BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan
para pelaku1
Pembagian sebagaimana dalam Trias Politica dikonsepsikan oleh Jhon
Locke (1632-1704) membagi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) membagi
tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga tersebut
diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih
diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dalam masa orde . Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan
dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai dan tunduk pada kekuasaan.
Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan
sebagai legitimasi atas kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu
sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah
pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain. Untuk itulah
kekuasaan di dalam Negara perlu dan bahkan harus dibagi.
1
baru kekuasan bersifat sentralistik, akan tetapi amandemen UUD 1945
memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia kekuasaan eksekutif dari masa
orde baru bersifat sentralistik sehingga Kepala Desa menjadi pusat kekuasaan
dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kekuasan eksekutif
berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang dan melakukan kontrol terhadap lembaga pembuat undang undang ini
disebabkan oleh beberapa hal. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden
(Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang
ada pada eksekutif. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif mempunyai tugas
bertanggung jawab atas pelaksaan hukum, mengawasi jalannya pemerintahan sipil
dan militer dan melakukan kepemimpinan politik atas lembaga pembuat UU.
Pada masa orde baru desa mempunyai kewenangan dalam mengatur
desanya, yang diatur berdasarkan keputusan menteri dalam negeri tentang
pedoman umum kewenangan desa2
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. . Dalam UU No 32 Tahun 2004 Pasal 206
Desa mempunyai wewenang yang mencakup:
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa.
2
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan
diserahkan kepada desa.
Dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh
pemerintah desa bersama dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Pemerintah desa selaku kekuasaan eksekutif di desa memiliki peran aktif dalam
menentukan kebijakan dan peraturan desa. Pemerintah desa merupakan lembaga
kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan
yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini
BPD juga berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pembentukan Peraturan Desa yang
melibatkan Kepala Desa dan BPD disebabkan BPD merupakan lembaga yang
merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan urusan pemerintah
lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan pada desa. Di awal
reformasi adanya pergeseran sistem pemerintahan daerah, yang semula bersifat
daerah yang diberikan kepada derah kabupaten/kota dan pemerintahan desa.
Implementasi dari perubahan ini mengakibatkan tidak hanya perubahan pola
hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan kecamatan, tetapi juga
hubungan antara kecamatan dan pemerinatahn desa3
1. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
. Berdasarkan
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kecamatan mempunyai
kewenangan yang mencakup:
2. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum.
3. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan.
4. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum.
5. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan.
6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan.
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa
atau kelurahan4
Wewenang Kecamatan yang secara langsung didapatkan oleh Camat
hanya sebatas mengkoordinir beberapa bidang saja, selain yang telah disebutkan
harus melalui pelimpahan wewenang yang bersifat delegasi dari kepala daerah.
Hal ini menempatkan seorang Camat pada posisi yang dilematis, satu sisi Camat
mempunyai wilayah dan sisi lain tidak mempunyai kewenangan yang luas dalam
memimpin bawahannya, seperti Kepala Desa dan Lurah, dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada
Camat dan kecamatan akan memberikan ruang gerak yang cukup luas dalam
melaksanakan tugasnya, namun kebanyakan pelimpahan wewenang ini tidak
disertai dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga pelaksanaannya
belum terlalu maksimal.
Dalam implementasi otonomi daerah kekuasan desa berada pada elit
politik desa yakni Kepala Desa. Kekuasaan Kepala Desa sebagai Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa yang menjadi otoritas Kepala Desa. Dalam hal ini kekuasaan
desa juga jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa.
Dalam dominasi kekuasan desa cenderung menyimpang akan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya
pembagian kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa dan
perangkat desa. Kekuasan desa berada di bawah Kecamatan, dalam laporan
pertanggungjawaban desa disampaikan kepada Bupati/Walikota. Kecamatan
merupakan suatu wilayah administratif yang dimana Camat yang mempunyai
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Kekuasaan
Camat membina penyelenggaraan pemerintahan desa dalam menjalankan
program-program yang dilakukan oleh desa dalam dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan
UU No 5 Tahun 1979 hubungan kerja antara Kepala Desa dengan camat yang
semula bersifat hirarki-subordinatif, sekarang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004
menjadi bersifat pengawasan, pembinaan, fasilitasi dan kerjasama.
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi
kekuasaan antara Kepala Desa dan Camat. Dimana pola relasi kekuasaan
sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, dalam pelaksanaannya
diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak harmonis dan menunjukkan terjadinya
dominasi Camat ke Kepala Desa. Wujud dari terjadinya hubungan yang tidak
harmonis antara Kepala Desa dan Camat terlihat sejauh mana program-program
yang berelesasi yang dilakukan dan menjalin komunikasi antara Kepala Desa dan
Camat.
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas peneliti memiliki ketertarikan
untuk membahas relasi kekuasaan, Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul
B. Rumusan Masalah
Dalam menjalankan suatu program dalam desa adanya relasi dengan
Kecamatan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Namun dalam pelaksanaan nya,
kekuasaan Kepala Desa cenderung memperlihatkan dominasi kekuasaannya. Dari
pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan?
C. Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian ini, perlu membuat pembatasan masalah
terhadap apa yang diteliti, dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi ruang
lingkup penelitian dan hasil penelitian dan tidak menyimpang dari tujuan
penulisan yang ingin dicapai. Penelitian ini berfokus pada Relasi kekuasan antara
Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana relasi kekuasan antara Kepala Desa
dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti
maupun bagi orang lain, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan baru bagi
peneliti dan mengembangkan kemampuan berfikir untuk menulis karya
ilmiah.
2. Penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan tentang relasi kekuasaan
antara Kepala Desa dengan Camat.
3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan
menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
F. Kerangka Teori 1. Teori Kekuasaan
Kekuasan merupakan konsep yang sangat krusial dalam ilmu sosial pada
umumnya, dan dalam ilmu politik khususnya dalam hal ini politik beranggapan
bahwa kekuasaan inti dari politik yaitu untuk memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan sangat berkaitan dengan pengaruh dan
mempengaruhi. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam
artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the
perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh
para ahli. Talcott Parson seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo5
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya
kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem
organisasi kolektif (Power then is generalized capacity to secure the
performance of binding obligations by units in a system of collective).
:
Jadi, Parson melihat segi positif dari kekuasaan jika di hubungkan dengan
authority dan kemungkinan-kemungkinan. Rencana-rencana bersama dapat
terlaksana dengan baik. Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan
menurut Max Weber dan Barbara Goodwin.
Sebagaimana yang dikutip dari buku Miriam Budiarjo “ Dasar-Dasar Ilmu
Politik” menurut Max Weber dalam bukunya Wirtschaft Und Gessellsaft (1922),
kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :
Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,
melaksankan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa
pun dasar kemampuan ini (Macht beduetet jede chance innerhalb einer
soziale bezieung den eigenen willen durchzusetchen auch gegen
widerstreben durchzusetchen, gleichviel worauf diese chance beruht)6
5
Miriam Budiarjo. Ibid Hal 63.
.
6
Gagasan yang disampaikan oleh Max Weber, kekuasaan adalah
kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat
akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
Sebagaimana yang dikutip dari buku Rudi Salam Sinaga “ Pengantar Ilmu
Politik” menurut Barbara Goodwin, kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak
dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya dia
tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya7
Dalam pandangannya, Goodwin biasanya kekuasaan diselenggarakan
melalui isyarat yang jelas. Ini sering dinamakan kekuasaan manifest. Namun
kadang-kadang isyarat itu tidak ada. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan
kekuasaan eksplisit. Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk
mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai
dengan keinginan pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi
yang disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan
bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai
dengan yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi .
7
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah,
kemampuan untuk memberi keputusan.
Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang
berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang
berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu
hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan
atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat
melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun
dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi
serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.
Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi
karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi
karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan
bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa
menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas
dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan
tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik
yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa
menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya
dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya
legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat
secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan
pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria
tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum
pula.
Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu
pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan yang tidak
seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan
ketergantungan (dependency) dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar
pulasifat ketergantungannya. Hali ini oleh generasi pemikir decade 20-an sering
disebut sebagai dominasi, hegemoni, atau penundukan. Istilah wilayah kekuasaan
(domain of power) melihat siapa-siapa saja yang di kuasai oleh orang atau
kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelak, kelompok organisasi atau
kolektivitas yang kena kekuasaan.
Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan
menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan8. Untuk memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti
seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi
yaitu9:
8
P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130. 9
1. Dimensi Potensial dan Aktual
Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial
apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti
kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial
yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang
yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan
sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara
efektif.
2. Dimensi Konsensus dan Paksaan
Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan
kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan
consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus
dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang
tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan
masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada
aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai
perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.
3. Dimensi Positif dan Negatif
Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan
ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum
ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan
kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan.
Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber
kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya
dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.
4. Dimensi Jabatan dan Pribadi
Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan
terkandung erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang
terkandung dalam jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi
yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan.
Dalam masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan
atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung
di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan
kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi.
5. Dimensi Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan
kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit
adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan
dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan
kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak
6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan
untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan
melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang
termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan
fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian,
status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara,
kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan
kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber
kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik
dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai
pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan
politik.
2. Teori Birokrasi
Secara etimologis Birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Perancis) dan
Kratos (bahasa Yunani). Bureau adalah meja tulis dan kratos adalah
pemerintahan. Secara sedehana dapat di katakana bahwa Birokrasi adalah
pemerintahan dari meja ke meja atau di balik meja, atau juga orang-orang yang
bekerja di belakang meja tulis di kantor-kantor. Namun, pengertian tersebut
berkembang, dalam artian politik, Birokrasi di artikan sebagai wujud dari aparat
serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat utuk
menentukan kebijakan.
Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman yang kenamaan awal abad
ke-19 menulis karya yang sangat berpengaruh bagi negara-negara yang berbahasa
inggris dan di Negara-negara di daratan Eropa. Konsep yang terkenal Max Weber
adalah konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang
kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau
bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya
menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasiitu profesional dan rasional
dijalankan. Tipe ideal merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita
memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan.
Menurut Weber bahwa proses semacam ini bukannya menunjukkan
objektivitas dari esensi birokrasi, tipe ideal itu bias dipergunakan untuk
membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang
lain. Menurut Weber tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi
atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi
dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan aspek
Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut10
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatanya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan
individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan
jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya. :
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah
dan samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan
ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih
kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara
spesifik berbeda satu sama lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan
domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus
dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. Setiap pejabat disileksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya,
idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun
sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap
10
pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan
jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri
dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang
objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya
dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu
sistem yang dijalankan secara disiplin.
Butir-butir tipe ideal tersebut tidak semua bisa diterapkan dalam kondisi
tertentu oleh suatu jenis pemerintahan tertentu. Penekanan Weber terhadap
rasionalitas dan efisiensi sebenarnya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya yang
melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Dengan demikian, ukuran
rasionalitas atas efisiensi amat berbeda dengan kriteria untuk ornanisasi zaman
modern sekarang ini yang kondisinya tidak sama dengan zamannya Max Weber.
Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin
yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
Gagasan birokrasi dikemukakan oleh Hegel dan Karl Marx, pemikiran
Karl Marx terhadap birokrasi merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan
secara terbatas dalam hubungannya dengan administrasi negara. Pandangannya
perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Karl Marx
mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel
tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai
suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintahan) dengan
masyarakatnya.
Karl Marx bisa menerima konsep pemikiran Hegel tentang ketiga aktor
tersebut, yakni : birokrasi, kepentingan particular, dan kepentingan general
(pemerintahan). Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok
partikular yang sangat spesifik11
Birokrasi menurut Karl Marx merupakan isntrumen kelas kapitalis. Oleh
karena itu, melalui revolusi proletariat dan kehadiran kelas-kelas di dalam
masyarakat maka negara dan birokrasinya harus dihancurkan. Menurut Karl Marx
di dalam masyarakat komunis itu dimana tidak ada eksploitasi dan pembagian
sosial maka keberadaan birokrasi itu merupakan upaya tidak ada artinya karena
redundant. Dengan demikian, pengganti struktur opresif dari birokrasi yang
. Birokrasi bukanlah kelas masyarakat, walaupun
eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas
tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah alat negara atau
pemerintahan itu sendiri. Birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh
kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial
lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang
mendominasi tersebut.
11
terpisah dan antagonis dari masyarakat, di dalam negara komunis fungsi birokrasi
itu dilakukan oleh semua anggota masyarakat.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko
dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang
berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data, menyajikan data-data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat
komperatif dan korelatif12
2. Lokasi Penelitian
.
Pelaksanaan penelitian ini diadakan di desa Sirisirisi, Kecamatan
Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan metode
kualitatif, penelitian sama-sama mempersoalkan reliabilitas, validitas, pengukuran
dan alat ukur juga berbeda13
12
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44.
. Metode kualitatif juga akan memberikan rincian
tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif. Penelitian
kualitatif dalam mendiskripsikan relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan
Camat.
13
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu
observasi dan wawancara14
4. Teknik Pengumpulan Data
. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode
kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). Key
informan yang dipilih yaitu Kepala desa Sirisirisi, Sekretaris desa, mantan Kepala
desa, Camat serta seksi pemberdayaan masyarakat dan desa dengan daftar
pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan
wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat
memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai
dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar
memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan
informasi dapat diperoleh.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau
sumber pertama di lapangan15
14
H. M. Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal 78
. Dilaksankan dengan metode
wawancara mendalam (in-depth interview) adalah sama seperti
metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan
wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang
berbeda dengan wawancara pada umumnya.
15
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau
sumber sekunder16
5. Teknik Analisis Data
. Data diperoleh dari literatur yang relevan
dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah,
undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber
lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan
data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan desain
strategi dalam menempatkan teori pada data yang diperoleh17
Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian
dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena
yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan
dari hasil penelitian.
. Metode ini sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara
dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan
diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.
16
Burhan Bungin. Ibid. Hal 128
17
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk
lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar
mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi
penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN
Dalam Bab II akan mendeskripsikan objek penelitian desa sirisirisi,
kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan
BAB III RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT
Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai
bagaimana relasi kekuasaan antara kepala dengan camat di desa
BAB IV PENUTUP
Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan