• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparasi Antara Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Dengan Akta Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komparasi Antara Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah Dengan Akta Notaris"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPARASI ANTARA SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK

TANGGUNGAN SEBAGAI AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DENGAN AKTA NOTARIS

Rizha Putri Riadhini

(Mahasiswa S2 Program MKn FH UNS)

Email: miss.rizha@yahoo.co.id

Abstract

Based on the study note that the Power of Attorney Imposing Mortgage made as a notarial deed or deed of

accordance with the provisions of Government Rule Number. 37 Year 1998 and Regulation of the National

so will result the Power of Attorney Imposing Mortgage to charge encumbrance contains disability and can not be the right base Deed of the imposition Mortgage.

Keywords:

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagai akta Notaris dan sebagai akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Metode penelitian ini dilakukan dengan interprestasi. Berdasarkan kajian diketahui bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dibuat sebagai akta Notaris maupun akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Disamping itu, sebagai akta Notaris harus memenuhi ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris jika tidak terpenuhi maka konsekuensi hukum tercantum dalam Pasal 16 ayat (11) dan harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris, jika tidak dipenuhi ketentuan tersebut maka akibat hukum diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris. Sedangkan sebagai akta Pejabat Pembuat Akta Tanah maka sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Mayoritas Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan kurang memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan berakibat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengandung kecacatan dan tidak dapat menjadi alas hak pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan.

Kata Kunci: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Notaris, Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

A. Pendahuluan

Perkembangan jaman yang semakin kompleks sehingga mempengaruhi dunia perekonomian terkait dengan pembangunan nasional. Tujuan dari pembangunan nasional adalah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang adil dan makmur

sebagaimana sesuai dengan cita-cita dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat adalah dengan cara mengembangkan perekonomian dan perdagangan.

(2)

Upaya pengembangan tersebut dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha. Pelaku usaha terdiri dari masyarakat maupun badan hukum. Selain dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha, upaya tersebut harus didukung adanya modal yang besar. Salah satu cara memperoleh modal yang besar yaitu melalui perkreditan di perbankan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perbankan, definisi dari bank adalah sebagai badan usaha yang menghimpun atau mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau deposito dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sehingga, kegiatan pokok dari bank adalah kegiatan pengumpulan dana atas dasar kepercayaan dari masyarakat dan bank sebagai penyaluran dana kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

Bank merupakan lembaga penyimpan dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan, giro, deposito berjangka, sertifikat deposito. Selain sebagai penyimpan dana dari masyarakat bank juga berfungsi sebagai penyalur dana kepada masyarakat melalui kredit (Jamal Wiwoho, 2011: 36).

Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk lebih melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberi bunga.

Adapun fungsi dari pemberian kredit adalah untuk meningkatkan kegairahan dalam berusaha masyarakat dalam menjalankan usaha sehingga dapat meningkatkan perekonomian rakyat. Dalam pemberian kredit tidak semata-mata bank memberikan kredit kepada pelaku usaha maupun masyarakat namun bank dalam memberikan kredit harus memenuhi prinsip dalam dunia perbankan guna menganalisa perkreditan berpedoman pada 5C yaitu( Jamal Wiwoho, 2011: 95-96):

1. Character (watak). Hal ini berkaitan dengan

latar belakang nasabah.

2. Capacity (kemampuan). Dalam hal ini berkaitan

dengan kemampuan nasabah membayar kredit yang dapat dinilai dalam mengelola bisnis.

3. Capital (permodalan). Berkaitan dengan sumber

modal dalam menjalankan bisnis.

4. Condition (kondisi). Melihat kondisi ekonomi,

sosial dan politik yang ada sekarang dan masa yang akan datang.

5. Collateral (agunan). Jaminan berupa fisik

maupun non fisik. Jaminan hendaknya mempunyai nilai yang melebihi jumlah kredit yang diberikan.

Dengan mengacu pada prinsip 5C tersebut, bank dalam memberikan kredit kepada pemohon (pelaku usaha maupun masyarakat), demi kepastian hukum dan perlindungan hukum maka permohonan kredit dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit secara tertulis. Perjanjian kredit secara tertulis dapat berupa akta autentik atau surat dibawah tangan.

Akta autentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut dengan KUHPerdata adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pegawai umum yang berkuasa dalam hal ini disebut dengan Notaris.

Bertolak dari pengertian kredit dan prinsip-prinsip kredit bahwa kredit dituangkan dalam perjanjian kredit sebagai wujud dari kesepakatan. Sesuai dengan prinsip-prinsip kredit bahwa untuk menjaga keamanan dari pemberian kredit, pihak penerima kredit (debitur) memberikan jaminan. Berkaitan dengan pemberian jaminan, tidak semua barang dapat menjadi jaminan atas utang namun barang tersebut harus bernilai merupakan hal yang utama.

Mayoritas masyarakat jika mengajukan kredit telah memberikan jaminan berupa barang tidak bergerak salah satunya tanah. Tanah merupakan salah satu dari sekian macam benda jaminan yang diberikan oleh masyarakat maupun badan hukum kepada bank atas kredit yang diperolehnya. Adapun syarat dari benda yang dapat dijadikan jaminan atas suatu kredit, yaitu:

(3)

1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;

2. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan tentang perdaftaran tanah yang berlaku (syarat publisitas);

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji maka benda yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual atau dilakukan eksekusi.

Lembaga jaminan hutang atas tanah yaitu Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut dengan undnag-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan adalah :

hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya .

Pada hakekatnya Hak Tanggungan itu untuk menjamin pelunasan hutang tertentu dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Kreditur tertentu adalah kreditur yang memperoleh atau menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan Angka 4, memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya berarti bahwa:

jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tertentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Pembebanan hak tanggungan dilaksanakan dengan melalui 2 tahap sebagaimana diatur Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Hak Tanggungan;

1. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; 2. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan kredit yang diperjanjikan. Janji tersebut wajib dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang atau perjanjian kredit. Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan, setelah perjanjian pokok (perjanjian hutang piutang atau perjanjian kredit) itu diadakan, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagaimana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional Kota/Kabupaten sebagai syarat mutlak lahirnya hak tanggungan. Dalam hal pendaftaran hak tanggungan terdapat ketentuan bahwa penerima hak tanggungan wajib mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kota setempat dalam jangka waktu tujuh hari kerja sejak ditandatangani APHT tersebut sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Namun, pendaftaran hak tanggungan tersebut mayoritas dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) melebihi jangka waktu tujuh hari. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain adanya kekurangan kelengkapan berkas permohonan pendaftaran hak tanggungan misal identitas dari para pihak atau perjanjian pokok, kurangnya sarana prasarana yang tidak mampu menunjang dalam pendaftaran hak tanggungan secaraonline.

Pemberian hak tanggungan tersebut wajib dihadiri sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebaskan hak tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan. Apabila pemberi hak tanggungan berhalangan untuk hadir dan menandatangani APHT dapat dikuasakan kepada pihak lain. Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan di hadapan seorang notaris atau PPAT dengan suatu akta autentik yaitu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

(4)

SKMHT berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa SKMHT merupakan salah satu produk yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan SKMHT merupakan akta yang dapat dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus.

Akan tetapi, SKMHT selain dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah juga dapat dibuat dihadapan Notaris. Pada dasarnya lingkup kerja antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu berbeda. Lingkup kerja Notaris berada dalam satu provinsi sedangkan lingkup kerja PPAT hanya sebatas satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Selain lingkup wilayah kerja antara Notaris dan PPAT berbeda, ketentuan yang mengatur keduanya juga berbeda. Pembuatan SKMHT baik sebagai akta Notaris maupun sebagai akta PPAT harus memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Selain itu, Notaris mengacu pada aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris selanjutnya disebut dengan UUJN, sedangkan PPAT mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Perbedaan mengenai ketentuan kewenangan dalam membuat SKMHT maka sulit membedakan antara SKMHT sebagai akta Notaris maupun sebagai akta PPAT Hal ini dikarenakan SKMHT sebagai akta Notaris mayoritas tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sehingga, penulisan ini membahas mengenai perbedaan antara SKMHT sebagai akta Notaris dengan sebagai akta PPAT.

B. Ketentuan Mengenai Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan

Sebagai Akta Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).

Pemberian hak tanggungan seharusnya dihadiri sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai pihak

yang berwenang melakukan perbuatan hukum untuk membebankan hak tanggungan atas jaminan berupa tanah, akan tetapi pihak tertentu berhalangan untuk hadir memberikan hak tanggungan dan menandatangani hak tanggungan maka dapat dikuasakan kepada pihak lain. Perihal pemberian kuasa tersebut dilakukan dihadapan Notaris atau di hadapan PPAT. Akta terkait dengan pemberian kuasa hak tanggungan tersebut disebut dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang disebut dengan SKMHT.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa bentuk akta yang merupakan kewenangan dari PPAT mencakup Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diatas Tanah Hak Milik dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dibuat sesuai dengan lampiran dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan surat kuasa yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan untuk membebankan hak tanggungan atas objek hak tanggungan. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, syarat-syarat dari SKMHT antara lain:

1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan. Misalnya kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Sehingga,

(5)

SKMHT itu dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan saja.

2. tidak memuat kuasa subtitusi. Subtitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan subtitusi jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain. SKMHT tidak dapat disubtitusikan berarti harus diberikan oleh pemilik sertifikat tidak bisa dilakukan dengan akta kuasa. 3, mencantumkan secara jelas obyek Hak

Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari SKMHT telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal ini hanya mengisi pada bagian akta yang kosong misal mengenai subjek dan objek hak tanggungan karena pemberian kuasa membebankan hak tanggungan mempunyai sifat memaksa dalam arti para pihak tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri mengenai bentuk dan isi dari akta SKMHT.

Ketentuan dalam pengisian SKMHT telah tercantum dalam Lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. Adapun ketentuan mengenai penggantian dan perbaikan kata yang dicoret dan tambahan kata yang diperlukan dapat dilakukan di ruang kosong lembaran akta dan disahkan dengan para para pihak yang menandatangani akta atau dilakukan pada lembar kertas yang ditambahkan pada akta dengan mencantumkan nomor akta di setiap halaman tambahan tersebut.

Mengenai pengisian komparisi perlu adanya ketelitian dan kehati-hatian mengenai identitas atau dasar hukum yang menjadi landasan tindakan hukum karena berkaitan dengan kapasitas dan kewenangan pihak pemegang hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun selaku pemberi kuasa, bagaimana status dari pemberi kuasa apakah perlu adanya persetujuan dari suami/istri, perwalian dibawah umur dengan izin pengadilan atau bertindak

atas nama perusahaan. Demikian juga perlu adanya ketelitian dan kehati-hatian mengenai identitas dari penerima kuasa.

Berkaitan dengan pengisian mengenai objek hak tanggungan dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan perlu adanya pencantuman mengenai NIB dan SPPT PBB. Akan tetapi mengenai ketentuan tersebut telah diabaikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Adapun konsekuensi dari tidak memenuhi sesuai dengan tata cara pengisian SKMHT berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 serta Pasal 96 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, maka SKMHT Apabila tidak dipenuhi ketentuan tersebut maka SKMHT tersebut batal demi hukum, berarti surat kuasa tersebut yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

C. Ketentuan Mengenai Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan

Sebagai Akta Notaris.

Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Kewenangan Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris,

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(6)

Notaris sesuai dengan kewenangannya membuat akta Notaris, pengertian dari Akta Notaris sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris, Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris dimungkinkan merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Alasan pembuatan dan penggunaan SKMHT, adalah :

1. Syarat subjektif yaitu :

a. Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta Hak Tanggungan.

b. Prosedur pembebanan Hak Tanggunan panjang/lama.

c. Biaya pembuatan Hak Tanggungan cukup tinggi.

d. Kredit yang diberikan jangka pendek. e. Kredit yang diberikan tidak besar atau

kecil.

f. Debitur sangat dipercaya atau 2. Syarat objektif yaitu :

a. Sertipikat belum diterbitkan.

b. Balik nama atas tanah pemberi Hak Tanggungan belum dilakukan.

c. Pemecahan/penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama pemberi Hak Tanggungan.

d. Roya/pencoretan belum dilakukan. Berdasarkan asas keterbukaan atau asas publisitas, Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian hak tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut.

Pembuatan SKMHT itu oleh Notaris maupun PPAT harus mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Selain itu apabila SKMHT dibuat sebagai akta notaris maka Notaris dalam membuat SKMHT harus mengacu pada Undang-Undang Jabatan Notaris terutama dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c. Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN, kewajiban Notaris untuk melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada

Minuta Akta. Hal ini merupakan suatu kewajiban dari Notaris manakala membuat akta maka harus melekatkan sidik jari penghadap, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka Notaris yang bersangkutan akan menerima sanksi berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (11) UUJN.

Selain Notaris dalam membuat SKMHT harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, Notaris juga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 38 UUJN. Pasal 38 UUJN tersebut mengatur mengenai ketentuan-ketentuan bentuk akta notaris yang terdiri dari awal akta, badan akta dan akhir akta.

(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat: a.

judul Akta;

b.

nomor Akta;

c.

jam, hari, tanggal, bulan, dan

tahun; dan

d.

nama lengkap dan tempat

kedudukan Notaris.

(3) Badan Akta memuat:

a.

Nama lengkap, tempat dan

tanggal lahir, kewarganegaraan,

pekerjaan, jabatan, kedudukan,

tempat tinggal para penghadap

dan/atau orang yang mereka

wakili;

b.

Keterangan mengenai kedudukan

bertindak penghadap;

c.

Isi Akta yang merupak an

kehendak dan keinginan dari

pihak yang berkepentingan; dan

d.

Nama lengkap, tempat dan

tanggal lahir, serta pekerjaan,

jabatan, kedudukan, dan tempat

tinggal dari tiap-tiap saksi

pengenal.

(4) Akhir atau penutup Akta memuat: a.

Uraian tentang pembacaan Akta

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 16 (1) huruf m atau Pasal

16 ayat (7);

b.

Uraian tentang penandatanganan

dan tempat penandatangan atau

penerjemahan Akta jika ada;

c.

Nama lengkap, tempat dan

tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,

kedudukan dan tempat tinggal

dari tiap-tiap saksi Akta; dan

(7)

d.

Uraian tentang tidak adanya

perubahan yang terjadi dalam

pembuatan Akta atau uraian

tentang adanya perubahan yang

dapat berupa penambahan,

pencoretan, atau penggantian

serta jumlah perubahannya.

Apabila N otari s d alam men ja lan ka n wewenangnya melanggar Pasal 38 UUJN maka sesuai dengan Pasal 41 UUJN, maka mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya, artinya kekuatan akta di bawah tangan ini dapat dipersamakan kekuatannya dengan akta autentik bila dalam hal pembuktiannya oleh para pembuat akta di bawah tangan mengakui atau membenarkan apa yang ditandatangani (Handri Raharjo, 2009: 66). Akan tetapi, SKMHT yang dibuat dihadapan Notaris notabene Notaris dalam menjalankan kewenangan membuat akta autentik harus memenuhi ketentuan dalam UUJN sehingga Notaris dalam membuat SKMHT tidak hanya mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 akan tetapi harus mengacu pada ketentuan UUJN dan SKMHT yang dibuat oleh Notaris seharusnya berupa Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan bukan SKMHT. Adapun pemberian kuasa membebankan hak tanggungan harus diberikan langsung oleh pemilik sertifikat, dan tidak dibenarkan apabila dilakukan dengan akta kuasa (disubtitusikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)

Undang-Undang Hak Tanggungan (Mulyoto, 2011: 53). Dalam praktek, Notaris dalam membuat SKMHT hanya sebatas mengisi bagian-bagian yang kosong dengan tidak memperhatikan ketentuan dalam ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUJN. Misal tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN, Notaris melekatkan dokumen, surat dan sidik jari penghadap pada Minuta Akta. Hal ini merupakan kewajiban dari Notaris dalam membuat akta akan tetapi sering kali diabaikan. Selain itu, tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 38 UUJN misal uraian mengenai awal akta tidak mencantumkan jam, identitas dari para pihak tidak diuraikan sesuai ketentuan dalam badan akta, tidak ada uraian mengenai tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya sesuai ketentuan dalam akhir akta. Notaris dalam menjalankan kewenangan dalam membuat akta tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 38 UUJN tersebut maka akta yang dibuat oleh Notaris akan terdegradasi menjadi akta dibawah tangan sesuai ketentuan dalam Pasal 41 UUJN. Disamping itu, Notaris dalam membuat SKMHT tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang-Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 maka SKMHT tersebut tidak dapat menjadi dasar dalam pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Perbedaan antara SKMHT yang dibuat oleh Notaris dengan SKMHT yang dibuat oleh PPAT, sebagai berikut:

No Pembeda Notaris PPAT

1. Dasar Hukum

- Undang-Undang Hak Tanggungan - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 - Peraturan Ka.BPN RI Nomor 8 Tahun

2012

- Undang-Undang Hak Tanggungan - Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998

- Peraturan Ka.BPN RI Nomor 8 Tahun 2012

2. Wilayah Kerja Provinsi Satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

3.

Me l ek a t k a n S u r a t , Dokumen dan Sidik Jari dlm Minuta Akta

Wajib sesuai ketentuan dalam Pasal 16 UUJN tidak dipenuhi:

a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara;

c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Tidak ada kewajiban

4. Bentuk Akta Pasal 38 UUJNterdegradasi menjadi Akta Dibawah Tangan tidak dipenuhi: Akta

Ti d a k p e n u h i k e t e n t u a n d a l a m Perat.Ka.BPN No.8 Th.2012 maka tidak dapat dibuat APHT.

(8)

D. Simpulan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) merupakan produk dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang bentuk dan tata cara pengisian diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. SKMHT merupakan akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris atau dihadapan PPAT yang harus memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. SKMHT dibuat sebagai akta Notaris juga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN, jika tidak memenuhi ketentuan tersebut maka Notaris dapat terkena sanksi berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (11) UUJN. Selain itu, pembuatan SKMHT sebagai akta Notaris harus memenuhi ketentuan Pasal 38 UUJN jika tidak memenuhi ketentuan tersebut maka akta terdegradasi menjadi akta dibawah tangan. SKMHT yang dibuat sebagai akta PPAT harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 serta Pasal 96 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, apabila PPAT tidak memenuhi ketentuan tersebut maka SKMHT batal demi hukum artinya SKMHT tersebut tidak dapat menjadi dasar dalam pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Sehingga, Notaris maupun PPAT dalam membuat SKMHT harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut agar SKMHT tidak mengandung cacat akta yang berakibat SKMHT tidak dapat menjadi alas hak pembuatan APHT.

Daftar Pustaka

Handri Raharjo. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

H.Salim.HS. 2007.Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Bandung: PT. Raja Grafindo

Persada.

Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi).

Malang : Bayumedia Publishing.

Kartini Muljadi dan Gunawan Muljadi. 2005.Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Lingga Citra Herawan. Pengaturan Kewenangan

Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Calyptra. Jurnal

Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Volume 2 Nomor 2 (2013).

Mulyoto. 2011.Perjanjian; Tekhnik, cara membuat, dan hukum perjanjian yang harus dikuasai.

Yogyakarta:Cakrawala Media.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2012 tentang Perubahaan Atas Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997.

Referensi

Dokumen terkait

Email: Ferarichlisi02@gmail.com , Fielmannlisi@gmail.com , Sartje.silimang@unsrat.ac.id.. dalam setiap perencanaanya. Dimana sistem transmisi memiliki parameter-parameter

Abstrak: Pengembangan Perpustakaan Digital Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Literasi Informasi Siswa SMA di Bandarlampung. Penelitian ini bertujuan untuk 1)

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara Karakteristik Pekerjaan dengan Perilaku Kewargaan Organisasi pada Karyawan PT Bintang AdiBusana di

Fokus pada penelitian inj menggunakan teori dari jufrizen, (2013) mengenai Intensifikasi yang meliputi, memperluas basis penerimaan, memperkuat proses pemungutan,

Dalam level konotatif, anak-anak Aborigin dan peranakan Aborigin dianggap sebagai anak- anak pembawa sial bagi masyarakat Australia dan lebih baik mereka dijauhkan keberadaanya

Stress kerja adalah masalah kesehatan yang serius, National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) menyatakan bahwa 40% pekerja menyatakan pekerjaan mereka

perbedaan pemahaman antara orang tua dan anak, ini juga merupakan kesulitan yang dialami oleh subjek yang memiliki anak tuna rungu, kesulitan untuk