• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Simbol Pada Arsitektur Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Simbol Pada Arsitektur Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga Kabupaten Karo"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Simbol

Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut (Sukamto, 2001). Dalam perkembangannya menurut semiotika memiliki tiga jenis yaitu:

1. Jenis Semiotika Konotatif yaitu makna tanda-tanda konotatif yang diterapkan pada bidang kesusasteraan dan arsitektur.

2. Jenis Semiotika Ekspansif yaitu pengembangan dari semiotika konotatif. Jenis ini mengambil makna sepenuhnya oleh pengertian yang diberikan seperti telah diambil alih oleh peran filosofi.

3. Jenis Semiotika Komunikatif yaitu digunakan oleh orang yang mempelajari tanda sebagai bagian proses komunikasi berupa tanda yang digunakan oleh pengirim dan diterima oleh penerima dengan maksud yang sama. Adapun maksud yang terima secara denotatif (makna yang langsung dari suatu tanda yang telah disepakati bersama dan semua orang mengetahuinya dengan arti yang sama) dan konotatif (maksud kedua atau yang tersirat selain dari dari denotatif ).

(2)

1. Legisign yaitu berasal dari kata lex (hukum). Legisign merupakan suatu tanda karena suatu keberaturan tertentu seperti sistem stuktur bangunan. 2. Sinsign yaitu berasal dari kata sin yang mengadaptasi dari kata singular

(tunggal). Sinsign meruapakan tanda yang berdasarkan atas kejadian, bentuk yang asli seperti bangunan tradisional yang memiliki keunikan dan keaslian.

3. Qualisign yaitu berasal dari kata quality atau kwalitas ataupun sifat. Qualisign yaitu tanda yang didasari oleh sifatnya.

Beberapa jenis tanda lainnya (Charles, 1977) yaitu :

 Ikon yaitu tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya atau tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri benda tersebut. Sifat-sifat ikon yaitu sesuatu yang pasti, memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu, berhubungan dengan kenyataan dan mengikuti dengan apa yang diwakili.

 Indeks yaitu berkaitan terhadap sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya yang memiliki sifat tergantug pada keberadaan bendanya. Misalnya gula dan semut, dimana semut akan datang jika ada gula maka semut merupakan indeks. Indeks yang berperan sebagai tanda akan kehilangan cirinya jika bendanya disingkirkan tetapi masih akan mempunyai arti.

(3)

latar belakangnya berbeda. Simbol adalah tidak pernah benar-benar menghasilkan makna baru dalam setiap konteks yang berbeda. Hal ini bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda seperti simbol keadilan yang berupa sebuah timbangan tidak dapat digantikan oleh identitas lainnya seperti kendaraan atau kereta (Berger, 2000).

Berdasarkan teori symbol, simbol dibagi menjadi dua, yaitu (Langer, 1957):

1. Simbol diskursif, ialah bentuk yang digunakan secara literal dimana unit-unitnya bermakna berdasarkan konvensi (aturan yang disepakati bersama). Setiap unit memiliki maknanya sendiri seperti kata dalam serangkaian kalimat. Symbol diskursif memiliki ciri-ciri logika, parsial, gramatika, mengandung pesan, dan denotatif.

 Logika

Menurut KBBI, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Karya arsitektural yang dapat diterima oleh akal pikiran dan telah disepakati bersama (konvensi)

 Parsial

Menurut KBBI adalah bagian dari keseluruhan. Karya arsitektur terdiri dari elemen-elemen yang dipersatukan sehingga memiliki makna yang utuh. Elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki makna tersendiri secara parsial.

(4)

Menggabungkan elemen-elemen menjadi karya arsitektur memiliki tatanan yang telah disepakati. Seperti dalam penyusunan kata menjadi serangkaian kalimat.

 Mengandung pesan

Suatu karya arsitektur yang tersusun dari elemen-elemen dan ditata menurut tatanan yang ada akan memberikan pesan khusus bagi penggunanya. Apabila ada elemen yang dihilangkan, pesan tersebut akan berubah dari sebelumnya.

 Tersurat / denotatif

Makna dari elemen-elemen arsitektur digambarkan secara tersurat dan dapat dilihat secara inderawi oleh pengguna.

2. Symbol presentasional, tidak terdiri dari unit-unit yang memiliki arti tetap untuk digabung berdasarkan aturan tertentu dan juga tidak dapat diuraikan. Maknanya ada didalam bentuk secara keseluruhan. Symbol presentasional terkait dengan rasa (sense), holistic, gestalt, kesan, dan konotatif.

 Sense (rasa)

Setiap karya arsitektur akan menghadirkan sense berbeda-beda. Sense tersebut diakibatkan adanya gabungan elemen arsitektur yang saling berkaitan.

 Holistic

Penekanan terhadap pentingnya keseluruhan dan saling keterkaitan dari bagian-bagiannya dan tidak bisa terpisahkan.

(5)

Berarti kesatuan yang utuh dan terpadu.

 Kesan

Menurut KBBI adalah sesuatu yang terasa (terpikir) sesudah melihat (mendengar). Dalam arsitektur, kesan pengguna terhadap karya arsitektur sangat penting. Karena kesan tersebut yang akan terus melekat pada pikiran manusia.

 Konotatif

Menurut KBBI adalah makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Makna konotatif akan didapatkan oleh pengguna setelah dilakukan kajian terhadap karya arsitektur secara keseluruhan.

Beberapa fungsi simbol yaitu (Raho, 2007) :

1. Simbol membantu manusia untuk berhubungan dengan bidang material dan sosial dengan memperbolehkan mereka memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting.

2. Simbol dapat menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya. 3. Simbol dapat menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir. Dalam hal ini, berpikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.

4. Simbol dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mecari solusi persoalan manusia. Sedangkan manusia bisa berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam

(6)

5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia berpikir melampaui pemahaman yang biasanya dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain.

6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataan-kenyataan metafisis seperti surga dan neraka.

7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.

2.2 Pengertian Rumah

(7)

Rumah tinggal berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat bersosialisasi, tempat berlindung, dan tempat menciptakan rasa kekeluargaan antara anggota keluarga (Mukono,2000). Fungsi rumah tinggal lainnya (Turner, 1976) yaitu:

a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang ditampilkan pada hunian atau perlindungan yang diberikan oleh hunian tempat individu melakukan aktifitasnya. Kebutuhan akan rumah tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim dan lingkungan setempat.

b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk mengembangkan kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi. Kebutuhan rumah ditinjau dari pemenuhan kebutuhan sosial budaya dimana dalam kehidupan, bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat sangat dibutuhkan dan kemudahan menuju tempat kerja untuk mendapatkan sumber penghasilan.

c. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan rumah tinggal serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.

(8)

rumah sebagaimana mestinya (Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1992 dengan judul Perumahan dan Permukiman).

2.3 Rumah Tradisional

Tradisional adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang pada norma dan adat yang ada secara turun temurun. Tradisional berasal dari kata “tradisi” artinya adat kebiasaan turun temurun yang masih

dijalankan oleh kelompok masyarakat (Suharjanto, 2011). Tradisionalism adalah suatu paham yang berdasarkan pada tradisi (Poerwadarminta. 1976)

Rumah tradisional adalah rumah dari beberapa generasi tidak mengalami perkembangan, maupun perubahan (Hidayati, 1993). Dalam satu budaya tertentu, di lingkungan tertentu pula, terdapat bermacam-macam perilaku masyarakat, tidak selalu memiliki kesamaan perilaku dari anggota budaya tertentu. Norma budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Kesetiaan pada adat kebiasaan ini bergantung pada persepsi seseorang (Marcella, 2004).

(9)

menentukan corak modernisasi yang akan mewarnai arsitektur Indonesia selanjutnya (Soeroto, 2003).

2.4 Rumah Tradisional Karo

Perkembangan kebudayaan berkaitan dengan sejarah kebangsaan sedangkan perkembangan arsitektur berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu bangsa. Masuknya suatu peradaban baru mustahil dapat menggoyahkan kebudayaan yang sedemikian utuh. Teknologi dan tata nilai berhasil diadaptasi ke dalam bentuk bangunan tradisional. Proses pembaharuan berlangsung tanpa merusak nilai-nilai yang menjiwai wujud arsitekturnya, dan arsitektur tradisional mencapai puncak keindahannya sebagai gambaran kebesaran kebudayaan suatu bangsa (Soeroto, 2003). Dengan mengetahui dan memahami arsitektur tradisional dan mengetahui latar belakang budayanya, maka nilai-nilai tradisi akan terus hidup dan berkembang sebagai bagian kebudayaan bangsa. Pemahaman tradisi dan budaya tersebut akan mengembalikan jati diri dan memberi warna pada bangunan-bangunan yang bercirikan kepribadian Indonesia.

Kehidupan yang terus berjalan dan kebudayaan pun akan berkembang seiring jaman. Kebudayaan harus menciptakan bentuk arsitekturnya yang lahir dari keinginan rohani. Dari bentuk yang jujur, wajar, sederhana dan memancarkan kebenaran niscaya terwujud keindahan sejati (Soeroto, 2003) yaitu dengan membahas dan mempelajari kembali nilai-nilai luhur kebudayaan dan juga kearifan arsitekturnya.

(10)

Julu) dan pintu hilir (Ture Jahe) sebagai pintu utama. Bagian-bagian atapnya berbentuk paduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segitiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe). Bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dapur-dapur yang terletak di atas beberapa tiang. Terdapat beberapa jenis bangunan tradisional Karo yaitu:

1. Si Waluh Jabu, yaitu tempat tinggal raja yang memiliki banyak ornamen dan makna. Delapan rumah atau makna sebenarnya berarti delapan keluarga dalam satu kekerabatan. Rumah Si Waluh Jabu adalah nama lain dari Gerga atau Belang Ayo.

Gambar 2.1 Si Waluh Jabu

(11)

Gambar 2.2 Denah rumah Siwaluh Jabu

Sumber : Buku Arti dan Fungsi Tanah (2015)

Nama kedudukan dan fungsi setiap jabu adalah (Antonius, 2015):

 Jabu nomor 1 dinamakan jabu bena kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan keluaga bangsa taneh. Derajatnya sebagai pemimpin merangkap anggota jabu-jabu. Dialah yang berhak tanah rumah siwaluh jabu.

 Jabu nomor 2 dinamakan jabu ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan anak beru dari jabu benah kayu. Penghuni jabu ini bertindak mewakili penghuni jabu bena kayu untuk menyampaikan perintah-perintah atau nasihat-nasihat pada semua penghuni atau

(12)

 Jabu nomor 3 dinamakan jabu leper bena kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan pihak anak, saudara penghuni jabu benah kayu. Penghuni jabu tergolong bangsa taneh. Menurut fungsi bahwa jabu ini dinamakan jabu sungkun barita, karena bertugas meneliti dan menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.

 Jabu nomor 4 disebut jabu leper ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan pihak kalimbubu juga jabu simangan minem. Kedudukan penghuni jabu sangat dihormati karena statusnya sebagai kalimbubu.

 Jabu nomor 5 disebut jabu sedapurka bena kayu yaitu sebagai tempat kedudukan anak beru menteri dari jabu benah kayu. Sesuai dengan fungsinya, jabu ini dinamakan juga jabu peninggel-ninggel yang artinya mendengarkan. Fungsi jabu yaitu mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan di dalam musyawarah anggota rumah adat.

 Jabu nomor 6 dinamakan jabu sedapurka ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan anak, saudara dari penghuni jabu kalimbubu bena kayu. Jabu ini disebut juga jabu ariteneng yaitu yang dianggap sebagai pemberi ketenangan, ketentraman bagi seluruh penghuni jabu.

 Jabu nomor 7 disebut jabu sedapurka leper bena kayu yaitu sebagai tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini dinamakan jabu bicara guru yang berkewajiban mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan.

(13)

 Jabu ini disebut juga jabu singkapur belo sesuai dengan kedudukannya yang bertugas menyediakan, menyuguhkan sirih kepada seseorang pendatang dan pembantu penghuni jabu bena kayu menjamu tamu. 2. Sepulu Jabu, yaitu satu rumah yang terdiri dari 10 keluarga dalam satu

kekerabatan dan memiliki ukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu

3. Sepulu Dua Jabu, yaitu rumah yang terdapat 12 keluarga dalam satu kekerabatan yang tidak memiliki kamar seperti Rumah Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.

Gambar 2.3 Sepulu Dua Jabu

Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland

(14)

Gambar 2.4 Sepulu Enem Jabu

Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland

5. Si Enem Jabu, yaitu rumah yang berukuran lebih kecil dari Si Waluh Jabu dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan

6. Si Empat Jabu, yaitu rumah yang berukuran palig kecil dan dihuni oleh 4 keluarga dalam satu kekerabatan.

7. Jambur, yaitu suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan yang memiliki bentuk rumah tradisional Karo dengan atap ijuk merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat dan juga kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan sebagai tempat beristirahat anak muda. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung Simpang Empata. Para pemuda tidak pantas tidur dengan orangtuanya dalam satu kelambu yang disekat-sekat dan sempit.

8. Griten (Geriten), yaitu bangunan sebagai tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, yang ditopang oleh tiang penyangga bangunan.

(15)

tingkat dan ditopang oleh tiang dan lantai bawah tidak memiliki dinding. Ruang ini juga digunakan sebagai tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Pada bagian atas digunakan sebagai menyimpan padi.

Gambar 2.5 Sapo Page

Sumber: pusakaKaro.wordpress.com

10.Keben yaitu tempat untuk menyimpan beras yang merupakan bagian terpenting dari budaya Karo karena beras merupakan tingkat status yang menunjukkan kekayaan seseorang.

Gambar 2.6 Keben

(16)

2.5 Masyarakat Karo

Suku Karo dikenal diperkirakan pada tahun 1250. Pada mulanya suku ini bernama suku Haru yang kemudian disebut Haro dan akhirnya dinamai suku Karo (Putro, 1951). Haru adalah kerajaan yang cukup kuat dan memiliki wilayah yang sangat luas, mulai dari Siak (Riau) hingga ke sungai Wampu di Langkat. Raja kerajaan Haru sudah berganti secara turun-temurun karena kerajaan yang sudah cukup lama bertahan, dan pada tahun 1539 kerajaan Haru kalah akibat serangan tentara Aceh yang memiliki senjata yang kuat. Setelah menerima serangan, rakyat pergi menyelamatkan diri hingga ke Singkel, Pak-pak/Dairi, Aceh(Gayo Alas), Asahan, Simalungun dan dataran tinggi Karo (Karo Gugung), daerah Sipi-sipis dan Tebing Tinggi (Wahid, 2013).

Pada awalnya terdapat tiga kelompok kekerabatan (marga), yakni Ginting, Peranginangin dan Tarigan, kemudian bertambah menjadi marga Karo-Karo dan Sembiring, tergambar pada bentuk pemerintahan lokal yaitu: Kerajaan Sinembah yang rajanya berasal dari keturunan Sembiring Meliala, Kerajaan Suka dari keturunan Ginting Suka, dan Kerajaan Lingga dari keturunan Sinulingga. Pada jaman kolonial Belanda ditambah lagi dengan kerajaan Kuta Buluh yang rajanya berasal dari keturunan Peranginangin (Wahid, 2013)

Di dalam wilayah suku bangsa Karo terdapat beberapa bagian daerah yaitu (Putro, 1981):

1. Daerah Karo Gugung yaitu Kabupaten Karo. Daerah Karo Gugung terbagi lagi yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-Gunung dan Taneh

(17)

2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan Cingkes tahun 1946

3. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah yang berada disepanjang sungai Lau Renun

4. Daerah Karo Jahe yaitu derah Hulu

5. Daerah Karo Binge yaitu Karo Salapian, Karo Buah Orok yang sekarang disebut dengan Karo Langkat

Orang yang mendirikan kampung (kuta) pasti memiliki marga. Misalnya kampung yang didirikan oleh marga Karo-Karo, maka kampung disebut Panteken (yang mendirikan) marga Karo-Karo. Maka marga Karo-Karo sebagai marga (anak) tanah. Dan jika ada marga lain yang datang untuk tinggal di kampung tersebut akan menjadi satu keluarga dan memiliki kedudukan sebagai kalimbubu (pihak keluarga perempuan yang dinikahi) atau anak beru (keluarga laki-laki yang menikahi anak perempuan sebuah keluarga).

2.6 Pola Perkampungan Masyarakat Karo

(18)

Utara-Selatan, dimana pintu utama diletakkan searah dengan aliran sungai atau dibagian selatan, dengan demikian panjang bangunan diletakkan pada arah utara selatan dan lebarnya pada arah timur dan barat. Dengan demikian tidak terdapat rumah yang dibangun menentang arus sungai. Mata angin yang digunakan masyarakat Karo disebut Desa Siwaluh yaitu mata angin yang terdiri dari delapan penjuru yang sama halnya dengan mata angin pada umumnya (Wahid,2013).

2.7 Rumah Tradisional Karo

2.7.1 Bagian Bawah Rumah

(19)

Gambar 2.7 Bagian Bawah Rumah

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara 2.7.2 Bagian Tengah Rumah (Lantai)

Bangunan Karo menggunakan lantai berlapis dengan ketinggian lantai bawah 1,5 m dari tanah dan jarak antara lantai atas dan bawah adalah sekitar 0,4 cm. Konstruksi rangka lantai diawali dari balok-balok (awit) kecil terbuat dari pohon enau kering (pengguh) bulat berdiameter 10 cm atau berbentuk papan berukuran 8x12 cm yag menjorok keluar sepanjang 70 cm dan terletak melintang diatas balok penghubung kolom-kolom (pemajang) bangunan yang paling atas dimana struktur lantai diletakkan dinamai dabuhen. Di atas balok-balok (awit) kecil tersebut diletakkan belahan bambu (galigar awit) berukuran 6x12 cm yang tidak struktural yang disusun rapat yang ditutupi dengan lapisan salimar yang terbuat dari papan dengan ketebalan 6 cm.

(20)

ujung awit yang menjorok keluar sejauh 0,7 m yang menopang balok keliling berukuran 88x20 cm yang disebut dapur-dapur yang diletakkan miring. Dapur yang mirip dengan perahu dibuat mengelilingi bangunan dan dapur melintang dan membujur dihubungkan dengan pen (Wahid, 2013).

2.7.3 Bagian Tengah Rumah (Dinding)

Dinding bangunan berada pada posisi miring sekitar 30 derajat dengan ketinggian sekitar 100 m, terletak di atas dapu-dapur yang terdiri dari papan-papan dari bahan kayu yang dinamakan ndap-dap tua yang dihubungkan dengan satu sama lain dengan cara diikat dengan tali ijuk (ret-ret). Di bagian bawah, dinding tegak miring lalu dihubungkan dengan sambungan celah dengan dapu-dapur dan dibagian atas dinding miring bertumpu pada balok (Junjungan Derpih) berukuran 7x15 cm yang berfungsi untuk pengikat, di atas junjungan derpih terdapat rusuk-rusuk (perongkil) penahan penutup atap ijuk berukuran 5x5x200 cm berjarak sekitar 40 cm antara satu dengan lainnya yang dibuat dari batang enau (Wahid, 2013).

(21)

Gambar 2.8 Dinding Rumah

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara 2.7.4 Bagian Tengah Rumah (Pintu Atau Labah)

Rumah Karo pada umumnya memiliki dua buah pintu (labah) yang terletak pada bagian hilir (pintu jahe) dan dibagian hulu atau pintu hulu. Tetapi di bagian sebelah kamar rumah raja juga terdapat pintu yang berbentuk seperti bentuk labah tetapi lebih kecil. Setiap pintu diberi palang dibagian dalam sebagai kunci (Wahid, 2013).

Rumah Karo pada umumnya juga memiliki jendela, paling sedikit terdapat dua buah jendela di setiap sisi bangunannya yaitu bagian hilir (pintu perik kenjahe) dan satu di bagian hulu (pintu perik kenjulu). Tetapi sering juga terdapat di setiap kamar. Jendela kecil yang berbentuk memanjang dengan ukuran panjang 120 cm dan lebar 25 cm. Jendela lainnya yaitu jendela yang disebut pintu perik mirip dengan pintu tetapi hanya dengan satu daun (Wahid, 2013).

(22)

dilengkapi dengan pegangan tangan (cikepen). Pintu diukir dan dilengkapi dengan kunci pen kayu (Wahid, 2013).

Gambar 2.9 Pintu Rumah

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

Gambar 2.10 Jenis Jendela Rumah

(23)

Gambar 2.11 Jenis Jendela Rumah

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara 2.7.5 Bagian Tengah Rumah (Para Atau Rak)

Para adalah tempat berbentuk rak yang ditopang dengan beberapa tiang atau digantung yang diletakkan pada bagian yang tinggi dalam rumah. Terdapat 4 buah para yang diletakkan bertingkat (Wahid, 2013) yaitu:

1. Para pengeringan (Tuhor)

Para pengeringan terletak di atas dapur masing-masing jabu (ruang) yang terdapat dalam rumah. Ukuran para tuhor 2x2 m (sesuai dengan luas dapur). Tiap-tiap sudut para pengeringan diberi gantungan untuk tempat menggantungkan sesuatu seperti daging, parang dan lain-lain. Sedangkan pada bagian tengahnya dijadikan tempat mengeringkan lada dan lain-lain. 2. Para penyimpanan periuk (Kudin)

Para periuk adalah bagian dari para pengeringan yang terletak pada bagian atas, berbentuk bak dengan kedalaman 30 cm. Para ini berfungsi sebagai tempat menyimpan kuali atau periuk dan mengeringkan kemiri dan lain-lain.

(24)

Para sesajen adalah para yang terletak diatas “Jabu Bata Ruang” yang

terbuat dari balok atau papan dengan lebar 2 m dengan panjang 6 m. Para ini berfungsi sebagai tempat memberikan sesajen kepada dewa dan arwah leluhur.

4. Para layar

Para layar terletak pada bagian teratas dari ketiga lainnya yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan periuk yang diperkirakan adalah periuk tempat sesembahan.

2.7.6 Bagian Tengah Rumah (Beranda)

Setiap rumah mempunyai dua buah beranda (ture) yang terletak disebelah hilir (ture jahe) dan satu bagian hulu (ture julu). Beranda ini terbuat dari lantai bambu ulat yang ditopang dengan tiang setinggi 1,5 m, dengan panjang sekitar 3 m dan lebar 6 m. Beranda berfungsi sebagai (Wahid, 2013) :

 Tempat para wanita menganyam bakul, tikar dan lain-lain pada saat malam hari

 Tempat berbincang dan memadu kasih antara gadis dan pemuda pada malam hari

 Tempat memandikan anak

 Tempat memandikan mayat (bila ada salah satu anggota rumah yang meninggal dunia)

(25)

Gambar 2.12 Beranda Rumah

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara 2.7.7 Bagian Tengah Rumah (Dapur)

Setiap rumah mempunyai 4 buah dapur, yaitu dua dibagian hilir dan dua dibagian hulu yang terdapat pada tiap jabu ruang. Tiap dapur digunakan oleh dua keluarga yang saling bersebelahan (Sedapuren). Dapur berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran 2x2 meter persegi dilengkapi dengan anak batu (mutu), dan tiga buah tungku (diliken) di tengah-tengah dapur, yang menggambarkan kelompok kekerabatan masyarakat Karo yang disebut pengikat tiga (Rakut si telu) yaitu, anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena setiap dapur digunakan oleh dua keluarga, maka setiap dapur terdapat dua pasang tungku yang terdiri dari enam buah tungku (diliken) (Wahid, 2013).

2.7.8 Bagian Atas Rumah (Atap)

(26)

lantai. Bentuk atap merupakan gabungan antara pelana dan perisai dan pada ujung puncak atap pelana terdapat kepala kerbau yang terbuat dari ijuk sebagai simbol (Wahid, 2013).

Tanduk rumah terbuat dari tanduk kerbau yang diletakkan pada atas ujung-ujung bubungan pada rangka ujung-ujung atas rusuk yang menyerupai kepala kerbau. Di Barus Jahe tanduk rumah terletak pada ruang kayu yang terbuat dari tanduk kerbau jantan dan pada bagian utara adalah tanduk kerbau betina. Pada bagian mulut kerbau digantungkan periuk tanah yang terbuat yang diisi dengan sesajen yang memiliki arti agar kerbau tidak memangsa penghuni rumah (Wahid, 2013).

Gambar 2.13 Tanduk Kerbau

Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

(27)

Tampune-tampune, Pako-pako, Lumut laut, Ampik-ampik lembu, ujen labang, desa sawaluh serta lipan-lipan (Wahid, 2013).

Rangka tempat dudukan atap ijuk terbuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran 1x3 cm yang disusun dengan jarak 4 cm dan diikat dengan rotan, atap ijuk diikatkan dengan diapit bambu belah dan disusun secara berlapis-lapis sehingga semakin kebawah maka akan semakin tebal. Ketebalan pada bagian atas hanya sekitar 15 cm tetapi di bagian bawah memiliki ketebalan 25 cm. Di bagian samping cucuran atap disusun dengan membuat gulungan ijuk berdiameter 10 cm yang disusun dua lapis secara teratur dan diikat lalu ditutup dengan lembaran-lembaran ijuk lainnya lalu diikat dengan ijuk (Wahid, 2013).

Penutup atap terbuat dari ijuk yang dikaitkan dengan reng yang terbuat dari belahan kayu bambu kecil-kecil yang dihubungkan dengan rusuk-rusuk atap dengan cara diikat dengan tali rotan atau ijuk. Adapun perhitungan keperluan banyaknya ijuk (Wahid, 2013) yaitu :

 Berat ijuk penutup atap 2,4 ton untuk setiap rumah

 1 rumah memerlukan 20 ikat ijuk

 1 ikat memiliki berat 20 kg yang terdiri dari 100 hingga 200 lembar lempengan ijuk.

Manurut bentuk atapnya terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja Sibayak. Adapun pembagian lainnya yaitu:

(28)

Gambar 2.14 Rumah Kurung Manik

Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara 2. Rumah dengan beratap satu tingkat (Sada tersek)

Gambar 2.15 Rumah Sada Tersek

Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara

3. Rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjung-anjung)

2.8 Makna Ragam Hias Tradisional Karo

(29)

kelihatan tumbuh-tumbuhan (salur-saluran) namun namanya hubun sikawiten (embun beranak), berupa cosmos. Ragam hias tersebut biasa ditemukan di dapur.

Terdapat 5 jenis warna pada ragam hias yang disesuaikan dengan banyak marga di Tanah Karo (marga utama). Adapun makna dari kelima warna tersebut yaitu : (1) Putih yang artinya berhati bersih/suci, (2) Merah yang artinya merawa/garang, (3) Hitam yang artinya Si kujuma kurumah/rakyat jelata/awam, (4) Biru yang arinya pendek/orang yang sering berdoa, (5) Kuning yang artinya guru/dukun.

Tabel 2.1 Ragam Hias Pada Rumah Tradisional Karo

Gambar Nama Arti Ornamen

Pengeret-eret Sebagai kekuatan menolak bala, ancaman dari roh jahat terhadap penghuni/pemilik rumah dan juga sebagai persatuan keluarga. Ornamen ini terbuat dari anyaman ijuk dan dikaitkan dengan dinding depan rumah sebagai pengganti paku. Tapak Raja Sulaiman Nama ornamen diadaptasi

(30)
(31)

Gambar Nama Arti Ornamen

Ornamen Desa Siwaluh

Berbentuk geometris seperti bintang dengan delapan bagian yang berfungsi sebagai arah mata angindan juga dapat menentukan arah yang baik dan buruk. Kedelapan mata angin yaitu : Purba(timur),

(32)

Gambar Nama Arti Ornamen

gumpalan awan tebal di atasnya sesuai dengan fungsi kalimbubu.

Bindu Matagah Sebagai kekuatan batin agar pemilik rumah tidak diganggu oleh kekuatan jahat. Biasanya terletak pada dinding pemikul. Bindu Matoguh Berbentuk menyilam

diagonal. Yang memiliki arti keteguhan masyarakat Karo untuk bertindak adil dan tidak melanggar norma.

Indung-indung Simata Sebagai hiasan pada bangunan gantang beru-beru, cimba lau, dan gantang perburiken.

Tulak Paku Petundal Sebagai penolak niat jahat terhadap penghuni rumah.

Lipan Nangkih Tongkeh

(33)

Gambar Nama Arti Ornamen

Kite-kite Perkis Segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai jembatan dinamakan kite-kite, sedang perkis adalah nama untuk semut

Ipen-ipen Sebagai menolak bala yang diadaptasi dari runcingnya segitiga yang seperti gigi.

Lukisen Suki Suki artinya pojok, jadi artinya lukisan yang diletakkan dipojok

Bunga Bincole Bunga Bincole

Pucuk Merbung Pucuk pakis Aji

Pucuk Tenggiang Pucuk pakis Aji

(34)

Gambar Nama Arti Ornamen

Bendi-bendi Pegangan pintu atau jendela

Keret-keret Ketadu Keret artinya keratin atau potongan sedangkan ketadu adalah sejenis ulat hijau

Litap-litap Lembu Pegangan pintu atau jendela

Lukisen Tonggal Pegangan pintu atau jendela

Taruk-taruk Pucuk labu kuning

Kidu-kidu Jeroan

Lukisan Perdamaiken Lukisan perdamaian

Lukisan Burung Binara

(35)

Gambar Nama Arti Ornamen

Tanduk Kerbo Payung Tanduk kerbau

Sumber: Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.9 Desa Lingga

(36)

Gambar 2.16 Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga

Sumber : Karo.or.id

Desa Lingga terletak pada ketinggian 1200 meter dari permukaan laut.. Jarak Desa Lingga dari ibukota kecamatan Simpang Empat yaitu 5 km. Luas keseluruhan Desa Lingga adalah 16,24 km2. Desa Lingga terletak di dataran rendah yang dikelilingi desa-desa lainnya yang merupakan daerah pertanian. Adapun batas-batas Desa Lingga yaitu :

 Sebelah utara berbatasan dengan Desa Surbakti.

 Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kacaribu.

 Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kaban.

 Sebelah barat berbatasan dengan Desa Nang Belawan 1. Iklim Desa Lingga yaitu iklim kemarau dan penghujan.

2. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Lingga yaitu bertani.

(37)

Gambar 2.17 Desa Lingga

(38)

2.10 KERANGKA BERPIKIR

LATAR BELAKANG

 Desa Lingga dikenal sebagai desa tradisional yang menjadi salah satu objek wisata karena desa-desa tersebut mewakili sejarah dan peradaban budaya Karo.

 Rumah tradisional Karo terkenal dengan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dan juga ornamen-ornamen yang kaya akan filosofi mendukung rumah tradisional Karo menjadi salah satu aset budaya yang ada di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.

 Dengan berkembangya zaman, masyarakat pada Desa Lingga sudah tidak banyak yang memiliki bangunan dengan gaya rumah tradisional Karo.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui simbol pada arsitektur yang terdapat di dinding rumah tradisional Karo yang ada pada Desa Lingga.

2. Mengetahui pengaruh simbol tersebut terhadap masyarakat pada Desa Lingga yang masih mempertahankan rumah tradisional Karo.

HASIL DAN PEMBAHASAN PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana simbol pada arsitektur bagian dinding rumah tradisional Karo yang ada di Desa Lingga?

Gambar

Gambar 2.1 Si Waluh Jabu
Gambar 2.2  Denah rumah Siwaluh Jabu
Gambar 2.3 Sepulu Dua Jabu
Gambar 2.4 Sepulu Enem Jabu
+7

Referensi

Dokumen terkait

tambahan pada tipe 3 rumah Karo keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu. Material pada bagian atap dari bangunan tambahan adalah seng, dan memiliki. bentuk atap setengah miring,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pada bangunan apa sajakah yang menerapkan ornamen tradisional di Kabupaten Karo, dan mengetahui motif apa yang paling banyak digunakan

mengetahui potensi yang dimiliki rumah adat Karo sebagai cagar budaya, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya perhatian dalam melestarikan rumah

Selain itu di desa Lingga ini juga masih terdapat beberapa bangunan rumah adat yang disebut masyarakat Karo Rumah Si Waluh Jabu.Rumah adat ini biasanya dihuni oleh 8

Bentuk dari Rumah Adat Mesegali ini hampir menyerupai bentuk kubus dengan struktur atap yang sangat rendah, ciri khas lain dari rumah adat ini yaitu jumlah

Ciri khas rumah gadang adalah mempunyai keunikan dalam bentuk arsitekturnya dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau yang terbuat dari bahan ijuk.. Rumah ini berfungsi sebagai

Selain itu di desa Lingga ini juga masih terdapat beberapa bangunan rumah adat yang disebut masyarakat Karo Rumah Si Waluh Jabu.Rumah adat ini biasanya dihuni oleh 8

Bangunan yang memiliki bentuk atap limas perabung belah dengan tipe yang sama berjumlah 8 unit rumah, orientasi bangunan mengarah sungai, dengan pintu masuk ke rumah berada di sebalah