• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SINYAL REPRODUKSI ALAM DALAM PROSES REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN SINYAL REPRODUKSI ALAM DALAM PROSES REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG

KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR

RANALSE PATIUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Ranalse Patiung

(3)

RANALSE PATIUNG. Study of Natural Signal Reproduction in Reproduction Proceses and Oosite Developement at Big Polyp Hard Coral (Scleractinia) in Badi Island, Makassar. Under direction of NEVIATY P. ZAMANI, and ETTY RIANI.

Recent observation shows coral reef disturbance at dangerous level. It needs seriously conservation by used rehabilitation method. There are many ways of rehabilitation methods but they have many disadvantages. One of rehabilitation methods is transplantation. The disadvantege that method is coral broodstock which take from nature makes coral reef ecosystems destroy if taken in large scale. The other disadvantage is coral transplant can’t a setback after a few offspring. To cover the shortage of rehabilitation needs arrest method to cultivate the larvae. First that method needs natural signal reproduction information, but that informations at tropics area are so less. To resolve that problem the research was conducted. The result of research shows that comparison between environmental factor and coral physiological are lack of correlation. Environmental factors that correlate positively are moon phase and nutrients (PO4) eventhouh a small correlation (below 0,5). The correlation at Euphylia Ancora from PO4 and moon phase are 0,059 and 0,203, while the correlation at Euphylia

glabrescens from PO4

Key words : Signal Reproduction, Reproduction Proceses, Oosite Development, Big Polip Coral, Badi Island

and moon phase are 0,218 and 0,112. This correlation indicates that a lack of environmental factor influences on oosite development and reproduction of corals in the tropic area. This condition is caused by the absence of extreme environmental factor variation at tropic area.

(4)

RANALSE PATIUNG. Keterkaitan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, dan ETTY RIANI.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kaya. Kekayaan tersebut dapat terlihat dengan beragamnya organisme yang dapat ditemukan pada ekosistem tersebut. Kekayaan tersebut juga banyak yang dimanfaatkan oleh manusia. Pemanfaatan oleh manusia sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dengan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.

Kerusakan terumbu karang saat ini sudah sangat serius sehingga memerlukan solusi yang tepat untuk menanganinya. Ada berbagai solusi untuk menangani masalah tersebut salah satunya yakni rehabilitasi terumbu karang. Dewasa ini metode yang digunakan rehabilitasi terumbu karang masih berupa penyediaan substrat, tetapi masih memerlukan indukan karang dari alam.

Cara ini memiliki kekurangan yakni karang yang ditransplan akan sulit tumbuh setelah beberapa keturunan. Kekurangan yang lain yakni karang indukan yang diambil dari alam dapat merusak ekosistem terumbu karang jika diambil dalam skala yang besar dan berkelanjutan.

Kekurangan tersebut dapat tertutupi dengan metode rehabilitasi secara seksual yang mengarah ke matode penangkapan larva untuk di budidayakan. Informasi mengenai pemicu dan waktu reproduksi karang pada daerah tropis sangat kurang sehingga penelitian ini diadakan.

Penelitian ini dilakukan selama beberapa Bulan Mei 2009 sampai Januari 2010 untuk melihat karakter perkembangan gonad karang target. Hewan uji atau karang target diambil dua spesies karang yang mewakili karang keras polip besar pada Pulau Badi yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens.

Kedua jenis karang tersebut diamati secara histologi setiap fase bulan untuk melihat perkembangan gonad karang target. Parameter lingkungan juga diukur baik secara insitu maupun exsitu seperti pasang surut, kecepatan arus, suhu, salinitas, pH, nitrat (NO3) dan fosphat (PO4

Hasil penelitian yang didapatkan untuk variabel lingkungan terdapat variasi akan tetapi sangat kecil. Jenis pasang surut di Selat Makassar termasuk dalam jenis campuran condong keharian ganda. Hal ini dikarenakan Selat Makassar yang berada disekitar khatulistiwa, dimana kecenderungan pasang surut pada daerah tersebut yakni tipe campuran.

). Parameter fisiologis dan lingkungan tersebut dikombinasikan agar dapat melihat karakter perkembangan gonad serta pengaruh dari lingkungannya.

Bentukan arus Selat Makassar cenderung mengarah ke utara pulau. Hal ini dikarenakan letak Selat Makassar yang dilalui ARLINDO (arus lintas Indonesia) yang mengalir dari utara (Samudera Pasifik) menuju ke selatan (Samudera Hindia). Arus ini mengalir periodik melalui Selat Makassar tiap tahunnya.

Suhu dan salinitas mengalami peningkatan pada akhir tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan adanya aliran massa air hangat yang ikut terbawa sehingga menghangatkan

(5)

Kondisi pH Pulau Badi berada pada kisaran yang tergolong cukup, akan tetapi dapat memicu pertumbuhan alga. Hal ini disebabkan karena kisarannya yang berada dibawah normal. Nitrat (NO3) dan fosphat (PO4

Hasil pengamatan histologi menunjukkan gonand karang tersebut termasuk bertipe reproduksi gonokorik broadcast spawning (dioseus) dengan tipe telur sinkroni. Hal ini dapat terlihat bahwa kedua karang tersebut mengeluarkan telur pada bulan gelap di Bulan Desember. Jika diamati lebih teliti terlihat jenis Euphylia glabrescens perkembangan gonadnya lebih cepat dibanding dengan Euphylia ancora.

) masih dalam variasi yang normal untuk lingkungan ekosistem terumbu karang.

Pelepasan telur yang terjadi saat bulan gelap disebabkan oleh adanya insting reproduksi. Kedua karang tersebut bereproduksi pada bulan gelap karena saat bulan gelap cahaya akan berkurang sehingga pergerakan predator telur karang juga berkurang. Jika pergerakan predator berkurang maka secara tidak langsung telur karang yang dikeluarkan akan termakan oleh predator. Telur yang tidak termakan oleh predator ini akan tumbuh menjadi individu karang yang baru.

Perbandingan parameter lingkungan dengan fisiologis karang menunjukkan kurangnya korelasi yang terjadi. Beberapa parameter yang terukur hanya terdapat sedikit korelasi yang berada jauh di bawah korelasi kuat yakni lebih besar dari 0,5. faktor lingkungan yang berkorelasi positif walalupun kecil (dibawah 0,5) yakni fase bulan dan nutrien (PO4

Pada jenis Euphylia ancora korelasi fase bulannya 0,059 dan korelasi PO ).

4 yaitu 0,203, sedangkan pada Euphylia glabrescens korelasi fase bulannya 0,218 dan korelasi PO4 yaitu 0,112. Korelasi ini menunjukkan kurangnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan dan reproduksi karang pada daerah tropis. Kurangnya korelasi tersebut disebabkan oleh karena tidak adanya variasi yang sangat ekstrim yang ditimbulkan oleh parameter lingkungan terukur pada daerah tropis.

Kata kunci : Sinyal Reproduksi, Proses Reproduksi, Perkembangan Oosit, Karang Polip Besar, Pulau Badi

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG

KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR

RANALSE PATIUNG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(8)

Judul Tesis : Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar

Nama : Ranalse Patiung

NRP : C551070101

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Etty Riani, MS

Anggota

Mengetahui Ketua Program Studi

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Tak hentinya penulis menghaturkan ucapan syukur yang sebesar-besarnya pada hadirat Bapa di Sorga dan Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, dimana atas semua anugerah dan perkenan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terjadi sebagai mana kehendak-Nya. Tema yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah Keterkaitan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, hanya perkenan-Mu lah maka semua ini dapat terjadi.

2. Ayahhanda Drs. Rannu Palamba MM, dan Ibunda tersayang Albertin Sampe, berkat doa dan bimbingannya serta sebagai motivator yang selama ini selalu mendukungku, serta adikku (Obet, Roni, Ria, dan Recky) yang selalu memberi keceriaan dalam tiap langkahku.

3. Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku tim komisi pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, dan perbaikan dari awal penelitian sampai selesai ujian sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Bapak Syafyudin Yusuf ST, M.Si sebagai teman sekaligus pembimbing lapangan selama penelitian berlangsung.

5. Keluarga besar Nenek Kunna (alm) dan Nenek Ranal (alm) diamapun berada atas doa dan dukungannya selama ini.

6. Keluarga besar Yesi Novianti Puntu yang rela berkorban sangat membantu selama penelitian ini berlangsung.

7. Rahmadani S. Pi selaku teman dan tim seperjuangan dalam penelitian di Pulau Badi. 8. Pak Dani sekeluarga yang selalu memfasilitasi keperluan selama di Bogor.

9. Pak Muhaji dan Ibu Noro serta seluruh penduduk Pulau Badi yang selalu memfasilitasi saat penelitian ini berlangsung.

10. Rekan-rekan angkatan 2007 IKL maupun TEK selaku teman seperjuangan dalam menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.

(10)

penelitian.

12. Seluruh teman-teman yang namanya belum sempat disebutkan, terima kasih atas seluruh dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan utamanya dibidang coralogi.

Bogor, Januari 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, pada tanggal 7 Novermber 1984, penulis merupakan anak pertama dari Drs. Rannu Palamba MM dan Albertin Sampe.

Tahun 1996 lulus Sekolah Dasar Kristen 5 Rantepao, tahun 1999 lulus Sekolah Menengah Pertama 2 Rantepao, dan pada tahun 2002 penulis dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Umum 1 Rantepao, Tana toraja. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin, Makassar pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Program Studi Ilmu Kelautan, dan berhasil lulus pada tahun 2007.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan magister (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Kelautan. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan magister (S2) pada tahun 2011 dengan judul tesis ” Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar”.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……… ii

DAFTAR GAMBAR………... iii

DAFTAR LAMPIRAN……… v

PENDAHULUAN Latar Belakang……….. 1

Tujuan dan Kegunaan……… 2

Hipotesis Penelitian……… 2

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Karang Target... 3

Jenis Reproduksi Pada Karang... 5

Larva Karang... 7

Penempelan Larva Karang (Recruitment)... 8

Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi... 9

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat... 15

Bahan dan Alat... 16

Skema Alur Penelitian………... 16

Prosedur Kerja... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 22

Karakteristik Parameter Fisiska dan Kimia Perairan Pulau Badi……….... 24

Perkembangan Gonad Karang Target……….. 34

Keterkaitan antara Faktor Lingkungan dengan Perkembangan Gonad Karang……….. 41

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan………... 44

Saran………. 44

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Waktu spawning pada beberapa jenis karang di daerah sub tropis... 6 2 Perkembangan telur karang target pada tiap fase bulan……… 32

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan)... 4

2 Jenis reproduksi pada karang... 5

3 Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens)... 6

4 Irisan histologi gonad Goniastrea aspera... 7

5 Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recriuiment……….. 8

6 Perbandingan pemijahan karang terhadap suhu dalam kurun waktu satu tahun... 11

7 Fase bulan... 13

8 Peta Pulau Badi... 15

9 Skema alur penelitian... 16

10 Pulau Badi……… 22

11 Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Badi……… 23

12 Pola pasang surut Selat Makassar Mei 2009 sampai Januari 2010……… 24

13 Grafik kecepatan arus Pulau Badi... 25

14 Perbandingan suhu perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi……….. 26

15 Grafik suhu bulanan periran Pulau Badi……… 27

16 Perbandingan salinitas perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi……….. 28

17 Grafik salinitas bulanan periran Pulau Badi……….. 29

18 Perbandingan pH perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi………. 30

19 Grafik pH bulanan periran Pulau Badi………. 31

20 Perbandingan nitrat (NO3) dengan fosphat (PO4) Pulau Badi……… 33

21 Hewan uji Euphylia ancora………... 34

22 Potongan melintang gonad Euphylia ancora ……… 35

23 Hewan uji Euphylia glabrescens……… 36

(15)

25 Bentuk morfologi gonad telur Euphylia glabrescens (Desember 2009)……… 38 26 Grafik perkembangan sel telur Euphylia ancora dan Euphylia glabrescens... 39 27 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur Euphylia ancora. 41 28 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pengukuran sel telur karang dan parameter fisika kimia oseanografi

Pulau Badi……….. 49

2 Matriks korelasi Euphylia ancora………. 49

3 Matriks korelasi Euphylia glabrescens……….. 50

4 Kecepatan arus Pulau Badi………. 50

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktifitas yang tinggi. Produktifitas terumbu karang 1500 sampai 5000 gC/m2/tahun (Atkinson. 1987) bahkan pada daerah Hawai dapat mencapai 11000 gC/m2

Pengambilan karang donor secara aseksual dari alam menimbulkan dampak yang besar. Dampak yang ditimbulkan yakni dapat meyebabkan karang

/tahun (Litter. 1973). Tingginya produktifitas di sekitar daerah terumbu karang berakibat tingginya keanekaragaman jenis biota baik sesil maupun motil. Keanekaragaman biota yang tinggi ini banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat utamanya masyarakat pesisir dengan berbagai keperluan.

Pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat pesisir kebanyakan yang merusak. Saat ini pengambilan karang baik untuk ornamen atau hiasan akuarium, pembuatan kapur, maupun untuk pondasi rumah sudah sangat marak. Data terakir dari CITIES 2010 keseluruhan karang (Hexacorallia maupun Octocorallia) sudah termasuk appendix 2 atau sudah dilindungi (Anonim. 2010). Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan pengambilan ikan yang salah misalnya pengeboman, dan pembiusan. Karang yang dibom akan hancur kemudian mati sedangkan yang dibius akan akan mengalami bleacing (pemutihan) lalu mati. Kondisi tersebut tidak sebanding dengan pemulihan ekosistem terumbu karang yang cenderung sangat lambat.

Kondisi inilah yang menyebabkan ekosistem terumbu karang mengalami degradasi yang sangat cepat. Saat ini ekosistem terumbu karang yang masih bagus sudah berkurang dengan drastis tiap tahunnya. LIPI mencatat bahwa persentase karang rusak 2009 mencapai 31,45%, lebih besar dari karang yang masih sangat baik dengan persentase hanya 5,56%. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak.

Berbagai tehnik rehabilitasi terumbu karang telah dikembangkan seperti

biorock, ekorock, dan rockpile. Semua tehnik ini merupakan tehnik untuk

penyiapan substrat, sehingga diperlukan karang donor. Karang donor ini diambil melalui cara aseksual yakni dari fragmentasi karang yang ada di alam.

(18)

donor menjadi stress dan dapat mengganggu karang disekitarnya. Tehnik rehabilitasi secara aseksual ini juga memiliki kekurangan yang lain. Kekurangan tersebut yakni pada umur 4 tahun karang yang ditransplan tidak mengalami pemulihan bahkan mengalami degradasi (Omori. 2004). Oleh karena itu diperlukan alternatif untuk penyiapan karang donor. Alternatifnya yakni penyiapan secara seksual dengan menangkap larva karang saat bereproduksi. Larva yang didapatkan kemudian dibiakkan dan dilepaskan ke alam sebagai upaya pelestarian karang donor.

Reproduksi karang akan terjadi jika ada rangsangan lingkungan yang berasal dari alam yang dikenal dengan sinyal reproduksi, sehingga untuk mengetahui waktu reproduksi karang maka terlebih dahulu perlu diketahui sinyal reproduksinya. Sinyal reprodusi ini yang dijadikan acuan waktu pengambilan larva karang di alam. Jika sinyal reproduksi ini telah diketahui maka pengambilan larva karang akan menjadi lebih mudah. Mengingat belum ada data tentang sinyal reproduksi di daerah tropis maka perlu dilakukan penelitian dengan judul ”Kajianan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar”.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu

1. Mengidentifikasi karakteristik fisiologis sel telur karang melalui analisis histologi.

2. Mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang berpengaruh terhadap perkembangan sel telur dan reproduksi seksual karang target.

Kegunaan penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik fisiologis sel telur karang dan mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang sangat berpengaruh dalam proses reproduksi karang keras polip besar secara seksual.

Hipotesis Penelitian

Pembentukan gamet pada daerah tropis untuk jenis Euphylia ancora lebih cepat dibanding jenis Euphylia glabrescens dengan parameter sinyal reproduksi yang sama.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Karang Target

Secara taksonomi phylum Coelenterata atau Cnidaria memiliki ciri khas yakni sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini dikenal dengan nama Nematocyt. Anggota dari phylum ini dibagi menjadi 4 klas yaitu:

1. Klass Hydrozoa (Physalia physalis) 2. Klass Schyphozoa (Aurelia aurita) 3. Klass Cubozoa (Chironex fleckeri),dan 4. Klass Anthozoa (Euphylia sp).

Keempat klass yang ada tersebut karang termasuk dalam klass yang keempat yakni Anthozoa (Suwignyo et al. 2005). Pada umumnya karang dibagi menjadi dua sub kelas yaitu:

1. Karang keras (Sclerectinia), dan 2. Karang lunak (Alcyonaceae).

Kedua jenis karang tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya. Perbedaan yang paling mencolok antara kedua jenis tersebut yakni dari struktur rangka penyusunnya. Pada karang keras rangka penyusunnya yakni rangka kapur CaCO3

Genus Euphylia dibagi menjadi 5 jenis, 4 diantaranya terdapat di Indonesia yakni Euphylia ancora, Euphylia glabrescens, Euphylia cristata, dan Euphylia

davisa. Ciri khas dari genus ini yaitu bentuk percabangan koloni paceloid. Septa

tanpa gigi dengan permukaan halus. Kolumella tidak ada, kosta tidak berkembang , sedangkan pada karang lunak rangka penyusunnya yakni silikat (Veron. 2000). Selain rangka jumlah tentakel polipnya juga berbeda. Pada karang keras dikenal juga dengan nama Hexacoralia atau memiliki 6 tentakel atau kelipatannya, sedangkan pada karang lunak juga dikenal dengan nama Octocoralia atau memiliki 8 tentakel atau kelipatannya (Sorokin. 1993).

Karang keras miliki jenis yang lebih bervariasi dibanding dengan karang lunak. Selain jenisnya yang bervariasi karang keras memiliki bentuk yang indah, dan terkadang dijadikan sebagai hiasan akuarium. Salah satu jenis karang keras adalah dari genus Euphylia.

(20)

dengan baik tetapi masih dapat terlihat. Bentuk polip besar dan tentakel memanjang. Jenis karang ini banyak ditemukan di perairan Indonesia yang relatif tenang dan kurang aksi gelombang (Suharsono. 2008). Pada penelitian ini diambil dua jenis yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens. Secara taksonomi kedua karang dapat dijelaskan sebagai berikut (Veron. 2000):

Kingdom : Animalia Phylum : Coelenterata Klass : Anthozoa Ordo : Scleractinian Familia : Caryophyllidae Genus : Euphylia

Spesies : Euphylia ancora

Euphylia glabrescens

Gambar 1. Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan) (Anonim. 2008).

Kedua karang ini (Gambar 1) memiliki ciri khusus yang membedakannya, ciri tersebut dapat dilihat dari bentuk tentakel yang menjulur keluar. Euphylia

ancora merupakan salah satu jenis karang keras yang memiliki bentuk tentakel

seperti kuku, sehingga sering disebut sebagai karang kuku. Bentuk koloni

flabeloid atau meandroid-paceloid yang secara keseluruhan membentuk kubah.

Dinding koralit tipis dengan septa terlihat jelas tipis tanpa kolumella.

Euphylia glabrescens memiliki ciri tentakel yang menyerupai korek kayu

dengan kepala berwarna putih. Bentuk koloni flabeloid atau meandroid-paceloid yang secara keseluruhan membentuk kubah. Dinding koralit tipis dengan septa terlihat tipis tanpa kolumella (Suharsono. 2008).

(21)

Jenis Reproduksi Pada Karang

Pada Coelenterata terdapat dua jenis reproduksi yakni reproduksi seksual dan aseksual. Secara seksual perkembangbiakan karang dibagi menjadi beberapa model perkembang biakan yakni:

1. Hermaprodit spawning 2. Biseksual spawning

3. Hermaprodit viviparous, dan 4. Biseksual hermaprodit.

Keempat model perkembangan seksual pada karang yang mendominasi komunitas terumbu karang yakni hermaprodit spawning, dimana telur karang tersebut dibuahi oleh sperma dari karang yang sama. Mekanisme tersebut dilakukan sebagai cara untuk mempertahankan jenis karang tersebut di lingkungannnya (Sorokin. 1993).

Gambar 2. Jenis reproduksi pada karang (Anonim. 2008).

Spesies karang yang brooder (menghasilkan planula) dapat pula mengeluarkan telur yang belum terbuahi selama beberapa minggu, sehingga membutuhkan waktu untuk pembentukan dan perkembangan sel telur secara besamaan sebelum fertilisasi. Spesies yang spawning juga membutuhkan waktu pembentukan sel telur secara bersamaan (Veron. 2000).

Pada ekosistem terumbu karang pertemuan antara gamet jantan dan betina dari karang lain dapat saja terjadi. Hal ini dikarenakan faktor fisik yakni arus yang membawa gamet tersebut sehingga bertemu dengan gamet dari karang lain.

(22)

Setelah terjadi pembuahan maka larva akan berenang kurang lebih 2 hari setelah menemukan tempat yang cocok maka larva tersebut akan menempel lalu tumbuh menjadi organisme karang yang baru (Jackson. 1986 dalam Barnes dan Hughes. 1999).

Gambar 3. Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens) (Anonim. 2008).

Tiap karang memiliki waktu spawning yang berbeda tergantung dari jenis telurnya. Pada Acropora yang telurnya sinkronus waktu memijahnya lebih sering dibanding dengan jenis karang yang lain. Hal tersebut tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Waktu spawning pada beberapa jenis karang di daerah sub tropis (Wilson

(23)

Larva Karang

Kebanyakan spesies karang yang mengalami oogenesis, proses spermatogenesisnya berlangsung antara 2-4 bulan. Kematangan gonad jantan dan betina terjadi secara simultan dan spawningnya secara sinkron. Pelepasan gamet pada beberapa karang lebih dari enam malam, satu atau dua kali dalam setahun. Sedangkan spesies yang brooder (menghasilkan planula) bisa mencapai 3 sampai 7 bulan (Shlesinger dan Loya. 1985).

Gambar 4. Irisan histologi gonad Goniastrea aspera (Sakai. 1997)

Ukuran tiap larva berbeda antara satu jenis dengan jenis karang yang lain. Untuk jenis karang yang spawning ukuran perkembangan dari larvanya cenderung lebih kecil dibanding dari jenis yang brooder. Hal ini tampak dari jenis Acropora

tenuis yang spawning diameter planulanya yakni 500 ± 70 μm, sedangkan pada

yang jenis brooder seperti Stylophora pistillata diameter planulanya 1500 ± 200 μm. Perbedaan juga dapat dilihat saat larva S. pistillata sudah mewarisi zooxhantella, sedangkan pada A. tenuis tidak ditemukan zooxhantella (Nishikawa

et al. 2003).

Embriogenesis and perkembangan larva karang telah diteliti sebanyak 19 spesies dari karang keras (hermatypic scleractinians) yang melepaskan gamet selama musim panas (musim spawning karang). Telur-telur yang mengalami fertilisasi setelah 2 jam setelah spawning pada semua spesies kemudian membentuk larva (blastula) setelah 7-10 jam. Pada spesies Platygyra sinensis pembentukan lapisan endodermal melalui proses invaginasi. Pada semua spesies

(24)

karang larva menjadi rantan atau lemah setelah pada saat berumur 36 jam setelah

spawning. Larva kembali terlihat sehat dan bergerak pada umur 48 jam (Babcock et al. 1986).

Penempelan Larva Karang (Recruitment)

Pengaruh faktor lingkungan pada fase penempelan larva sangat besar. Larva ini sangat sensitif dengan perubahan lingkungan yang ekstrim. Secara khusus pada fase ini larva sangat sensitif dengan cahaya dan gravitasi. Ketahanan hidup pada fase ini sangat kecil sehingga secara insting mencari tempat yang terlindung (Railkin. 2004).

Larva karang akan mengalami beberapa fase yakni fase medusa dan fase polip. Fase medusa merupakan fase dimana larva karang akan berenang dalam kolom air untuk mencari tempat menempel. Fase polip merupakan lanjutan dari fase medusa dimana larva karang akan menempel pada suatu substrat untuk tumbuh (Suwignyo et al. 2005). Larva karang mengalami pengendapan dalam aquarium pada umur 4-7 hari setelah fertilisasi (Babcock et al. 1986).

Gambar 5. Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recruitment (Lam. 2000).

Perkembangan larva setelah menempel dimulai dari polip yang menempel tersebut kemudian bermultiplikasi menjadi polip yang banyak. Polip ini terus berkembang membentuk koloni karang yang besar (Sorokin. 1993).

(25)

Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi

Faktor lingkungan sangat berpengaruh untuk mengontrol kematangan gonad adalah temperatur perairan, panjang hari saat siang dan laju perubahan temperatur. Karang yang dijadikan kontrol untuk waktu spawning biasanya didasarkan pada siklus pasang surut. Pelepasan gamet karang biasanya didasarkan pada saat matahari tenggelam, disamping itu pengaruh siklus biologi, kimiawi atau fisik perairan (Veron. 2000). Pengaruh lingkungan juga sangat berdampak pada pengeluaran gamet pada beberapa jenis karang di Karibia (Kolinski dan Cox. 2003).

Suhu, cahaya, serta curah hujan pada Montastraea annularis sangat berpengaruh terhadap ukuran gonadnya. Korelasi yang sangat nyata ditunjukkan dengan lebih baiknya ukuran gonad pada temperatur yang tinggi (Mendes dan Woodly. 2002).

Pasang Surut

Jenis pasang surut yang yang terjadi di Indonesia dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide)

Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.

2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)

Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.

3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing

Diurnal)

Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.

(26)

4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi

Diurnal)

Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur (Wyrtki. 1961).

Castro dan Hubber (2007) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat mempengaruhi organisme laut dekat dengan pantai dan juga berpengaruh pada organisme laut lepas pantai. Oleh sebab itu pengaruh pasang surut sangat besar bagi aspek fisiologis organisme laut.

Pasang surut merupakan faktor penentu pertumbuhan karang. Karang dapat tumbuh pada daerah subtidal (Veron. 2000). Oleh sebab itu bentukan pasang surut sangat berpengaruh terhadap tempat pertumbuhan karang. Tipe diurnal dan semi diurnal merupakan fenomena pasang surut yang sangat berpengaruh pada daerah Great Barrier Reef (Wolanski. 1994). Pada beberapa genera seperti (Acropora, Porites, Faviidae, Mussidae dan Pocilloporidae) di Great Barrier

Reef mengalami pemutihan sebanyak 40-75%. Bahkan karang jenis Faviidae yang

tumbuh dibawah daerah pasang surut dengan kedalaman 9 meter masih mengalami kematian sebanyak 20-30%. Hal ini disebabkan karena pasang surut yang terlalu ekstrim pada daerah tersebut (Anthony dan Kerswell. 2007).

Perkembangan gonad akibat pengaruh pasang surut juga memegang peran yang sangat penting. Pada daerah temperate atau lintang tinggi pemijahan terjadi pada bulan Desember sampai bulan April. Reproduksi ini juga terus menerus terjadi dalam jangka waktu musim tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor alam dimana pada saat tersebut terjadi pasang tertinggi dengan arus yang lemah dan suhu air yang hangat (Wilson dan Harrison. 2003).

Arus Perairan

Arus merupakan suatu vektor yang terdiri dari dua komponen yakni arah dan kecepatan (Neumann dan Pierson. 1966). Kedua komponen arus ini sangat berpengaruh terhadap reproduksi karang.

(27)

Komponen arah kebanyakan berkontribusi pada penempelan dan distribusi larva organisme laut seperti karang (Railkin. 2004). Pada komponen kecepatan sangat berpengaruh terhadap pemicu reproduksi organisme laut contohnya karang. Hal ini dibuktikan dari penyemprotan air yang menyerupai arus laut menyebabkan karang target mengeluarkan gametnya (Sebens. 1984).

Arus juga dapat mempengaruhi sensitifitas dan fisiologis dari karang. Karang yang tumbuh pada daerah berarus lemah maka cenderung lebih sensitif dan cepat pertumbuhannya dibanding pada karang yang tumbuh pada derah yang berarus kuat (Genin dan Karpl. 1994).

Suhu Perairan

Peran suhu baik dalam pamatangan maupun pelepasan gamet sangat besar. Hal diungkapkan oleh Tung dan Chang (1999) yang menyatakan bahwa adanya perbedaan masa reproduksi dan pematangan telur pada Taiwan utara dengan Taiwan selatan yakni pemanasan suhu air. Pernyataan yang sama diungkapkan hasil survey dari Kolinski dan Cox (2003) bahwa 71% gamet dilepaskan pada musim panas, 21% pada musim gugur, 13% pada musim dingin, dan 38% pada musim semi. Hal ini sangat terkait dengan suhu lingkungan yang ada.

Gambar 6. Perbandingan pemijahan karang terhadap suhu dalam kurun waktu satu tahun (Wilson dan Harrison. 2003)

(28)

Hasil penelitian yang sama diungkapkan oleh Mendes dan Woodley (2002) bahwa suhu yang maksimum dapat menyebabkan pelepasan gamet karang kedalam perairan. Selain suhu masih terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap pelepasan gamet karang.

Hasil penelitian yang berbeda didapatkan yakni karang jenis tertentu juga dapat melepaskan gametnya dalam kondisi suhu yang rendah (Lam. 2000). Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan ada beberapa jenis karang seperti pada Pasifik utara yang mampu mentolerir suhu yang rendah dibawah 30 0C (Castro dan Hubber. 2007).

Suhu juga sangat berpengaruh terhadap penempelan larva karang. Pada jenis karang Favia fragum dapat bertahan pada kondisi suhu yang tinggi. Hal berbeda didapatkan pada larvanya, justru tingkat penempelannya berkurang 13% akibat suhu perairan yang tinggi. Penurunan juga terjadi pada tingkat ketahanan hidup, dimana terjadi penurunan sekitar 27%. Hasil tersebut dapat ditunjukkan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva karang (Randall dan Szmant. 2009).

Salinitas Perairan

Salinitas didefenisikan sebagai total jumlah dalam gram dari ion inorganik terlarut diwakili dalam satu kilogram air laut (Hester dan Harrison. 2000). Salinitas merupakan faktor penentu sekaligus pembatas karang pada daerah lintang tinggi untuk bereproduksi. Karang dapat bereproduksi pada salinitas berkisar 30 sampai 35 0/00 (Lam. 2000). Kondisi tersebut berada pada kondisi salinitas rata-rata yakni 34, 7 0/00 (Neumann dan Pierson. 2002).

Jika salinitas mengalami penurunan dari salinitas rata-rata maka dapat mempengaruhi fertilisasi. Salinitas 30 0/00

Kisaran pH normal yang dimiliki oleh laut yakni 7,5 sampai 8,2 (Millero. 2006). Kondisi pH diluar kisaran tersebut maka pH lautnya sudah tidak normal. dapat menurunkan fertilisasi karang sebanyak lebih dari 50% (Humphrey. 2008).

(29)

Kondisi pH periran jika tidak normal maka dapat menyebabkan beberapa anomali. Pada ekosistem terumbu karang pH yang tidak normal ini dapat mengganggu pertumbuhan karang. Hal ini disebabkan karena pH dapat memicu pertumbuhan alga, sehingga karang sulit berkompetisi dengan alga (Brownlee. 2009).

pH juga sangat berpengaruh terhadap reproduksi karang. Pada perairan pH sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan sperma dalam perairan. Peningkatan pH menyebabkan kerusakan flagella karang yang menyebabkan sperma sulit untuk bergerak. Pergerakan ini jika terus terganggu maka akan menyebabkan sperma cepat mati (Morita et al. 2006).

Fase Bulan

Faktor alam yang sangat berperan dalam reproduksi karang yakni fase bulan (Varmeij et al. 2003). Pada berbagai penelitian di daerah lintang tinggi menunjukkan bahwa karang banyak melakukan pemijahan saat bulan purnama (Babcock et al. 1985).

Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Wilson dan Harrison (2003) bahwa karang pada lintang tinggi yang memiliki tipe reproduksi spawning bereproduksi pada 8 sampai 12 hari setelah bulan purnama. Hal ini berbeda didapatkan pada daerah lintang rendah dimana karang melakukan pemijahan saat bulan gelap (Harrison dan Wallace. 1990).

(30)

Nitrat (NO3) dan fosphat (PO4)

Jenis nutrien yang dibutuhkan oleh karang diantaranya nitrat dan fospat (Wolanski. 1994). Lingkungan tempat karang bertumbuh yang tergolong dalam tempat yang miskin nutrien (Veron. 2000).

Kondisi menyebabkan karang tidak sepenuhnya bergantung pada ketersediaan ion nutrien dalam perairan (Sorokin. 1993). Pengaruh nutrien yang tidak terlalu banyak inilah yang juga berpengaruh terhadap fertilisasi karang. Pengaruhnya juga tidak terlalu signifikan (Humphrey. 2008).

(31)

b

P. Badi # Y 4 °5 8 '3 0 " 4°5 8 '3 0 " 4 °5 8 '1 5 " 4°5 8 '1 5 " 4 °5 8 '0 0 " 4°5 8 '0 0 " 4 °5 7 '4 5 " 4°5 7 '4 5 " 119°17'00" 119°17'00" 119°17'15" 119°17'15" N E W S 80 0 80 160 m Sumber Peta :

1. Citra Landsat ETM7 2008 2. Survei Lapangan 2009

Lamun

Mix Pasir dan Lamun Mix Rubber dan Pasir Pasir

Terumbu Karang Keterangan :

Garis Pantai

b Titik Stasiun

Peta Indeks : Pulau Sulawesi

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2009 sampai Bulan Januari 2010 yang meliputi pengamatan lapangan berupa pengukuran parameter lingkungan dan histologi jaringan gamet karang.

Lokasi penelitian berada pulau di gugusan Kepulauan Spermonde yaitu Pulau Badi, Sulawesi Selatan (Gambar 8). Untuk analisis histologi jaringan telur karang dilakukan di Laboratorium Histologi Ikan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

(32)

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu haematoxylin mayer – eosin, formalin 10%, HCL, dan alkohol bertingkat yakni 70%, 80%, dan 100% .

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu scuba diving, kamera

speed boat, meteran, sabak, pelampung, pH meter, buku identifikasi karang, thermometer, alat tulis menulis, handrefraktometer, currentmeter, mikroskop

okuler, objek glass, deg glass, pahat, palu, cool box, kantong sampel, gunting bedah, dan botol sampel.

Skema Alur Penelitian

Gambar 9. Skema alur penelitian Identifikasi

Morfologi Karang Target

Sinyal Reproduksi Seksual dari Alam

Karang Target Keadaan Fisiologi Karang Target Saat Pengamatan Pengamatan Histologi Kerangka Pemikiran Observasi Laboratorium Observasi Lapangan Pengamatan Fase Bulan Pengamatan Oseanografi Perbandingan

(33)

Prosedur Kerja

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa bagian dan dilaksanakan dalam dua tahapan besar yakni:

1. Tahap pengamatan lapangan, dan 2. Tahap analisis laboratorium

Kedua tahapan tersebut saling terkait agar mendapatkan hasil yang didapatkan lebih maksimal.

1. Pengamatan Lapangan

Prosedur ini dibagi menjadi beberapa tahapan yang dilakukan secara bertahap dan saling terkait antara tiap bagian.

Penentuan Lokasi Penelitian

Tahapan ini lokasi yang akan diambil sebagai tempat untuk mengambil data harus sesuai dengan beberapa kriteria dan parameter lingkungan yang telah ditentukan yakni:

a. Lokasi yang sewaktu-waktu mudah dijangkau b. Kondisi karang yang masih baik

c. Berada pada daerah yang terlindung dari aksi gelombang d. Topografi perairan yang landai (reef flat)

Kelima kriteria tersebut harus terpenuhi agar penentuan karang target dilapangan akan menjadi lebih mudah. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan survey pada siang hari ketika air sedang surut. Penandaan dilakukan dengan menggunakan pelampung yang diikatkan ke salah satu karang mati pada lokasi tersebut.

Penentuan Stasiun Pengamatan

Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada keberadaan karang target. Jenis karang yang akan dimati harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Jenis karang yang berpolip besar misalnya dari jenis Euphilia ancora, dan

Euphilia glabrescens.

(34)

Pengamatan Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan yang diukur pada penelitian ini mencakup beberapa hal yakni nitrat, fospat, fase bulan, pasang surut, suhu perairan, arus, salinitas, dan pH perairan. Pengukuran in situ dilakukan pada beberapa parameter lingkungan yang cepat berubah.

Pengukuran parameter oseanografi seperti arus, suhu perairan, dan pH perairan dilakukan secara in situ tiap jam selama dua hari. Data yang didapatkan dari alam dijadikan sebagai pembanding dengan data sekunder oseanografi yang lain dari musim yang berbeda.

Pengamatan arus menggunakan currentmeter dengan pengukuran dilakukan tiap jam selama pengamatan. Untuk suhu perairan menggunakan

thermometer yang dicelup kedalam perairan dekat dengan objek yang diamati.

Pengukuran pH menggunakan pH tester.

Fase bulan dan pasang surut dipergunakan data sekunder yang ada. Pada data fase bulan dengan melihat keadaan bulan serta perbandingannya dengan data fase bulan yang ada. Fase bulan yang dipergunakan yakni 2 hari sebelum dan 2 hari sesudah bulan purnama dan bulan mati.

Data pasang surut yang dipergunakan yakni data pasang surut selat Makassar, dengan perbandingan data pasang surut pada saat tersebut. Pengamatan pasang surut didasarkan pada data sekunder dalam kurun waktu 6 bulan. Data ini diperoleh dari BAKOSURTANAL Makassar.

Nitrat dan fospat pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel air laut pada lokasi penelitian. Sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk diukur.

2. Pengamatan Laboratorium

Pengamatan TKG (tingkat kematangan gonad) dilakukan secara histologi maupun secara in situ. Pengamatan secara in situ dengan cara mengukur ukuran koloni untuk membandingkan umur karang yang telah siap bereproduksi. Analisis gonad pada karang digunakan metode standard dari Szmant-Froelich et al. (1980)

(35)

Metode Pengambilan Sampel

Sampel karang yang diambil berukuran ± 10 cm dari koloninya. Sampel kemudian dimasukkan kedalam botol plastik yang telah berisi formalin 5% (formalin 37% dilarutkan dengan air laut) sebagai pengawet sampel sebelum memasuki analisis berikutnya.

Metode Dekalsifikasi Karang

Sebelum melakukan pengerjaan secara histologi, sampel terlebih dahulu dipisahkan dari skeletonnya. Pemisahan tersebut dilakukan dengan menggunakan Asam Chlorida (HCL) dengan konsentrasi 12% (HCL dicampur dengan

aquadest) (Harii et al. 2001).

Sampel yang telah diawetkan didalam formalin 5% sebelum diluruhkan terlebih dahulu dicuci dengan air tawar mengalir hingga formalin lapas dari permukaan karang ditandai dengan bau yang hilang dari sampel tersebut.

Sampel kemudian dimasukkan kedalam HCl 12% dan dibiarkan selama ± 24 jam hingga seluruh kapur dari karang melunak. Jika karang belum melunak maka HCL yang ada akan diganti kemudian diamati setiap 24 jam sekali. Proses ini terus dilakukan sampai karang melunak.

Jaringan karang yang lunak kemudian diangkat dari larutan dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Jaringan karang tersebut dimasukkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% selama 2 x 24 jam. Kemudian diteruskan ke analisis histologi.

Metode Histologi Karang

Proses histologi karang didasarkan pada metode histologi jaringan oleh Luna. 1968. Karang pada tahap ini telah didekalsifikasi sehingga rangka kapurnya melunak dan mempermudah dalam proses pemotongan.

Karang yang telah didekalsifikasi kemudian memasuki tahapan fiksasi. Potongan karang hasil dekalsifikasi yang telah direndam dalam larutan fiksasi kemudian dikeluarkan lalu dipotong horizontal dari arah dorsal ke ventral hingga ke rangka karang. Potongan jaringan tersebut dimasukkan kedalam larutan alkohol 70%

(36)

selama 15 - 30 menit untuk proses washing. Proses washing ini dilakukan sebanyak 2 kali.

Proses dehidrasi kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi tahap I dengan menggunakan alkohol 70% selama 15 - 30 menit. Proses ini juga dilakukan sebanyak 2 kali.

Proses dehidrasi tahap I dilanjutkan ke proses dehidrasi Tahap II dengan menggunakan larutan alkohol 80% untuk merendam potongan jaringan selama 15 - 30 menit. Proses dehidrasi Tahap II dilakukan 2 kali.

Proses dehidrasi tahap II dilanjutkan ke proses dehidrasi tahap III dengan menggunakan larutan alkohol 90% selama 15 - 30 menit, proses ini dilakukan sebanyak 2 kali .

Tahap berikutnya yakni dehidrasi tahap IV atau dehidrasi terakhir dilakukan dengan menggunkan larutan alkohol 96 % selama 15 - 30 menit, proses ini dilakukan 2 kali.

Proses dehidrasi dilanjutkan ke proses clearing dengan menggunakan larutan Xylene atau Xylol. Proses clearing dilakukan 2 kali selama 15-30 menit.

Proses clearing dilanjutkan ke proses impregnasi (infiltrasi paraffin ke dalam jaringan) yang dilakukan 3 kali ulangan dengan selang setiap bagiannya 1 jam dalam histoembedder.

Proses impregnasi dilanjutkan ke proses penanaman potongan jaringan dalam paraffin.

Jaringan yang telah ditanam dalam blok paraffin, kemudian bloknya didinginkan selama 2 x 24 jam sehinggan blok parafinnya benar-benar kering.

Blok paraffin yang sudah kering disiapkan untuk tahap cutting (pemotongan blok berisi jaringan). Hasil cutting jaringan dilekatkan di mikroskop slide dan dibiarkan selama 24 jam sebelum dilanjutkan ke proses pewarnaan sel dengan menggunakan Haematoxylin mayer – eosin.

Proses pewarnaan selesai dilanjutkan dengan proses redehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat (70 %, 80%, 90% dan 96%), masing-masing tahap dilakukan selama 5 menit.

(37)

Proses redehidrasi selesai dilanjutkan dengan pengeringan selama minimal 24 jam dalam suhu ruangan agar sampel jaringan kering sempurna dan dapat dilapis dengan glass obyek.

Sampel jaringan yang telah dilapis dengan glass obyek kemudian dikeringanginkan dalam suhu ruang selama minimal 24 jam agar perekat dapat kering sempurna.

Proses pelapisan selesai, sampel jaringan dapat diamati dibawah mikroskop dan kemudian difoto untuk mengambil gambarnya.

Analisis Data

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat perbandingan antara faktor alam dengan ukuran telur maka akan dipergunakan Analisis Komponen Utama (PCA).

(38)

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian reproduksi karang ini bertempat di Pulau Badi, yang merupakan salah satu bagian dari Kepulauan Spermonde. Letak Pulau Badi yakni 4° 58' 9'' LS dan 119° 17' 11'' BT, dengan luas daratan 7.41 ha, dan luas terumbu karang 36.07 ha (Gambar 10). Secara administratif Pulau Badi termasuk dalam desa Mattiro Deceng, kecamatan Liukang Tupabiring, kabupaten Pangkep, propinsi Sulawesi Selatan. Pulau Badi dihuni oleh 407 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 1.803 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai nelayan (80%), sekitar 20% berprofesi sebagai pedagang hasil laut dan pengusaha sarana transportasi.

Gambar 10. Pulau Badi (Yusuf. 2008).

Pulau Badi memiliki potensi ekosistem terumbu karang yang cukup besar untuk dikembangkan (Gambar 10). Hasil suvey yang dilakukan menunjukkan bahwa persentasi penutupan karang Pulau Badi mencapai 30 – 65 % yang tergolong dalam kondisi sedang. Terumbu karang Pulau Badi didominasi oleh karang keras (Scleractinia) genera Acropora dan Porites baik pada daerah tubir maupun daerah slope. Pada kedalaman 3 m maupun di kedalaman 10 m. Persentase penutupan karang hidup di kedua kedalaman tersebut masing-masing 32 % dan 27 %. Penutupan komponen terumbu karang yang lain yang relatif

(39)

tinggi di kedua kedalaman tersebut adalah rubble (pecahan karang), yang nilainya masing-masing 22 % dan 52 % (Yusuf. 2008).

Genera karang batu yang ditemukan pada kedalaman 3 m di Pulau Badi antara lain: Galaxea, Montipora, Seriatopora, Acropora, Pavona, Porites,

Hydnopora, Stylophora, Favites, Echynophora, Pocillopora. Selain karang keras

jenis karang lunak (Alcyoniceae) juga banyak ditemukan. Jenis karang lunak yang banyak ditemukan yakni Sinularia flexibilis dan Sarcophyton sp yang hidupnya berkelompok. Biota asosiasi yang dapat ditemukan antara lain anemon laut, lili laut, bulu babi. Pada kedalaman 10 m genera karang yang ditemukan antara lain:

Pavona, Porites, beberapa genera karang batu yang bentuk pertumbuhannya encrusting, bercabang, masif, sedangkan karang lunak antara lain: Sinularia, Sarcophyton, dan Lobophytum. Ditemukan juga beberapa sponge dari kelas Demospongiae, dan beberapa biota asosiasi yang lain seperti: lili laut dan tunikata.

Ekosistem penunjang yang lain juga dapat ditemukan seperti ekosistem padang lamun, akan tetapi luasannya sangat sedikit dan homogen. Jenis lamun yang dapat dijumpai pada Pulau Badi yakni Cymodocea sp.

Gambar 11. Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Badi

Kekayaan terumbu karang inilah yang menyebabkan Pulau Badi ditunjuk sebagai salah satu tempat daerah perlindungan laut (DPL) di kepulauan Spermonde. Seiring dengan pembentukan DPL maka kondisi terumbu karang pada Pulau Badi juga meningkat (survey PPTK-Unhas. 2006 dalam Yusuf. 2008).

(40)

-1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 9/ 1/ 09 12: 00 AM 9/ 11/ 09 12: 00 AM 9/ 21/ 09 12: 00 AM 10/ 1/ 09 12: 00 AM 10/ 11/ 09 12: 00 AM 10/ 21/ 09 12: 00 AM 10/ 31/ 09 12: 00 AM 11/ 10/ 09 12: 00 AM 11/ 20/ 09 12: 00 AM 11/ 30/ 09 12: 00 AM 12/ 10/ 09 12: 00 AM 12/ 20/ 09 12: 00 AM 12/ 30/ 09 12: 00 AM 1/ 9/ 10 12: 00 AM 1/ 19/ 10 12: 00 AM 1/ 29/ 10 12: 00 AM Waktu Pengamatan T in ggi M u k a A ir

Pulau Badi memiliki karakteristik perairan yang sangat ideal dengan salinitas berkisar 33-35 0/00, suhu berkisar 27-31 0

Gambar 12. Pola pasang surut Selat Makassar Mei 2009 sampai Januari 2010 (BAKOSURTANAL. 2009).

C, pH 8, rata-rata kecepatan arus mencapai 5,2 cm/dt, dan tipe pasang surut campuran yang memungkinkan karang tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

Pasang Surut

Umumnya tipe pasang surut Selat Makassar yakni tipe campuran. Tipe pasang surut ini juga berlaku pada Pulau Badi. Hal ini dikarenakan letak selat Makassar yang tidak jauh dari garis katulistiwa. Pasang surut campuran yaitu gabungan dari tipe diurnal dan tipe semidiurnal, bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal (Dronkers. 1964).

Keadaan pasang surut tersebut sangat berpengaruh terhadap keberadaan organisme laut selat Makassar. Hal ini didukung oleh pendapat Castro dan Hubber (2007) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat mempengaruhi organisme laut dekat dengan pantai dan juga berpengaruh pada organisme laut lepas pantai.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tipe pasang surut selat Makassar secara umum yakni tipe campuran condong keharian ganda dimana terjadi dua

(41)

kali pasang dan dua kali surut pada hari yang sama (Wyrtki. 1961). Karakter ini termasuk karakter yang sangat berpengaruh terhadap organisme laut. Hal ini dikarenakan fluktuasi air laut sangat bervariasi (Castro dan Hubber. 2007).

Arus Perairan

Laut merupakan suatu kesatuan perairan yang sangat dinamis yang terdiri dari beberapa komponen yang juga sangat dinamis. Salah satu jenis komponen tersebut yakni arus. Arus memiliki dua komponen yakni arah dan kecepatan. Peran arus sangat penting baik untuk komponen abiotik maupun biotik laut. Karena sangat dinamis maka arus pada suatu tempat atau suatu Pulau dapat berubah sewaktu waktu.

Komponen utama dari arus yakni arah dan kecepatan, pada reproduksi karang salah satu komponen yang dapat dilihat yakni kecepatan. Hal ini dilakukan karena kecepatan dari arus merupakan salah satu pemicu dalam reproduksi organisme laut (Castro dan Hubber. 2007).

Karakter arus Pulau Badi juga termasuk dalam karakteristik yang dinamis, dikarenakan letaknya yang berada di selat Makassar yang dilalui oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) (Wyrtki. 1961). Keberadaan Pulau lain yang terdapat di dalam gugusan kepulauan Spermonde selat Makassar juga sangat berpengaruh terhadap bentukan arus Pulau Badi.

0 10 20 30 40

Gambar 13. Grafik kecepatan arus Pulau Badi

Hasil yang didapatkan dari pengukuran (Gambar 13) menunjukkan bahwa arus di Pulau Badi mengarah kearah utara. Hal ini dikarenakan pengaruh bentuk pulau sehingga arusnya berubah (Neumann dan Pierson. 2002).

(42)

25 26 27 28 29 30 31 32 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0 0 3 .0 0 0 4 .0 0 0 5 .0 0 0 6 .0 0 0 7 .0 0 0 8 .0 0 0 9 .0 0 1 0 .0 0 1 1 .0 0 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0

Waktu pengamatan (Jam)

Suhu pe r a ir a n ( C e lc ius )

Suhu bulan mati Suhu bulan purnama Suhu memegang peranan yang sangat penting dalam perairan. Parameter ini juga sangat berfluktuatif baik dipermukaan maupun ditiap lapisan kedalaman perairan. Pada zona subtidal pengaruh perubahan suhu tidak seekstrim pada daerah intertidal, sehingga organisme yang hidup di daerah subtidal lebih sensitif terhadap perubahan suhu (Castro dan Hubber. 2007).

Gambar 14. Perbandingan suhu perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi

Hasil yang didapatkan pada Gambar 14 terlihat bahwa kecenderungan kondisi suhu Pulau Badi juga tidak jauh berbeda baik pada kondisi bulan purnama maupun bulan mati. Suhu tertinggi terjadi pada siang hari sedangkan suhu yang terendah terjadi pada malam hari.

Pada siang hari suhu berkisar antara 29 sampai 31 0

Suhu pada malam hari hanya mencapai 29

C. Suhu maksimal perairan terjadi disekitar pukul 15.00 WITA. Maksimalnya suhu pada saat itu dikarenakan surut terendah dicapai pada jam tersebut. Selain surut terendah akumulasi panas matahari sangat tinggi pada jam tersebut, walupun sudut datangnya sudah berbeda. Hal ini didukung oleh pernyataan Castro dan Hubber (2007) yang menyatakan bahwa suhu ekstrim biasanya terjadi pada surut terendah jika terjadi pada siang hari.

0

C dan yang terendah sekitar 27 0

C. Pada malam hari suhu lebih rendah dikarenakan sinar matahari sudah tidak ada. Adanya suhu yang menghangat dikarenakan laut yang melepaskan bahang

(43)

28,00 28,50 29,00 29,50 30,00 30,50 31,00 B u la n P u rn a m a / S e p te m b e r 2 0 0 9 B u la n G e la p / S e p te m b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / O k to b e r 2 0 0 9 B u la n G e la p / O k to b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / N o v e m b e r 2 0 0 9 B u la n G e la p / N o v e m b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / D e se m b e r 2 0 0 9 B u la n G e la p / D e se m b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / J a n u a ri 2 0 1 0 B u la n G e la p / J a n u a ri 2 0 1 0 Bulan Pengamatan Suhu P e r a ir a n ( C ) Suhu

sehingga menghangatkan perairan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Neumann dan Pierson (2002) yang menyatakan bahwa suhu laut dapat meningkat seiring dengan adanya pelepasan bahang dari lautan.

Gambar 15. Grafik suhu bulanan periran Pulau Badi.

Hasil pengukuran suhu bulanan Pulau Badi pada Gambar 15 tampak bahwa suhu bulanan periran Pulau Badi sangat berfuktuatif pada tiap bulannya. Suhu tertinggi ditemukan pada bulan November, sedangkan suhu terendah ditemukan pada bulan September. Gambar 15 menunjukkan suhu perairan Pulau Badi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan suhu perairan ini dikarenakan adanya massa air hangat dari pasifik. Hal ini didukung oleh pernyataan Stewart (2002) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan suhu perairan beberapa derajat tetapi dalam skala yang kecil.

(44)

32 32,5 33 33,5 34 34,5 35 35,5 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0 0 3 .0 0 0 4 .0 0 0 5 .0 0 0 6 .0 0 0 7 .0 0 0 8 .0 0 0 9 .0 0 1 0 .0 0 1 1 .0 0 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0

Waktu pengamatan (Jam)

Sa li ni ta s pe r a ir a n ( ppm )

Salinitas bulan mati Salinitas bulan purnama

Karakteristik utama air laut yakni memiliki salinitas tertentu. Jumlah total materi yang terlarut di dalam air laut didefenisiskan sebagai salinitas (Pickard. 1970). Defenisi tersebut didukung oleh Hester dan Harrison (2000) yang menyatakan bahwa Salinitas didefenisikan sebagai total jumlah dalam gram dari ion inorganik terlarut diwakili dalam satu kilogram air laut.

Pada umumnya salinitas rata-rata air laut adalah 34,7 0/00

Gambar 16. Perbandingan salinitas perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi

Kisaran salinitas Pulau Badi tidak terlalu besar yakni 33 sampai 35

(Pickard. 1970).

Salinitas ini akan berubah jika adanya intrusi air tawar baik dari daratan maupun dari air hujan.

0 /00

Kondisi salinitas di Pulau Badi saat bulan purnama (Gambar 16) lebih berfluktuatif dibanding saat bulan mati. Kisaran salinitas pada kondisi bulan ini (Gambar 16). Sempitnya kisaran salinitas tersebut dikarenakan letaknya yang berjauhan dengan daratan utama (Pulau Sulawesi), sehingga pengaruh air tawar dari daratan utama sudah tidak ada. Hal ini didukung oleh pernyataan Stewart (2002), dan Neumann dan Pierson (2002) yang menyatakan bahwa salinitas sangat dipengaruhi oleh interusi air tawar kedalam laut, baik dari air hujan maupun dari sungai. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pickard (1970) yang menyatakan bahwa salinitas akan tinggi pada daerah yang kurang mendapat interusi air tawar.

(45)

30,5 31 31,5 32 32,5 33 33,5 34 34,5 35 35,5 Bul an P urna m a / S ept em be r 2009 Bul an G el ap / S ept em be r 2009 Bul an P urna m a / O kt obe r 2009 Bul an G el ap / O kt obe r 2009 Bul an P urna m a / N ove m be r 2009 Bul an G el ap / N ove m be r 2009 Bul an P urna m a / D es em be r 2009 Bul an G el ap / D es em be r 2009 Bul an P urna m a / J anua ri 2010 Bul an G el ap / J anua ri 2010 Bulan Pengamatan Sa li ni ta s P a e r a ir a n ( ppm Salinitas

lebih besar yakni 33 sampai 35 0/00. Pada bulan mati kondisi salinitas perairan Pulau Badi cenderung lebih konstan. Kisaran salinitasnya juga lebih kecil yakni 34 sampai 35 0/00.

Gambar 17. Grafik salinitas bulanan periran Pulau Badi

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa salinitas bulanan di Pulau Badi berkisar antara 32 sampai 35 (Gambar 17). Salinitas tertinggi ditemukan pada bulan November, sedangkan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli sampai dengan September. Peningkatan salinitas terjadi disekitar bulan Oktober, hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan suhu pada bulan yang sama. Pernyataan tersebut didukung oleh Stewart (2002), bahwa suhu dan salinitas berbanding lurus. Jika suhu meningkat maka salinitas juga akan meningkat.

pH Perairan

(46)

6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0 0 3 .0 0 0 4 .0 0 0 5 .0 0 0 6 .0 0 0 7 .0 0 0 8 .0 0 0 9 .0 0 1 0 .0 0 1 1 .0 0 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0 1 8 .0 0 1 9 .0 0 2 0 .0 0 2 1 .0 0 2 2 .0 0 2 3 .0 0 0 0 .0 0 0 1 .0 0 0 2 .0 0

Waktu pengamatan (Jam)

p H p e ra ir a n pH bulan mati pH bulan purnama 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 B u lan P u rn a m a / S ep te m b e r B u lan G e lap / S e p te m b e r B u la n P u rn a m a / O k to b e r B u la n G e la p / O k to b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / N o v e m b e r B u la n G e la p / N o v e m b e r B u lan P u rn a m a / D e se m b e r B u lan G e lap / D es e m b e r B u la n P u rn a m a / J a n u a ri B u la n G e la p / J a n u a ri 2 0 1 0 Bulan Pengamatan p H P er a ira n pH Laut memiliki pH basa dengan kisaran antara 7,5 sampai 8,2 (Millero. 2006). Kisaran pH tersebut cenderung stabil, kecuali terjadi perubahan lingkungan contohnya pencemaran. pH pada perairan jika kurang atau lebih dari kisaran rata-ratanya maka dapat menyebabkan masalah yang serius bagi organisme utamanya tumbuhan.

Gambar 18. Perbandingan pH perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi

Pada Pulau Badi saat bulan mati maupun bulan purnama kondisi pH perairannya masih baik (Gambar 18). Hal ini ditandai dari hasil pengukuran pH perairannya yakni rata-rata 8 atau masih dalam kisaran normal walaupun ada ditemukan dibawah normal yakni 7. Kisaran pH yang normal ini disebabkan pencucian yang terjadi akibat fluktusi pasang surut pada kedua fenomena bulan tersebut.

Hal berbeda didapatkan dari pengukuran bulanan pH yang didapatkan (Gambar 18). Kondisi pH Pulau Badi kurang baik yakni berada di bawah kisaran dengan rata-rata pH bulanan 7. Walupun jarak antara Pulau Badi dengan daratan utama cukup jauh akan tetapi tidak berpengaruh dengan kondisi pH perairannya. Hal ini disebabkan aktifitas penduduk disekitar ekosistem terumbu karang sangat tinggi. Masyarakat setempat menjadikan tempat ekositem terumbu karang sebagai daerah penambatan kapal, pengecatan kapal dan aktifitas lainnya yang dapat mencemari ekosistem tersebut.

(47)

Gambar 19. Grafik pH bulanan periran Pulau Badi

Perubahan pH ini dapat dilihat dari kondisi ekosistem terumbu karanya dimana ditumbuhi oleh banyak alga, sedangkan juvenil karang hanya sedikit yang dijumpai. Hal ini didukung oleh pernyataan Brownlee (2009) bahwa pH dapat mempengaruhi laju fotosintesis, dan memicu perkembangan alga lain selain zooxhantella. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh Vennl et al (2009) bahwa pH di luar rata-rata dapat mempengaruhi pertumbuhan zooxhantella. Secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit pada organisme tertentu seperti karang (Millero. 2006). Jika alga mendominiasi maka karang akan sulit untuk bertumbuh pada daerah tersebut. Hal ini yang merupakan salah satu faktor penghambat suksesi terumbu karang di Pulau Badi.

Fase Bulan

Bulan merupakan salah satu parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kaitannya dengan dinamika dilautan. Pada berbagai penelitian fase bulan banyak dikaitkan dengan siklus reproduksi berbagai jenis karang, baik pada daerah sub tropis atau pada darerah tropis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kolinski dan Cox (2003) dapat dilihat bahwa karang keras banyak bereproduksi pada kisaran bulan purnama, dan bulan gelap. Hal ini juga didukung

(48)

oleh pernyataan Vermeij et al. (2003) bahwa bulan juga dapat mempengaruhi reproduksi karang.

Pada penelitian ini fase bulan yang diambil mencakup dalam empat fase bulan yakni fase purnama, fase ¼, fase gelap, dan fase ¾. Keempat fase tersebut memiliki ciri yang berbeda. Hasil yang didapatkan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Perkembangan telur karang target pada tiap fase bulan

Bulan Pengambilan Euphylia ancora Euphylia glabrescens

Bulan Purnama / September 2009 0 140

Bulan 3/4 / September 2009 0 180

Bulan Gelap / September 2009 5 300

Bulan 1/4 / September 2009 6 0

Bulan Purnama / Oktober 2009 8 5

Bulan 3/4 / Oktober 2009 9 9

Bulan Gelap / Oktober 2009 10 20

Bulan 1/4 / Oktober 2009 20 30

Bulan Purnama / November 2009 30 50

Bulan 3/4 / November 2009 60 60

Bulan Gelap / November 2009 100 70

Bulan 1/4 / November 2009 120 90

Bulan Purnama / Desember 2009 160 100

Bulan 3/4 / Desember 2009 180 150

Bulan Gelap / Desember 2009 200 300

Bulan 1/4 / Desember 2009 0 0

Bulan Purnama / Januari 2010 0 0

Bulan 3/4 / Januari 2010 0 0

Bulan Gelap / Januari 2010 5 0

Hasil dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa estimasi pengeluaran gamet karang pada tiap fase bulan terjadi setelah bulan gelap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harrison dan Wallace (1990) bahwa daerah lintang rendah karang melakukan pemijahan saat bulan gelap. Penyebabnya dikarenakan faktor pasut pada saat bulan gelap cukup besar yang berdampak pada tekanan lingkungan ke karang. Saat tekanan itu berkurang maka telur yang telah matang akan dilepaskan. Hal ini juga dapat ditemukan pada jenis karang lain. Menurut Tung et al. (2002) jenis

(49)

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 B u lan P u rn a m a / S ep te m b e r B u lan G e lap / S e p te m b e r B u la n P u rn a m a / O k to b e r B u la n G e la p / O k to b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / N o v e m b e r B u la n G e la p / N o v e m b e r 2 0 0 9 B u lan P u rn a m a / D e se m b e r B u la n G e la p / D e se m b e r 2 0 0 9 B u la n P u rn a m a / J a n u a ri 2 0 1 0 B u la n G e la p / J a n u a ri 2 0 1 0 Bulan Pengamatan K on se n tr as i NO3 PO4

Parameter Kimia Perairan Nitrat (NO3) dan Ortofosphat (PO4

Gambar 20. Perbandingan nitrat (NO

)

Secara umum kondisi daerah terumbu karang miskin dengan nutrien (Veron. 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan Wolanski (2004) yang menyatakan bahwa perairan tempat karang bertumbuh merupakan perairan

oligothropic atau miskin nutrien. Walaupun kurang nutrien karang juga tetap

membutuhkan inorganik nutrien seperti nitrat dan fospat untuk pertumbuhan simbionnya yakni zooxhantella (Jones dan Endean. 1973).

3) dengan fosphat (PO4) Pulau Badi

Hasil yang didapatkan pada Gambar 20 diatas dapat dilihat bahwa baik kondisi nitrat dan ortofosphat perairan Pulau Badi sangat berfluktuatif. Kisaran nitrat yang diperoleh yakni 0,17 sampai 0,54, sedangkan untuk ortofosphat berkisar 0,02 sampai 0,06. Kondisi tersebut didukung oleh pernyataan Sorokin (1993) yang menyatakan bahwa kebanyakan nutrien pada daerah terumbu karang berada di bawah batas pertumbuhan fitoplankton ( lebih kecil dari 0,5 µ mol NO3 dan 0,2 µ mol PO4

Inorganik nutrien tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap karang. Hal tersebut dikarenakan adanya simbiosis mutualisme antara karang dengan zooxhantella yang saling tergantung sehingga walaupun nutrien sedikit karang dapat tumbuh (Veron. 2000).

). Hal ini dikarenakan kondisi perairan karang termasuk

(50)

Perkembangan Gonad Karang Target

Tahap pemijahan maka gonad karang mengalami beberapa tingkat kematangan gonad (TKG). Perbedaan TKG karang dapat dilihat dengan menggunakan analisis histologi. Pada pengamatan ini dilakukan pada dua jenis karang berbeda yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens. Kedua jenis karang tersebut diambil berdasarkan ukuran tertentu yang memenuhi syarat matang gonad pada karang.

Euphylia ancora

Jenis karang ini dikenal dengan nama karang kuku karena bentuk tentakel yang menyerupai kuku manusia dengan warna kecoklatan. Jenis karang ini banyak ditemukan pada substrat pasir disekitar daerah karang yang sudah mengalami degradasi pada zona subtidal. Karang ini hidup berkoloni (Suharsono 2008).

Gambar 21. Hewan uji Euphylia ancora

Ukuran karang ini saat diambil sebagai hewan uji yakni panjang 80 cm dengan lebar 40 cm. Ukuran hewan uji seperti pada Gambar 23 telah memenuhi syarat karang untuk bereproduksi. Kedalaman pengambilan sampel 3 m diukur pada saat surut terendah.

Hasil histologi (Gambar 22) menunjukkan adanya sel telur akan tetapi tidak ditemui sel sperma dan planula karang dalam satu polip. Hasil ini menunjukkan bahwa tipe reproduksi karang ini yakni termasuk dalam reproduksi

gonokorik broadcast spawning (Dioseus). Tipe ini merupakan tipe dimana spesies

yang melepaskan gametnya ke dalam kolom air dan selanjutnya terjadi fertilisasi eksternal dan kemudian terjadi perkembangan embrio (Veron. 2000). Hal ini

(51)

didukung oleh pernyataan Richmond dan Hunter (1990) bahwa di daerah Pasifik tipe reproduksi Euphylia ancora yakni gonokorik broadcast spawning (Dioseus).

A D m o m B E m nu o o C F ed o o m ec

Gambar 22. Potongan melintang gonad Euphylia ancora. (A) Ruang kosong pada

mesoglea setelah telur dilepaskan pada bulan purnama (September 2009). (B)

Oosit awal (TKG I) pada bulan gelap (September 2009). (C) Oosit yang mulai berkembang (TKG II) pada bulan gelap (Oktober 2009). (D) Oosit dalam perkembangan ukuran (TKG III) pada bulan gelap (November 2009) . (E) Oosit yang telah matang (TKG IV) pada bulan gelap (Desember 2009). (F) Pembentukan awal oosit pada bulan purnama (Januari 2010). Ket : ed : endorem; ec : ectoderm; m : mesoglea; nu : nucleus; o : oosit.

Gambar

Gambar  1.  Karang target, Euphilia ancora  (kiri),  Euphilia glabrescens  (kanan)   (Anonim
Gambar 2. Jenis reproduksi pada karang (Anonim. 2008).
Gambar 3. Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens)  (Anonim
Gambar  5. Penempelan larva  Oulastrea crispata  pada blok recruitment  (Lam.
+7

Referensi

Dokumen terkait

3.2.4 Melalui kegiatan diskusi lompok, siswa dapat menjelaskan perubahan masyarakat Indonesia pada masa Praaksara dalam aspek proses transaksi perdagangan yang

Dasar pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Universitas Negeri Semarang, dipaparkan bahwa Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikulum yang harus dilakukan

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang maha esa karena atas rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Naungan terhadap

Tugas akhir ini menganalisa umur kelelahan (fatigue life) struktur HangTuah MogPU platform dengan dua metode yaitu metode Spectra Fatigue Analysis (SFA) dan

Dalam penelitian ini akan dilakukan optimasi pengukuran spektrum vibrasi sampel protein menggunakan spektroskopi Fourier Transform Infrared mode transmisi FT-IR

- Pola nya sama di SK kan oleh Menteri Pertanian.. PPID tidak ada diatur berdasarkan eselon atau jabatan di UU atau peraturan komisi informasi Diatur

› Terbentuk jauh di kulit bumi (dekat dengan dapuran magma) › Proses pendinginan di kedalaman berlangsung sangat lambat sehingga terjadi kristalisasi secara sempurna

Sangat Baik 1 3,33%.. Atas dasar nilai hasil belajar peserta didik tersebut maka peneliti akan menerapkan penelitian tindakan kelas guna meningkatkan pemahaman