• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENALAN DAN LANGKAH LANGKAH PEMBELAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGENALAN DAN LANGKAH LANGKAH PEMBELAJA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENALAN DAN LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN AL-QUR’AN MENGGUNAKAN METODE TARTIL

1Sayfrimen Syafril, M. Ed, Ph.D, 2Nova Elina Yaumas, S. IQ, M. Ed

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Email: 1syafrimen@radenintan.ac.id, 2novaerlina@radenintan.ac.id

A. Pengenalan Tentang Metode Tartil

Ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam pembelajaran baca tulis al-Quran. Setelah memperhatikan proses pembelajaran al-Qur’an yang digunakan oleh guru-guru, tim terlebih dahulu memperkenalkan metode yang akan disampaikan kepada mereka. Sesuai dengan judul pengabdian yang dilakukan, metode yang diperkenalkan adalah “Metode Tartil”. Tim melihat tahapan ini sangat penting dilakukan sebagai jembatan antara tim dengan guru-guru al-Qur’an supaya mereka tidak merasa digurui dalam kegiatan pelatihan ini. Dengan perkataan lain tim menghantarkan supaya kegiatan pelatihan tersebut lebih kepada perkongsian (sharing) dalam penggunaan metode pembelajaran al-Qur’an. Yang pada akhirnya guru-guru tersebut dapat menilai dan memilih sendiri apakah metode yang diberikan oleh tim tersebut dapat mereka gunakan dalam proses pembelajaran al-Qur’an saat ini, dan pada masa yang akan datang ataupun sebaliknya.

Tim pengabdi tidak memberikan judgment yang prejudis (bias) bahwa metode Tartil yang diberikan kepada guru-guru merupakan metode terbaik untuk menggantikan posisi metode yang telah digunakan oleh guru selama ini. Tim hanya memaparkan secara objektif berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dialakukan oleh para sarjana terkait dengan penggunaan metode dalam pembelajaran al-Qur’an, sehingga guru-guru dapat menilai sendiri manakah metode yang terbaik dan sesuai untuk mereka gunakan dalam pembelajaran mereka.

(2)

kajian yang banyak dilakukan adalah terkait penggunaan metode Iqra’. Ini diperkirakan karena memang penggunaan metode Iqra’ lebih meluas dan masif digunakan oleh guru-guru dalam pembelajaran al-Qur’an hampir di seluruh Indonesia. Bahkan penggunaan metode Iqra tersebut meluas sehingga ke Negara jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darusslam.

Paling tidak tim memaparkan beberapa metode yang digunakan oleh guru-guru dalam pembelajaran al-Qur’an di Indonesia dan Negara-negara jiran tersebut. Di Indonesia contohnya, Metode Iqra’ merupakan pilihan terbanyak di kalangan guru-guru (63%), disusul secara berurutan dengan Metode Qira’ati (16%), Tilawati (8%), Tartila (6%), Baghdadi, Nahdliyah, dan Yanbu’ah masing-masing 2%. Hasil penelitian di Negara-negara jiran juga lebih kurang sama, karena secara umumnya metode yang digunakan di negera-negara tersebut banyak dipelajari dan dibawa dari Indonesia.

Berkaitan dengan lamanya waktu yang dihabiskan untuk murid-murid dapat membaca al-Qur’an menggunakan masing-masing metode tersebut adalah: Metode Iqra’ memakan waktu ideal 1 tahun bagi anak yang rajin dan cerdas, bagi murid yang agak lambat diperkirakan memakan waktu lebih dari 1 tahun. Metode Tilawati karena cara penyampaian materinya melalui sistem paket, maka proses pembelajaran memakan waktu lebih kurang 3 tahun. Sedangkan Metode Baghdadi lebih lama lagi yaitu lebih kurang 5 tahun. Ini dipaparkan kepada guru-guru berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain terkait dengan penggunaan masing-masing metode tersebut.

Seperti dipaparkan sebelum ini bahwa ide pembuatan metode Tartil dilakukan oleh H. Ghazali, S. IQ, S. Ag, MA, adalah dalam rangka untuk mencari berbagai alternatif terhadap permasalahan pembelajaran al-Qur’an yang terjadi di Sumatera Barat, dimana penulis sendiri (Ghazali, S. IQ, S. Ag, MA) adalah seorang yang sangat aktif mengajarkan al-Qur’an semenjak tahun 1970-an. Penulis sangat berpengalaman dalam menggunakan berbagai metode yang dipaparkan sebelum ini, terutama metode Bahdadiyah dan Iqra’ yang hampir rata-rata digunakan di TPA/TPQ/MDA yang terdapat di Sumatera Barat.

(3)

“kenapa proses pembelajaran al-Qur’an berjalan seperti itu? Murid-murid lama dapat membaca, kelas selalu ribut dan tidak terkendali, penggunaan waktu yang tidak jelas, dan proses pembelajaran tidak terukur? Sehingga beliau coba melakukan inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan yang ditulisnya sendiri, dengan tujuan coba mencari alternatif untuk dapatkan mengajarkan al-Qur’an kepada murid-murid dengan lebih praktis, lebih mudah dan menyenangkan. Akhirnya pada tahun 1990-an, tepatnya pada tahun 1998 beliau berhasil

melaunchingkan sebuah metode pembelajaran al-Qur’an yang beliau namakan dengan Metode Tartil.

Uji coba metode tersebut awalnya dipraktekan kepada anak-anaknya sendiri di rumah, dan kepada murid-murid TPA/TPQ dan MDA yang beliau bimbing sendiri. Setelah melihat adanya perbedaan hasil dalam pembelajaran al-Qur’an yang dijalankan menggunakan metode ini, dibandingkan dengan metode yang digunakan sebelumnya, akhirnya metode ini terus diuji cobakan kepada murid-murid Sekolah Dasar (SD) yang belum mampu membaca al-Qur’an. Pada mulanya hanya empat buah SD, terus berkembang kepada delapan SD, berkembang terus kepada 20 SD, dan akhirnya digunakan untuk semua SD (lebih kurang 400 buah SD) yang ada di kota Padang, Sumatera Barat. H. Ghazali coba membangun kerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah (PEMDA) Kota Padang, Sumatera Barat untuk menggunakan metode Tartil tersebut dalam rangka pemberantasan buta aksara al-Qur’an di kalangan murid-murid Sekolah Dasar. Kerja sama tersebut adalah dalam rangka menyahuti Peraturan Wali Kota (PERWALI) yang mewajibkan murid-murid usia SD dapat membaca al-Qur’an ketika mereka hendak masuk ke jenjang Sekolah Menengah.

(4)

Qur’an dengan baik. Akhirnya target PEMDA untuk mewujudkan anak-anak dapat membaca al-Qur’an sebelum masuk ke Sekolah Menengah dapat disimpulkan berhasil.

B. Langkah-Langkah Mengajar Al-Qur’an Menggunakan Metode Tartil

Pada bagian ini tim pengabdi melaporkan langkah-langkah proses pembelajaran menggunakan metode Tartil. Dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat ini, langkah-langkah inilah yang disampaikan kepada guru-guru al-Qur’an yang menjadi peserta dalam pengabdian ini. Dengan perkataan lain, paparan tentang langkah-langkah metode Tartil di bawah ini adalah merupakan rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat ini. Di bawah ini dipaparkan secara detil tahapan-tahapan materi pelatihan metode Tartil tersebut mulai dari pertemuan ke-1 hingga pertemuan ke-10,seperti dipaparkan dalam Tabel 3.1 pada permulaan penulisan bab ini.

(i) Memperkenalkan Cara Pengajaran Huruf Al-Qur’an Yang Belum Berbaris

Memperkenalkan huruf al-Qur’an yang belum berbaris merupakan langkah pertama dalam pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Tartil. Dalam metode Tartil H. Ghazali tidak mengunakan istilah huruf Hijaiyah tetapi beliau menggunakan istilah huruf al-Qur’an. Rasional penggunaan istilah huruf al-Qur’an itu adalah untuk menghindari perdebatan dan kerancuan

ketika memperkenalkan huruf-huruf al-Qur’an kepada murid-murid yang baru belajar al-Qur’an. Penggunaan istilah huruf Hijaiyah hingga saat ini masih terjadi perdebatan berkaitan dengan jumlah huruf Hijaiyah tersebut.

Paling tidak terdapat tiga pendapat terkait dengan huruh Hijaiyah ini, ada yang mengatakan berjumlah 28 huruf, sebagian mengatakan berjumlah 29 huruf dan sebagian lagi mengatakan

berjumlah 30 huruf. Perbedaan ini terjadi karena ada yang menyamakan antara huruf Hamzah (

ء

)

dengan huruf Alif (

ا

), dan huruf Lam Alif (

ע

) tidak dilihat sebagai satu huruf, tetapi adalah

gabungan dari dua huruf yaitu huruf Lam dan huruf Alif (

ل

dan

ا

).

(5)

seperti itu dalam menjelaskan huruf-huruf al-Qur’an tersebut akan menimbulkan kerancuan dan menyukarkan murid-murid dalam mehamami huruf-huruf al-Qur’an diajarkan kepada mereka. Dengan itu, untuk memudahkan proses pembelajaran al-Qur’an dalam metode Tartil H. Ghazali memudahkan dengan istilah-istilah yang tidak membingungkan murid. Dalam memperkenalkan huruf beliau menggunakan istilah “huruf al-Qur’an”. Menurut beliau kalau huruf al-Qur’an jumlahnya sudah pasti 30 huruf, karena al-Qur’an tidak mungkin dapat dibaca dengan baik dan benar kalau dikurangi satu atau dua huruf seperti yang diperdebatkan dalam memperkenalkan huruf Hijaiyah sebelum ini.

Dalam pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Tartil, H. Ghazali merasionalkan kepada guru-guru dalam bentuk contoh, seperti: Apakah mungkin ayat al-Qur’an yang terdapat

dalam surat al-Baqarah ayat 2 dapat dibaca dengan baik kalau huruf al-Qur’an Lam alif (

ע

) dihilangkan? Contoh:

Apakah mungkin ayat a-Qur’an surat al-Baqarah ayat 5 dapat dibaca dengan baik dan

benar kalau huruf hamzah (

ء

) dihilangkan? Coba dibaca ayat di bawah ini dengan menghilangkan huruf hamzah.



























Demikian seterusnya dengan seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Makanya menurut

H. Ghazali, untuk memudahkan murid-murid dalam belajar al-Qur’an, huruf Lam alif (

ע

) dan

huruf hamzah (

ء

) tersebut diperkenalkan sebagai huruf al-Qur’an, karena al-Qur’an tidak mungkin dapat dibaca dengan baik dan benar kalau kedua huruf tersebut tidak ada. Ini salah satu cara memperkenalkan huruf kepada murid-murid dalam proses pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Tartil yang agak sedikit berbeda dengan berbagai metode yang lain.

(6)

murid-murid dibimbing untuk mengenal 30 huruf al-Qur’an tersebut yang terdapat dalam berbagai bentuk.

Dalam memperkenalkan huruf-huruf al-Qur’an murid-murid dibimbing secara bertahap. Setiap pertemuan murid hanya diperkenalkan dua hingga tiga huruf. Bagaimanapun, sebenarnya tidak ada ketentuan baku dalam metode Tartil terkait dengan jumlah huruf yang mesti diperkenalkan setiap kali pertemuan. Proses pembelajaran dapat saja berjalan sesuai dengan kemampuan murid. Namun bagi murid-murid yang baru mula belajar al-Qur’an, berdasarkan pengalaman rata-rata mereka hanya cukup diperkenalkan dua sampai tiga huruf dalam satu kali pertemuan, yang berdurasi 45 hingga 60 menit untuk setiap kali pertemuanya.

Seperti disentuh sebelum ini, pertama sekali guru memperkenalkan huruf kepada murid dalam berbagai bentuk yang terdapat dalam al-Qur’an, ketika murid-murid selesai mepelajari huruf al-Qur’an yang belum berbaris, mereka langsung memahami huruf-huruf al-Qur’an tersebut dalam berbagai bentuk yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika guru menjelaskan huruf alif, guru akan menyampaikan bahwa “terdapat dua bentuk huruf alif di dalam al-Qur’an” yaitu huruf alif seperti dalam kolom pertama dan huruf alif seperti dalam

kolom keempat. Contoh di bawah ini adalah contoh yang digunakan dalam metode Tartil.

Setelah guru memperkenalkan bentuk-bentuk huruf alif itu, selanjutnya guru menjelaskan contoh bentuk-bentuk huruf alif tersebut dalam al-Qur’an. Guru menunjukkan contoh itu satu per satu kepada murid, sehingga murid benar-benar faham, tidak keliru, dan tidak asal baca. Yang paling penting dalam proses pembelajaran pada bagian ini adalah, guru harus memastikan murid dapat memahami bentuk masing-masing huruf tersebut yang terdapat dalam al-Qur’an.

(7)

padahal yang paling penting adalah mereka memahami bentuk-bentuk huruf yang terdapat dalam al-Qur’an. Untuk itu, dalam menjelaskan huruf-huruf al-Qur’an guru jangan hanya fokus kepada warna, tetapi yang lebih penting adalah fokuskan pada bentuk-bentuk huruf yang sedang dipelajari tersebut di dalam al-Qur’an. Warna di sini hanyalah untuk membantu memudahkan murid membedakan huruf yang sedang mereka pelajari dengan huruf yang belum mereka pelajari, seperti dicontohkan di bawah ini.

(8)

al-Qur’an kepada murid-muridnya dalam berbagai bentuk yang terdapat di dalam al-al-Qur’an, yaitu huruf ا- ل- م.

Sebelum pembelajaran ditutup pada sesi pertemuan tersebut guru memastikan murid-muridnya tidak salah dalam memahami bentuk huruf-huruf al-Qur’an yang telah mereka pelajari. Guru meminta murid satu per satu secara bergantian dan juga secara bersama-sama untuk membaca ulang huruf-huruf yang telah mereka pelajari, seperti ditunjukkan pada contoh di atas. Kegiatan evaluasi seperti ini terus dilakukan oleh guru setiap mau mengakhiri proses pembelajaran, dan huruf yang dievaluasi semakin lama semakin bertambah sesuai dengan jumlah huruf yang dipelajari.

(9)

al-Baqarah. Contoh secara terperinci untuk masing-masing huruf dapat lihat dalam buku metode Tartil Jilid 1 pada bagian cara memperkenalkan huruf al-Qur’an yang belum berbaris pada halaman 6-61. Ketika memperkenalkan huruf-huruf al-Qur’an tersebut, guru tidak sekedar memperkenalkan bentuk-bentuk huruf, tetapi guru langsung mempraktekkan dan menunjukkan kepada murid cara melafazkan huruf-huruf al-Qur’an tersebut dengan baik dan benar. Sehingga setelah murid mempelajari huruf-huruf al-Qur’an yang belum berbaris, mereka bukan saja dapat mengetahui dan memahami huruf dalam berbagai bentuk yang terdapat di dalam al-Qur’an, tetapi mereka juga dapat melafazkan huruf-huruf tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan cara melafazkan masing-masing huruf tersebut.

Di samping proses evaluasi secara bertahap sesuai dengan huruf-huruf yang dipelajari seperti dipaparkan sebelum ini, setelah guru berhasil memperkenalkan semua huruf al-Qur’an yang belum berbaris dalam berbagai bentuk yang terdapat di dalam al-Qur’an, untuk melihat keberhasilan proses pembelajaran tersebut, di dalam metode Tartil juga telah siapkan cara mengevaluasi secara keseluruahan terhadap huruf-huruf yang telah dipelajari, dengan cara membaca ayat yang telah disiapkan dalam metode tersebut. Dengan perkataan lain proses pembelajaran belum dapat diteruskan pada tahapan berikutnya sekiranya murid-murid masih banyak keliru dalam membaca huruf-huruf yang dipaparkan dalam ayat tersebut. Huruf-huruf yang dipaparkan dalam teks itu adalah huruf-huruf yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sekiranya murid-murid telah faham dengan huruf dalam berbagai bentuk seperti yang mereka pelajari sebelumnya, semestinya mereka tidak keliru ketika diuji menggunakan teks tersebut. Bagaimanapun, sekiranya masih terdapat murid-murid yang keliru dengan huruf yang telah mereka pelajari itu, maka huruf-huruf yang keliru itu diperbaiki kembali dengan cara mempelajari ulang pada bagian itu. Jadi murid dipandu kembali untuk membuka dan mempelajari huruf yang keliru tersebut seperti proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sebelumnya.

(10)

kembali kemampuan murid dalam memahami seluruh huruf yang telah mereka pelajari pada pembelajaran memperkenalkan huruf al-Qur’an yang belum berbaris. Ini adalah untuk memastikan murid-murid tidak ada lagi yang salah dan keliru dalam memahami huruf-huruf yang terdapat dalam berbagai bentuk di dalam al-Qur’an.

(11)

(ii) Memperkenalkan Cara Pengajaran Membaca Huruf dan Ayat Al-Qur’an yang Berbaris Satu

Seperti dipaparkan sebelum ini, untuk membimbing murid-murid belajar membaca huruf dan ayat al-Qur’an yang berbaris satu ini, mereka harus dipastikan terlebih dahulu tidak ada lagi yang keliru dalam memahami huruf-huruf al-Qur’an yang belum berbaris dalam berbagai bentuk yang terdapat dalam al-Qur’an. Setelah dipastikan oleh guru tidak ada lagi yang keliru, maka langkah selanjutnya dalam metode Tartil adalah “menunjukkan cara membaca huruf dan ayat al-Qur’an yang berbaris satu”.

Pada bagian ini H. Ghazali menyebut istilah “membaca huruf dan ayat al-Qur’an”, ini karena dalam proses pembelajaran pada bagian ini, murid-murid tidak hanya ditunjukkan bagaimana cara membaca huruf al-Qur’an yang berbaris satu dalam bentuk huruf-huruf tunggal, tetapi mereka juga langsung dibimbing membaca ayat al-Qur’an (surat al-Baqarah), namun mereka baru membaca ayat-ayat tersebut dengan baris satu. Dengan perkataan lain mereka tidak hanya membaca huruf yang berbaris satu itu dalam bentuk huruf yang berdiri sendiri, tetapi mereka sudah dibimbing oleh guru untuk membaca ayat al-Qur’an, namun ayat yang mereka baca baru sebatas berbaris satu, sementara tanda baca yang lain belum dibaca karena memang belum dipelajari. Dalam metode Tartil sudah disiapkan materinya seperti sedemikian (lihat buku metode Tartil jilid 1, hal: 67-77).

(12)

Contoh cara menjelaskan huruf yang ditunjukkan dalam tabel tersebut, adalah: Guru akan bertanya kepada murid, dengan cara menunjuk huruf al-Qur’an itu satu per satu. Misalnya guru menunjuk huruf ٻ, guru secara aktif melibatkan murid dengan cara bertanya “Anak-anak Ibuk/Bapak, ini huruf apa Naak? Karena sudah dipelajari sebelumnya tentu murid akan menjawab bahwa itu adalah huruf ٻ”. Kemudian guru menjelaskan bahwa huruf ٻ dalam bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan “BA”, huruf awalnya adalah “B”. Begitu seterusnya guru menjelaskan untuk semua huruf al-Qur’an tersebut sehingga murid benar-benar memahami huruf-huruf awal dalam bahasa Indonesia dari huruf al-Qur’an tersebut. Seperti disampaikan sebelum ini sekiranya murid sudah memahami huruf-huruf awal dalam bahasa Indonesia bagi setiap huruf al-Qur’an itu, maka sangat memudahkan untuk proses pembelajaran berikutnya.

(13)

berbagai macam istilah yang sebenarnya belum penting untuk mereka ketahui. Untuk itu dalam metode Tartil ini beliau mengurangkan penggunaan berbagai istilah yang lazim digunakan oleh guru-guru dalam pembelajaran al-Qur’an.

Melalui penelusuran ayat-ayat al-Qur’an mulai dari surat al-Fatihah hingga surat an-Nas, H. Ghazali mendapati bahwa bentuk baris satu itu adalah seperti ditunjukkan pada tabel 3.2 di bawah ini. sehingga tuntas. Tuntas dimaksudkan adalah murid benar-benar memahami sepenuhnya bentuk-bentuk baris satu tersebut seperti ditunjukkan pada tabel 3.1 di atas. Sekiranya penjelasan tentang ini belum tuntas, maka akan mempengaruhi proses pembelajaran berikutnya. Untuk itu guru belum boleh melanjutkan proses pembelajaran seterusnya sekiranya masih ada murid yang belum tuntas memahami bentuk-bentuk baris satu ini.

Setelah menjelaskan bentuk-bentuk baris satu yang terdapat dalam al-Qur’an seperti ditunjukkan pada tabel 3.2 sebelum ini, selanjutnya guru menjelaskan kata kunci cara membaca huruf dan ayat al-Qur’an yang berbaris satu tersebut. Dalam metode Tartil kata kunci itu sudah disiapkan, guru hanya perlu menjelaskan dengan baik kepada murid bagaimana cara membacanya sekiranya huruf dan ayat al-Qur’an itu berbaris di atas, berbaris di bawah, dan

berbaris di depan. Seperti dipaparkan sebelum ini “memperkenalkan bentuk baris satu, kata kunci dan cara membacanya” sangat penting dilakukan oleh guru sebelum mereka menunjukkan murid cara membaca huruf dan ayat al-Qur’an yang berbaris satu. Contoh kata kunci yang diberikan dalam metode Tartil adalah seperti dipaparkan pada Tabel 3.3 di bawah ini.

(14)

No. Baris Kata Kunci Contoh Huruf Awalnya Cara

Sumber: Dimodifikasi dari buku metode Tartil 1, hal: 71

Satu lagi cara yang dapat digunakan oleh guru untuk menjelaskan cara membaca huruf dan ayat-ayat al-Qur’an yang berbaris satu itu adalah dengan cara “membimbing murid membaca huruf-huruf al-Qur’an yang berbaris satu tersebut dalam bentuk huruf dasarnya”. Langkah ini agak mirip dengan cara pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Baghdadi, metode Iqra’, metode Qira’ati, dan mungkin juga metode-metode lain yang penulis belum ada pengalaman tentang itu. Bagaimanapun, dalam metode Tartil murid tidak perlu berlama-lama pada bagian ini. Target yang paling penting pada bagian ini adalah murid dapat memahami “bagaimana cara membaca huruf al-Quran” itu sekiranya berbaris di atas, berbaris di bawah dan berbaris di depan. Berdasarkan pengalaman penulis dan sebagian besar guru yang mengajarkan al-Qur’an menggunakan metode Tartil ini, cara memperkenalkan huruf al-Qur’an yang berbaris satu dengan cara seperti ini, sepertinya lebih sesuai untuk murid-murid yang belum bisa membaca rumi. Bagi murid-murid yang sudah bisa membaca rumi, kedua-dua cara tersebut efektif bagi mereka.

Untuk menunjukkan cara membaca huruf al-Qur’an yang berbaris satu dengan menggunakan huruf dasar ini, guru membimbing murid membaca satu per satu huruf-huruf al-Qur’an yang telah berbaris satu. Misalnya dimulai dari huruf ا, kalau berbaris di atas dibaca “A” berbaris

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

Cara guru menjelaskan kepada murid: Pertama, guru menunjuk huruf-huruf al-Qur’an tersebut

satu per satu sambil meminta murid membaca huruf-huruf yang ditunjuk oleh guru tersebut dalam keadaan belum berbaris terlebih dahulu. Setelah itu guru membimbing murid membaca huruf–huruf al-Qur’an tersebut dalam keadaan berbaris satu. Setelah murid dapat membaca ayat tersebut sesuai dengan barisnya, guru menunjukkan kepada murid cara membaca yang bagusnya. Cara membaca yang bagus dimaksudkan di sini adalah guru menunjukkan cara membaca dengan baik dan benar. Di mana yang seharusnya dibaca lama sudah dilamakan. Cara ini diulang-ulang beberapa kali oleh guru sehingga murid-murid mengerti dan memahami cara membacanya. Bagaimanapun di sini guru tidak perlu menjelaskan kenapa pada huruf-huruf tertentu dalam ayat tersebut guru membacanya “melamakan”.

Seterusnya guru menunjuk murid untuk membaca satu per satu secara bergantian, dan memastikan setiap murid membaca, cara membaca mereka adalah benar. Setelah beberapa orang membaca, guru meminta murid untuk membaca secara bersama-sama. Demikian seterusnya dilakukan secara berulang-ulang sehingga proses pembelajaran pada hari itu berakhir.

Catatan: guru harus memastikan murid membaca ayat tersebut berdasarkan kefahaman mereka terhadap pelajaran pada hari itu, bukan membaca karena ikut-ikutan, atau membaca ayat tersebut karena sudah hafal. Untuk menghidari itu, guru harus membimbing murid untuk membaca ayat berbeda yang terdapat yang sudah disiapkan dalam buku metode Tartil jilid 1 halaman 75-77.

(iii) Memperkenalkan Cara Pengajaran Membaca Ayat Al-Qur’an yang Bertanda Mati

(20)

kegiatan “apersepsi” terhadap materi yang telah disampaikan kepada murid-murid tersebut sebelumnya. Ini sangat penting dilakukan oleh guru setiap mengawali proses pembelajaran yang baru, supaya murid mudah membuat koneksi pemahaman antara materi yang telah mereka pelajari dengan materi yang akan disampaikan oleh guru pada pembelajaran saat ini.

Untuk mengenalkan cara membaca ayat al-Qur’an yang bertanda mati kepada murid,

langkah pertama yang mesti dilakukan oleh guru adalah memperkenalkan bentuk tanda matiه

tersebut terlebih dahulu. Ketika menjelaskan bentuk tanda mati ini, guru harus memastikan semua murid memahami dengan baik bentuk tanda mati tersebut. Setelah itu guru menunjukkan

kata kunci cara membaca ayat al-Qur’an apabila bertanda mati. Kata kunci yang digunakan dalam metode Tartil sebagai panduan bagi guru adalah “apabila huruf al-Qur’an itu bertada mati

(ه) maka yang tinggal adalah huruf awal dalam bahasa Indonesia dari huruf al-Qur’an itu”

(lihat buku metode Tartil 1, hal: 80).

Cara guru menjelaskan: guru menunjuk satu per satu huruf-huruf al-Qur’an tersebut dengan cara melibatkan murid secara aktif dengan cara bertanya kepada murid. Misalnya guru mau menjelaskan huruf , sambil menunjuk huruf guru bertanya kepada murid “Naak ini huruf apa ini naak?” tentu murid akan menjawab bahwa itu adalah huruf . Kemudian guru bersama-sama dengan murid kembali mengingat pelajaran sebelumnya bahwa huruf di dalam bahasa Indonesia ditulis “BA” huruf awalnya adalah “B”. Selanjutnya guru menunjukkan huruf “ ” sambil kembali bertanya kepada murid “Naak ini apa naak?” tentu murid akan menjawab huruf “BA bertanda mati”. Kemudian guru menunjukkan kata kunci kepada murid “Naak kalau huruf maka yang tinggal adalah huruf awalnya dalam bahasa Indonesia yaitu “B”. Begitu seterusnya guru menjelaskan kepada murid semua huruf-huruf al-Qur’an yang memiliki huruf awal dalam bahasa Indonesia sampai huruf ي, kecuali huruf (ا - ۃ - ע - ء) yang tidak ada huruf awalnya dalam bahasa Indonesia.

Catatan dari guru: Naak apabila huruf al-Qur’an itu bertanda mati maka yang tinggal adalah

huruf awal dalam bahasa Indonesia dari huruf al-Qur’an itu”. Murid-murid harus dapat memahami kata kunci ini dengan baik, sekiranya belum guru harus kreatif menjelaskanya kembali sehingga murid dapat memahami dengan baik.

(21)

Tabel 3.4 Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda mati, kata kunci dan huruf awal yang tinggal dari huruf al-Qur’an dalam bahasa Indonesia apabila huruf al-Qur’an itu bertanda mati

(22)

semakin ke belakang mereka semakin merasakan bahwa belajar membaca al-Qur’an itu mudah dan sangat menyenangkan, dan bukannya membebani. Di bawah ini adalah contoh ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan dalam metode untuk mempelajari membaca ayat al-al-Qur’an yang bertanda mati (lihat buku metode Tartil 1, hal: 82-84).

Cara guru menjelaskan: pertama sekali guru meminta murid membaca secara bersama-sama (klasikal) ayat al-Qur’an yang berbaris satu terlebih dahulu, sekaligus memastikan murid tidak keliru dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Selanjutnya guru coba mengkonekan pembelajaran sebelumnya (membaca huruf & ayat al-Qur’an yang berbaris satu) dengan pelajaran saat ini (membaca ayat al-Qur’an yang bertanda mati). Caranya guru menunjuk huruf yang terdekat dengan dengan huruf al-Qur’an yang bertanda mati tersebut.

Contoh: guru menunjuk huruf yang berbaris di atas, dengan cara bertanya kepada murid “Naak ini huruf apa Naak?” tentu murid akan menjawab huruf “Kaf berbaris di atas”. Kemudian guru bertanya lagi “huruf Kaf berbaris di atas, bagaimana cara membacanya Naak?” tentu murid akan menjawan “KA”.

Kemudian guru melanjutkan menunjuk huruf Lam yang bertanda mati , dengan cara

bertanya lagi kepada murid “Naak ini huruf apa naak?’ tentu murid akan menjawab “Lam bertanda mati”. Guru meneruskan “kalau huruf Lam bertanda mati, yang tinggal apa naak?” sambil berfikir mungkin murid akan menjawab “yang tinggal adalah huruf awalnya L”.

Kemudian guru meminta murid untuk menyambungkan “coba sambungkan Naak,

KA+L, bagaimana cara membaca Naak?” tentu murid akan menjawab “Kal”. Coba dibaca Naak

(23)

Setelah murid memahami proses tersebut dengan baik, selanjutnya guru membimbing murid untuk praktek membaca al-Qur’an yang berbaris satu dan bertanda mati. Ketika praktek membaca ini guru harus memastikan murid-murid tidak keliru dalam mempraktekan membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu dan bertanda mati ini. Praktek dilakukan secara bergantian oleh murid dan juga secara klasikal. Ketika satu murid membaca, murid-murid yang lain harus memperhatikan bacaan temanya, sehingga giliran dia membaca tidak lagi mengulangi kesalahan sama. Begitu seterusnya sehingga jam pelajaran habis.

Catatan: Guru harus memastikan muridnya membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu dan

bertanda mati tersebut berdasarkan pemahamn mereka, bukan ikut-ikutan, atau hafal, karena sudah sering ayatnya diulang-ulang. Untuk itu guru harus membimbing murid membaca ayat yang berlainan seperti yang dicontohkan dalam buku metode Tartil 1, hal: 82-84).

(iv) Memperkenalkan Cara Pengajaran Membaca Ayat Al-Qur’an yang Bertanda Tasydid

Sama seperti materi sebelumnya, untuk memulakan proses pembelajaran “membaca ayat al-Qur’an yang bertada tasydid”, guru memandu murid terlebih dahulu untuk mengulang membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu dan bertanda mati yang telah dipelajari sebelumnya. Seperti dipaparkan sebelumnya, ini adalah sebagai “apersepsi” atau mengingat kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya.

(24)

Tabel 3.5 Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda tasydid, kata kunci dan huruf awalyang tinggal dari huruf al-Qur’an dalam bahasa Indonesia apabila huruf al-Qur’an itu bertanda tasydid

Cara guru menjelaskan: pertama sekali guru meminta murid membaca secara bersama-sama (klasikal) ayat al-Qur’an yang berbaris satu dan bertanda mati terlebih dahulu, sekaligus memastikan murid tidak keliru dalam membacanya. Sekiranya guru melihat ada murid yang agak keliru, boleh saja diminta mengulang kembali sebelum memulakan materi yang baru, untuk memastikan materi sebelumnya semua murid memahami. Setelah itu guru menjelaskan “cara membaca ayat al-Qur’an yang bertanda tasydid”, dengan cara menunjuk huruf yang terdekat dengan dengan huruf al-Qur’an yang bertanda tasydit tersebut.

Contoh: guru menunjuk huruf Dal yang berbaris di atas , dengan cara bertanya

(25)

Kemudian guru melanjutkan menunjuk huruf Lam yang bertanda tasydid , dengan cara bertanya lagi kepada murid “Naak ini huruf apa naak?’ tentu murid akan menjawab “Lam bertanda tasydid”. Guru meneruskan “kalau huruf Lam bertanda tasydid, bagaimana Naak?” sambil berfikir mungkin murid akan menjawab “huruf awalnyadalam bahasa Indonesia menjadi dua LL”.

Kemudian guru meminta murid untuk menyambungkan antara huruf Dal yang berbaris di atas

dengan huruf Lam yang bertanda tasydid. “coba sambungkan Naak, DAA+LL, bagaimana cara membaca Naak?” tentu murid akan menjawab “Dall”. Coba dibaca Naak

tentu murid akan membaca “Hudallil”. Begitu setrerusnya cara guru memahamkan kepada murid sehingga murid benar-benar faham bagaimana cara ayat al-Qur’an yang bertanda tasydid.

Setelah murid memahami cara membaca ayat al-Qur’an yang bertada tasydid tersebut dengan baik, selanjutnya guru membimbing murid untuk praktek membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu, bertanda mati dan bertanda tasydid. Ketika praktek membaca ini guru harus memastikan murid-murid tidak keliru dalam mempraktekan membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu,

bertanda mati dan bertanda tasydid ini. Seperti biasanya, praktek dilakukan secara bergantian oleh murid dan juga secara klasikal. Ketika satu murid membaca, murid-murid yang lain harus memperhatikan bacaan temannya, sehingga giliran dia membaca akan bertambah bagus dan tidak mengulangi kesalahan sama. Begitu seterusnya sehingga murid-murid benar dapat memahami dengan baik cara membaca al-Qur’an sesuai dengan materi yang telah dipelajari.

Catatan:

Sampai materi ini seharusnya bacaan al-Qur’an murid sudah mulai enak didengar, karena mereka sudah mempelajari hampir di atas 70% materi yang ada. Guru harus memastikan muridnya membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu, bertanda mati dan bertanda taysdid tersebut berdasarkan pemahaman mereka, bukan ikut-ikutan, atau hafal karena sudah sering ayatnya diulang-ulang. Untuk itu guru harus membimbing murid membaca ayat yang berlainan seperti yang dicontohkan dalam buku metode Tartil 1, hal: 88-90).

Sekiranya ada huruf-huruf tertentu yang tidak bisa tercover melalui penjelasan dengan kata kunci seperti dijelaskan sebelum ini, maka guru harus menjelaskanya tersendiri untuk kasus tersebut, sehingga murid tidak keliru.

(26)

dipelajari sebelumnya, yaitu membaca huruf al-Qur’an yang berbaris satu, bertanda mati dan bertanda tasydid.

(v) Memperkenalkan Cara Pengajaran Membaca Ayat Al-Qur’an yang Bertanda Baris Dua

(27)

bertada baris dua” ini, guru melakukan apersepsi kepada murid terhadap materi sebelumnya dengan cara melihat kembali kemampuan membaca ayat al-Qur’an yang berbaris satu, bertanda mati dan bertanda tasydid yang telah dipelajari sebelumnya.

Selanjutnya memperkenalkan cara membaca ayat al-Qur’an yang bertanda baris dua diawali juga dengan mengenalkan bentuk baris dua tersebut kepada murid. Kemudian dilanjutkan dengan menunjukan kata kunci cara membaca ayat al-Qur’an apabila bertanda baris dua. Tabel 3.6 di bawah ini adalah contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda baris dua, kata kunci dan

cara membacanya.

Tabel 3.6 Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda baris dua, kata kunci dan cara membacanya

apabila huruf al-Qur’an itu bertanda baris dua huruf-huruf al-Qur’an yang berbaris dua itu dalam bentuk huruf dasarnya. Seperti dipaparkan ketika menjelaskan cara membaca huruf al-Qur’an yang berbaris satu, langkah ini agak mirip dengan cara pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Baghdadi, metode Iqra’ dan metode

Qira’ati. Penting diperhatikan di sini adalah murid dapat memahami bagaimana cara membaca huruf al-Quran yang berbaris dua di atas, berbaris duadi bawah dan berbaris duadi depan. Dari pengalaman penulis dan sebagian besar guru yang mengajar al-Qur’an menggunakan metode Tartil ini, cara memperkenalkan huruf al-Qur’an yang berbaris dua dengan cara seperti ini, lebih sesuai untuk murid-murid yang belum bisa membacarumi, karena kemungkinan agak sukar bagi mereka untuk memahami kata kunci seperti yang dipaparkan sebelum ini.

Untuk menunjukkan cara membaca huruf al-Qur’an yang berbaris dua dengan menggunakan huruf dasar ini, guru membimbing murid membaca satu per satu huruf-huruf al-Qur’an yang

berbaris dua. Misalnya dimulai dari huruf ا, kalau berbaris dua di atas dibaca “AN” berbaris

(28)

huruf al-Qur’an itu dibaca “AN”, dibaca “IN” dan dibaca “UN”. Dengan perkataan lain yang harus diperhatikan oleh guru adalah jangan sampai murid-murid membaca hanya sekedar ikut-ikutan atau hafal dimulut tanpa memahami kenapa dibaca seperti itu. Jadi yang paling penting di sini adalah pemahaman murid terhadap huruf al-Qur’an yang berbaris di dua atas, dua di bawah

dan dua di depan, kemudian cara membacanya.

(29)
(30)

Bagi murid yang sudah bisa membaca Rumi juga bisa dipandu dengan cara seperti ini. Akan lebih mudah lagi apabila mereka dibantu dengan menggunakan kata kunci “baris dua itu asalnya dari baris satu, apabila baris satu menjadi berbaris dua, maka cara membacanya disambung dengan bunyi “N”. Guru menjelaskan kepada murid kata kunci tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga murid dapat memahami dengan baik dan benar cara membaca ayat al-Qur’an yang berbaris dua tersebut.

(31)

berbaris dua dan Nun yang bertanda mati, bertemu dengan huruf yang bertanda tasydid, maka cara membacanya dihilangkan saja bunyi “N” nya, seperti ditunjukkan di bawah ini.

Begitu juga dengan contoh di bawah ini, huruf Dal berbaris dua di atas, seharusnya di baca “Dan” tapi setelahnya terdapat huruf Mim yang bertanda tasydid, makan cara membacanya tidak boleh “Dan” tetapi harus dibaca “Dam” dan cara membacanya harus didengungkan, karena huruf Dal yang berbaris dua di atas harus disambungkan membacanya dengan huruf Min yang bertanda tasydid setelahnya. Contoh-contoh seperti ini harus dijelaskan secara khsus oleh guru. Yang penting dicontohkan oleh guru adalah cara membaca yang benarnya.

(32)

guru menjelaskan pada contoh-contoh ayat yang lain, guru harus menunjukkan bacaan yang bagusnya kepada murid apabila ayat al-Qur’an itu berbaris dua di atas, di bawah dan di depan.

(33)

(dengung dan tidak berdengung), namun dalam metode Tartil guru pada bagian ini belum perlu menyentuh hal tersebut. Guru hanya diminta fokus terlebih dahulu untuk menunjukkan bacaan yang bagusnya kepada murid.

(vi) Memperkenalkan Cara Pengajaran Membaca Al-Qur’an dengan Sistem Lagu Murattal

Filosofi pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Tartil adalah murid dihantarkan untuk dapat membaca al-Qur’an dengan baik terlebih dahulu. Dari itu maka proses pembelajaran al-Qur’an semenjak dari awal, guru sudah harus mencotohkan cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar. Dalam hal ini adalah menggunakan cara membaca al-Qur’an dengan seni Tartil (Murattal). Mulai dari proses pembelajaran awal yaitu “memperkenalkan huruf al-Qur’an yang belum berbaris” sehingga proses pembelajaran seterusnya, guru sudah membimbing murid dengan cara “membaca al-Qur’an dengan sistem bacaan Murattal”. Sehingga ketika murid sudah dapat membaca al-Qur’an maka cara membaca al-Qur’an mereka adalah dengan suistem bacaan murattal.

Ini sekaligus oleh H. Ghazali dijadikan sebagai dasar dan rasional kenapa metode ini dinamakan “metode Tartil”. Seperti dikatakan sebelum ini murid-murid ketika sudah bisa membaca al-Qur’an, mereka langsung membaca dengan sistem bacaan murattal, tidak dengan cara bertatih seperti kebanyakan anak-anak yang baru bisa membaca al-Qur’an. Jadi ketika murid-murid sudah dapat membaca al-Qur’an, bacaan mereka sudah enak didengarkan karena mereka sudah membacanya dengan seni, walaupun hanya dengan seni tartil yang sangat sederhana.

Sebelum guru membimbing murid untuk praktek membaca al-Qur’an dengan sistem bacaan murattal, guru perlu menjelaskan kepada murid terlebih dahulu bentuk tanda “ ” ini, karena tanda ini baru saja dilihat murid pada permulaan mereka praktek membaca al-Qur’an

dengan sistem bacaan murattal. Dalam proses pembelajaran sebelumnya guru mengenalkan ملا

(34)

Cara guru menjelaskan: pertama guru menuliskan tanda ini di papan tulis, sambil menunjuk tanda ini guru bertanya kepada murid “Naak ini apa Naak”? Guru memberikan kebebasan kepada murid untuk menjawabya. Apapun jawaban yang diberikan oleh murid diapreseasi oleh guru.

Pengalaman penulis dan guru-guru yang mengajar al-Qur’an mengunakan metode Tartil ini, biasanya jawaban yang diberikan oleh murid adalah “garis melintang”. Guru tidak perlu mempermasalahkan jawaban ini, akan tetapi ini dijadikan saja sebagai bahan untuk memberikan pemahaman kepada murid. Naak apabila bertemu tanda seperti ini maka cara membacanya

lebih dilamakan. Bagaimana cara melamakannya, guru langsung mencontohkan dengan baik. Guru tidak perlu menggunakan istilah-istilah yang biasa digunakan oleh kebanyakan guru, seperti “lima harakat atau enam harakat”. Menurut H. Ghazali guru hanya perlu memerikan contoh cara membacanya, tidak perlu menjelaskan secara teoritis. Karena penjelaskan secara teoritis hanya akan memusingkan murid, karena mereka baru saja belajar al-Qur’an.

Setelah sampai pada bagian ini, seharusnya murid sudah dapat membaca al-Qur’an dengan baik. Untuk itu, setelah murid memahami bentuk ini, fokus selanjutnya adalah guru membimbing murid untuk praktek membaca al-Qur’an dengan seni murattal secara bergantian dan klasikal. Di dalam metode Tartil, untuk membantu murid supaya bisa cepat memahami cara membaca dengan seni murattal tersebut, sudah disiapkan kaset rekaman yang bisa didengarkan oleh murid, di luar proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

(35)
(36)
(37)

(vii) Memperkenalkan Cara Pengajaran Ilmu Tajwid Praktis

Proses pembelajaran al-Qur’an menggunakan metode Tartil mulai dari langkah pertama

hingga langkah keenam adalah menggunakan metode Tartil 1. Seperti dipaparkan sebelum ini, setelah murid-murid habis mempelajari metode Tartil 1 ini, dan dilanjutkan dengan praktek membaca al-Qur’an dengan seni lagu Murattal menggunakan al-Qur’an ataupun al-Qur’an satu Juzu’, seyogyanya murid sudah mulai dianggap matang dalam membaca al-Qur’an (matang dalam pengertian seperti dipaparkan sebelum ini). Dalam metode Tartil langkah selanjutnya yang harus dilakukan guru untuk mengukuhkan bacaan murid tersebut adalah mengajarkan ilmu tajwid praktis menggunakan metode Tartil 2.

Sewaktu murid mempelajari ilmu tajwid praktis ini, sebenarnya mereka sudah dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar seperti disyaratkan dalam ilmu tajwid, hanya saja murid-murid belum memahami kenapa mereka membacanya seperti itu, karena memang proses pembelajaran sebelum ini tidak pernah menyentuh ilmu tajwid tersebut. Namun mereka telah diajarkan cara membaca yang baik sesuai dengan panduan ilmu tajwid tersebut, hanya saja mereka belum diajarkan rasionalnya kenapa dibaca seperti itu.

Berdasarkan pengalaman penulis sendiri dan guru-guru yang menggunakan metode Tartil ini dalam pembelajaran al-Qur’an, proses pembelajaran seperti ini ternyata lebih efektif daripada mengajarkan ilmu tajwid secara teoritis, sementara murid belum pernah memiliki pengalaman dalam praktek membaca yang baik dan benar sebelumnya. Dalam istilah psikologi pendidikan, inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan pembelajaran melalui pengalaman (learning by experience), atau disebut juga inquiry learning. Murid-murid telah melalui pengalaman itu sebelumnya, namun mereka belum diberi tahu istilah dari pengalaman yang mereka lalui itu.

(38)

dan tanda-tanda waqaf wal ibtida’. Menurut H. Ghazali, kalau tujuan sementara hanya untuk mengantarkan murid dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, sebenarnya cara seperti inilah yang paling diperlukan oleh murid, bukanya istilah-istilah yang membebankan fikiran mereka, namun tidak dapat mengantarkan mereka membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Sementara beban otak mereka sudah dipenuhi dengan berbagai istilah ilmu tajwid.

H. Ghazali mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman beliau mengajarkan al-Qur’an semenjak tahun 1970-an, proses pembelajaran yang terlalu banyak menggunakan istilah yang mesti dihafal dan diingat oleh murid, menjadikan murid cepat jenuh dan terkadang sulit memahami materi yang disampaikan oleh guru. Akhirnya berbuntut panjang pada lamanya waktu yang diperlukan oleh murid untuk dapat membaca al-Qur’an dengan baik. Dan tidak jarang juga yang sudah terlalu lama belajar, namun mereka tidak dapat juga membaca al-Qur’an, akhirnya mereka berhenti dalam keadaan yang belum bisa membaca al-Qur’an. Menurut beliau ini adalah salah satu penyebab ramainya anak-anak tidak dapat membaca al-Qur’an seperti terlihat saat ini.

Berikut ini dipaparkan cara pengajaran ilmu tajwid praktis menggunakan metode Tarti 2.

1. Mad dan Qashar “melamakan dan menyegerakan bunyi bacaan al-Qur’an”.

Dalam hal ini, H. Ghazali tidak menggunakan istilah panjang dan pendek. Menurut beliau pajang dan pendek agak susah diukur ketika membaca al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dengan mad hanya bisa diukur dengan rasa. Rasa tentu tidak bisa diukur dengan panjang dan pendek, tetapi lebih tepat kalau digunakan ukuran

melamakan dan menyegerakan. Dari istilah yang digunakanpun juga kurang sesuai, kalau diartikan panjang tentu istilah yang lebih sesuai digunakan adalah thawiil.

Di bawah ini dipaparkan beberapa kata kunci “kapan bunyi bacaan” al-Qur’an itu dilamakan”:

(39)

b. Apabila ada huruf yang berbaris di bawah , kemudian diikuti oleh huruf Ya bertanda mati

(40)

Ketiga-tiga kata kunci yang dipaparkan di atas merupakan contoh kapan membaca ayat al-Qur’an itu dilamakan. Bagaimana cara melamakanya, dan berapa lamanya? Guru harus mencontohkan dengan baik dan benar. Karena cara dan berapa lamanya hanya bisa ditangkap dengan rasa. Untuk itu guru harus mencontohkan cara membacanya dengan baik. Jadi ketika membaca al-Qur’an bertemu dengan tiga kata kunci tersebut, cara membacanya wajib dilamakan selama tidak ada sesudahnya huruf lain yang bertanda mati

dan bertanda tasydid , contoh: . Kalau mengikuti kata kunci di atas,

seharusnya huruf Ha dibaca lama karena setelah huruf Ha berbaris di atas

terdapat huruf alif yang tidak berbaris, tetapi di sini tidak boleh dilamakan karena setelahnya terdapat huruf lain yang bertanda tasydid.

Setelah guru menerangkan kata kunci di atas, selanjutnya murid-murid dibimbing untuk praktek membaca al-Qur’an dengan fokusnya pada tanda-tanda mad yang sedang mereka pelajari. Guru harus memastikan materi yang baru dipelajari dapat dipraktekan dengan baik oleh murid. Guru meminta murid membaca secara bergantian satu per satu, berkelompok dan klasikal. Ketika salah seorang teman membaca, murid-murid yang lain diminta memperhatikan bacaan temanya yang sedang membaca, sekiranya terjadi kesalahan dalam membaca dan dibenarkan oleh guru, murid yang lain diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama ketika giliran dia membaca.

(41)

Berikut ini adalah contoh-contoh ayat yang untuk praktek yang digunakan dalam metode Tartil (Q.S. al-Baqarah, ayat: 22-23).

(42)

Kata kunci berikutnya adalah apabila huruf al-Qur’an tersebut berbaris tegak lurus

atau berbaris di depan terbalik, seperti ditunjukkan pada contoh di bawah ini. Apabila bertemu tanda-tanda seperti itu, maka cara membacanya harus dilamakan. Sama juga seperti kata kunci sebelum ini, untuk cara melamakanya dan berapa lamanya? Guru harus menunjukkan cara membacanya dengan baik. Guru tidak boleh hanya menyampaikan secara teoritis, justeru untuk memantapkan dan memperbaiki bacaan murid tersebut adalah dari contoh-contoh yang ditunjukkan oleh guru tersebut. Jadi keberhasilan guru membimbing murid untuk memahami ilmu tajuwid praktis ini bergantung kepada penjelasan dan contoh-contoh secara langsung cara membacanya yang ditunjukkan oleh guru.

(43)
(44)
(45)

pemikiran murid-murid, yang akhirnya akan membosankan mereka dalam proses pembelajaran.

2. Ghunnah dan Bila Ghunnah “mendengungkan dan tidak mendengungkan bunyi bacaan al-Qur’an”.

Untuk memberikan pemahaman kepada murid tentang dengung dan tidak tidak berdengung (Ghunnah dan Bila Ghunnah), dalam metode Tartil terdapat tiga kata kunci yang dapat digunakan oleh guru untuk menerangkan Ghunnah dan Bila Ghunnah tersebut. Ketiga-tiga kata kunci itu seperti dipaparkan di bawah ini.

a. Apabila ada Nun bertanda mati dan baris dua

Kata kunci yang pertama adalah dan baris dua , guru menerangkan

kepada murid bahwa apabila huruf Nun bertanda mati dan baris dua

(46)

membacanya tidak boleh didengungkan. Sebaliknya apabila diikuti selain dari huruf yang Sembilan tersebut maka membacanya wajib didengungkan.

Bagaimana cara membacanya, guru harus mencontohkan kepada murid dengan baik dan benar. Menurut penulis metode Taertil (H. Ghazali), guru tidak perlu terlalu banyak teori dalam menjelaskan ini, tetapi harus diperbanyak praktek membacanya. Guru menunjukkan kemudian langsung dipraktekan oleh murid. Kegiatan ini terus dilakukan dan dibaca secara bergantian sehingga murid-murid benar-benar memahami cara membacanya. Seperti ditunjukkan pada contoh di bawah ini.

(47)

b. Apabila ada Mim bertanda mati

Kata kunci yang kedua adalah “apabila ada Mim bertanda mati ” sesudahnya diikuti

oleh huruf

ٻ

dan

م

maka cara membacanya wajib didengungkan. Sebaliknya “apabila ada

Mim bertanda mati ” sesudahnya diikuti oleh selain dari huruf

ٻ

dan

م

maka cara membacanya tidak boleh didengungkan. Di bawah ini ditunjukkan contoh untuk keduanya yaitu mim bertanda mati yang wajib dibaca berdengung, dan mim bertanda matiyang tidak boleh dibaca berdengung. Untuk cara mendengungkan dan tidak mendengungkan guru harus menunjukkan cara membaca yang benarnya.

(48)

c. Apabila Mim bertanda tasydid dan Nun bertanda tasydid

Kata kunci yang ketiga adalah apabila ada Mim bertanda tasydid dan Nun bertanda

(49)

3. Waqaf dan Ibtida’ “menghentikan dan mengulangi kembali bacaan al-Qur’an”.

Dalam metode tartil yang dimaksudkan dengan waqaf adalah menghentikan bacaan al-Qur’an, baik untuk tidak meneruskan maupun untuk meneruskan kembali bacaan al-Qur’an tersebut. Sedangkan ibtida’ diartikan dengan memulai kembali bacaan al-Qur’an setelah menghentikanya, walaupun hanya sekedar untuk mengambil nafas.

(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)

C. Evaluasi Pengabdian

Seperti dipaparkan sebelum ini, karena kegiatan pengabdian ini berbentuk kegiatan pelatihan, maka untuk mengevaluasi keberhasilan kegiatan tersebut tentunya setelah guru-guru itu turun mengajar murid-murid mereka setelah mendapatkan pelatihan dari Tim dari IAIN. Dalam rencana kegiatan ada disebutkan bahwa proses evaluasi akan dilaksanakan pasca pelatihan, tujuanya adalah untuk melihat perkembangan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru setelah mereka mengikuti pelatihan.

(56)

pembelajaran al-Qur’an yang mereka lakukan, dan bagaimana perkembangan murid-murid dengan menggunakan metode pembelajaran yang mereka lakukan. Kegiatan ini sekaligus dijadikan sebagai ajang evaluasi untuk melihat kembali apakah proses pembelajaran yang dilalukan oleh guru-guru tersebut sudah sesuai dengan tuntutan metode yang mereka pelajari atau belum.

Tim pengabdian masyarakat dari IAIN terus berkoordinasi dengan pihak PEMDA terkait pemantauan perkembangan kegitan tersebut. Tim selalu terbuka untuk memberikan pendampingan secara berkesinambungan terkait dengan metode yang diajarkan kepada guru-guru. Tim pengabdian dari IAIN juga membuka ruang secara terus menerus dalam bentuk konsultasi dam bimbingan kepada guru-guru al-Qur’an tersebut. Apakah bentuk bimbingan dan pendampingan itu melalui telephon, komunikasi melalui email, FB Chat, ataupun mereka secara langsung datang ke kampus IAIN untuk menanyakan hal-hal yang menjadi kemusykilan mereka terkait dengan proses pembelajaran al-Qur’an yang mereka lalukan.

Gambar

Tabel 3.2  Bentuk baris satu di atas, di bawah dan di depan yang terdapat   dalam al-Qur’an
Tabel 3.4 Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda mati, kata kunci dan huruf awal yangtinggal dari huruf al-Qur’an dalam bahasa Indonesia apabila huruf al-Qur’an itubertanda mati
Tabel 3.5 Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda tasydid, kata kunci dan huruf awal yangtinggal dari huruf al-Qur’an dalam bahasa Indonesia apabila huruf al-Qur’an itubertanda tasydid
Tabel 3.6Contoh huruf-huruf al-Qur’an yang bertanda  baris dua, kata kunci  dan  cara membacanyaapabila huruf al-Qur’an itu bertanda baris dua

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir-pemikir sosial abad ke 19 seperti Aguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx dan Sigmund

Setiap ada tugas mandiri kelompok yang aktif mengerjakan hanya beberapa orang saja yang lain pasif, dan ada sebagian dari mereka keluar kelas ketika masih

Pada siklus kedua ketiga puluh tiga orang guru tersebut mencantumkan bahan pembelajaran dalam Rencana penilaian prosesnya meliputi ruang lingkupnya, kesesuaian

Meskipun pada umumnya pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir harus mengikuti proses perizinan lima tahap (Multi-step licensing) dan mengajukan izin untuk setiap

REVIU   PERATURAN   PENGANGKUTAN   ZAT   RADIOAKTIF   DI 

Pengaruh Karakteristik Usaha Tani Terhadap Posisi Tawar Petani Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Serdang Bedagai ...33. Permasalahan dan Penyelesaian

Peraturan Bupati Bogor Nomor 59 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berfikir, model Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berfikir, model strategi pembelajaran peningkatan kemampuan