• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Politik Umat Islam pada Pemilu 1955 dan 1999: Studi Perbandingan Perolehan Suara Parpol Islam pada Pemilu 1955 dan 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Partisipasi Politik Umat Islam pada Pemilu 1955 dan 1999: Studi Perbandingan Perolehan Suara Parpol Islam pada Pemilu 1955 dan 1999"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Email: jurnalsosialnusantara@gmail.com

Online Journal : http://perdekiisptn.xyz/ojsperdekiisptn/index.php/JSN/

Partisipasi Politik Umat Islam pada Pemilu 1955 dan 1999:

Studi Perbandingan Perolehan Suara Parpol Islam pada Pemilu 1955 dan 1999 Suyitno

Dekan FISIP UIN Palembang cakno_69@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini memetakan kondisi partai politik Islam pada pemilu 1955 dan pemilu 1999. penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perbandingan perolehan suara partai politik Islam di dua pemilu pada periode yang berbeda itu. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa partai Islam yang muncul pada pemilu 1999 pada umumnya merupakan fragmentasi partai Islam pemilu 1955. Sebagai contoh, Masyumi terfragmentasi menjadi PBB, PMB dan PPIM. NU terfragmentasi menjadi PKB, Partai SUNI, PNU dan PKU. Sedangkan PSII menjadi PSII itu sendiri dan PSII 1905. Perti menjadi AKAMSI, PAKAM, PBM dan Perti sendiri. Sementara PPTI menjadi Partai Persatuan Tarekat Islam, Partai Politik Tarekat Islam dan Partai Pengamal Tarekat Islam. Kalau pemilu 1955 diikuti oleh lima partai Islam, maka pada pemilu 1999 setidaknya 20 partai Islam ikut berpartisipasi sebagai peserta pemilu. Berdasarkan jumlah partai Islam yang sangat mencolok antara pemiulu 1955 dengan 1999, maka tidak mengejutkan jika prolehan suaranya pun juga terpaut jauh. Pada pemili 1955 partai Islam memperoleh total suara 45,2% sedangkan tahun 1999 partai Islam memperoleh suara sebagnyak 37,7%. Hal ini selain disebabkam suara umat Islam yang menyebar keberbagai partai yang ada, juga terpolarisasinya persoalan klise dikalangan elit pemimpin Islam. Secara metodologis penelitian ini bersumber pada data kepustakaan, seperti dokumen pemilu, surat kabar, buku-buku tentang evaluasi pemilu dan data pendukung lain sejenis. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Kata Kunci: Parpol Islam, Pemilu, Perbandingan Suara, Politik. Abstract

This research mapped the condition of Islamic political parties in the elections of 1955 and the 1999 election. This study aims to study the comparison of Islamic political party votes in two elections in different periods. The research findings show that the Islamic parties that emerged in the 1999 general elections were a fragmentation of the 1955 Islamic party elections. For example, the Masyumi were fragmented into UN, PMB and PPIM. NU is fragmented into PKB, Partai SUNI, PNU and PKU. While PSII became PSII itself and PSII 1905. Perti become AKAMSI, PAKAM, PBM and Perti own. While the PPTI became the Islamic Union Party, the Islamic Political Party and the Islamic Censorship Party. If the election of 1955 was followed by five Islamic parties, then in the 1999 elections at least 20 Islamic parties participated as election participants. Based on the number of Islamic parties that are very prominent between the 1955 and 1999 pemiulu, it is not surprising if the prolehan voice was also far adrift. In 1955 the Islamic party gained a total vote of 45.2% while in 1999 the Islamic party gained a vote of 37.7%. This is in addition to disebabkam Muslim voices that spread the party keberbagai existing, also terpolarisnya cliché issue among the elite of Islamic

(2)

leaders. Methodologically this research is based on bibliographic data, such as election documents, newspapers, books on election evaluation and other similar supporting data. The data have been collected and then analyzed descriptively qualitative.

Keywords: Islamic Political Party, Election, Politics.

A. Pendahuluan Latar Belakang

Idealnya, Pemilihan Umum (selanjutnya disebut “Pemilu”) dinyatakan absah apabila dalam proses pelaksanaannya berlangsung jujur dan adil, dalam artian tidak terdapat pelanggaran, penyimpangan ataupun kecurangan. Namun dalam banyak kasus Pemilu di Indonesia selama ini yang sudah berlangsung sejak tahun 1955, tidak luput dari berbagai pelanggaran, yang oleh beberapa pihak dianggap telah menyimpang dari tujuan Pemilu yang Jurdil (jujur dan adil). Ada satu asumsi yang menyatakan bahwa selama ini, -kecuali pemilihan umum 1955 dan 1999- dianggap hanya sebagai seremoni politik bagi kelangsungan hidup penguasa.1

pemilu merupakan faktor yang cukup penting dan sangat berperan menjamin kelangsungan suatu rezim.

1Lihat A. Malik Haramain dan MF.

Minhuda Y., Mengawal Transisi: Refleksi atas

Pemntauan Pemilu “99, Jakarta: UNDP &

JAMPPI, 2000, h. xxvii

2Rezim Orde Baru I dentik dengan

Soeharto, selama kepemimpinannya, Soeharto

Akan halnya di Indonesia, gambaran awal diperoleh bahwa selama beberapa kali Pemilu yang diadakan di masa pemerintahan Orde Baru, selalu dipenuhi oleh rekayasa politik yang ditujukan untuk menggiring peserta Pemilu memilih Golkar. Agar kelihatan demokratis, maka dibumbuilah proses Pemilu dengan mengikutkan partai-partai politik yang dibatasi dengan dua partai. Partai-partai itupun –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia- tidak bisa bebas berbuat karena dibatasi dengan berbagai aturan yang sangat tidak adil.2

Kegagalan pemerintah Orde Baru mengatasi krisis ekonomi sejak tahun 1990-an, mendorong makin parahnya kondisi pemerintahan pimpinan Soeharto. Akibat tekanan-tekanan yang berasal dari dalam maupun luar negeri menyebabkan Soeharto menyerahkan

berhasil mensubordinasikan semua institusi untuk mengukuhkan kekuasaan, mensinergikan kekuatan-kekuatan yang berseberangan sekalipun untuk menciptakan keseimbangan baru yang ia sendiri menjadi titik keseimbangannya.

(3)

jabatan presiden kepada wakilnya Habibie pada 21 Mei 1998.3 Dengan demikian berakhir pula rezim Orde Baru dan memasuki masa transisi untuk diadakan Pemilu yang lebih demokratis.

Pemilu pada masa transisi tahun 1999, dianggap cukup demokratis dibandingkan Pemilu pada masa Orde Baru. Beberapa pelanggaran memang terjadi, namun mayoritas rakyat mengakuinya sebagai Pemilu yang cukup

legitimate untuk dijadikan dasar bagi

pembentukan pemerintahan baru menggantikan pemerintahan sebelumnya.

