• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover dapat berupa pengunduran diri,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover dapat berupa pengunduran diri,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Turnover Intention

2.1.1 Pengertian Turnover Intention

Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge (2009:38) adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan baik secara sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Culpepper (2011) menyebutkan turnover intention merupakan prediktor terbaik untuk mengindentifikasi perilaku turnover yang akan terjadi pada karyawan suatu organisasi.

Keinginan berpindah kerja (turnover intention) pada karyawan dapat dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat kerja (Abdillah, 2012). Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor motivational yang akan dapat mengurangi niat karyawan untuk meningggalkan organisasi, karena niat buntuk pindah sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya. Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing (Carmeli dan Weisberg, 2006). Penelitian oleh Suliman dan Al-Junaibi (2010) mengeksplorasi

(2)

hubungan antara dua komponen komitmen organisasi afektif dan keberlangsungan niat dan omset antara karyawan yang bekerja di industri minyak. Komitmen organisasi secara keseluruhan terbukti berkorelasi negatif dengan niat omset yang sebangun dengan penelitian sebelumnya. Berkenaan dengan dua komponen komitmen organisasi, kedua komponen tersebut berhubungan negatif dengan keinginan berpindah.

Robbins (2007) menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa manarik pekerjaan yang ada saat ini dan tersedianya alternative pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecetan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor – faktor tersebut yang akan dibahas antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007: 10-12):

1) Usia

Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui

(3)

cara coba-coba tersebut. Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008 : 272), bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa kerja yang lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih muda daripada karyawan yang lebih tua.

2) Lama Kerja

Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan turnover tersebut.

3) Tingkat pendidikan dan intellegensi

Menurut Handoyo, dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan-pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang terbatas pula.

4) Keterikatan terhadap perusahaan

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambarandiri positif.

(4)

Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.

2.1.3 Jenis-Jenis Turnover

Turnover atau tingkat keluar masuk karyawan merupakan proses dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan. Banyak organisasi menemukan bahwa turnover merupakan masalah yang merugikan. Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2000: 125-126):

1) Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela (1). Turnover secara tidak sukarela

Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan kerja dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.

(2). Turnover secara sukarela

Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier, gaji, pengawasan, geografi dan alasan pribadi/keluarga.

2) Turnover fungsional dan Turnover disfungsional (1). Turnover fungsional

Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu yang kurang dapat diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi

(5)

(2). Turnover disfungsional

Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi meninggalkan organisasi pada saat yang genting.

3) Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat dikendalikan (1). Turnover yang tidak dapat dikendalikan

Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi contohnya sebagai berikut:

Adanya perpindahan karyawan dari daerah geografis, karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena alasan keluarga, suami atau istri yang dipisahkan dan karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.

(2). Turnover yang dapat dikendalikan

Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover.

2.1.4 Indikasi Terjadinya Turnover Intention

Menurut Harnoto (2002: 2): “Turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.”

(6)

Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan.

1) Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.

2) Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan yang bersangkutan. 3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya

4) Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.

(7)

5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang memiliki karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

2.2 Organizational Commitment

2.2.1 Pengertian Organizational Commitment

Organizational Commitmemt menurut William dan Hazer (1986)

didefinisikan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik organisasional commitmen antara lain loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Menurut Blau dan Boal (1987) komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu (terhadap tujuan, nilai, dan kepentingan organisasi) serta berniat memilihara keangotaan dalam organisasi itu.

Susana (2011:139) mendefinisikan komitmen organisasional “An attitude which can adopt different forms and join the individual with a relevant course of action for a particular objective” yang bearti suatu pemikiran yang dapat menerima perbedaan bentuk dan bergabung dengan individu untuk tujuan yang tertentu. Definisi komitmen organisasional oleh Mowday (1982) dalam Alimohammadi (2013)

(8)

“Organizational commitment refers to accordance between the goals of the individual and the organization whereby the individual identifies with and extends attempt on representing the general goals of the organization”, artinya komitmen organisasional mengacu sesuai tujuan individu dan organisasi, dimana individu mengenali dan mengupayakan untuk mempresentasikan tujuan suatu organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyono dan Kompyurini (2008), menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja organisasi. Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap perilaku para anggota organisasi, sehingga jika budaya organisasinya baik maka anggota organisasinya adalah orang-orang yang baik dan berkualitas pula. Dan apabila anggotanya baik dan berkualitas, maka kinerja organisasi akan menjadi baik dan berkualitas juga.

Sedangkan berdasarkan Luthan (2006), Organizational commitment didefinisikan sebagai:

1) Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu 2) Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi 3) Keyakinan terentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan

pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

(9)

Dapat disimpulkan bahwa organizational commitment adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.

2.2.2 Dimensi Organizational Commitment

Ada tiga dimensi komponen dari organizational commitment menurut Mayer dan Allen (1990), yaitu sebagai berikut:

1) Komitmen Afektif, yaitu keterikatan emosional karyawan, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai organisasi tersebut, serta mengerti untuk apa organisasi tersebut berdiri. Karyawan dengan derajat komitmen afektif tinggi akan memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong organisasi dalam mencapai misinya.

2) Komitmen kelanjutan, yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin akan muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. semakin lama seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah mereka ‘investasikan’ di organisasi tersebut bertahun-tahun.

3) Komitmen normatif, yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang

(10)

harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi disebabkan karena tekanan dari orang atau pihak lain.

Gambar 2.2 Dimensi Organizational Commitment Sumber: Mayer dan Allen, 1991

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Pengertian Stres Kerja

Stres sebagai suatu istilah paying yang merangkumi tekanan beban, konflik, keletihan, panik, perasaaan gemuruh, anxiety, kemurungan dan hilang daya. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk mengahadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri pada karyawan berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Orang-orang yang

(11)

mengalami stres kerja bisa menjadi gugup dan merasakan kekhawatiran khronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks atau menunjukkan sikap yan tidak kooperatif (Veithzal et al., 2009).

Siagian (2008) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak bisa diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketikmampuan orang beriteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.

Gibson (1997:44) mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.

Kemunculan stres di tempat kerja akan mengarah pada meningkatnya ketidak puasan kerja. Meskipun ada penelitian empiris yang memberikan banyak temuan

(12)

yang menunjukkan bahwa stres kerja terkait dengan hasil organisasi yang tidak diinginkan, logika dasar di balik penelitian ini adalah bahwa saat karyawan merasa tidak puas lagi terhadap pekerjaannya, maka karyawan akan cenderung memilih untuk meninggalkan pekerjaannya saat itu atau absensi.

Stres di tempat kerja akhir-akhir ini telah menjadi masalah yang serius bagi manajemen perusahaan di dalam dunia bisnis (Qureshi et al., 2013). Karyawan sering dihadapkan dengan berbagi masalah dalam perusahaan sehingga sangat mungkin untuk terkena stres. Studi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Paillé (2011) menunjukkan hasil bahwa stres kerja mampu menurunkan kondisi fisik seseorang di tempat kerja, meningkatkan tekanan psikologis di tempat kerja, mendorong kekerasan antar rekan–rekan dan menyebabkan kelelahan yang berlebihan. Stres kerja akan muncul apabila di suatu titik karyawan merasa tidak dapat lagi memenuhi tuntutan – tuntutan pekerjaan. Dalam jangka panjang, karyawan yang tidak dapat menahan stres kerja, karyawan tidak akan mampu lagi bekerja di perusahaan terkait. Pada tahap yang semakin parah, stres bisa membuat karyawan menjadi sakit atau bahkan akan mengundurkan diri (Manurung & Ratnawati, 2012).

Menurut Hasibun (2006), stres kerja adalah sejumlah aktifitas fisik dan mental yang dilakukan seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan, maka dari itu bekerja merupakan salah satu bentuk beraneka ragam dari segala aktivitas hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan, dimana setiap orang akan melakukan produktifitas tinggi dengan mengharapkan pencapaian status, keadaan yang lebih baik serta mencapai kondisi yang memuaskan.

(13)

Stres kerja dapat menimbulkan kosekuensi pada individu pekerja. Baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku. Stres yang dialami secara terus menerus dan tidak terkendali dapat menyebabkan terjadinya burnout yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi. Bagi organisasi stres di tempat kerja dapat berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya pembentukan emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk, rendahnya kinerja dan tingginya turnover. Stres di tempat kerja pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kerugian finansial pada organisasi yang tidak sedikit jumlahnya (Saragih, 2010).

Handoko (2010) mengemukakan bahwa stres ialah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi lingkungan. Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, kesimpulan stres kerja merupakan suatu gejala yang dapat mempengaruhi seseorang dalam beraktivitas dalam bekerja.

Menurut Luthans (2006) secara tradisional bidang perilaku organisasi membahas stres dan konflik secara terpisah. Secara konseptual stres dan konflik adalah sama. Interaksi individu, kelompok dan organisasi lebih berhubungan dengan konflik. Pada tingkat individu (intrapersonal), stres dan konflik dapat dibahas bersama. Stres didefinisikan sebagai respons adaptif tarhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Penting juga untuk menunjukkan bahwa:

(14)

a. Stres bukan hanya masalah kecemasan b. Stres bukan hanya ketegangan saraf

c. Stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk, atau dihindari 2.3.2 Faktor-Faktor Stres Kerja

Hani Handoko (2008) menyatakan karyawan yang mengalami stress bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah, tidak dapat relaks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif, sehingga dapat menggangu pelaksanaan kerja mereka. Hani Handoko (2008) juga menyatakan ada beberapa kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para karyawan, diantaranya:

a. Beban kerja yang berlebihan b. Tekanan atau desakan waktu c. Kualitas supervisi yang jelek d. Iklim politis yang tidak aman

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai

f. Wewenang yg tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab g. Kemenduaan peranan (role ambiguity)

h. Frustasi

i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan k. Berbagai bentuk perubahan.

(15)

Mengenai penyebab stres, Robbins (2006) juga menyatakan bahwa ada banyak faktor organisasi yang dapat menimbulkan stres, di antaranya:

a.Tuntutan Tugas

Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik.

b. Tuntutan Peran

Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dipuaskan. Kelebihan peran terjadi bila karyawan diharapkan untuk melakukan lebih daripada yang dimungkinkan oleh waktu. Ambiguitas peran tercipta bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan karyawan tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakan.

c. Tuntutan Antar Pribadi

Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.

d. Struktur Organisasi

Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan

(16)

kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada karyawan merupakan contoh variabel struktural yang dapat merupakan potensi sumber stres.

e. Kepemimpinan Organisasi

Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial eksekutif senior organisasi. Beberapa manajer menciptakan budaya yang dicirikan oleh ketegangan, rasa takut, dan kecemasan.mereka meberikan tekanan yang tidak realistis untuk berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang sangat ketat, dan secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti.

f. Tingkat Hidup Organisasi

Organisasi berjalan melalui siklus. Didirikan, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Tahap kehidupan organisasi, yaitu pada siklus empat tahap ini menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda bagi para karyawan. Tahap pendirian dan kemerosotan sangat menimbulkan stres. Yang pertama dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidak pastian, sedangkan yang kedua lazimnya menuntut pengurangan, pemberhentian, dan serangkaian ketidakpastian yang berbeda. Stres cenderung paling kecil dalam tahap dewasa di mana ketidakpastian berada pada titik terendah.

2.4 Kepuasan Kerja

2.4.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu perusahaan, kepuasan kerja di ukur dari bagaimana perusahaan memperlakukan

(17)

setiap karyawannya. Kepuasan kerja karyawan merupakan masalah penting yang diperhatikan dalam hubungannya dengan produktivitas kerja karyawan dan ketidakpuasaan sering dikaitkan dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi (Sutrisno, 2012).

Robbins dan Judge (2011) mendifinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positif pada suatu pekerjaan, yang merupakan dampak atau hasil evaluasi dari berbagai aspek pekerjaan tersebut. Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh Koesmono (2005), Kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan sebagainya”. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa kepuasan kerja adalah merupakan suatu sikap dari seorang karyawan yang menggambarkan sikap terpenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhan mereka melalui kegiatan kerja atau bekerja. Darmawan (2013), kepuasan kerja sebagai suatu tanggapan secara kognisi dan afeksi dari seorang karyawan terhadap segala hasil pekerjaan atau kondisi-kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti gaji, lingkungan kerja, rekan kerja, dan atasan.

Jones dalam (Akehurst et al., 2009) bahwa seseorang dengan kepuasan kerja tinggi akan menyukai (satisfaction) pekerjaannya secara umum, dimana seseorang merasakan diperlakukan selayaknya dan percaya bahwa pekerjaan mempunyai banyak segi yang diinginkan. Hal tersebut menunjukan bahwa pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kepuasan kerja seseorang. Sejalan

(18)

dengan hal tersebut George dan Jones (2008:82) menyatakan bahwa: the collection of feelings and beliefs that people have about their current jobs. Kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan dan kepercayaan (anggapan) yang dimiliki setiap individu tentang pekerjaannya saat ini. Dengan demikian, kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara harapan, kebutuhan atau nilai dengan apa yang menurut pandangan atau persepsinya yang telah dicapai melalui pekerjaannya. Jadi, seorang akan merasakan kepuasan (satisfaction) jika tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi, sebaliknya, apabila terdapat perbedaan antara apa yang diinginkan dengan kenyataan, maka seseorang akan merasakan ketidakpuasan (dissatisfaction). Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan dan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang karyawan, baik yang menyenangkan (emosi positif) dan tidak menyenangkan (emosi negatif) tentang pekerjaannya.

2.4.2 Dimensi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan sikap seseorang dalam organisasi apapun terhadap pekerjaannya. Dengan kata lain, bagaimana perasaan seseorang, berpikir, dan bertindak dalam hidup adalah faktor penentu pertama dan bagaimana seseorang akan berpikir serta merasakan tentang satu pekerjaan (Ghazawi, 2008:3). Luthans (2008:142) bahwa terdapat lima dimensi kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri (the work itself), gaji (pay), promosi (promotions), pengawasan (supervision), kelompok kerja (work group), kondisi kerja (working conditions).

(19)

Robbins (2008:110) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: pekerjaan itu sendiri, gaji, kenaikan jabatan, pengawasan, dan rekan kerja. Wexley dan Gary (2005:129) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: gaji atau upah, kondisi kerja, pengawasan, rekan kerja, isi pekerjaan, jaminan kerja, serta kesempatan promosi. George dan Jones (2008:82) memperkuat pendapat Wexley and Gary (2005 : 67) yang mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan meliputi: personaliti (personality), nilai (value), situasi pekerjaan (work situation), dan lingkungan sosial (social influence). Penjelasannya sebagai berikut:

a. Personality: merupakan cara pandang seseorang yang terbentuk karena perasaan, pikiran, dan keyakinan, meliputi: pemanfaatan kemampuan, prestasi kerja, kemajuan, kreativitas kerja, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas.

b. Values: merupakan nilai-nilai kerja seseorang yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik, terdiri dari: imbalan, pengakuan, tanggungjawab, jaminan kerja, dan layanan sosial.

c. Value (nilai) adalah keyakinan tentang pekerjaan yang dihasilkan ketika menjalani pekerjaan dan bagaimana seharusnya bertindak di tempat kerja (George dan Jones, 2008:83). Temuan riset menunjukkan bahwa nilai adalah secara positif dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan (Ghazzawi, 2008:3). Seorang karyawan, nilai-nilai intrinsiknya kuat (tinggi) lebih merasakan kepuasan kerja, tanpa memperhatikan tingkat penggajian, walaupun gaji

(20)

merupakan alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan seseorang dengan nilai intrinsiknya lemah George dan Jones (2005). Ini berarti, walaupun gaji merupakan alasan yang nyata seorang individu bekerja tetapi tidak berakibat negatif terhadap emosionalnya apabila seseorang memiliki nilai intrinsik yang kuat.

d. Work Conditions: merupakan situasi kerja yang terbentuk karena pekerjaan itu sendiri, rekan kerja, supervisor, bawahan dan kondisi fisik, terdiri dari: wewenang, hubungan dengan atasan, pengawasan teknis, keberagaman tugas, dan kondisi kerja.

e. Social Influence: merupakan pengaruh yang terbentuk karena rekan kerja, kelompok dan budaya organisasi, meliputi: aktivitas atau kegiatan, kebijakan perusahaan, rekan kerja, nilai moral dan status.

Menurut Sutrisno (2010) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia mengemukakan pendapat Yulk dan Wexley, bahwa kepuasan kerja merupakan sebagai perasahan seseorang terhadap pekerjaannya.

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Mengapa seseorang bisa puas terhadap pekerjaannya sementara orang lain tidak puas dari pekerjaanya, walaupun pekerjaan yang mereka lakukan adalah sama. Para ahli melihat banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan karyawan.

(21)

Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memeberikan kepuasan kepada karyawan tergantung kepada pribadi masing-masing karyawan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pada dasarnya dapat menjadi dua bagian yaitu:

1. Faktor intrinsik, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan itu sendiri seperti harapan dan kebutuhan individu tersebut.

2. Faktor ektrinsik, yaitu faktor yang berasal dari luar karayawan itu sendiri seperti kebijakan perusahaan, kondisi fisik lingkunag kerja, interaksi dengan karyawan lain, sistim pengajian dan sebagainya.

Secara teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya. Salah satunya menurut Hasuban (2006) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Balas jasa yang layak dan adil

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian 3. Berat-ringannya pekerjaan

4. Suasana lingkunagn pekerjaan

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan 6. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya

Gambar

Gambar 2.2 Dimensi Organizational Commitment  Sumber: Mayer dan Allen, 1991

Referensi

Dokumen terkait

18 Fischer menyebutkan bahwa “rasa takut merupakan emosi yang timbul pada situasi stress dan tidak menentu (uncertainty) sehingga orang merasa dirinya terancam atau tidak berdaya

(2) Dokumen pertanggungjawaban biaya sebagaimana pada ayat (1) terdiri dari : SPPD, bukti tanda terima pembayaran lumpsum oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai

se*e!ti tanaman7 1inatang dan mik!oo!ganisme5 En+im Amilase 1eke!2a meme6ah ka!1ohid!at !antai *an2ang se*e!ti amilum dan dekst!in7 akan diu!ai men2adi molekul ,ang le1ih

Selain letaknya yang strategis yaitu sebagai penghubung antara kota-kota besar di Jawa Barat seperti Bandung, Bogor, Sukabumi dan Jakarta, Cianjur juga memiliki

Tujuan kegiatan ini yaitu mendapatkan hasil kajian berupa 3 (tiga) buah naskah kebijakan untuk masukan pengambil keputusan dalam operasi jaringan irigasi,

Pada Suami yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah kebawah, menikah dengan wanita penyandang disabilitas memiliki keuntungan dalam meningkatkan kemampuan ekonomi

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung kapasitas efektif yang digunakan, menghitung kapasitas produksi yang dijadikan sebagai acuan produksi, dan menentukan tata letak

Selanjutnya faktor individu lainnya yang perlu diupayakan dalam pengentasan kemiskinan adalah dengan menghilangkan budaya selalu bergantung kepada orang lain atau yang lebih