• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG GARUT JAWA BARAT PRISKA RINI HERDIYANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG GARUT JAWA BARAT PRISKA RINI HERDIYANTI"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume

DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG

GARUT JAWA BARAT

PRISKA RINI HERDIYANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume

DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG

GARUT JAWA BARAT

PRISKA RINI HERDIYANTI

Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(3)

RINGKASAN

PRISKA RINI HERDIYANTI. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. Di bimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS HIKMAT.

Rafflesia patma Blume merupakan tumbuhan yang bersifat holopasit dan dioceous. Holoparasit merupakan tumbuhan yang sepenuhnya tergantung pada

tumbuhan inang untuk keperluan nutrisi dan kelangsungan hidupnya, sedangkan

dioceous merupakan individu tumbuhan yang memiliki bunga jantan dan bunga

betina terpisah pada tumbuhan yang berbeda. (Nais 2001) R. patma merupakan spesies endemik Jawa. Salah satu habitat R.patma adalah Cagar Alam Leuweung Sancang. Pemetaan kesesuian habitat R. patma merupakan salah satu langkah dalam upaya pelestarian R. patma. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor fisik yang berpengaruh, model dan luas kesesuaian habitat R.patma di CA Leuweung Sancang.

Pengambilan data dilaksanakan di CA Leuweung Sancang pada bulan Agustus 2008. Pengolahan data dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Desember 2008. Penelitian ini menggunakan lima variabel fisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, LAI (Leaf Area Index) dan tanah. Pengolahan peta menggunakan software Arc View 3.2 dan Erdas Imagine 9.1. Pengolahan foto LAI menggunakan software Hemiview 2.1. Penentuan bobot model menggunakan Analisis Komponen Utama.

Berdasarkan Analisis Komponen Utama diperoleh 2 komponen utama dengan nilai vektor ciri sebesar 3,077 dan 1,148. Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat adalah jarak dari sungai dan kelompok tanah. Model yang digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat

R.patma di CA Leuweung Sancang adalah sebagai berikut Y = (3,077xFk1) +

(3,077xFk2) + (1,148xFk3) + (1,148xFk4) +(1,148 x Fk5). Model kesesuaian habitat diklasifikan menjdi 3 kelas yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Habitat yang mempunyai kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar 324 Ha, habitat yang mempunyai tingkat kesesuaian sedang sebesar 1701,435 Ha sedangkan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 692,893 Ha. Peta kesesuaian habitat dapat diterima dengan nilai validasi sebesar 93% untuk kelas kesesuaian habitat tinggi.

(4)

SUMMARY

PRISKA RINI HERDIYANTI. Suitable Habitat Mapping for Rafflesia patma Blume in Leuweung Sancang Nature Reserve Garut Jawa Barat. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and AGUS HIKMAT.

Rafflesia patma Blume is holopharasite and dioceous plant. Holopharasite

means that it is completely dependent on the host plant for its nutrition and survival. Dioceous means having male and female flowers borne on separate plants. R.patma is Javan endemic plant. One of habitat R.patma is Leuweung Sancang Nature Reserve. R.patma prereservation could be done by suitability habitat mapping. The research was aimed to map suitable habitat of R.patma in Leuweung Sancang Nature Reserve.

The research was conducted at Leuweung Sancang Nature Reserve on August 2008. Analysis were conducted on October 2008 until December 2008. The research used 5 physical habitat variable such as altitude, slope, distance from river, soil, LAI (Leaf Area Index) and soil classification. Map analysis was ArcView 3.2 and Erdas Imagine 9.1,mean while LAI analysis was calculated by using Hemiview. Weighting were conducted by using determined used Principle Component Analysis.

There were two principle component with total initial eigenvalues 3,077 and 1,148. Physical habitat factor that gave significant effect on habitat suitability model were distance from river and soil classification. The model which was used to determine the habitat suitability in Leuweung Sancang Nature Reserve was Y = (3,077xFk1) + (3,077xFk2) + (1,148xFk3) + (1,148xFk4) +(1,148 x Fk5). The habitat suitability map were reclassified into three class, high, medium and low suitability. The result showed that were 324,373 hectares of high suitability habitat, 1701,435 hectares of medium suitability habitat and 692,893 hectares of high habitat. The habitat suitability map could be accepted by showing the validation about 93% for the high habitat suitability.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Priska Rini Herdiyanti

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 17 Januari 1986 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Henricus Sudadi dan Veronica Sarbinah.

Penulis menempuh pendidikan SD di SD Kanisius Pugeran 1 Yogyakarta pada tahun 1992 - 1997, kemudian penulis menyelesaikan pendidikan di SLTPN 8 Yogyakarta pada tahun 2001. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 7 Yogyakarta pada tahun 2004. Penulis diterima di IPB sebagai mahasiswa Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)

Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan penulis menjadi anggota berbagai organisasi yaitu KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik), UKM UKF (Uni Konservasi Fauna) sebagai anggota divisi konservasi karnivora dan HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi) sebagai kelompok pemerhati mamalia. Penulis melakukan kegiatan Praktek P3H (Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan) di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kamojang, Cagar Alam Leuweung Sancang dan KPH Tasikmalaya pada tahun 2007. Penulis melakukan praktek kerja lapang profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 2008.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan IPB, pada akhir masa studi penulis menyusun skripsi dengan judul Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. Dibimbing oleh Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil di selesaikan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat.

Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan rasa tulus dan hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. dan Dr. Ir.Agus Hikmat, MSc.F. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, nasehat, ilmu serta dukungan moril.

2. Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, MSc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Edje Djamhuri selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur.

3. Bapak, Ibu, Mas Iwan, Mas Ari, Mas Kus, Didit serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa, cinta dan dukungan baik moril maupun materi.

4. Pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat.

5. Bapak Ruskindi dan Bapak Ade yang telah menemani penulis selama di lapangan

6. Jenice Newberry dan Steve Ferzacca dari Lethbridge University atas bantuan dana penelitian yang diberikan

7. KPAP Departemen KSH, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan selama menyusun skripsi ini.

8. Desi Rizkya, terima kasih telah menjadi sahabat yang terbaik.

9. Ka’Rudi, Ajid, Kety, Puji dan Ai, terima kasih atas bantuan dalam mengolah data.

10. Manda, melin, ines, iing, toa, nira, osin, hendri, febi, uwi dan semua temen-teman KSH 41 terimah kasih atas persahabatan dan persaudaraan yang telah diberikan.

(8)

11. Duma, Ka’Dila, Mbak Titi, Novi, dan semua penghuni Wisma AA, terima kasih atas kebersamaannya.

12. Teh Resti atas bantuan selama penelitian dan menyusun skripsi.

13. Andreas Sugihardono, terima kasih telah membantu untuk belajar menjadi lebih baik.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, tetapi semoga karya ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam penelusuran informasi.

Bogor, Maret 2009

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel ... iv Daftar Lampiran ... v BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ... 1 1. 2 Tujuan Penelitian ... 2 1. 3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Rafflesia patma Blume ... 3

2.1.1 Taksonomi dan morfologi ... 3

2.1.2 Habitat dan penyebaran ... 4

2.1.2.1 Definisi habitat ... 4

2.1.2.2 Habitat R. patma ... 4

2.1.2.3 Penyebaran R. patma ... 6

2.2 Penginderaan Jarak Jauh ... 6

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.3.1 Definisi ... 7

2.3.2 Model data ... 8

2.3.3 Aplikasi sistem informasi geografis ... 8

2.4 Leaf Area Index (LAI) ... 9

BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu ... 10

3. 2 Alat dan Bahan ... 10

3. 3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 10

3. 4 Metode Pengumpulan Data ... 10

3.4.1 Pengambilan data di lapangan ... 13

3.4.2 Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ... 13

(10)

3.4.4 Pembuatan peta LAI ... 14

3.4.5 Pembuaatan peta tanah ... 15

3. 5. Analisis Data ... 16

3.5.1 Analisis komponen utama ... 16

3.5.2 Peta kesesuaian habitat R.patma ... 16

3.5.3 Kelas kesesuaian habitat R.patma ... 16

3.5.4 Validasi model ... 17

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1 Sejarah dan Letak Kawasan ... 18

4. 2 Fisik Kawasan ... 18 4.2.1 Topografi ... 18 4.2.2 Iklim ... 19 4.2.3 Hidrologi ... 19 4. 3 Biotik ... 19 4.3.1 Flora ... 19 4.3.2 Fauna ... 20

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

5.1 Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat.. ... 21

5.1.1 Ketinggian tempat ... 21

5.1.2 Kemiringan lereng.. ... 23

5.1.3 Jarak dari sungai. ... 25

5.1.4 LAI. ... 27

5.1.5 Tanah ... 28

5.2 Analisis Komponen Utama ... 33

5.3 Kesesuaian Habitat R.patma ... 34

5.3.1 Model kesesuaian habitat R.patma ... 34

5.3.2 Kelas kesesuaian habitat R.patma ... 35

5.3.3 Validasi model ... 36

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

6.1 Kesimpulan ... 38

6.2 Saran ... 38

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Luas tiap kelas ketinggian ... 21

2. Luas tiap kelas kemiringan lereng... 23

3. Luas tiap kelas buffer sungai... 25

4. Luas tiap kelas LAI ... 28

5. Luas tiap kelas Tanah ... 31

6. Keragaman total komponen utama ... 33

7. Vektor ciri dari PCA ... 34

8. Bobot masing-masing variabel ... 34

9. Skor tiap variabel ... 35

10. Luas tiap kelas kesesuaian habitat... 36

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Rafflesia patma Blume ……… 3

2. Peta lokasi penelitian... 11

3. Bagan alir tahapan penelitian ... 12

4. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ... 13

5. Proses pembuatan peta jarak sungai ... 14

6. Proses pembuatan peta digital ... 15

7. Peta ketinggian CA Leuweung Sancang ... 22

8. Peta kemiringan lereng CA Leuweung Sancang ... 24

9. Peta jarak dari sungai CA Leuweung Sancang ... 26

10. Foto LAI ... 27

11.Peta LAI CA Leuweung Sancang ... 29

12.Peta tanah CA Leuweung Sancang ... 32

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Koordinat titik Rafflesia patma beserta jumlahnya………. 42 2. Nilai LAI disetiap tipe penutupan lahan……… 43

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rafflesiaceae merupakan famili tumbuhan yang terdiri dari kurang lebih 55 spesies dan terbagi dalam 8 genus. Salah satu spesies tumbuhan anggota famili Rafflesiaceae adalah Rafflesia patma Blume. Spesies ini merupakan tumbuhan unik karena bersifat holoparasit dan dioceous. Holoparasit merupakan tumbuhan yang sepenuhnya tergantung pada tumbuhan inang untuk keperluan nutrisi dan kelangsungan hidupnya, sedangkan dioceous merupakan tumbuhan yang memiliki bunga jantan dan bunga betina terpisah pada tumbuhan yang berbeda. (Nais 2001)

Menurut Mogea et al. (2001) R. patma merupakan tumbuhan langka Indonesia yang takson dan populasinya cenderung berkurang, baik dalam dalam jumlah individu,populasi maupun keanekaragaman genetisnya. Jika tidak ada usaha pelestarian yang optimal maka akan mengalami kepunahan.

Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan salah satu habitat R. patma. Secara administratif CA Leuweung Sancang terletak di desa Sancang dan desa Sagara Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kawasan hutan Leuweng Sancang telah ditunjuk menjadi CA Leuweng Sancang berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 370/Kpts /Um/6/1978 tanggal 4 Juni 1978 dengan luas 2.157 ha.

Populasi R. patma di CA Leuweung Sancang diindikasikan mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian Priatna (1989) jumlah individu yang ditemukan adalah sebanyak 256 individu dan data terbaru berdasarkan penelitian Suwartini (2008) jumlah individu yang ditemukan adalah 190 individu. Penurunan yang terjadi pada R. patma diduga karena adanya perambahan hutan yang besar dan mengalami puncaknya pada saat terjadi krisis ekonomi melanda Indonesia.

Pemetaan kesesuaian habitat R. patma merupakan salah satu langkah dalam upaya pelestarian R. patma. Habitat yang potensial bagi R. patma di CA Leuweung Sancang dapat diketahui dengan adanya pemetaan habitat. Informasi

(16)

mengenai pemetaan habitat dapat digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pelestarian yang akan dilakukan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Menentukan faktor fisik yang berpengaruh terhadap kesesuaian habitat

R. patma di CA Leuweung Sancang.

2. Menentukan model kesesuaian habitat R. patma di CA Leuweung Sancang. 3. Menentukan luas kesesuaian habitat R. patma di CA Leuweung Sancang.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam upaya pelestarian R. patma di CA Leuweung Sancang.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rafflesia patma Blume 2.1.2 Taksonomi dan morfologi

Menurut Zuhud et al. (1998),

Rafflesia patma Blume merupakan salah

satu spesies dari sekitar 50 spesies marga Rafflesiaceae. Berdasarkan klasifikasi dunia tumbuhan, R. patma dikelompokkan ke dalam:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Anak kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Aristolochiales Suku : Rafflesiaceae Marga : Rafflesia

Spesies : Rafflesia patma Blume

Spesies R. patma merupakan tumbuhan holoparasit yaitu tumbuhan yang sepenuhnya bergantung pada tumbuhan lain untuk makanannya. R. patma tidak memiliki klorofil, tetapi mempunyai akar hisap (haustorium) yang berfungsi sebagai penyerap nutrisi yang dibutuhkan. ( Zuhud et al. 1998)

Disamping itu R. patma adalah tumbuhan dioceous yaitu tumbuhan yang bunga jantan dan betina terpisah pada tumbuhan yang berbeda. Knop dan bunga jantan memiliki anter sedangkan knop dan bunga betina tidak memiliki anter. Bunga betina lebih pendek dan luas dibanding bunga jantan.(Nais 2001)

Menurut Mogea (2001) bunga R. patma berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil keputih-putihan. Bunga yang mekar sempurna berdiameter 20-30 cm. Penyerbukan bunga dilakukan oleh lalat hijau. Buah masak kira-kira 1 tahun setelah penyerbukan. Pertumbuhan dari kecambah hingga bunga mekar diperkirakan lebih dari 2 tahun. Bunga mekar selama selama 2-3 hari. Pemencaran biji dilakukan oleh mamalia kecil seperti tupai, tikus tanah dan babi hutan.

(18)

2.1.2 Habitat dan penyebaran 2.1.2.1 Definisi habitat

Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu kesatuan fisik maupun biotik yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar. Soerianegara dan Indrawan (2005) menyebutkan bahwa habitat adalah tempat tumbuh bagi organisme.

Menurut Odum (1994) habitat suatu organisme atau sekelompok organisme (populasi) merupakan tempat organisme tersebut hidup termasuk organisme lain dan lingkungan abiotiknya. Habitat juga dapat menunjukan tempat yang diduduki oleh suatu komunitas atau dengan kata lain habitat merupakan alamat dari suatu organisme dimana organisme itu dapat dijumpai.

Habitat tumbuhan terbagi dalam komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari tipe dan struktur vegetasi, serta fauna yang hidup dalam tipe dan struktur vegetasi tersebut, sedangkan komponen abiotik meliputi iklim, tanah dan topografi. Parameter iklim terdiri dari suhu, kelembaban, radiasi matahari, intensitas penyinaran, lama penyinaran, penetrasi cahaya, curah hujan dan angin.(Zuhud et al. 1998)

2.1.2.2 Habitat R. patma

Rafflesia tumbuh pada akar dan batang tumbuhan inang dari genus Tetrasigma yaitu dari spesies Tetrastigma lanceolarium dan Tetrastigma papilosum. R. patma tumbuh pada akar dan batang yang menggantung di atas

lantai hutan (Zuhud et al. 1998). Menurut Meijer (1997), inang R. patma biasanya adalah tumbuhan Tetrastigma leucostaphylum, tetapi juga bisa hidup pada inang Tetrastigma glabratum.

Menurut Zuhud et al. (1998) jenis tanah tempat tumbuh inang R. patma adalah regosol, kelas tekstur tanah lembung perpasir, konsistensi tanah gembur dengan kelas drainase baik, pH tanah agak masam sampai netral, kandungan C organik dan Ca sangat tinggi, K dan Na sedang sedangkan P tersedia sangat rendah. Iklim type B (Schmidt dan Ferguson) dengan kelembaban 85-94 % dan suhu rata-rata maksimum 32,5%.

(19)

Menurut Van Den Brink (1963) diacu dalam Jamil (1998), Tetrastigma sp. dikelompokkkan ke dalam:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Anak Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales

Suku : Vitaceae

Marga : Tetrastigma

Spesies yang menjadi inang R.patma adalah Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb. Sinonim: Cissus lanceolaria Roxb, Cissus

leucostaphyla Dennst, Tetrastigma lanceolarium Planch dan Tetrastigma papilosum

Penampakan luar Tetrastigma sp. mempunyai permukaan batang yang tidak merata, kulit batang lunak dan pecah-pecah, serta mengandung banyak air. Penampakan melintang batang agak bulat lonjong, dengan diameter batang yang keluar dari permukaan tanah dari beberapa milimeter hingga tidak lebih dari 15cm. Batang tidak melilit pohon penunjang seperti pada liana lainnya, melainkan merambat dari pohon ke pohon dengan mengeluarkan sulur-sulur dari pangkal tangkai daun dan menempel atau melilit pohon penunjangnya sehingga batang dapat dengan kokoh merambat pohon penunjang untuk mencari sinar matahari ke puncak tajuk. Daun majemuk dengan bentuk menjari, terdiri dari 3 helai daun. (Zuhud et al. 1993)

Pertumbuhan dan perkembangan perakaran Tetrastigma sp cenderung horizontal, tidak jauh dari permukaan tanah, umumnya pada lapisan tanah teratas, sistem perakarannya memiliki banyak cabang. Akarnya umumnya muncul dan

ditemui di permukaan tanah, tetapi ada juga yang tertimbun tanah. (Zuhud et al. 1993)

Menurut Zuhud et al. (1993) pohon yang dirambati oleh Tetrastigma sp tidak terkait pada jenis, tetapi terkait pada bentuk fisik pohon yang tinggi, serta memiliki batang yang kuat untuk dirambati. Mogea (2001) mengungkapkan bahwa tumbuhan inang R.patma tumbuh merambat dan berasosiasi dengan

(20)

berbagai jenis pohon yaitu Pogamia pinnata, Nessia altissima, Tabernaemontana

sphaerocarpa, Pterospermum diversifolium.

2.1.2.3 Penyebaran R.patma

R. patma merupakan spesies endemik Jawa khususnya Jawa Barat dan

Jawa Tengah. R. patma dapat ditemukan di 3 tempat yaitu Nusa Kambangan Jawa Tengah, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat dan Cagar Alam Leuweng Sancang Jawa Barat. (Zuhud et al. 1998)

Penyeberan R. patma di CA Leuweng Sancang secara sporadis meliputi areal yang berdekatan dengan pantai pada ketinggian berkisar antara 0-35 m dpl dan jarak dari pantai berkisar antara 5-700 m. Kemiringan lahan umumnya datar atau tidak lebih dari 5%. (Zuhud et al. 1998)

Penelitian R. patma di CA Leuweung Sancang, antara lain dilakukan oleh

Priatna (1989) dan Suwartini (2008). Berdasarkan kedua penelitian tersebut, penyebaran habitat R. patma yang berada di CA Leuweung Sancang mendekat ke arah pantai. Populasi R. patma cenderung mengalami penurunan, Priatna (1989) menemukan R. patma sebanyak 256 individu di 5 lokasi plot penelitian, sedangkan Suwartini (2008) menemukan sebanyak 190 individu di 9 lokasi plot penelitian. Kecenderungan penurunan ini disebabkan oleh penurunana kualitas habitat akibat perambahan hutan yang mengalami puncaknya pada saat krisis ekonomi.

2.2 Penginderaan Jarak Jauh

Menurut Lo (1995) penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi untuk memperoleh data yang bermanfaat untuk aplikasi bidang pertaniaan, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya.

Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor, data dikumpulkan dari jarak jauh. Data yang

(21)

diperoleh dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang diteliti. (Lillesand dan Kiefer 1990)

Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Objek yang diindera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang dan distribusi energi elektromagnetik. (Purwadhi 2001)

Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan atau non citra. Secara definitif citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu objek dari pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik objek yang direkam dengan cara optik, elekto-optik, optik-mekanik, atau elektronik. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya yang mempunyai sifat optik, analog dan digital. Data non citra sendiri dapat berupa grafik, diagram dan numerik. (Purwadhi 2001)

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1 Definisi

Menurut Aronoff (1989) diacu dalam Prahasta (2002) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek atau fenomena dimana lokasi geografi merupakam karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang mempunyai memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: a. Masukan

b. Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) c. Analisis dan manipulasi data

(22)

2.3.2 Model data

Menurut Prahasta (2002) model data merupakan kumpulan perangkat konseptual yang digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan data, hubungan (relasi) antar data, sematik (makna) data dan batasan. Dalam SIG dikenal 2 model data yaitu:

1 Model data raster

Model data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap piksel atau sel memiliki atribut tersendiri termasuk koordinat yang unik. Akurasi model data ini sangat bergantung pada resolusi atau ukuran pikselnya (sel grid)

2 Model data vektor

Model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis atau kurva atau poligon beserta atribut-atributnya. Dalam data vektor, bentuk dasar representasi data spasial didefinisiskan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x,y)

2.3.3 Aplikasi sistem informasi geografis

Penelitian dalam bidang kehutanan yang menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis telah banyak digunakan, contoh penelitian tersebut adalah: 1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk Model

ANSWER dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus : DTA Cikopol sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor). Oleh Arini, tahun 2005 2. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pemetaan Kesesuaian

Habitat Kedawung (Parkia timoriana (D.C Merr) Di Taman Nasional Meru Betiri. Oleh Joko Nugrah Sebastian, tahun 2007

3. Pemodelan Spasial kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris

sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat,seksi Konservasi Wilayah II

Taman Nasional Kerinci Seblat. Oleh Rudiansyah, tahun 2007.

4. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanicus Boettger, 1893) dengan Menggunakan GIS dan Citra Satelit TNGP, Jawa Barat. Oleh M. Irfansyah Lubis, tahun 2008.

(23)

5. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Oleh Arie Santy Gamasari, tahun 2007.

2.4 Leaf area index (LAI)

Menurut Nemani dan Running (1998) diacu dalam Setiawan (2006) Leaf

Area Index (LAI) didefinisikan sebagai nisbah luas daun dan luas lahan tegakan

yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk. LAI juga dapat diartikan sebagai setengah dari penutupan total luas permukaan oleh daun per unit lantai tegakan yang diproyeksikan tegak lurus terhadap penutupan tajuk (Butson

et al. 2002 diacu dalam Djumhaer 2003)

LAI merupakan salah satu indikator untuk menentukan intensitas radiasi yang dapat diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis, selain itu LAI juga merupakan peubah struktur tunggal yang banyak digunakan untuk menghitung karakteristik pertukaran energi dan massa pada sebuah ekosistem terestrial seperti intersepsi, transpirasi, fotosintesis netto dan asimilasi kanopi (Villalobos et al. 1995 diacu dalam Setiawan 2006)

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data lapang dilaksanakan di habitat Rafflesia patma Blume Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat pada bulan Agustus 2008. Pengolahan data lapang dan sekunder akan dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada bulan Oktober 2008 –Desember 2008. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi: kamera dengan lensa

fisheye, kamera digital, tripod, GPS (Global Positioning System), meteran, alat

tulis, seperangkat PC beserta software Hemiview 2.1, ArcView 3.2, Erdas Imagine 9.1. dan SPSS 1.6.

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: citra lansat, peta topografi, peta batas, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungai.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Data primer yang meliputi:

1. Titik keberadaan R. patma.

2. Ground Control Point (GCP) untuk setiap penutupan lahan

3. Nilai LAI ( Leaf Area Index) di setiap tipe penutupan lahan dan di setiap

tempat ditemukannya R.patma

Data sekunder meliputi: bio-ekologi R. patma, kondisi umum lokasi, citra lansat, peta topografi, peta batas, peta kontur, peta tanah dan peta jaringan sungai

3.4 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahapan. Bagan alir tahapan penelitian seperti terlihat pada Gambar 3.

(25)
(26)

Analisis peta Survey lapang

Tidak Ya

Gambar 3 Bagan alir tahapan penelitian. Nilai

NDVI

LAI Peta sebaran

R. patma

Peta kemiringan lereng Peta

ketinggian Peta rupa bumi

Sumarize Zone (ArcView)

Overlay

aFk1 + b Fk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5 bobot

validasi

Analisis statistik (PCA)

Akurasi model Peta kesesuaian habitat R. patma Citra Landsat Peta kontur Model diterima Peta jarak sungai Studi literatur Data persebaran R.patma (Suwartini 2008) Peta Tanah Peta LAI

(27)

3.4.1 Pengambilan data di lapangan

Data Ground Control Point diperoleh dengan mengambil titik pada GIS. Titik keberadaan R. patma diperoleh dengan mengambil titik pada GPS di setiap titik keberadaan R .patma. Sedangkan nilai LAI diambil menggunakan metode

hemispherycal photograph (hemipot.) Data ini diperoleh dengan cara mengambil

foto dari bawah (lantai hutan), menggunakan kamera dengan lensa Fisheye yang diletakkan pada tripod. Data yang diperoleh merupakan data foto.

3.4.2 Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng

Peta ketinggian dan kemiringan lerang dibuat dari peta kontur yang dianalisis menggunakan software Arcview GIS 3.3 sehingga diperoleh TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah model data vektor berbasiskan topologi yang digunakan untuk mempresentasikan data permukaan bumi. Setelah TIN terbentuk selanjutnya dilakukan pengolahan terhadap TIN tersebut untuk memperoleh peta ketinggian dan peta kelerengan dengan data berbasis raster. Proses pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 4.

TIN (Trianggulated Irregular Network)

DEM (Digital Elevation Model) Peta kontur

Peta ketinggian Slope

Peta kemiringan l

(28)

3.4.3 Pembuatan peta jarak dari sungai

Peta jarak sungai dibuat dari peta digital jaringan sungai yang dianalisis menggunakan software Arcview GIS 3.2. Proses pembuatannya dapat dilihat dari Gambar 5.

Create buffer (ArcviewGIS 3.2)

Peta jarak sungai Peta sungai

Gambar 5 Proses pembuatan peta jarak sungai.

3.4.4 Pembuatan peta leaf area index (LAI)

Peta LAI (Leaf Area Index) dibuat dengan cara melakukan analisis spasial model persamaan linear berganda pengaruh NDVI terhadap LAI dengan NDVI. NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat. Perhitungan NDVI menurut rumus:

NDVI

=

Model persamaan regresi linear berganda yang digunakan adalah sebagai berikut: Y = a + bX Dimana: Y = LAI a = konstanta regresi b = koefisien X1 = NDVI

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 1.6. Sebelum dilakukan analisis spasial antara model persamaan dengan nilai LAI maka model harus diuji terlebih dahulu yaitu uji F dan uji t. Pada uji F bila nilai Probabilitas < 0,05 maka model persamaan yang diajukan dapat diterima. Uji t

(29)

dilakukan untuk menguji signifikansi konstanta dari setiap variabel independen. Dengan hipotesis sebagai berikut:

Ho : Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen tidak nyata Ha : Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen nyata Pengambilan keputusan dengan melihat nilai probabilitas:

Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak

3.4.5 Pembuatan peta tanah

Peta tanah CA Leuweung Sancang diperoleh dengan cara melakukan digitasi on screen dengan menggunakan software Arcview GIS 3.2. dari Peta Satuan Lahan Daerah Priangan Selatan Propinsi Jawa Barat tahun 1991 yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Proses pembuatan peta digital dapat dilihat pada Gambar 6. scan Screen digitizing editing antributing Transformasi koordinat Peta digital Peta analog

(30)

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis komponen utama (Principle component analysis)

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 1.6. Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap sebaran R.patma, berdasarkan letak titik ditemukan

R.patma dengan masing-masing layer yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak

sungai, dan LAI. Selanjutnya dari hasil PCA dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran R.patma.

3.5.2 Peta kesesuaian habitat R. patma

Hasil analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variabel habitat yang diteliti untuk analisis spasial, sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut:

Y = (aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5) Y = Indeks Kesesuaian Habitat

a-e = Nilai bobot setiap variabel Fk1 = Faktor ketinggian

Fk2 = Faktor kemiringan lereng Fk3 = Faktor jarak dari sungai Fk4 = Faktor LAI

Fk5 = Faktor kelompok tanah

3.5.3 Kelas kesesuaian habitat R. patma

Peta kesesuaian habitat R.patma akan dikelaskan menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung dari nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat.

(31)

Keterangan:

Smaks = nilai indeks kesesuaian habitat tertinggi Smin = nilai indeks kesesuaian habitat terendah K = banyaknya kelas kesesuaian habitat

3.5.4 Validasi model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan menggunakan titik R. patma yang dilakukan oleh Suwartini (2008). Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu R.patma yang terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh jumlah individu yang digunakan untuk validasi.

Validasi = x 100%

Keterangan:

n = jumlah R. patma (Suwartini 2008) pada satu kelas kesesuaian N = jumlah total R. patma (Suwartini 2008)

(32)

BAB IV

KONDISI UMUM KAWASAN

4.1 Sejarah dan Letak Kawasan

Kawasan hutan Leuweung Sancang telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 370/Kpts /Um/6/1978 tanggal 4 Juni 1978 dengan luas 2.157 ha menjadi Cagar Alam Leuweung Sancang. CA Leuweng Sancang secara astronomis terletak antara 7°40’44” - 7°44’47” Lintang Selatan dan 107°48’17” – 107°54’44” Bujur Timur.

Menurut Keputusan Menteri No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978, batas wilayah CA Leuweung Sancang adalah:

• Sebelah Utara : Perkebunan Mira Mare

• Sebelah Timur : Sungai Cikangean

• Sebelah Selatan : Samudera Hindia

• Sebelah Barat : Samudera Hindia dan Sungai Cisanggiri Secara administratif CA Leuweung Sancang terletak di desa Sancang dan desa Sagara Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berdasarkan pengelolaan, kawasan tersebut berada di bawah pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah II Garut, Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Ciamis, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat. Kawasan CA Leuweng Sancang berada di wilayah kecamatan Cibalong yang meliputi 7 desa, yaitu desa Sancang, Sagara, Maroko, Mekarsari, Karyamukti, Simpang dan Karyasari.

5.2 Fisik Kawasan 4.2.1 Topografi

Pada umumnya kondisi topografi kawasan CA Leuweung Sancang adalah kombinasi daratan landai dan perbukitan. Bagian selatan dan barat sebagian besar landai sedangkan bagian timur berbukit. Kawasan ini memiliki ketinggian 0 sampai 175m di atas permukaan laut(dpl) serta kemiringan tanah 5 sampai 25 %.

(33)

4.2.2 Iklim

Menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson, kawasan CA Leuweung Sancang termasuk dalam tipe iklim B yaitu tipe basah dengan suhu rata-rata 26°C - 28°C, curah hujan rata-rata 2.626 mm/tahun, kelembaban udara berkisar antara 70 – 90 % dan bulan basah normal 6 – 8 bulan.

4.2.3 Hidrologi

Dalam kawasan CA Leuweng Sancang terdapat beberapa sumber air yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai Cimerak, Cibaluk, Cijeruk, Cipalawah, Cipanyawungan, Cipangikisan, Cipunaga, Cisaja, Cicukangjambe, Cipadarum, Ciporeang, Cipangisikan, Cikaengan dan Cipanglem.

4.3. Biotik 4.3.1 Flora

Potensi flora kawasan CA Leuweng Sancang sangat beraneka ragam dengan beberapa tipe vegetasi seperti hutan payau, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder, dan semak belukar. Penggolongan ini didasarkan atas penyebaran, sifat, dan bentuk vegetasi.

Hutan payau dicirikan dengan selalu tergenang air asin atau payau dan berada di daerah pasang surut air laut. Jenis hutan ini terdapat di sungai Cibako, Cipunaga, Cipalawah, dan Cikalomberan. Vegetasi yang ditemui adalah jenis kaboa (Aegiceros corniculata Linn), tancang (Bruguiera conjugata Linn), bakau (Rhizophora mucronata Lamk), dan Pedada (Sonneratia acida Linn).

Hutan pantai berada di daerah sungai Cisanggiri sampai sungai Cijeruk. Vegetasi yang ditemui yaitu baringtonia (Baringtonia asiatica), borogondolo (Hernandia peltata), dadap cangkring (Erythrina litosperma), ketapang (Terminalia catappa), dan pandan laut (Pandanus sp.).

Hutan hujan dataran rendah sebagian besar menutupi kawasan CA Leuweung Sancang mencakup daerah utara dari pantai (sepanjang 3 km dari pantai) sampai daerah hutan sekunder. Jenis Vegetasi yang mendominasi adalah laban (Vitex pubescens), kiara (Ficus sp.), palahlar (Dipterocarpus sp.), dan putat (Planchonia valida). Selain itu, juga terdapat sauhen (Panicum foliufolium)

(34)

4.3.2 Fauna

CA Leuweung Sancang mempunyai potensi fauna yang sangat beragam. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilaksanakan oleh Sub Balai KSDA Jabar II, terdapat 9 jenis mamalia, 22 jenis burung dan 3 jenis reptil. Jenis mamalia yang sering dijumpai adalah banteng (Bos javanicus), owa (Hylobates moloch), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbitys tracypitheus auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), kijang muncak (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), dan jelarang (Ratufa bicolor). Sedangkan jenis burung yang sering dijumpai adalah kangkareng (Anthrococepos convectus), walik (Chalpos

indica), julung tumpuk (Megalaima convina). Jenis reptil yang dapat dijumpai

adalah ular sanca (Python molurus), biawak (Varanus salvator) dan ular hijau (Tracyphecus auratus).

Pada CA Laut Sancang mempunyai potensi laut yang tinggi dengan beranekaragamnya biota laut. Biota laut tersebut antara lain fauna karang seperti

Fovia sp., Ganiopora sp., Favites sp., Poritos sp., Anemon sp. Jenis ikan hias

seperti Labroides sp., Chaetodon sp., Cephalopolis sp., dan lain-lain. Jenis invertebrata yang dapat ditemukan antara lain Pagurus sp. dan Cypraera sp.

(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat

5.1.1 Ketinggian tempat

Berdasarkan data yang diperoleh titik-titik keberadaan R. patma berkisar antara 0-26 m dpl. Menurut Meijer (1997), habitat Rafflesia patma berada pada ketinggian di bawah 400 m dpl. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Zuhud et.al (1998) menyebutkan bahwa penyebaran R. patma di CA Leuweung Sancang secara sporadis meliputi areal yang berdekatan dengan pantai pada ketinggian berkisar antara 0-50 m dpl. Jarak antara ditemukannya R.patma dengan pantai berkisar antara 5-700 m. Setiap jenis tumbuhan memiliki kisaran tumbuh terhadap tinggi tempat dari permukaan laut. Tumbuhan akan tumbuh secara maksimum bila tumbuh dalam kisaran tinggi tumbuhan tersebut.(Soerianegara dan Indrawan 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh CA Leuweung Sancang dapat dibagi menjadi 5 kelas ketinggian yaitu 0-50 m, 50-100 m, 100-150 m, 150-200 m dan 200-250 m, dari kelima kelas tersebut kelas 0-50 m merupakan kelas yang terluas yaitu sebesar 1586,063 Ha, kelas yang memiliki luas yang paling kecil adalah kelas 200-250 m sebesar 1,422 Ha. Luas tiap kelas ketinggian dapat dilihat pada Tabel 1. Peta ketinggian CA Leuweung Sancang dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 1 Luas tiap kelas ketinggian

No Kelas Ketinggian Luas (Ha)

1 0-50 m 1586,063

2 50-100 m 611,716

3 100-150 m 330,596

4 150-200 m 145,740

(36)
(37)

5.1.2 Kemiringan lereng

Kemiringan lereng atau slope adalah ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat atau persen (Jaya 2002). Kemiringan lereng dibagi menjadi 5 kelas yaitu yaitu datar dengan tingkat kemiringan 0-8%, landai dengan tingkat kemiringan 8-15%, agak curam dengan tingkat kemiringan 15-25%, curam dengan tingkat kemiringan 25-40% dan sangat curam dengan tingkat 40-100%. Kemiringan lereng di lokasi penelitian didominasi oleh kelas lereng datar dengan luas sebesar 1698,543 Ha, kemiringan lereng terendah adalah kelas lereng sangat curam. Luas setiap kelas kemiringan lereng disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas tiap kelas kemiringan lereng.