Catatan penting dari Pemilu 1999 antara lain adalah, banyaknya partai politik yang berpartisipasi. Termasuk di dalamnya adalah partai yang bercorak atau berdasarkan Islam. Kenyataan ini

3Proses reformasi yang ditandai dengan

turunnya Soeharto bukanlah semata-mata keberhasilan masyarakat Indonesia dalam berjuang melawan hegemoni Soeharto. Lebih dari itu, reformasi adalah bagian dari skenario dunia internasional dalam mempertahankan kepentingannya berupa kelompok kapitalisme global internasional, bergabung dengan kekecewaan sebagian rakyat Indonesia yang mengalami rising expectations maka proses reformasi dapat berjalan. Secara lengkap baca, Hasyim Wahid, Telikung Kapitalisme Global

dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Jakarta:

LKiS, 1999, mengenai peran negara-negara Barat mempengaruhi negeri-negeri dunia ketiga (termasuk Indonesia) baca, Vandana

mengingatkan kembali pada Pemilu di Indonesia pada tahun 1955.4 Kondisi dunia politik sedang marak-maraknya, kalau tahun 1955 merupakan pemilu pertama dalam sejarah hidup bangsa Indonesia, maka pemilu 1999 merupakan titik tolak kesadaran rakyat Indonesia untuk bangkit dan membentuk pemerintahan yang lebih demokratis.

Aspek-aspek yang cukup menarik untuk membandingkan antara pemilu 1955 dengan 1999 yakni adanya semangat yang besar dari rakyat untuk berpartisipasi di dunia politik, yang dibuktikan dengan puluhan partai politik ikut serta pemilu. Hal ini tidak lain adalah dalam rangka akulturasi kepentingan politik masing-masing kelompok. Salah satu fenomena yang

Shiva, Bebas dari Pembangunan, Francis Fukuyama, “The End of History?” dalam The

National Interest, no. 18, 1989, serta Kenichi

Ohmae, The End of the Nation State: The Rise

of Regional Economies, London: Harper Collin

Publ. 1996

4Pemilu 1955 dilaksanakan pada Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi yang memperebutkan 43.104.464 suara dari total penduduk 77.987.879 jiwa. Dari jumlah penduduk yang berhak memilih, 37.875.299 (87,65 persen) menggunakan hak pilihnya. Lihat, Daniel Dhakidae, “Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik,” Prisma, No. 9 (September 1981), h. 17-40

(4)

muncul adalah banyaknya partai Islam ikut ambil bagian di pemilu 1999 sebagaimana pemilu 1955, meski dari segi pemikiran politik serta misinya antara partai Islam 1955 dengan 1999 ada banyak perbedaan. Namun kenyataan ini mengindikasikan bahwa umat Islam berkiprah aktif, baik langsung atau tidak langsung dalam menyikapi pemilu 1999 yang dianggap sebagai tolok ukur penentuan wajah dunia politik di Indonesia pasca Orde Baru.5 Atas dasar pemikiran di atas, penulis ingin melihat perbandingan kuantitas perolehan suara partai Islam di tahun 1955 dan 1999. Di samping itu ingin melihat konsentrasi politik umat Islam dengan mengungkap faktor-faktor yang menjadi penyebab naik atau turunnya perolehan suara. Hal ini penting untuk digali karena berguna sebagai parameter bagi perkembangan partai politik Islam pada pemilu selanjutnya. Apa yang dihasilkan nantinya diharapkan pula menjadi

5Perbedaan situasional menyangkut keikutsertaan partai Islam dalam Pemilu, kalau 1955 partai Islam ikut, merupakan cermin semangat kebebasan berpolitik yang diberikan oleh negara kepada semua pihak yang siap untuk berpolitik. Sedangkan 1999, cermin kebangkitan politik umat Islam yang pada masa Orde Baru sering ditempatkan pada posisi “an

timbangan perjalanan politik Islam, yang pada konteks era reformasi dewasa ini tengah menghadapi tiga persoalan pokok; demokratisasi, keadilan ekonomi dan makna posisi agama dalam negara.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berangkat dari suatu asumsi bahwa sebagian besar politikus muslim meyakini formalisme Islam dalam bidang politik merupakan faktor penting untuk menarik pemilih dari kalangan umat Islam dan sangat potensial, yang memang jumlahnya mayoritas di Indonesia. Karena itu, dengan membentuk partai berlabelkan agama Islam maka harapan memperoleh simpati pemilih lebih besar dan mudah diterima ketimbang partai yang sekuler atau nasionalis. Di samping itu minimnya dukungan dana, sehingga kalau partai berlabel Islam kemungkinan tidak terlalu sulit untuk berkampanye dengan berbagai alasan yang didasarkan atas legitimasi agama. Bertitik tolak pada

ideological scapegoat”-dikambinghitamkan

dalam pergumulan ideologi (politik) negara. Umat Islam menjadi kelompok yang terus-menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang “tidak mempercayai ideologi negara (Pancasila) seratus persen”. Lihat, Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998

(5)

asumsi di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kondisi dan peta partisipasi partai politik umat Islam pada pemilu 1955 dan 1999

2. Membandingkan perolehan suara partai Islam pada Pemilu 1955 dan 1999

3. Melihat faktor-faktor penyebab naik atau turunnya perolehan suara pada pemilu 1955 dan 1999

Kerangka Teoritis

Studi perbandingan politik sebenarnya sudah cukup lama dikenal, bahkan usianya sama tuanya dengan ilmu politik itu sendiri. Secara garis besar perkembangan studi perbandingan politik didasari oleh dua faktor, pertama, berkembang pesatnya perhatian sarjana ilmu politik Barat terhadap studi kewilayahan di luar Eropa dan Amerika Utara. Kedua, banyaknya kemungkinan kemajuan yang dicapai dalam studi tingkah laku.6

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sejarah awal politik perbandingan menekankan kajian

6Uraian lebih lanjut tentang hal ini,

baca, Mohtar Mas’oed dan Collin Mc Andrews (eds), Perbandingan Sistem Politik,

perbandingan atas sistem politik wilayah negara tertentu dengan negara lain. Bagi peneliti, studi perbandingan ini dapat membantu untuk memahami berbagai sistem politik, ciri persamaan dan perbedaan atas tipe-tipe pemerintahan tertentu antara yang bisa stabil dan tidak, antara masyarakat politik tertentu yang berhasil dan tidak serta beberapa perbandingan lainnya.

Mengacu kepada pandangan di atas maka pendekatan perbandingan akan digunakan untuk memahami dan menjelaskan persamaan dan perbedaan kondisi situasi yang mempengaruhi perolehan suara partai politik Islam antara pemilu 1955 dengan 1999. Disamping perbandingan tersebut, peneliti juga mengajukan analisis mengenai legitimasi agama dalam menghadapi kekuasaan. Hal ini sangat penting, mengingat yang menjadi fokus penelitian merupakan partai politik bercorak agama, jelas mempunyai latar belakang yang mendorong dibentuknya partai agama ini. Teori Max, Weber dan Durkhiem (1967), menggambarkan bahwa agama sebagai kekuatan world

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999

(6)

maintaining dan world shaking. Dengan

dua kekuatan itu agama mampu melegitimasi atau sebaliknya menentang kekuasaan dan privilese.7

Membahas peran agama untuk berkiprah dalam lapangan politik dapat pula digunakan analisis Peter Bachrach, yang menyatakan bahwa kondisi dewasa ini, sekularisasi telah mengantarkan pada de-monopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de-birokratisasi, termasuk di dalamnya keinginan tokoh-tokoh agama dan individu pro-agama untuk merambah bidang politik dengan tidak melepas label keagamaannya.8

B. Metodologi Penelitian Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif, yang penerapannya berusaha menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis yang

7Baca, Jose Casanove, Public Religion

in the Modern World, Chicago: The University

of Chicago Press, 1994

dikumpulkan melalui sumber-sumber literatur. Langkah berikutnya adalah memilah-milah data tersebut dengan mengklasifikasikannya berdasarkan tipe-tipe. Selanjutnya berusaha mencari hubungan antara variabel-variabel yang diperbandingkan sehingga melahirkan kekuatan dan kelemahan landasan dan aksi masing-masing.

Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui riset kepustakaan (library research). Riset ini ditempuh dengan cara mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap beberapa dokumen dan hasil penelitian, jurnal ilmiah, makalah dan bahan-bahan tertulis lainnya yang relevan dengan masalah penelitian ini.

Data yang terkumpul melalui studi kepustakaan akan direduksi, dikategorisasi, dikualifikasi dan kemudian dideskripsikan sesuai dengan pokok masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Reduksi data merupakan usaha menyederhanakan temuan data dengan mengambil intisari data sehingga

8Peter Bachrach, The Teory of Demeocratic Elitism: A Critique, Lanhma,

New York, London: University Press of America, 1980

(7)

ditemukan tema pokoknya, fokus masalahnya dan pola-polanya. Lebih khusus data yang bersifat tertulis, maka pendekatannya adalah metode analisa isi (content analysis) dan analisis perbandingan (comparative analysis) antara satu data dengan data lainnya. Selanjutnya data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis itu kemudian disimpulkan sehingga makna data itu bisa ditemukan.

C. Pembahasan

Partai Islam Dalam Pemilu 1955 Dan 1999

Untuk dapat melihat lebih jauh keberadaan partai politik Islam pada masa ini, maka diperlukan juga melihat latar belakang perkembangan politik di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar dapat pelakukan penilaian tentang kedudukan partai, kekuatan dan kelemahan-kelemahannya disamping juga melihat kemampuan para pemimpinnya dalam mengembangkan partai trersebut.

A. Konstelasi Partai Politik Islam pada Pemilu 1955

1) Partai Masyumi

Pada bulan September 1945 sekelompok pemimpin Islam di Jakarta, termasuk Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasjim dan Muhammad Roem, mulaii memberikan perhatiannya untuk mengisi kemerdekaan dan memutuskan untuk mengubah Masyumi menjadi organisasi politik. Partai Masyumi terbentuk pada bulan November 1945, terbentuknya Masyumi ini disambut hangat oleh seluruh umat Islam di Indonesia, hal ini dilakukan dengan semangat proklamasi kemerdekaan. Dengan melepaskan semua perbedaan, baik yang bersifat pribadi maupun idiologi seakan-anak setiap orang berupaya secara maksimal memberikan dukungannya pada kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Pada Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7 dan 8 November 1945 dihadiri oleh hanpir semua tokoh dari berbagai organisasi Iskam, muktamar ini menghasilkan keputusan untuk mendirikan majelis syura pusat bagi umat Islam Indonesia dan menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam (Noer 1987: 47). Partai Masyumi mepunyai dua keanggotaan, yakni perseorangan dan organisasi. Anggota perseoarangan

(8)

minimal berusia 18 tahun atau sudah kawin; abggota berseorangan ini mempunyai hak suara. Sedangkan anggota organisasi atau juga disebut sebagai anggota istimewa hanya mempunyai hak untuk memberikan nasehat atau memberikan saran, ide dualisme keanggotaan ini didasarkan pada pemikiran untuk memperbanyak jumlah keanggotaan, agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat tanpa ada yang merasa tidak terwakili.

Pada awal perkembangannya hanya empat organisasi yang masuk dalam keanggotaan partai Masyumi, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Dan kemudian disusul oleh organisasi-organisasi Islam lain di Jawa dan disusul juga dari berbagai partai Islam di Sumatera dan daerah-daerah lain yang bergabung kedalam kepartaian Masyumi.

Dalam perkembangan berikutnya partai masyumi ini mengalami perpecahan, hal ini ditandai dengan mulai dipersoalkannya hubungan NU dengan Masyumi yang pada akhirnya NU secara resmi keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Puncak perpecahan tersebut adalah terjadinya perpecahan

hubungan Masyumi dengan presiden Soekarno. Hal ini terjadi karena adanya rasa ketidak percayaan presiden Soekarno terhadap Masyumi yang dianggap bersimpati dengan pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia, dan selanjutnya Soekarno dianggap oleh masyumi sebagai penguasa yang beruasa menegakkan kediktatoran dasn yang memberikan angina segar pada berkembangnya PKI di Indonesia. Pimpinan partai selanjutnya bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota istimewa untuk melepaskan ikatan antara anggota-anggota istimewa dengan Masyumi. Kebijakan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi bersangkutan jika Masyumi dihambat dalam berakannya. Pada tahun 1960, partai Masyumi terpaksan dibubarkan oleh pemerintah Soekarno.

2) Partai Perti

Partai politik perti berasal dari organisasi tradisional Islam, persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berpusdat di Bukittinggi Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di pesantren terkenal di Candung dekat Bukittinggi. Pada tanggal 20 Mei 1930. ia merupakan benteng pertahanan golongan

(9)

tradisional Islam dalam membendung paham moderenisme. Pada tahun 1944 Perti bergabung dengan Majelis Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi. Pada bulan Desember 1945 MIT ini berubah menjadi partai politik sehubungan dengan pemerintan RI diu Jakarta agar rakyat mendirikan partai sebagai cerminan demokrasi. Namun pada tanggal 22 November 1945 para pemimpin perti memutuskan untuk menjadikan organisasi ini sebagai suatu organisasi politik yang berjalan sendiri. Dan keputusan ini diperkuat dengan kongres Perti tanggal 22-24 Desember 1945. hal ini disebabkan karena kurangnya dominasi kalangan moderenis yang kurang memperhatikan perasaan dan apresiasi kalangan tradisional di daerah. (Noer,1987:72-74). Dalam perkembangannya, perti memperlihatkan kegigihannya dalam hubungan dengan mazhab Syafii, Anggaran dasar partai ini menekankan kelanjutan kehidupan partai dari abad ke abad sebagai Benteng Pertahanan Kaum

Ahlussunnah Wal Jamaah yang

bermazhab Syafii

3) Partai Syarikat Islam Indonesia PSII didirikan kembali pada tahun 1947 sebagai upaya meneruskan

perjuangan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1911 dan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912. Dalam pendiriannya ini, pimpinan PSII mengeluarkan pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak mempunyai pertikaian dengan Masyumi. Menurut anggaran dasar PSII tiap orang asalkan ia beragama Islam dapat menjadi anggota, namun pada prakteknya hanya hanya orang Indonesia muslim saja yang diterima sebagai anggota. Kedudukkan pemimpin dalan partai PSII sangat menentukan. Ketentuan partai memang menempatkan pemimpin dalam kedukan yang kuat, dia yang mengambil keputusan apabila ternyata suara sama kuat. Kedudukan ulama berhadapan dengan pemimpin intlektual tidak menjadi masalah, hal ini terjadi mungkin dikarenakan dalam PSII tidak dijumpai ulama besar.

4) Partai Nahdlatul Ulama

Organisasi ini didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaharu dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan ajaran Islam tradisional dan mazhab. Perhatian NU dalam bidang politik lebih kentara di masa revolusi, hal ini dapat dilihat

(10)

dengan adanya fatwa NU yang menyatakan bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949, setelah Belanda benar-benar meninggalkan Indonesia NU mulai menampakkan ketikdakserasiannya dengan partai Masyumi, namun ia tetap mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.

Menurut kalangan NU, Masyumi sejak kongres 1949 di Yogyakarta telah berubah sedemikian rupa. Dalam perubahan itu Masyumi telah berubah sifat dari organisasi yang memberi tempat penting bagi ulama menjadi organisasi yang tidak menghormati ulama. Hal ini merupakan alasan utama NU mengundurkan diri dari keanggotaan partai Masyumi pada tahun 1952. Penarikan diri NU dari Masyumi ini dikokohkan oleh kongres NU di Palembang pada bulan Oktober 1952. Sebagai tindak lanjunya, kemudian NU mendirikan Majelis Pimpinan Politik yang berfungsi memberikan nasehat dalam bidang politik pada pimpinan organisasi. Setelah NU menjadi partai politik, NU berhasil melebarkan sayapnya keberbagai daerah terutama setelah kedudukannya terjamin dalam

kabinet. Dominasi NU dalam kementrian Agama telah mempermudah penyebaran partai ini. Namun NU tidak berhasil menghimpun pengikut dalam jumlah yang banyak di daerah-daerah baru, walaupun setelah Masyumi bubar. Loyal sesama anggota NU tampaknya cukup tinggi dan partai ini mendukung anggotanya yang bergerak dalam bidang usaha

Apabila diperhatikan secara mendalam mengenai sebab-sebab berdirinya berbagai partai politik Islam, maka akan tampak bahwa cita-cita semula yang menetapkan bahwa hanya ada satu partai Islam di Negara Republik Indonesia ini tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan perpolitikan di negeri ini. Mungkin benar pendapat sebagian orang yang menyatakan bahawa hal ini terjadi karena lemahnya iman, keikhlasan dan rendahnya rasa persaudaraan yang tumbuh dalam lingkungan umat Islam Indonesia, ditambah dengan factor-faktor lain, seperti perebutan kursi, kompetisi dan ambisi yang selalu menggoda. Namun tidak boleh diabaikan mengenai adanya factor lain, seperti perkembangan keadaan atau sejarah, sifat-sifat pribadi serta psikologis yang kesemuanya dapat

(11)

merubah keperibadian seseorang. Disamping itu adanya kesenjangan antara kaum moderenis dan tradisional pada beberapa partai besar, seperi dalam hal berdirinya Perti dan NU. Para pemimpin dari kalangan moderenis dan mereka yang telah berpendidikan Barat kurang cukup peka terhadap sikap dengan perasaan mereka yang berasal dari pesantren dan melanjutkan paham tradisionalnya (Noer 1987: 95-96).

B. Konstelasi Partai Politik Islam pada Pemilu 1999

Berakhirnya rezim Soeharto yang diawali dengan krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 telah membuka liberalisme politik. Pada masa ini setiap kalangan mencoba mengekspresikan hak-hak politik dan kebebasannya yang selama masa orde baru telah direngut secara perlahan-lahan. Disamping itu juga adanya perbedaan visi, orientasi dan kepentingan elite politik juga mendukungs bermunculannya partai-partai politik di era reformasi yang mencapai kira-kira sebanyak 148 yang terdiri atas sekitar 40 partai-partai Islam. Setelah melewati seleksi oleh Tim 11 yakni partai-partai yang dipercaya pemerintah untuk menyeleksi

partai-partai pol yang akan ikut berlaga dalam pemilu. Setelah diseleksi, maka ditetapkan 48 partai yang layak ikut dalam pemilu, dimana sekitar 20 partai yang terpilih tersebut adalah partai Islam. Angka ini menunjukkan peningkatan 10 partai lebih besar dari partai Islam yang ikut berpartisipasi dalam pemilu 1955 (Ulum 2001: 143-144).

Agar tidak terjadi kekaburan dalam memaknai partai politik yang dianggap Islam perlu diberikan batasan. Menurut Azyumardi Azra sebuah partai dapat disebut Islam apabila, Pertama, partai yang menggunakan Islam sebagai dasar idiologi nereka; kedua, partai yang menggunakan pancasila sebagai dasar idiologinya, tetapi pada saat yang sama juga menggunakan symbol-simbol Islam (Azra 2000: 376 dan Ulum 2001: 144-145).

Berdirinya partai Islam ini menimbulkan perdebatan umum yang hangat. Beberapa cendikiawan dan pengamat politik berpendapat bahwa munculnya partai-partai Islam ini hanya merupakan luapan politik di era revormasi, sebagai wujut kebebasan politik dan demokrasi. Bagi Kuntowijoyo

(12)

(seorang pengamat politik) (Azra, 2000: 377) ledakan jumlah partai politik Islam hanyalah ekspresi dari euphoria politik diantara elit politik Islam yang telah lama dipinggirkan oleh pemerintahan Orde Baru. Sedangkan Azyumardi Azra (2000:377) berpendapat bahwa berdirinya begitu banyak partai Islam, lebih didorong oleh keinginan para elit politik muslim yang ingin mendapatkan kekuasaan dari pada didorong oleh alas an-alasan yang berni keagamaan.

Menanggapi beberapa pendapat di atas Bahrul ulum (2001: 145) berpendapat bahwa cukup beralasan pendapat para pengamat diatas, karena dalam Islam sendiri atau dalam kelompok-kelompok Islam justru bermunculan partai-partai baru, misalnya NU memiliki empat partai: PKB, SUNI, PNU dan PKU; Masyumi memiuliki beberapa partai: PBB, PMB dan dan PIIB. Menurut Koentjoro, secara umum partai-partai yang muncul tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yakni: pertama, partai berasaskan Islam, bila ditelusuri pada masa ini ada 11 partai yang berasaskan Islam; kedua, partai berdasarkan objektivitas, hal ini dapat diketahui bila partai tersebut mengakui adanya

pluralisme masyarakat dalam sara', menjadikan moral agama sebagai landasan gerakan, berusaha agar moral agama menjadi kenyataan objektiv dan menjadikan pancasila sebagai asas; ketiga, partai berdasarkan spesialisasi, semua partai yang benar-benar tidak bersifat skuler dapat digolongkan pada kelompok ini; keempat, partai skuler. Klasifikasi ini bukanlah klasifikasi yang mengandung 100% kebenaran, paling tidak klasifikasi ini dapat dijadikan reverensi ilmiah. (Kuntjoro dalam Hanid Basyaib dan Hamid Abidin 1999: 20-21).

Munculnya partai-partai politik Islam diera ini dapat dipandang sebagai era kebangkitan Islam politik. Bangkitnya partai-partai Islam menimbulkan keperiharinan dari sebagian umat Islam terutama dari kalangan cendikiawan dan tokoh-tokoh Islam yang bermain di wilayah gerakan kultur. Keperihatinan ini tentunya beralasan, sebab bisa saja basis gerakan Islam kultur tersebut akan terbawa arus politik praktis yang hanya menawarkan kursi kekuasaan atau garapan politik lain yang lebih menjanjikan dan nyata. Jika hal ini terjadi, maka gerakan Islam kultur akan kehabisan energi atau bahkan mengalami kelumpuhan. Disamping itu

(13)

kemunculan partai-partai politik Islam ini dapat memicu timbulnya konflik ketegangan diantara partai-partai yang ada (Ulum 2002: 148).

Apabila diperhatikan secara mendalam berdirinya partai-partai Islam yang menjamur di era Reformasi ini dapat disimpulkan ada dua sebab yang yang melatarbelakanginya.

Pertama, adanya perbedaan visi,

orientasi dan kepentingan elite politik Islam yang melahirkan bermunculannya partai-partai politik baru yang berasaskan Islam, seperti PAN, Partai Abul Yatama, Partai Keadilan, Partai Indonesia baru. Kedua, adanya semangat untuk menghidupkan kembali partai-partai yang dulu pernah ada. Partai-partai ini merupakan reingkarnasi dari partai-partai Islam pada pemilu 1955. anamun reingkarnasi ini menimbulkan menimbulkan berbagai fragmentasi baru dalam setiap partai peserta pemilu 1955 lalu. Sebab dalam partai tersebut muncul macam-macam faksi baru yang kemudian faksi-faksi tersebut mendirikan partai baru pada era revormasi ini, baik pada partai Masyumi, NU, PSII, maupun Perti dan PPTI (Partai Persatuan Tarekat Islam). Diantara partai partai tersebut yang tidak lolos

dalam pemilu 1999 adalah partai Perti dan PPTI. Sementara partai yang berasal dari PSII, Masyumi dan NU semuanya memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu 1999 (Daman 2001: 203).

Lebih lanjut Daman mencatat Daman (2001: 205) bahwa jumlah partai Islam yang berasil mengikuti pemilu 1999 berjumlah 20 partai, yakni: Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI), Partai Umat Masyumi Baru (PMB), Partai Persatuan Pembangunan (PPPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Abul Yatama (PAY), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII-1905), Partai Bukan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), PartaI Nahdlatul Umat (PNU), Partai Islam Demokrasi (PID), Partai Persatuan (PP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Cinta Damai (PCD), Partai Solideritas Nasional (SUNI) dan Partai Umat Muslim Nasional (PUMI).

Apabila kita perhatikan platform partai-partai Islam tersebut dari nama, asas tujuan, dan tanda gambar, disamping terdapat partai yang terbuka, juga terdapat partai politik aliran yang memungkinkan munculnya disharmon

(14)

dalam percaturan partai politik Islam dan perpolitikan di Indonesia pada masa yang akan datang. Namun tampaknya ada beberapa perkembangan pada sebagian partai Islam ini terutama partai yang kelahirannya dibidani oleh kelompok neomoderenis yang lebih bersifat terbuka dan dapat menerima keanggotaan nonmuslim. Dari sini terlihat telah terjadinya pergeseran wawasan dari partai eksklusif yang kemudian mengarah pada partai inklusif. Berdasarkan hal ini partai-partai Islam di era reformasi damat dikelompokkan pada dua kelompok, yakni: pertama, partai seklusif yang membatasi keabggotaannya hanya pada umat Islam; kedua, partai inklusif yang membuka kesempatan non muslim menjadi anggota partai; ketiga, partai Islam pluralis, partai yang bukan saja menerima keanggotaan dari kalangan non muslim, melainkan juga memberikan kesempatan yang sama untuk terlibat, baik dalam jajaran pengurus maupun calon legislative.

C. Analisis tentang Perolehan Suara Parpol Islam pada Pemilu 1955 dan 1999.

1. Pemilu 1955

Jumlah partai yang memenagkan lebih dari satu kursi di DPR pada pemilu 1955 sebanyak 16 partai. Dari ke 16 partai itu, empat diantaranya adalah partai Islam, yakni Masyumi mendaptkan 57 kursi, NU mendapatkan 45 kursi, PSII nebdapatkan 8 kursi dan Perti mendapatkan empat kursi (Evans 2003: 14). Secara keseluruhan yang masuk nominasi kemepat besar prolehan suaranya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, PNU dan PKI. Ini berarti dua partai Islam tersebut termasuk yang layak diperhitungkan dalam jajaran perpolitikan nasional pada waktu itu, karena realitas politik menunjukkan bahwa baik, Masyumi maupun NU mendapat dukungan luas dari masyarakat Indonesia. Satu hal yang layak menjadi perhatian dari peta perolehan suara ini adalah bahwa antara golonan skularis dan islamis tidak ada titik temu yang nyata. Dengan perkataan lain, tidak ada suara menengah (middle

ground) dalam perpolitikan nasional

pada saat itu. Implikasi dari keadaan demikian itu adalah tidak adanya titik temu pemikiran dalam Konstituante

(15)

ketika akan merumuskan konstitusi Negara.

Pada pemilu 1955 keseluruhan partai-partai Islam memperoleh 16.518. 332 suara dan 115 kursi dalam parlemen (termasuk Partai Persatuan Tarekat Islam) dengan 85.131 suara atau satu kursi). Sedangkan untuk perolehan suara di Konstituante adalah 16.464.008 suara dan 228 kursi, yang terbagi atas Masyumi, 7.789. 619 suara (112 kursi), NU 6.989.33 suara (91 kursi), PSII 1.059.922 suara (16 kursi), Perti 465. 359 suara (7 kursi) dan PPTI 74.913 sura (1 kursi) (Noer 1987: 347).

Menurut Bahrul 'Ulum (2002: 73) bila dilihat dari presentase perolehan suara yang didapat pada pemilu 1955 menunjukkan bahwa meskipun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi dalam berpolitik tidak seluruhnya berafirmasi dalam partai Islam. Pada pemilu 1955 ini partai Islam hanya memperoleh suara sekitar 45,2%. Kendatipun begitu, hal ini memperlihatkan adanya kenaikan jumlah kursi yang didapat dalam DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) sebelumnya hanya berjumlah 57 orang (24%) dari keseluruhan anggota

parlemen menjadi 116 kursi (lebih dari 100%). Berbeda dengan kalangan nasionalis yang sebelumnya mendapatkan 40% kursi diparlemen, pada pemilu 1955 ini mengalami penurunan yang cukup sighnifikan menjadi 27,6%. Bila diamati peningkatan suara ini terjadi karena adanya kelihaian kelompak Islam dalam memanfaatkan tema-tema sentiment agama pada saat kampanye. Namun secara totalitas, partai politik Islam bagaimanapun belum dapat dikatakan mampu mengungguli partai di luar Islam. Padahal beberapa peluang dan potensi yang dimiliki umat Islam sangat memungkinkan untuk menjadi pemenang Pemilu. Di antara factor-faktor penyebabnya adalah:

a. Perpecahan kalangan pemimpin Islam

Jamak diketahui bahwa perpecahan di kalangan pemimpin Islam telah terjadi dengan ditandainya keluarnya beberapa Ormas Islam dari Masyumi. Semula Masyumi merupakan satu-satunya wadah politik umat Islam dan itu mampu bertahan kurang lebih dua tahun, namun sangat disayangkan belakangan Masyumi semakin rapuh ditandai dengan keluarnya PSII pada

(16)

Tahun 1947 yang diwakili oleh beberapa tokohnya. Kondisi Masyumi semakin goyah menyusul dengan keluarnya NU dan menyatakan diri menjadi partai politik sendiri. Banyak penjelasan yang mencoba memberikan gambaran tentang penyebab NU keluar dari Masyumi. Tetapi yang jelas, factor internal Masyumi sendiri memang memberikan ruang dan alasan yang cukup kuat sehingga NU terpaksa harus eksodus dari Masyumi. KH. Syaifuddin Zuhri menilai keluarnya NU dari Masyumi karena sudahlama merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang kuat kedudukannya dalam struktur organisasi. Pandangan ini dibantah oleh Syafi'i Ma'arif bahwa menempatkan para ulama di Majelis Syuro dipandang sudah cukup adil, karena lembaga itu diciptakan memang untuk mereka, sedangkan dewan eksekutif diperuntukkan untuk politisi yang berpengalaman yang kebetulan terdiri atas golongan modernis (Ulum 64). Bagi Zamah Sari Dhofier factor lain yang menyebabkan keluarnya NU dari Masyumi adalah dinamiika internal NU sendiri. Ini terjadi karena beberapa tokoh muda NU seperti Idham Kholid, Syaifuddin Zuhri dan lain-lain

memerlukan ruang gerak yang lebih luas untuk mengartikulasikan peran politiknya. Apapun alasannya polarisasi yang terjadi di kalangan elit pemimpin Islam, telah menjadikan lemahnya kekuatan partai Islam dan ini langsung atau tidak berimplikasi terhadap peroolehan suara dalam Pemilu.

b. Terfragmentasikannya umat Islam

Sulit dipungkiri bahwa akibat dari rusaknya hubungan di kalangan pemimpin Islam akan membawa terfragmentasikannya umat Islam secara luas. Ini berarti kekuatan Islam telah berserakan dari satu label Islam dengan label Islam lainnya. Karena harus diakui bahwa ketokohan seseorang sebagai pemimpin umat masih dominan menjadi rujukan di sebagian besar umat Islam Indonesia. Lebih-lebih kalangan masyarakat desa yang jumlahnya lebih dari 70%.

c. Terbatasnya militansi komunitas Islam

Di Indonesia sebutan umat Islam berlaku untuk seluruh warga Negara yang berdasarkan registrasi penduduknya menyatakan diri sebagai umat Islam. Dalam kenyataannya mereka terbagi pada beberapa golongan.

(17)

Di antaranya Islam pesantren, Islam perkotaan (modernis) dan Islam abangan. Jika acuan ini menjadi rujukan, maka yang dimaksud umat Islam adalah tidak terbatas pada komunitas santri saja, sedangkan penyokong kuat partai Islam adalah komunitas santri, baik yang berbasis pada pendidikan pesantren maupun santri modernis. Padahal seringkali yang menjadi penyokong utama partai Islam itu adalah yang masuk kedua katagori ini. Sudah barang tentu jumlah kedua kelompok ini tidak terlalu besar sehingga tidak cukup alasan yang kuat untuk bisa menopang partai Islam yang jumlahnya sangat banyak jumlahnya, ditambah lagi kelompok umat Islam yang dikenal sebagai kaum abangan merasa lebih nyaman untuk bergabung dengan partai-partai di luar partai-partai Islam.

2. Pemilu 1999

Pemilu 1999 yang dilaksanakan KPU berdasarkan Keppres No.77/N/99, mendapat perhatian luar biasa di dalam dan luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga-lembaga pemantau pemili yang terlibat. Sekurang-kurangnya ada 119 lembaga di dalam negeri dan 20 organisasi asing yang

terdaftar di KPU sebagai pemantau resmi. Ditambah lagi tidak kurang dari 13 perwakilan Kedutaan Besar dan 139 orang pengamat.

Pasca pemungutan suara hasil Pemilu rencananya akan diumumkan pada tanggal 8 Juli 1999, ternyata mundur menjadi 21 Juli 1999, dan bahkan baru dapat direalisasikan tanggal 26 Juli 1999. Keputusan itupun tidak mendapat reaksi sebagaimana yang diharapkan KPU, karena 27 wakil partai di KPU menolak menandatangani berita acara hasil Pemilu. Mereka beralasan banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu. Polemic itu baru berakhir setelah dikeluarkannya Keppres No. 92 Tahun 1999 Tentang Pengasahan Penetapan keseluruhan hasil perhitungan suara Pemilu Tahun 1999 untuk DPR, DPRD I dan DPRD II secara nasional (Ulum 2002: 155).

Berdasarkan ketetapan tersebut hanya 21 dari 28 Parpol peserta Pemilu yang memperoleh kursi di DPR. Pengumpul suara terbanyak adalah PDIP dengan 35.689.073 suara atau 30,76%. Diikuti oleh Partai Golkar dengan 23.741.749 suara atau 22,46%. Menyusul PKB dengan 13.336.982 suara

(18)

atau 12,62%, kemudian PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,72% dan PAN dengan 7.528.956 suara atau 7,12%. Kelima partai peserta Pemilu tersebut merupakan partai lima besar dan berhak menjadi peserta Pemilu berikutnya tanpa verifikasi.

Adapun perolehan suara Partai-partai Islam yang mendapat kursi di DPR adalah PPP 11.329.905 suara atau 59 kursi, PKB 13.336.983 atau 51 kursi, PAN 7.528.956 atau 35 kursi, PBB 2.049.708 suara atau 13 kursi, PK 1.436.565 suara atau 6 kursi, PNU 679.179 suara atau 3 kursi, PKU 300.064 suara atau 1 kursi, PSII 375.920 suara atau 1 kursi, Partai Persatuan 551.028 suara atau 1 kursi dan PDR 427.854 suara atau 1 kursi. Partai Islam lainnya adalah PPII 1 kursi, PPIM 1 kursi, Masyumi 1 kursi.

Sejarah mencatat bahwa hasil Pemilu 1999 berbanding terbalik dengan Pemili sebelumnya di era Orde Baru, yakni tidak adanya single majority, karena memang tidak adanya kekuatan untuk menciptakan jaringan tunggal melalui birokrasi pemerintah. Jaringan yang dapat ditempuh adalah lembaga partai, itupun setiap partai tidak mampu membuat jaringan sampai pada tingkat pedesaan. Selain karena keterbatasan

dana hal tersebut juga dikarenakan alasan lemahnya sumber daya manusia yang ada. Dengan demikian, hanya partai yang secara struktur telah establish dan mempunyai dukungan masa yang riil saja yang mampu mendulang suara. Sudah dapat diduga partai yang masuk katagori ini adalah beberapat partai yang berbasis nasionalis dan Islam. Namun di laur prediksi para pengamat bahwa Golkar yang oleh sebagian besar pengamat diperkirakan akan kehilangan suaranya, tapi justru masih masuk lima besar bahkan urutan kedua setelah PDIP. Anehnya kondisi partai Islam tidak kurang parahnya dibanding pada perolehan suara pada Pemilu 1955. Dua partai Islam, yakni PAN dan PKB yang mempunyai basis masa riil dan banyak diunggulkan oleh pengamat politik akan mendapatkan suara yang besar, ternyata juga harus puas dengan 7,4% dan 11%. Menurut evaluasi kritis Suara Merdeka 15 Februari 2000, kekalahan PAN pada Pemilu 1999 disebabkan empat hal, yaitu:

(1) Keraguan warga Muhammadiyah terhadap PAN

(2) Masih banyaknya warga Muuhammadiyah yang mendapat fasilitas dari Golkar

(19)

(3) Konstituen Muhammadiyah sebagian ada yang di PDIP

(4) Model kampanye Amin Rais yang menghantam seluruh komponen Orde Baru.

Bagaimanapun kekalahan PAN sedikit banyak bertumpu kapada Muhammadiyah dan itu memang tidak salah, karena siapapun akan mengatakan bahwa pendukung inti PAN adalah Muhammadiyah. Lebih-lebih di lapangan sulit untuk memisahkan antara PAN dan Muhammadiyah. Sebab, setiap pendeklarasian PAN untuk wilayah, daerah, cabang dan ranting mayoritas digerakkan oleh orang-orang Muhammadiyah, bahkan mereka juga menjadi pengurus PAN. Tidak itu saja, fasilitas yang dimiliki Muhammadiyah pun sering digunakan oleh PAN.

Adapun kekalahan PKB agaknya selain factor-faktor eksternal, juga karena persoalan internal di kalangan Nahdliyin yang cukup pelik. Sebab sebelum bersaing dengan partai-partai lain di luar PKB, partai ini harus berhadap-hadapan dengan partai serupa di bawah lingkup Nahdliyin. Setidaknya ada empat partai politik yang meletakkan paham keagamaan aswaja sebagai rujukannya dalam berpolitik,

yaitu PKB sendiri, Partai SUNI, PNU, dan PKU. Hal ini menggambarkan konflik internal dalam tubuh NU yang tidak dapat dihindari. Agaknya factor kepantingan terlalu mendominasi terhadap pendirian partai baru tersebut. Memang basis sosiologis suatu partai adalah ideology dan kepentingan yang diarahkan untuk usaha memperoleh kekuasaan (Sobron 2003: 152).

Selain faktor kepentingan, menurut Yusuf Hasyim banyak tokoh NU yang tidak puas dengan berdirinya PKB, karena:

(1) Proses pembentukan PKB yang terkesan kurang mengakomodasi semua kepentingan warga NU (2) Visi Politik PKB yang menyatakan

akan berkualisi dengan PDIP sulit dipahami oleh sebagian warga NU (3) Penunjukan pengurus, terutama

ketua umum dinilai tidak melalui proses yang demokratis

Apapun alasannya merujuk pada hasil perolehan Pemilu 1999, partai-partai Islam telah gagal total meraih kemenangan. Kendatipun mereka telah menggunakan symbol-simbol dan isu-isu agama, baik dalam program, kampanye, maupun jargon-jargonnya.

(20)

Bahkan partai Islam disinyalir kuat juga tidak mampu menarik masa pemilih yang nota benenya adalah umat Islam sendiri. Yang memperoleh suara terbanyak juustru partai-partai yang secara iideologis bukan partai agama, tetapi bukan pula partai yang secara eksplisit sekuler (PDIP dan Golkar).

Kuntowijoyo (Sobron 2003: 150) mengemukakan enam alasan mengapa partai Islam selalu kalah sehingga ia tidak berpretensi untuk mendirikan parpol Islam, yaitu:

(1) Terhentinya mobilitas sosial (2) Disintegrasi umat

(3) Umat menjadi miopis (4) Persoalan kemiskinan (5) Alienasi generasi muda (6) Runtuhnya proleferasi

Di sisi lain tidak ada jaminan bahwa partai politik yang bersimbolkan agama akan menjadi daya tarik bagi umat Islam sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keberagamaan seseorang dengan pilihan terhadap partai politik yang berasaskan Islam. Sebagai buktinya umat Islam di Indonesia jumlahnya mayooritas (sekitar 87,2%) tetapi sejak Orde Lama (1955), enam kali Pemilu Orde Baru

(1971-1997) dan era Reformasi (1999), tidak ada partai Islam yang menempatkan diri pada posisi pertama. Seperti diketahui pada Pemilu 1955 PNI keluar menjadi pemenangnya, Pemilu 1971-1997 Golkar tidak terkalahkan dan pada Pemilu 1999 PDIP unggul dari partai-partai yang lain.

Khusus Pemilu 1999, dari 20 partai Islam yang ikut Pemilu terdapat 12 partai yang mendapatkan kursi di Parlemen, dengan total 174 kursi atau 37,7%. Ini memperlihatkan bahwa sekalipun partai Islam bersatu, maka perolehan suara dan kursinya hanya terpaut 4% dari PDIP yang mendapatkan 33,1%. Berdasarkan angka ini, jelas bahwa suara yang diperoleh partai Islam belum dapat dijadikan jaminan untuk memimpin Negara. Karena itu, seolah hanyalah mimpi di siang bolong kalau umat Islam ingin menang Pemilu, sementara mereka tidak mau bersatu. Dengan demikian kita dapat membenarkan pandangan Kuntowijoyo bahwa munculnya banyak partai yang berlabel Islam justru hanya akan terjadi proliferasi tokoh Islam.

(21)

D. Kesimpulan

Secara kultural lahirnya partai Islam baik pada masa orde Lama Naupun era Revormasi merupakan suatu keniscayaan. Hal ini selain didasari oleh faktor sosiologis yang ditandai dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, juga karena adanya pemahaman disebagian umat Islam bahwa persoalan politik pun tidak terlepas dari ajaran Islam. Dengan demikian, baik dukungan potensial umat maupun pijakan tafsir teologis memberikan ruang bagi unat Islam untuk berpartisipasi dan terlibat aktif mengelola Negara yang diwujudkan melalui instrument partai.

Pemilu 1955 menjadi ajang bagi umat Islam Indonesia untuk mengartikulasikan saluran politiknya. Parpol Islam yang tercatat sebagai peserta pemilu 1955 adalah Masyumi, NU, PSII, Perti dan PPTI. Dalam pemilu ini dua partai Islam masuk menjadi empat besar yakni Masyumi dengan 7.903.886 suara atau 20,9% dan NU dengan 6.955. 141 suara atau 18,4%. Secara keseluruhan seluruh partai Islam pada pemilu nini memperoleh suara 45,2%. Secara khusus, NU layak bernafas lega karena sebagai partai NU hanya

meiliki persiapan yang lebih singkat dibanding partai lain. Disamping terganggunya komunikasi politik dengan Masyumi yang menyebabkannya keluar dari partai tersebut. Namun begitu NU justru memperoleh suara yang cukup signifikan yakni terpaut 948.745 suara atau sekitar 2,5 % dengan suara Masyumi.

Lahirnya era Reformasi membuka keran kebebasan umat Islam Indonesia pada khususnya untuk mendirikan partai. Perbedaan visi, oerientasi dan kepentingan diantara factor lahirnya banyak partai Islam di era ini. Disampin lahir partai-partai baru, antara lain PAN, Partai Abul Yatama, Partai Keadilan dan lain-lain, juga terdapat semacam reingkarnasi partai-partai Islam 1955 pada pemilu 1999. Jumlah partai politik Islam pada pemilu 1999 adalah 20 partai, yakni PIB, Partai KAMI, PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PAY, PAN, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU, PID, PP, PKB, PCD, Partai SUNI dan PUNI. Berdasarkan perhitungan suara partai Islam yang masuk delapan besar adalah PPP 58 Kursi atau 12,6%, PKB 51 Kursi atau 11%, PAN 34 kursi atau 7,4 %, PBB 13 Kursi atau 2,9 %, PK 7 kursi atau 1,5 % dan PNU 5 kursi atau 1,1 %. Secara

(22)

keseluruhan perolehan suara partai Islam pada era Reformasi ini adalah 37,7%. Berbeda menyolok dengan perolehan suara partai Islam pada pemilu 1955 dan 1999 itu, selain karena besarnya jumlah partai Islam juga terpolarisasinya elit pemimpin Islam ke partai-partai yang ada. Disamping idialisme pemimpin partai Islam yang mengalami pergeseran dibanding pada pemilu pada 1955.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif:

Agar Umat Tidak Jadi Buih. Mizan

Bachtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara:

Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta:

Paramadina, 1998.

Daniel Dhakidae. 1981. Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik,” Prisma, No. 9 (September 1981).

Hasyim Wahid. 1999. Telikung Kapitalisme

Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Jakarta: LKiS.

Jose Casanove. 1994. Public Religion in the

Modern World, Chicago: The University of Chicago Press.

Kenichi Ohmae. 1996. The End of the Nation

State: The Rise of Regional Economies,

London: Harper Collin Publ.

Majalah D & R, No. 47/XXIX/Juli 1998, h. 19. Malik Haramain dan MF. Minhuda Y. 2000

Mengawal Transisi: Refleksi atas Pemntauan Pemilu “99, Jakarta: UNDP

& JAMPPI.

Miriam Budiardjo, 1985. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Mohtar Mas’oed dan Collin Mc Andrews (eds). 1993. Perbandingan Sistem

Politik, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Noer, Deliear. 1987. Partai Islam di pentas nasional, 1945-1965. the University of California : Grafitipers.

Peter Bachrach. 1980. The Teory of

Demeocratic Elitism: A Critique,

Lanhma, New York, London: University Press of America.

Riswandha Imawan, et. al. 1993. Fungsi

Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press dan

AIPI.

Soedjatmoko. 1956. “The Role of Political Parties in Indonesia,” dalam Philip W. Thayer (ed.), Nationalism and Progress

in Free Asia, Baltimore: The John

Hopkins Press.

Ulum, Bahrul. 2002. Bodohnya NU apa NU Dibodohi: Menguji Khittah, Meneropong Pergeseran Paradigma Politik. Yogyakarta : Ar Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah,

Vandana Shiva. 1989. Bebas dari Pembangunan, Francis Fukuyama,

“The End of History?” dalam The

National Interest, no. 18.

William Liddle. 1994. Pemilu-Pemilu Orde

Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik,

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Pemasangan Dynamic Voltage Restorer dapat memperbaiki kedip tegangan yang terjadi pada saat starting motor induksi tiga fasa. Ketika melakukan starting motor

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif dan verifikatif. Teknik analisis deskriptif yaitu untuk variabel yang bersifat kualitatif, dan

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

Menurut perbandingan saat ini dan didasarkan pada prinsip-prinsip dari algoritma algoritma dan non metode (dijelaskan dalam bagian sebelumnya); untuk menggunakan

Sebagian besar responden (62,5%) menyatakan faktor pendorong terhadap perilaku pemberi pelayanan berupa sikap dan perilaku petugas lain dalam kategori cukup baik,

Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov- Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Unstandardized

〔下級審民訴事例研究 六〕 一 株式会社の負担する債務の担保として