• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….. TAHUN ……..

TENTANG PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kemerdekaan mencipta dan berkarya di bidang perfilman merupakan bagian dari seni dan budaya sebagai salah satu bentuk menyatakan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa pembuatan film merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak asasi manusia dalam menciptakan karya seni dan budaya yang perlu memperoleh perlin-dungan dan penghargaaan dari bangsa dan negara dalam rangka menjaga dan mempertahankan keanekaragaman nilai-nilai dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara;

c. bahwa film sebagai hasil seni dan budaya mempunyai fungsi dan manfaat yang luas dan besar baik di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya, oleh karena itu perlu diatur dalam suatu tatanan hukum;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem politik dan hukum dalam menegakkan peran-serta masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perlu dicabut dan diganti;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai-mana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perfilman.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28, Pasal 32, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252);

(2)

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah-satu media komunikasi massa audiovisual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan sistem lainnya.

2. Perfilman adalah segala kegiatan atau usaha yang berhubungan dengan pembuatan film, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan atau penayangan film, jasa profesi, jasa rental atau penyewaan penayangan film, pengarsipan film, peningkatan sumber daya manusia perfilman, pembinaan apresiasi film, dan penelitian dan pengembangan perfilman.

3. Perfilman Indonesia adalah seluruh kegiatan kerja dan usaha dari produk perfilman dalam negeri.

4. Perfilman Nasional adalah kegiatan kerja dan usaha perfilman yang berada di kawasan nasional.

5. Organisasi Perfilman adalah sebuah badan, lembaga dan organisasi yang bergerak dalam ruang lingkup perfilman.

6. Insan Perfilman adalah seseorang yang kegiatan profesionalnya berada dalam lingkup perfilman.

7. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

(3)

BAB II

ASAS, VISI, MISI DAN FUNGSI Pasal 2

Perfilman nasional diselenggarakan berasaskan: a. Penghormatan atas nilai luhur moral agama; b. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan;

c. Pemahaman atas keanekaragaman budaya bangsa; d. Penghargaan atas kemerdekaan berekspresi;

e. Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum. Pasal 3

(1) Kemerdekaan mencipta dan berkarya di bidang teknik dan keyakinan rasa artististiknya.

(2) Setiap warga negara bebas berkarya di bidang perfilman sesuai dengan pilihan, pendekatan artistik dan keyakinannya.

(3) Tiada satu badan dan perorangan pun yang berhak mengubah dan membelenggu sebuah karya film tanpa seizin pemegang hak cipta karya film, kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4

Visi penyelenggaraan Perfilman Indonesia adalah kebanggaan atas produksi anak negeri dan penghormatan atas produksi asing yang memperkaya khasanah budaya bangsa.

Pasal 5

Penyelenggeraan Perfilman di Indonesia memiliki misi untuk: a. mencerdaskan kehidupan berbangsa yang berbudaya;

b. mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman secara khusus maupun umum;

c. menumbuhkan dan mengembangkan perfilman Indonesia sebagai industri yang mengandung nilai-nilai budaya dan mampu bersaing dalam peta perfilman internasional;

d. memberdayakan seluruh komponen perfilman Indonesia agar dapat terwujud dan mampu menciptakan film Indonesia yang bermutu yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan masyarakat nasional maupun internasional; e. memberdayakan masyarakat pada umumnya dalam pembangunan watak dan

kepribadian bangsa;

f. memantapkan dan mengembangkan nilai-nilai keragaman budaya bangsa; dan g. mempromosikan nilai-nilai keragaman budaya dan kepribadian bangsa kepada

(4)

Pasal 6

Penyelenggaraan Perfilman di Indonesia mempunyai fungsi sebagai : a. pemberdayaan masyarakat;

b. pengekspresian seni;

c. pengembangan budaya bangsa; d. pendidikan;

e. hiburan;

f. penerangan atau informasi; f. komoditas ekonomi.

BAB III

DEWAN PERFILMAN INDONESIA Bagian Kesatu

Tugas, Fungsi dan Wewenang Dewan Perfilman Indonesia Pasal 7

(1) Untuk penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6, dengan Undang-undang ini dibentuk Dewan Perfilman Indonesia yang selanjutnya disingkat DPI.

(2) DPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan badan independen yang keanggotaannya berasal dari unsur masyarakat perfilman nasional.

(3) Dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya, DPI bertanggungjawab kepada Presiden.

Pasal 8

(1) DPI berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

(2) Dalam hal dipandang perlu, dapat membentuk kantor perwakilan di daerah. Pasal 9

DPI mempunyai tugas:

a. memfasilitasi dan memajukan serta memberdayakan insan, perusahaan dan organisasi perfilman nasional;

b. melindungi kemerdekaan setiap orang yang berkarya di bidang perfilman Indonesia; c. menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan

perfilman nasional;

d. meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia di bidang perfilman; e. mencegah monopoli dalam perfilman Indonesia;

(5)

g. menjalankan dan ikut mendorong terlaksananya dan pengarsipan perfilman Indonesia;

h. memfasilitasi penyelesaian permasalahan perfilman Indonesia dan ikutserta mencari upaya pemecahannya;

i. menyusun dan melaksanakan program-program kegiatan penelitian dan pengkajian, yang diperlukan bagi pengembangan dan kemajuan perfilman Indonesia;

j. menyelenggarakan festival film yang menunjang kemajuan perfilman Indonesia; k. membuka hubungan dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan

perfilman;

l. melakukan kerja sama dengan negara lain di bidang perfilman dan membuka hubungan antar insan perfilman Indonesia dan insan perfilman regional atau internasional;

m. mendorong peran serta dan apresiasi masyarakat umum dalam mengembangkan dan memajukan perfilman Indonesia.

Pasal 10 DPI memiliki fungsi:

a. penyaluran dan perwujudan aspirasi masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan perfilman;

b. pengkoordinasian komunikasi atau hubungan antara masyarakat perfilman, masyarakat, dan pemerintah;

c. peningkatan mutu perfilman Indonesia dalam mengembangkan pendidikan dan budaya, termasuk keanekaragaman budaya;

d. pemajuan industri perfilman Indonesia dan penanganan film impor dalam mewujudkan hubungan kerja yang saling mendukung dengan Perfilman Indonesia, terutama dalam aspek hiburan, industri dan perekonomian, serta promosi Indonesia dalam masyarakat internasional;

e. penelitian dan pengkajian di bidang perfilman.

Pasal 11 DPI memiliki kewenangan:

a. menjadi lembaga arbitrase permasalahan perfilman; b. menetapkan anggaran;

c. memberikan masukan dan pertimbangan;

d. menjaga kebebasan berekspresi di bidang perfilman;

e. melakukan kegiatan yang berguna untuk memajukan perfilman Indonesia. Bagian Kedua

Keanggotaan DPI Pasal 12

(1) Anggota DPI berjumlah 21 (dua puluh satu) orang.

(2) Anggota DPI berasal dari unsur organisasi perfilman dan atau masyarakat perfilman karena ketokohan atau kepemimpinannya.

(6)

(3) Anggota DPI diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketua dan Wakil Ketua DPI dipilih dari dan oleh Anggota DPI berdasarkan mekanisme yang ditetapkan oleh DPI.

Pasal 13

Untuk dapat diangkat menjadi Anggota DPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia;

b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memiliki integritas dan kredibilitas pribadi yang jujur dan terpecaya; d. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perfilman;

e. tidak sedang duduk dalam kepengurusan partai politik beserta afiliasinya; f. bukan pejabat negara; dan

g. mendukung kemerdekaan berekspresi di bidang seni budaya, terutama di bidang perfilman.

Pasal 14

(1) Anggota DPI diangkat oleh Presiden berdasarkan calon anggota yang diajukan oleh Menteri dari hasil pemilihan berdasarkan ketentuan Pasal ini;

(2) Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat perfilman yang disampaikan selama 14 (empat belas) hari secara terus-menerus;

(3) Setelah memperoleh masukan dari masyarakat perfilman, Menteri akan menyampaikan 42 (empat puluh dua) nama calon anggota kepada Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari sejak penentuan jumlah nama calon;

(4) Presiden dapat menerima dan mempertimbangkan masukan masyarakat perfilman tentang calon anggota yang diusulkan Pemerintah;

(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berjumlah sekurang-kurangnya 42 (empat puluh dua) orang dari unsur masyarakat;

(6) Presiden memilih 21 (dua puluh satu) calon dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan dari Menteri;

(7) Presiden menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pengajuan dari Menteri.

Pasal 15

Proses pencalonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk oleh Menteri yang anggotanya terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat perfilman.

(7)

Proses pencalonan calon anggota DPI dan pemilihannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib dilakukan oleh Menteri secara terbuka atau transparan dan dapat diikuti oleh seluruh media cetak dan elektronik.

Pasal 17 Anggota DPI berhenti karena:

a. berakhir masa jabatannya; b. meninggal dunia;

c. mengundurkan diri;

d. menjadi tersangka karena melakukan tindak pidana kejahatan;

e. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Pasal 18

(1) Dalam hal anggota DPI berhenti atau diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, maka DPI memberitahukan perihal pemberhentian tersebut kepada Menteri untuk mengajukan calon anggota pengganti antarwaktu kepada Presiden;

(2) Pengajuan calon pengganti antarwaktu dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan diambil dari calon anggota yang tidak terpilih dari 42 (empat puluh dua) calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) yang diambil dari yang terbaik dari 21 (dua puluh satu) yang tidak terpilih.

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DPI dibantu oleh Sekretariat; (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Sekretaris; (3) Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggungjawab kepada DPI; (4) Pegawai Sekretariat terdiri dari unsur pegawai negeri yang pengangkatannya

berdasarkan peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku;

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat diatur dengan Peraturan DPI.

BAB IV

LEMBAGA PENILAIAN FILM Pasal 20

(1) Setiap film yang akan beredar atau diedarkan, wajib mendapat penilaian oleh Lembaga Penilaian Film;

(2) Lembaga Penilaian Film yang selanjutnya disingkat LPF merupakan lembaga independen;

(3) LPF berkedudukan di ibukota negara; (4) LPF bertangggung jawab lepada Presiden.

(8)

Pasal 21

(1) Susunan keanggotaan, jumlah anggota, persyaratan menjadi anggota, pengangkatan dan pemberhentian anggota, fungsi dan tugas LPF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 diatur dengan Peraturan Pemerintah;

(2) Pengaturan keanggotaan LPF berasal dari unsure masyarakat perfilman, organisasi perfilman, rohaniwan, tokoh atau ahli perfilman, pendidik, budayawan dan ahli hukum;

Pasal 22

(1) LPF mempunyai fungsi melakukan penilaian dan penelitian terhadap film yang akan diedarkan atau akan beredar, untuk menentukan klasifikasi penonton.

(2) Menyarankan pemotongan bagian tertentu dari sebuah film kepada Pemegang Hak Cipta demi menghindari pelanggaran Undang-undang Hak Cipta.

Pasal 23 LPF mempunyai tugas:

a. menilai, meneliti, dan menetapkan penggolongan atau klasifikasi film yang akan beredar sesuai standar yang telah ditetapkan oleh DPI;

b. memantau pelaksanaan peredaran dan penayangan film di Indonesia; c. mengusulkan kepada DPI mengenai masalah penilaian film;

d. LPF dapat melaporkan adanya dugaan, pelanggaran, klasifikasi film, penyimpangan peredaran dan pertunjukan film kepada DPI dan atau kepada pihak yang berwenang.

BAB V

PENGGOLONGAN ATAU KLASIFIKASI FILM Pasal 24

Hasil karya film dapat digolongkan atau diklasifikasikan dengan kategori: a. untuk umum; dan

b. untuk kepentingan khusus.

Pasal 25

Klasifikasi untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

Klasifikasi untuk kepentingan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi:

a. klasifikasi untuk festival; b. klasifikasi untuk pendidikan;

(9)

c. klasifikasi untuk instruksional; d. klasifikasi untuk kesehatan; e. klasifikasi pelayanan masyarakat.

Pasal 27

Klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku juga untuk film iklan dan film musik/karaoke.

Pasal 28

Setiap orang yang mengedarkan dan mempertunjukkan atau menayangkan film wajib mengumumkan, menggolongkan film tersebut kepada calon penonton atau mengklasifikasikan sesuai dengan penggolongan umur dan jam pertunjukan.

