• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi

Psikologi

Psikologi

Psikologi

Konseling

Konseling

Konseling

Konseling

Psikologi Konseling

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Psikologi

0

0

0

04

4

4

4

61033 Agustini, M.Psi., Psikolog

Abstract

Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan

didiskusikan mengenai Ketrampilan Dasar Konseling: Empati dan

Attending.

Mampu memahami Ketrampilan Dasar Konseling: Menjalin rapport, bahasa tubuh, kalimat empatik.

(2)

Pendahuluan

Proses konseling dimulai dengan sesi awal. Levine (1983) menjelaskan bahwa otoritas dalam profesi ini melihat bahwa tujuan konseling berubah dari waktu ke waktu dan berubah sesuai dengan keakraban dan keefektifan hubungan koseling. Seberapa banyak perubahan terjadi atau apakan akan ada sesi kedua biasanya ditentukan oleh hasil dari sesi pertama. Pada sesi pertama, baik klien maupun konselor bekerja untuk menentukan apakah ingin atau dapat melanjutkan hubungan tersebut. Konselor harus dengan cepat menilai apakah ia dapat menghadapi dan menangani permasalahan klien dengan cara yang jujur, terbuka, dan konfrontatif (Okun & Kantrowitz, 2008). Bagaimanapun juga, klien harus menanyakan pada diri sendiri apakah ia merasa nyaman dan dapat mempercayai konselornya sebelum dapat memberikan dirinya secara utuh ke dalam hubungan konseling.

Menjalin

Rapport

Tidak ada tempat khusus untuk melakukan wawancara pertama, namun para ahli menyarankan agar konselor memulainya dengan membuat klien merasa nyaman (Cormier & Hackney, 2008). Konselor memulainya harus mengesampingkan agendanya sendiri dan memusatkan diri pada klien termasuk mendengarkan kisah klien dan memaparkan masalah (Myers, 1997). Perilaku semacam ini dimana ada ketertarikan yang tulus dan penerimaan terhadap klien disebut sebagai rapport (ikatan).

Ivey (2007) mengatakan bahwa dua keahlian mikro yang paling penting untuk membangun ikatan adalah tingkah laku dasar ramah kepada klien dan keahlian mengamati klien. Seorang konselor harus memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan kliennya serta bagaimana berperilaku. Dalam proses ini kepekaan konselor terhadap yang diucapkan oleh klien dapat membantu memahami cara pandang klien yang unik dan pada saat yang bersamaan memberi kontribusi pada perkembangan kesamaan kata dan ikatan kolaboratif antara klien dan konselor (Lyddon, et al., 2001). Mengajak klien untuk fokus pada alasan mencari bantuan adalah salah satu cara konselor memulai suatu ikatan. Ajakan secara tidak langsung untuk berbicara ini disebut pembuka dan berlawanan dengan tanggapan yang bersifat menghakimi atau evaluatif yang dikenal juga sebagai penutup (Bolton, 1979).

Rapport ditandai dengan ucapan basa basi seperti: Apa kabar? Tahap ini diikuti dengan rencana yang akan dilakukan terhadap klien, serta membawa klien merasa nyaman menghadapi konselor. Penting menerangkan tujuan dari wawancara dan apa yang konselor bisa dan tidak bisa dilakukan.

(3)

Bahasa Tubuh (Tingkah Laku Nonverbal)

Dalam konseling, konselor berhadapan dan bertatap muka secara langsung dengan klien dan kegiatan selanjutnya tergantung bagaimana corak dan bentuk komunikasi tercipta. Komunikasi secara verbal melalui wawancara telah diuraikan tetapi ternyata ada komunikasi dalam bentuk lain yakni komunikasi nonverbal yang juga memegang peranan penting dalam kegiatan konseling. Ivy et al., (1987) mengemukakan bahwa pada mulanya dalam konseling hanya terjadi komunikasi verbal tetapi dengan dipakainya video dan film untuk latihan wawancara, ternyata komunikasi nonverbal menjadi dasar penting pada setiap kali melakukan wawancara maupun konseling.

Komunikasi nonverbal ternyata banyak pegaruhnya terhadap kegagalan atau keberhasilan konseling dan banyak dibicarakan sebagai topik yang penting. Stewart (1986) mengakui pentingnya komunikasi nonverbal dan mengingatkan bahwa interkasi antara konselor dan klien seringkali tergantung pada komunikasi nonverbal diantara keduanya. 1. Perilaku Komunikasi Nonverbal dengan Menggunakan Waktu

Sikap seseorang dalam mempergunakan waktu, apakah tepat atau terlambat berhubungan dengan kehadiran seseorang atau sebagai reaksi terhadap cara berkomunikasinya. Demikian pula cara seseorang mempergunakan sejumlah waktu untuk berkomunikasi dengan orang lain menunjukkan ada arti tersendiri dibelakangnya.

2. Perilaku Komunikasi Nonverbal dengan Menggunakan Lingkungan a. Menjauh kalau seseorang mendekat atau sebaliknya, mengambil inisiatif dalam gerakan mendekat atau menjauh, jarak berangsur-angsur bertambah jauh atau sebaliknya.

b. Pengaturan lingkungan fisik: rapi, teratur dan tersusun baik atau sebaliknya acak- acakan dan tidak teratur dan tidak tersusun dengan baik, warna cerah atau tenang, mewah atau sederhana, menarik atau tidak.

c. Pakaian: meriah atau sederhana, mengikuti mode atau tidak.

d. Posisi dalam ruangan: terlindungi oleh pengaturan posisi meja dan kursi dari orang lain atau terbuka dan berhadapan langsung dengan orang lain tanpa terhalang alat-

(4)

mendekat atau menjauh dari tempat orang lain berada.

Perilaku nonverbal ini harus dianggap sebagai petunjuk adanya sesuatu yang mendasari perilaku sebagaimana perilaku biasa yang punya latar belakang dan sebab-sebab yang mendorong dan menimbulkan perilaku pada seseorang. Kehangatan seseorang atau sebaliknya sikap dingin dapat dikomunikasikan sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, segera nonverbal melalui macam-macam perubahan fisik, karena itu konselor perlu memperhatikan hal ini. Johnson (1972) mengindentifikasikan ciri-ciri nonverbal sebagai sarana komunikasi yaitu:

1. Nada suara lemah lembut berarti ada kehangatan dan sebaliknya nada suara keras tandanya bersikap dingin.

2. Senyuman dan menaruh perhatian sebagai tanda adanya sikap hangat, sebaliknya wajah yang berkerut dan tidak menaruh minat adalah tanda dari sikap dingin.

3. Anggukan kepala atau badan, rileks, sebagai tanda kehangatan dan gerakan menjauh, tegang, sikap sebaliknya.

4. Tatapan mata secara langsung sebagai tanda adanya kehangatan dan sebaliknya adalah mengelak bertatapan muka.

5. Sentuhan halus adalah tanda adanya sikap hangat dan sebaliknya dengan mengelak sentuhan.

6. Gerakan tubuh dengan aba-aba terbuka dan menyambut, mengandung arti senang dan hangat, sebaliknya gerakan-gerakan tubuh yang ditandai oleh aba-aba mempertahankan diri dan ingin menjauh adalah tanda dari adanya sikap dingin.

7. Gerakan yang mempersempit jarak adalah tanda bersikap hangat, sebaliknya yaitu memperbesar jarak sebagai tada dari sikap dingin.

Tingkah laku verbal memasukkan unsur komunikasi yang menunjukkan suatu keinginan untuk memahami atau membahas apa yang penting bagi klien (Cormier, 1998). Tingkah laku ini (termasuk meminta klarifikasi, pernyataan ulang, dan menyimpulkan perasaan) menandakan bahwa konselor terfokus pada diri pribadi klien. Tingkah laku nonverbal konselor juga tidak kalah pentingnya. Menurut Mehrabian (1970), perilaku perhatian fisik seperti tersenyum, menyandarkan badan, membuat kontak mata, melambai, dan menganggukkan kepala adalah cara nonverbal yang efektif untuk meyakinkan klien bahwa konselor tertarik dan terbuka terhadap klien.

(5)

Egan (2007) menyimpulkan lima keahlian nonverbal yang terlibat dalam perhatian awal. Kelima keahlian tersebut disingkat SOLER. S (square) mengingatkan konselor untuk menghadapi klien secara langsung yang dapat diartikan tergantung pada situasi. Yang penting konselor menunjukkan keterlibatan dan ketertarikannya kepada klien. O (open) mengingatkan konselor untuk menggunakan postur tubuh terbuka, tidak menyilangkan tangan dan kaki dan tidak menunjukkan sikap defensif. L (lean) mengingatkan konselor untuk menyandarkan badan ke arah klien. Namun, menyandarkan badan terlalu jauh ke depan dan terlalu dekat malah akan membuat takut klien, sementara menyandarkan badan terlalu jauh menunjukkan rasa tidak tertarik. Konselor harus mencari jarak yang nyaman bagi kedua belah pihak. E (eye) mewakili kontak mata. Untuk sebagian besar klien, kontak mata yang intens adalah suatu pertanda bahwa konselor terfokus pada kliennya. Sementara beberapa klien lain lebih menyukai sedikit kontak mata (atau bahkan tanpa kontak mata). R (relax) mengingatkan konselor untuk rileks. Konselor harus merasa nyaman.

Okun dan Kantrowitz (2008) membuat daftar dari tingkah laku verbal dan nonverbal yang sering dipertunjukkan konselor selama konseling.

Verbal Nonverbal

Menggunakan kata-kata yang dipahami Nada bicara sama dengan klien Mengintepretasikan secara tepat Menganggukkan kepala sewajarnya Tanggapan terhadap kesan utama Senyum sewajarnya

Penggunaan verbal (contoh: "Mm-mm, Ooh, ya")

Lambaian tangan

Memanggil peminta bantuan dengan nama pertama atau "Anda"

Kedekatan fisik dengan klien

Menjawab pertanyaan tentang diri sendiri Frekuensi berbicara yang cukup Memberi informasi dengan tepat Menyadarkan badan sewajarnya Melucu untuk mengurangi ketegangan Santai, postur tubuh terbuka Tidak menghakimi dan menghormati Nada bicara yang meyakinkan

(6)

Attending Behavior

Perilaku nonverbal juga diperlihatkan oleh konselor dan mempengaruhi keseluruhan kegiatan konseling. Kehadiran konselor secara fisik yang berpengaruh terhadap klien dalam kegiatan konseling disebut attending behavior. Menurut Egan (1975) yang dikutup dalam George & Cristiani (1981), faktor-faktor dalam attending behavior adalah:

1. Kontak mata: Kontak mata dengan klien harus sewajar mungkin dan dipertahankan sebaik-baiknya.

2. Sikap tubuh: Menunjukkan ada perhatian melibatkan diri dalam percakapan dan masalah pada klien. Jangan menyilangkan kaki atau melipatkan kedua lengan yang menandakan konselor kurang perhatian meneruskan interaksinya dengan klien.

3. Menghadapi klien dengan tulus hati: Ditandai oleh keadaan ruangan yang memungkinkan konselor bertatap muka langsung dengan klien tanpa ada meja yang menghalangi.

4. Sedikit membungkukkan badan ke depan: Ketepatan dalam memperlihatkan sikap tubuh adalah petunjuk penting bagi klien akan keterlibatan dalam konseling.

5. Perlihatkan posisi yang wajar dan tenang: Pada umumnya klien memasuki ruangan dengan tegang dan cemas, oleh karena itu konselor bersikap wajar dan tenang.

Mengenai attending behavior dan pentingnya dalam konseling, Ivey et al., (1987) mengemukakan ada empat faktor yang penting diketahui para konselor yakni:

1. Kontak mata 2. Bahasa tubuh 3. Intonasi suara 4. Susunan kata

Empati

Rogers (1961) menggambarkan empati sebagai kemampuan konselor untuk masuk ke dalam dunia fenomenal klien, untuk merasakan dunia klien seperti layaknya dunianya sendiri tanpa kehilangan kualitasnya. Empati melibatkan dua keahlian spesifik: persepsi dan komunikasi (Welfel & Patterson, 2005).

(7)

Seorang Konselor yang efektif menyadari kerangka kultural yang menjadi acuan tindakan kliennya termasuk proses persepsi dan kognitifnya (Weinrach, 1987). Sensifitas semacam ini jika menjembatani kesenjangan budaya antara konselor dan klien dikenal sebagai empati sensitif berdasarkan budaya dan merupakan sebuah kualitas yang dapat ditumbuhkan oleh konselor (Chung & Bemak, 2002). Bagaimanapun juga seorang konselor dapat mempersepsikan secara tepat bagaimana rasanya menjadi klien namun tidak dapat mengungkapkan pengalaman tersebut adalah seorang konselor yang kurang cakap. Konselor semacam itu dapat memahami dinamika kliennya, namun tidak seorangpun termasuk klien mengetahui kesadaran konselor. Kemampuan berkomunikasi jelas memainkan peranan yang penting dalam setiap hubungan konseling (Okun & Kantrowitz, 2008).

Pada wawancara awal, konselor harus dapat mengkomunikasikan empati primer (Welfel & Patterson, 2005). Empati primer adalah kemampuan untuk menanggapi klien dalam suatu cara yang menampakkan dengan jelas bagi klien maupun konselor sendiri, bahwa konselor memahami tema utama yang dikemukakan kliennya. Empati primer ditunjukkan melalui komunikasi nonverbal dan berbagai tanggapan verbal lainnya. Contohnya: konselor, membungkuk ke depan, dengan suara halus dan jelas, mengatakan kepada kepada klien, "Saya dengar hidup Anda banyak mengalami kegagalan." Empati lanjut adalah proses membantu klien untuk mengekspresikan tema, permasalahan, dan emosi yang baru bagi dirinya (Welfel & Patterson, 2005). Tingkatan kedua dari empati ini biasanya tidak tepat untuk wawancara awal karena di saat masih terlalu dini ini materi yang diamati sudah terlalu banyak. Klien harus siap mengalami kemajuan pada proses konseling agar dapat mengambil manfaatnya.

Untuk memahami empati bisa diperoleh dari beberapa pendekatan atau dalam perannya dalam hubungan antar pribadi, selain perannya dalam kegiatan untuk mempengaruhi atau mengubah orang lain melalui konseling yang sifatnya berorientasi klinis. Kalau diartikan secara harfiah bahwa dengan berempati, seseorang masuk ke dalam diri orang lain dan menjadi orang lain agar bisa merasakan dan menghayati orang lain, maka timbul penilaian bahwa orang tersebut mustahil bisa melakukan tersebut (berempati dengan pengertian tersebut diatas) tanpa ia melepaskan diri dari dirinya sendiri, dari akunya yang unik sehingga terdapat suatu aku yang ada dan aku yang keluar dan menjadi orang lain.

Di lain pihak, banyak pula pendapat yang mengatakan bahwa dengan melakukan empati terhadap orang lain, seseorang dimungkinkan untuk bisa memahami orang lain karena seseorang masuk dan menjadi sama dengan orang lain sehingga empati justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi

(8)

orang lain. Dengan berempati terhadap orang lain seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati sebagai orang lain termasuk bagaimana seseorag mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya. Merasakan dan menghayati sebagai orang lain bukan sekedar ikut atau bisa merasakan, apakah itu kesedihan atau kegembiraan (simpati karena ia berdiri diluar orang lain), namun benar-benar menjadi orang lain dan seperasaan dengan orang lain. Orang bisa merasakan dan menghayati benar-benar orang lain yang sedang dirundung kemalangan, namun orang juga bisa memperlihatkan perasaan sedih (bersimpati), misalnya pada waktu mengunjungi orang sakit atau melayat pada suatu perkabungan dan tetap memisahkan diri tanpa penghayatan atau seperasaan sebagai atau dengan orang lain yang dikunjungi.

Ketrampilan Mendengarkan

Aktivitas sebagai pendengar dalam konseling tergantung dari teknik apa yang dipakai. Konselor sebagai pendengar yang baik sering harus memakai seni tersendiri untuk mampu mendengarkan sehingga muncul istilah the art of listening. Mendengarkan mempunyai banyak arti karena dihubungkan dengan mimik atau gerakan tubuh yang bisa mengandung arti tertentu. Ada teknik yang pasti sehingga konselor lebih banyak mendengarkan dan hanya pada saat-saat yang diperlukan dan dengan reaksi yang tepat melakukan sesuatu yang lebih aktif. Misalnya: pada teknik non directive. Namun ada pula yang menuntut konselor lebih aktif. Misal pada teknik direkstive.

Betapa pentingnya kemampuan bertindak sebagai pendengar yang baik dalam proses konseling, ditekankan pula oleh (Powell, 1981) bahwa konselor harus mengembangkan ketrampilan mendengarkan. Peribahasa mengatakan bahwa alam memberi kita dua telinga dan satu lidah untuk mensimbolkan bahwa kita harus lebih banyak medengarkan daripada berbicara. Ada pula peribahasa yang mengatakan bahwa dalam mendengarkan kita menggunakan dua telinga, satu untuk mengartikan sesuatu dan satu lagi untuk merasakan. Mengenai ini Carl Rogers (1980) memberi komentar bahwa kita mengira bahwa kita mendengarkan tetapi jarang sekali kita mendengarkan dengan benar-benar mengerti dengan benar-benar berempati.

Ketrampilan mendengarkan secara efektif memerlukan pegangan-pegangan dan Keith Davis (1977) memberikan sepuluh pegangan sebagai berikut:

1. Berhenti bicara. Anda tidak bisa mendengar kalau Anda bicara.

2. Biarkan si pembicara berbicara dengan nyaman. Bantu agar ia merasa bebas untuk berbicara.

(9)

3. Tunjukkan kepada pembicara bahwa Anda ingin mendengarkan. Mendengarkan untuk mengerti dan bukan mendengarkan untuk menentang.

4. Singkirkanlah hal-hal yang bisa mengganggu. Misal: catatan yang berantakan, kertas- kertas, dan buku-buku yang tidak perlu.

5. Melakukan empati dengan pembicara. Berusaha memahami orang lain dari sudut pandangnya.

6. Bersabarlah. Merasa cukup banyak waktu dan jangan memotong pembicaraan. 7. Kuasai emosi. Kemarahan akan menimbulkan kekeliruan dalam menginterpretasikan sesuatu perkataan.

8. Tenanglah dalam beragumentasi dan menerima kritik.

9. Ajukan pertanyaan untuk menunjukkan bahwa Anda mengikuti dan mendengarkan. 10. Berhenti bicara.

Selama konselor mendengarkan klien, selama itu konselor bisa melakukan penilaian, melakukan pengamatan terhadap perilaku dan perubahannya, menentukan apakah masih akan menanyakan lagi dan apa yang akan ditanyakan atau komentar yang akan diberikan dan langkah-langkah lain yang akan dilakukan terhadao klien dalam rangka tujuan konseling yang diinginkan. Seni mendengarkan karena itu jauh dari kegiatan sederhana dan menuntut latihan yang cukup (Garfield, 1989). Ia lebih lanjut mengatakan selama mendengarkan, terapis menilai perasaan-perasaan klien, mengamati perilakunya, memutuskan apakah akan menanyakan atau menunda pertanyaan, memikirkan komentar dan sugesti yang akan diberikan bahkan bisa mengubah inti dari interksinya.

(10)

Daftar Pustaka

Gladding, Samuel T. (2014). Counseling: A Comprehensive Profession 7 th

edition.California. Pearson International.

Referensi

Dokumen terkait

Konselor perlu melakukan konsultasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak institusi di luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk

Harapan saya agar kontribusi HIMPSI melalui buku ini dapat membantu berbagai pihak seperti pemerintah, para pendidik, para orang tua, dan semuanya untuk (1) melakukan

Mahasiswa memahami berbaga intervensi yang ada di dalam konseling serta dapat menentukan intervensi yang tepat untuk kliennya.. Mampu menentukan intervensi yang tepat sesuai

Di sini konselor minta izin dahulu kepada orang tuanya untuk melakukan observasi dan wawancara dengan klin untuk memahami masalahnya secara mendalam. Juga dilakukan

Setiap individu akan mengevaluasi pengalaman untuk kemudian menerima atau menolak, bukan karena pengalaman tersebut berkontribusi kecenderungan aktualisasi atau

Dalam bukunya Rakhmat (2005) mengemukakan bahwa empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita, sebagai keadaan ketika

KONSELING Rogers lesmana, 2005 dalam lubis, 2011 menyatakan bahwa konseling sebagai hubungan membantu dimana salah satu pihak konselor bertujuan untuk meningatkan kemampuan dan fungsi

ANALISIS INSTRUKSIONAL MATA KULIAH PSIKOLOGI KONSELING Mahasiswa mampu memahami pengantar konseling, sejarah konseling sebagai profesi, kompetensi dasar, fungsi-fungsi konseling,