• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh:

MUSTAKIM LA DEE

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tompotika Luwuk Abstrak

Penelitian hukum (legal research) yang akan dilakukan merupakan penelitian doctrinal / normatif, dimana hal ini disebabkan karena karakter ilmu hukum itu sendiri. Dimana penelitian ini juga bertujuan untuk Untuk mengetahui kedudukan Kejaksaandalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.Pendekatan penelitian yang akan dipergunakan adalah pendekatan penelitian yang dikenal dalam metode penelitian normatif, yaitu pendekatan undang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri.Berdasarkan hasil penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis, maka kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 16 tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, masih kurang adanya pengaturan independensi, yang secara tegas belum memberikan independensi kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsi kewenangan penuntutan, karena disebabkan oleh kedudukan jaksa agung yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden dalam Pasal 19 ayat (2) jo Pasal 22.

Kata Kunci:Penelitian Hukum, pendekatan undang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. PENDAHULUAN

Negara hukum dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, Bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga kewenangan negara dalam menetapkan hukum pada hakekatnya merupakan suatu kewenangan yang menjadi prasyarat dalam menetapkan suatu hukum, dan akan selalu dibutuhkan secara mutlak agar suatu hukum ditaati. Namun demikian, kewenangan dalam menetapkan suatu hukum tidak lantas menjadikan suatu hukum memiliki ketergantungan, karena pada hakekatnya hukum akan selalu memiliki sifat kemandirian dalam artian tidak akan dapat dipengaruhi oleh siapapun juga pada saat hukum tersebut telah ditetapkan dan disepakati.

Negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl memakai istilah Rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law, dalam, (Miriam Budiardjo, 2010:113). Selanjutnya oleh Stahl disebut empat unsur Rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu:

1. Hak-hak manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politika);

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Terkait dengan permasalahan ini, maka didalam unsur Rechsstaat, terlihat dalam poin ketiga, yakni pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatighed van bestuur), sedangkan didalam unsur Rule of law, kaitannya terlihat dalam poin pertama, yakni supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the Law). Dari dua poin tersebut yang terbagi antara unsur Rectsstaat dengan Rule of Law, terlihat secara jelas bahwa suatu negara hukum tentunya memiliki kepastian hukum atau memiliki asas legalitas, karena asas ini merupakan

konsekuensi logis daripada negara hukum, sehingga setiap perbuatan atau tindakan aparatur pemerintah haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum.

Kondisi negara hukum yang berubah secara dinamis, menuju kearah yang lebih baik patut didukung. Kepeloporan pemimpin negeri ini ditambah dengan aparatnya, serta masyarakatnya yang bekerja keras, jujur dan tanpa pamrih adalah suatu keharusan, hal tersebut juga berlaku dalam dunia peradilan yang sejalan dengan perkembangan dunia kejahatan. Maka profesionalisme aparat penegak hukum yang mau bekerja keras, jujur, tanpa pamrih merupakan jawaban atas perkembangan kriminalitas. Dewasa ini, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan sangat rendah hal ini terlihat dengan maraknya unjuk rasa di Pengadilan, angka tindakan main hakim sendiri yang meningkat serta banyaknya laporan ke lembaga etik peradilan yang bersangkutan, fenomena ini demikian merupakan implikasi dari ketidakmampuan aparat peradilan bekerja dengan baik yang disebabkan oleh sistem maupun personnya.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak. Berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Dalam sistemketatanegaraan Republik Indonesia, Kejaksaan berperan penting dalam peradilan pidana sesuai dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang. Karena kejaksaan yang sangat sentral merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh Pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah sesorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuatnya. Sedemikian pentingnya posisi jaksa dalam proses penegakan hukum sehingga lembaga-lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang professional dan memiliki integritas tinggi.

Peranan kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara

(2)

Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang Pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan TihoooHooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa kejaksaan memiliki kekuasaan untuk, mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan Pengadilan dalam perkara kriminal. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Setelah Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam negara Republik Indonesia.

Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni Tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni Tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya lembaga negarapelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah,Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.Jaksa memahami bahwa sebagai, kuasa hukum (legal representative)dari kepolisian, dan untuk menjelaskan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan Pengadilan. Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai, konsultan hukum (Domestiklegar adviser), yang memberikan nasehat hukum kepada polisi bagaimana melaksanakan prosedur-prosedur hukum. Dilain sisi, jaksa menganggap dirinya sebagai pihak yang utama dalam mewakili Pengadilan, serta melaksanakan kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan harus dilaksanakan secara merdeka. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesionalisme jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, UU tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu:

Melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat, melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan fungsi kewenangannya tidak berdiri sendiri, cenderung dipengaruhi oleh pihak-pihak yang ada di luar lembaga

Kejaksaan itu sendiri. Hal ini menyebabkan Kejaksaan tidak dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal. Dengan adanya kehadiran KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi), menunjukkan bahwa lembaga Kejaksaan tidak lagi dianggap mampuh meredam lajunya tindak pidana korupsi.

Mengapa fenomena ini terjadi tentunya tidak lepas dari sistem ketatanegaraan, yang dimana Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai pejabat negara dalam UU No 16 Tahun 2004. Sehingga lembaga ini berada pada kekuasaan lembaga eksekutif secara struktural ketatanegaraan.Struktural lembaga kejaksaan, yang dituangkan dalam suatu perangkat peraturan perundang-undangan, harus memiliki dasar-dasar pengaturan hukum yang jelas terhadap pemisahan kekuasaan demi menjaga independensi kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Jika dihubungkan dengan eksistensi kejaksaan dalam kedudukannya sebagai lembaga negara yang berada di bawah kekuasaan Kehakiman berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Bab IX kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 ayat (3) badan-badan lain yang berhubungan dengan kekuasaan Kehakiman di atur dalam Undang-Undang. Sehingga Kejaksaan terbentuk dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam kaitan negara hukum inilah diperlukan berbagai perangkat peraturan untuk mengatur peradilan dalam sitem ketatanegaraan Republik Indonesia yang dimana kejaksaan diberikan kewenangan penuh, untuk bertindak sebagai lembaga penegakan hukum di bidang penuntutan.

Teori pemisahan kekuasaan (the separation of power) dan pembagian kekuasaan (disparasion of power), oleh Montesquieu, dan John Locke, sebagaimana isi ajaran ini dikembangkan, mengenai pemisahan kekuasaan negara (the separation of power) yang lebi terkenal dengan istilah politik tiga serangkai (Trias Politica)

Kejaksaan yang semestinya lepas dari kekuasaan eksekutif, justru berada di bawah kekuasaan eksekutif, hal inilah yang sebenarnya sangat mengganggu proses penegakan hukum. Eksekutif dan yudikatif tidak lagi berada dalam kekuasaan yang terpisah, sehinggah terjadi saling intervensi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya, yang menyebabkan ketidakjelasan pengkategorian sebuah lembaga apakah masuk dalam wilayah eksekutif, atau masuk dalam wilayah yudikatif.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka akhirnya timbulah keinginan penulis untuk mengetahui tentang hal-hal tersebut, dalam sebuah tulisan atau tesis dengan judul:“ Kedudukan Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia”.

Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian di atas, maka dapat di rumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?”

Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui kedudukan Kejaksaandalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

(3)

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dijelaskan sebagai berikut: Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum tata negara dan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

Manfaat Praktis

Manfaat penelitian secara praktis diharapkan dapat memiliki kemanfaatan sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan bagi masyarakat umum dan aparat penegak hukum, sebagai sumber informasi dan bahan masukan untuk melakukan tugas dan kewenangan Kejaksaan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan seputar kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang bersifat independensi dalam menjalankan tugas dan funsinya secara merdeka. c. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan

untuk menyelesaikan suatu kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan kedudukan kejaksaan dan kewenangan secara profesionalisme.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Negara Hukum

Secara konstitusional, penegasan mengenai eksistensi negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dalam sistem ketatanegaraan telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Secara konsepsional terdapt lima konsep negara hukum yaitu; Rechtsstaat, Rule Of Law, Socialist Legality, nomokrasi Islam, dan negara hukum(Indonesia), kelima istilah negara hukum tersebut masing-masing memilki ciri karakteristik tersendiri, (La-Ode Husen, 2009:1).

Kembali kepada konsep negara hukum, dalam hal ini terdapat dua unsur utama yang membentuknya, yaitu negara dan hukum. Dengan demikan, untuk melakukan kajian terhadap negara hukum sebagai suatu frase kata, maka langkah tepat yang harus diambil adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur pembentuk frase kata negara hukum tersebut. Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid dalam (N.H.T. Siahaan, 2009:92), bahwa: “Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada penegasan (Kelsen,2007:226), yang menganggap negara sebagai komunitas hukum, bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya).

Dengan demikian, dari penegasan Kelsen ini, eksistensi suatu negara tidak akan terlepas dari eksistensi hukum atau tata hukumnya. Lebih lanjut lagi, melalui penegasan ini akan dapat dipahami bahwa Kelsen, menganggap negara sebagai organisasi hukum yang bersifat teratur dan terstruktur, yang akan selalu dilekati dengan suatu tata hukum, serta akan selalu mengedepankan hukum sebagai tata bentuk maupun tata pemerintahannya.

Eksistensi negara juga didefinisikan oleh (Nasroen, 1986:97), yang memberi penegasan terhadap eksistensi negara, dengan menegaskan bahwa negara merupakan suatu bentuk pergaulan hidup, yang mempunyai anggota tertentu, yang disebut sebagai rakyat dari negara itu dan yang mempunyai daerah, pemerintahan dan tujuan tertentu pula.

Ditinjau dari perspektif esensi suatu negara, aspek ketaatan merupakan suatu unsur utama dari eksistensi suatu negara. Sebagaimana yang dikutip dalam (C.F. Strong, 1966:6),yang menegaskan bahwa “ The Essence of a state, then as distint from all others forms of association, is the obedience of its members to the law”.Dari pendapat tersebut, sekali lagi C.F. Strong menegaskan bahwa esensi dari suatu negara, yang menjadikan faktor pembeda dari negara lainnya adalah bentuk-bentuk asosiasi lainnya, tergantung atau terletak pada ketaatan hukum anggotanya atau masyarakat dari suatu negara tersebut. Selanjutnya dari penegasan Nasroen, dapat dipahami bahwa negara sebagai suatu entitas yang teratur dan terstruktur.

Keterbukaan definisi hukum terhadap berbagai faktor dan sudut pandang ini selaras dengan penegasan (Achmad Ali, 1996:21-22), yang menegaskan bahwa hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain perkataan, persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Penegasan Achmad Ali, tersebut akan memberikan suatu pemahaman bahwa definisi hukum bersifat sangat terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh, dan seringkali berbeda tergantung dari sudut pandangnya.

Menurut (Achmad Ali, 2008:103-149), fungsi hukum sebagai simbol merupakan fungsi hukum yang pasif, artinya hukum yang menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat. Selain itu fungsi hukum sebagai law is a tool of social engineering yang diperkenalkan oleh Roscoe Pound. Dengan konsep ini hukum menjadi faktor pengerak kearah perubahan masyarakat dan dianggap sebagai konsep yang netral. Pound menunjukkan studi ini sebagai “sosiologi yang sebenarnya”, yang didasarkan pada suatu konsep yang memandang hukum sebagai alat pengendalian.

Paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehinggah perkembangannya bersivat revolusioner, yang bertumpuh pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “moderen Romawi law” ciri negara hukum pada masah itu dilukiskan sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan keamanan (de openbare orde en veiligheid), (La Ode Husen, 2009:11-12).

Selanjutnya Ridwan, yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge dalam (W. Ridwan Tjandra, 2008:12-13), menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam negara hukum, yaitu:

1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-Undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus

(4)

dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal;

2. Perlindungan hak asasi;

3. Pemerintah terikat pada hukum;

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa ditengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah. 5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas

hukum yang dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Negara hukum yang digunakan di Indonesia dan pernah populer adalah istilah (rechtsstaat), sementara itu untuk memberikan ciri ke Indonesiaannya, juga dikenal istilah negara hukum dengan menambah atribut “Pancasila” sehinggah menjadi negara hukum Pancasila. Dalam hubungan ini M. Scheltema dalam (La Ode Husen, 2009:22), mengungkapkan, ciri khas negara hukum bahwa negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara yang berbeda-beda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, dan terwujud sebagai reaksi masa lampau, karena itu unsur negara hukum berakar pada sejarah yang tidak sama, oleh karenanya pengertian negara hukum di berbagai negara akan berbeda.

2. Prinsip Pokok Negara Hukum

Dua belas prinsip pokok negara hukum yang berlaku dizaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep negara hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan negara hukum modern.Sebagaimana yang di sebutkan di atas 13 prinsip negara hukum, yaitu:

(ttph://www.jimly.com/pemikiran/view/1. Di akses tanggal 15 november 2013).

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.

2. Persamaan Dalam Hukum (Equality before the Law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan

yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.

4. Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukumkekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke- dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. 5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen

Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa negara juga kejaksaan dibuat independen, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politikmereka yang menduduki jabatan politik dipemerintahan.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.

7. Peradilan Tata Usaha Negara

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama negarahukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan

(5)

dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)

Disamping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920,jugaberkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum moderen.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu.

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat) Dalam setiap negara hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

11. Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat)

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. 13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa

Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia disamping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warga negara Indonesia.

3. Teori Pemisahan Kekuasaan Negara (Trias Politica) Pemisahan kekuasaan negara adalah menjadi kebiasaan di negara yang menganut sistem hukum Eropa Continentaluntuk membagi tugas kekuasaan pemerintahan kedalam bidang kekuasaan, yaitu. Kekuasaan Legislatif.Kekuasaan Eksekutif,dan Kekuasaan Yudikatif. Dari pemisahan ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara, walaupun batas pembagian itu tidak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling mempengaruhi seperti dalam perkembangan sistem ketatanegaraan indonesia yang dikenal dengan prinsip chek and balances.

Para ahliyang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara adalah John Locke dan Montesquieu. Sebagaimana John Locke, dalam (C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2008:7-8)seorang ahli ketatanegaraan Inggris, ia adalah orang yang pertama yang dianggap membicarakan teori ini. Dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1960), yang memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang;

2. Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;

3. Kekuasaan Federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segalah tindakan dengan semuah orang dan badan-badan di luar negeri;

Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus di pisahkan satu dari yang lainnya, setengah abad kemudian dengan di ilhami oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755), seorang pengarang ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku yang berjudul L’Espirit des lois (Jiwa Undang-Undang) yang diterbitkan di Jenawa pada tahun 1748. Dalam hasil karya Montesquieu menulis tentang konstitusi Inggris yang antara lain mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga (3) jenis kekuasaan yang harus terpisah baik

(6)

mengenai fungsi maupun mengenai alat kelengkapan organ yang melaksanakan. Tiga kekuasaan itu adalah;