Pasal 29

Setiap orang yang mengedarkan, memproduksi, mengimpor, atau mengadakan pertunjukan film dengan Klasifikasi XXX dan Cabul/Porno, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

Untuk film diplomatik, berlaku ketentuan khusus sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI

ORGANISASI PERFILMAN Pasal 31

Organisasi perfilman merupakan organisasi yang dibentuk oleh insan perfilman secara bebas dan mandiri dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas insan perfilman dan melindungi anggotanya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 32

(1) Setiap orang yang menjalankan profesi di bidang perfilman wajib tunduk dan mematuhi kode etik dan ketentuan yang dikeluarkan oleh DPI.

(2) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi di bidang perfilman dilakukan oleh organisasi perfilman dan DPI.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan pelanggaran kode etik diatur dengan Peraturan DPI.

BAB VII USAHA PERFILMAN

(10)

Pasal 33 Usaha perfilman meliputi usaha:

1. Usaha produksi film.

2. Usaha jasa pendukung produksi film, berupa: a. jasa teknik film;

b. jasa penyediaan profesi film;

c. jasa pengembangan sains dan teknologi. 3. Usaha perdagangan dan eksibisi film, berupa:

a. peredaran film; b. pertunjukan film;

c. penyewaan dan penjualan film; d. ekspor film;

e. impor film.

Pasal 34

(1) Usaha perfilman hanya dapat dilakukan oleh badan usaha Indonesia atau perorangan yang berwarga negara Indonesia yang memiliki izin sesuai dengan bidang usaha masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 35

(1) Pihak asing dapat memiliki saham pada perusahaan perfilman Indonesia.

(2) Pihak asing yang memiliki saham di perusahaan perfilman Indonesia sebagai dimaksud pada ayat (1) baik langsung maupun tidak langsung tidak boleh menjadi pemegang saham mayoritas.

Pasal 36

Pengusaha perfilman wajib menggunakan kemampuan nasional secara maksimal dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kualitas.

Pasal 37

(1) Untuk pengembangan perfilman nasional, perusahaan perfilman dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan perfilman asing.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan izin dari instansi yang berwenang.

(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kerjasama dalam usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(11)

(1) Produksi film didasarkan atas kebebasan berkarya yang bertanggung jawab;

(2) Kebebasan berkarya dalam produksi film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan asas penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 39

(1) Usaha pembuatan film hanya dilakukan oleh perusahaan produksi film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

(2) Dalam produksi film yang dilakukan oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di wilayah negara Republik Indonesia, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang dan mendapat rekomendasi dari DPI;

(3) Pernyataan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 40

Dalam produksi film, masyarakat atau insan perfilman berhak mendapatkan jaminan sosial dan perlindungan hukum terkait dengan kegiatan dan peran yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya dengan perusahaan produksi film atau reklame film.

Pasal 41

Usaha jasa pendukung produksi film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan jasa pendukung produksi film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal 42

Usaha jasa pendukung produksi film yang berupa jasa teknik film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 meliputi:

a. studio pengambilan gambar; b. sarana dan pembuatan film; c. laboratorium film;

d. sarana penyuntingan film; e. sarana pengisian suara film; f. sarana pemberian teks film; dan

g. sarana pencetakan atau penggandaan film atau rekaman video; h. sarana lainnya yang mendukung produksi film.

Pasal 43

(1) Usaha jasa profesi film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan nasional di bidang jasa profesi film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

(2) Untuk pengembangan profesi, DPI dapat melakukan akreditasi terhadap usaha jasa profesi film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

(3) Dalam hal jasa profesi film telah mendapatkan akreditasi dari badan perfilman asing, maka akreditasi tersebut harus mendapatkan penilaian dan legalisasi dari DPI.

(12)

Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film atau perusahaan pengedar film yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal 45

Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal 46

(1) Film impor merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan pertunjukan dan penayangan film bagi masyarakat di dalam negeri yang jumlahnya ditentukan secara seimbang dengan jumlah produksi film nasional;

(2) Isi film impor harus bermutu baik yang selaras dengan asas, visi, misi, dan penyelenggaraan perfilman serta memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 47

Setiap pengusaha yang mengimpor film wajib menyampaikan film yang diimpor tersebut pada kantor pabean untuk dilakukan tindakan seperlunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 48

(1) Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik atau badan-badan internasional yang diakui pemerintah hanya diperuntukkan kepentingan perwakilan yang bersangkutan;

(2) Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya dapat dilakukan berdasarkan izin dari instansi yang berwenang;

(3) Film-film keperluan festival film dapat dibebaskan dari kewajiban penilaian berdasarkan persetujuan dari DPI.

Pasal 49

(1) Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar film yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

(2) Perusahaan produksi film dapat melakukan usaha pengedaran film yang memiliki izin tersendiri.

Pasal 50

(1) Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah ditentukan penggolongan atau klasifikasinya oleh LPF;

(2) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditentukan oleh LPF sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(13)

Pasal 51

Usaha pertunjukan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan film yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal 52

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang memungkinkan bagi pertunjukan film melalui sistem proyeksi mekanik, elektronik atau teknologi lainnya;

(2) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk pula penayangan film yang dilakukan melalui stasiun pemancar penyiaran atau perangkat elektronik lainnya yang khusus ditujukan untuk menjangkau khalayak pemirsa yang penyelenggaraannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Pasal 53

Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan umur penonton dan jam pertunjukan yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Pasal 54

(1) Kejaksaan Agung dengan persetujuan DPI dapat menarik film apabila dalam peredarannya dan atau pertunjukan dan atau penayangannya menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, atau ketenteraman dalam masyarakat;

(2) Aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat menarik dari peredaran film dengan klasifikasi XXX atau dan film klasifikasi Cabul/Porno, film yang beredar tidak sesuai dengan penggolongan atau klasifisikasi yang ditentukan, dan film yang belum dinilai oleh LPF;

(3) Dalam hal produser atau pemilik film berkeberatan atas tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bagi produser film yang mengedarkan tidak sesuai dengan penggolongan atau klasifisikasi yang ditentukan, maka produser atau pemilik film dapat melakukan pembelaan diri melalui saluran hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(4) Pemilik film atau pemegang hak cipta film yang peredaran filmnya ditarik seba-gaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menempuh keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(5) Dalam hal pemilik atau pemegang hak film mengajukan keberatan filmnya ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selama belum ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, film tersebut tidak boleh diedarkan dan dipertunjukkan terlebih dahulu.

Pasal 55

(1) Film yang menggunakan bahasa asal film, sebelum diedarkan dan dipertunjukkan terlebih dahulu dibubuhi teks dalam bahasa Indonesia;

(14)

(2) Film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang disulihsuarakan, kecuali untuk tujuan:

a. pendidikan dan pengajaran; b. penelitian;

c. penyuluhan.

(3) Ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari DPI.

BAB VIII

PERAN SERTA MASYRARAKAT Pasal 56

(1) Setiap warga masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut berperan serta dalam memelihara, mengembangkan, memajukan dan mengawasi perfilman Indonesia;

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX

FASILITASI PEMERINTAH Pasal 57

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan fasilitas untuk mengembangkan dan memajukan perfilman Indonesia;

(2) Fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pembiayaan pembuatan film;

b. pembiayaan untuk mendukung penyelenggaraan kearsipan film;

c. pemberian kemudahan dalam tarif, pajak, dan bea masuk terkait dengan penyelenggaraan perfilman sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;

d. dukungan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan dunia perfilman.

BAB X PEMBIAYAAN

(15)

Dalam rangka menjalankan Undang-Undang ini, pembiayaan pembentukan dan pendirian serta pelaksanaan kerja DPI dan LPF dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA Pasal 59

Setiap orang yang tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 39 ayat (1) atau (2), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51 dan Pasal 52, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (Satu setengah milyar rupiah).

Pasal 60

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 5 (lima) tahun atau denda Rp. 5.00.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).

Pasal 61

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, dan Pasal 61 dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda tersebut ditambah dengan 1/3 (satu per tiga);

(2) Selain denda, korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 62

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 adalah pelanggaran.

Pasal 63

Selain pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, dapat disita untuk negara.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64

(16)

(1) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, DPI sudah harus terbentuk;

(2) Selama belum terbentuk, tugas dan fungsi serta wewenang DPI dilaksanakan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional.

Pasal 65

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Lembaga Sensor Film tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai LPF terbentuk berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 66

Peraturan pelaksanaan yang ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini masih dinyatakan tetap berlaku sebelum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 67

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 68

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 69

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerin-tahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal ……….. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

(17)

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal ………..

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .. NOMOR ..

RANCANGAN PENJELASAN

(18)

NOMOR .. TAHUN … TENTANG PERFILMAN UMUM

Perfilman di Indonesia sebagai industri kebudayaan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dalam keanekaragaman nilai-nilai kebangsaan yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus tetap ditumbuhkan dan dikembangkan secara profesional dan proporsional dengan tetap memperhatikan etika keartistikan dan kesusilaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar budaya bangsa yang merupakan pencerminan nilai-nilai luhur bangsa tetap terus terpelihara dan dikembangkan melalui media film sebagai sarana penerangan atau informasi, pendidikan, pengekspresian seni, pengembangan kebudayaan, penghiburan, perindustrian dan perekonomian, kontrol sosial, dan promosi Indonesia di dunia internasional.

Dalam kenyataannya selama ini, perfilman di Indonesia belum secara maksimal berperan di dalam masyarakat sebagai industri kebudayaan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya sehingga maksud di atas belum sepenuhnya terpenuhi. Untuk itu, permasalahan ini segera diatasi dan merupakan bagian dari kegiatan pemberdayaan perfilman nasional secara menyeluruh. Dalam rangka pemberdayaan tersebut, usaha perfilman di Indonesia perlu menjadi bagian dari tanggungjawab DPI, LPF, Pemerintah, dan masyarakat yang didukung oleh profesionalitas insan film sehingga tidak semata-mata tergantung pada kemampuan pihak tertentu dan pihak swasta yang sifatnya monopolistik seperti yang terjadi selama ini.

Peningkatan kualitas ataupun kuantitas sumber daya manusia (SDM) perfilman memiliki arti yang strategis untuk memecahkan masalah di atas dan sekaligus menghadapi persaingan global dalam era pasar bebas. Ketersediaan SDM yang handal akan meningkatkan daya saing film nasional sehingga memungkinkan film nasional sebagai produk budaya dapat memasuki pasar global.

Berkaitan dengan fungsi film sebagai produk budaya, maka seluruh rangkaian kegiatan perfilman merupakan kegiatan industri kebudayaan yang selalu mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai kegiatan industri, maka seluruh elemen dalam kegiatan perfilman harus mendasarkan pada acuan sistem perindustrian yang serba terukur dan memperhatikan standar yang jelas dan pasti, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai akreditasi yang diakui sehingga para pelaku usaha yang memerlukan SDM perfilman akan memiliki patokan dan dasar dalam memperkerjakan atau merekruit tenaga-tenaga profesional di bidang perfilman.

Untuk melaksanakan keinginan di atas, Undang-Undang ini mengamanatkan agar dibentuk DPI. DPI sebagai lembaga yang independen yang secara menyeluruh mengupayakan fungsi dan tugasnya dalam rangka melaksanakan misi dan visi perfilman

(19)

nasional. Fungsi dan tugas DPI yang diatur dalam Undang-Undang ini cukup memberikan harapan bagi insan film dalam mengembangkan karya ciptanya sesuai dengan profesinya. DPI dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah, masyarakat, dan pihak asing dalam rangka mendorong kebebasan berkarya dan ber-cipta di bidang perfilman untuk menyongsong era persaingan bebas dan globalisasi.

Untuk penyelenggaraan semua kegiatan demi melaksanakan Undang-Undang ini, wajib dibiayai oleh negara melalui ang-garan pendapatan belanja negara (APBN). Dalam kenyataannya, sumbangan perfilman melalui pajak tontonan dan lain-lain terhadap negara sangatlah besar sehingga negara dalam memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini, terutama fungsi dan tugas DPI dan LPF, merupakan hal yang wajar.

Undang-Undang ini secara substansial dan jiwanya adalah berbeda dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Undang-Undang ini memberikan kebebasan sepenuhnya kepada insan film dan masyarakat film untuk mengembangkan dirinya secara profesional dan proporsional dengan tetap memperhatikan etika keartistikan dan kesusilaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai penggolongan atau klasifikasi film sebagai acuan bagi penyelenggaraan perfilman di Indonesia yang ditentukan secara jelas dan rinci dengan maksud agar tercipta kepastian hukum bagi penyelenggara perfilman dan masyarakat. Usaha perfilman juga diatur secara rinci dan komprehensif, termasuk aturan main bagi perusahaan perfilman dalam bentuk perizinan. Bentuk-bentuk penyelenggaraan secara monopoli dan persaingan tidak sehat, dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula terhadap larangan pembajakan film, juga mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping itu, dalam Undang-Undang ini juga memberikan kesempatan kepada organisasi perfilman yang ada untuk membentuk wadah tunggal dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan masyarakat perfilman dan insan film di seluruh Indonesia sebagai salah satu daya dukung mengembangkan perfilman di Indonesia. Organisasi perfilman ini diberikan waktu paling lambat 2 (dua) tahun untuk dibentuk dalam satu wadah organisasi (dalam bentuk federasi).

Atas dasar pertimbangan di atas dan atas dasar perkembangan hukum masya-rakat, terutama masyarakat perfilman, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang baru.

PASAL DEMI PASAL Pasal 1

(20)

Pasal 2

Huruf a.

Asas penghormatan atas nilai luhur moral agama dalam ketentuan ini adalah …….

Huruf b.

Asas penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dalam ketentuan ini adalah.... .

Huruf c.

Asas pemahaman atas keanekaragaman budaya bangsa dalam ketentuan ini adalah …..

Huruf d.

Asas penghargaan atas kemerdekaan berekspresi dalam ketentuan ini adalah ...

Huruf e.

Asas penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum dalam ketentuan ini adalah ... .

Pasal 3

Cukup jelas. Pasal 4

Dalam ketentuan ini, visi untuk menumbuhkan dan mengembangkan perfilman dititikberatkan pada film yang diproduksi oleh bangsa Indonesia dalam arti menjadikan produk film sebagai kebanggaan nasional.

Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan ”independen” dalam ketentuan ini adalah independen fungsional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas

(21)

Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20

Keberadaan LPF pada dasarnya hanya ada satu, yakni di pusat. Sedangkan di daerah dibentuk dan disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya masing-masing daerah. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas

(22)

Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41

(23)

Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56

Ayat (1) dan ayat (2)

Peran-serta masyarakat dalam ketentuan ini diwujudkan antara lain dengan membentuk berbagai kelompok diskusi dan pemikiran, mendirikan pemantau perfilman (film watch), menyelenggarakan festival, memantau dan mengawasi

(24)

penyimpangan yang terjadi di perfilman dan upaya-upaya lain yang bertujuan meningkatkan mutu dan kearifan perfilman Indonesia.

Pasal 57 Cukup Jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TIM RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN

(25)

1. H. Djonny Syafruddin, S.H.

Ketua Merangkap Anggota 1. ……… 2. Adisurya Abdy, M.Sc. Anggota 2. ……… 3. Drs. Bakri, M.M. Anggota 3. ……… 4. Zairin Zain Anggota 4. ………

5. Rudy S. Sanyoto, S.E.

Anggota 5. ………

6. Enison Sinaro

Anggota 6. ………

7. Wihadi Wiyanto, S.H.

Anggota 7. ………

8. Kusumo Priyono, ARS

Anggota 8. ………

9. Slamet Rahardjo Djarot

Nara Sumber 9. ………

10.Deddy Mizwar

Nara Sumber 10. ………

11.Suharyono, S.H, M.H.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat penghentian pengakuan atas aset keuangan secara keseluruhan, maka selisih antara nilai tercatat dan jumlah dari (i) pembayaran yang diterima, termasuk

Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan

1. Pendidikan karakter terintregrasi dalam pembelajaran. Hasil temuan dari sub fokus pendidikan karakter yang terintregrasi dalam pembelajaran adalah 1) Pengkajian SK

aspek kinerja yang dimiliki Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar secara internal maupun data dari eksternal yaitu masyarakat pelanggan dan pada kondisi tertentu termasuk

Dapat dilihat dari gambar 9 pada bagian grandtotal hasil perhitungan penentuan harga jual pada aplikasi menunjukkan hasil yang sama dengan pengujian manual

Dengan demikian, konsep hasta brata yang telah peneliti gunakan dalam penelitian tersebut sesuai dengan kaidah budaya jawa, cocok untuk diajarkan dalam pembelajaran di

Hid li d ktifk i li t d t d b h k l it jik diti j Hidrolisa dengan mengaktifkan enzim lipase yang terdapat pada buah kelapa sawit jika ditinjau dari segi ekonomi dan teknik sangat

Hasil uji aktivitas SOD ekstrak EEDBB pada serum darah tikus menunjukkan rata-rata nilai aktivitas SOD pada kelompok CMC Na adalah 4,626 ± 0,258 U/ml yang menunjukkan standar