• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM IKET SUNDA DI WILAYAH PARAHYANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN UMUM IKET SUNDA DI WILAYAH PARAHYANGAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM IKET SUNDA DI WILAYAH PARAHYANGAN

3.1 Pengertian Iket Sunda

Iket merupakan jenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari kain dan dipakai dengan teknik tertentu seperti dilipat, dilipit, dan disimpulkan sebagai pengikat akhir. Iket dipakai oleh pria dari berbagai kalangan baik ulama, penghulu, pegawai pemerintahan, masyarakat golongan bawah, mulai dari anak usia sekolah sampai orang tua, dan juga bangsawan.

Iket disebut juga totopong yang terbuat dari kain atau boéh atau mori. Totopong merupakan bentuk iket yang lebih rapi. Dulu boéh diartikan kain. Ada yang disebut boéh alus (kain halus), boéh siang (kain merah) dan boéh larang atau kain yang mengandung kekuatan. Sekarang kata boéh berarti kain putih, yang menurut kamus Umum Basa Sunda (1980:61) boéh nyaeta lawon bodas tina kapas (boéh adalah kain putih dari kapas). Kain yang lebih halus dari boéh disebut kaci. Kata boéh sekarang ini mengalami penyempitan makna menjadi kain putih yang dipakai untuk membungkus mayit atau mayat atau yang dikenal dengan kain kafan. Kain untuk iket Sunda selain menggunakan batik, pada jaman dahulu sebelum mengenal batik menggunakan kain polos yang disebut hideungan (kain berwarna hitam) yang dikenal dengan nama Sandelin. Kain ini dapat pula dipakai untuk celana panjang, kamprét, dan calana pangsi.

Selain iket, masyarakat Sunda juga mengenal tutup kepala yang lain yang terbuat dari kain dengan teknik tertentu yaitu teregos dan igal. Teregos merupakan tutup kepala yang terbuat dari kain seperti tutup kepala yang dipakai pada busana orang Arab dan orang India, sedangkan igal merupakan ikat kepala atau alat untuk memperkuat kedudukan sorban. Igal dibuat dari benang sutera atau dari jenis benang lain.

(2)

Gambar III. 1 Teregos dan igal yang dipakai oleh orang Arab (Sumber: http://images.geogle.co.id/images)

Gambar III. 2 Teregos yang umumnya dipakai oleh masyarakat Sunda, dibentuk dari samping sarung (kain sarung) yang menyerupai cadar

(Sumber: Dok. 2006)

Iket Sunda merupakan salah satu jenis tutup kepala dari kain yang memiliki bentuk tertentu. Iket Sunda dipakai pria Sunda di wilayah Parahyangan, dari kalangan masyarakat tingkat bawah atau pakuringan sebagai pelengkap berbusana sehari-hari.

Igal

(3)

3.2 Sejarah Iket Sunda

Tutup kepala atau pun semua benda yang digunakan di kepala (headgear) merupakan perlengkapan busana, karena itu perkembangannya pun sejalan dengan perkembangan bidang busana. Seiring dengan fungsi busana, pada mulanya tutup kepala dikenakan untuk melindungi kepala dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Kebiasaan memakai tutup kepala telah berlangsung lama. Pada masa prasejarah orang memanfaatkan tumbuhan berdaun lebar yang tumbuh di sekitarnya untuk menutup kepala. Saat manusia menggunakan kulit kayu sebagai bahan pembuatan busana, tutup kepala dibuat pula dari bahan yang sama dengan cara disambung-sambungkan.

Meningkatnya pengetahuan manusia menumbuhkan pola hidup berbudaya dan beradab. Pola hidup berbudaya dan beradab tersebut salah satunya tampak pada penggunaan busana. Menurut Arifah (2003:173-182) penggunaan busana terdorong oleh pemenuhan kebutuhan religi, budaya, kebersamaan, mode, urusan dan alam. Demikian pula dengan pemakaian tutup kepala diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut sehingga melahirkan beraneka ragam tutup kepala baik bentuk maupun bahannya. Sementara itu hiasan pada kepala dipakai berhubungan dengan munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang ditandai dengan pemakaian hiasan pada kepalanya yang dapat dibuat dari bulu burung, kulit binatang, atau tumbuhan.

Pengetahuan manusia di bidang teknologi menghasilkan kain yang dapat digunakan sebagai pelengkap berbusana dengan cara diikatkan pada kepala. Penggunaan tutup kepala yang dikaitkan dengan nilai adat istiadat atau pandangan hidup biasanya memiliki arti dan perlambang. Arti dan perlambang dalam tata busana ada sehubungan dengan hadirnya lembaga pemerintah maupun pranata sosial bersamaan dengan munculnya kerajaan pada masa Hindu-Budha, Islam, maupun pemerintahan Kolonial. Pada masa itu lahir bentuk-bentuk tutup kepala yang dapat membedakan kedudukan sosial seseorang. Selain bentuknya, perbedaan-perbedaan tampak dari bahan serta ragam hiasan yang disertakannya.

(4)

Pada mulanya tutup kepala dan perhiasannya dipakai untuk melindungi salah satu organ tubuh yang penting yakni kepala. Seperti kita ketahui bahwa kepala merupakan organ penting yang di dalamnya berisi otak yang berfungsi untuk memerintah organ-organ lain saat melaksanakan berbagai aktivitas. Otak pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Masyarakat Sunda mengenal kepala dengan sebutan mastaka, sirah atau hulu. Kepala dipandangnya bukan saja penting tetapi juga dihormati. Pandangan masyarakat terhadap pentingnya atau terhormatnya kata kepala, tersurat dalam berbagai sebutan. Seperti ungkapan maupun paribasa atau babasan (peribahasa) dalam bahasa Sunda yang menyebutkan kepala sebagai sumber utama, yaitu: a. Ungkapan atau paribasa atau babasan (peribahasa) yang menggunakan kata

mastaka:

1) Mastaka masjid : mastaka = kepala

masjid = masigit = mesjid

Mastaka masjid berarti puncak mesjid 2) Mastaka raja : mastaka = kepala

raja = raja

Mastaka raja berarti mahkota atau tiara

b. Ungkapan atau paribasa atau babasan (peribahasa) yang menggunakan kata sirah:

1) asa dicoo sirah : asa = perasaan hati atau merasa

dicoo = mempermainkan sesuatu karena senang atau menyukai

sirah = kepala

asa dicoo sirah berarti merasa dihina atau dipermainkan

2) sirah walungan : sirah = kepala

walungan = jalan air yang terjadi dengan sendirinya

sirah walungan berarti tempat keluarnya sumber air yang airnya nanti menjadi air sungai alami bukan sungai buatan

(5)

c. Ungkapan atau paribasa atau babasan (peribahasa) yang menggunakan kata hulu:

1) gedé hulu : gedé = besar hulu = kepala

gedé hulu berarti besar kepala atau sombong 2) hulu wotan : hulu = kepala

wotan = sumber pokok

hulu wotan berarti tempat keluarnya air dari sumbernya

3) panghulu : panghulu = penghulu

panghulu berarti kepala agama 4) hulu balang : hulu = kepala

balang = melempar

hulu balang berarti orang yang bertugas menjauhkan bahaya atau dalam arti khusus sebagai prajurit pengawal raja

5) nepi ka nyanghulu ngalér

: nepi ka = sampai pada

nyanghulu = tidur terlentang dan menempatkan kepala pada posisi yang nyaman

ngaler = menghadap atau menuju ke utara nepi ka nyanghulu ngalér berarti sampai pada posisi tidur terlentang dengan kepala menghadap ke utara atau sampai meninggal

Kepala dapat pula menunjukkan jumlah manusia, dengan demikian menghitung manusia dapat dilakukan berdasarkan jumlah kepalanya bukan organ tubuh lainnya. Begitu pula dalam menghormati orang lain, organ kepala tidak mungkin dipegang orang lain. Sehubungan dengan pentingnya kepala sebagai organ tubuh, manusia berupaya melindunginya agar selalu terjaga kesehatannya. Ada dua hal yang berpengaruh terhadap kesehatan kepala yaitu cuaca dan benturan keras. Berbagai cara dilakukan manusia untuk mendapatkan dan membuat pelindung kepala terutama dari teriknya panas matahari dan guyuran air hujan.

Untuk dapat mengetahui waktu permulaan tutup kepala digunakan manusia diperlukan bukti sejarah yang dapat mengungkapkan semuanya. Tutup kepala diperkirakan muncul pada saat manusia membutuhkan sesuatu untuk melindungi tubuhnya terutama kepala. Untuk mendapatkan pelindung kepala, manusia

(6)

memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di sekitarnya, seperti tumbuh-tumbuhan yang berdaun lebar yaitu daun keladi dan daun pisang. Tanpa melalui proses pembuatan karena sifatnya yang mudah rusak, daun-daun tersebut dapat langsung dimanfaatkan sebagai pelindung.

Perkembangan berikutnya, pelindung kepala dibuat dari bahan-bahan alam antara lain dari kulit bambu. Beberapa lembar potongan kulit bambu disambungkan dan bentuknya bundar sehingga dapat menutupi bagian kepala. Benda semacam ini disebut dudukuy. Kepandaian masyarakat dalam menganyam telah memperkaya bentuk dudukuy di Jawa Barat dengan munculnya dudukuy cetok. Kini pembuatannya tidak terbatas pada dudukuy saja tetapi berkembang menjadi bentuk-bentuk lainnya antara lain topi bergaya Eropa.

A B Gambar III.3 Dudukuy Toroktok tampak bagian permukaan (A) dan

bagian dalam (B) (Sumber: Dok. 2006)

(7)

A B

Gambar III.4 Dudukuy Cetok tampak bagian permukaan (A) dan bagian dalam (B)

(Sumber: Dok. 2006)

A B Gambar III.5 Dudukuy model topi bergaya Eropa tampak bagian permukaan(A)

dan bagian dalam (B) (Sumber: Dok. 2006)

(8)

Pemakaian tutup kepala juga dihubungkan dengan etika menghormati atasan atau tokoh yang diagungkan. Hal ini muncul setelah manusia mengenal simbol atau perlambang sebagai perwujudan dari suatu pandangan hidup. Menurut pandangan masyarakat pemimpin atau kepala suku adalah penguasa agung yang mampu mengurus kehidupan sehingga manusia dapat hidup aman, tenteram, dan bahagia. Oleh karena itu pemimpin perlu dijunjung tinggi dan dihormati.

Dalam sejarah Jawa Barat pemakaian tutup kepala oleh tokoh yang diagungkan dan dihormati menurut Yetti Herayati A. (1998/1999:5) telah berlangsung sejak masa prasejarah seperti tampak pada arca bercorak megalitik temuan dari daerah Cikapundung kabupaten Bandung. Kepala arca mengenakan tutup kepala seperti iket yang membentuk gulungan meninggi.

Keterampilan wanita dalam menenun menghasilkan kain untuk iket yang dipakai dengan cara diikatkan di kepala. Bukti sejarah penggunaan kain sebagai iket dapat dilihat pada beberapa dinding candi antara lain Candi Borobudur. Pada adegan Karmawibangga tampak relief yang menggambarkan kelengkapan busana kaum pria dari golongan masyarakat umum yaitu berupa kain yang diikatkan pada kepala.

Pemakaian iket pada kepala diduga sehubungan dengan adanya kebiasaan kaum pria saat itu untuk memanjangkan rambutnya. Dalam kesehariannya rambut mereka disanggulkan di atas ubun-ubun kemudian kepalanya diikat sedemikian rupa sehingga bila sanggul dilepas rambutnya tidak tergerai.

(9)

Gambar III.6 Relief pada Dinding Candi Borobudur yang memperlihatkan penggunaan mahkota kebesaran

(Sumber : Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa Barat, 1998/1999:5)

Pada periode Hindu-Budha tutup kepala terlihat pada arca-arca mahkota yang

menunjukkan sifat atau ciri-ciri dewa. Dalam mitologi Hindu dikenal mahkota dewa dengan sebutan Kiritamakuta. Ciri mahkota yang dipakai Wisnu adalah Jatamakuta yaitu gelungan rambut yang menyerupai mahkota sebagai ciri-ciri dewa Syiwa dan Karandamakuta merupakan ciri dewa Brahma.

Mahkota dikenakan pula oleh raja dan ksatria lainnya di lingkungan kerajaan. Umpamanya Parabu Niskala Wastu Kancana mengenakan mahkota Sanghyang Pake saat dinobatkan menjadi raja Galuh terakhir pada abad 15 Masehi atau tahun 1475 Masehi.

(10)

Pada masa Islam khasanah tutup kepala semakin berkembang dengan munculnya tutup kepala sebagai ciri khas seorang Sultan yang disebut kuluk yaitu tutup kepala berbentuk silinder mengecil ke atas. Pada permukaannya dihiasi dengan hiasan berupa lajur atau garis berwarna keemasan. Selain itu muncul pula sorban yang dikenakan oleh para ulama. Pada dasarnya sorban adalah penutup kepala yang terbuat dari kain, biasanya berwana putih dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menutup bagian atas kepala. Sisa-sisa kain terjuntai di belakang atau depan.

Gambar III. 7 Kuluk (Sumber : Dok. 2006)

(11)

Gambar III.8 Higal yang dipakai salah satu ulama Islam

(Sumber:http:/www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abdullahGymnastiar/ index.shtml)

Pada masa Islam maupun kolonial tradisi pemakaian iket di kalangan masyarakat umum tetap berlangsung. Bahkan dalam aneka bentuk dan corak kain, kondisi ini sehubungan dengan penggunaan kain batik. Keanekaragaman bentuk iket dan corak kain tidak terlepas dari sistem pelapisan sosial di kalangan masyarakat. Kaum ménak mengenakan iket yang disebut udeng, yang terbuat dari kain batik dengan motif tertentu yang melambangkan kebesaran seperti motif léréng dan motif gambir saketi.

Pemakain iket di kalangan ménak menurut Yetti Herayati A. (1998/1999:7) tergambar dalam syair pantun yang disusun oleh Radén Sastranegara, seorang patih di Galuh Ciamis pada awal abad 20 yang berbunyi:

(12)

ari mungguh pamegetna, panganggona ménak kuring, sinjang gincu sabuk jamblang, nyorén bedog tébéh gigir, raksukan senting purikil, poléng atawa cit salur, nu pang alusna Madras, sarta tara nganggo lapis, ari lain midang atawa angkat mah. Udeng Wedal Sukapura, batik hideung Sawunggaling, mun soga Gunawijaya atawa Gambir Saketi, modang beureum ngatumbiri, dasar konéng hurung ngempur, carécét poléng Banggala, nganggé ambar tinggarawing, digamparan lilingga tanguk bubutan.

(kalau laki-lakinya, busana para priyayi di lingkungan kami, kain panjang gincu ikat pinggang jamblang, membawa golok di lintangkan, pakaian senting purikil, poléng atau cit salur, yang paling bagus Madras, serta tidak memakai lapis, kalau bukan untuk pergi. Udeng Wedal Sukapura, batik hitam Sawunggaling, kalau warna soga yaitu Gunawijaya, atau Gambir Saketi, modang merah berwarna pelangi, berdasar kuning cerah sekali, saputangan poléng Benggala, memakai ambar (sebangsa getah damar yang telah membatu) yang bergantungan, memakai gamparan lilingga tanguk bubutan).

Sedangkan rakyat pada umumnya memakai iket yang disebut totopong dari kain batik kasar yang dikenal dengan sebutan batik sisian. Ada pula yang menggunakan kain polos berwarna hitam sehingga iket-nya disebut iket wulung.

Gambar III.9 Iket Wulung (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:56)

(13)

Pemakaian iket Sunda ditulis dalam pantun Panggung Karaton yang ditulis pada abad 16 Masehi antara lain menjelaskan pemakaian iket Sunda sebagai berikut: cawet puril nu purikil

disinjang kotok nonggéng totopong bang, totopong bong lancingan lepas

baju bekék

totopong batik manyingnyong (bercawat ketat tak bercelana

berkain panjang gaya ayam nungging ikat kepala bang dan bong

celana panjang/sontog baju berlengan pendek

iket bergaya batik Manyingnyong sisian)

walaupun demikian bagi masyarakat yang tergolong mampu dapat menggunakan kain batik bercorak bunga atau corak lainnya.

Model iket Sunda untuk kaum bangsawan adalah udeng yaitu sejenis bendo yang dibuat secara langsung. Iket dibuat dengan bentuk khas sehingga menggelembung dan menutup bagian atas kepala. Sisa-sisa kain disimpulkan pada bagian belakang kepala, kadang terjuntai di bahu kanan atau kiri. Di belakang tampak menonjol kemungkinan gelungan rambut. Bagi masyarakat umum iket disebut totopong. Perbedaan pemakaian iket antara orang kebanyakan dan priyayi di lingkungan masyarakat Sunda dikarenakan adanya perbedaan status sosial di lingkungan masyarakat Sunda. Begitu pula dalam tata busana daerahnya dikembangkan mengikuti status sosial pada masyarakat.

Status sosial masyarakat Sunda didasarkan pada tiga tingkatan yaitu golongan cacah atau somah (orang kebanyakan), santana (golongan menengah) dan ménak (golongan bangsawan) yang dapat dibedakan dengan pemakaian busananya baik busana utama, busana pelengkap maupun busana penghiasnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh budaya Jawa memasuki wilayah Sunda, dalam sejarah penggunaan bahasa Sunda di Tatar Sunda disebutkan kondisi ini terjadi sebagai pengaruh bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda. Pengaruh

(14)

bahasa Jawa sangat jelas dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh budaya Mataram. Pada masa itu fungsi bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh bahasa Jawa, karena bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau undak usuk basa dan kosa kata Jawa masuk pula ke dalam bahasa Sunda yang mengikuti pola bahasa Jawa yang disebut anggah ungguh basa. Dengan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata pada masyarakat Sunda.

3.3 Makna Iket Sunda

Pada mulanya kata iket merupakan kata umum yang artinya ikat atau ikatan. Akan tetapi karena sesuatu yang diikatnya itu kepala (pria) dan berlangsung saat dangdan atau dangdos atau berdandan akhirnya kata iket itu menjadi kata khusus atau istilah yang mengandung pengertian ikat kepala. Menurut Hidayat Suryalaga2 kata iket berasal dari dua suku kata yaitu i-ket, suku kata akhir ket dalam bahasa Sunda menunjukkan kata yang mengandung makna pageuh (kuat) seperti halnya ti-pe-pe-re-ket (menahan sekuat tenaga), ket-an (beras ketan) yang memiliki sifat cepel (lengket atau menempel kuat).

Iket dengan berbagai bentuk dan wujudnya dipakai dengan suatu pertimbangan akan keserasian, kesopanan serta kepercayaan masyarakat setempat, karena unsur-unsur tadi terikat oleh adat yang kuat dan berlaku sejak dahulu. Iket Sunda khususnya di wilayah Parahyangan muncul dan ada merupakan salah satu usaha pemikiran yang berkenaan dengan norma sehingga selain memikirkan bahan baku yang tepat, proses pembuatan kain maupun menciptakan bentuk wujud iket tidak terlepas dari pemikiran tentang kegunaannya.

Iket dipandang dan dianggap tepat sebagai benda yang dapat melindungi kepala saat melakukan aktifitas dan sekaligus menjadi atribut sosial. Bentuknya yang beragam diciptakan sebagai simbol yang berkaitan dengan keagamaan, upacara

(15)

adat, dan status sosial tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai peranan dalam suatu kelembagaan.

Iket berpadanan kata dengan totopong dan udeng (bahasa Sunda halus). Di-totopong berarti mengenakan tutup kepala menurut aturan tertentu. Bentuk totopong seperti dijelaskan Atik Soepandi (1995:22) bahwa “bentuk totopong itu ada yang disebut Bendo, Porténg, Lohén, Barangbang Semplak atau Mantokan, Kuda Ngencar dan Paros Nangka atau Kebo Modol”.

Iket bagi masyarakat Sunda mempunyai nilai-nilai tertentu mengenai cara orang berbusana, nilai-nilai yang dianggap baik, buruk, pantas dan tidak pantas. Hal ini membuktikan bahwa busana masyarakat Sunda memiliki bagian-bagian pokok yang harus diperhitungkan. Semua itu sudah pasti ditentukan pula oleh keadaan dan situasi serta siapa yang akan mengenakannya.

Iket sebagai bagian dari kelengkapan anggoan pameget (busana pria) memiliki nilai estetik tinggi. Iket sebagai tutup kepala memiliki nilai yang lebih berharga dibandingkan dengan tutup kepala yang lain, karena dalam proses pembentukannya memerlukan kejelian, keterampilan, ketekunan, kesabaran dan rasa estetika yang tinggi dari pemakainya. Hal ini akan membuktikan bahwa iket dapat mencerminkan status simbol pemakainya.

Selain itu iket juga memiliki makna secara ilmu pengetahuan dan kepercayaan, seperti dituturkan Nandang Sunaryo3 bahwa iket sangat erat kaitannya dengan unsur tauhid dan budaya. Iket memiliki makna mengikat seperti ikatan yang terbentuk dari tali. Iket juga berarti totopong yang berasal dari kata tepung (bertemu) yang mengalami pengulangan dan perubahan kata dasar te menjadi toto. Tepung artinya bertemu, bertemu dalam hal ini maksudnya simbol dari bertemunya ujung kain karena dibentuk simpul sebagai lambang silaturahmi. Iket

3

Nandang Sunaryo merupakan keturunan ke-6 dari Eyang Agung Zaenal Arif (pendiri kampung Mahmud yang berada di kodya Bandung) dalam wawancara tanggal 14 April 2006.

(16)

mengandung makna mengikat kepala. Obyek yang diikat adalah kepala (pria). Kepala memiliki makna sebagai pemimpin tubuh dengan isinya yaitu otak. Otak merupakan tempat pikiran dan organ manusia sebagai ciri manusia makhluk mulia ciptaan Tuhan. Dengan otak ini manusia memiliki cipta, karsa, rasa sehingga mampu berpikir. Dengan memakai iket, kepala sebagai organ penting dapat dilindungi.

Iket dibentuk dari kain berbentuk bujur sangkar yang memiliki empat sudut. Keempat sudut itu memiliki makna sebagai sudut kereteg haté (kereteg = perasaan atau suara yang timbul dengan sendirinya, haté = hati. kereteg haté diartikan sebagai niat), ucapan (lisan), tingkah (sikap), dan raga (badan) yang kemudian kain itu dilipat dua membentuk segitiga sama kaki dengan tiga sudut. Ketiga sudut tersebut seperti diutarakan Adil Fadilah Kusumah4 mencerminkan tiga azas tritunggal kesetaraan dalam hidup kemasyarakatan yakni tritangtu yang terdiri dari resi pemimpin agama, rama (pemimpin rakyat) dan perebu (pemimpin wilayah). Diharapkan azas ini dijalankan dengan keharmonisan antara tekad, ucapan, tingkah laku yang terangkum dalam raga manusia. Iket juga memiliki makna ngawengku (mengikat) segala urusan yang berhubungan dengan keduniawian seperti yang disampaikan Sukatma5 bahwa iket digunakan oleh para Saéhu. Saéhu adalah seorang pemimpin rakyat yang saé jadi hulu, saé hubungannana, tiasa ngiket kana sagala persoalan kamasyarakatan jeung kahirupan (bagus untuk dijadikan ketua atau pemimpin, bagus hubungan sosialnya, mampu mempersatukan dan menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan persoalan kehidupan).

4

Adil Fadilah Kusumah adalah ketua Yayasan Atikan Sunda pada wawancara tanggal 3 April 2006 .

5

Sukatma adalah ketua pelaksana upacara adat ngalaksa di desa Rancakalong Sumedang yang dilaksanakan dari tanggal 6-12 Juli dan juga sebagai ketua rombongan petani Rancakalong, pada

(17)

Pada masyarakat Sunda khususnya dalam paribasa (peribahasa) dikenal ungkapan caringcing pageuh kancing saringset pageuh iket yang apabila diterjemahkan secara harfiah adalah:

caringcing : hati-hati

pageuh : kuat atau tidak mudah lepas

kancing : alat penutup belahan pada busana yang

dimasukkan melalui lubang kancing

saringset : • penampilan yang berkesan kuat dan tegap

• memakai busana tidak longgar, sehingga tidak mengganggu aktifitas

iket : tutup kepala dari kain

caringcing pageuh kancing saringset pageuh iket diartikan selalu waspada dan siap siaga untuk menghindari malapetaka.

3.4 Fungsi Iket Sunda

Iket dipakai masyarakat Sunda khususnya pria sebagai kelengkapan berbusana dengan dasar pemikiran mencapai kemuliaan seperti disampaikan Ecep Hidayat6 bahwa masyarakat Sunda atas kesadaran diri dan sudah menjadi suatu norma dalam berbusana memakai tutup kepala berupa iket dipakai untuk berbagai kesempatan sebagai cara mencapai kajatnikaan (kemuliaan). Dalam kesempatan tertentu seperti bepergian, nyémah (bertamu) atau menghadiri upacara adat pria Sunda memakai iket.

Dalam bersikap dan berkomunikasi masyarakat Sunda tidak menyampaikan maksudnya secara langsung sehingga dalam dunia kebendaanpun prinsip ini menjadi adat yang tampak jelas. Masyarakat Sunda pada umumnya dalam bertindak selalu berpegang pada prinsip silib (mengumpamakan), sindir (mengkritik secara tidak langsung), jeung siloka (dan melambangkan) sehingga pada umumnya benda-benda yang dibuatpun memiliki makna simbolik.

6

H. Ecep Hidayat merupakan keturunan ke-5 dari Eyang Agung Zaenal Arif (pendiri kampung Mahmud yang berada di kodya Bandung) dalam wawancara tanggal 15 April 2006.

(18)

Iket juga menentukan status sosial seseorang. Misalnya pada upacara perkawinan, tutup kepala yang digunakan pengantin pria ialah iket atau totopong sedangkan pada golongan menengah ke atas tutup kepala dibentuk sebagai bendo. Biasanya corak batik yang dipakai adalah batik uwit. Dalam perkawinan keturunan bangsawan Sumedang tutup kepala yang dipakai biasanya meniru tutup kepala ksatria dalam pewayangan yang disebut makuta (mahkota).

Iket bagi masyarakat Sunda sangat berhubungan erat dengan busana dan menjadi atribut status sosial. Seperti ditulis Suwardi Alamsyah P. (2001:46) dalam jurnal penelitiannya bahwa:

“…Anis Djatisunda dalam makalahnya yang berjudul Sisa Iket Sunda Pada Era Millennium Tiga menyebutkan bahwa dalam naskah Sunda Kuno Kropak 406 (Carita Parahyangan) tertulis Sang Resi Guru ngagisik tipulung jadi jajalang bodas, leumpang ngahusir Rahyang Sempakwaja, eukeur meulit (Sang Resi Guru menggesek ikat kepala dengan kedua belah tangannya menjadi jalalang putih, lalu pergi menuju Rahyang Sempakwaja yang sedang membuat atap)…”.

Selanjutnya ia mengutip tulisan Saleh Danasasmita (1983) bahwa pada zaman Maharaja Tarusbawa (669 Masehi) setiap tahun dari Galuh ke Pakuan selalu membawa tipulung, boéh bodas, boéh wulung, boéh warna, boéh beureum dan beubeur (kain untuk iket, kain berwarna putih, kain berwarna hitam, kain berwarna-warni, kain berwarna merah dan ikat pinggang). Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa masa itu iket merupakan salah satu kelengkapan busana pria yang dianggap penting, sehingga dalam tiap tahunnya kerajaan Pakuan pada zamannya meminta dikirim iket dari kerajaan Galuh.

Dari keterangan di atas juga memberikan gambaran bahwa iket sudah lama dipakai masyarakat Sunda. Waktu yang menerangkan bahwa iket Sunda sudah dipakai sejak lama salah satunya yaitu seperti ditulis Suwardi Alamsyah P. (2001:47) semenjak Tarusbawa (669-723 Masehi) sampai Sri Baduga (1482-1521 Masehi) keberadaan iket atau tipulung sudah ada dan dipertahankan masyarakat pendukungnya.

(19)

Railp L. Beals dan Harry Hoijer dalam bukunya An Introduction to Antropology seperti ditulis Yetti Herayati A. (1998/1999: 7) dijelaskan bahwa:

tutup kepala, iket dan hiasan kepala merupakan bagian dari kelengkapan busana dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, bentuk maupun bahannya beraneka ragam karena pengaruh lingkungan alam dan latar belakang pendukung kebudayaannya. Secara umum tutup kepala mempunyai tiga fungsi utama yaitu fungsi praktis, fungsi estetis dan fungsi simbolis.

Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa iket memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi praktis

Pada masyarakat biasa iket selain berfungsi untuk menutupi rambut, melindungi kepala, juga berfungsi sebagai senjata untuk membela diri bila tiba-tiba terjadi penyerangan. Selain itu berfungsi sebagai alat untuk menyimpan dan membawa barang.

b. Fungsi estetis

Selain dapat melindungi bagian kepala , iket dapat memperindah penampilan pria dan menjadi unsur pelengkap berbusana yang serasi pada pria.

c. Fungsi simbolis

Nilai simbolis pada iket misalnya ada beberapa jenis bentuk iket yang hanya dipergunakan untuk orang tertentu atau kesempatan tertentu. Seperti iket dengan ragam hias tritik untuk anak yang dikhitan, iket dengan ragam hias huruf Arab dipakai oleh para santri dan jenis iket lain yang dipakai berdasarkan status atau kepentingan tertentu pemakainya.

Pada beberapa peninggalan tertulis menyiratkan bahwa iket tidak hanya digunakan sebagai penutup kepala tetapi juga berfungsi sebagai simbol kebesaran. Dengan adanya pelapisan atau kelas-kelas dalam masyarakat, iket berperan sebagai pembeda antara masyarakat kelas tinggi yaitu kaum bangsawan (para pejabat pemerintah), masyarakat kelas menengah atau priyayi (pegawai negeri, masyarakat berekonomi tinggi), golongan ini memakai iket dengan sebutan udeng,

(20)

serta kelas bawah (cacah dan somah) yaitu pedagang, buruh dan petani memakai iket yang disebut totopong.

Fungsi iket pada masyarakat Sunda tergantung pada tofografi Sunda yang terdiri dari tiga jenis yaitu perbukitan, dataran tinggi dan dataran rendah. Fungsi iket ini sesuai pekerjaan yang mereka kerjakan. Untuk nelayan yang bekerja di basisir (pesisir pantai) iket berfungsi sebagai pelindung kepala dari angin, panas, dan sebagai alat pameungkeut (pengikat). Untuk masyarakat yang bertani, iket berfungsi sebagai pelindung kepala dari panas sinar matahari dan sebagai wawadahan (tempat menyimpan benda) sedangkan pada masyarakat yang berdagang, iket berfungsi sebagai alat untuk membersihkan keringat, sebagai pelindung kepala seperti topi, dan sebagai alat cacandakan (membawa barang).

Setelah datangnya pengaruh budaya Islam, kain untuk iket memiliki fungsi sebagai sajadah yang menurut Kamus Umum Basa Sunda (1980:442) yaitu pangsujudan, biasa mangrupa samak atawa alketip leutik saurangeun (tempat sujud, biasanya berupa tikar atau permadani untuk satu orang). Sajadah digunakan sebagai alas untuk melakukan sholat lima waktu. Selain itu iket berfungsi pula sebagai penahan rambut pada saat sholat terutama pada saat melakukan sujud agar taar (dahi) tidak terhalangi oleh rambut, karena salah satu syarat syahnya sholat adalah pada saat sujud dahi terbuka tidak terhalangi oleh sesuatu. Menurut kaidah Ushul Fiqih atau pendapat para ulama mengenai tidak boleh terhalangnya dahi saat sholat sehingga diperlukan suatu alat untuk menahannya disebutkan: “ malaa yatiimul waajibuu illaa bihii fahuwa waajibun” yang artinya segala sesuatu yang mendukung sahnya suatu perkara maka pemakaiannya menjadi wajib. Dalam hal ini yang menjadi wajib adalah pemakaian tutup kepala saat sholat untuk mendukung sahnya sholat yaitu tidak terhalangnya dahi oleh rambut saat sujud.

Masyarakat Sunda menganggap iket tidak hanya sebagai benda pakai tetapi juga merupakan lambang penghormatan terhadap orang-orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya seperti orang tua, atasan, dan lain-lain. Bila seseorang

(21)

akan mengunjungi atau menghadap orang tua atau atasan diharuskan mengenakan iket karena dianggap tidak sopan apabila kepala tidak ditutup. Iket dengan corak tertentu diyakini sekelompok masyarakat mengandung magis sehingga dapat menolak bahaya yang akan menyerang pemakainya maupun seluruh penduduk.

3. 5 Ukuran Kain yang Digunakan untuk Iket Sunda

Iket atau totopong terbuat dari kain atau boéh atau mori. Ukuran kain yang biasa dipergunakan untuk iket adalah:

a. Saiket atau satotopong atau sekacu, dengan ukuran 90x90 cm atau 100x100 cm atau 105x105 cm berbentuk bujur sangkar.

Gambar III.10 Contoh bentuk iket lengkap dengan ukuran saiket atau satotopong atau sekacu

(Sumber : Pepin van Roojen, 2001:32)

b. Satengah iket atau separon apabila ukuran persegi empat bujur sangkar di atas di bagi dua menjadi segitiga sama kaki. Kain ini banyak digunakan untuk bendo dadakan atau bendo damelan maupun bendo citak.

(22)

Gambar III.11 Iket separon (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:53)

Menurut Hidayat Suryalaga7 untuk iket Sunda kain yang digunakan harus merupakan kain dengan ukuran saiket atau satotopong yang terdiri dari empat sudut karena selain iket Sunda memiliki ciri khas yaitu pada bagian tengah kepala tertutup juga mengandung makna bahwa iket memiliki fungsi sosial dan pemakainya memiliki sikap masagi (manusia yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan).

3. 6 Ragam Hias pada Kain untuk Iket Sunda

Semula kain yang dipergunakan untuk iket berwarna putih atau hitam tidak bercorak seperti yang masih dilakukan masyarakat Baduy Dalam (Tangtu). Pada perkembangannya kain untuk iket mempergunakan kain batik. Di Indonesia kain batik sebagai kain tradisional sudah ada sejak dahulu. Di wilayah Sunda batik dikenal setelah adanya pengaruh budaya Mataram ke wilayah Sunda seperti yang ditulis Suwardi Alamsyah P. (2001:62):

Parahyangan khususnya Sukapura (wilayah kabupaten Tasikmalaya sekarang), Parakanmuncang (sebagian dari Sumedang) serta Ukur (Bandung) pernah berada di bawah pengaruh politik Mataram, yakni pada masa kekuasaan Sultan Agung awal abad ke-21 maka sampai saat ini pengaruh kebudayaan Jawa di daerah ini masih nampak, misalnya penggunaan bahasa yakni dengan adanya undak usuk basa ‘bahasa halus dan bahas kasar’ sebagai ragam bahasa yang berbeda, sastra yakni adanya pupuh, kain batik motif Sidamukti yang sudah baku menjadi salah satu corak batik busana pengantin, padahal Parahyangan pada mulanya

(23)

termasuk kebudayaan tenun. Dengan kata lain bahwa Parahyangan tidak mengenal motif batik tersebut.

Ragam hias pada iket bermacam-macam, dewasa ini berbagai motif batik dapat digunakan untuk iket. Namun sebelum datangnya pengaruh budaya Mataram, iket dibuat dari kain tenun yang dicelup dengan bahan alami dan tidak bermotif. Seperti ditulis Atik Soepandi (1995:148) bahwa tinunan merupakan kain hasil tenunan. Dalam Naskah Sanghyang Siksa Kanda Karesian disebutkan bahwa sebelum tahun 1518 tenun telah ada di Jawa Barat.

Iket dari kain tenun tersebut seperti iket yang dipakai masyarakat Baduy yang disebut Iket Romal atau Iket Koncér. Jenis iket ditentukan pula oleh nama menurut ragam hias yang dipergunakannya. Pada dasarnya ragam hias iket mempunyai tiga pola motif kain batik yaitu:

3.6.1 Ragam Hias pada Iket Tengahan

Ragam hias tengahan merupakan kain batik persegi empat yang bagian tengahnya memiliki segi empat dengan warna polos atau putih, merah, hijau atau biru serta pinggirannya dihias dengan corak cemukiran. Iket yang menggunakan ragam hias tengahan yang berwarna umumnya dipakai oleh kaum muda. Warna pada bagian tengah itu biasanya biru tua atau hijau, dan yang berwarna kuning dipakai oleh anak laki-laki pada waktu disunat.

Hiasan pinggiran pada iket tengahan terdiri dari ragam hias cemukiran, pengada atau kemada, umpak-umpak dan modang sehingga lazimnya iket ini dinamakan iket modang. Pada iket ini mempunyai ragam hias pengada atau kemada. Pertemuan dua pengada disudut kain akan dibatasi dengan ragam hias sudut yang disebut poncot.

(24)

Gambar III.12 Tiga jenis hiasan pinggir dari luar ke dalam: sodo sakler, umpak dan modang

(Sumber : Nian S. Djumena, 1990: 41)

Gambar III.13 Ragam hias pinggir cemukiran (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:53)

Sodo sakler modang

(25)

Gambar III.14 Berbagai hiasan Cemukiran yaitu cemukiran Solo, cemukiran Yogya, cemukiran Jawa Timur, cemukiran Yogya, dan cemukiran Solo

(Sumber : Pepin van Roojen, 2001:78)

Gambar III.15 Hiasan Modang (Sumber : Pepin van Roojen, 2001:78)

Cemukiran Solo

Cemukiran Yogya

Cemukiran Jawa Timur

Cemukiran Yogya

(26)

Gambar III.16 Hiasan Kemada Sungging dan hiasan Kemada Satriya Manah (Sumber : D. Dalidjo, 1983:146)

Gambar III.17 Berbagai variasi hiasan Kemada yaitu Kemada Salangan, Kemada Gendulan, Kemada Sekar Tala

(Sumber : D. Dalidjo, 1983:145-146)

Gambar III.18 Berbagai variasi hiasan Kemada dan Poncot (Sumber : D. Dalidjo, 1983:146-147)

Kemada Sungging

Kemada Satriya Manah

Kemada Salangan

Kemada Gendulan

Kemada Sekar Tala

(27)

Gambar III. 19 Contoh motif batik pada Iket Tengahan (Sumber : Pepin van Roojen, 2001:78)

(28)

3.6.2 Ragam Hias pada Iket Blumbungan

Ragam hias Blumbungan merupakan ragam hias pada kain batik persegi empat yang pada pinggirannya segi empatnya tidak dihias dengan cemukiran. Pola ini merupakan asosiasi dari bentuk kolam dimana tidak seluruh permukaan kain diisi ragam hias. Pada bagian tengah polos, berwarna putih, biru tua atau hitam yang membentuk bidang bujur sangkar melintang menyerupai kolam. Bagian ini merupakan bagian yang dianggap sakral. Pemakian iket dengan pola blumbungan lebih banyak disegani masyarakat. Pada perkembangannya pola blumbungan dipakai sebagai busana stelan yaitu busana antara iket dengan kain panjang bercorak sama. Iket semacam ini disebut Iket Sawitan.

Gambar III.20 Contoh motif batik pada iket Blumbungan (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:54)

(29)

3.6.3 Ragam Hias pada Iket Byur

Ragam Hias byur merupakan ragam hias pada kain batik persegi yang sama sekali tidak mempunyai segi empat di tengah-tengahnya. Pola byur adalah pola motif batik dengan pengisian ragam hias secara penuh pada seluruh permukaan. Pola byur dipakai pada kain iket oleh pria yang sudah berumur.

Gambar III.21 Contoh motif batik pada Iket Byur (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:54)

(30)

3.6.4 Ragam Hias pada Iket Kembangan

Iket kembangan merupakan motif kain batik untuk iket yang memakai motif kepala tritik atau jumputan yang dipadukan dengan batik.

Gambar III.22 Contoh motif batik Iket kembangan pagi sore atau dua wajah (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:55)

motif kepala tritik atau jumputan

(31)

Ragam hias motif batik Sunda sama halnya dengan motif batik yang dipakai dalam ornamen-ornamen yang lain, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, awan, api, rumah, bentuk-bentuk geometris, dan lain-lain. Pemakian motif batik sering dihubungkan dengan simbol atau lambang. Demikian pula bentuk ornamen pada sebuah benda secara keseluruhan direncanakan dengan tujuan tertentu. Dalam perkembangan pemakaian motif batik pada pada suatu benda, maksud atau tujuan yang dihubungkan dengan simbol atau lambang itu semakin menurun penggunaannya, yang tinggal hanyalah pandangan dari segi keindahan visual. Bentuk motif mengalami stilasi yang dapat menunjukkan kesederhanaan bentuk dan dapat pula menjadi bentuk yang sangat rumit.

3.7 Pembagian Pola Hiasan Di atas Bidang Kain untuk Iket Sunda

Penempatan ragam hias pada kain untuk iket memiliki pola tertentu. Di bawah ini ada beberapa pola penempatan ragam hias pada kain untuk iket, yaitu:

3.7.1 Iket Byur

Pola hiasan pada iket byur merupakan pola bujur sangkar pada bidang kain untuk iket berupa kemada Ukuran kemada tidak terlalu besar sehingga pola hiasan bidang tampak lebih besar.

Gambar III. 23 Pola dan Contoh Kain Iket Byur (Sumber : Pepin van Roojen, 2001:165)

(32)

3.7.2 Iket Tengahan

Pola hiasan pada iket tengahan berupa bujur sangkar yang lebih kecil dari pada bidang sisinya karena ukuran kemada cukup lebar.

Gambar III. 24 Pola dan Contoh Kain Iket Tengahan (Sumber : Pepin van Roojen, 2001:165)

3.7.3 Iket Blumbungan Membujur

Pola hiasan pada iket blumbungan membujur merupakan pola ragam hias berbentuk belah ketupat pada tengah bidang kain iket. Bentuk belah ketupat pada tengah bidang kain iket merupakan bidang polos tanpa motif ragam hias dengan maksud bidang tersebut menggambarkan bagian pusat kain dalam hal ini melambungkan pusat pikiran.

Gambar III. 25 Pola dan Contoh Kain Iket Blumbungan Membujur (Sumber: Nian S. Djumena, 1990:53)

(33)

3.7.4 Iket Membagi Bidang

Pola ragam hias pada iket jenis ini berupa belah ketupat di bagian tengah dengan empat buah segi lima sama kaki.

Gambar III. 26 Pola dan Contoh Kain iket yang membagi bidang kain (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:90)

3.7.5 Iket Dengan Pusat Lingkaran

Iket jenis ini memiliki pola ragam hias berupa lingkaran pada bagian tengah bidang kain.

Gambar III. 27 Pola dan Contoh Kain iket dengan pusat lingkaran (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:86)

(34)

3.7.6 Iket Pagi Sore

Iket pagi sore memiliki garis diagonal yang membelah dua bagian kain iket, sehingga iket jenis ini memiliki dua motif. Kedua bagian menyerong serta sisi-sisi yang berhadapan mempunyai penampilan yang berlainan.

Gambar III. 28 Pola dan Contoh Kain iket pagi sore (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:55)

Keanekaragaman pola hias pada batik yang digunakan untuk iket menunjukkan pula identitas pemakainya. Untuk kain berkualitas rendah seperti kain dari bahan mori kasar contohnya mori biru dan prima dengan pola hias hanya dibuat pada pinggir-pinggir kain sedang permukaannya polos berwarna hitam. Ragam hias yang digunakan biasanya modang atau cemukiran yaitu ornamen simbolis dari bentuk lidah api bermakna gambaran kehidupan dan penilaian yang tinggi. Iket berpola seperti itu disebut iket hideung wulung atau iket wulung atau iket batik sisian. Jenis iket ini hanya dipakai oleh golongan cacah atau somah.

Bagi kalangan ménak (para pejabat pemerintah, kaum intelektual, dan masyarakat berekonomi tinggi) bahan yang digunakan merupakan kain berkualitas tinggi yaitu mori halus. Pola hias pada kain yang digunakan untuk iket ini dibuat secara penuh artinya hampir seluruh permukaan kain diisi ragam hias atau jenis iket blumbungan.

(35)

Menurut R. Lalam Wiranatakusumah8 batik muncul di wilayah Sunda diperkirakan tahun 1112 namun tidak berkembang dan tidak dikenal masyarakat Sunda secara luas, apalagi setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran. Motif yang dikenal sebagai motif khas Sunda adalah Kembang Congkok, Kembang Loa, Kembang Muncang, Jayanti, Kacapiring, Rangganis, Taraté, Surat Awi, jeung Awi (bunga Congkok, bunga Loa, bunga Kemiri, Jayanti, Rengganis, Teratai, Serat bambu, dan pohon bambu).

Batik digunakan oleh masyarakat Sunda untuk samping kebat atau kain panjang, iket, sarung, kemben dan selendang. Seperti diuraikan oleh Atik Soepandi (1995:58-62) bahwa:

″dalam naskah Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518 telah ada istilah lain yang berpadanan dengan kata batik antara lain adanya corak batik bebernatan, boéh alus, boéh siang, cecempaan, gagang senggang, gaganjaran, jayanti, kampuh jayanti, kembang muncang, kalangkang ayakan, anyaman cayut, lusian besar, mangin riris, udan iris (hujan riris), sameleg sigeli, seumat sahurun, paparanakan, poléng rengganis, basa-basi, ragen panganten″.

Pada perkembangan ragam hias batik khususnya di wilayah Sunda mengalami pengaruh dari daerah lain khususnya Jawa. Nian S. Djumena (1990:1) menyebutkan:

pada umumnya ragam hias batik suatu daerah di pengaruhi dan erat hubungannya dengan faktor-faktor :

1. Letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan. 2. Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.

3. Kepercayan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan. 4. Keadan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna.

5. Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.

Berdasarkan pendapat di atas maka pengaruh kebudayaan Jawa tampak pada ragam hias batik yang ada di wilayah Sunda yang apabila dibandingkan akan terdapat persamaan, seperti:

8

R. Lalam Wiranatakusumah, putra Bupati Bandung R. Wiranatakusumah yang memerintah awal abad ke-20, pada wawancara tanggal 19 Agustus 2006

(36)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam Hias Parang Rusak Barong

B. Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Lereng Barong

Gambar III .29 Persamaan ragam hias Parang Rusak Barong dengan ragam hias Lereng Barong

(Sumber: Nian S. Djumena, 1990:8 dan 54)

a. mata gareng b. uceng c. sirap kendhela d. bogongan e. mlinjon f. alis-alisan f. alis-alisan e. mlinjon d. bogongan c. sirap kendhela b. uceng a. mata gareng

(37)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam hias Lok Chan

(Sumber : Nian S. Djumena, 1990:46)

B. Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Manuk Kembang (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:52)

Gambar III. 30 Persamaan ragam hias Lok Chan dengan ragam hias Manuk Kembang

(38)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam hias Ceplok

(Sumber : Pepin van Roojen, 2001:55)

B. Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Kembang kapas (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:47) Gambar III. 31 Persamaan ragam hias Ceplok dengan ragam hias Kembang Kapas

(Sumber : Pepin van Roojen, 2001:55 dan Nian S. Djumena, 1990:47)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam hias Kawung Prabu (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:8)

B. Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Kawung Écé

(Sumber : Antje Sartika, Skripsi, 1988) Gambar III.32 Persamaan ragam hias Kawung Prabu dengan ragam hias

Kawung Écé

(39)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam hias Fajar Manyingsing (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:5)

B. Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Merak Ngibing

(Sumber : Sumber : Nian S. Djumena, 1990:5) Gambar III.33 Persamaan ragam hias Fajar Manyingsing dengan ragam hias

Merak Ngibing

(40)

A. Ragam hias batik dari daerah Jawa yaitu ragam hias Truntum (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:15)

B.Ragam hias batik dari daerah Sunda yaitu ragam hias Katuncar Mawur (Sumber : Dok. 2006)

Gambar III.34 Persamaan ragam hias Truntum dengan ragam hias Katuncar Mawur

Gambar

Gambar III. 1 Teregos dan igal yang dipakai oleh orang Arab  (Sumber: http://images.geogle.co.id/images)
Gambar  III.6  Relief pada Dinding Candi Borobudur yang memperlihatkan  penggunaan mahkota kebesaran
Gambar III. 7 Kuluk  (Sumber : Dok. 2006)
Gambar III.8  Higal yang dipakai salah satu ulama Islam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Smarts, diketahui bahwa standart kompensasi yang sudah ada belum dapat diterapkan secara maksimal sehingga belum dapat memberikan hasil yang optimal, kurangnya kemampuan

Peserta maju sesuai nomor undian yang diambil pada waktu technical meeting.Peserta yang tidak hadir pada saat pengambilan nomor urut penampilan, maka nomor urut penampilan

Dalam sisi sistem informasi yang dibutuhkan oleh salesman untuk mengambil keputusan adalah salesman dapat mengambil keputusan mengenai harga produk yang diberikan

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain

Program pengembangan industri anggrek baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang lebih difokuskan pada peningkatan produksi baik yang diproduksi

Dari definisi konsep dapat disintesiskan bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah satu set kegiatan sistematis dan terencana yang dirancang oleh suatu

Pasien perempuan 31 tahun (kalo ngga salah, pokoknya dewasa muda juga) datang dengan keluhan sesak nafas memberat sejak 2 hari yang lalu.. Pasien sering terbangun

Sedangkan jumlah responden yang sebelumnya sebanyak 55% dalam kategori kurang menjadi 0% atau tidak ada responden dalam kategori kurang setelah diberikan intervensi