2.1. Sistem Respirasi
Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk menghirup oksigen dari
lingkungan eksternal dan menyediakannya bagi sel- sel tubuh serta membuang
karbon dioksida yang diproduksi oleh metabolisme sel keluar dari tubuh (Levitzky,
2013).
Pernafasan dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu ventilasi, difusi, dan perfusi.
Gangguan pernafasan bisa terjadi pada ketiga tahap ini secara spesifik atau secara
bersamaan, contohnya seperti pada fibrosis paru, pneumonia, dan gagal jantung.
(Pearce, 2009).
Proses pernafasan dimulai dari masuknya oksigen melalui mulut atau hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus sampai dengan alveoli. Dari alveoli
oksigen berdifusi masuk ke dalam darah dan dibawa oleh eritrosit (sel darah merah).
Dalam darah, oksigen dibawa ke jantung kemudian dipompakan oleh jantung untuk
diedarkan ke seluruh tubuh dan digunakan sampai tingkat sel. Oksigen masuk ke
dalam sel dan di dalam mitokondria digunakan untuk proses-proses metabolisme
yang penting untuk kelangsungan hidup. Sedangkan karbon dioksida berjalan arah
sebaliknya dengan oksigen (Guyton dan Hall, 2008).
2.2 Anatomi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada
di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi
dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat
sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru
kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001).
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton dan Hall, 2007).
Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan
pernafasan bagian bawah :
1. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus paranasal,
dan faring.
2. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru (Guyton dan Hall, 2007). Pergerakan dari dalam ke luar paru
terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah
pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah
pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat
berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan
elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu :
1. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
2. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus
( Alsagaff dan Mukty, 2005).
Respirasi adalah suatu proses dimana terjadi pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida pada saat terjadi metabolisme sel. Organ vital untuk melakukan
proses respirasi disebut dengan paru-paru. Menurut Moore, Dalley, dan Agur (2006),
fungsi utama paru-paru adalah untuk memasukkan oksigen ke dalam darah
(oksigenasi) dan mendistribusikan darah ke setiap sel dan jaringan di dalam tubuh.
Paru-paru terletak pada rongga dada mediastinum. Mediastinum terbagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian lateral kiri dan kanan yang disebut juga dengan kavum
pulmonalis. Kavum pulmonalis dilapisi oleh suatu lapisan yang disebut dengan
pleura. Struktur paru-paru pada manusia hidup biasanya melingkupi kavum
pulmonalis secara keseluruhan, berkonsistensi elastis, lembut dan ringan.
Mediastinum terhubung dengan paru-paru melalui akar paru. Akar paru ini
terdiri atas bronkus utama, pembuluh darah, pembuluh limfatik dan saraf yang keluar
masuk melalui hilum paru. Hilum paru bisa dianalogikan sebagai akar tumbuhan di
dalam tanah.
Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus. Paru-paru kanan memiliki tiga
lobus sedangkan paru-paru kiri memiliki dua lobus. Ditinjau dari massa atau berat
organnya, paru-paru kanan lebih berat serta lebih besar apabila dibandingkan dengan
paru-paru kiri. Tetapi dikarenakan ada liver di bagian bawah paru-paru, maka kubah
diafragma lebih tinggi sehingga menyebabkan paru-paru kanan lebih pendek dan
melebar.
Masing-masing paru mempunyai :
- Apex (bagian superior paru), base (bagian inferior paru yang
berbatasan dengan diafragma)
- Tiga permukaan (permukaan kostal, mediastinal dan diafragmatik)
- Tiga perbatasan (anterior, inferior, dan posterior)
Jaringan paru normal bersifat elastis, licin, berwarna merah dadu tua, dan
tidak mempunyai jaringan partikel-partikel karbon. Sebaliknya, apabila seseorang itu
partikel-partikel karbon. Hal ini menyebabkan daya keelastisan paru hilang sehingga
pertukaran udara tidak dapat berjalan lancar (Jos Usin, 2000).
