• Tidak ada hasil yang ditemukan

El Zahra Aulia Faradita, Suharnoko. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "El Zahra Aulia Faradita, Suharnoko. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Hal Eksekusi Jaminan

ditinjau dari Undang-undang No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen

(Analisis Putusan No.105/Pdt.G/2012/PN.Ska)

El Zahra Aulia Faradita, Suharnoko

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

Email: el.zahra@live.com

Abstrak

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh semakin sering terjadinya Eksekusi Benda Jaminan Fidusia terhadap Konsumen Perusahaan Pembiayaan khususnya Dana Tunai. Eksekusi Jaminan terhadap Benda Jaminan Fidusia yang berupa kendaraan bermotor ini dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan yaitu PT. Sinarmas Multifinance, akibat konsumen tidak membayar angsuran yang diwajibkan. Skripsi ini membahas mengenai pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi serta pelanggaran terhadap konsumen ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada putusan No.105/Pdt.G/2012/PN.Ska Pengadilan memutus PT. Sinarmas Multfinance telah melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen serta eksekusi yang dilakukan dianggap tidak berdasar. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa PT. Sinarmas Multifinance bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi akibat eksekusi jaminan yang dilakukan terhadap konsumen yaitu Etik Sri Sulanjari, karena tidak sesuai dengan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia yang berlaku.

Legal Protection of Consumers in terms of Execution Guarantees in the review of Law No.8 of 1999 on Consumer Protection (Decision Analysis No.105/Pdt.G/2012/PN.Ska)

Abstract

The writing of this thesis based on the more frequent occurrence Execution of Fiducia Guarantee object to Consumer Finance Companies particularly Cash Funds. Execution Guarantee of Fiducia object in the form of vehicles is done Financing Company is PT. Sinarmas Multifinance due to the consumer does not pay the installments are required. This thesis discusses about the violation which occur in the execution and violation of the consumer in terms of Law No.8 of 1999 on Consumer Protection. At the verdict 105/Pdt.G/2012/PN.Ska, Court decided PT. Sinarmas Multifinance has breach Consumer Protection Law ,and execution carried by them consider unfounded. The method used in this research is normative juridical. The result of this research stated that PT. Sinarmas Multifinance responsible to provide compensation as a result of the execution of the

(2)

guarantees made to the consumer, namely Etik Sri Sulanjari, because it is not in accordance with Law No. 42 Year 1999 regarding applicable Fiduciary.

Key words:

Consumer Protection, Fiducia Guarantee, Cash Funds, Execution Guarantees, Financing Company.

Pendahuluan

Semakin hari kebutuhan masyarakat terus meningkat, akan tetapi terkadang hal ini tidak sejalan dengan dana yang dimiliki. Pemenuhan dana yang dibutuhkan masyarakat ini salah satunya dapat dipenuhi dengan cara pembiayaan konsumen yang disediakan oleh lembaga pembiayaan. Hal inilah yang mempermudah konsumen untuk memiliki dana dengan waktu yang singkat dan proses yang relatif lebih mudah.

Sebagai salah satu penyedia dana bagi masyarakat, lembaga pembiayaan berada dalam pengawasan Departemen Keuangan dan mempunyai dasar Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Pembiayaan Konsumen merupakan badan usaha Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.

Lembaga pembiayaan konsumen merupakan lembaga hukum perjanjian yang perkembangannya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagai asas pokok dari hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 Juncto Pasal 1320 KUH Perdata.

Pada kegiatan usahanya, seringkali dalam praktek konsumen menempati posisi yang lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Sebagai pihak yang berada pada posisi yang lemah, konsumen hanya mempunyai pilihan terbatas. Jika konsumen membutuhkan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka konsumen harus menyetujui semua syarat-syarat serta perjanjian yang diajukan oleh lembaga pembiayaan sebagai pelaku usaha. Hal seperti ini sering terjadi tanpa memperdulikan apakah konsumen lembaga pembiayaan mengetahui dan memahami perihal isi perjanjian tersebut atau tidak. Sebaliknya, apabila konsumen lembaga pembiayaan tidak setuju perihal isi-isi perjanjian yang diajukan pada konsumen, maka konsumen lembaga pembiayaan tidak mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha tersebut.

Dibuatnya syarat-syarat dan isi perjanjian yang cenderung menguatkan salah satu pihak ini terjadi dikarenakan adanya risiko yang tidak mau diambil oleh lembaga pembiayaan . Risiko ini berupa terjadinya kemacetan dalam angsuran yang telah ditetapkan kedua belah pihak. Maka itu, dalam perjanjian pembiayaan dibuatlah klausula-klausula yang memberikan

(3)

hak kepada pelaku usaha untuk menuntut dan penarikan barang jaminan menurut perjanjian yang dilakukannya.

Dalam praktek usaha pembiayaan konsumen, biasanya permasalahan akan timbul jika konsumen tidak mampu mengangsur lagi pinjaman tersebut. Permasalahan pada pembayaran angsuran yang seharusnya dilakukan konsumen adalah berupa kredit macet. Dalam kondisi konsumen wanprestasi inilah, biasanya lembaga pembiayaan akan menurunkan petugas atau karyawannya untuk melakukan penagihan. Penagihan yang seperti inilah yang biasanya menjadi awal terjadinya kesewenang-wenangan lembaga pembiayaan.

Seringkali yang dijadikan alasan atas penagihan ini adalah jaminan yang telah diikatkan atas hutang konsumen. Hal ini terjadi, karena pada saat memberikan pembiayaan kepada konsumen, suatu lembaga pembiayaan biasanya akan menetapkan jaminan guna mengantisipasi kerugian yang sewaktu-waktu mungkin timbul. Dalam hal ini jaminan ini pengikatnya adalah dengan menggunakan fidusia sebagai jaminan. Fidusia sendiri merupakan

pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda, hal ini sesuai dengan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.1

Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia maka akan dilakukan eksekusi. Eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan, dan;

c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. 2

Dalam melakukan eksekusi fidusia, seringkali banyak lembaga pembiayaan yang melaksanakan penarikan objek secara sepihak. Penarikan ini dilakukan tanpa melibatkan

1 Indonesia, Undang-undang Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LN No. 168 Tahun 1999, Ps. 1 butir (1). 2 Indonesia, Undang-undang Fidusia (1), Ibid., Ps. 29 ayat (1).

(4)

jurusita dari pengadilan. Hal ini seringkali menjadi permasalahan di lapangan antara lembaga pembiayaan dengan konsumen.

Salah satu tindakan eksekusi secara sepihak ini dapat dilahat dalam kasus yang terjadi antara PT. Sinarmas Multifinance dengan Etik Sri Sulanjari. Dalam kasus ini Etik Sri Sulanjari sebagai konsumen terlambat melakukan pembayaran di tengah angsuran yang seharusnya berjalan. Penyedia pembiayaan konsumen melalui tenaga penagihan dengan sepihak melakukan eksekusi terhadap objek jaminan. Objek jaminan yang dikuasai oleh konsumen dalam hal ini berupa kendaraan bermotor Suzuki Skydrive. Dalam hal ini tentu konsumen yang tertekan dengan cara penarikan jaminan oleh tenaga penagihan, dengan pasrah menyerahkan objek jaminan yang bermasalah tersebut.

Eksekusi yang dilakukan oleh tenaga penagihan secara sepihak ini, tentu tidak sesuai dengan asas perlindungan konsumen. Asas-asas itu berupa keamanan, keselamatan konsumen dan kepastian hukum. Asas yang dimaksud sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.3

Selain itu cara tenaga penagihan yang melakukan penarikan secara sepihak ini, tentunya bukan hanya melanggar hukum yang ada. Pelanggaran juga terjadi pada hak-hak konsumen, yang seharusnya dipenuhi dengan baik oleh pelaku usaha. Hak-hak konsumen ini salah satunya terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 yaitu, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa.4 Maka itu diperlukan adanya suatu kejelasan mengenai penarikan yang dilakukan oleh tenaga penagihan yang biasanya dilakukan secara sepihak.

Berdasarkan hal diatas sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang penulisan tersebut. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam hal Eksekusi Jaminan ditinjau dari Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

3 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Ps.2.

(5)

Tinjauan Teoritis

Dalam Penelitian ini, yang dimaksud dengan:

a. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.5

b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.6

c. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.7

d. Tenaga penagihan adalah orang atau sekumpulan orang sebagai pihak ketiga yang dimintai jasanya oleh perbankan dan lembaga keuangan untuk menagih utang atau kredit yang bermasalah dari nasabahnya. Penggunaan jasa penagih utang ini sudah sangat lazim, bahkan bias dikatakan menjadi bagian tak terpisahkan dari industri perbankan dan lembaga keuangan.8

e. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.9

f. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.10

g. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

5 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (2), Op.Cit., Ps. 1 butir (1). 6 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (2), Ibid., Ps. 1 butir (2). 7

Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (2), Ibid., Ps. 1 butir (3).

8 Moch. Arif Budiman, “Tenaga Penagihan, Budaya Berutang dan Bahaya Riba: Zona Ekonomi Islam”, www.zonaekis.com/tenaga-penagihan-budaya-berutang-dan-bahaya -riba, diakses pada April 2014.

9 Indonesia, Undang-undang Fidusia (1), Op.Cit., Psl. 1 butir (10). 10 Indonesia, Undang-undang Fidusia (1), Ibid., Ps. 1 butir (1).

(6)

dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.11

h. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.12

i. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.13

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif

dengan metode analisis data bersifat kualitatif. Yuridis normatif artinya mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dan keputusan pengadilan. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan,literatur, doktrin, atau pendapat para ahli, dan tulisan-tulisan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam hal terjadinya eksekusi jaminan. Selain menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen atau kepustakaan, penulis juga melakukan pengumpulan data melalui wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan narasumber yang bergerak di bidang pembiayaan konsumen, serta narasumber yang bergerak di bidang penyelesaian sengketa konsumen. Nantinya, penelitian ini digunakan untuk menggambarkan permasalahan perlindungan konsumen yang terjadi dalam kasus antara PT. Sinarmas Multifinance sebagai lembaga pembiayaan konsumen dengan Etik Sri Sulanjari sebagai konsumen.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu berusaha berusaha mendeskripsikan, dan memaparkan dengan jelas mengenai permasalahan yang di teliti.14 Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan permasalahan dalam kasus

11 Indonesia, Undang-undang Fidusia (1), Ibid., Psl. 1 butir (2). 12

Otoritas Jasa Keuangan, “Lembaga Pembiayaan”, www. ojk.go.id/lembaga-pembiayaan, diakses pada Mei, 2014.

13 Indonesia, Undang-undang Fidusia (1), Op.Cit., Psl. 1 butir (11).

14 Hang Raharjo, Penyusunan Usul Penelitian Dan Perbedaan, Kuliah Kedua Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok, 14 September 2012.

(7)

eksekusi jaminan yang dilakukan oleh PT. Sinarmas Multifinance terhadap konsumen yaitu Etik Sri Sulanjari, dengan menganalisis hak dan kewajiban masing-masing pihak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Bentuk akhir dari penelitian ini akan mendeskripsikan bagaimana sebenarnya perlindungan konsumen dalam kaitannya dengan penarikan objek jaminan oleh lembaga pembiayaan. Kemudian diterapkan ke dalam kasus eksekusi jaminan kendaraan bermotor yang terjadi antara PT. Sinarmas Multifinance sebagai lembaga pembiayaan konsumen dengan Etik Sri Sulanjari sebagai konsumen.

Hasil Penelitian

Jaminan fidusia dapat digunakan menjadi dasar untuk melakukan eksekusi, karena jaminan ini mempunyai keistimewaan yaitu bagi pemegangnya memiliki hak untuk didahulukan.15 Sehingga pemegang fidusia dapat melakukan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi: “Serifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama denngan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Perlu digaris bawahi bahwa untuk mempunyai kekuatan eksekutorial, jaminan fidusia ini harus mempunyai sertifikat fidusia (artinya harus didaftarkan terlebih dahulu). Hal ini berguna untuk memberikan kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor dari konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan. Apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (1) huruf a jo Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia maka diperlukan sertifikat jaminan fidusia untuk melaksanakan suatu eksekusi jaminan fidusia. Karena dalam sertifikat tersebut terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mana, hal ini akan memberikan suatu kekuatan eksekutorial.

Sebenarnya pendaftaran jaminan fidusia hingga terbitnya sertifikat fidusia bertujuan untuk menjamin dan melindungi perusahaan pembiayaan sebagai pelaku usaha yang menyediakan dana kepada konsumen. Apabila terjadi wanprestasi atas perjanjian pokoknya maka pelaku usaha dapat melakukan sendiri eksekusi terhadap objek jaminan fidusia. Selain itu apabila terdapat kesulitan dalam melakukan eksekusi, pelaku usaha sebagai kreditor dapat

(8)

meminta bantuan pengamanan kepada pihak kepolisian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 11 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa:

“Pengamanan eksekusi adalah tindakan kepolisian dalam rangka memberi pengamanan dan perlindungan terhadap pelaksana eksekusi, pemohon eksekusi, termohon eksekusi (tereksekusi) pada saat eksekusi dilakukan.”16

Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dan tidak memiliki sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum cukup beresiko bagi pelaku usaha atau kreditor. Dalam hal ini kreditor tidak memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Apabila eksekusi terhadap benda jaminan yang fidusia-nya tidak didaftarkan tetap dilakukan, perbuatan ini dapat dikelompokkan sebagai perbuatan sepihak dan sewenang-wenang karena tidak memiliki dasar hukum. Perbuatan kreditor sebagai pelaku usaha yang seperti itu dapat dikategorikan ke dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat dituntut untuk ganti kerugian.

PT. Sinarmas Multifinance sebagai pelaku usaha melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Etik Sri Sulanjari sebagai konsumen wanprestasi dalam melakukan pembayaran hutang. Pendaftaran obyek jaminan fidusia ini dilakukan sebagai syarat untuk dapat mengeksekusi obyek jaminan fidusia yang dalam kasus ini adalah kendaraan bermotor Suzuki Skydrive. Pada saat terjadinya kasus ini salah satu penyebabnya adalah belum diaturnya jangka waktu yang pasti untuk mendaftarkan jaminan fidusia. Namun setelah terjadinya kasus ini jangka waktu pendaftaran fidusia telah diatur secara tegas, tepatnya di dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Pasal 2 Peraturan Menteri ini berbunyi:

“Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen”

Atas perbuatan PT. Sinarmas Multifinance sebagai pelaku usaha yang belum memiliki sertifikat fidusia pada saat dilakukannya eksekusi ini. Tentunya sangat tidak berdasar hukum dan tidak dapat dibenarkan apabila pelaku usaha menggunakan alasan kekuatan eksekutorial

(9)

untuk melakukan penarikan terhadap kendaraan bermotor jaminan fidusia. Karena, pada kenyataannya kekuatan eksekutorial ini timbul setelah terbitnya sertifikat fidusia.

Dari sederet panjang kasus perjanjian pembiayaan antara konsumen dengan pelaku usaha perusahaan pembiayaan belum cukup memenuhi dan melindungi kepentingan konsumen, karena perjanjian fidusia biasanya dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha.17 Ketika terjadinya kerugian pada konsumen yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku usaha, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini menjadi solusi agar konsumen dapat dilindungi, dan dijamin kepastian hukumnya.

Putusan Nomor 105/Pdt.G/2012/PN.Ska. menurut penulis telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) ini menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.”18

Dalam kasus antara PT. Sinarmas Multifinance dengan Etik Sri Sulanjari kerugian yang dialami konsumen ditimbulkan akibat perjanjian pembiayaan konsumen yang menggunakan jaminan fidusia namun perjanjian fidusia tersebut belum didaftarkan pada saat dilakukannya eksekusi kendaraan bermotor. Perbuatan pelaku usaha yang melakukan eksekusi terhadap kendaraan bermotor benda jaminan fidusia ini, mengakibatkan konsumen harus menanggung beban biaya ongkos angkutan umum, karena kendaraan yang sehari-harinya digunakan untuk pulang pergi ke kantor ditarik oleh PT. Sinarmas Multifinance.

Mengenai ganti kerugian yang diberikan kepada konsumen juga telah sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa ganti rugi ditetapkan dapat berupa pengembalian uang atau pengembalian barang dan/ atau jasa sejenis atau setara nilainya.19 Putusan Nomor 105/Pdt.G/2012/PN.Ska. juga telah menetapkan ganti rugi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha yaitu: “Memerintahkan kepada Pelaku Usaha untuk menyerahkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), atas nama Etik Sri Sulanjari, berupa biaya transportasi sejak kendaraan ditarik maksimal 26 hari kerja dengan ganti rugi per

17 Hasil wawancara dengan Drs. Abdul Aziz, MM., Ketua Badan Penyelesaian Konsumen Kabupaten

Bogor, bertempat di BPSK Kabupaten Bogor pada September 2014.

18

Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (2), Op.Cit., Ps. 19 ayat (1). 19 Indonesia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (2), Ibid., Ps. 19 ayat (2).

(10)

harinya Rp. 15.000,- atau sebesar Rp. 390.000,- yang dapat dikurangkan dari kewajiban Konsumen kepada Pelaku Usaha.”

Dari apa yang telah diuraikan di atas mengenai ganti rugi maka sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2006, yaitu Majelis Hakim wajib untuk memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Karena dalam putusan telah diperhitungkan mengenai besarnya ganti rugi yang harus dilakukan oleh PT. Sinarmas Multifinance maka, putusan ini telah sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.

Simpulan

Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan dalam bab-bab yang ada sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Beberapa perusahaan pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia namun jaminan ini tidak didaftarkan. Eksekusi ini biasanya dilakukan oleh tenaga-tenaga penagihan yang dikontrak perusahaan, tenaga ini dapat dinamakan remedial,atau debt collector. Menurut penulis, keleluasaan pelaku usaha melakukan eksekusi ini disebabkan lemahnya daya tawar yang dimiliki konsumen sebagai debitor terhadap kreditor atau pelaku usaha yang menyediakan pembiayaan kepada konsumen. Hal ini semakin diperparah akibat pengetahuan hukum masyarakat khusunya konsumen yang masih minim. Akibatnya kelemahan-kelemahan ini dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku usaha yang berhadapan langsung dengan konsumen dalam melakukan kegiatan usahanya. Dalam kasus Etik Sri Sulanjari dengan PT. Sinarmas Multifinance masalah yang muncul adalah permasalahan mengenai pembebanan jaminan fidusia. Eksekusi jaminan yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan fidusia.

Demi terjaminnya kepastian hukum, dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mewajibkan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Apabila fidusia telah didaftarkan, disinilah kedudukan serta hak kreditor yang memiliki kekuatan eksekutorial dijamin oleh hukum.

Dalam prakteknya, dalam kasus PT. Sinarmas Multifinance dengan Etik Sri Sulanjari penarikan kendaraan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan konsumen sebagai pelaku usaha dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur

(11)

dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Hal ini sebagaimana terlihat bahwa sertifikat fidusia baru dibuat setelah eksekusi terhadap benda jaminan fidusia dilakukan. Oleh sebab itu, maka eksekusi yang dilakukan oleh pelaku usaha pembiayaan konsumen yaitu PT. Sinarmas Multifinance dalam hal ini adalah tidak berdasarkan hukum dan tidak dapat dibenarkan.

2. Permasalahan yang cukup sering dihadapi oleh konsumen-konsumen dalam praktek kegiatan usaha pembiayaan salah satunya adalah minimnya kepahaman konsumen mengenai isi dan syarat-syarat perjanjian yang akan disetujui. Selain itu juga karena minimnya pengetahuan konsumen mengenai jaminan fidusia. Hal ini dapat menyebabkan konsumen sendiri yang akan mengalami kerugian karena kelemahan-kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak lain.

Dalam kasus Etik Sri Sulanjari dengan PT. Sinarmas Multifinance, konsumen tidak membaca sendiri perihal isi perjanjian, dan pelaku usaha hanya menjelaskan secara garis besar mengenai isi perjanjian tersebut. Akibatnya konsumen tidak cukup paham atas apa yang mereka setujui. Permasalahan ini dapat dihubungkan dengan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang belum sepenuhnya dinikmati konsumen. Padahal hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ini telah diatur dalam Pasal 4 huruf (c) Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Dalam kasus eksekusi jaminan yang dilakukan oleh PT. Sinarmas Multifinance ini, putusan No. 105/Pdt.G/2012/Pn.Ska telah sesuai dengan Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) mengenai klausula baku. Selain itu pelaku usaha juga melanggar pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, yaitu fidusia harus didaftarkan. Atas pelanggaran-pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-undangan tersebut, PT. Sinarmas Multifinance dikenakan sanksi untuk mengganti kerugian kepada Etik Sri Sulanjari, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(12)

Saran

Dari kesimpulan diatas maka ada beberapa saran yang akan penulis sampaikan berkaitan dengan praktek usaha pembiayaan konsumen yaitu:

1. Setelah penulis mempelajari tentang kasus Eksekusi Jaminan terhadap kendaraan bermotor obyek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan, menurut penulis saran harus diberikan kepada dua pihak. Pihak pertama adalah perusahaan pembiayaan seharusnya mendaftarkan setiap obyek jaminan fidusia yang diberikan oleh debitor atau konsumen setelah dibuatnya perjanjian pembiayaan konsumen. Sehingga hal ini dapat meminimalisir kerugian akibat tidak mampunya debitor untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang. Selain itu pendaftaran ini akan memberikan perlindungan hukum yang sah bagi kreditor yang akan melakukan eksekusi jaminan fidusia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Selain itu konsumen sebagai debitur dalam praktek usaha pembiayaan seharusnya terlebih dahulu memahami lebih dalam mengenai fidusia agar hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri konsumen dapat dihindari. Sedangkan saran untuk pihak kedua yaitu pemerintah harus melakukan pengawasan yang lebih dalam terhadap perusahaan-perusahaan pembiayaan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini masih banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan klausula baku pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu penjatuhan sanksi yang tegas jugaharus diberlakukan, ketika ada laporan dari masyarakat atau konsumen mengenai terjadinya pelanggaran-pelanggaran, seharusnya pemerintah dapat bertindak dengan cepat, sehinggakerugian yang dialami konsumen tidak berulang terjadi pada konsumen lainnya.

2. Perusahaan pembiayaan sebagai pelaku usaha, seharusnya lebih peduli terhadap konsumen. Sehingga kepercayaan konsumen terhadap lembaga pembiayaan dapat meningkat. Kepedulian terhadap perlindungan konsumen ini dapat pelaku usaha buktikan dalam perjanjian yang kebanyakan telah dibuat dalam bentuk standar atau disebut juga klausula baku seperti yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha seharusnya mengatur hak dan kewajiban konsumen dan dirinya sendiri sebagai pelaku usaha dengan seimbang. Selain itu sebaiknya pelaku usaha lebih tanggap terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan konsumennya, jangan menganggap keluhan dari konsumen adalah hal yang

(13)

memberatkan, namun hal itu dapat dijadikan pacuan untuk menjadi pelaku usaha yang lebih baik lagi. Karena bagaimanapun tanpa adanya kepercayaan dari konsumen untuk menikmati jasa perusahaan pembiayaan, kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tidak akan berjalan dan berkembang.

Daftar Referensi

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LN No. 168 Tahun 1999.

_______. Undang-undang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999.

Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Wawancara

Drs. Abdul Aziz, MM., Ketua Badan Penyelesaian Konsumen Kabupaten Bogor, bertempat di BPSK Kabupaten Bogor pada September 2014.

Internet

Budiman, Moch. Arif. “Tenaga Penagihan: Budaya Berutang dan Bahaya Riba: Zona Ekonomi Islam”. www.zonaekis.com/tenaga-penagihan-budaya-berutang-dan-bahaya -riba, diakses pada April 2014.

Otoritas Jasa Keuangan,.“Lembaga Pembiayaan”, www. ojk.go.id/lembaga-pembiayaan, diakses pada Mei, 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk cair dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan kandungan nutrisi rumput benggala pada lahan

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis ukuran induk siput gonggong ( L. turturella ) matang gonad dari laut Madong-Tanjungpinang berdasarkan panjang cangkang

Beberapa simpulan penting yang dapat ditarik dari hasil dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut: 1) Jumlah migran risen yang masuk ke Bali berdasarkan hasil SP 2010

13 PEDOMAN DUKUNGAN LOGISTIK PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI PADA SITUASI KRISIS KESEHATAN Pada masa tanggap darurat krisis kesehatan, seringkali sulit

Ketiga pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilarang melangsungkan

Menurut SatjiptoRaharjo( 1980: 48-49), menyatakan bahwa Kultur hukum merupakan inti dari konsep hukum, karenabudaya hukum merupakan penjabaran nilai-nilai dan

Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) di Panampuang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat.. Balai Pengkajian

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan