• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pangeran Dari Timur: Postcolonial Study

1Muharsyam Dwi Anantama, 2Puspita Trie Utami, 3Aditya Setiawan 1Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126 Muharsyamdwi_12@student.uns.ac.id

2Pascasrajana Universitas Lampung

Jalan Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145

puspitatrieutami24@gmail.com

3Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jalan KH. Ahmad Dahlan, Banyumas, Jawa Tengah 53182

Adityasetyawan75@gmail.com

Abstract

This paper seeks to illuminate the ambivalence experienced by the characters in the novel Pangeran Dari Timur by Iksaka Banu and Kurnia Effendi with a postcolonial perspective. This novel is set in colonial history that tells the life journey of Raden Saleh and the events of colonialism in Indonesia to grasp independence. The postcolonial perspective used in this study functions to identify the ambivalence experienced by the characters in the novel Pangeran Dari Timur as a result of colonial discourse that is always in the dominant pole and the natives are in a subaltern position. The method used in this research is descriptive qualitative. The data source of this research is the novel Pangeran Dari Timur by Iksaka Banu and Kurnia Effendi. The data taken in this study were then analyzed using an interactive analysis model. The results showed that ambivalence was experienced by Raden Saleh and Mother Ratna Juwita in the novel Pangeran Dari Timur. Even though both of them lived by imitating the Dutch, they were still considered Natives who were culturally far below the Dutch.

(2)

145

Abstrak

Tulisan ini berupaya meneroka ambivalensi yang dialami tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi dengan perspektif poskolonial. Novel ini berlatar sejarah kolonial yang menceritakan perjalanan hidup Raden Saleh dan peristiwa penjajahan di Indonesia hingga menggenggam kemerdekaan. Perspektif poskolonial yang digunakan dalam penelitian ini difungsikan untuk mengidentifikasi ambivalensi yang dialami tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Dari Timur sebagai akibat wacana kolonial yang selalu berada dalam kutub dominan dan pribumi berada di posisi subaltern. Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Data yang telah diambil dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi dialami oleh tokoh Raden Saleh dan tokoh Ibunda Ratna Juwita dalam novel Pangeran Dari Timur. Meskipun keduanya hidup dengan meniru Belanda, mereka tetap dianggap kaum Pribumi yang secara kebudayaan berada jauh di bawah Belanda.

Kata kunci: poskolonial, kolonial, ambivalensi

1. Pendahuluan

Kolonialisasi di Indonesia merupakan kisah yang sangat panjang. Sekarang, kolonialisasi itu telah tiada. Kolonialiasi di Indonesia hanya sebuah cerita masa lalu. Pendudukan negara-negara barat terhadap negara jajahannya telah usai (Nasri, 2016: 26). Namun, nampaknya penjajahan belum sepenuhnya selesai. Kolonialisasi kini telah mewujud bentuk lain. (Rakhman, 2014: 108). Kolonialisasi telah menyaru dalam wujud-wujud ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui wujud-wujud itu, pada dasarnya Negara bekas jajahan masih dikendalikan oleh Negara penjajah (Taufiqurrohman, 2018: 22).

Karya sastra bukan suatu produk yang lahir dari ruang kosong

kebudayaan. Karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan manusia karena memuat anasir sosial dan budaya tempatnya lahir (Jabrohim, 2015: 215). Gambaran kehidupan manusia tercermin dalam karya sastra. Hal ini yang menjadikan karya sastra sarat akan nasihat. Bahkan, karya sastra bisa menjadi gambaran yang mencerminkan berbagai masa (Alwadhaf, 2011: 112) salah satunya adalah masa penjajahan. Cerminan itu bisa didapatkan melalui karya Iksaka Banu.

Gambaran cara kolonial mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia tercermin secara jelas melalui karya-karya Iksaka Banu. Melalui pengkajian dan pemahaman mendalam terhadap karya Iksaka banu, dapat ditelusuri cara-cara apa

(3)

146

saja yang digunakan pihak penjajah untuk memberikan pengaruh kekuasaanya. Budaya menjadi medium sentral untuk melakukan hal itu. Melihat hal itu, novel-novel Iksaka Banu menarik untuk di dekati dengan kajian poskolonial.

Kajian poskolonial dalam horizon sastra Indonesia hari ini mudah dijumpai. Salah satu kajian poskolonial adalah penelitian yang dilakukan oleh Ardiyanto Wibisono (2018). Penelitian tersebut berjudul

Mimikri sebagai Upaya Melawan dalam Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Dengan pendekatan poskolonial, penelitian itu menjabarkan mengenai bentuk-bentuk mimikri sebagai media resistensi yang terdapat dalam novel

Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian lain yang pernah dilakukan dengan pisau analisis kajian poskolonial adalah penelitian yang dilakukan oleh Riska Dewi Widyaningrum (2016). Penelitian itu berjudul Analisis Postkolonial Kumpulan Cerpen Semua Untuk Hindia Karya Iksaka Banu, Nilai Pendidikan Karakter dan Relevansinya dengan Materi Ajar Kajian Prosa Fiksi di Perguruan Tinggi. Penelitian tersebut menjabarkan relasi kekuasaan, ambivalensi, mimikri, hibriditas, dan nilai pendidikan karakter yang ada dala kumpulan cerpen Semua Untuk Hindia karya Iksaka banu.

Penelitian lain yang pernah dilakukan dengan pisau analisis kajian poskolonial adalah penelitian yang dilakukan oleh Riska Dewi

Widyaningrum (2016). Penelitian itu berjudul Analisis Postkolonial Kumpulan Cerpen Semua Untuk Hindia Karya Iksaka Banu, Nilai Pendidikan Karakter dan Relevansinya dengan Materi Ajar Kajian Prosa Fiksi di Perguruan Tinggi. Penelitian tersebut menjabarkan relasi kekuasaan, ambivalensi, mimikri, hibriditas, dan nilai pendidikan karakter yang ada dala kumpulan cerpen Semua Untuk Hindia karya Iksaka banu.

Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Oktarina (2018). Penelitian itu berjudul Dari Sudut Pandang Narator: Ambivalensi Dan Hibriditas Dalam Sja’ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina. Tujuan penelitian tersebut adalah meneroka relasi antarbangsa yang bermuara pada hadirnya ambivalensi dan mimikri. Sumber data penelitian ini adalah teks Sja'ir Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kaum pribumi, China, dan Belanda dalam teks itu mengandung unsur hibriditas dan ambivalensi.

Sebagai pembeda dengan penelitian yang pernah ada, peneliti memilih novelPangeran Dari Timur

karya Ikasa Banu dan Kurnia Efendi sebagai objek kajian yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini mendasarkan diri pada kajian poskolonial. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana ambivalensi yang dialami oleh

(4)

147

tokoh-tokoh dalam novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Efendi.

Ambivalensi adalah salah satu aspek yang selalu hadir dalam skema kolonialisme. Hal ini hadir karena adanya dua kutub budaya berebeda yang bersinggungan ketika kolonialisme berlangsung. Sebagai karya sastra berlatar kolonialisme yang ditulis oleh pengarang di era pascakolonialisme, Pangeran Dari Timur memuat banyak aspek-aspek ambivalensi.

Masalah yang hadir di sekitar kolonialisme bukan hanya pengambilan wilayah kekuasaan secara paksa. Hadir masalah yang lebih vital, yaitu memudarnya kesadaran akan identitas diri. Hal ini terjadi sebagai dampak dari kolonialisme secara sosiologis dan psikologis. Melalui kajian poskolonial, permasalah identitas tersebut menjadi subjek kajian (Jerome, 2016: 36).

Postkolonial merupakan studi yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan dampak yang menyertainya (Ashcroft, 1995:117). Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa kajian poskolonial mendasarkan diri pada kejadian ketika kolonialisme bahkan hingga kolonialisme itu tumbang. Menurut Arong (2018: 457), perihal waktu bukan menjadi ukuran utama dalam studi poskolonial. Tanpa kita sadari, meskipun era kolonial telah usai, negara-negara bekas koloni masih hidup dalam penjajahan. Inilah

kolonialisme baru yang disebut sebagai neokolonialisme (Spivak, 1999: 1).

Teori poskolonial dalam hubungannya dengan sastra dimanfaatkan untuk membedah teks sastra poskolonial dan melacak kembali jejak kolonial yang hadir dalam teks tersebut (Adzhari, 2014: 37). Poskolonial dipandang sebagai sebuah siasat kritik yang mengajukan pertanyaan dengan maksud melacak jejak-jejak kolonialisme dalam teks sastra (Foulcher, 2008: 3). Oleh karena itu, pendekatan poskolonial merupakan pergulatan yang berusaha mengungkapkan bekas-bekas pertemuan kolonial, rasialisme, dan kondisi hubungan yang tidak setara (Jeyifo, 2004: 44; Fatimah, 2014: 99).

2. Metode

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati (Sugiyono, 2014: 1). Sumber data penelitian berupa novel

Pangeran Dari Timurkarya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Data penelitian ini berupa kata-kata dalam novel Pangeran Dari Timurkarya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi yang mengandung anasir ambivalensi. Teknik pengumpulan

(5)

148

data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah teknik studi dokumen atau pustaka. Studi dokumentasi dilakukan dengan mencatat data yang termuat dalam dokumen berupa novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Teknik analisis data data yang digunakan adalah teknik analisis isi kualitatif. Analisis isi dalam penelitian ini merupakan strategi menangkap pesan tersembunyi dari karya sastra. Data yang telah diklasifikasi, diinventarisasikan selanjutnya dianalisis maknanya dengan teliti dan analitis. Analisis ini bersifat interaktif yang meliputi empat komponen penelitian yaitu; (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) penarikan simpulan (Miles dan Huberman, 2014: 33).

3. Hasil dan Pembahasan

Novel Pangeran Dari Timur

berlatarkan dua zaman. Di satu sisi, novel ini bercerita tentang perjalanan hidup Raden Saleh mulai dari kecil, meraih kesuksesan karir, hingga berpulang ke hadapan Tuhan. Di sisi lain, novel ini merekam perjuangan aktivis radikal di Indonesia, mulai dari masa penjajahan, pembukaan kawasan tahanan Digul, hingga proklamasi kemerdekaan. Semua itu diceritakan secara cukup mendalam.

Kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia menyebabkan terjadinya transformasi budaya antara budaya pribumi dan budaya barat. Hal itu memunculkan adanya penanaman pola pikir dan lahirnya suatu peniruan, hibriditas dan mimikri. Hibriditas dan mimikri ini pada akhirnya memunculkan sikap ambivalensi. Pribumi menerima pengaruh meniru tingkah laku Barat dalam proses kolonialisasi. Namun, Barat tetap memandang posisi mereka tidak pernah sama. Barat selalu mengukuhkan dirinya lebih dominan dibanding pribumi. Sebab, jika peniruan itu dianggap setara, maka kekuatan kolonial akan tumbang.

Tokoh-tokoh ambivalen tidak dapat menentukan identitas yang sesungguhnya karena berada dalam dua dunia. Seperti dalam novel

Pangeran Dari Timur, sikap ambivalen ditunjukkan oleh Raden Saleh. Dia bimbang akan identitas yang hakiki dari dirinya. Satu kakinya menapakkan dirinya sebagai pribumi, tapi kaki yang lain menapakkan dirinya sebagai Belanda. Hal itu nampak pada kutipan berikut.

Raden Saleh Syarif Bustaman kembali duduk di dipan. Alangkah sulit meletakkan kata

“aku” akhir-akhir ini. Siapakah

“aku”? Apakah “aku” harus ikut

toast untuk kabar kemenangan Belanda nanti siang di meja

(6)

149

makan Kapten Hendrik Poppen bersama Tuan Inspektur Keuangan, Jean Baptiste de Linge, dan Nyonya Colette Therese Verrue, istrinya? Atau, merenung saja di sini, mereka-reka sedang berbuat apa para kakanda tercinta di Tanah Air? (Banu, 2020: 75).

Beberapa kaum pribumi begitu dekat dengan budaya Belanda. Mereka terpengaruh pada kebudayaan itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kedudukan kaum pribumi tetap tidak bisa setara dengan kaum Belanda sebagai penjajah. Mereka tetap dianggap liyan. Itu terlihat dalam kutipan berikut.

“Para schuterrij. Mereka

tidak setuju orang Asia menjalin hubungan dengan perempuan kulit putih. Engkau dan aku. Ini skdandal, kata mereka. Apalagi engkau Anak Negara. Ini akan mencoreng wibawa pemerintah dan merugikanmu. Aku bingung memikirkan masa depanmu, sekaligus hubungan kita.”

(Banu, 2020: 84).

Hubungan Raden Saleh dan Jonghe adalah hubungan yang dianggap tidak wajar. Pasalnya, Raden Saleh berasal dari kaum kulit hitam sedangkan Jonghe adalah kaum kulit putih. Oleh sebab itu, hubungan mereka di mata orang

Belanda adalah skandal. Bahkan, keluarga Jonghe sendiri juga menentang hubungan mereka. Meskipun, mereka tahu bahwa Raden Saleh adalah seorang yang memiliki pendidikan dan gaya hidup Belanda.

Hubungan asmara antara orang Belanda dan Pribumi memang selalu menorehkan cela. Pribumi dan Belanda adalah dua kutub kebudayaan yang tidak setara. Satu sisi berdiri sebagai dominan dan sisi lain berdiri sebagai subaltern atau liyan. Selain terjadi pada hubungan Raden Saleh, pandangan negatif hubungan asmara orang Belanda dan Pribumi juga terjadi pada pernikahan orang tua Ratna Juwita. Hal itu nampak pada kutipan berikut.

“Keluarga yang sempurna,”

Syamsudin menyela.

“Ternyata tidak juga,” sahut

Ratna. “Setelah Pierre berusia

10 tahun, mulai timbul ketidakcocokan antara Ambu dan Papa untuk hal-hal yang prinsip. Yah, sebut saja pergaulan sosial. Ambu selalu merasa menjadi orang asing yang dipandang aneh di lingkungan teman-teman Papa, juga di pihak keluarganya.”

“Lagu lama, ya? Dianggap,

maaf, bukan perempuan baik-baik oleh kedua belah pihak karena menikahi orang

(7)

150 Belanda, bukan?” potong

Syamsudin (Banu, 2020: 41). Kutipan di atas menjelaskan stigma negatif yang diterima oleh orang tua Ratna Juwita, khususnya ibu Ratna, akibat pernikahan mereka. Meskipun Ibu Ratna dalam kesehariannya bersikap dan banyak bergaul dengan orang Belanda, ia tetap dianggap tidak setara. Ia tetap seorang Pribumi yang posisinya sebagai subaltern, walaupu menikah dengan orang Belanda.

Pendidikan, gaya hidup, dan sikap meniru pribumi terhadap Penjajah tetap tidak menjadikan mereka setara dengan Penjajah, dalam hal ini Belanda. Selalu ada jarak yang diciptakan oleh Belanda untuk terus meneguhkan kolonialisme mereka. Hal ini terjadi pada diri Raden Saleh. Meskipun Raden Saleh adalah seorang dengan gaya hidup Belanda, ia tetap dianggap Pribumi. Raden Saleh dianggap sebagai masyarakat dari golongan yang tidak beradab. Hal itu nampak dari kutipan berikut.

“Sudahlah. Kuharap engkau

sudi menjaga sikapmu besok. Tidak ribut, tidak banyak bertanya. Ini pekerjaan besar

bagi kita semua.” Jihan

Kruseman mengubah air mukanya, berusaha menunjukkan penyesalan mendalam.

“Apakah kau kira, si orang

Timur ini, sedemikian liar?

Tak tahu batas sopan

santun?” gerutu Raden Saleh. “Aku manusia berpikir. Aku

gemar bertanya, tetapi aku juga paham semua tata cara, adab, dan budi pekerti, baik

di Jawa maupun di Eropa.”

(Banu, 2020: 78-79).

Raden Saleh bisa bersekolah di Belanda dan kemudian berlanjut ke beberapa Negara di Eropa adalah atas jasa Belanda. Ia dianggap sebagai anak Negara oleh Kerajaan Belanda. Kerjaan Belanda kagum atas bakatnya dalam melukis. Berbagai penghargaan telah didapatnya dari Kerajaan Belanda dan Negara Eropa lainnya, terutama dalam bidang kesenian. Namun, hal itu tidak bisa menutup kepribumian dalam diri Raden Saleh. Raden Saleh tetap dianggap sebagai pribumi yang suatu saat akan mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Hal itu nampak pada kutipan berikut.

“Soalnya, anak itu sudah

menjadi terlalu pintar untuk ukuran bangsanya. Aku melihat sendiri perkembangannya di studio lukis saudaraku,” kata

Johannes Diederik Kruseman, Direktur Jenderal Keuangan, sepupu Cornelis Kruseman, kepada Jean Chretien Baud, bekas Wakil Kepala Raad van Indie di Batavia yang baru saja menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ad interim, menggantikan Johannes van den Bosch.

(8)

151

Pembicaraan ini terjadi kira-kira dua bulan sebelum Baud berangkat kembali ke Hindia, menepati posisinya di Buitenzorg.

“Bila kita kembalikan

sekarang ke Jawa, di tengah suasana sosial yang belum benar-benar padam ini, aku khawatir dia bisa mengobarkan revolusi lain

yang berbahaya,” tambah Diederik Kruseman. “Ingat,

kita baru saja kehilangan

Belgia.” (Banu, 2020: 105).

Raden Saleh dituduh menjadi dalang sebuah pemberontakan di daerah Tambun yang memakan korban jiwa orang Belanda. Raden Saleh beserta keluarganya ditahan dan diinterograsi oleh pejabat-pejabat Belanda. Meskipun tuduhan itu terbukti tidak benar adanya, curiga Belanda terhadap Raden Saleh terus terpelihara,bahkan salah satu pejabat Belanda menyusupkan mata-mata ke rumah Raden Saleh. Hal itu tergambar pada kutipan berikut.

Raden Saleh mengatakan hubungannya dengan Demang Buitenzorg tidak begitu baik. Kabarnya, lantaran Demang tidak membalas kunjungan resmi Raden Saleh ke kediamannya. Selain itu, Demang juga terbukti menyelundupkan mata-mata wanita berkedok tukang cuci pakaian untuk

mencatat gerak-gerik Raden Saleh tak lama setelah peristiwa kerusuhan di Tambun. Saya kira Paduka masih ingat, Raden Saleh sempat diperiksa dan ditahan karena dicurigai sebagai dalang pemberontakan (Banu, 2020: 581).

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana kecurigaan Belanda terhadap Raden Saleh yang direpresentasikan oleh Demang Buitenzorg. Kutipan di atas adalah sebuah surat yang ditulis oleh Pangeran Kwasi Boakye kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kwasi Boakye adalah sahabat Raden Saleh sejak mereka bertemu di Belanda, bahkan hingga sama-sama menetap di Hindia. Dari surat tersebut, nampak ambivalensi terdapat pada diri Raden Saleh.

4. Simpulan

Penjajah selalu mewacanakan bahwa kebudayaan yang mereka bawa adalah kebudayaan yang terbaik dan paling beradab. Hal itu yang dilakukan pula oleh Belanda terhadap kaum pribumi di Hindia, atau sekarang Indonesia. Belanda selalu menanamkan pola pikir bahwa kebudayaan yang dibawa Belanda adalah kebudayaan yang beradab. Pola pikir yang dibentuk seperti itu, membuat penduduk pribumi berupaya untuk meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh

(9)

152

orang Belanda. Pribumi meniru Belanda dari gaya berpakaian, bahasa, properti, dan alat transportasi yang digunakan.

Pada dasarnya, Belanda sebagai penjajah tidak ingin kuasa dominannya goyah. Peniruan-peniruan yang dilakukan oleh Pribumi terhadap mereka adalah sebuah ancaman bagi kuasa dominan. Sebagai respon hal itu, Belanda tidak mau menganggap setara kaum pribumi dengan mereka. Bahkan ketika pribumi telah meniru gaya mereka sekalipun. Hal ini menyebabkan munculnya ambivalensi.

Ambivalensi yang terdapat pada novel Pangeran Dari Timur dialami oleh Raden Saleh dan Ibu dari Ratna Juwita. Keduanya adalah pribumi yang telah banyak menyerap kebudayaan Belanda. Raden Saleh menyerap ilmu pengetahuan dan kebudayaan Belanda melalui pendidikannya di sana. Sedangkan Ibu Ratna Juwita mendapatkan pengaruh Belanda dari suami dan keluarganya yang merupakan golongan bangsawan.

Meskipun kedua tokoh tersebut begitu giat hidup dengan cara Belanda, mereka tetap dianggap sebagai pribumi, kaum sublaltern. Hal itu dialami Raden Saleh dengan dituduh sebagai dalang salah satu pemberontakan di daerah Tambun. Selain itu, hubungan Raden Saleh dengan seorang Belanda bernama

Jonghe juga mendapat pertentangan dari pihak keluarga Jonghe.

Sama halnya yang dialami oleh Ibunda Ratna Juwita. Ia adalah istri dari seorang Belanda bernama Thadeus van Geelman. Ibunda Ratna Juwita hidup dalam lingkaran pendidikan Belanda karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Meskipun demikian, pernikahan mereka tetap mendapat pertentangan dari orang-orang Belanda sebagai kaum dominan. Muaranya, Ibunda Ratna Juwita mendapat pengasingan dari lingkungan sosial suaminya, Thadeus van Geelman.

Daftar Acuan

Alwadhaf, Y. H., & Omar, N. 2011. Narrating the Nation and its Other: The emergence of Palestine in the postcolonial Arabic novel. 3L: Language, Linguistics, Literature®, 17.

Arong, M. R. 2018. Temporality In Nick Joaquin's The Woman Who Had Two Navels. Kritika Kultura. (30), 455-473 Ashcroft, B. 1995. The Post-colonial

Studies Reader. London: Routledge. Banu, I dan Kurnia Effendi. 2020.

Pangeran Dari Timur. Yogyakarta: Bentang.

Fatimah, E. R. 2014. Nasionalisme dalam Cerpen “Mardijker” Karya Damhuri Muhammad: Kajian Poskolonialisme. Jurnal Poetika, 2(2).

(10)

153

Foulcher, K & Tony Day. 2008. Clearing a space: postcolonial readings of modern Indonesian literature (terj. Koeslah Soebagyo Toer dan Monique Soesman). Jakarta: Buku Obor. Jabrohim. 2015. Teori Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jamagidze, M. 2018. Frontier Orientalism and the stereotype formation process in Georgian literature. World Literature Studies, 10(1), 88-99. Jerome, C., Hashim, R. S., & Ting, S. H.

2016. Multiple literary identities in contemporary Malaysian literature: An analysis of readers’ views on Heroes by Karim Raslan. 3L: Language, Linguistics, Literature®, 22(3).

Jeyifo, B. 2004. Wole Soyinka Pilitics, Poetics, and Postcolonialism. New York: Cambridge University Press. Milles, Matthew B. & Hubberman,

Michael A. 2014. Qualitative Data Analysis A Method Sourcebook Third Edition. California: Sage Publications. Nasri, D. 2016. Ambivalensi kehidupan tokoh Larasati dalam roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer: Kajian pascakolonialisme. Madah, 7(1), 25-36.

Oktarina, D. (2018). Dari sudut pandang narator: Ambivalensi dan hibriditas dalam sja’ir Kompeni Welanda berperang dengan Tjina. Kandai,

14(2), 243-256.

Rakhman, A. K. 2014. Ambivalensi Nasionalisme dalam Cerpen “Clara Atawa Wanita Yang Diperkosa” Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian Poskolonial. Jurnal POETIKA, 2(2). Spivak, G. C. 1999. A Critique of

Postcolonial Reason Toward A History Of The Vanishing Present. London: Harvard University Press. Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian

Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Taufiqurrohman, M. 2018. Frantz FanonKebudayaan dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Wibisono, A., Waluyo, H. J., & Subiyantoro, S. 2018. Mimikri Sebagai Upaya Melawan dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer. Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 5(2), 37-43.

Widyaningrum, R. D. 2016. Analisis Postkolonial Kumpulan Cerpen Semua Untuk Hindia Karya Iksaka Banu, Nilai Pendidikan Karakter dan Relevansinya dengan Materi Ajar Kajian Prosa Fiksi di Perguruan Tinggi (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University)).

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor organisasi seperti kejelasan tujuan, pelatihan dan dukungan atasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Sehubungan dengan hal tersebut kami menginstruksikan kepada seluruh Tenaga Pendidik/Kependidikan dan mahasiswa untuk memperhatikan Standar Minimal Pengajuan Proses Penerbitan

Bagaimanakah pemanfaatan kajian terhadap gejala hibriditas, mimikri, dan ambivalensi tokoh yang terdapat dalam novel Pangeran Dari Timur dan novel Sang Raja

Hasil Penelitian menunjukan bahwa Kesesuaian alasan Kasasi yang diajukan Penuntut Umum dalam tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa dilengkapi ijin yang sah yang

Judex Factie telah salah dan keliru dalam menerapan hukum dan melanggar hukum yang berlaku, karena fakta-fakta yang dijadikan dasar sebagai pertimbangan hukum

Hasil perhitungan dari setiap metode HSS tidak bisa diputuskan yang paling sesuai dengan hidrograf terukur pada DAS Keduang, karena setiap metode HSS memiliki

Hubungan Antara Simpangan dan Waktu untuk Gerak FUulnonWk Sederhana dengan Pendekatan Analitik dan Numerik dengan Metode Euler-Cromer Berdasarkan tabel 3 dan graflk

Pada proses leaching dengan HCl, sebagian ilmenite akan terlarut menjadi FeCl 2 dan TiOCl 2 sedangkan yang tidak terlarut menunjukkan padatan kaya Ti yaitu