1. Kekuasaan Legislatif, (Legislative Power) kekuasaan untuk membuat undang-undang, yang dilaksanakan oleh suatubadan perwakilan rakyat (parlemen) harus terletak dalam suatu badan yang memiliki wewenang khusus untuk itu, jika penyusunan undang-undang tidak di letakkan pada suatu badan tertentu, maka memungkinkan tiap golongan atau tiap orang yang mengadakan undang-undang untuk kepentingan kekuasaan tersendiri. Sebagaimana dalam negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, yang dimana badan perwakilan rakyat harus di anggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang, badan inilah yang disebut legislatif. Legislatif penting dalam susunan struktur ketatanegaraan, karena undang-undang ibarat tiang yang menegakan hidup bagi masyarakat dan negara. Sebagai badan pembentuk undang-undang, maka legislatif hanya berhak untuk membentuk undang-undang, tidak boleh melaksanakannya untuk menjalankan undang-undang harus diserahkan kepada badan lain. Yaitu badan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (eksekutif).

2. Kekuasaan Eksekutif,(Exsekutive Powers). Kekuasaan untuk menjalankan undang-undang di pegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segalah undang-undang, oleh karena itu kekuasaan kepala negara di limpahkannya (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat pemerintahan yang bersama-sama dalam suatu badan pelaksanaan undang-undang (badan eksekutif), badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif. 3. Kekuasaan Yudikatifataukekuasaan kehakiman

(Judicative Power), iyalah kekuasaan yang berkewajiban untuk mempertahankan undang-undang yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan Pengadilan bawahannya) dan berhak memberikan peradiilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan.

Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara (the separation of power)yang lebi terkenal dengan istilah Trias Politica istilah ini diberikan oleh Immanuel Kant, dalam (C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2008:9-10). Menurut Montesquieu keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis sebagaimana yang telah disebutkan di atas supaya tidak terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh kepalah negara yang dapat dihindarkan. Istilah Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “Politik Tiga Serangkai”. Menurut ajaran Trias Politica dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan kekuasaan, melainkan masing-masing kekuasaan itu harus terpisah.

Ajaran Trias Politica ini ternyata bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman Feodalisme dalam abad pertengahan, pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara ialah seorang Raja. Yang membuat sendiri undang-undang, menjalankannya dan menghukum segalah pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh Raja tersebut. Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam

semboyan Raja Louis XIV “L ‘Etat Cest moi” (negara adalah saya), kekuasaannya berlangsung hingga permulaan abad XVII. Setelah pecah Revolusi Prancis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan Raja menjadi lenyap. Ketika itu pulah timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu, dengan ajaran teori Trias Politica.

4. Teori Kewenangan

Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of theory,istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezag, sedangakan dalam bahsa jerrman yaitu theorie der autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan, sebagaimana pengertian teori kewenangan secara konsep teoritis tentang kewenangan oleh H.D Stoud yang dikutip Ridwan HB, dalam (Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani,2013:183). Pengertian kewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.

Sebagaimana ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan yang ditegaskan oleh H.D.Stoud dalam (Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013:184) yaitu:

1. Adanya aturan-aturan hukum;dan 2. Sifat hubungan hukum.

Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebi dahulu harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, apakah dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah maupun aturan yang lebih rendah tingkatannya. Sifat hubungan hukum adalah sifat yang berkaitan dan mempunyai hubungan atau ikatan, pertalian atau berkaitan dengan hukum. Hubungan hukumnya ada yg bersifat publik dan ada yg bersifat prifat.

Sebagaimana telah disebutakan diatas tentang pengertian kewenangan menurut Ateng Syarifudin dalam (Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013:184) yaitu:

“Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang, yang dimana harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yg disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Wewenang pemerintahan menurut sifatnya selalu terikat kepada suatu masa waktu tertentu, tidak berlaku untuk selama-lamanya. Selain itu baik pemberian wewenang, maupun sifat serta luasnya wewenang pemerintahan serta pelaksanaannya dari suatu wewenang selalu tunduk pada batas-batas yang diadakan oleh hukum. Mengenai pemberian wewenang maupun pencabutannya, terdapat batasan-batasan hukum yang tertulis maupun

(7)

tidak tertulis. Demikian juga mengenai pelaksanaan suatu wewenang pemerintahan, ia selalu tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis, dalam hal ini asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sebagaimana pula yang diatur didalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 1 ayat (2), telah ditegaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh (Indroharto, 1993:81), bahwa, yang dimaksudkan dengan ketentuan tersebut adalah:

1. Dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah, bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang mereka laksanakan; 2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.

Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah.Berdasarkan asas legalitas, yang pada hakekatnya merupakan pilar utama dalam negara hukum, tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan, tentu saja melahirkan adanya suatu keputusan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, permasalahan akan timbul dalam suatu keputusan yang dilahirkan, adalah mengenai tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat.

Kewenangan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan dapat juga disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang secara sederhana didefinisikan sebagai, sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara termasuk dalam ihwal kewenangan. Didalam hukum administrasi, syarat keputusan agar sah, apabila keputusan tersebut memenuhi syarat materiil dan formil. (Jazim Hamidi dan Malik, 2008:11), adapun syarat Materiil meliputi:

1. Aparat pembuat keputusan harus memiliki kewenangan. Sumber kewenangan bisa karena atribusi, delegasi dan mandat. Ketidakwenangan dalam membuat keputusan dikarenakan: ratione materi; ratione loci dan ratione temporis;

2. Dalam kehendak tidak boleh mengalami kondisi kekurangan yuridis yang disebabkan karena dwang; dwaling; dan bedrog;

3. Isi dan tujuan dari pembuatan keputusan harus sama dengan isi dan tujuan dari peraturan dasarnya.

Sedangkan syarat formil terkait dengan formalitas atau prosedur yang harus ditempuh untuk pembuatan keputusan tersebut yang meliputi:

1. keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya;

2. Prosedur dan syarat sebelum keputusan dibua;

3. Apa yang harus dilaksanakan ketika keputusan di buat. Kalau kedua syarat terus dipenuhi, maka keputusan tersebut akan menjadi keputusan yang sah, walau ada gugatan tidak akan menimbulkan masalah.

Menurut (Indroharto, 1993:91), Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:

1. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita ditingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitutie (Konstituante) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu Undang-Undang, dan ditingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Perda; dan.

2. Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.

5. Jenis-jenis kewenangan

Kewenangandapat dibedakan menurutsumbernya, kepentingannya,teritoria, ruang lingkupnya, dan menurut urusan pemerintahannya. Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Wewenang personal;dan 2. Wewenang Ofisial;

Wewenang personal, yaitu wewenang yang bersumber pada inteligensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada diatasnya.

Dalam Black’s Law Dictonary, (Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013:188-189), kewenangan itu dapat dibedakan menjadi tujuh belas macam. Ketujuh belas macam kewenangan itu, meliputi:

1. Kewenangan delegasi (the power delegated); 2. Kekuasaan hukum (legal power);

3. Kewenangan nyata (apparent authority);

4. Kewenangan untuk menyangkal (authority by estoppels);

5. Kewenangan yang digabungkan dengan kepentingan (authority coupled with an interest);

6. Kewenangan yang diberikan secara jelas, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan (express authority);

7. Kewenangan umum (general authority); 8. Kewenangan yang tersirat (implied authority);

9. Kewenangan yang benar-benar ada/terjadi (actual authority);

10. Kewenangan yang bersifat kebetulan (incidental authority);

11. Kewenangan dalam mengambil keputusan / kesimpulan (inferred authority);

12. Kewenangan yang tidak dapat dipisahkan (inherent authority);

13. Kewenangan yang terbatas (limited authority); 14. Kewenangan yang terbuka (naked authority);

(8)

16. Kewenangan khusus (special authority);dan

17. Kewenangan yang tidak terbatas (unlimited authority). 6. Kejaksanaan

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No.86 Tahun 1999 tentang susunan organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) , yang menyebutkan bahwa :

“Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara terutama dibidang penunututan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden”.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa : “Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam

Undang-Undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan”.

Rumusan tersebut menegaskan kedudukan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan yang berperan sangat penting dalam upaya penegakan hukum, khususnya dibidang hukum pidana. Jaksa sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak selaku penuntut umum dan pelaksana putusan pengadialan memainkan peran yang sangat penting, mengingat peran yang sangat penting itu pula , seorang Jaksa dituntut untuk dapat bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Menurut pandangan pemikiran cendekiawan Kejaksaan yaitu Dr. saherodji, menjelaskan bahwa :

Kata jaksa berasal dari bahasa sankskerta, yaitu pengawas (superintendant) atau pengontrol, yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan, (Ilham Gunawan;1994:42).

Sesuai dengan lampiran surat keputusan Jaksa Agung RI No. kep. 074/J.A/1987, tanggal 17 juli tahun 1978, menyatakan bahwa pengertian jaksa adalah :

“jaksa asal kata dari seloka satya adhy wicaksanayang merupakan trapsila adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga adhyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut : satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia. adhy, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa terhadap keluarga serta terhadap sesama manusia. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya”. (Joko Prakoso dan I Ketut Murtika;1987:17)

Rumusan pengertian jaksa di dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 diatur pada Pasal 1 butir (1) dan (2) , jadi rumusan tersebut dua kewenangan jaksa adalah :

“Sebagai penuntut umum, dan sebagai eksekutor.Sedangkan penuntut umum berwenang untuk: melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Dengan perkataan lain, jasksa yang menangani perkara dalam tahap penuntutan disebut “penuntut umum”. Penuntut umumlah yang dapat melaksanakan penatapan hakim. Dengan demikian jaksa lain tidak dapat melaksanakan penetapan hakim tetapi tetap penuntut umum dapat melakukan eksekusi karna dia adalah jaksa. Perbedaan jaksa dan penuntut umum pada hakikatnya adalah jaksa bertugas pada kegiatan penanganan perkara pada tahap penuntutan, maka jaksa disebut penuntut umum. Jika bertugas diluar penuntutan, maka ia tetap disebut jaksa.(Yesmil dan Adang;2011:198).

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 bagian ketentuan umum memberikan pengertian:

(1) Jaksa adalah pejabat umum yang di beri wewenang oleh Undang- Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(2) Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;

(3) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan; (4) Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat

keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejkasaan.

7. Sistem Ketatanegaraan

Terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebi kecil. Pendekatan sistem tidak memusatkan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar melainkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip organisasi dasar. Sementara menurut Rusadi Kantaprawira, dalam (Abdy Yuhana, 20013:68). Mengartikan sistem sebagai suatu kesatuan dimana didalamnya terdapat unsur-unsur, elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain berada dalam keadaan kait mengkait dan fungsional. Masing-masing unsur mempunyai sifat keterikatan,sehingga bentuk totalitas unit tersebut terjaga utuh konsistennya.

Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia. Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 baik sebelum amanendemen maupun sesudah perubahan.Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 2. Presiden;

(9)

4. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

5. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); dan 6. Mahkamah Agung (MA).

Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga negara, sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA, disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sementara menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, adalah sebagai berikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 2. Presiden;

3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 5. Mahkamah Agung (MA);

6. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); 7. Mahkamah Konstitusi (MK);dan 8. Komisi Yudisial (KY).

Berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan maka UUD NRI Tahun 1945 tidak mengenal lembaga tertinggi negara, karena lembaga-lembaga negara tersebut mempunyai posisi yang sebanding antara satu lembaga negara dengan yang lainnya. Dalam konteks struktur ketatanegaraan, maka lembaga negara adalah lembaga atau institusi yang melaksanakan cabang-cabang kekuasaan yang ada dalam negara. Cabang-cabang kekuasaan negara yang dimaksud adalah eksekutif, legislativ, dan yudikatif.

Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga negara yang satu tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain. Hal itu menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan dalam arti materil (separation of power), melainkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal, (Abdy Yuhana, 2013:68-70).

8. Teori Kebebasan

Lebih jauh Kamus John Kersey mengartikan kebebasan sebagai “kemerdekaan, meninggalkan atau bebas meninggalkan.” Artinya, semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan suatu hal. Pengertian yang lebih banyak memiliki unsur-unsur hukum bisa dilihat dari definisi kebebasan dari Kamus Hukum Black. Menurut Black, kebebasan diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur didalam undang-undang. Sehinggah manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada didalam hukum. Berkaitan dengan pendapat sebelumnya bahwa larangan atau intervensi hanya boleh dilakukan dengan memperhatikan asas proporsionalitas dan non diskriminasi.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kebebasan didalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk meninggalkan atau mengerjakan sesuatu hal. Kebebasan tersebut harus sesuai dengan apa yang telah diatur didalam instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan hak.

Istilah Berlin, membedakaan kebebasan dalam dua bentuk, yaitu kebebasan dalam bentuk yang positif dan kebebasan dalam bentuk yang negatif. Kebebasan dalam bentuk yang positif artinya, apa atau siapa yang bertindak sebagai sumber hukum, yang bisa menentukan seseorang

untuk menjadi atau melakukan sesuatu. Sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang negatif bersinggungan dengan ruang lingkup dimana seseorang harus dihormati untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain. Kebebasan dalam arti yang negatif ini sesuai dengan pengertian kebebasan dari Kamus Kersey sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang positif lebih condong ke pengertian yang diajukan oleh Kamus Hukum Black.

Kebebasan positif didalam Kovenan Hak Sipil dan Politik diatur didalam pasal 2 ayat (3) bahwa stiap negara anggota;

(a). Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, harus memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;

(b). Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan; dan.

(c). Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut harus melaksanakan penyelesaian hukum apabila dikabulkan.

Sebagaimana Pasal tersebut diatas menjamin kebebasan yang positif karena mewajibkan negara anggota untuk menyediakan perbaikan bagi seseorang yang hak-haknya telah dilanggar. Pasal tersebut menjadi sumber yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan Pasal tersebut memberikan seperangkat peraturan yang harus dilakukan oleh negara yang telah melanggar hak dan kebebasan warga negaranya. Artinya, semua kebebasan yang diatur didalam Kovenan tersebut mempunyai batasan dan akibat dari pelanggaran terhadap kebebasan tersebut. Pasal ini juga menyediakan ruang bagi individu-individu yang dilanggar hak dan kebebasannya untuk menuntut upaya pemulihan hukum dari pemerintah.

Selanjutnya, Pasal 7 juga mempunyai elemen kebebasan dalam bentuk yang positif karena pasal ini mewajibkan negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah positif untuk menjamin bahwa individu atau kekuasaan lain tidak menjalankan praktik-praktik penyiksaan atau pelanggaran didalam wilayah kekuasannya. Pasal tersebut mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lainnya yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan dari individu tersebut.

METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum (legal research) yang akan dilakukan merupakan penelitian doctrinal / normatif, dimana hal ini disebabkan karena karakter ilmu hukum itu sendiri. Bagi penelitian hukum normatifterdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Menurut (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008:1), ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif.

(10)

2. Jenis Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal lima jenis pendekatan, (Peter Mahmud Marzuki, 2011:93), yakni:

1. Pendekatan undang-undang (statute approach); 2. Pendekatan kasus (case approach);

3. Pendekatan historis (historical approach); 4. Pendekatan komparatif (comparative approach); 5. Pendekatan konseptual (conceptual approach);

Pendekatan penelitian yang akan dipergunakan adalah pendekatan penelitian yang dikenal dalam metode penelitian normatif, yaitu pendekatan undang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian, yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Dan selain itu ada bahan hukum tersier yang sifatnya memberikan petunjuk.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

c) Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

d) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku, doktrin, koran, jurnal, majalah, artikel hukum. 3. Bahan Hukum Tersier atau Penunjang

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang sifatnya memberikan petunjuk dan pedoman. Misalnya kamus Black Law Dictionery, dll.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan, akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan undang-undang (statute approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan masalah hukum yang diteliti;

2. Pendekatan historis (historical approach), yang harus dilakukan adalah mengumpulkan peraturan perundang-undagan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku hukum atau bahan hukum dari waktu ke waktu yang sudah barang tentu bahan-bahan yang harus dikumpul tersebut mempunyai relevansi dengan masalah hukum yang ingin dipecahkan;

3. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yang harus dilakukan adalah menelaah unsur-unsur setiap Pasal yang berkaitan dengan masalah hukum yang akan dipecahkan.

5. Defenisi Oprasional

1. Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yangmelaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

2. Jaksa adalah Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

3. Sistem ketatanegaraan adalah susunan ketatanegaraan yang segala sesuatunya berkenaan dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun berkaitan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing maupun hubungan satu sama lain.

6. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang diperoleh telah di kumpulkan dalam penelitian ini sebagai beriku:

1. Pengumpulan bahan hukum. Bahan hukum yang dimaksud adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

2. Penelusuran peraturan perundang-undangan. Yaitu melakukan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang ingin dipecahkan.

3. Melakukan pendekatan-pendekatan hukum. Pendekatan hukum yang dimaksud adalah pendekatan hukum undang-undang, pendekatan historis,dan pendekatan konseptual.

4. Mengidentifikasi norma. Norma terdiri dari rangkaian konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami konsep sehingga bisa dilakukan pendekatan konseptual.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari perkembangan Negara hukum diawal pembentukansemua lembaga Kejaksaanbaik dibelahan dunia bagian timur maupun barat, kesemuanya tidak independen. Artinya seorang Jaksa yang menangani tugas penuntutan saat itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan yang ada di sekelilingnya, terutama kekuasaan-kekuasaan Raja / Penguasa yang menyerahinya tugas tersebut. Dengan kata lain dapatlah disepakati bahwa pada awalnya institusi Kejaksaan memang lahir dari rahim kekuasaan Raja (eksekutif).Kini dimasa negara-negara telah berkembang menjadi negara hukum modern, pertanyaan dimanakah letak institusi Kejaksaan itu, semestinya berada tetap tidak bisa dijawab secara meyakinkan. Praktek ketatanegaraan, negara-negara demokrasi di dunia juga tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan tuntas bahkan malah menambah samar jawaban. ketika menilik posisi institusi Kejaksaan di berbagai belahan dunia, kita semakin bingung dibuatnya lantaran tidak ada kesatuan praktek yang seragam. Ternyata Institusi Kejaksaan diberbagai belahan dunia ada yang menempatkan Kejaksaan di bawah Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.

Kejaksaan yang berposisi dibawah eksekutif misalnya bisa ditemuai pada negara Perancis, Belanda, Chech Republik, Jepang , dan termasuk Indonesia. Kejaksaan tipe ini dikenal pula dengan sebutan France Prosecution Service model. Dinamai demikian karena memang Perancis-lah yang mempelopori posisi Kejaksaan yang ditempatkan di bawah eksekutif. Dari Perancis diturunkan Ke Belanda, Begitupun dari Belanda diturunkan ke Indonesia lewat sejarah kelam kolonialisme. Meskipun terdengar aneh, institusi Kejaksaan juga ada yang ditempatkan di bawah Legislatif / Parlemen. Model ini bisa

(11)

ditemui di negara Hunggaria dan Macedonia. Di Hunggaria misalnya, Kejaksaan bertanggungjawab secara akuntabilitas kepada Parlemen dan diwajibkan melaporkan segala aktivitas institusi Kejaksaan kepada Parlemen secara rutin.

Laporan tersebut diperdebatkan didalam parlemen dan Jaksa Agung harus menjawab semua pertanyaan yang muncul. Terakhir Institusi Kejaksaan yang termasuk bagian kekuasaan kehakiman atau Yudikatif. Kejaksaan yang ditempatkan menjadi bagian kekuasaan kehakiman bisa ditemui di kejaksaan Italia dan Bulgaria. Di Italia misalnya, konstitusinya dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan yudikatif dijalankan oleh magistrates yang terdiri dari hakim dan jaksa. Begitupun Kejaksaan di Bulgaria. Pasca keruntuhan negara sosialis, Bulgaria mencontoh sistem yang digunakan di italia, yakni Kejaksaan yang sebelumnya ditempatkan di bawah eksekutif dialihkan ke dalam institusi yudikatif,

(http://gugumridho.wordpress.com/2012/09/19/independ ensi-institusi kejaksaan/. Diakses tanggal 15 november 2013).

1. Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan Kejaksaan tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melainkan hanya diatur didalam undang-undang. Pengaturan tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahakmah Agung dan Kejaksaan Agung, Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.2/1945 sejak berdirinya Kejaksaan RI secara Yuridis formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI ialah tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, maka perihal penempatan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang diputuskan dalam rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 cukup memiliki dasar. Sedangkan istilah Kejaksaan secara resmi digunakan oleh undang-undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No. 3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.

Sebenarnya pada tahun 1947 terdapat sebuah undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan yakni Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung diumumkan dan ditetapkan pada tanggal 27 Pebruari 1947. menurut Pasal 27 Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 mengatur bahwa undang-undang ini saat berlakunya akan diumumkan oleh Menteri Kehakiman, dan sampai saat ini belum diumumkan berlakunya oleh Menteri Kehakiman maka dengan demikian undang-undang ini tidak pernah berlaku. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, menyatakan bahwa “Di samping Mahkamah Agung ada Kejaksaan Agung dan bahwa susunan Kejaksaan Agung itu terdiri dari satu Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Tinggi yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal tersebut diatas mengatur bahwa posisi Kejaksaan Agung adalah sejajar dengan posisi Mahkamah Agung, karena Kejaksaan Agung berada disamping dan bukan diatas atau dibawah Mahkamah Agung. Selanjutnya

ditentukan pula bahwa jabatan Jaksa Agung dan Jaksa tinggi lainnya hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh presiden, sehingga presiden sebagai kepala lembaga eksekutif mempunyai kontrol dan pengaruh yang mutlak terhadap lembaga Kejaksaan tersebut.

Selanjutnya, Pada tanggal 22 Juli 1960 sekitar dua tahun setelah Dekrit Presiden kabinet dalam rapatnya memutuskan bahwa Kejaksaan menjadi departemen dan keputusan tersebut dituangkan dalam surat Keputusan Presiden RI tertanggal 1 Agustus 1960 No.204/1960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Hal ini mengakibatkan terjadi pergeseran organisasi kelembagaan Kejaksaan dalam ketatanegaraan Indonesia, yakni semua sebagai lembaga non Departemen dibawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri. Peristiwa itu mengakibatkan yang semula Jaksa Agung adalah pegawai tinggi Departemen Kehakiman menjadi Menteri ex Officio. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1960 Kejaksaan dirubah menjadi Departemen.

Dengan berubahnya Kejaksaan menjadi departemen, Kejaksaan memandang perlu dibentuknya suatu undang-undang yang mengatur secara khusus lembaga Kejaksaan. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Dasar pembentukan undang-undang ini untuk memberikan ketentuan yang jelas tentang struktur organisasi Kejaksaan serta kekuasaannya, terutama sebagai perlengkapan negara dalam bidang pertahanan dan keamanan. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, mengatur bahwa “Penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri.” Sedangkan dalam penjelasan Pasal tersebut, dijelaskan bahwa:

“Jabatan Menteri yang memegang pimpinan Departemen Kejaksaan dipangku oleh Jaksa Agung sendiri, karena jabatan Menteri tersebut menghendaki pula pengertian dan pengetahuan sedalam-dalamnya tentang tugas-tugas Kejaksaan”.

Menteri tersebut dalam Keputusan Presiden yang mengangkatnya, disebut Menteri/Jaksa Agung.Ketentuan Pasal tersebut beserta penjelasannya, secara tegas telah menentukan posisi Jaksa Agung berada didalam atau menjadi bagian dari lembaga eksekutif dengan membentuk lembaga Kejaksaan sebagai salah satu departemen dari pemerintah. Selain itu pemberian jabatan Jaksa Agung sebagai jabatan menteri pemimpin departemen dilakukan dengan keputusan presiden, sehingga secara otomatis kontrol dan pengaruh presiden sebagai kepala lembaga eksekutif terhadap Kejaksaan adalah mutlak sesuai dengan struktur organisasi pemerintahan.

Dikarenakan Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dianggap tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum, maka diundangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia maka Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Berbeda dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang mengatakan bahwa:

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan pendanaan dalam menentukan struktur modal bertujuan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan, karena nilai perusahaan merupakan cerminan dari kinerja

Oleh sebab itu, diwajibkan bagi orang yang beriman untuk membersihkan diri dari perilaku syirik dan tradisi khurafat (Ridha, VII, 1947, p. Alhasil dari beberapa

lebih jauh, yang diperlukan adalah memahami struktur sosial masyarakat sehingga diperlukan pendekatan interdisipliner agar lebih kaya dalam pemahaman agama serta

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan terorisme oleh TNI,kemudian mengkaji bagaimana politik hukum

Pada objek 3D, nilai kurvatur yang dihitung pada suatu titik harus dilakukan dari segala arah kurva (Gambar 1b). Jumlah kurvatur di titik tersebut tak terhingga,

Seluruh dosen jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang berjasa. dalam mendidik dan memberikan ilmunya bagi penulis dari awal

Dengan adanya penelitian tindakan kelas ini, dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan meminimalkan jumlah siswa yang kurang memahami materi bangun ruang, sehingga

Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf