BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak
asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh
undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib
diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan
dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan
tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Konsepsi tentang negara hukum ini berkaitan erat sekali dengan Hak-hak
Asasi Manusia. Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai Negara Hukum selama
negara itu tidak memberikan penghargaan dan jaminan dihargainya hak-hak asasi
manusia, karena ciri-ciri dari pada negara hukum itu sebenarnya terdiri atas : 1
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan/ kekuatan lain apapun.
3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuk.
1
Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk
penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian
dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Oleh karena itu masyarakat hukum
Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara
pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak
tersangka.2 Pada bagian lain insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak
mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang Advokat profesional.
Sering dalam pelaksanaanya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam
mencari Penasehat Hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa
atau kaum miskin diintimidasi oleh penyidik. Termasuk adanya praktek-praktek
pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakukan tidak manusiawi lainnya
dalam setiap pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, dan adalah
cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut.3 Dalam keadaan seperti inilah
bantuan hukum yang dari Lembaga Bantuan Hukum diperlukan untuk membela
orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan
tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak
hukum.
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi
penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,
dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
2
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000) hal. 63
3
tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana
dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul.
Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang
menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa
dihadapkan ke muka pengadilan.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain untuk
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya.4 Anak perlu
mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik,
dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis
(Legal Protection).
Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang
dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara
hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang
masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban,
bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi
hukum.5
4
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2013) Hal. 2
5
Dalam hal melindungi hak-hak anak dan membantu anak pelaku tindak
pidana yang menjalani persidangan peradilan pidana anak, maka diperlukan
bantuan dari ahli-ahli hukum. Dalam hal anak tersebut merupakan masyarakat
kurang mampu, maka Lembaga Bantuan Hukum adalah salah satu lembaga yang
paling tepat dipilih untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dan
mencari keadilan dalam peradilan pidana.
Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang ini di Indonesia
merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti ini
tidak dikenal. Lembaga ini baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan
sistem hukum barat yang bermula pada tahun 1848, ketika itu di negeri Belanda
terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi,
maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundang-undangan
baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan
tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de
Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O). Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali Lembaga Advokat,
maka diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan
Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia.6 Tetapi nampaknya peranan
Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena
jumlah para Advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang
sedikit.
6
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru
ketika di era tahun 70an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution. Lembaga
Bantuan Hukum ini merupakan pilot proyek dari Peradi. Lembaga Bantuan
Hukum sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice
sistem) dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka. Ide dari Lembaga Bantuan Hukum itu sendiri dicetuskan semula
sebagai aktualisasi dan konseptualisasi dari fungsi Advokat untuk membagi waktu
dan keahliannya untuk membantu, memberi nasehat hukum dan membela
orang-orang yang tidak mampu.7
Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum sangat penting ditengah
masyarakat mengingat prinsip persamaan didepan hukum atau equality before the
law. Apalagi dengan sebagian besar anggota masyarakat kita masih hidup
dibawah garis kemiskinan, dan minimnya pengetahuan hukum masyarakat juga
merupakan hambatan dalam menerapkan hukum dalam masyarakat. Terlebih lagi
budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih
rendah. Sebagai suatu perumpamaan adalah adanya kasus yang dihadapi si kaya
dan si miskin. Pihak yang kaya pasti tanpa kesulitan akan mendapatkan bantuan
hukum dari seorang pemberi bantuan hukum yang benar-benar mahir dan
profesional tentunya karena kekayaan yang dia miliki. Sedangkan bagi si miskin
dan buta hukum pasti akan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Situasi seperti
inilah yang memungkinkan Lembaga Bantuan Hukum dengan kesadarannya
7
mengambil peran dalam pemberian bantuan hukum. Situasi dan kondisi ini
tentunya berbeda dengan keadaan yang ada diluar negeri dimana pada mulanya
Advokatlah yang bertugas memberikan bantuan hukum kepada golongan
lemah/fakir miskin. Namun karena sudah tidak terjangkau lagi beban tugas
bantuan hukum tersebut oleh Advokat mengingat kesibukannya sehari-hari maka
dibentuklah Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di luar negeri. Dengan kehadiran
Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana maka proses pencarian
keadilan menjadi seimbang dalam hal kedudukan masing-masing pihak, yakni
pihak negara berhadapan dengan tersangka/terdakwa dilain pihak.
Lembaga Bantuan Hukum selain karena mengusung konsep baru dalam
pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum
juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang
dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga Pendirian Lembaga Bantuan
Hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk
organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia.
Singkatnya penulis berpikir bahwa setiap orang harus diberikan bantuan
hukum dalam golongan apapun yang berhadapan dengan hukum, terlebih kepada
anak-anak yang tingkat sosialnya dalam golongan yang tidak mampu . Dengan
demikian, penulis merasa tertarik untuk menguraikan peranan Lembaga Bantuan
Hukum dalam memberikan bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat
kurang mampu dalam skripsi dengan judul “Pemberian Bantuan Hukum Secara
Berkonflik dengan Hukum dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga
Bantuan Hukum Medan).
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan
latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia?
2. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan
Hukum ?
3. Bagaimana Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak
Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum
Dalam Peradilan Pidana Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia.
b. Mengetahui Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan
Hukum.
c. Mengetahui Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada
Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik dengan
Hukum dalam Peradilan Pidana Anak Oleh Lembaga Bantuan Hukum
2. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara Teoritis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu
Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum secara luas
dan memberikan pemahaman tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara
cuma-cuma oleh Lembaga Bantuan Hukum Kepada Anak Golongan
Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam Proses
Peradilan Pidana Anak.
b. Secara Praktis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak
hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa anak dalam
proses peradilan pidana anak dan juga masalah bantuan hukum kepada
tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Bantuan Hukum Cuma-cuma
Konsep bantuan hukum dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah
asing yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistence. Istilah legal aid
dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit
yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat
dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan
menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil
yang tidak mampu dan buta hukum.8
Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang
lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk
pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang tidak mampu
yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberi bantuan hukum oleh para
Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium.9 Disamping kedua istilah
tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal juga istilah
legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan
istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih
luas lagi dibanding dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal
services tercakup kegiatan : 10
a. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang
operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan
diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;
b. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota
masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin;
c. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak
yang diberikan hukum kepada setiap orang. Legal services dalam
operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian;
8
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) hal. 333
9
Ibid
10
Ada juga hubungan antara cara-cara pemerintah atau campur tangan
negara dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang
merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid :
modern themes and variations”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto : 11
“... Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi Perancis, maka bantuan hukum menjadi bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama untuk berurusan dengan Hakim”.
Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau
pemerintah tersebut, Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua
model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual
masih mewarisi ciri-ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu : “Permintaan akan
bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang
memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui
Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang
diberikannya dari negara.12
Pada bantuan hukum model kesejahteraan, campur tangan negara dituntut
untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara
untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau
perbaikan sosial, yaitu : “Kewajiban-kewajiban negara atau pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak
11
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hal.11
12
tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi
hak-hak tersebut”.13
Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka
bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu : 14
a) Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan
penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas;
b) Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang
lazim disebut dengan konsultasi hukum;
c) Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan
hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis;
d) Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk
memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar;
e) Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mecakup usaha-usaha
untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang dalam arti materil.
Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan
bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun
rumusan tentang bantuan hukum :
Yang pertama, Santoso Poesjosoebroto berpendapat bahwa bantuan
hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut : 15
Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran
umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang
lingkupnya. Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa
Agung Republik Indonesia, yang berpendapat : 16
“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”
Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” merumuskan bantuan hukum yang
lebih luas yaitu : 17
“Bantuan Hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan hukum tersebut tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural”
Dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara
jelas/eksplisit tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54
undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak
tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih,
untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa,
selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
16
Ibid
17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.83 tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma pada
pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut :
“Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat
tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.
Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9
merumuskan bantuan hukum sebagai berikut : “Bantuan Hukum adalah jasa
hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak
mampu”.
Dalam undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
dijelaskan bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum (lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan
undang-undang) Secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum (orang atau
kelompok orang miskin).
2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Sebelum lahirnya Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan
dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-undang No.3 tahun
Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik
dengan hukum , dan saat ini Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan
hukum.18
Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Berdasarkan pengertian diatas, maka M. Nasir Djamil dalam bukunya
mengungkapkan Undang-undang No.3 tahun 1997 tersebut telah
mencampur-adukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya, yakni : 19
1. “Anak nakal” didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak
pidana (crimes actor; dader). Perbuatan yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang undang-undang. Dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada. Pakar hukum pidana Hamel (1972) dan Noyon
Langemeyer, menyatakan bahwa straft baar feit sebagai kelakuan
orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan;
2. “Anak nakal” didefinisikan sebagai pelaku kenakalan (delinquency),
yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana (straft baar feit;
18
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum.,(cet.II, Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2013) Hal.32
19
crimes). Maksudnya, melakukan perbuatan selain tindak pidana, yang karenanya tidak terikat dengan asal legalitas;
3. Pengertian “anak nakal” ini memberikan pembedaan antara tindak
pidana (straft baar feit; crimes) dengan kenakalan anak (juvenile
delinquency). Disisi lain, pengertian anak nakal ini sebenarnya adalah kriminalisasi atas kenakalan anak sebagaimana pasal 1 butir 2 huruf b Undang-undang No.3 tahun 1997. Karena ada ketidakjelasan pemaknaan “peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”, karena bisa menimbulkan
interprestasi.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang
menjadi korban tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang
dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.20 Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak
pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.21
Kemudian yang dimaksud dengan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah
anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya.22
20
Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka (3)
21
Ibid., Pasal 1 angka (4) 22
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu :23
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; 2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile Delinquency”, yang
diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa
delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta
ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.24
Menurut Anthony M.Platt definisi delinquency adalah perbuatan anak
yang meliputi: pertama, perbuatan tindak pidana bila dilakukan oleh orang
dewasa; Kedua, perbuatan yang melanggar aturan negara atau masyarakat; Ketiga,
perilaku tidak bermoral yang ganas, pembolosan, perkataan kasar dan tidak
senonoh, tumbuh di jalan dan pergaulan dengan orang yang tidak baik yang
memungkinkan pengaruh buruk bagi anak di masa depan.25
23
M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal.33 24
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, (Bandung: Armico, 1984) hal.34 dalam buku Maidin Gultom, Op.Cit., Hal.55
25
Adanya perbedaan pandangan penggunaan istilah delinquency, disebabkan pendekatan yang digunakan, latar belakang akademik, kekhususan
ilmu yang digunakan dalam mengartikan delinquency. Perbedaan tersebut dapat
dikategorikan dalam tiga pengertian, yaitu : 26
1. The legal Definition (definisi secara hukum), yaitu definisi yang menitikberatkan pada perbuatannya atau perbuatan melanggar yang
dilakukan seseorang anak yang diklasifikasikan sebagai delinquency.
Perbuatan yang digolongkan sebagai delinquency tentunya diatur
dalam hukum yang tertulis, sehingga secara legal definition,
delinquency adalah sejumlah tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dinyatakan tindakan kriminal. Tindak kriminal yang dilarang diatur dalam perundang-undangan;
2. The role definition (definisi pemerannya), yaitu definisi yang menitikberatkan pada pelaku tindakan yang diklasifikasikan sebagai
anak atau delinquency. Fokus utama dalam menentukan pengertian
delinquency yaitu umur seseorang dibandingkan jenis pelanggaran
yang dilakukannya, sehingga pengertian delinquency mengacu pada
siapa yang dianggap delinquent. Delinquent yaitu seseorang yang
mendukung sebuah bentuk pelanggaran dalam sebuah periode waktu tertentu dan berada dalam lingkungan pola perilaku menyimpang. Pelaku sendiri telah mempunyai komitmen lebih dahulu terhadap perbuatan melanggar dengan mengikuti perilaku melanggarnya; 3. The societal responce defenition (definisi atas dasar tanggapan
masyarakat), yaitu menitikberatkan pada penilaian masyarakat sebagai anggota kelompok masyarakat yang bereaksi terhadap pelaku tindak dan pada akhirnya menentukan apakah pelaku dan
perbuatannya tersebut merupakan delinquency atau tidak. Aturan
yang dibuat masyarakat di lingkungan pelaku bertujuan untuk melakukan perlindungan dan tanggung jawab pelaku yang melanggar
atau delinquency.
Ketiga definisi diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam
pembahasannya delinquency selalu melibatkan pemahaman ketiga definisi
tersebut.
26
Paul Tappan mengemukakan “Juvenile Delinquent is a person who has been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction thought he may be no different, up who are not delinquent”. (anak yang delinkuen adalah seseorang
yang telah diputus dengan jurisdiksi pengadilan yang tepat meskipun mungkin
putusan pengadilan dan putusan hakim berbeda, meskipun bukan dari kelompok
anak yang tidak delinkuen) artinya bahwa juvenile adalah perilaku seorang anak
yang melanggar norma-norma yang telah ditentukan oleh lingkungan sekitarnya
dan perilaku tersebut dapat dijerat oleh kewenangan dari pengadilan anak.27
Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah perilaku
jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bantuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.28
Perbedaan defenisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan
dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan
delinkuen. Berdasarkan defenisi delinkuensi diatas disimpulkan, delinkuensi
adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau
norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku didalam kelompok masyarakat
atau negara dimana anak tersebut bertempat tinggal yang bersifat anti sosial dan
3. Pengertian Golongan Masyarakat Kurang Mampu
Sebagai negara yang sedang berkembang, keadaan perekonomian
Indonesia belumlah menggembirakan. Meskipun pembangunan ekonomi sudah
berjalan puluhan tahun, kemiskinan masih tetap merupakan gambaran umum.
Ukuran menetukan Golongan masyarakat kurang mampu atau biasa dikatakan
sebagai masyarakat miskin merupakan masalah yang sulit untuk dipecahkan.
Akan tetapi, dewasa ini pada tanggal 17 Desember 2013, kementerian sosial
mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan
Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak mampu.
Dalam Keputusan Menteri Sosial No.146/HUK/2013 tentang Penetapan
Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu pada bagian kedua
menetapkan bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu memiliki kriteria sebagai
berikut :
a. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar;
b. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi
konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana;
c. Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga
medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;
d. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk
e. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai
jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
f. Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan
kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah
usang/berlumut atau tembok tidak diplester;
g. Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan
kondisi tidak baik/kualitas rendah;
h. Atap terbuat dari ijuk/rumbla atau genteng/seng asbes dengan kondisi
tidak baik/ kualitas rendah;
i. Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik
atau listrik tanpa meteran;
j. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8m2/orang; dan
k. Mempunyai sumber air minum bersala dari sumur atau mata air tak
terlindungi/air sungai/air hujan dan lainnya.
Dalam Undang-undang Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 tidak
diuraikan secara eksplisit tentang golongan masyarakat kurang mampu. Akan
tetapi dapat kita lihat dalam persyaratan yang ditentukan bagi golongan penerima
Bantuan Hukum secara Cuma-cuma. Pada pasal 14 Undang-undang Bantuan
Hukum tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum pada ayat (1) poin
(c) dijelaskan bahwa penerima bantuan hukum harus melampirkan surat
keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat
golongan masyarakat tidak mampu adalah mereka yang memiliki surat keterangan
miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat.
4. Pengertian peradilan pidana dan peradilan pidana anak
Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan
di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang
terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain.30 Sistem
merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana
antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain,
tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang-tindih).
Istilah “Criminal Justice System” atau sistem peradilan pidana
menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
mempergunakan pendekatan sistem.31 Remington dan Ohlin mengemukakan :
“Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”32
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam
30
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002) Hal.305 31
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996) hal. 14
32
konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan.33
Sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalui tiga komponen
dasar sistem. Pertama, substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk
undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, yang berlaku menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl.
1941 No.44), serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau
petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari. Kedua, struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri
dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan Lembaga Pemasyarakatan.
Ketiga, kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain, kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan
pidana.34
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana memiliki dimensi
yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana
merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia
(didalamnya ada aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang
saling berkaitan dalam membangun realitas yang mereka ciptakan. Aparatur
hukum membawa pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari
untuk membangun realitas. Melalui proses dialektika, dunia peradilan pidana terus
33
Ibid.,Hal. 16
34
menerus mengalami apa yang dinamakan oleh Berger dengan eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
merupakan representasi dari proses yang melibatkan komunikasi dalam
pembentukan realitas. Proses ini menjelaskan realitas peradilan, sementara aturan
normatif merupakan refleksi dari proses interaksi yang demikian itu.35
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.36
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah
The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa
penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat
penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.37
Sistem peradilan pidana anak adalah segala unsur sistem peradilan pidana
yang terkait didalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan sistem
peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses
lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses kepengadilan anak.
Ketiga, pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
35
Ibid., hal.77 36
Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (1)
37
pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Yang terakhir institusi penghukuman.38
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian yang digunakan
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan
pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis
menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas
hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan
buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan
dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis
berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari
penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai Pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik
dengan hukum dalam peradilan pidana anak.
2. Jenis penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian
comparatif yaitu penelitian yang dilakukan membandingkan teori dengan
pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
38
keterangan, penjelasan dan data mengenai tugas dan fungsi Lembaga Bantuan
Hukum dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.
Lokasi ini dipilih karena Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan salah satu
Lembaga Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada masyarakat dan merupakan cabang dari Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
4. Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari :
a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari Lembaga Bantuan Hukum
Medan sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berupa :
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :
a) Norma/Kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
b) Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
c) Peraturan Perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan
tulisan ini
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, karya dari
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yang mencakup
bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia
dan sebagainya.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan cara :
a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder
b. Studi lapangan (field research), melalui :
1. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di
Lembaga Bantuan Hukum Medan mengenai tugas dan fungsi serta peran
Lembaga Bantuan Hukum Medan terhadap pemberian bantuan hukum
secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu
yang berkonflik dengan hukum dalam peradilan pidana anak.
2. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan pengamatan
langsung di Lembaga Bantuan Hukum Medan bagaimana lembaga
tersebut dalam memberikan bantuan hukum dan konsultasi hukum secara
cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu.
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dari hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma Kepada Anak
Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam
Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan
diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain
tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan
secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan
ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua akan dibahas mengenai pengaturan bantuan hukum di
indonesia.
Pada bab ketiga akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum.
Pada bab keempat akan dibahas mengenai pemberian bantuan hukum
secara cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang
Pada bab kelima berisi mengenai kesimpulan dan saran yang penulis