2.2.1 Ventilasi Paru
Ventilasi paru adalah proses masuk dan keluarnya udara melalui sistem
respirasi. Secara harafiah, respirasi atau pernafasan merupakan pergerakan oksigen
dari atmosfer menuju sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara
bebas. Orang dewasa normal bernafas sekitar 16 kali per menit. Pertukaran udara ini
di bantu dengan pergerakan otot yang berguna untuk melakukan proses inspirasi dan
ekspirasi (McKinley dan O’Loughlin, 2006).
Tujuan utama terjadinya proses ventilasi paru adalah untuk menjaga
konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam keadaan yang sesuai di dalam lumen
alveoli. Tujuan ini dapat diperoleh dengan terjadinya ventilasi paru diikuti oleh tiga
proses lainnya yaitu : pertukaran gas di alveoli, di sel-sel tubuh, dan mekanisme
pengaturan respirasi.
Ventilasi melibatkan dua proses, yaitu inspirasi (pemasukan udara) dan
ekspirasi (pengeluaran udara). Kedua proses ini dapat dicapai apabila terjadi
perbedaan tekanan udara. Prinsip pada ventilasi ini ialah udara mengalir dari tekanan
yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh
kinerja otot-otot pernafasan dan dipengaruhi oleh volume dan kapasitas paru,
resistensi aliran udara, dan daya kembang atau compliance paru (Guyton dan Hall,
1. Volume dan Kapasitas Paru
volume udara yang masih tetap berada
dalam paru setelah ekspirasi kuat
1200
Kapasitas Inspirasi
(Inspiratory Capacity,
IC = IRV + VT)
jumlah udara yang dapat dihirup mulai
pada tingkat ekspirasi normal dan
mengembangkan parunya sampai
jumlah maksimal
Kapasitas Vital (Vital
untuk mengatasi daya kembang paru dan dinding dada. Resistensi jaringan
paru hanya sekitar 10 % dan 80 % sisanya adalah resistensi aliran udara. Kerja
untuk mengatasi resistensi aliran udara adalah kecil, tetapi jika pernapasan
menjadi lebih dalam dan cepat kerja yang dikeluarkan untuk mengatasi
Tekanan saluran napas normal adalah sekitar 1,5 cm H2O/l/detik.
Tahanan aliran udara hidung adalah tiga kali lebih tinggi. Jika saluran udara
menyempit atau tersumbat oleh mukus, maka akan terjadi peningkatan
resistensi udara, khususnya pada volume paru bagian bawah yang
lumen-lumen saluran udaranya lebih sempit. Pada emfisema, saluran napas
mengalami obstruksi yang irreversibel dan resistansi udara akan meningkat
empat sampai enam kali yang terjadi di bronkioli dan saluran napas kecil
(Sodeman, 1995)
3. Daya kembang (compliance) paru
Daya kembang adalah suatu ukuran distensibilitas paru-paru dan
dinyatakan dengan perubahan volume paru yang terjadi karena tekanan antara
pleura dan alveoli (tekanan transpulmonal), dimana setiap kali tekanan
transpulmonal meningkat 1 cm H2O maka terjadi pengembangan paru
sebanyak 200 ml (Guyton dan Hall, 2007).
Daya kembang ditentukan oleh daya elastis paru. Daya elastis ini dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu daya elastis dari jaringan paru itu sendiri dan
daya yang disebabkan oleh tegangan permukaan cairan yang membatasi
dinding dalam alveoli dan ruang udara paru lainnya yang dinamakan
surfaktan. Daya kembang paru juga bergantung pada ukuran paru, dimana
makin besar paru-paru, maka makin besar daya kembang (Sodeman, 1995).
Beberapa keadaan yang merusak jaringan paru, menyebabkan
terjadinya fibrotik atau edema, penyumbatan bronkiol atau cara lain apapun
yang menghalangi pengembangan dan pengempisan paru menyebabkan
compliance paru berkurang.
2.2.2 Difusi
Setelah alveoli ditukar dengan udara segar, tahapan yang selanjutnya terjadi
dalam proses respirasi adalah difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan
dalamnya terdapat jaringan kapiler yang padat dan saling berhubungan, sehingga jelas
bahwa gas alveolus berada sangat dekat dengan darah kapiler. Pertukaran gas antara
udara alveolus dan pembuluh darah paru terjadi melalui membran di seluruh bagian
terminal paru, yaitu membran alveolus berkapiler tipis. Yang mendorong untuk
terjadinya pertukaran ini adalah selisih tekanan parsial antara daerah dan fase gas
(Guyton dan Hall, 2007).
Proses difusi ini terjadi melewati dinding alveoli, ruang interstitial, endotel
kapiler, plasma dan dinding eritrosit. Oksigen dari alveoli setelah melewati jaringan
tersebut akan berikatan dengan hemoglobin membentuk HbO2. Setiap gangguan atau
kerusakan pada jaringan yang dilalui pada proses difusi dapat menurunkan difusi
oksigen kedalam darah. Contoh gangguan difusi yaitu apabila terjadi penebalan
dinding alveoli pada fibrosis, terisinya ruang intersistitial oleh cairan edema pada
paru, penebalan endotel kapiler, pengentalan plasma pada hemokonsentrasi (Yunus,
1992).
2.2.3 Perfusi
Proses perfusi adalah penyebaran darah yang sudah teroksigenasi ke seluruh
paru dan jaringan tubuh. Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru,
oksigen terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler
jaringan dimana oksigen dilepaskan untuk dipergunakan oleh sel. Adanya
hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut 30 sampai
100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam
cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan oksigen bereaksi dengan berbagai bahan
makanan membentuk sejumlah besar karbondioksida. Karbondioksida ini masuk ke
dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida, seperti
oksigen, juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan
transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat. Gangguan perfusi terjadi apabila ada
2.3. Pengukuran Fungsi Paru
Uji faal paru bertujuan untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang individu
dalam keadaan normal atau abnormal. Pemeriksaan faal paru biasanya dikerjakan
berdasarkan indikasi atau keperluan tertentu, misalnya untuk menegakkan diagnosis
penyakit paru tertentu, evaluasi pengobatan asma, evaluasi rehabilitasi penyakit paru,
evaluasi fungsi paru bagi seseorang yang akan mengalami pembedahan toraks atau
abdomen bagian atas, penderita penyakit paru obstruktif menahun, akan mengalami
anestesi umum sedangkan yang bersangkutan menderita penyakit paru atau jantung
dan keperluan lainnya.
Secara lengkap uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi, difusi
gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran darah. Fungsi
paru disebut normal apabila PaO2 > 50 mmHg dan PaCO2 < 50 mmHg dan disebut
gagal napas apabila PaCO2 < 50 mmHg dan PaCO2 > 50 mmHg.
Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya penilaian faal paru seseorang
cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru. Apabila fungsi ventilasi nilainya
baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan biasanya fungsi-fungsi paru lainnya
juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat dengan penilaian mekanika
pernapasan. Untuk menilai fungsi ventilasi digunakan spirometer untuk mencatat
grafik pernapasan berdasarkan jumlah dan kecepatan udara yang keluar atau masuk
ke dalam spirometer (Alsagaff dan Mukty, 2005).
Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur sebagian
terbesar volume dan kapasitas paru-paru. Spirometri merekam secara grafis atau
digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Volume Ekspirasi Paksa
(VEP) atau Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume dari udara yang
dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum dengan usaha paksa
minimum, diukur pada jangka waktu tertentu. Biasanya diukur dalam satu detik (VEP
1). Kapasitas Vital Paksa atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume total dari
udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh
pengkajian fungsi ventilasi paru secara lebih mendalam. Jenis gangguan fungsi paru
dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan
aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan paru). Seseorang dianggap
mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai VEP1/KVP < 70% dan
menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai KVP < 80% dibanding dengan
nilai standar (Alsagaff dan Mukty, 2005). Prosedur yang paling umum digunakan
adalah subjek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat
mungkin dan nilai KVP dibandingkan terhadap nilai normal.
