis Gagal ginjal

Sumber: NKF-KDOQI (2015)

Pada tahap stadium 1 dengan nilai LFG ≥90 dan stadium 2 LFG (60-89) biasanya tidak memperlihatkan gejala apapun yang berkaitan dengan penurunan LFG. Namun, mungkin terdapat gelaja yang ditimbulkan oleh penyakit ginjal seperti, edema dengan sindrom nefrotik atau tanda-tanda hipertensi akibat penyakit ginjal. Jika penurunan berlanjut hingga ke stadium 3 dengan nilai LFG (30-59) dan stadium 4 nilai LFG (15-29), maka dapat menyebabkan anemia dan mudah lelah, penurunan nafsu makan disertai malnutrisi yang progresif, kelainan hormon pengatur mineral, kalsium, dan fosfor serta kelainan homeostasis natrium, kalium, air dan asam-basa. Pada pasien stadium 5 dengan nilai LFG <15, maka terjadi akumulasi toksin sehingga pasien biasanya mengalami gangguan berat dalam aktivitas sehari-hari, status gizi, serta homeostasis air dan elektrolit yang kemudian berakhir dengan sindrom uremik (Larry, 2013).

Pada pasien GGK stadium 5 dapat terjadi karena kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah nefron yang berfungsi semakin sedikit oleh karena itu GFR juga terus menurun tubuh menjadi kelebihan air, garam dan sisa metabolisme lain. Ketika GFR turun dibawah 10-20 ml/menit efek toksin uremik akan timbul. Jadi perlu dilakukan terapi dengan dialisis perlu dilakukan untuk mengurangi masalah neurologis, apabila tidak diatasi dapat terjadi gangguan motorik (Bayhakki, 2012).

(26)

2.4 Farmakokinetik pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Ginjal merupakan organ utama pengeleminasi berbagai senyawa dari dalam tubuh, termasuk obat dan metabolitnya.Eliminasi obat dan metabolitnya berkurang pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan akan mengakibatkan akumulasi didalam tubuh selanjutnya dapat mengakibatkan berbagai masalah terhadap pasien termasuk efek toksik. Oleh karena itu dosis obat untuk pasien dengan gangguan ginjal perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal, dapat ditentukan dengan menganalisis berbagai indikator yaitu inulin,Blood Urea Nitrogen (BUN)dan kreatinin. Blood Urea Nitrogen (BUN) mudah ditentukan namun, mempunyai beberapa kelemahan yaitu terjadi reabsorpsi secara signifikan sehingga kadarnya tergantung pada urine flow rate. Kreatinin mudah ditentukan dan memberikan hasil yang lebih akurat sehingga nilai dapat dijadikan sebagai indikator LFG (Nasution, 2017).

2.4.1 Absorpsi Obat

Absorpsi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dipengaruhi oleh perubahan pH disaluran pencernaan yang dialami oleh pasien sebagai akibat peninggian ureum didalam saliva dan pemberian obat. Untuk obat yang bersifat basa, peninggian pH akan menurunkan konsentrasi obat tak terionisasi didalam saluran pencernaan yang akan menurunkan absorpsi, bioavaibilitas dan efek terapi (Nasution, 2017).

2.4.2 Volume Distribusi

Volume distribusi obat pada pasien dengan gangguan ginjal dapat meningkat, menurun ataupun tidak berubah. Peninggian volume distribusi dapat terjadi sebagai akibat penurunan ikatan antara obat dengan protein, dan akumulasi

(27)

cairan didalam tubuh. Selain itu hipoalbuminemia selalu dialami oleh pasien dengan gangguan ginjal karena terganggu produksi albumin oleh ginjal, kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan ikatan antara obat yang bersifat asam dengan protein yang dapat meningkatkan kadar obat bebas didalam darah, meningkatkan distribusi obat kedalam organ, ikatan jaringan, efek, pada akhirnya meningkatkan toksisitas (Nasution, 2017).

2.4.3 Metabolisme

Ginjal memiliki beberapa aktivitas metabolik dan beberapa enzim ginjal dianggap memiliki aktivitas yang sama dengan hati. Aktivitas metabolik ini berkurang pada gagal ginjal kronik dan clearence beberapa obat menurun sebagai akibat penurunan aliran darah ke ginjal pasien dengan gangguan dengan kondisi kronis (Nasution, 2017).

2.4.4 Ekskresi

Umumnya obat – obatan dieksresikan melalui ginjal, pada pasien dengan gangguan ginjal kemampuan ginjal untuk mengeleminasi senyawa dari dalam tubuh menurun. Pada obat–obat yang diekskresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal dalam hal ini, untuk mencegah efek toksik maka dosis obat harus disesuaikan berdasarkan kepada fungsi ginjal (Nasution, 2017).

2.5 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal

Kreatinin adalah metabolit endogen yang berguna untuk menilai fungsi glomerulus. Semuanya diekskresikan melalui ginjal dengan proses filtrasi glomerus. Beberapa jenis obat-obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan

(28)

penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan LFG.Konsentrasi plasma kreatinin dan konsentrasi kreatini urin juga harus diperiksa.Nilai normal bersihan kreatinin berkirar 120 ml/menit dan dapat bervariasi sesuai dengan permukaan tubuh (Hakim, 2013).

2.5.1 Pemeriksaan Kreatinin Serum

Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum berguna untuk menilai LFG, kreatinin menggambarkan kesetimbangan antara kreatinin (hasil metabolisme otot) dengan pengeluarannya oleh ginjal.Kadar kreatinin serum akan berbeda – beda tergantung pada pasien (berat, usia, dan jenis kelamin), penyakit ginjal yang mendasari dan adanya penyakit lain. Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi ginjal. Semakin buruk fungsi ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang dibutuhkan oleh karena itu pemeriksaan fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan yang biasa digunakan sebagai acuan adalah pemeriksaan LFG atau klirens kreatinin (Hakim, 2013).

2.5.2 Pemeriksaan Perhitungan LFG

Penentuan LFG penting untuk penanganan pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik LFG digunakan untuk mengetahui obat-obat yang diekskresikan melalui ginjal diberikam pada dosis yang sesuai dan memantau perubahan LFG.

Adapun rumus yang digunakan secara luas untuk memperkirakan LFG yaitu:a.Persamaan Cockcroft- Gault:

Untuk pria:

LFG = (140−Umur)x (BB/kg) 72 x kreatinin serum (mg/dL)

Untuk Perempuan:

LFG = nilai pada pria x 0,85

(29)

Dengan demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin. Nilai normal pada bersihan kreatinin adalah:

Laki-laki = 97-137 mL/menit/1,73m2 atau 0,93-1,32 mL/detik/m2 Perempuan = 88-128 mL/menit/1,73m2 atau 0,85-1,23 mL/detik/m2 b.Persamaan MDRD (modification of diet in renal disease):

Untuk pria : GFR (mL/menit/1,73m2(= 175 x (Scr)-1,154 x (usia) -0,203 Untuk Perempuan : GFR pada pria dikalikan 0,742

[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun. Jika pasien kelebihan berat badan kalikan dengan LFG yang diperoleh dengan BSA/1,73 sehingga didapat LFG dalam mL/menit ] (Larry, 2013).

Beberapa studi menyarankan penggunaan persamaan Cockcroft- Gault atau pengukuran GFR secara langsung daripada persamaan MDRD (modification of diet in renal disease, khususnya dalam hal pendosisan obat-obat yang berkisar terapeutiknya sempit, atau pada pasien yang peka terhadap perubahan dosis.Perkiraan fungsi ginjal berkaitan dengan pendosisan, khususnya obat-obat yang diekskresi sebagian besar melalui ginjal (Hakim, 2013).

2.6 Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK

Pada gangguan ginjal kemampuan ginjal untuk mengeleminasi senyawa- senyawa dari dalam tubuh menurun, perhatian harus difokuskan terhadap obat dan metabolitnya karena umumnya obat-obatan dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal yang dapat mengakumulasi didalamtubuh. Selanjutnya meningkatkan respons dan menimbulkan efek toksik sebagai akibat penurunan

(30)

fungsi ginjal. Dalam hal ini untuk mencegah efek toksik, maka dosis obat harus sesuai berdasarkan fungsi ginjal (Nasution, 2017).

2.6.1 Dosis Loading

Dosis loading merupakan dosis awal untuk memulai suatu terapi sehingga dapat mencapai konsentrasi terapeutik obat dalam tubuh yang menghasilkan atau memberikan efek klinik. Dosis awal tergantung pada waktu paruh eleminasi obat, interval dosis dan konsentrasi obat dalam darah, plasma atau serum yang ingin dicapai, pada gangguan ginjal waktu paruh beberapa jenis obat akan memanjang sehingga pemberian dosis loading akan dibutuhkan (Joenoes, 2006).

2.6.2 Dosis Pemeliharaan

Dosis pemeliharan adalah dosis obat yang diperlukan untuk mempertahankan efek klinis atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan dosis regimen. Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus tetap dipertahankan untuk menghindari toksisitas. Obat dengan waktu paruh panjang atau juga dapat dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya disesuaikan (Hakim,2013).

2.7 Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK

Tujuan utama terapi untuk hipertensi untuk memperlambat perkembangan penyakit ginjal dan mencegah penyulit tekanan darah misalnya penyakit kardiovaskular dan stroke.Pada semua pasien dengan gagal ginjal kronik tekanan darah harus dikontrol (Larry, 2013).

Pengobatan yang dapat diberikan pada penyakit ginjal kronik yang mengalami hipertensi diantaranya dengan Diuretik, ß-blocker, Angiotensin

(31)

Converting Enzyme-Inhibitor (ACE-I),Channel Blocker (CCB) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Pasien dengan umur lebih muda mungkin peka terhadap penghambat beta blocker dan inhibitor ACE sementara pasien berusia lebih dari 50 tahun lebih responsif terhadap diuretik dan antagonis kalsium (Larry, 2013).

2.8 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK

Penggolongan obat antihipertensi yang sering digunakan sebagai first-line theraphy, yaitu ACE-I, ß-blocker, CCB dan diuretik. Terdapat variasi dalam respons seseorang terhadap berbagai kelas obat antihipertensi dan besarnya respons terhadap setiap obat, pemilihan obat antihipertensi dan kombinasi obat perlu disesuaikan dengan mempertimbangkan usia, keparahan hipertensi, faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya, pertimbangan efek samping dan frekuensi pemberian (Larry, 2013).

a. Golongan Diuretik

Diuretik bekerja menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan asupan natrium dan ekskresi air, hal ini menyebabkan penurunan volume ekstraseluler mengakibatkan penurunan curah jantung dan aliran darah ginjal. Diuretika meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun, obat ini tidak efektif pada pasien dengan fungsi ginjal yang tidak adekuat (creatinine clearence <50mL/menit) oleh sebab itu, diuretik berguna dalam terapi kombinasi dengan antihipertensi lain seperti beta blocker, ACE-I, ARB (Finkel et al, 2016).

(32)

b. Golongan ACE-I

Penghambat ACE menurunkan kadar angiotensin II dan meningkatkan kadar bradikinin, vasodilatasi terjadi akibat efek kombinasi vasokonstriksi yang lebih rendah yang disebabkan oleh pengurangan kadar angiotensin II dan efek vasodilator dari peningkatan bradikinin, dengan menurunkan kadar angiotensin II dalam sirkulasi penghambat ACE juga menurunkan sekresi aldoesteron mengakibatkan penurunan natrium dan retensi air penghambat ACE-I (Finkel et al, 2016). Pada ACEI terutama kaptopril diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah sebesar 24-38% selama 24 jam dan memiliki bioavaibilitas oral sebesar 65% (Anderson, 2002).

c. Golongan ß-bloker

Golongan ß-bloker terkait dengan kemampuannya untuk mencegah perubahan yang terjadi karena pengaktifan kronis karena pengaktifan kronis sistem saraf simpatis, meliputi penurunan denyut jantung dan penghambatan pelepasan renin. Selain itu, ß-bloker (Finkel et al, 2016). Reseptor-ß terdapat dalam 2 jenis, yakni ß1 dan ß2 pada jantung, ssp dan ginjal reseptor ß1 blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi, penurunan frekuensi jantung dan juga perlambatan penyaluran impuls di jantung (Tjay dan Rahardja, 2014).Bisoprolol memiliki waktu paruh 9-12 jam dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah 50% (Anderson, 2002).

d. Golongan CCB

CCB direkomendasikan ketika agen lini pertama yang pilih mempunyai kontraindikasi atau tidak efektif. Obat-obat ini efektif dalam mengobati hipertensi pada pasien dengan angina dan diabetes, CCB kerja singkat berdosis tinggi harus

(33)

dihindari karena adanya peningkatan risiko infak miokardium akibat vasodilatasi berlebihan dan stimulasi refleks jantung. Sebagian besar golongan obat ini memiliki waktu paruh yang pendek (3-8 jam) pada dosis pemberian oral, CCB tidak selalu memerlukan diuretik tambahan (Finkel et al, 2016).

e. Golongan Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)

Penghambat reseptor angiotensin merupakan alternatif penghambat ACE yaitu menghasilkan dilatasi arteriol dan vena menghambat sekresi aldoesteron sehingga menurunkan retensi garam beserta air (Finkel et al, 2016). Berlainan dengan penghambat ACE yang merombak angiotensin I menjadi angiotensin II melainkan memblok reseptor angiotensin II dengan efek vasodilatasi. Obat-obat pada golongan ARB diantaranya yaitu, valsartan, irbesartan, candesartan, yang dapat melindungi ginjal terhadap kerusakan lebih lanjut pada pasien diabetes tipe 2 dan memperlambat terjadinya albuminuria (Tjay dan Rahardja, 2014).

2.9 Obat Antihipertensi yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK Pasien dengan gangguan ginjal mengalami penurunan ekskresi obat yang selanjutnya akan mengakibatkan akumulasi dan efek toksik terhadap organ-organ tubuh. Oleh karena itu, penyesuaian dosis untuk mencegah efek yang tidak diinginkan maka untuk mengoptimalkan terapi, dosis obat terutama yang bersifat nefrotoksik dan rentang terapi sempit yang diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal harus disesuaikan berdasarkan fungsi ginjalnya (Nasution, 2017).

Golongan utama obat antihipertensi menunjukkan bahwa golongan obat antihipertensi memiliki efek penurun tekanan darah yang pada hakikatnya setara jika digunakan sebagai monoterapi yaitu diuretik tiazid, penghambat beta,inhibitor

(34)

ACE, penghambat reseptor angiotensin II, dan antagonis kalsium. Pada rata- ratanya dosis standar sebagian besar obat antihipertensi menurunkan tekanan darah sebesar 8-10/4-7 mmHg, namun terdapat perbedaan subkelompok dalam responsivitas. Pasien dengan hipertensi tinggi renin lebih responsif terhadap ACE dan penghambat reseptor angiotensin (ARB) dari pada golongan obat lain(Larry, 2013).

Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis obat yang dikonsumsi.Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat efek terapeutik maksimal tanpa efek samping.Adapun beberapa macam obat antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal yaitu, golongan ACE-I (Kaptopril, Lisinopril, Ramipril, Benazepril, Enalapril), golongan β-blocker (Bisoprolol dan Atenolol).(Munar dan Singh, 2007).

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan desain pendekatan retrospektif, yaitu metode pengumpulan data mulai dari penyebab dan kemudian hubungannya dengan akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai subjek yang diteliti, pengumpulan data pada penelitian diambil pada sebagian populasi atau seluruh populasi melalui catatan medik (Maryani dan Mulyani, 2010).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder pasien yang diagnosis gagal ginjal kronik stadium 5 yang menjalani hemodialisis dan mendapat terapi antihipertensi yang memenuhi kriteria inklusi, pada penelitian ini adalah rekam medik dan laporan pemakaian obat pasien yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari-Juni 2018.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan, dan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2019.

3.3 Popolasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian yang dilakukan ini adalah seluruh data rekam medik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan menggunakan obat antihipertensi di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari-Juni 2018.

(36)

3.3.2 Sampel

Sampel yang digunakan harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi:

a. pasien yang dirawat di instalasi rawat inap dengan diagnosis penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan mendapat terapi obat antihipertensi periode Januari-Juni 2018.

b. merupakan pasien gagal ginjal kronik stadium 5 yang menjalani hemodialisis.

c. data rekam pasien lengkap, yang terdiri: data pasien, diagnosis penyakit, data penggunaan obat, dan data laboratorium minimal memuat data kreatinin serum.

Kriteria Eksklusi:

Rekam medik pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional yaitu sebagai berikut:

a. pola peresepan adalah gambaran obat yang diresepkan dan digunakan atas permintaan tertulis dokter kepada apoteker untuk menyiapkan obat pasien.

b. subjek penelitian adalah pasien GGK yang menjalani hemodialisis dengan obat antihipertensi di rawat inap RSUP H. Adam Malik pada periode Januari-Juni 2018.

c. penyakit ginjal kronik adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan bertahap yang dapat mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal selama tiga bulan atau lebih pada gagal ginjal kronik terjadi akumulasi toksin,

(37)

cairan, dan elektrolit yang secara normal diekskresikan oleh ginjal menyebabkan sindrom uremik.

d. rekam medik adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan kepada pasien pada sarana kesehatan.

e. kesesuaian dosis adalah suatu takaran obat yang memenuhi batasan dosis terapi berdasarkan kondisi pasien pada penelitian ini dosis obat antihipertensi disesuaikan berdasarkan fungsi ginjal pasien yang dihitung menggunakan persamaan Cockroft-Gault.

f. dosis kurang adalah dosis yang tidak mencapai terapi yang telah ditentukan olehbuku standar seperti, Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment of Medication Eliminated by the Kidneys, The Renal Drug Handbook.

g. dosis lebih adalah dosis yang mencapai terapi lebih tinggi yang telah ditentukan oleh buku standar seperti, Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment of Medication Eliminated by the Kidneys, The Renal Drug Handbook.

3.5 Cara Kerja

Adapun cara kerja pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. survei awal

survei ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien GGK. Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik untuk kasus- kasus dengan diagnosis GGK yang menjalani hemodialisis dan diterapi dengan obat antihipertensi periode Januari-Juni 2018.

(38)

b. pembuatan master data rekam medik

pembuatan master data rekam medik yang dijadikan sebagai sampel memuat data seperti: nama/inisial, berat badan, umur, jenis kelamin, data laboratorium (kreatinin serum) dan menggunakan obat antihipertensi.

c. analisis dan tabulasi data

3.6 Analisis Data

Data-data yang memenuhi syarat dianalisis dan dihitung persentasenya untuk memperoleh informasi tentang:

a. perhitungan penentuan laju filtasi glomerulus pasien dengan menggunakan rumus persamaan Cockcroft- Gault.

b. perhitungan penentuan dosis berdasarkan nilai laju filtrasi glomerulus pasien menggunakan literatur seperti, Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment of Medication Eliminated by the Kidneys dan The Renal Drug Handbook.

c. persentase pasien GGK berdasarkan usia dan jenis kelaminpasien yang dihitung dari jumlah dan dibagi jumlah kasus yang diteliti dikali 100%.

d. persentase golongan obat antihipertensi dan jenis obat yang diberikan, golongan obat yang tidak perlu penyesuaian dosis maupun yang perlu penyesuaian dosis dihitung dari jumlah kasus yang menerima golongan obat tertentu dibagi jumlah kasus yang diteliti dikalikan 100%.

e. persentase kesesuaian dosis obat antihipertensi yang diberikan pada pasien GGK.

(39)

3.7 Bagan Alur Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat beberapa proses sebelum akhirnya data disajikan. Proses penyajian data tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 dibawah ini:

Gambar 3.1 Bagan Alur Penelitian Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari- Juni 2018.

Survei awal Melakukan pengambilan data rekam

medik dan laporan pemakaian obat pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan mendapat terapi

obat antihipertensi

Melakukan analisis data Melakukan pengelompokan data

Melakukan penyajian hasil data

(40)

3.8 Tahapan Penelitian

Adapun tahapan penelitian ini dengan urutan sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

b. menghubungi Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c mengumpulkan data rekam medis pasien dan data laporan pemakaian obat GGK yang mendapat terapi obat antihipertensi berdasarkan kriteria inklusi.

d. analisis data dan menyajikan dalam bentuk tabel sehingga di dapatkan kesimpulan dari penelitian.

(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Juni-Juli 2019. Data diambil dari rekam medik pasien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik dan menjalani Hemodialisis dengan terapi obat antihipertensi periode Januari-Juni 2018.Dari hasil penelitian data rekam medik pasien terdapat 42 orang jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian.Pada penelitian ini ada sebagian data pada pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi dimana data kurang lengkap (tidak terdapat terapi obat antihipertensi, tidak tercantum data berat badan dan stadium GGK serta tidak ada hasil pemeriksaan laboratorium berupa kreatinin serum).

4.1 Karakteristik Berdasarkan Usia

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Pasien GGK yang menjalani hemodialisis

Keterangan: n= jumlah subjek (n=42)

Pada Tabel 4.1 diatas dapat diketahui pola peresepan obat antihipertensi pada pasien GGK yang paling banyak adalah pada kelompok lansia awal (46-55 tahun) dengan persentase 33,3%. Pada penelitian yang dilakukanSiahaan (2015) di RSUD Dr. Pringadi Medan hampir sama dengan penelitian ini, dimana pasien GGK yang paling banyak yaitu pada rentang usia 46-55 tahun.

Kelompok Usia Pasien GGK

Frekuensi %

18-25 tahun 4 9,6

26-45 tahun 10 24,0

46-55 tahun 14 33,3

56-65 tahun 12 28,5

≥ 65 tahun 2 4,7

Total 42 100

(42)

Penyebab paling sering GGK adalah hipertensi dan pada usia lanjut karena tekanan darah tinggi akibat penyempitan arteri. Meningkatnya insidens GGK pada usia lanjut disebabkan oleh penyakit vaskular, diabetes mellitus, dan hipertensi yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan hilangnya fungsi ginjal secara progresif. Bertambahnya usia, terjadi fungsi ginjal menurun , sehingga nilai LFG nya menurun. Fungsi ginjal menurun sekitar 30% pada usia 35-80 tahun, seperti penurunan laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal (Jameson,2013).

Reaksi asam basa terhadap perubahan metabolisme melambat.Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal menjadi beban tersendiri.Hal ini dikarenakan banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus, dan tubulus. Setelah usia 35 tahun laju filtrasi glomerulus (LFG) akan menurun 8-10ml/menit. Hal ini menyebabkan keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda (Guyton dan Hall, 2011).

4.2 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien GGK

Keterangan : n= jumlah subjek

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pasien GGK yang mendapatkan terapi obat antihipertensi terdapat pada laki-laki sebanyak 34 orang (81,0%) dan diikuti pada perempuan sebanyak 8 orang (19,0%). Prevalensi penderita GGK

Jenis Kelamin Pasien GGK

Frekuensi (n=) %

Laki-laki 34 81,0

Perempuan 8 19,0

Total 42 100

(43)

yang diterapi dengan obat antihipertensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, karena pada laki-laki cenderung memiliki pola hidup yang kurang teratur seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, stress dan obesitas (Padila, 2017).

4.3 Penggunaan Golongan Obat Antihipertensi

Berdasarkan hasil persentase penggunaaan obat antihipertensi tertinggi yaitu golongan kalsium antagonis yaitu amlodipin sebanyak 28 kali (35%). Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Distibusi Penggunaan Golongan Obat Antihipertensi

No Antihipertensi Penggunaan obat antihipertensi

Frekuensi (n=) %

1 Diuretik - Furosemid - Spironolakton

12 2

15 2,5 2 ACE-I

- Kaptopril - Lisinopril

8 1

10 1,2 3 Ca Antagonis

- Amlodipin 28 35

4 β – blocker

- Bisoprolol- 5 6,3

5 ARB(Angiotensin Receptor Blocker)

- Valsartan - Telmisartan - Kandesartan

17 4 3

21,2 5 3,8

Total 80 100

Berdasarkan hasil penelitian di RSUP H. Adam Malik periode Januari-Juni 2018 penggunaan obat antihipertensi golongan kalsium antagonis (CCB) paling sering diresepkan dan diikuti oleh angiotensin reseptor bloker (ARB) dan ACE-I, diuretik serta diurutan terakhir adalah β-bloker. Pasien dengan hipertensi tinggi renin lebih responsif terhadap ACE-I dan penghambat reseptor angiotensin

(44)

(ARB), sedangkan pasien dengan hipertensi rendah renin lebih peka terhadap diuretik dan antagonis kalsium (Larry, 2013).

Pada inhibitor ACE atau bloker reseptor angiotensin (ARB) dapat mengurangi proteinuria dengan memblok efek langsung angiotensin II pada filtrasi glomerulus. Pemberian kasium antagonis umumnya digunakan sebagai obat antiproteinuria lini kedua apabila ACE-I dan angiotensin II receptor blocker tidak ditoleransi. Pada Ca Antagonis memiliki ekeftivitas yang sama jika digunakan tunggal untuk pengobatan hipertensi ringan sampai sedang (Limbird, 2012).

Golongan antihipertensi lain yang digunakan ialah diuretik sebesar 17,7%.

golongan diuretik biasanya digunakan pada hipertensi untuk mengontrol edema pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mg/dL. Jenis diuretik yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah furosemid yaitu sebesar 15% diikuti dengan spironolakton sebesar 2,5% paling sedikit karena pada diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Dipiro, 2012).

Golongan angiotensin II antagonis (ARB) yaitu valsartan, telmisartan dan kandesartan adalah jenis obat yang diberikan pada pasien GGK. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya.

Karena ACE-I menghambat hanya sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensi II blokade reseptor merupakan salah satu cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja angiotensin II (Tjay dan Rahardja, 2014). Pada golongan angiotensin II antagonis (ARB) dapat memperlambat laju penurunan fungsi ginjal

(45)

bahkan pada pasien dialisis. ARB menghambat degradasi bradikinin sehingga tidak menimbulkan efek samping batuk (Larry, 2013).

Adapun selain golongan kasium antagonis, ARB, dan diuretik antihipertensi lain yang digunakan ialah ACE-I yaitu kaptopril sebesar 10% dan lisinopril 1,2%. Menurut Dipiro (2012) golongan obat antihipertensi ACE-I ARB merupakan lini pertama untuk hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. ACE-I menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin dan menurunkan sistem saraf simpatis, suatu vasokontriktor kuat yang menstimulasi aldosteron.ACE-I umumnya diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu kerusakan fungsi ginjal secara signifikan menurunkan bersihan plasma sebagian besar ACE-I (Limbird, 2012).

Pada penelitian ini golongan obat yang paling jarang digunakan ialah golongan β-blocker sebesar 6,3%. Jenis obat yang digunakan adalah bisoprolol.Pada obat ini dapat mempengaruhi aliran darah ginjal berkurang dalam waktu singkat oleh sebagian besar β-blocker tetapi diperoleh laporan tentang memburuknya fungsi ginjal yang disebabkan oleh pemberian jangka panjang obat ini. Meski demikian, sedikit penurunan dalam aliran plasma ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terus berlangsung terutama dengan obat nonselektif yang memblok reseptor β1 dan β2. Hal itu dapat membuat golongan β-blocker hanya sedikit digunakan (Limbird, 2012).

4.4 Karakteristik Obat Antihipertensi yang Tidak Perlu Penyesuaian Dosis Pada penelitian ini ada beberapa golongan antihipertensi yang tidak perlu penyesuaian dosis diantaranya golongan diuretik (furosemid, spironolakton),

(46)

golongan ARB (valsartan, telmisartan, kandesartan) dan golongan Ca Antagonis yaitu amlodipin. Dalam penelitian ini obat antihipertensi yang diberikan dan tidak memerlukan penyesuaian dosis adalah 66 kali (82,5%).

Tabel 4.4 Distibusi Obat Antihipertensi yang Tidak Perlu Penyesuaian Dosis

No Antihipertensi Penggunaan obat antihipertensi

Frekuensi (n=) % 1 Diuretik

- Furosemid - Spironolakton

12 2

18,2 3,0 2 Ca Antagonis

- Amlodipin 28 42,4

3 ARB(Angiotensin Receptor Blocker) - Valsartan

- Telmisartan - Kandesartan

17 4 3

25,8 6,1 4,5

Total 66 100

Berdasarkan persentase paling tinggi obat yang sering digunakan pada penelitian ini adalah golongan Ca Antagonis yaitu amlodipin sebanyak 28 kali (42,4%).Pada golongan diuretik, ARB, dan Ca Antagonis tidak memerlukan penyesuaian dosis karena dimetabolisme oleh hati (NKF, 2015).Golongan obat tersebut yang dieksresikan dalam bentuk utuh sedikit maka tidak membutuhkan penyesuaian dosis (Munar dan Singh, 2007).

Penggunaan terapi tunggal Ca Antagonis memberikan efektivitas yang sama dengan antihipertensi lain. Ca Antagonis terbukti sangat efektif pada hipertensi kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut. Ca Antagonis tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah maupun asam urat.Golongan Ca Antagonis bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos dan pembuluh darah miokard (Nafrialdi, 2011).

Amlodipin yang termasuk dalam golongan antagonis kalsium generasi

(47)

selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serta tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia, dan takikardia.Selain itu efek samping seperti sakit kepala, pusing dan edema lebih ringan dan lebih jarang terjadi (Ashley dan Currie, 2018).

Dalam penelitian ini juga menggunakan antihipertensi golongan ARB.Beberapa penelitian menunjukkan adanya keuntungan penggunaan golongan ini pada populasi pasien ginjal kronis.Golongan ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan golongan penghambat enzim pengubah angiotensin yaitu tidak menyebabkan reaksi anafilaksis dan efek samping seperti pada golongan ACE-I.Golongan ini sedikit atau tidak terdialisis sehingga kemungkinan memberikan kontrol tekanan darah yang lebih baik pada pasien yang menjalani hemodialisis (Horl, dkk, 2002).

4.5 Karakteristik Obat Antihipertensi yang Memerlukan Penyesuaian Dosis Tabel 4.5 Distibusi Obat Antihipertensi yang Memerlukan Penyesuaian Dosis No Antihipertensi Penggunaan obat antihipertensi

Frekuensi (n=) %

1 ACE-I - Kaptopril - Lisinopril

8 1

57,1 7,1 2 β – blocker

- Bisoprolol- 5 35,8

Total 14 100

Pada penelitian ini terdapat dua golongan obat antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis yaitu golongan ACE-I seperti, kaptopril dan lisinopril dan β – blocker seperti, bisoprolol. Dalam penelitian ini golongan obat antihipertensi yang diberikan dan perlu penyesuaian dosis yaitu 14 kali (17,5 %) dari jumlah seluruh obat yang digunakan. Golongan obat yang paling banyak digunakan adalah

(48)

kaptopril sebanyak 57,1%.Menurut Renal Pharmacotherapy (2013) ada beberapa obat antihipertensi yang harus disesuaikan dosisnya pada penelitian ini didapatkan golongan obat antihipertensi seperti ACE-I, dan β – blocker, karena golongan obat tersebut dieliminasi di ginjal.Penggunaan kaptopril dan lisinopril pada pasien hemodialisis perlu diperhatikan karena kaptopril dan lisinopril mudah terdialisis dan mudah larut dalam air.

Penyesuaian dosis obat untuk pasien gagal ginjal kronik adalah berdasarkan data kliren kreatinin. Pada proses hemodialisis kadar obat dalam darah dapat berkurang karena mengalami dialisis berdasarkan kondisi pasien.

Antihipertensi yang terdialisis adalah yang termetabolisme di ginjal, memiliki karakter kelarutan dalam air yang tinggi, ikatan protein yang rendah serta bobot molekul yang kecil (Johnson, 2008).

Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian dilakukan untuk mendapatkan efek terapeutik yang maksimal dan tanpa efek samping.Untuk meningkatkan kualitas terapi pasien gangguan ginjal perlu dilakukan pemantauan terapi dan penyesuaian dosis pada obat yang memerlukan penyesuaian berdasarkan fungsi ginjal (Belaiche, 2012).

4.6 Karakteristik Kesesuaian Dosis Antihipertensi pada Pasien GGK Tabel 4.6 Distribusi Karakteristik Kesesuaian Dosis Antihipertensi

Kesesuaian Dosis Antihipertensi pada Pasien

GGK

Pasien GGK

Frekuensi (n=) %

Sesuai 13 92,9

Tidak Sesuai 1 7,1

Total 14 100

(49)

Pemilihanobatantihipertensi perlu disesuaikan dengan mempertimbangkan usia, keparahan hipertensi, faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya. Oleh karena itu obat antihipertensi yang diberikan pasien harus dilakukan penyesuaian dosis dan dimonitor agar mencapai tekanan darah yang diinginkan (Larry, 2013).

Dalam penelitian ini dosis antihipertensi sesuai bila berada pada rentang dosis minimal dan dosis maksimal yang telah direkomendasikanRenal Pharmacotherapy Dosage Adjustment (2013).Pada Tabel 4.6 diperoleh hasil dari persentase kesesuaian dosis pada pasien GGK yang sesuai yaitu (92,9%) atau sebanyak 13 kali dan tidak sesuai 1 kali (7,1%). Menurut Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment (2013), didapatkan dosis untuk pasien hemodialisis untuk kaptopril adalah 12,5-25 mg 1 kali/hari). Penggunaan kaptopril sebagai antihipertensi pada pasien dengan LFG <10 mL/menit atau hemodialisis memperoleh penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis lazim.

Pada antihipertensi lisinopril pasien dengan LFG <10 mL/menit atau hemodialisis memperoleh penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis lazim.

MenurutRenal Pharmacotherapy Dosage Adjustment (2013) dosis lisinopril adalah 2,5-20 mg (1 kali/hari). Pada terapi antihipertensi dari golongan β-bloker seperti bisoprolol telah sesuai dengan dosis yang direkomendasikan pada pasien GGK dengan LFG <10 ml/menit atau hemodialisis yaitu 50% dari dosis lazim.

Berdasarkan Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment (2013), dosis bisoprolol yang diberikan untuk pasien yang menjalani hemodialisis adalah 2,5 mg/hari.

Pada penelitian ini ada penggunaan obat antihipertensi yang tidak sesuai dengan standar rekomendasi yang digunakan mencakup dosis berlebih. Pemberian kaptopril dengan dosis 1x50mg dengan LFG 4,69 ml/menit memperoleh

(50)

penyesuaian sebesar 50%. Berdasarkan Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment (2013), dosis yang seharusnya diberikan pada pasien tersebut adalah 12,5-25 mg/hari karna pada pasien tersebut menjalani hemodialisis.

(51)

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan:

a. persentase golongan antihipertensi yang diberikan pada pasien GGK persentase dari yang terbesar sampai terkecil adalah golongan kalsium antagonis yaitu amlodipin sebesar 35% , ARB (30%) diuretik (17,5%), ACE- I (11,2%), dan β – blocker (6,3%).

b. tingkat kesesuaian dosis penggunaan antihipertensi pada pasien gangguan ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sebesar 92,9%, masih harus ditingkatkan, karena terdapat satu data rekam medik pasien tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang direkomendasi Renal Pharmacotherapy Dosage AdjustmentTahun 2013.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan diatas, maka disarankan:

a. kepada pihak RSUP H. Adam Malik diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan di Rumah Sakit dan dapat memonotoring dosis obat khususnya antihipertensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis agar kualitas hidup pasien dapat meningkat dan terapi yang diberikan lebih optimal.

b. untuk peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian terkait Drug Related Problem (DRP) tentang penggunaan obat antihipertensi dengan komplikasi penyakit gagal ginjal kronik dan mengumpulkan data yang bersifat prospektif serta memantau kondisi klinis pasien secara periodik

(52)

selama di rawat di rumah sakit agar perkembangan penyakit dan data yang diperoleh akan lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

(53)

Andreson, James E., William, G. 2002. Clinical Drug Data. New York: McGrraw- Hill. Halaman 547-550.

Ashley, C., dan Currie, A. 2018.The Renal Drug Handbook. Edisi Kelima. New York: Radcliffe Publishing. Halaman 75-82.

Balitbangkes-RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

Bayhakki. 2012. Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC. Halaman 3-8.

Belaiche, S., Romanet, T. Allenet, B. 2012.Identification Of Drug Related Problems In Ambulatory Chronic Kidney Disease Patients:6 Month Prospective Study, J Nephrol 25(5):782-788.

Dinas Kesehatan. 2016. Profil Kesehatan Sumatera Utara. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Medan. Halaman 44.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R, Wells, B.G., dan Posey, L.M.

2012. Pharmacoteraphy Handbook Ninth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies. Halaman 858.

Finkel, R., Clark, A.M., Cubeddu, L.X. 2016. Farmakologi Edisi Keempat.

Jakarta: EGC. Halaman 257-265.

Golightky, K.L., Teitelbaum, I., Kiser H.T. 2013. Renal Pharmacotherapy Dosage Adjustment of Medications Eliminated by the Kidneys.New York:

Springer.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2011.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 12.

Philadelphia. Elsevier Saunders. Halaman108.

Hakim, L. 2013.Farmakokinetika Klinis. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Halaman 116- 122 .

Horl, M. T. 2002. Hemodialysis-Associated Hypertension: Pathophysiology and Therapy, Am J Kidney Dis, 2002: 39(2): 227-44

James, P.A., dkk. 2014. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood pressure in Adult Report From the Panel Members AAppointed to the Eight Joint National Committee (JNC 8). JAMA

Joenoes, N.Z. 2006. Resep Yang Rasional. Surabaya: Airlangga University Press.

Halaman 43.

Johnson, C.A. 2008. Dialysis Drugs. New York: McGraw-Hill. Halaman 130.

Larry, J,. dan Loscaljo, J. 2013. Nefrologi Dan Gangguan Asam Basa. Jakarta:

EGC. Halaman 106-109.

Limbird, L. E. 2012. The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York:

McGraw-Hill Companies. Halaman 735.

Maryani, L,.Dan Muliani, R.2010. Epidemiologi Kesehatan Pendekatan Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 133-140.

Menkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Munar, M., dan Sing, H. 2007.Drug dosing adjusments in patients with chronic kidney disease.American Family Physician.75(10).Halaman 1487-1496.

Nafrialdi. 2011. Farmakologi dan Terapi Antihipertensi Edisi Kelima. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI. Halaman 5-6.

Naomi, I.N.2018. Studi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Pringadi Medan Periode Januari-Desember 2016.Skripsi. Fakultas Farmasi USU Medan. Halaman 4-6

(54)

Nasution, A. 2017. Farmakokinetika Klinis. Medan: USU Press. Halaman 81-85.

National Kidney Foundation,2015. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy . [serial online]. [diakses Tanggal 3 Mei 2019];

Diambil dari: URL: http://www.kidney.org.news-archive/2015.

Padila. 2017. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Halaman 356-359.

Pranata, E. 2014.Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika. Halaman 15-21.

Robinson, J.M. 2013. Professional Guide to Disease Tenth Edition. Philadelphia:

Lippincott Williams.

Siahaan, E. 2016.Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronikdi RSUD Dr. Pringadi Medan Periode Januari- Juni 2015.Skripsi. Fakultas Farmasi USU Medan.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2014. Obat-Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya. Edisi Ketujuh. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Triyanto E. 2014 Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu.Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 78-81.

Utami, M.N.2017. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Ruang Interna Pria RSUP H. Adam Malik Medan Periode September- November 2015. Skripsi.Fakultas Farmasi USU Medan.

Via-Sosa, MA., Lopes N., March M., 2013. Effectiveness Of A Drug Dosing Service Provided By Community Pharmacist In Polymedicated Elderly Patients With Renal Impairment A Comperative Study, BMC Fam Pract 14:96.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melihat adanya peningkatan atau penurunan hasil investasi di gunakanlah rasio profitabilitas - yaitu kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan,

Pada hari ketujuh hanya ada Satu Kasus, semua peserta diikutkan namun hanya dua peserta yang melakukan praktek 58 standar dan langkah-langkah asuhan persalinan normal,

Simpulan yang dapat ditarik dari analisis yang dilakukan adalah terdapat hambatan-hambatan untuk Just In Time Purchasing sehingga tidak dapat dilakukan secara efektif dan untuk

Jawaban yang benar untuk mengisi titik-titik adalah .... Pompa air mengisi bak selama 35 menit. Volume bak tersebut 7000 liter. Debit pompa adalah ... Hasil perpangkatan tiga dari

Dalam penulisan ilmiah ini penulis mempunyai tujuan untuk menghitung besarnya break even point multi produk sebagai dasar perencanaan laba pada industri Maya Bakery. Setelah

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL TAHUN PELAJARAN 20… / 20… MATA PELAJARAN : Matematika.. KELAS / SEMESTER : II (Dua)

30 Desember 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian.. Keuangan Provinsi Sumatera Utara tanggal 30 Desember 2016 melalui Aplikasi

berkesimpulan bahwa pelelangan ini gagal karena tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran,. dan membatalkan lelang atau mengulang lelang paket pelelangan ini dalam