• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Desa Karanganyar adalah satu desa di wilayah kecamatan Kandang Haur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Desa Karanganyar adalah satu desa di wilayah kecamatan Kandang Haur"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

72 BAB IV

DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Sosiografi Desa Karanganyar

Desa Karanganyar adalah satu desa di wilayah kecamatan Kandang Haur Kabupaten Indramayu, Desa Karanganyar berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Desa Parean Girang Sebelah Selatan : Desa Karang Mulya Sebelah Timur : Desa Losarang Sebelah Barat : Desa Wirapanjunan. Jarak waktu tempuh ke pusat pemerintahan: • Jakarta : 171 Km (4 jam) • Provinsi (Bandung) : 161 Km (3,5 jam) • Kabupaten (Indramayu) : 30 Km (30 menit) • Kecamatan (Kandanghaur) : 6 Km (5 menit)

Desa Karanganyar memiliki luas wilayah 816.020 Ha, yang terdiri atas 3 dusun, 10 RW, dan 31 RT. Jumlah penduduk Desa Karanganyar tercatat sebanyak 12. 745 jiwa, terdiri dari 6.519 laki-laki dan 6.226 perempuan, dengan 4.072 kepala keluarga. Mayoritas penduduk Desa Karanganyar beragama Islam. Walaupun demikian, masyarakat Desa Karanganyar masih memegang tradisi dan kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun.

(2)

Sebagian besar penduduk Desa Karanganyar bermata pencaharian sebagai buruh tani yakni sebanyak 2.438 orang dan petani 1.153 orang. Selain itu, ada pula masyarakat yang berprofesi sebagai buruh swasta sebanyak 372 orang, sebagai pegawai negeri 177 orang, buruh pengrajin 44 orang, pedagang 300 orang, dan usaha lain sebanyak 348 orang.

Ditinjau dari segi pendidikan, desa Karanganyar memiliki lulusan TK/Pra sekolah sebanyak 115 orang, lulusan SD sebanyak 422 orang, lulusan SMP sebanyak 458 orang, lulusan SMA sebanyak 971 orang, lulusan akademik/D-2 8 orang, dan lulusan sarjana S-1 sebanyak 136 orang. Kondisi pendidikan di atas menunjukan bahwa pendidikan di Desa Karanganyar sudah cukup baik serta memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Karanganyar adalah empat buah bangunan Sekolah Dasar, tiga buah bangunan Madrasah, empat buah bangunan TK/TPA, dan satu buah bangunan Pondok pesantren. Selain itu terdapat sarana kesehatan diantaranya sepuluh buah sarana Posyandu, satu buah sarana Puskesmas, tiga buah sarana dokter praktek, dan lima buah sarana bidan praktek. Kemudian sarana ibadah yang tersedia di Desa Karanganyar cukup banyak, sarana ibadah itu antara lain adalah mesjid sebanyak enam buah, musholla sebanyak tiga puluh buah, dan satu buah sarana majelis Ta’lim. Sarana peribadatan tersebut tersebar di setiap dusun dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Karanganyar untuk beribadah, mempelajari dan memperdalam pemahaman mereka tentang agama Islam. Beberapa kegiatan yang biasa diselenggarakan di mesjid, mushalla,

(3)

dan majelis ta’lim tersebut adalah pengajian ibu-ibu, pengajian anak-anak, dan peringatan hari-hari besar agam Islam.

2. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Pelaku pernikahan di bawah umur yang menjadi subjek penelitian sebanyak lima orang. Kelima pelaku berasal dari alamat yang berbeda, namun masih berada dalam lingkungan atau daerah lokasi penelitian yaitu Desa Karanganyar Kecamatan Kandang Haur Kabupaten Indramayu.

Kelima pelaku pernikahan di bawah umur yang menjadi subjek penelitian latar belakang pendidikannya beragam, mulai dari SD sampai SMA. Perbedaan latar belakang pendidikan yang menonjol menyebabkan subjek penelitian tersebut mempunyai daya dan tingkat pengetahuan serta pemikiran yang berbeda. Hal ini sangat berpengaruh pada jawaban mereka mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak.

Adapun profil dari setiap responden penulis paparkan dalam uraian di bawah ini.

a. Nama: Bapak UK (31 th) dan Ibu YU (28 th) Pendidikan Terakhir: SMP/SD

Pekerjaan : Petani/Ibu rumah tangga

Alasan menikah: Ibu YU menuturkan kepada penulis bahwa faktor pendorong mereka melaksanakan pernikahan karena ingin bebas dari orang tua. Selain itu pengaruh lingkungan dan pergaulan di kampung mereka yang malu teman mereka yang lain sudah pada menikah walaupun mereka belum cukup umur.

(4)

b. Nama: Bapak BW (36 th) dan Ibu IH (25 th) Pendidikan Terakhir: SD/SD

Pekerjaan: Pedagang/Petani

Alasan menikah: Ibu IH menuturkan kepada penulis karena mereka saling suka sama suka walaupun belum cukup umur dan sudah lama berpacaran sehingga orang tua mereka menyuruh untuk segera menikah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Walaupun secara umur mereka belum cukup. c. Nama: Bapak SO (29 th) dan Ibu RK (28 th)

Pendidikan Terakhir: SMP/SD Pekerjaan: Petani/Ibu rumah tangga

Alasan menikah: Ibu RK menuturkan kepada penulis karena tidak melanjutkan sekolah sehingga memutuskan untuk menikah saja daripada menjadi beban orang tua terutama dalam hal ekonomi. Meskipun mengenyampingkan batasan usia mereka untuk menikah.

d. Nama: Bapak US (47 th) dan Ibu IS (30 th)

Pendidikan Terakhir: STM (tetapi tidak melanjutkan ke kelas3)/SMP Pekerjaan: Buka bengkel/Ibu rumah tangga

Alasan menikah: Ibu IS menuturkan kepada penulis beliau menikah dengan Bapak US karena Bapak US sudah menjamin untuk mencukupi kebutuhannya. Sehingga tidak mempedulikan meskipun usia belum cukup untuk melangsungkan pernikahan.

e. Nama: Bapak AG (35 th) dan Ibu TI (24 th)

(5)

Pekerjaan: Berdagang/Berdagang

Alasan menikah: Ibu TI menuturkan kepada penulis bahwa mereka melangsungkan pernikahan dikarenakan terpaksa, terpaksa yang dimaksud adalah hamil di luar nikah dan untuk menutupi rasa malu dan aib keluarga kemudian mereka menikah. menuturkan menikah muda itu merupakan hal yang biasa di desanya.

3. Deskripsi Hasil Wawancara

Setelah mendapatkan surat izin penelitian dari Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bandung melalui Kasi Hubungan Antar Lembaga, penulis diperkenankan melakukan penelitian sampai batas waktu yang ditentukan. Penulis mengumpulkan data dengan cara mengamati langsung aktifitas sehari-hari responden, melakukan dokumentasi serta melakukan wawancara dengan responden yang melakukan pernikahan di bawah umur.

Wawancara dilakukan setelah penulis menghubungi langsung responden ke rumahnya untuk menanyakan kesediaannya diwawancara serta menentukan waktu untuk melakukan wawancara. Responden yang berhasil diwawancarai sebanyak lima orang. Kelima pelaku pernikahan di bawah umur ini bertempat tinggal di tempat yang berbeda, akan tetapi masih termasuk ke dalam wilayah Desa Karanganyar.

Agar tersusun secara sistematis, deskripsi hasil wawancara penulis sajikan berdasarkan urutan pertanyaan penelitian dengan tanpa mengurangi subtansi hasil wawancara. Deskripsi hasil wawancara dapat dilihat dari paparan berikut:

(6)

a. Pemahaman Masyarakat Mengenai Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Hak Anak yang Terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden difokuskan pada dua dua indikator Pernikahan di bawah umur terhadap hak anak, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum. Kedua indikator tersebut dikaji untuk mengungkap aspek kognitif responden tentang pernikahan di bawah umur terhadap hak anak menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hasil wawancara mengenai kedua indikator kesadaran hukum itu dapat dilihat dari pemaparan berikut

Pengetahuan tentang Pernikahan di bawah umur terhadap hak anak

Kelima pelaku yang menjadi responden pada dasarnya mereka kurang begitu memahami dikarenakan kebanyakan dari responden berpendidikan rendah seperti penuturan bapak AG dan ibu TI bahwa pernikahan di bawah umur berarti melanggar peraturan yang berlaku karena mereka hanya menganggap itu merupakan hal yang biasa terjadi di desanya. Yang mereka tahu bahwa dengan menikah tidak menjadi beban orang tua lagi walaupun harus mengenyampingkan hak-hak mereka sebagai anak. Meskipun di desa Karanganyar sudah ada sosialisasi namun pada kenyataannya belum berjalan dengan efektif seperti adanya penyuluhan dari PKK dan PIKRR yang dikhususkan bagi para anak-anak

(7)

remaja sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya pernikahan di bawah umur. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan di kantor kuwu setiap sebulan sekali.

b. Pemahaman Mengenai Pernikahan Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden masih difokuskan pada dua indikator, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum, aspek yang ingin diungkap adalah ranah kognitif responden. Hasil wawancara yang berkaitan dengan dua indikator pernikahan di bawah umur terhadap hak anak tersebut dapat dilihat dari pemaparan di bawah ini.

Pengetahuan mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak

menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Kelima yang menjadi responden kurang mengetahui secara jelas mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak menurut Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Mereka hanya berpandangan bahwa pernikahan di bawah umur merupakan suatu adat kebiasaan yang sudah turun-temurun ada di desanya.

Tidak semua responden dapat menjelaskan mengenai apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi anak. Adapun salah satu dari responden yang menjelaskan bahwa hak seorang anak adalah bermain dan menikmati masa muda seperti anak-anak lain seusianya. Mengenai kewajiban terhadap anak adalah belajar dan memperoleh pendidikan yang layak. Namun walaupun demikian faktor ekonomi lah yang menjadi alasan mengapa mereka menikah di usia muda.

(8)

c. Penerapan Masyarakat Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum yang lainnya, yaitu sikap terhadap hukum dan pola perilaku hukum (ketaatan hukum). Aspek yang diteliti oleh penulis adalah ranah afektif dan psikomotor dari responden. Berikut ini penulis paparkan hasil wawancara dengan responden yang berkaitan dengan kedua indikator kesadaran hukum yang diteliti.

1) Sikap terhadap hukum

Bapak UK (31 th) dan Ibu YU (28 th) setuju dengan diberlakukan Undang-Undang tentang perkawinan dan Undang-Undang tentang perlindungan anak. Agar mendapat perlindungan hukum yang pasti. Sama halnya dengan Bapak US (47 th) dan Ibu IS-pun (30 th) setuju dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut dan berharap semua dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kurang informasi dan sosialisasi dari pemerintah setempat dan badan-badan yang terkait tentang Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak mengakibatkan dari responden kurang memahami akan isi dan tujuan tentang diberlakukannya undang-undang tersebut.

Hal yang sama diutarakan oleh Bapak SO (29 th) dan Ibu RK (28 th), beliau berpendapat dengan adanya undang-undang tersebut jangan samapai masyarakat dibuat bingung tetapi harus menjadikan masyarakat mengerti dan

(9)

paham terhadap proses hukum yang berlaku dalam undang-undang perkawinan dan undang-undang tentang perlindungan hukum.

2) Pola perilaku hukum

Kelima responden memang belum memahami betul hal-hal apa yang akan timbul akibat dari menikah di bawah umur atas perlindungan atas hak anak, kesehatan yang berkenaan dengan organ reproduksi anak, dan psikologis dalam hal kedewasaan anak untuk menetukan pilihan yang benar dan bertanggung jawab. Kurangnya informasi dan sosialisasi dari pemerintah desa maupun tokoh masyarakat mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak menjadi seolah acuh tak acuh terhadap permasalahan yang sebetulnya dapat telihat dengan jelas masih terjadi di desa mereka.

d. Pandangan beberapa tokoh terhadap pendapat responden

Setelah mengadakan pengolahan data wawancara, maka hasilnya dijadikan rujukan oleh penulis, untuk mendapatkan pandangan dari beberapa tokoh mengenai pernikahn di bawah mur terhadap hak anak dipandang dari Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Adapun beberapa tokoh yang berhasil penulis wawancara yaitu:

a. Kepala KUA Kecamatan Kandang Haur

Bapak DRs. H Sanwani Fathoni beliau berusia 54 tahun, pendidikan terakhir S1 (IAIN). Menurut beliau pernikahan di bawah umur tidak dibenarkan karena belum siap dan matang baik secara fisik maupun mental dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KUA juga tidak akan

(10)

menikahkan pasangan apabila calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan kecuali ada rekomendasi dari pihak keluarga dan pengadilan. Menurut beliau faktor yang biasanya menyebabkan seseorang menikah di bawah umur yaitu pergaulan bebas ala kampung dan mengurangi beban orang tua. Usaha yang dilakukan pegawai KUA dalam merubah pola pikir masyarakat terhadap tradisi atau kebiasaan pernikahan di bawah umur di Kecamatan Kandang Haur yaitu dengan mengadakan penyuluhan pra nikah, memberikan ceramah pada saat khotbah jum’at bagi anak laki-laki, dan majelis taklim. Dan kendala yang dihadapi dalam melakukan upaya meminimalisir tingkat perkawinan di bawah umur yaitu apabila kepala desa telah memberikan izin, KUA tidak bisa menolak untuk menikahkan walaupun umurnya belum cukup. Beliau berharap kepala desa lebih ketat lagi dalam memberikan perizinan.

b. Kepala Desa Karanganyar

Bapak Subitadarlim, beliau berusia 45 tahun dan menjabat sebagai Kepala Desa Karanganyar. Kegiatan yang dilakukan pemerintah desa dalam upaya meminimalisir pernikahan di bawah umur di Desa Karanganyar adalah dengan mengadakan program PIKKRR (Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) program tersebut bergerak dalam bidang pembinaan remaja yang belum menikah dengan memberikan penyuluhan yang diadakan tiap sebulan sekali di balai desa. Meskipun partisipasi warga masyarakat Desa Karanganyar terhadap kegiatan atau program yang diadakan oleh pemerintah desa kurang antusias dan belum berjalan dengan efektif karena baru berjalan 1 tahun, namun

(11)

beliau mengatakan bahwa akan terus meningkatkan program tersebut sebagai upaya meminimalisir pernikahan di bawah umur di desanya.

B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Sosiografi Desa Karanganyar

Desa Karanganyar sebagai salah satu desa di wilayah Kecamatan Kandang Haur, Kabupaten Indramayu. Desa ini termasuk desa yang strategis dekat dari jalan raya utama jalur Pantura dan dekat dari pusat pertokoan yang ada di Karang Sinom Indramayu. Walaupun demikian tempat pemukiman masyarakat yang ada di Karanganyar ada juga yang masuk kedalam pelosok dan terpencil. Sebagian besar penduduk Desa Karanganyar merupakan penganut agama Islam. Dilihat dari segi mata pencaharian, sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Penghasilan sebagai petani atau buruh tani yang rendah menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup lain yang lebih besar, termasuk untuk pendidikan bagi anak-anak mereka. Penghasilan dan pendidikan masyarakat yang rendah turut mempengaruhi pola pikir mereka.

Namun dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar penduduk Desa Karanganyar berpendidikan SMA. Namun jumlah anak usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMA atau ke jenjang yang lebih tinggi juga banyak, hal itu dikarenakan tidak terlepas dari kondisi tingkat perekonomian masyarakatnya yang ada juga dari kalangan menengah kebawah serta kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan.

(12)

Pemahaman akan ajaran agama, kondisi perekonomian, latar belakang pendidikan dan kondisi kebiasaan atau tradisi masyarakat merupakan hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan pernikahan. Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kebiasaan masyarakat desa Karanganyar masih melakukan pernikahan di bawah umur disebabkan pada umumnya tingkat ekonomi yang lemah, pendidikan yang kurang, dan tradisi masyarakat setempat.

2. Mekanisme dan Pengaturan Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Hak Anak yang Terdapat Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pernikahan pada hakikatnya adalah sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.

Dalam Al-Quran, pernikahan diungkap dengan istilah miitsaaqon gholiidhan (perjanjian suci yang sangat kuat). Artinya seseorang yang melaksanakan pernikahan sudah berjanji kepada Allah untuk memperlakukan suami atau istrinya sebaik mungkin sesuai dengan syariat yang sudah digariskan.

Memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang masih berlaku saat ini, maka masalah pernikahan di bawah umur mengacu

(13)

ke dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi ”perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Masih pada pasal yang sama dalam ayat (2) dijelaskan ”bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No.1 tahun 1974”. Jadi bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun itu dikatakan sebagai pernikahan di bawah umur.

Hal tersebut dipertegas kembali dalam pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yaitu bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974. Usia minimal yang disyaratkan tersebut, seringkali luput dari perhatian pasangan calon yang akan melangsungkan pernikahan, terlebih pada masyarakat desa dengan tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga yang rendah. Hal itu pula terjadi di Desa Karanganyar Kecamatan Kandang Haur Kabupaten Indramayu.

Pemberlakuan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 di atas memang dilakukan oleh negara (Indonesia) bukan tanpa adanya alasan yang kuat, tetapi juga dari perlindungan atas hak anak, kesehatan yang berkenaan dengan organ reproduksi anak, dan psikologis dalam hal kedewasaan anak untuk menetukan pilihan yang benar dan bertanggung jawab juga bertujuan untuk memperkecil resiko banyaknya kerugian atau kesewenang-wenangan yang akan dialami oleh seorang wanita (isteri) maupun anak baik kerugian dalam aspek sosial maupun hukum dalam sebuah perkawinan.

(14)

Ketika berbicara batasan umur minimal untuk menikah bagi seorang anak dalam hukum Islam tidak disebutkan secara eksplisit yang dituangkan baik di dalam Al Qur’an maupun hadist tetapi perlu dingat bahwa secara implisit syari’at menhendaki orang yang akan melangsungkan perkawinan itu harus benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah. Tidak ditetapkannya batasan umur minimal bagi seorang anak untuk melangsungkan pernikahan tentunya memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menyesuaikan masalah tersebut dengan karakter budaya dan sosial masyarakat setempat.

Dalam kontek pemikiran hukum Islam (fiqh), hampir semua ulama berpendapat bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai adalah telah mencapai baligh. Batasan usia baligh ini sendiri sebenarnya memiliki beberapa perbedaan dalam batasn usia sampai berapa tahun yang cukup mencolok, karena penentuan baligh pada saat itu bukan dihasilkan melalui kajian yang komprehensif dan komparatif. Melihat hal tersebut sebenarnya kembali lagi kepada kondisi masyarakat setempat yang dilihat dari segi sosial dan budaya. Pertanyaan tersebut tentunya bisa terjawab ketika kita melihat konvensi yang ada di Indonesia dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan. Seperti dilihat dari paparan di atas bahwa sebenarnya kategori seorang anak baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan pernikahan ketika pasangan tersebut (kedua calon mempelai) telah dewasa.

Secara teknis dalam hukum positif Indonesia yang telah disepakati bahwa batasan usia minimal untuk menikah jika pihak laki-laki mencapai usia 19 tahun

(15)

dan perempuan sudah mencapai 16 tahun. Selain dari sisi hukum Islam dan hukum nasional, jika kita melihat dari sisi sosial, pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Berbicara hak anak dalam pernikahan di bawah umur yang dimaksud dalam hal ini adalah sebenarnya melihat bagaimana sebenarnya perlindungan hak anak jika dijadikan sebagai subyek dalam pernikahan di bawah umur, dilihat dari sisi hukum nasional sendiri, pengaturan mengenai pemenuhan hak anak diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 yang meliputi hak tumbuh dan berkembang, hak sipil dan hak kebebasan, hak pengasuhan dan perawatan, hak bermain dan hak berpartisipasi, hak kesehatan, hak pendidikan serta perlindungan khusus.

Jika kita lihat bersama dalam pernikahan di bawah umur jelas bahwa ada pelanggaran terhadap hak anak yang diatur dalam undang-undang Pelindungan Anak. Hal pertama yang akan menjadi pembahasan adalah berbicara tentang peran orang tua, hal ini menarik diangkat ketika kita melihat bersama bahwa kenderungan yang terjadi dalam pernikahan di bawah umur adalah faktor ekonomi. Pernikahan di bawah umur yang terjadi selama ini terlihat bahwa pada umumnya adalah pengalihan tanggung jawab orang tua yang sebenarnya dalam undang-undang ini seharusnya orang tua mencegah adanya perkawinan pada usia

(16)

anak-anak yang tentunya hal tersebut bertujuan untu menjaga hak-hak anak. Selain adanya peraturan tentang pencegahan perkawinan pada usia anak-anak, juga sebenarnya ketika kita melihat batasan usia anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah 18 tahun sehingga tentunya akan sangat bertentangan ketika ada pernikahan di bawah batasan umur tersebut.

Selain berbicara tentang batasan usia anak dan adanya kewajiban orang tua dalam mencegah perkawinan di bawah umur seperti yang diatur dalam peraturan undang-undang ini, tentunya juga ada beberapa hak anak yang akan dilanggar ketika pernikahan ini terjadi, diantaranya hak anak mendapatkan pendidikan, hal ini kenapa terjadi karena pada umumnya ketika anak telah menikah yang terjadi adalah anak tidak akan melanjutkan pendidikannya lagi, sebagai contoh ketika anak perempuan yang menikah maka ada kewajiban terhadap dia sebagai seorang istri yang tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai ibu bagi anak-anaknya dan pada prakteknya sangat sedikit yang akan melanjutkan sekolah lagi, pelanggaran hak lainnya adalah hak untuk berfikir dan berekspresi dalam artian ketika anak telah menikah maka dia akan dituntut dengan berbagai macam kewajiban baru sebagai seorang istri bagi anak perempuan dan suami bagi anak laki-laki.

Pelanggaran hak-hak anak lainnya sebenarnya cukup banyak, hal ini terjadi karena anak-anak dipaksa untuk tidak bertindak sebagaimana anak-anak pada umumnya dan selain itu jika melihat prinsip dasar di dalam Konvensi Hak Anak maka kepentingan yang utama adalah kepentingan anak bukannya kepentingan dari orang dewasa dan juga seperti yang tercantum dalam

(17)

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 3 ”perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

Selain itu pada saat wawancara terungkap bahwa alasan mereka melakukan pernikahan di bawah umur karena desakan ekonomi yang mendorong orang tua untuk segera menikah pada usia yang masih muda. Hal tersebut dilakukan karena kekhawatiran orang tua akan anaknya tidak laku terlebih pada anak perempuan mereka yang belum juga menikah. Terlebih adanya sanksi masyarakat berupa sebutan perawan tua, hal tersebut dianggap sebagai aib keluarga. Oleh karena itu, sebisa mungkin mereka menghindar hal demikian dengan segera menikahkan anak-anaknya, terlepas siap atau tidaknya anak tersebut untuk melangsungkan pernikahan.

Dengan demikian berarti orang tua telah melanggar Undang-Undang No. 23 tahun 2002 yang mengacu pada pasal 26 ayat (1) ”orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya; dan

(18)

Kasus seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi karena sebenarnya dalam Islam sendiri juga menjunjung tinggi HAM apalagi perlindungan terhadap hak-hak anak karena anak adalah amanah (titipan) yang harus dijaga, dibimbing, dirawat dan diperlakukan sebagai seorang anak sebagaimana mestinya dan bukan dijadikan sebagai sumber ekploitasi bagi orang tua dan orang dewasa lainnya.

Kemudian penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa di Desa Karanganyar masih belum mengetahui secara pasti isi dan tujuan dari diberlakukannya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Pemahaman Masyarakat Mengenai Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Hak Anak di Desa Karanganyar Kecamatan Kandang Haur Kabupaten Indramayu

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak. Hasil wawancara mengenai indikator kesadaran hukum itu dapat dilihat dari pemaparan berikut.

Pemahaman masyarakat terhadap konsep hukum pernikahan di bawah umur

Kelima responden mengetahui bahwa salah satu bagian dari aturan perundang-undangan adalah batasan mengenai umur dalam pernikahan. Menurut mereka karena faktor kebiasaan atau tradisi yang menjadikan mereka melaksanakan pernikahan di bawah umur dan juga faktor ekonomi yang mendorong mereka untuk menikah di bawah umur.

(19)

Kelima responden berpandangan bahwa sudah selayaknya sebagai Warga Negara Indonesia yang baik wajib mengikuti aturan hukum sebagaimana mestinya tanpa terkecuali. Akan tetapi mereka tidak memungkiri bahwa dalam kenyataannya sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena secara keseluruhan mereka tidak mengetahui isi dan bagaimana bentuk UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pemahaman terhadap isi peraturan hukum merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Salman (1989:57) yang menyatakan bahwa:

... pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh pemahaman tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, adanya pemahaman masyarakat terhadap pernikahan di bawah umur mengandung pengertian bahwa masyarakat tidak memahami isi dan tujuan dari berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan terutama dalam batasan usia menikah. Penulis beranggapan bahwa faktor pemahaman masyarakat terhadap ketentuan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku saat ini belum memahami secara menyeluruh dari ketentuan-ketentuan yang ada. Penulis melihat pemahaman masyarakat mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak, disebabkan oleh pengetahuan yang kurang disertai tradisi masyarakat yang masih melekat mengenai kebiasaan melaksanakan pernikahan di usia muda atau di bawah umur.

(20)

Menurut bapak AG dan ibu TI pandangan mereka terhadap pernikahan di bawah umur itu sebagai hal yang biasa saja dan bukan sesuatu yang aneh karena sudah ada sejak dahulu dan hal tersebut merupakan dianggap sebagai tradisi atau kebiasaan nenek moyang yang terdahulu.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagi berikut: Pemahaman masyarakat Desa Karanganyar terhadap pernikahan di bawah umur masih kurang. Hal tersebut disebabkan karena kurang efektifnya sosialisasi yang ada di desa mereka tentang pernikahan di bawah umur terhadap hak anak dari pejabat desa ataupun dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat mengenai Pernikahan Di Bawah Umur Terhadap Hak Anak

Kesadaran hukum merupakan suatu hal abstrak yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul ataupun tidak timbul. Hal ini sejalan dengan pendapat Heidar (1997) bahwa:

Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi tentang asas kesadaran hukum itu terdapat pada setiap manusia. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai rasa keadilan.

Kesadaran hukum merupakan perasaan dan keyakinan hukum seseorang dalam masyarakat (Soekanto, 1999:147). Efektifitas hukum terlihat bila hukum berlaku di dalam masyarakat, artinya masyarakat mentaatinya. Hal ini terwujud dalam perilaku hukumnya, yaitu perilaku yang sesuai dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

Menurut Friedman (Taneko, 1993:50), seseorang mentaati suatu kaidah hukum karena mempunyai kepentingan pribadi yang akan menimbulkan kerugian

(21)

pada dirinya jika tidak diikuti dan dipenuhi. Akan tetapi, bisa juga karena sensitif terhadap sanksi, dimana seseorang mentaati aturan disebabkan karena takut akan sanksinya yang tegas dan nyata. Selain itu, adakalanya orang berperilaku hukum tertentu disebabkan adanya pengaruh sosial atau lingkungannya. Dalam hal ini seseorang mentaati suatu kaidah hukum didasarkan pada alasan-alasan yang ada hubungannya dengan pihak luar, misalnya: 1) adanya keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan, dan 2) adanya keinginan kuat untuk memelihara hubungan. Selanjutnya orang mentaati hukum bisa juga disebabkan karena mereka berfikir bahwa apabila hukum dilanggar, maka perbuatannya itu dikatakan bersifat ilegal atau amoral.

Dalam hasil penelitian terungkap, bahwa faktor rasionalitas pendidikan turut mempengaruhi tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap pernikahan di bawah umur meskipun sekarang tingkat keberpengaruhannya menjadi sedikit berkurang dan faktor lain yang mempengaruhi juga adalah lingkungan sekitar, adat istiadat dan faktor ekonomi yang paling tinggi tingkat keberpengaruhannya yang menjadi latar belakang masyarakat melakukan penikahan di bawah umur.

Atas dasar faktor-faktor tersebut, dapat diadakan suatu analisa sebagai berikut:

a. Lingkungan sekitar mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum mengenai pernikahan di bawah umur. Kondisi lingkungan baik lingkungan fisik maupun psikis secara langsung akan dijadikan suatu pertimbangan oleh masyarakat dalam mematuhi suatu aturan hukum. Lingkungan bisa menentukan klarifikasi dari kesadaran hukum seseorang

(22)

terhadap pernikahan di bawah umur, apakah termasuk ke dalam kesadaran yang bersifat anomous, heteronomous, sosionomous atau autonomous.

b. Adat istiadat bersumber dari kebiasaan yang sudah dilembagakan. Kebiasaan suatu masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan paradigma berpikir seseorang yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Dalam hal ini keputusan sebagian masyarakat untuk melakukan pernikahan di usia muda atau pernikahan di bawah umur kaitannya terhadap hak anak yang tidak sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dipengaruhi oleh kebiasaan yang selalu dilakukan oleh pendahulunya.

c. Latar pendidikan juga menentukan tingkat pemahaman masyarakat terhadap isi dan tujuan dari Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi cenderung memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap ketentuan hukum ini. Pelaku pernikahan di bawah umur beraneka ragam dalam mengenyam pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA atau STM meskipun tidak tamat.

Secara umum terbentuknya kesadaran hukum masyarakat terhadap pernikahan di bawah umur dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, pemahaman tentang isi peraturan, sikap dan perilaku hukum yang ditampilkan sebagai penghargaan dan ketaatan masyarakat terhadap peraturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soekanto (1983:122) yang mengemukakan bahwa:

Masalah kesadaran hukum masyarakat, sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti,

(23)

ditaati dan dihargai. Apabila warga masyarakat hanya mengetahui suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah daripada apabila memahaminya dan seterusnya.

Kemudian terungkap bahwa pernikahan di bawah umur Desa Karanganyar disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

a. Dorongan Keluarga (orang tua)

Keluarga adalah unit terkecil yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam Ensiklopedia Umum (1981:644), keluarga diartikan sebagai berikut:

Keluarga adalah kelompok yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak, dan anak-anaknya. Sekelompok manusia (ibu, bapak dan anak-anaknya) disebut keluarga nuklear atau keluarga inti.

Dorongan yang dimaksud adalah dorongan orang tua agar anak-anak mereka segera menikah karena faktor ekonomi keluarga. Dalam hal ini, ada anggapan bahwa dengan menikahkan anak-anaknya maka tanggung jawab orang tua dalam hal memenuhi kebutuhan ekonomi anak-anaknya menjadi berkurang. Sebab anak-anak yang telah menikah menjadi tanggung jawab dari si suami anak tersebut. Pada satu sisi, dengan menikahkan anak beban dan tanggung jawab orang tua sedikit berkurang, tetapi di sisi lain seringkali orang tua menikahkan anak-anaknya tanpa mmemperhatikan faktor kesiapan anak-anaknya, terutama dalam hal kematangan secara usia maupun kematangan secara ekonomi.

Ekonomi adalah suatu kegiatan dalam mencapai sesuatu keinginan yang bersifat material dan dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari atau masa yang akan datang. Mayoritas Desa Karanganyar yang bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, atau buruh suatu perusahaan, menjadikan tingkat kesejahteraan mereka cenderung rendah, penghasilan mereka yang serba terbatas menyebabkan

(24)

mereka tidak mampu menyediakan dan memenuhi fasilitas hidup yang memadai untuk kehidupan sehari-hari.

Pernikahan adalah salah satu jalan untuk mengurangi beban keluarga terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi anak. Masyarakat desa Karanganyar beranggapan bahwa dengan menikahkan anak-anak mereka, beban mereka menjadi berkurang, sebab anak-anak mereka yang telah menikah akan memiliki kehidupan sendiri-sendiri, termasuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga mereka.

Struktur mata pencaharian penduduk Desa Karanganyar yang menggantungkan hidup pada sektor agraris (pertanian) ternyata memunculkan semacam istilah bahwa ”musim panen adalah musim kawin sedangkan musim paceklik adalah musim cerai”. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah pasangan yang melangsungkan pernikahan pada musim panen, tidak peduli usia dan kesiapan mereka mengarungi kehidupan rumah tangga. Karena ketidaksiapan itu maka tidak heran pada musim paceklik, dimana kondisi ekonomi serba sulit banyak dari pasangan yang memutuskan untuk bercerai.

b. Pendidikan

Pendidikan masyarakat yang rendah menjadi salah satu faktor pemicu banyaknya pernikahan di bawah umur di desa Karanganyar. Meskipun dilihat dari data profil desa rata-rata pendidikan masyarakat desa Karanganyar adalah tamatan SMA dan ada juga ke jenjang lebih tinggi tetapi ketika penulis melakukan wawancara pada pelaku pernikahan di bawah umur hanya tamatan SD dan SMP

(25)

adapun yang SMA tetapi tidak diteruskan sampai tamat. Mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan, atau bahkan melangsungkan pernikahan.

Berdasarkan rumusan pasal 1 angka (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai berikut:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Melalui pendidikan yang tinggi, setiap manusia diharapkan dapat mengambil manfaat seperti meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, menanamkan dan menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara, memperluas wawasan ke masa depan, mengembangkan kemandirian, kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan teknologi, semangat kerja dan kepeloporan, memiliki sikap dan perilaku bertanggung jawab dan rasa memiliki.

Pendidikan yang rendah juga mempengaruhi pola pikir orang tua maupun anak-anak di Desa Karanganyar, cakrawala berpikir mereka menjadi sempit, mereka cenderung pasrah pada keadaan. Pendidikan yang rendah berimplikasi pula pada pemahaman masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku atau hukum-hukum pernikahan yang ada. Anak-anak mereka mudah mengikuti atau mengikuti kehendak orang tua tanpa pertimbangan dalam diri sendiri, semuanya tergantung pada orang tua atau pasrah pada keadaan.

(26)

c. Tradisi masyarakat

Masyarakat terdiri atas sekelompok manusia yang menempati daerah tetentu, menunjukkan integritas, berdasarkan pengalaman bersama berupa kebudayaan, mempunyai kesadaran akan kesatuan empat tinggal dan bila perlu dapat bertindak bersama. Dalam sebuah masyarakat terdapat suatu kebiasaan yang didasarkan suatu tindakan bersama yang kita kenal dengan sebuah tradisi.

Pada deskripsi hasil penelitian, dikemukakan bahwa masyarakat Desa Karanganyar sudah terbiasa untuk menikahkan anak-anak mereka pada usia relatif muda (di bawah 20 tahun). Kebiasaan masyarakat itu dilatarbelakangi oleh penilaian anggota masyarakat kepada mereka yang belum menikah pada usia di atas 20 tahun sebagai perawan tua bagi anak perempuan dan jejaka tua bagi anak laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut: kesadaran hukum masyarakat Desa Karanganyar dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan, faktor pendidikan, dan latar belakang ekonomi.

5. Upaya yang Telah Dilakukan Oleh Tokoh Masyarakat dan Pemerintah dalam Meminimalisir Pernikahan Di Bawah Umur Di Desa Karanganyar

Tokoh masyarakat dalam hal ini adalah Pemuka agama, Kepala Desa, Lebe, dan Kepala KUA yang memiliki peranan penting dalam meminimalisir pernikahan di bawah umur. Tokoh masyarakat bertugas membina kehidupan keagamaan masyarakat termasuk dalam hal pernikahan. Penyampaian informasi tentang bagaimana pernikahan, latar belakang, pentingnya rukun dan syaratnya pernikahan menjadi hal yang semestinya disampaikan oleh para pemuka agama

(27)

sebagai upaya menumbuhkan pemahaman masyarakat yang luas tentang pernikahan yang sebenarnya. Pemahaman itu diperlukan agar pernikahan tidak dipandang sekedar untuk menghalalkan hubungan suami istri dalam bingkai rumah tangga, melainkan lebih dari itu, pernikahan perlu dipersiapkan secara matang, baik fisik, psikis, termasuk kesiapan finansial (ekonomi). Di samping itu, tokoh masyarakat juga dapat menjadi corong dalam mengikis budaya-budaya masyarakat yang menganggap hina bagi keluarga yang memiliki anak perempuan yang belum menikah pada usia di bawah 20 tahun.

Pemerintah desa, menjadi pihak yang dapat mendorong warga masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka melalui program yang diadakan oleh pemerintah desa yaitu PKK dan Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIKKRR) yang diadakan tiap sebulan sekali bertujuan untuk memberikan konseling pada anak remaja mengenai kesehatan reproduksi bagi para remaja, kemudian pendidikan pra nikah yang bertujuan untuk meminimalisir terjadinya pernikahan di bawah umur meskipun program tersebut belum berjalan secara optimal.

Di samping pemerintah desa, Kantor Urusan Agama menjadi bagian yang dapat turut andil meminimalisir terjadinya pernikahan di bawah umur. Dari hasil penelitian terungkap bahwa KUA juga menyelenggarakan bimbingan pra nikah yang bertujuan untuk membekali pasangan dalam membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan wa rahmah.

(28)

C. Temuan Penelitian

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa tulisan ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk semua pihak yang berkepentingan khususnya dan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Masalah dioperasionalkan dalam pertanyaan penelitian diungkap dengan tujuan agar masalah tersebut dapat diungkap secara objektif, jelas dan dapat dipahami secara sederhana. Pada bagian temuan hasil penelitian ini akan diuraikan beberapa hal yang ditemukan penulis pada waktu melakukan penelitian.

Penulis mengambil pendapat dari Soekanto untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesadaran hukum masyarakat mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak. Soekanto (1982:140) mengemukakan bahwa ”untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolak ukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum”. Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Setelah penulis melakukan proses identifikasi terhadap objek penelitian, maka dapat diketahui beberapa inti temuan penelitian sebagai berikut yang terdapat dalam tabel berikut ini:

(29)

Gambar 4.1

Indikator Kesadaran Hukum Masyarakat Mengenai Pernikahahn Di Bawah Umur Terhadap Hak Anak Sesuai dengan Temuan Penelitian

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa indikator yang satu mempengaruhi indikator lainnya. Pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh suatu individu atau komunitas masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan, pemahaman dan sikap hukum yang mereka tonjolkan. Kesadaran hukum masyarakat juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotor yang dimiliki oleh setiap individu. Nilai kognitif, afektif dan psikomotor tersebut masing-masing akan dibuktikan oleh hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pemahaman masyarakat Desa Karanganyar mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak sangat kurang. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya informasi dan kurangnya sosialisasi mengenai pernikahan di bawah

Pengetahuan Hukum Pemahaman Hukum Sikap Hukum Pola Perilaku Hukum Nilai Kognitif Nilai Afektif Nilai Psikomotor Indikator Kesadaran Hukum (Soerjono Soekanto, 1983)

(30)

umur baik dari pemerintah desa maupun pegawai KUA yang masih berjalan namun kurang efektif dan kurang antusias.

2. Masyarakat Desa Karanganyar hanya sekedar mengetahui pernikahan di bawah umur sebatas tradisi dan kurang mengetahui adanya undang-undang tentang perlindungan anak, yaitu Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Namun demikian, kurangnya sosialisasi dari instansi-instansi terkai membuat mereka tidak mengetahui akan hak-hak anak yang dijamin oleh undang-undang.

3. Kesadaran hukum masyarakat Desa Karanganyar mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan, kemapanan ekonomi dan latar belakang pendidikan. Keempat faktor yang disebutkan di awal merupakan faktor yang tingkat keberpengaruhannya paling besar.

Pada akhirnya keseluruhan hasil penelitian ini akan bermuara pada suatu kesimpulan yang penulis ambil, bahwa kesadarn hukum masyarakat Desa Karanganyar dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat Desa Karanganyar yang kurang serta tidak adanya pihak yang memberikan penerangan atau informasi maupun sosialisasi lebih lanjut mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak pada pihak masyarakat itu sendiri baik itu ulama, ustad, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah desa bahkan instansi terkait seperti KUA (Kantor Urusan Agama) dalam upaya meminimalisir pernikahan di bawah umur di Desa Karanganyar Kecamatan Kandang Haur Kabupaten Indramayu.

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan Evaluasi Operasi Bulanan (EOB) ini bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai kondisi operasi sistem tenaga listrik Khatulistiwa pada bulan April, termasuk

Perancangan jaringan indoor jaringan HSDPA pada provider 3 pada Gedung C Fakultas Teknik Universitas Riau menggunakan propagasi COST 231 MultiWall dimana dalam

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

Menurut beliau dengan anak 5 orang yang diberikan kepada mereka, nampanya menjad PNS tidak bisa menjamin masa depan anak-anak kami, sehinga dengan peluang ada

EFEK TERAPI DESENSITISASI SISTEMATIS GUNA MENGURANGI GEJALA KECEMASAN PADA PENDERITA GANGGUAN FOBIA

Alat uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode regresi sederhana, dengan metode ini akan didapat pengaruh variabel bebas (Pengetahuan

Media pembelajaran teka-teki silang ini akan digunakan dalam model pembelajaran teams games tournament (TGT). Model pembelajaran TGT merupakan sebuah model

Pada sekolah SMA N 14 Semarang, siswa yang memiliki sikap negatif (cenderung kurang merespon atau tertarik dengan hal-hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi)