• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak

asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh

undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib

diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.

Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan

apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan

dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan

tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Konsepsi tentang negara hukum ini berkaitan erat sekali dengan Hak-hak

Asasi Manusia. Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai Negara Hukum selama

negara itu tidak memberikan penghargaan dan jaminan dihargainya hak-hak asasi

manusia, karena ciri-ciri dari pada negara hukum itu sebenarnya terdiri atas : 1

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh

suatu kekuasaan/ kekuatan lain apapun.

3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuk.

1

(2)

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk

penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian

dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Oleh karena itu masyarakat hukum

Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara

pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak

tersangka.2 Pada bagian lain insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan

perlakuan yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak

mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang Advokat profesional.

Sering dalam pelaksanaanya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam

mencari Penasehat Hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa

atau kaum miskin diintimidasi oleh penyidik. Termasuk adanya praktek-praktek

pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakukan tidak manusiawi lainnya

dalam setiap pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, dan adalah

cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut.3 Dalam keadaan seperti inilah

bantuan hukum yang dari Lembaga Bantuan Hukum diperlukan untuk membela

orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan

tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak

hukum.

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi

penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,

dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang

2

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000) hal. 63

3

(3)

tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana

dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul.

Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang

menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa

dihadapkan ke muka pengadilan.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain untuk

melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam

pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.4 Anak perlu

mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan

yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik,

dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis

(Legal Protection).

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang

dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara

hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang

masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban,

bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi

hukum.5

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2013) Hal. 2

5

(4)

Dalam hal melindungi hak-hak anak dan membantu anak pelaku tindak

pidana yang menjalani persidangan peradilan pidana anak, maka diperlukan

bantuan dari ahli-ahli hukum. Dalam hal anak tersebut merupakan masyarakat

kurang mampu, maka Lembaga Bantuan Hukum adalah salah satu lembaga yang

paling tepat dipilih untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dan

mencari keadilan dalam peradilan pidana.

Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang ini di Indonesia

merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti ini

tidak dikenal. Lembaga ini baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan

sistem hukum barat yang bermula pada tahun 1848, ketika itu di negeri Belanda

terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi,

maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundang-undangan

baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan

tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de

Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O). Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali Lembaga Advokat,

maka diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan

Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia.6 Tetapi nampaknya peranan

Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena

jumlah para Advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang

sedikit.

6

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,

(5)

Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru

ketika di era tahun 70an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga

Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution. Lembaga

Bantuan Hukum ini merupakan pilot proyek dari Peradi. Lembaga Bantuan

Hukum sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice

sistem) dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka. Ide dari Lembaga Bantuan Hukum itu sendiri dicetuskan semula

sebagai aktualisasi dan konseptualisasi dari fungsi Advokat untuk membagi waktu

dan keahliannya untuk membantu, memberi nasehat hukum dan membela

orang-orang yang tidak mampu.7

Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum sangat penting ditengah

masyarakat mengingat prinsip persamaan didepan hukum atau equality before the

law. Apalagi dengan sebagian besar anggota masyarakat kita masih hidup

dibawah garis kemiskinan, dan minimnya pengetahuan hukum masyarakat juga

merupakan hambatan dalam menerapkan hukum dalam masyarakat. Terlebih lagi

budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih

rendah. Sebagai suatu perumpamaan adalah adanya kasus yang dihadapi si kaya

dan si miskin. Pihak yang kaya pasti tanpa kesulitan akan mendapatkan bantuan

hukum dari seorang pemberi bantuan hukum yang benar-benar mahir dan

profesional tentunya karena kekayaan yang dia miliki. Sedangkan bagi si miskin

dan buta hukum pasti akan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Situasi seperti

inilah yang memungkinkan Lembaga Bantuan Hukum dengan kesadarannya

7

(6)

mengambil peran dalam pemberian bantuan hukum. Situasi dan kondisi ini

tentunya berbeda dengan keadaan yang ada diluar negeri dimana pada mulanya

Advokatlah yang bertugas memberikan bantuan hukum kepada golongan

lemah/fakir miskin. Namun karena sudah tidak terjangkau lagi beban tugas

bantuan hukum tersebut oleh Advokat mengingat kesibukannya sehari-hari maka

dibentuklah Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di luar negeri. Dengan kehadiran

Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana maka proses pencarian

keadilan menjadi seimbang dalam hal kedudukan masing-masing pihak, yakni

pihak negara berhadapan dengan tersangka/terdakwa dilain pihak.

Lembaga Bantuan Hukum selain karena mengusung konsep baru dalam

pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum

juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang

dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga Pendirian Lembaga Bantuan

Hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk

organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia.

Singkatnya penulis berpikir bahwa setiap orang harus diberikan bantuan

hukum dalam golongan apapun yang berhadapan dengan hukum, terlebih kepada

anak-anak yang tingkat sosialnya dalam golongan yang tidak mampu . Dengan

demikian, penulis merasa tertarik untuk menguraikan peranan Lembaga Bantuan

Hukum dalam memberikan bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat

kurang mampu dalam skripsi dengan judul “Pemberian Bantuan Hukum Secara

(7)

Berkonflik dengan Hukum dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga

Bantuan Hukum Medan).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan

latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia?

2. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan

Hukum ?

3. Bagaimana Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak

Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum

Dalam Peradilan Pidana Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia.

b. Mengetahui Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan

Hukum.

c. Mengetahui Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada

Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik dengan

Hukum dalam Peradilan Pidana Anak Oleh Lembaga Bantuan Hukum

(8)

2. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara Teoritis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu

Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum secara luas

dan memberikan pemahaman tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara

cuma-cuma oleh Lembaga Bantuan Hukum Kepada Anak Golongan

Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam Proses

Peradilan Pidana Anak.

b. Secara Praktis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak

hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa anak dalam

proses peradilan pidana anak dan juga masalah bantuan hukum kepada

tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Bantuan Hukum Cuma-cuma

Konsep bantuan hukum dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah

asing yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistence. Istilah legal aid

dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit

yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat

dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan

(9)

menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil

yang tidak mampu dan buta hukum.8

Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang

lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk

pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang tidak mampu

yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberi bantuan hukum oleh para

Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium.9 Disamping kedua istilah

tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal juga istilah

legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan

istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih

luas lagi dibanding dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal

services tercakup kegiatan : 10

a. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang

operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan

diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;

b. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota

masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin;

c. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak

yang diberikan hukum kepada setiap orang. Legal services dalam

operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian;

8

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) hal. 333

9

Ibid

10

(10)

Ada juga hubungan antara cara-cara pemerintah atau campur tangan

negara dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang

merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid :

modern themes and variations”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto : 11

“... Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi Perancis, maka bantuan hukum menjadi bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama untuk berurusan dengan Hakim”.

Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau

pemerintah tersebut, Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua

model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual

masih mewarisi ciri-ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu : “Permintaan akan

bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang

memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui

Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang

diberikannya dari negara.12

Pada bantuan hukum model kesejahteraan, campur tangan negara dituntut

untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara

untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau

perbaikan sosial, yaitu : “Kewajiban-kewajiban negara atau pemerintah untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak

11

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hal.11

12

(11)

tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi

hak-hak tersebut”.13

Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka

bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu : 14

a) Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan

penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas;

b) Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang

lazim disebut dengan konsultasi hukum;

c) Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan

hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis;

d) Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk

memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar;

e) Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mecakup usaha-usaha

untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang dalam arti materil.

Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan

bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun

rumusan tentang bantuan hukum :

Yang pertama, Santoso Poesjosoebroto berpendapat bahwa bantuan

hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut : 15

(12)

Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran

umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang

lingkupnya. Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa

Agung Republik Indonesia, yang berpendapat : 16

“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”

Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” merumuskan bantuan hukum yang

lebih luas yaitu : 17

“Bantuan Hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan hukum tersebut tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural”

Dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara

jelas/eksplisit tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54

undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak

tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih,

untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa,

selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

16

Ibid

17

(13)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.83 tahun 2008 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma pada

pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut :

“Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat

tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan

hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.

Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9

merumuskan bantuan hukum sebagai berikut : “Bantuan Hukum adalah jasa

hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak

mampu”.

Dalam undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

dijelaskan bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh

Pemberi Bantuan Hukum (lembaga bantuan hukum atau organisasi

kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan

undang-undang) Secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum (orang atau

kelompok orang miskin).

2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Sebelum lahirnya Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan

dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-undang No.3 tahun

(14)

Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik

dengan hukum , dan saat ini Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan

hukum.18

Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,

baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan

hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.

Berdasarkan pengertian diatas, maka M. Nasir Djamil dalam bukunya

mengungkapkan Undang-undang No.3 tahun 1997 tersebut telah

mencampur-adukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya, yakni : 19

1. “Anak nakal” didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak

pidana (crimes actor; dader). Perbuatan yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang undang-undang. Dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada. Pakar hukum pidana Hamel (1972) dan Noyon

Langemeyer, menyatakan bahwa straft baar feit sebagai kelakuan

orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan;

2. “Anak nakal” didefinisikan sebagai pelaku kenakalan (delinquency),

yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana (straft baar feit;

18

M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum.,(cet.II, Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2013) Hal.32

19

(15)

crimes). Maksudnya, melakukan perbuatan selain tindak pidana, yang karenanya tidak terikat dengan asal legalitas;

3. Pengertian “anak nakal” ini memberikan pembedaan antara tindak

pidana (straft baar feit; crimes) dengan kenakalan anak (juvenile

delinquency). Disisi lain, pengertian anak nakal ini sebenarnya adalah kriminalisasi atas kenakalan anak sebagaimana pasal 1 butir 2 huruf b Undang-undang No.3 tahun 1997. Karena ada ketidakjelasan pemaknaan “peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”, karena bisa menimbulkan

interprestasi.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum dibagi

menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang

menjadi korban tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang

dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah

berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.20 Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak

pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan

fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.21

Kemudian yang dimaksud dengan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah

anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya.22

20

Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka (3)

21

Ibid., Pasal 1 angka (4) 22

(16)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan

dengan hukum, yaitu :23

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; 2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile Delinquency”, yang

diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa

delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta

ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.24

Menurut Anthony M.Platt definisi delinquency adalah perbuatan anak

yang meliputi: pertama, perbuatan tindak pidana bila dilakukan oleh orang

dewasa; Kedua, perbuatan yang melanggar aturan negara atau masyarakat; Ketiga,

perilaku tidak bermoral yang ganas, pembolosan, perkataan kasar dan tidak

senonoh, tumbuh di jalan dan pergaulan dengan orang yang tidak baik yang

memungkinkan pengaruh buruk bagi anak di masa depan.25

23

M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal.33 24

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, (Bandung: Armico, 1984) hal.34 dalam buku Maidin Gultom, Op.Cit., Hal.55

25

(17)

Adanya perbedaan pandangan penggunaan istilah delinquency, disebabkan pendekatan yang digunakan, latar belakang akademik, kekhususan

ilmu yang digunakan dalam mengartikan delinquency. Perbedaan tersebut dapat

dikategorikan dalam tiga pengertian, yaitu : 26

1. The legal Definition (definisi secara hukum), yaitu definisi yang menitikberatkan pada perbuatannya atau perbuatan melanggar yang

dilakukan seseorang anak yang diklasifikasikan sebagai delinquency.

Perbuatan yang digolongkan sebagai delinquency tentunya diatur

dalam hukum yang tertulis, sehingga secara legal definition,

delinquency adalah sejumlah tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dinyatakan tindakan kriminal. Tindak kriminal yang dilarang diatur dalam perundang-undangan;

2. The role definition (definisi pemerannya), yaitu definisi yang menitikberatkan pada pelaku tindakan yang diklasifikasikan sebagai

anak atau delinquency. Fokus utama dalam menentukan pengertian

delinquency yaitu umur seseorang dibandingkan jenis pelanggaran

yang dilakukannya, sehingga pengertian delinquency mengacu pada

siapa yang dianggap delinquent. Delinquent yaitu seseorang yang

mendukung sebuah bentuk pelanggaran dalam sebuah periode waktu tertentu dan berada dalam lingkungan pola perilaku menyimpang. Pelaku sendiri telah mempunyai komitmen lebih dahulu terhadap perbuatan melanggar dengan mengikuti perilaku melanggarnya; 3. The societal responce defenition (definisi atas dasar tanggapan

masyarakat), yaitu menitikberatkan pada penilaian masyarakat sebagai anggota kelompok masyarakat yang bereaksi terhadap pelaku tindak dan pada akhirnya menentukan apakah pelaku dan

perbuatannya tersebut merupakan delinquency atau tidak. Aturan

yang dibuat masyarakat di lingkungan pelaku bertujuan untuk melakukan perlindungan dan tanggung jawab pelaku yang melanggar

atau delinquency.

Ketiga definisi diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam

pembahasannya delinquency selalu melibatkan pemahaman ketiga definisi

tersebut.

26

(18)

Paul Tappan mengemukakan “Juvenile Delinquent is a person who has been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction thought he may be no different, up who are not delinquent”. (anak yang delinkuen adalah seseorang

yang telah diputus dengan jurisdiksi pengadilan yang tepat meskipun mungkin

putusan pengadilan dan putusan hakim berbeda, meskipun bukan dari kelompok

anak yang tidak delinkuen) artinya bahwa juvenile adalah perilaku seorang anak

yang melanggar norma-norma yang telah ditentukan oleh lingkungan sekitarnya

dan perilaku tersebut dapat dijerat oleh kewenangan dari pengadilan anak.27

Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah perilaku

jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit

(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bantuk

pengabaian tingkah laku yang menyimpang.28

Perbedaan defenisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan

dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan

delinkuen. Berdasarkan defenisi delinkuensi diatas disimpulkan, delinkuensi

adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau

norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku didalam kelompok masyarakat

atau negara dimana anak tersebut bertempat tinggal yang bersifat anti sosial dan

(19)

3. Pengertian Golongan Masyarakat Kurang Mampu

Sebagai negara yang sedang berkembang, keadaan perekonomian

Indonesia belumlah menggembirakan. Meskipun pembangunan ekonomi sudah

berjalan puluhan tahun, kemiskinan masih tetap merupakan gambaran umum.

Ukuran menetukan Golongan masyarakat kurang mampu atau biasa dikatakan

sebagai masyarakat miskin merupakan masalah yang sulit untuk dipecahkan.

Akan tetapi, dewasa ini pada tanggal 17 Desember 2013, kementerian sosial

mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan

Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak mampu.

Dalam Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan

Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu pada bagian kedua

menetapkan bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu memiliki kriteria sebagai

berikut :

a. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai

sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar;

b. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi

konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana;

c. Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga

medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;

d. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk

(20)

e. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai

jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

f. Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan

kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah

usang/berlumut atau tembok tidak diplester;

g. Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan

kondisi tidak baik/kualitas rendah;

h. Atap terbuat dari ijuk/rumbla atau genteng/seng asbes dengan kondisi

tidak baik/ kualitas rendah;

i. Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik

atau listrik tanpa meteran;

j. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8m2/orang; dan

k. Mempunyai sumber air minum bersala dari sumur atau mata air tak

terlindungi/air sungai/air hujan dan lainnya.

Dalam Undang-undang Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 tidak

diuraikan secara eksplisit tentang golongan masyarakat kurang mampu. Akan

tetapi dapat kita lihat dalam persyaratan yang ditentukan bagi golongan penerima

Bantuan Hukum secara Cuma-cuma. Pada pasal 14 Undang-undang Bantuan

Hukum tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum pada ayat (1) poin

(c) dijelaskan bahwa penerima bantuan hukum harus melampirkan surat

keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat

(21)

golongan masyarakat tidak mampu adalah mereka yang memiliki surat keterangan

miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat.

4. Pengertian peradilan pidana dan peradilan pidana anak

Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan

di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang

terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain.30 Sistem

merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana

antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain,

tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang-tindih).

Istilah “Criminal Justice System” atau sistem peradilan pidana

menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan

mempergunakan pendekatan sistem.31 Remington dan Ohlin mengemukakan :

Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”32

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam

30

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002) Hal.305 31

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996) hal. 14

32

(22)

konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk

kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa

ketidakadilan.33

Sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalui tiga komponen

dasar sistem. Pertama, substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk

undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, yang berlaku menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl.

1941 No.44), serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau

petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya

sehari-hari. Kedua, struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri

dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan Lembaga Pemasyarakatan.

Ketiga, kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain, kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan

pidana.34

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana memiliki dimensi

yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana

merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia

(didalamnya ada aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang

saling berkaitan dalam membangun realitas yang mereka ciptakan. Aparatur

hukum membawa pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari

untuk membangun realitas. Melalui proses dialektika, dunia peradilan pidana terus

33

Ibid.,Hal. 16

34

(23)

menerus mengalami apa yang dinamakan oleh Berger dengan eksternalisasi,

objektivasi dan internalisasi. Pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan

merupakan representasi dari proses yang melibatkan komunikasi dalam

pembentukan realitas. Proses ini menjelaskan realitas peradilan, sementara aturan

normatif merupakan refleksi dari proses interaksi yang demikian itu.35

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian

perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai

dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.36

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah

The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa

penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat

penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.37

Sistem peradilan pidana anak adalah segala unsur sistem peradilan pidana

yang terkait didalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi

sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan sistem

peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses

lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan

menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses kepengadilan anak.

Ketiga, pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam

35

Ibid., hal.77 36

Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (1)

37

(24)

pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.

Yang terakhir institusi penghukuman.38

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian yang digunakan

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan

pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis

menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas

hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan

buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan

dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis

berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari

penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai Pemberian bantuan hukum secara

cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik

dengan hukum dalam peradilan pidana anak.

2. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian

comparatif yaitu penelitian yang dilakukan membandingkan teori dengan

pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh

38

(25)

keterangan, penjelasan dan data mengenai tugas dan fungsi Lembaga Bantuan

Hukum dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.

Lokasi ini dipilih karena Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan salah satu

Lembaga Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada masyarakat dan merupakan cabang dari Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.

4. Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari :

a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari Lembaga Bantuan Hukum

Medan sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berupa :

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

a) Norma/Kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

b) Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945

c) Peraturan Perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan

tulisan ini

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, karya dari

(26)

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yang mencakup

bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia

dan sebagainya.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan cara :

a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder

b. Studi lapangan (field research), melalui :

1. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di

Lembaga Bantuan Hukum Medan mengenai tugas dan fungsi serta peran

Lembaga Bantuan Hukum Medan terhadap pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu

yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak.

2. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan pengamatan

langsung di Lembaga Bantuan Hukum Medan bagaimana lembaga

tersebut dalam memberikan bantuan hukum dan konsultasi hukum secara

cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dari hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak

Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam

(27)

Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan

diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain

tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan

secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar

memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan

ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua akan dibahas mengenai pengaturan bantuan hukum di

indonesia.

Pada bab ketiga akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum.

Pada bab keempat akan dibahas mengenai pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang

(28)

Pada bab kelima berisi mengenai kesimpulan dan saran yang penulis

Referensi

Dokumen terkait

Water delivery records of 1994 were used to analyse: (1) the structure of land tenure and irrigation management units, (2) the relationships between land tenure and water billing,

[r]

• Sekilas argumen dan kesimpulan sangat meyakinkan, jika Anda sepakat bahwa semua politisi sudah menikah dan Senator Harris adalah politisi, maka sudah pasti Senator Harris

[r]

Anda seorang pebisnis agrobisnis yang hendak membeli air untuk mengisi air kolam ikan tawar anda dengan ukuran 15 meter  10 meter dengan kedalam air setinggi 120 cm.. Anda

Model persamaan penelitian dibangun berdasarkan proses pengaruh- mempengaruhi ( transmission mechanism ), dengan urutan sebagai berikut investasi infrastruktur transportasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLBN 2 Padang Tahun

Sementara itu, pembacaan hermeneutik memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang penciptaan lagu tersebut.Tema dan masalah adalah mengenai