No Kemiringan lereng (%) Luas (Ha)

1 0-8 1698,543

2 8-15 490,708

3 15-25 357,449

4 25-40 121,297

5 40-100 7,681

Titik keberadaan R. patma di CA Leuweung Sancang juga didominasi pada kemiringan lereng 0-8%. Hal ini dikarenakan titik-titik tersebut menyebar di sekitar pantai yang datar. Beberapa titik ditemukan pada kelas kemiringan lereng landai. Titik R. patma tidak ditemukan pada kelas kemiringan lereng curam sampai dengan sangat curam. Kondisi ini berbeda dengan R. patma yang terdapat di CA Pananjung Pangandaran. Berdasarkan penelitian Gamasari (2007) R. patma di CA dan TWA Pananjung Pangandaran ditemukan melimpah pada kelas datar dan landai, dan juga masih dapat ditemui pada tingkat kemiringan lereng agak curam meskipun tidak ditemui pada kelas kemiringan lereng curam sampai dengan sangat curam. Peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 8.

(38)
(39)

5.1.3 Jarak dari sungai

Sungai berperan penting sebagai sumber air tawar bagi makhluk hidup disekitarnya. CA Leuweung Sancang merupakan hilir beberapa sungai yang mengalir di sekitar kawasan. Sungai-sungai yang terdapat di CA Leuweung Sancang adalah sungai Cimerak, Cibaluk, Cijeruk, Cipalawah, Cipanyawungan, Cipangikisan, Cipunaga, Cisaja, Cicukangjambe, Ciporeang, Cipangisikan, Cikaengan dan Cipanglem. Sungai-sungai ini rata-rata mengalir sepanjang tahun tetapi ada juga yang mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Spesies R. patma merupakan tumbuhan holopasit yang menggantungkan seluruh hidupnya pada inangnya yaitu Tetrastigma sp (Nais 2001). Semua nutrisi yang dibutuhkan oleh R.patma diperoleh dari inangnya. Air mempengaruhi pertumbuhan dari Tetrastigma, bila pertumbuhan Tetrastigma bagus maka nutrisi yang dapat dibutuhkan oleh R.patma dapat tercukupi. Semakin dekat dengan sungai maka diasumsikan cadangan air untuk Tetrastigma sp. cukup melimpah.

Pada penelitian ini jarak dari sungai di CA Leuweung Sancang dibagi menjadi 5 kelas jarak dari sungai sungai yaitu 0-200 m, 200-400 m, 400-600 m, 600-800 m, dan 800-1000 m. Luas dari masing-masing jarak dari sungai disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas tiap kelas jarak dari sungai

No Jarak dari sungai Luas (Ha)

1 0-200 m 1560,144

2 200-400 m 788,650

3 400-600 m 272,358

4 600-800 m 69,102

5 800-1000 m 28,407

Berdasarkan hasil pengamatan R. patma ditemukan melimpah di sekitar sungai. Semakin jauh dengan sungai, jumlah R. patma yang ditemukan makin sedikit. Tidak ditemukan R. patma untuk kelas buffer sungai 600-800 m dan 800-1000 m. Peta jarak dari sungai CA Leuweung Sancang dapat dilihat pada Gambar 9.

(40)
(41)

5.1.4 LAI (Leaf Area Index)

Peta LAI diperoleh dengan melakukan analisis regresi antara LAI dengan NDVI. NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat. Data LAI yang diambil dari lapangan berupa foto bukaan tajuk yang kemudian diolah dengan software Hemiview untuk memperoleh nilai LAI. Data foto LAI yang diperoleh di lapangan dapat dilihat pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar10 Pengambilan foto LAI dibawah tajuk hutan pantai(a), semak belukar(b).

Nilai NDVI di setiap titik pengambilan data LAI kemudian regresikan dengan nilai LAI itu sendiri dimana NDVI sebagai variabel bebas sedangkan LAI sebagai variabel terikat. Rumus analisis regresi yang diperoleh adalah

Y = 0,236 + 5,193 X Keterangan:

Y = LAI X = NDVI

Berdasarkan analisis regresi dapat diketahui bahwa NDVI memiliki hubungan yang kuat dengan LAI yang ditunjukkan dengan nilai R (koefisien korelasi) sebesar 0,795. Menurut Soleh (2005) nilai hubungan variabel yang berkisar antara 0,7 dan 0,9 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut kuat. Besarnya nilai R square sebesar 0.632 menunjukkan bahwa sebanyak 63,20% nilai LAI telah dapat dijelaskan oleh data NDVI sedangkan sebanyak 36,80% belum dapat dijelaskan oleh data NDVI.

Berdasarkan peta LAI yang telah dibuat berdasarkan nilai NDVI dan persamaan regresi antara LAI dengan NDVI diperoleh nilai LAI di CA Leuweung

(42)

Sancang berkisar antara 0-5. Kemudian peta LAI tersebut dikelaskan menjadi 5 kelas yaitu kelas 0-1, kelas 1-2, kelas 2-3, kelas 3-4, kelas 4-5. Kelas yang paling mendominasi di CA Leuweung Sancang adalah kelas 0-1 dan 1-2. Hal ini dikarenakan hutan yang terdapat di CA di Leuweng Sancang memiliki kerapatan tajuk yang tidak rapat dan juga banyak ditemui penutupan lahan yang berupa semak belukar. Semakin tinggi kerapatan tajuk suatu hutan maka semakin tinggi pula nilai LAInya. Luas tiap-tiap kelas LAI disajikan dalam Tabel 4, sedangkan peta LAI dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 4 Luas tiap kelas LAI

No Kelas LAI Luas (Ha)

1 0-1 1363,658 2 1-2 1318,141 3 2-3 36,390 4 3-4 0,180 5 4-5 0,450 5.1.5 Tanah

Peta tanah CA Leuweung Sancang diperoleh dengan melakukan digitasi dari Peta Satuan Lahan Daerah Priangan Selatan Propinsi Jawa Barat tahun 1991 yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Berdasarkan peta tersebut CA Leuweung Sancang terbagi dalam 5 Kelompok tanah yaitu

1. Bfq 1.1

Kelompok tanah yang termasuk dalam grup marin. Terdapat di sekitar pantai yang berselang-seling dengan cekungan, sedimen halus dan kasar. Komposisi tanah yang terdapat dalam kelompok ini menurut United State

Department of Agriculture (USDA) adalah Tropopssament dan

(43)
(44)

2. Af 2.2.1

Merupakan kelompok tanah yang termasuk dalam grup aluvial, terdapat sedimen halus, kelompok tanah yang berombak dengan kemiringan lereng antara 3-8%. Komposisi tanah menurut USDA adalah Eutropepts dan Tropaquent.

3. Af 4.1.0

Kelompok tanah ini termasuk dalam grup aluvial. Kelompok tanah ini merupakan penyusun teras sungai dengan sedimen yang tidak dapat dibedakan. Kemiringan lereng kelompok tanah ini kurang dari 3%, oleh karena itu kemiringan lereng tanah ini tergolong datar. Komposisi tanah menurut USDA adalah Tropaquepts dan Eutropepts.

4. Hdq 1.2.1

Kelompok tanah ini termasuk dalam grup perbukitan yang terdiri dari perbukitan kecil dan perbukitan dengan pola random. Tanah ini memiliki kemiringan lereng yang cukup curam yaitu antara 16-25 %. Komposisi tanah menurut USDA adalah Hapludults, Dystropepts, Tropaquepts.

5. Hdq 1.3.2

Termasuk dalam grup tanah perbukitan yang memiliki pola random. Kelompok tanah ini memiliki kemiringan lereng yang sangat curam yaitu lebih dari 25%. Komposisi tanah yang terdapat dalam kelompok ini menurut USDA adalah Hapudalft, Hapludults, Dystropepts, Tropaquepts. (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1992)

Kelompok tanah di CA Leuweung sancang didominasi oleh kelompok tanah Hdq 1.2.1 dan Hdq.1.3.2. Kelompok tanah yang memiliki luasan paling kecil adalah Af 4.1.0. Adapun luas tiap masing-masing kelompok tanah yang terdapat di CA Leuweung Sancang disajikan dalam Tabel 5.

(45)

Tabel 5 Luas tiap kelompok tanah

No Kelompok tanah Luas (Ha)

1 Bfq 1.1 692,242

2 Af 2.2.1 488,978

3 Af 4.1.0 1194,549

4 Hdq 1.2.1 2967,347

5 Hdq 1.3.2 2646,069

Menurut Zuhud et al. (1998), jenis tanah tempat tumbuh dari inang R.

patma adalah tanah regosol, kelas tanah lempung berpasir, konsistensi tanah

gembur dengan kelas drainase baik. Tanah yang memiliki pH masam sampai dengan netral dengan kandungan karbon organik dan kalsium sangat tinggi, fosfor tersedia sangat rendah dan nilai kalium dan natrium sedang.

Purwowidodo (1998) mengatakan bahwa untuk memudahkan penggalian keterangan data tanah dapat dilakukan korelasi tanah yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan kedudukan suatu taksa tanah dari suatu sistem klasifikasi di dalam sistem klasifikasi lainnya. Jenis tanah regosol merupakan jenis tanah menurut klasifikasi Puslitan Tanah dan FAO/Unesco. Jenis tanah regosol berkorelasi dengan jenis tanah Pssament, Orthent dan Aquent menurut klasifikasi tanah USDA. Peta kelompok tanah CA Leuweung Sancang disajikan dalam Gambar 12.

(46)
(47)

5.2 Analisis Komponen Utama.

Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) merupakan suatu teknik analisis statistik untuk mentransformasi peubah-peubah asli yang masih saling berkorelasi satu dengan yang lain menjadi satu set peubah baru yang tidak berkorelasi lagi. Peubah-peubah baru itu disebut sebagai komponen utama. (Johnson dan Wichern 1982 diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2006)

Berdasarkan analisis komponen utama menggunakan software SPSS 1.6. didapatkan 5 komponen utama. Dari kelima komponen utama tersebut digunakan 2 komponen utama yang dianggap mampu menerangkan keragaman total data dengan persentasi total sebesar 84,506% dan nilai total akar ciri telah melebihi angka 1. Menurut Timm (1975) diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (2006) proporsi keragaman yang dianggap cukup mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70%-80%, sedangkan menurut Wuensch (2005) pemilihan komponen utama yang digunakan adalah jika nilai akar cirinya lebih dari 1. Nilai dari total akar ciri yang dimiliki oleh kedua komponen tersebut digunakan sebagai bobot dalam pemetaan kesesuian habitat R. patma. Keragaman total komponen utama dijelaskan pada Tabel 6.

Tabel 6 Keragaman total komponen utama Komponen

utama

Akar ciri

Total % Keragaman %Kumulatif keragaman

1 3,077 61,539 61,539

2 1,148 22,967 84,506

3 0,43 8,605 93,111

4 0,224 4,478 97,589

5 0,121 2,411 100

Keeratan hubungan antara kelima variabel habitat kesesuaian R. patma dengan komponen utama dapat dilihat dari vektor ciri dari PCA yang disajikan dalam Tabel 7.

(48)

Tabel 7 Vektor ciri dari PCA Variabel Komponen Utama 1 2 kemiringan lereng -0,914 0,022 Ketinggian -0,879 0,048 Kelompok tanah 0,834 -0,463 Jarak dari sungai 0,831 0,217

LAI 0,286 0,940

Dari vektor ciri variabel habitat dengan komponen utama dapat dilihat bahwa variabel kelompok tanah dan jarak dari sungai mempunyai hubungan yang positif dan tinggi dengan komponen utama pertama, variabel kemiringan lereng dan ketinggian memiliki hubungan potisif yang rendah dengan komponen utama kedua, sedangkan LAI mempunyai hubungan yang positif dan tinggi dengan komponen utama kedua. Bobot dalam tiap variabel dalam pemodelan kesesuaian habitat didapatkan dari skor total PCA masing-masing komponen utama yang memiliki hubungan positif dengan variabel pemodelan kesesuaian habitat. Besanya nilai bobot tiap varibel pemodelan kesesuaian habitat R. patma dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Bobot masing-masing varibel

No Variabel Nilai bobot

1 Jarak dari sungai 3,077

2 Kelompok tanah 3,077

3 Ketinggian 1,148

4 Kemiringan lereng 1,148

5 LAI 1,148

5.3 Kesesuaian Habitat Rafflesia patma 5.3.1 Model kesesuaian habitat

Bobot dari tiap variabel digunakan untuk menentukan indeks kesesuaian habitat R.patma. Sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan pengkelasan tiap variabel habitat untuk menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Setiap kelas dalam satu variabel memiliki nilai yang

(49)

berbeda satu dengan yang lainnya. Skor dari masing-masing kelas variabel habitat disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Skor tiap variabel

Jarak dari sungai Kelompok tanah Ketinggian

Kemiringan

lereng LAI

Kelas skor kelas Skor kelas skor Kelas skor kelas Skor

0-200 m 5 Bfq 1.1 5 0-50 m 5 0-8 5 0-1 5

200-400 m 4 Af 2.2.1 4 50-100 m 4 8-15 4 1-2 4

400-600 m 3 Af 4.1.0 3 100-150 m 3 15-25 3 2-3 3

600-800 m 2 Hdq 1.2.1 2 150-200 m 2 25-40 2 3-4 2

800-1000 m 1 Hdq 1.3.2 1 200-250 m 1 40-100 1 4-5 1

Kesesuaian habitat itu sendiri dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut

Y = (3,077 x Fk1) + (3,077 x Fk2 + (1,148 x Fk3) + (1,148 x Fk4) +(1,148 x Fk5) Keterangan:

Y = Indeks Kesesuaian Habitat Fk1 = Skor jarak dari sungai Fk2 = Skor kelompok tanah Fk3 = Skor ketinggian

Fk4 = Skor kemiringan lereng Fk5 = Skor LAI

5.3.2 Kelas kesesuaian habitat

Kesesuaian habitat R.patma ditentukan dari besarnya nilai Indeks Kesesuaian Habitat. Nilai tersebut kemudian dikelas untuk menentukan tingkat kesesuaian habitat yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Penentukan selang kelas kesesuaian habitat maka dilakukan dengan membagi tiga selisih nilai Indeks Kesesuaian Habitat yang tertinggi dan terendah. Luas tiap kelas kesesuaian habitat disajikan dalam Tabel 10.

(50)

Tabel 10 Luas tiap kelas kesesuaian habitat

No Kelas Kesesuaian Habitat Luas

1 Kesesuaian tinggi 324,373

2 Kesesuaian sedang 1701,435

3 Kesesuaian rendah 692,893

5.3.3 Validasi model

Validasi dilakukan dengan data hasil penelitian Suwartini (2008). Validasi diperoleh dengan membagi jumlah R. patma yang ditemukan di kelas kesesuaian habitat dengan jumlah R. patma yang ditemukan di seluruh CA Leuweung Sancang. Berdasarkan perhitungan validasi model untuk kelas kesesuaian tinggi mempunyai nilai 93%, kelas kesesuaian sedang sebesar 7% dan kelas kesesuaian rendah sebesar 0%. Model yang dibuat dapat diterima karena nilai validasi pada tingkat kesesuaian tinggi sebesar 93%. Hasil validasi model kesesuaian habitat untuk tiap kelas kesesuaian habitat disajikan dalam Tabel 12. Adapun peta kesesuaian habitat R. patma dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 11 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat.

No Kelas jumlah R.patma Validasi %

1 kesesuaian tinggi 177 93

2 kesesuaian sedang 13 7

(51)
(52)
(53)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Faktor fisik yang lebih berpengaruh terhadap kesesuaian habitat Rafflesia

patma adalah jarak dari sungai dan kelompok tanah.

2. Model keseuaian habitat R. patma di CA Leuweung Sancang adalah

Y = (3,077 x Fk1) + (3,077 x Fk2) + (1,148 x Fk3) + (1,148 x Fk4) +(1,148 x Fk5)

3. Berdasarkan faktor-faktor fisik maka habitat R.patma di CA Leuweung Sancang yang mempunyai tingkat kesesuaian tinggi sebesar 324,373 Ha, habitat yang mempunyai tingkat kesesuaian sedang sebesar 1701,435 Ha sedangkan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 692,893 Ha.

6.2 Saran

Perlu menjaga kelestarian ekosistem pantai yang merupakan habitat

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor.

Azhima F. 2001. Distribusi Cahaya di Hutan Karet Muara Kuamang Jambi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Djumhaer M. 2003. Pendugaan Leaf Area Index dan Luas Bidang Dasar Tegakan Menggunakan Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi).[skripsi] Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Gamasari AS. 2007. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Jamil N. 1998. Studi Rancangan Pengelolaan Areal Konservasi Berbasis Pelestarian Rafflesia hasseltii Suringar di Areal HPH PT Injaspin Company. [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mogea JP, Gandawidjaja D, Wiradinata H, Nasution RE, Irawati. 2001.

Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Puslitbang Biolologi-LIPI.

Nais J. 2001 Rafflesia of the World. Kota Kinabulu: Sabah Parks.

Priatna DR. 1989. Kajian Habitat Rafflesia patma Blume dan Aspek Pengelolaan Kawasan di Cagar Alam Leuweng Sancang Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika.

Purwadhi FSH. 2001. Interpretasi Citra digital. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. 2006. Analisis Komponen Utama. http:/www.youngststiscian.com/stik/aku.html. [15 Jan 2009]

(55)

Suwartini R. 2007. Kajian Status Konservasi Rafflesia patma Blume dan Sikap Masyarakat Sekitar di Cagar Alam Leuweng Sancang Kabupaten Garut [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Wuensch KL. 2005. Principal Component Analysis. http://www.core.ecu.edu/psyc/wuenschk/wuensch.html.[15 Jan 2009]

Zuhud EAM, Ekarelawan, Hikmat A. 1993. Bioekologi dan Penanggkaran

Rafflesia rochusennii untuk Pelestarian Pemanfaatannya di Gunung Salak. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Zuhud EAM, Hikmat A, Jamil N. 1998. Rafflesia Indonesia: Keanekaragaman,

Ekologi dan Pelestariannya. Bogor: Yayasan Bina suaka Alam dan Suaka

Margasatwa Indonesia dan Laboratoritum Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

(56)
(57)

Lampiran 1 Koordinat titik Rafflesia patma beserta jumlahnya

No Lintang Selatan(o) Bujur Timur(o) jumlah Rafflessia patma

1 7,718 107,837 4 2 7,730 107,841 7 3 7,730 107,842 10 4 7,735 107,848 3 5 7,734 107,849 5 6 7,733 107,852 4 7 7,733 107,851 11 8 7,738 107,866 8 9 7,738 107,861 14 10 7,739 107,871 5 11 7,735 107,894 13 12 7,734 107,894 16 13 7,735 107,895 7 14 7,739 107,882 9 15 7,739 107,881 14 16 7,739 107,880 38 17 7,738 107,878 11

(58)

Lampiran 2 Nilai LAI di setiap tipe penutupan lahan No

Lintang Selatan (o)

Bujur

Timur (o) LAI (Hemipot) Tipe Penutupan Lahan

1 7,718 107,837 2,325 hutan pantai 2 7,730 107,841 0,94 hutan pantai 3 7,730 107,842 1,484 hutan pantai 4 7,735 107,848 1,599 hutan pantai 5 7,734 107,849 1,661 hutan pantai 6 7,733 107,852 1,928 hutan pantai 7 7,733 107,851 2,081 hutan pantai 8 7,738 107,866 2,072 hutan pantai 9 7,738 107,861 1,325 hutan pantai 10 7,739 107,871 1,444 hutan pantai 11 7,735 107,894 1,413 hutan pantai 12 7,734 107,894 1,325 hutan pantai 13 7,735 107,895 1,444 hutan pantai 14 7,739 107,882 1,383 hutan pantai 15 7,739 107,881 0,897 hutan pantai 16 7,739 107,880 1,301 hutan pantai 17 7,738 107,878 1,704 hutan pantai 18 7,723 107,872 0,238 semak belukar 19 7,724 107,873 0,258 semak belukar 20 7,726 107,873 0,683 hutan mangrove 21 7,736 107,845 0,694 hutan mangrove 22 7,736 107,846 0,835 hutan mangrove

23 7,738 107,867 2,799 hutan hujan dataran rendah

(59)
(60)
(61)

Gambar

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
Gambar 3  Bagan alir tahapan penelitian.
Gambar 4 Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng.
Gambar 5  Proses pembuatan peta jarak sungai.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Satu radian (ditulis 1 rad ) didefinisikan sebagai ukuran sudut yang berada diantara dua jari-jari lingkaran dengan panjang busur sama dengan panjang jari-jari

Guru Kemahiran Hidup biasa menggunakan bahan bantuan mengajar seperti barang sebenar atau gambar yang berkaitan dengan untuk memudahkan pengajaran dan pengajaran

Prosedur Pengadaan Barang Habis Pakai Di Engineering Department Hotel Swiss-Belinn Tunjungan; Clara Viona Rosa Anjani; 4105017039; 2020; Prodi D- III Administrasi

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis perilaku menyimpang yang dilakukan peserta didik di MTs Almaarif 02 Singosari dan faktor-faktor penyebabnya serta

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis yang menyatakan diduga pemahaman dan kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap

Keil, Mann &amp; Rai (2000) menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan fenomena eskalasi dan di- temukan bahwa construct yang dihubungkan dengan teori tertentu

Hasil pengkajian menunjukkan : (a) Tampilan komponen hasil jagung pada introduksi teknologi relatif lebih baik dari pada pola petani, (b) Introduksi teknologi

Apabila kehendak itu digantungkan atau ditaklukkan dengan sesuatu perbuatan atau perkara yang dipilihnya, maka Allah taala menjadiakn perbuatan itu dengan kudratnya.Sementara