TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Sawah
Sawah merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang sangat
strategis karena lahan tersebut merupakan sumber daya utama untuk memproduksi padi/beras, yang merupakan pangan pokok utama bagi Indonesia.
Dengan demikian, sawah merupakan sumber daya utama bagi pemantapan ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional (Abdullah, 1996) .
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah
umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang
jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya (Hardjowigeno, 2003).
Ciri khas tanah sawah, yang membedakannya dengan tanah tergenang lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2
setebal 0,8 – 1,0 cm, selanjutnya lapisan reduksi setebal 25 – 30 cm dan diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selama pertumbuhan tanaman padi akan tejadi sekresi 02 oleh akar tanaman padi yang menimbulkan kenampakan yang
khas pada tanah di sekitar tanaman padi sawah (Mukhlis dkk, 2011).
Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah
Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu proses utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian, penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah, dan perubahan sifat
fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan.
(Hardjowigeno, 2003).
Penggenangan akan meningkatkan pH tanah yang semula asam (kecuali tanah yang rendah kadar besinya) menjadi netral, dan sebaliknya akan
menurunkan pH tanah yang semulanya basa menjadi netral. Peningkatan tanah masam, oleh penggenangan terjadi akibat adanya penambahan ion OH- dari
reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Mukhlis dkk, 2011).
Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung tersebut, dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di
lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang, tanah menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang permeabel, warna reduksi tersebut tidak terjadi,
terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di lapisan permukaan horizon tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang, ditemukan lapisan tipis yang tetap
teroksidasi berwarna kecoklatan, karena difusi O2 dari udara, atau dari fotosintesis algae (Agus dkk, 2004).
Jika tanah digenangi maka konsentrasi P-larut dalam air dan asam
dan puncak tertinggi pada tanah pasir yang miskin Fe aktif (Hardjowigeno dan Rayes, 2005) .
Meningkatnya ketersediaan P pada awal penggenangan disebabkan oleh:
(a) reduksi FePO.2H2O Fe(PO4)2.8H2O (b) desorpsi akibat reduksi Fe3+ Fe2+
(c) hidrolisis FePO4 dan AlPO4 pada tanah masam (d) pelepasan occluded P (P-tersemat)
(e) pertukaran ion.
(Agus,dkk, 2004).
Pembakaran jerami sebelum diberikan ke tanah sawah seperti yang biasa
dilakukan petani dinilai sangat merugikan karena banyak unsur hara yang hilang, salah satunya unsur hara, antara lain C, N, P, K, S, Ca, Mg dan unsur-unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu). Pembakaran jerami akan mengakibatkan kehilangan hara C
94%, P 45%, K 75%, S 70%, Ca 30%, dan Mg 20% dari total kandungan hara dalam jerami (Suriadikarta dan Adimihardja, 2001).
Pemberian bahan organik dalam jumlah besar pada tanah tergenang dapat
menyebabkan keracunan tanaman oleh asam-asam organik yang terbentuk. Panambahan ammonium sulfat dapat mengurangi efek keracunan tersebut. Hal itu
disebabkan oleh pembentukan asam organik dihambat oleh kegiatan bakteri produksi sulfat yang meningkat jumlahnya akibat penambahan ammonium sulfat. Ammonium fosfat dan glukosa akan merangsang perubahan asam organik
C-Organik
Bahan organik memegang peranan penting dalam memperbaiki sifat-sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas
tanah dan tanaman. Oleh karena itu, bahan organik disebut juga sebagai dinamisator, aktivator dan regenerator tanah dalam meningkatkan dan
mempertahankan produktivitas lahan. Bahan organik merupakan salah satu komponen tanah yang sangat penting dari segi fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahan organik dapat memperbaiki infiltrasi, porositas, struktur tanah,
ketersediaan unsur hara, dan merupakan sumber energi bagi mikroorganisme tanah (Rija dkk, 2007).
Pemberian bahan organik dapat menyebabkan meningkatnya KTK tanah, sehingga daya sangga (buffer) tanah juga meningkat. Hal ini penting kaitannya tanah dalam memegang pupuk anorganik. Dengan berbagai kelebihan dan
manfaat pemberian bahan organik pada tanah tersebut, maka peningkatan komponen hasil dan hasil padi sawah pada berbagai perlakuan pemberian bahan organik ini, diduga karena pengaruh positif pemberian bahan organik terhadap
sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebagai media tumbuh tanaman, yang selanjutnya berakibat pada perbaikan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil
kajian ini menunjukkan bahwa pada tanah-tanah sawah yang telah lama diusahakan secara intensif dengan tanpa atau kurang memberikan tambahan bahan organik telah mengakibatkan lingkungan tumbuh menjadi kurang optimal didalam
mendukung pertumbuhan tanaman. Untuk itu bahan organik memegang peranan amat penting dan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kesuburan tanah,
Kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia secara umum termasuk rendah, disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran petani untuk mengembalikan limbah panen ke dalam tanah. Katagorisasi tingkat kandungan
bahan organik tanah menurut Balai Besar Penelitian Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) adalah rendah apabila kurang dari 2%, sedang apabila
kandungan bahan organik tanah 2-3%, dan tinggi apabila lebih dari 3%. 73% lahan pertanian Indonesia memiliki kandungan bahan organik yang rendah, 23% sedang, dan hanya 4% yang berstatus tinggi (Suwarno dkk, 2009).
Penambahan bahan organik secara kontinyu pada tanah merupakan cara pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun pemberian
bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan, umumnya produksi tanaman masih kurang optimal, karena rendahnya unsur hara yang disediakan dalam waktu pendek, serta rendahnya tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan
unsur hara dari bahan organik dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara. Kualitas bahan organik sangat menentukan kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik (Atmojo, 2003).
Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sukar didekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau
dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan; dan bahan organik yang
mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O, dan H, termasuk di dalamnya adalah senyawa dari selulosa, pati, gula
Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik dapat dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu 1) sifat dari bahan tanaman termasuk jenis tanaman, umur tanaman dan komposisi kimia, 2) tanah termasuk aerasi,
temperatur, kelembaban, kemasaman, dan tingkat kesuburan, dan 3) faktor iklim terutama pengaruh dari kelembaban dan temperatur (Atmojo, 2003).
Komponen organik tanah adalah residu tumbuhan dan hewan di dalam tanah pada berbagai tingkat dekomposisi. Kadarnya + 5% dari volume total tanah. Konsentrasi C organik berkisar dari < 5 g C/Kg tanah (0,5%) hingga >130 g C/Kg
tanah (13 % C) di tanah humus alpin (Histosol dan Mollisol) pada lapisan 0 -10 cm, pada lahan lempung padang pasir (Aridisol). Bahan organik terdiri atas
organisme hidup (10%), akar tanaman (10%) dan humus (80%). Unsur penyusun
utama dari bahan organik tanah adalah C (52 – 58 %), O (34 – 39 %), H (3,3 – 4,8 %), dan N (3,7 – 4,1%) (Mukhlis dkk, 2011).
Nitrogen (N)
Sumber utama nitrogen untuk tanaman adalah gas nitrogen bebas di udara yang menempati 78% dari volume atmosfir. Dalam bentuk unsur, nitrogen tidak
dapat digunakan oleh tanaman, sedangkan dalam bentuk gas, agar dapat digunakan oleh tanaman harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk nitrat atau
amonium (Usman, 2012).
Nitrogen dapat dikatakan sebagai salah satu unsur hara yang bermuatan. Selain sangat mutlak di butuhkan , ia dengan mudah dapat hilang atau menjadi
tidak tersedia bagi tanaman. Ketidak tersediaan N dari dalam tanah dapat melalui proses pencucian/terlindi (leaching) NO3Ø , denitrifikasi NO3Ø menjadi N2,
mikroorganisme tanah. Bentuk NO3- lah yang selalu terlindi dan mudah larut, maka dikaji pergerakannya ke permukaan akar agar tidak hilang sehingga merupakan suatu usaha ke arab efisiensi pemupukan (Mukhlis dan Fauzi, 2003).
Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting didalam tanaman. Sekitar 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi
hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting
seperti klorofil, asam nukleat dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman,
khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif, kebutuhan nitrogen mulai berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup,
pertumbuhan tanaman yang baik tidak akan terjadi (Hakim, 2009).
Secara alami unsur nitrogen ini dapat tersedia apabila lingkungan kaya bakteri penambat nitrogen yang biasanya bersimbiosis dengan kelompok tanaman
dari famili Legumonosae. Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke biosfer pertahun, 80%
merupakan hasil dari simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman Leguminosae (Prayitno, 2000).
Kekurangan nitrogen dapat menyebabkan seluruh tanaman berwarna pucat
kekuningan, pertumbuhan lambat dan kerdil, perkembangan buah tidak sempurna dan masak sebelum waktunya. Dalam keadaan kekurangan yang parah daun
Selain itu, kelebihan N juga akan meningkatkan masa vegetatif dan memperpendek masa generatif yang justru menurunkan kualitas produksi. Tanaman yang kelebihan N akan menunjukan warna hijau gelap, peka hama
penyakit dan mudah roboh (Winarso, 2005). Fosfat (P)
Fosfor (P) termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding nitrogen (N), dan kalium (K). Tanaman menyerap P dari tanah dalam
bentuk ion fosfat, terutama H2PO4 - dan HPO4 2- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4 - lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam,
sedangkan pada pH yang lebih tinggi (>7) bentuk HPO4 2- lebih dominan. Di samping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin, dan fosfohumat (Novriani, 2010).
Fosfor (P) merupakan unsur penting penyusun adenosin triphosphate (ATP) yang secara langsung berperan dalam proses penyimpanan dan transfer energi maupun kegiatan yang terkait dalam proses metabolisme tanaman. Hara P
sangat diperlukan tanaman padi, terutama pada awal pertumbuhan, berfungsi memacu pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Di samping itu, P
juga berfungsi mempercepat pembungaan dan pemasakan gabah (Abdulrachman dan Hasil, 2006).
Dalam hal ini ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung kepada
sifat dan ciri tanah itu sendiri, serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh manusia. Pertambahan fosfor ke dalam tanah hanya bersumber dari defosit atau
kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak
sedikitnya cadangan mineral fosfor dan tingkat pelapukannya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Pertambahan fosfor ke dalam tanah hanya bersumber dari defosit atau pelapukan batuan dan mineral yang mengandung fosfat seperti mineral apatit.
Ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri bahan induk tanah, serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh manusia. Oleh karena itu kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak
sedikitnya cadangan mineral fosfor dan tingkat pelapukannya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Kalium (K)
Kadar kalium total di dalam tanah pada umumnya cukup tinggi, dan diperkirakan mencapai 2.6% dari total berat tanah, tetapi kalium yang tersedia
didalam tanah cukup rendah. Pemupukan hara nitrogen dan fosfor dalam jumlah besar turut besar turut memperbesar serapan kalium dari dalam tanah, ditambah lagi pencucian dan erosi menyebabkan kehilangan kalium semakin besar
(Musa, dkk, 2006).
Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs
pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5 – 0,6% dari total K tanah. K-larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah.
kritis K adalah 0,10 me/100 gr tanah (setara 3,9 mg/100 gr) atau sekitar 2-3% jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).
Beberapa peran kalium yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
1. Translokasi (pemindahan) gula pada pembentukan pati dan protein. 2. Membantu poses membuka dan menutup stomata (mulut daun).
3. Efisiensi penggunaan air (ketahanan terhadap kekeringan). 4. Memperluas pertumbuhan akar.
5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit
tanaman. 6. Memperkuat tubuh tanaman supaya daun, bunga, dan buah tidak mudah rontok. 7. Memperbaiki ukuran dan kualitas buah pada masa generatif
(Novizan, 2002).
Kekurangan Kalium menyebabkan : pertumbuhan kerdil, daun kelihatan kering dan terbakar pada sisi-sisinya., menghambat pembentukan hidrat arang
pada biji., permukaan daun memperlihatkan gejala klorotik yang tidak merata, munculnya bercak coklat mirip gejala penyakit pada bagian yang berwarna hijau gelap. Kelebihan kalium dapat menyebabkan daun cepat menua sebagai akibat
kadar magnesium daun dapat menurun, kadang-kadang menjadi tingkat terendah sehingga aktifitas fotosintesa terganggu (Rauf dkk, 2000).
Kahat K disebabkan oleh rendahnya kapasitas pasok K tanah, ketidak-cukupan pemberian pupuk K anorganik, pengangkutan semua jerami ke luar lahan, kecilnya masukan K dalam air irigasi, rendahnya efisiensi penyerapan
pupuk K yang diberikan karena tingginya kapasitas pengikatan atau pencucian K, kelebihan jumlah bahan-bahan reduksi dalam tanah dengan drainase buruk (misal:
penyerapan K terhambat, besarnya nisbah Na:K, Mg:K, atau Ca:K dalam tanah, dan kondisi sodik atau salin, Kelebihan Mg dalam tanah asal batuan ultrabasik, besarnya konsentrasi bikarbonat dalam air irigasi (Basyuni, 2009).
Tekstur
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, ditentukan berdasarkan
perbandingan butir-butir (fraksi) pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay). Fraksi pasir berukuran 2 mm – 50 µ lebih kasar dibanding debu (50 µ - 2 µ) dan liat (lebih kecil dari 2 µ). Karena ukurannya yang kasar, maka tanah-tanah yang
didominasi oleh fraksi pasir akan melalukan air lebih cepat (kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tinggi) dibandingkan dengan tanah-tanah yang didominasi oleh
fraksi debu dan liat. Kapasitas infiltrasi dan permeabilitas yang tinggi, serta ukuran butir yang relatif lebih besar menyebabkan tanah-tanah yang didominasi oleh pasir umumnya mempunyai tingkat erodibilitas tanah rendah. Tanah dengan
kandungan pasir halus (0,01 mm – 50 µ) tinggi juga mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, maka butir-butir halusnya akan mudah terangkut (Dariah dkk, 2003).
Bila tanah terlalu banyak menggandung pasir, tanah ini kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan
yang kecil, sehingga sulit untuk menyerap atau menahan air dan unsur hara, sehingga pada musim kemarau mudah kekurangan air. Tanah yang banyak mengandung debu lebih kuat memegang air dibandingkan dengan tanah berpasir
karena pori-porinya kecil. Daya meresapkan air perlahan-lahan sehingga air lama dipegang oleh tanah. Tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang
Tanah-tanah yang banyak mengandung liat dan bercampur dengan sejumlah debu menghasilkan tanah yang bertekstur halus (Foth, 1994).
Debu merupakan fraksi tanah yang paling mudah tererosi, karena selain
mempunyai ukuran yang relatif halus, fraksi ini juga tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan (tanpa adanya bantuan bahan
perekat/pengikat), karena tidak mempunyai muatan. Berbeda dengan debu, liat meskipun berukuran halus, namun karena mempunyai muatan, maka fraksi ini dapat membentuk ikatan. Meyer dan Harmon (1984) menyatakan bahwa
tanah-tanah bertekstur halus (didominasi liat) umumnya bersifat kohesif dan sulit untuk dihancurkan. Walaupun demikian, bila kekuatan curah hujan atau aliran
permukaan mampu menghancurkan ikatan antar partikelnya, maka akan timbul bahan sedimen tersuspensi yang mudah untuk terangkut atau terbawa aliran permukaan (Dariah dkk, 2003).
Ordo Tanah
Ultisol
Ultisol di Indonesia memiliki sebaran yang luas. Luas Ultisol di Indonesia
mencapai 24,3% atau sekitar 45,794 juta ha. Di Sumatera Utara luas Ultisol yaitu lebih kurang 1,549 juta ha, Ultisol termasuk tanah yang luas di Sumatera Utara
selain Inseptisol dan Andisol (Subagyo dkk, 2000).
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan
sedimen masam. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Secara umum Ultisol memiliki sifat fisik yang buruk, yaitu memiliki permeabilitas yang lambat sampai sedang, kepekaan erosi besar karena stabilitas
agregat tanah buruk, mengalami proses pencucian liat (lessivage) yang tinggi, kandungan unsur hara relatif rendah, konsistensi teguh hingga gembur, agregat berselaput liat kadang-kadang berada diatas lapisan yang mengeras atau plinthite,
sering ada konkresi besi dan sedikit kuarsa (Hardjowigeno, 1993).
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah
permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini
karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Inceptisol
Sifat fisik dan kimia tanah Inceptisol antara lain; bobot jenis 1,0 g/cm3,
kalsium karbonat kurang dari 40 %, pH mendekati netral atau lebih (pH < 4 tanah bermasalah), kejenuhan basa kurang dari 50 % pada kedalaman 1,8 m, COLE antara 0,07 dan 0,09, nilai porositas 68 % sampai 85 %, air yang tersedia cukup
banyak antara 0,1 – 1 atm (Resman dkk, 2006).
Proses pedogenesis yang mempercepat proses pembentukan tanah
menjadi formasi lempung, pelepasan sesquioksida, akumulasi bahan organik dan yang paling utama adalah proses pelapukan, sedangkan proses pedogenesis yang menghambat pembentukan tanah Inceptisol adalah pelapukan batuan dasar
menjadi bahan induk. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah yang
matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol memiliki tekstur tanah yang beragam mulai dari kasar hingga
halus dengan kandungan liat cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian lagi termasuk berlempung halus dengan kandungan liat lebih rendah (18-35%). Warna tanah
Inceptisol umumnya kelabu, coklat sampai hitam tergantung bahan induknya. Selain itu, Inceptisol mempunyai karakteristik horizon pedogenik dengan sedikit akumulasi bahan seperti karbonat atau silika amorf, beberapa mineral lapuk dan
kemampuan menahan kation fraksi lempung yang sedang sampai tinggi (Munir, 1996).
Meskipun penyebaran cukup luas dan potensial, tetapi bukan berarti
Inceptisol dalam pemanfaatannya tidak memiliki permasalahan di lapangan. Umumnya lahan kering seperti Inceptisol memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, dan kandungan bahan organik rendah. Secara umum, pada tanah-tanah di daerah tropis, mengalami penurunan kadar bahan organik tanah yang dapat mencapai 30-60 % dalam waktu 10 tahun. Kondisi ini makin diperburuk dengan
Entisol
Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus
sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik. Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah
endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993).
Berdasarkan sifat dan ciri tanah yang ada menunjukkan bahwa dalam
tanah tidak menunjukkan adanya gejala pembentukan horizon penciri, sehingga horizon yang dipergunakan sebagai kriteria pengklasifikasian tidak di
jumpai.Demikian pula untuk penciri utama lainnya tidak pernah dijumpai dalam entisol. Penurunan warna khroma yang disebabkan karena proses reduksi yang sangat kuat merupakan salah satu kriteria yang dapat di pergunakan sebagai salah
satu penciri horizon kambik, namun demikian tetap harus disertai adanya perubahan perubahan fisik lainnya. Warna kroma yang meningkat dalam tanah menunjukkan adanya proses pelapukan yang menyebabkan timbulnya
pembebasan oksida besi (Munir, 1996).
Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa
diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan Fluvaquents. Ketiga great group ini merupakann subordo Aquent yaitu Entisol yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman ≤ 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan
pada semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari 10 Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara. Jenuh air selama
Kepadatan ditunjukkan dengan porositas total dari suatu material yang terdiri dari pori makro dan pori mikro. Tanah entisol dari gret group Hidraquent banyak mengakumulasi air di mana keadaan tanahnya terendam secara
terusmenerus sehingga mempunyai kepadatan rendah.Jumlah yang cukup besar dari tanah entisol yang berkembang pada tanah alluvial memiliki
perubahan-perubahan yang cukup besar pada ukuran partikel dengan kedalaman.Perubahan-perubahan ini mempengaruhi sifat retensi dan perpindahan air. Sifat fisik lainnya, tanah entisol bertekstur lempung ringan dan susunan 30% pasir, 35% debu dan 35