Keadaan fungsi paru seseorang dapat diketahui dengan pengukuran kapasitas
vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1). Penurunan nilai
kapasitas vital paksa dan volume ekspirasi paksa satu detik merupakan salah satu
indikator terjadinya gangguan fungsi paru (Astrand, 2003).
2.3.1 Kapasitas Vital Paksa (KVP)
Kapasitas vital paksa adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan
seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu inspirasi maksimal dan kemudian
ekspirasi maksimal. Kapasitas vital dapat digunakan untuk menilai VO2 maks,
dimana terdapat hubungan penting antara kapasitas vital paru dengan pengambilan
oksigen maksimal. Pengukuran kapasitas vital merupakan salah satu pemeriksaan
yang dapat memberi informasi, khususnya mengenai daya regang dan sistem
respirasi. Kapasitas vital dalam keadaan normal, nilainya lebih kurang sama dengan
kapasitas vital paksa (KVP), yaitu hasil yang diperoleh bila seseorang melakukan
inspirasi maksimal kemudian mengeluarkan nafas sebanyak-banyaknya dan secepat
mungkin ke dalam spirometri.
Nilai kapasitas vital sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik seperti usia,
jenis kelamin, tinggi badan, berat badan dan kekuatan otot. Selain bentuk anatomi
seseorang, faktor-faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah (1) posisi
seseorang selama pengukuran kapasitas vital (2) kekuatan otot pernapasan (3)
mampu mengurangi kemampuan paru untuk mengembang juga menurunkan
kapasitas vital. Contohnya tuberkulosa, asma kronik, kanker paru, bronkitis, bronkitis
kronik dan pleuritis fibrosa (Guyton dan Hall, 2007).
2.3.2 Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1)
Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik (VEP1) adalah volume udara yang dapat
diekspirasikan dalam waktu standar selama tindakan KVP, dimana seseorang terlebih
dahulu melakukan inspirasi maksimal kemudian diekspirasikan secara paksa
sekuat-kuatnya dan semaksimal mungkin. Dengan cara ini, kapasitas vital orang tersebut
dapat diekspirasikan dalam satu detik (Astrand, 2003).
Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan spirometri untuk
menentukan seberapa banyak kapasitas vital paru yang dapat diekspirasikan dalam
satu detik dan volume ini menunjukkan persentase pada seluruh kapasitas vital paru
seseorang. VEP1 menunjukkan ada atau tidaknya gangguan paru yang berat dan nilai
ini akan menurun pada orang yang mengalami obstruksi jalan nafas.
2.3.3 VO2 Maks
Kegiatan yang berhubungan dengan kebugaran jasmani sangat penting untuk
memelihara kesehatan secara umum, terutama daya tahan jantung dan paru. Hal – hal yang menggambarkan daya tahan jantung adalah kemampuan sistem jantung,
pembuluh darah dan paru – paru untuk melakukan fungsinya secara optimal yaitu dengan mengambil oksigen dan menyalurkannya ke otot pada saat beraktifitas
sehingga otot dapat berkontraksi lebih lama. Kemampuan daya tahan jantung dan
paru setiap individu tentunya berbeda – beda, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kebugaran jasmani yaitu dengan mengukur V02 maks (Foss, 1998).
VO2 maks adalah suatu area dimana terdapat konsumsi oksigen yang stabil
dan tidak menunjukkan suatu peningkatan (hanya meningkat sedikit apabila beban
melakukan resintesis ATP secara aerob dan juga kemampuan tubuh untuk
mengangkut dan menggunakan oksigen (Wardhana, 2001).
2.4 Pencemaran Udara
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di
dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan
normalnya (Wardhana, 2001). Komponen yang paling banyak berpengaruh dalam
pencemaran udara, dapat dilihat pada tabel :
Tabel 2.2. Perkiraan Presentase Komponen Pencemar Udara dan Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia
Sumber: Wardhana, 2001
1) Karbon Monoksida
Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang
menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, jumlah CO
dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta ton per tahun.
Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang
menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari
sumber tidak bergerak seperti pembakaran batu bara dan minyak dari
industri dan pembakaran sampah domestik. Di dalam laporan WHO
(1992) dinyatakan paling tidak 90 % dari CO di udara perkotaan
berasal dari emisi kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok juga
mengandung CO, sehingga para perokok dapat memajan dirinya
sendiri dari asap rokok yang sedang dihisapnya.
Komponen Pencemar Prosentase
Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah
kemampuannya untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel
darah merah yang mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Sifat ini
menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200
kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian
HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul
sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh
tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena
dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan
fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan
CO yang stabil tersebut. Dampak keracunan CO sangat berbahaya bagi
orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi
darah periferal yang parah.
2) Nitrogen Dioksida (NOx)
Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10–100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat
mencapai 0,5 ppm (500 ppb). Seperti halnya CO, emisi NOx
dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang
diproduksi manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan
pembakaran disebabkan oleh kendaraan bermotor, produksi energi dan
pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia
berasal dari pembakaran arang, minyak, gas, dan bensin. Oksida
nitrogen seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian
menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Selama ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang
mengakibatkan kematian. Di udara ambien yang normal, NO dapat
mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun. Penelitian
sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistem saraf dan
kekejangan.
3) Oksidan
Oksidan fotokimia masuk kedalam tubuh dan pada kadar subletal
dapat mengganggu proses pernafasan normal, selain itu oksidan
fotokimia juga dapat menyebabkan iritasi mata.
4) Hidrokarbon / Hydrocarbon (HC)
Sebagai bahan pencemar udara, hidrokarbon dapat berasal dari proses
industri yang diemisikan ke udara dan kemudian merupakan sumber
fotokimia dari ozon. Sumber HC dapat pula berasal dari sarana
transportasi. Kondisi mesin yang kurang baik akan menghasilkan HC.
Pada umumnya pada pagi hari kadar HC di udara tinggi, namun pada
siang hari menurun. Sore hari kadar HC akan meningkat dan
kemudian menurun lagi pada malam hari.
5) Khlorin
Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat menyebabkan iritasi
pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk dalam
jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat
membentuk asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan
menyebabkan iritasi dan peradangan.
6) Partikel Debu / Suspended Particulate Matter
Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM)
merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa
organik dan anorganik yang terbesar di udara. Secara alamiah
partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa
oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi.
Pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung
seperti halnya penggunaan mesin disel yang tidak terpelihara dengan
baik. Inhalasi merupakan satu-satunya rute masuknya debu.
7) Timah Hitam (Pb)
Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan
sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan
menghambat pembuatan hemoglobin, Gejala keracunan akut didapati
bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut
muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan
hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan
anggota badan, kejang dan gangguan penglihatan.
2.5 Gambaran Pola Ventilasi Abnormal
2.5.1 Pola Obstruktif (Hambatan Aliran Udara)
- Parameter : VEP1
- VEP1 < 80%
- VEP1/KVP < 75%
- Contoh : asma bronkhial, penyakit paru obstruktif kronis,
bronkiektasis (Djojodibroto, 2009)
2.5.2 Pola Restriktif (Gangguan Pengembangan Paru)
- Parameter : KVP
- KVP < 80%
- Contoh : fibrosis paru, atelektasis, tumor paru, pneumonia
2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri
Tabel 2.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri
Obstruktif Restriktif Campuran
VEP1
KVP
atau normal
VEP1/KVP atau normal
Sumber: Johns dan Pierce, 2007
2.5.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai Spirometri
Tabel 2.4 Klasifikasi Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan Nilai Spirometri
RESTRIKSI
(KVP)
OBSTRUKSI
(VEP1/KVP)
Normal >80% >75%
Ringan 60-79% 60-74%
Sedang 30-59% 30-59%
Berat <30% <30%
Sumber: Djojodibroto, 2009
2.6 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru dan
Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik
2.6.1 Lama Bekerja
Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di
suatu tempat (Tulus, 1992). Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja
Selanjutnya, masa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif
maupun negatif. Masa kerja dapat memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja
bila dengan lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman dalam
melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin
lamanya seseorang bekerja maka akan menimbulkan kebosanan. Secara garis besar
masa kerja dapat di kategorikan dikategorikan menjadi 3 yaitu:
1. Masa kerja baru : < 6 tahun
2. Masa kerja sedang : 6-10 tahun
3. Masa kerja : >10 tahun (Tulus, 1992)
Menurut Suma’mur (2009) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja
tersebut. Pada tenaga kerja di perusahaan meubel semakin lama terpapar debu dan
terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernafasan.
2.6.2 Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan paru berupa bronchitis dan
emfisema. Pada kedua keadaan ini terjadi penurunan fungsi paru. Selain itu pecandu
rokok sering menderita penyakit batuk kronis, kepala pusing, perut mual, sukar tidur
dan lain-lain. Kalau gejala-gejala diatas tidak segera diatasi maka gejala yang lebih
buruk lagi akan terjadi, seperti semakin sulit untuk bernapas, kecepatan pernapasan
bertambah, kapasitas vital berkurang, dan lain-lain (Jos Usin, 2000).
Struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru dapat berubah
akibat merokok. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan
kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang
ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada
jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat
perubahan anatomi saluran napas, akan timbul perubahan klinisnya. Hal ini menjadi
2.7 Terminal Amplas Kota Medan
Terminal merupakan tempat beresiko terjadinya pencemaran udara yang
berasal dari emisi kendaraan bermotor, yang dapat menyebabkan gangguan
pernafasan terutama bagi supir angkutan umum maupun pedagang yang secara
kontinu dan langsung menghirup udara di sekitar terminal.
Di Kota Medan terdapat beberapa terminal angkutan seperti Terminal Pinang
Baris, Terminal Sambu, dan Terminal Amplas. Terminal Amplas merupakan salah
satu terminal terbesar di Kota Medan dan mempunyai letak yang strategis sehingga
dapat dijangkau dari segala trayek (jurusan) angkutan umum dalam Kota Medan.
Terminal Amplas merupakan tempat pemberhentian dan pemberangkatan transportasi
baik antar kota maupun antar propinsi. Perhitungan jumlah bus yang keluar masuk
setiap harinya rata-rata adalah 4459 – 4973 unit.
Pencemaran udara oleh debu di Terminal Amplas Kota Medan telah melebihi
Baku Mutu Udara Ambien dimana kadar debu di terminal ini sebesar 2,11 mg/m3 .
Berdasarkan Peraturan pemerintah RI No. 41 tahun 1999 hanya diperbolehkan kadar
debu sebesar 0,23 mg/m3. Berdasarkan penelitian ini juga ditemukan bahwa perilaku
supir angkutan kota yang sering menekan gas sewaktu menunggu penumpang
memicu debu tanah berterbangan ke udara (Sidabukke, 2002).
Udara yang tercemar oleh debu dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Partikel debu sekitar 5 mikron merupakan ukuran partikel di udara yang dapat masuk
ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli yang dapat menyebabkan terganggunya
saluran pernafasan. Keadaan ini akan lebih parah bila reaksi sinergistik dengan SO2.
Selain itu, partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan
menyebabkan iritasi pada mata. Partikel debu juga dapat menyebabkan kanker,
memperberat penyakit jantung dan pernafasan dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut