• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 1. Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh

a. Pengertian Anak

Diversifikasi batasan usia yang jelas sangatlah diperlukan agar dapat dijadikan pedoman dalam pendefinisian seorang anak. Batasan usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.57

Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan pengertian anak dalam Pasal 1 butir (1), dinyatakan sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Agung Wahyono dan Siti Rahayu menyatakan: “batasan usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauh mana anak bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya.“58 Pengertian anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November

57

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 24.

58

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 20.

(2)

1989 disebutkan “anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Soemitro dijabarkan sebagai berikut: yaitu seorang anak harus memperoleh hak-haknya yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara raga, jasmaniah maupun sosial atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial,59 tidak terkecuali anak penyandang cacat tubuh.

b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh

Anak dengan kecacatan adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik dan atau mental yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.60 Anak penyandang cacat tubuh merupakan anak yang memiliki kelainan fisik sehingga dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara layak.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat di dalam pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian tentang penyandang cacat, yaitu: Setiap

59

Irma Setyowaty Soemitro, Loc.cit.

60

(3)

orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari: 1. Penyandang cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada

fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara;

2. Penyandang cacat mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;

3. Penyandang cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

Secara garis besar cacat fisik dapat dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

1. Cacat tubuh, meliputi;

a. Cerebral Palsy (kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan

pergerakan, keseimbangan dan kejang otot)

b. Polio (lumpuh layu tulang)

c. Meninghitis (radang otak)

d. Epilepsi (ayan)

e. Mascular Distropy (pengecilan/pengerutan otot)

f. Multiple Acllerosis (layu otot)

g. Para Plegia (kelayuhan atau kelumpuhan pada kedua tungkai biasanya

pinggang kebawah)

h. Hemi Plegia (gangguan pada fungsi seluruh gerak bagian atas tubuh)

i. Mono Plegia (gangguan pada fungsi salah satu gerak bagian atas)

j. Quadry Plegia (kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan)

k. Kehilangan anggota tubuh akibat amputasi. 2. Cacat Netra (penglihatan), meliputi:

a. Cacat mata total (kehilangan kemampuan penglihatan secara total)

(4)

c. Buta Warna

d. Diffu Bluring (kekaburan penglihatan).

3. Cacat Rungu/Wicara, meliputi:

a. Cacat Rungu: berhubungan dengan kerusakan alat dan organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara.

b. Cacat Wicara: berhubungan dengan kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Ciri-cirinya: Tidak dapat memproduksi suara atau bunyi, kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata, gagap, berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.

c. Cacat Rungu Wicara: yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yang disebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga anak tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak mengenal konsep bahasa.61

Pembahasan dalam penelitian ini adalah anak dengan kategori penyandang cacat tubuh atau tuna daksa. Cacat tubuh berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu.62 Pada prinsipnya anak penyandang cacat tubuh tersebut (yang terdapat di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara) hanya menderita kecacatan fisik namun sehat secara lahiriah atau psikis.

61Ibid

, hal. 28-30.

62

(5)

Tuna daksa secara rinci dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:

1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: a. Faktor keturunan

b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan

c. Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak d. Pendarahan pada waktu kehamilan

e. Keguguran berulang yang dialami ibu. 2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

a. Penggunaan alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung vacum dan lain-lain) yang tidak lancar

b. Penggunaan obat bius yang tidak sesuai prosedur pada waktu kelahiran 3. Sebab-sebab sesudah kelahiran:

a. Infeksi b. Trauma c. Tumor

d. Kondisi-kondisi lainnya63

Sedangkan Frances G. Koening mengklasifikasi tuna daksa menurut beberapa hal yaitu:

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi;

a. Club-foot (kaki seperti tongkat)

b. Club-hand (tangan seperti tongkat)

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau

kaki)

d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan lainnya)

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka)

f. Spina-bifida (sebagian dari sum-sum tulang belakang tidak tertutup)

g. Cretinism (kerdil/katai)

h. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal)

i. Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan)

j. Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)

k. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)

l. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)

63

(6)

m. Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)

n. Fredresich ataxia (gangguan pada sum-sum tulang belakang)

o. Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar)

p. philis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis)

2. Kerusakan pada waktu kelahiran

a. Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik

waktu kelahiran)

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah)

3. Infeksi

a. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku)

b. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sum-sum tulang karena

bakteri)

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan)

d. Pott’s disease (tuberkulosis sum-sum tulang belakang)

e. Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen

pada tulang)

f. Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain 4. Kondisi traumatic atau kerusakan traumatic

a. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan) b. Kecelakaan akibat luka bakar

c. Patah tulang 5. Tumor

a. Oxostosis (tumor tulang)

b. Osteosisi fibrosa cystic (kista atau kantung yang berisi cairan di dalam

tulang)

6. Kondisi-kondisi lainnya

a. Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berlekuk)

b. Kyphosis (bagian belakang sum-sum tulang belakang yang cekung)

c. Lordosis (bagian muka sum-sum tulang belakang yang cekung

d. Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan)

e. Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan tulang

dan sendi)

f. Scilosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang miring).64

64

(7)

Karakteristik anak tuna daksa biasanya mengalami gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya.65 Potensi fisik pada anak tuna daksa yang dapat dikembangkan menjadi tidak utuh, karena adanya bagian tubuh yang tidak sempurna sehingga dalam usahanya untuk mengaktualisasikan diri biasanya dikompensasikan oleh bagian tubuh yang lain, misalnya: bila ada kerusakan pada tangan kanan, maka tangan kiri akan lebih berkembang sebagai kompensasi kekurangan yang dialami tangan kanan. Namun disamping itu, kerusakan pada salah satu bagian tubuh tidak jarang juga menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya, misalnya kerusakan pada salah satu sendi paha akan berakibat pada miringnya letak tulang pinggul. Secara umum perkembangan fisik anak tuna daksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.66

Perkembangan emosi anak tuna daksa sendiri tergantung dukungan dan pengaruh dari orang tua, keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya. Hasil penelitian Fizgerald menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi anak-anak tuna daksa, yang tidak jarang justru berdampak lebih berat daripada ketunadaksaannya itu sendiri. Orang tua anak tuna daksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi

(over protection), misalnya dengan memenuhi segala keinginannya, melayani secara

berlebihan dan sebagainya, sehingga menyebabkan pada akhirnya anak tuna daksa

65http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73

, diakses tgl 5 Maret 2011, 22:46.

66

(8)

merasakan ketergantungan yang berlebihan kepada orang tua maupun keluarga lainnya dan juga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.67 Sebaliknya banyak juga keluarga atau orang tua yang menganggap keberadaan anak tuna daksa merupakan sebuah aib keluarga dan harus di tutupi. Prilaku yang demikian akan berdampak menjadi kurangnya rasa kepercayaan diri pada anak penyandang cacat tubuh, sehingga anak penyandang cacat tubuh menjadi susah untuk dapat berkembang dengan baik.68

Di tinjau dari perkembangan sosialnya, anak-anak tuna daksa seringkali tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan anak-anak seusianya, terutama dalam kelompok sosial yang lebih resmi. Khususnya mereka yang karena kondisinya harus sering tinggal di rumah, menunjukkan kebutuhan untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya yang tidak tuna daksa sangat dibutuhkan. Apabila mereka terlalu lama harus beristirahat di dalam rumah, maka hal ini dapat menyebabkan anak tersebut akan mengalami deprivasi dan isolasi dari teman-temannya.69

Perkembangan kepribadian individu anak tuna daksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain:

1. Tingkat ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan, merupakan suatu variabel yang penting dalam perkembangannya, walaupun hal ini tidak terlepas dari perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tuna daksa itu sendiri.

67Ibid

, hal. 131.

68

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.

69

(9)

Dreikurs mengungkapkan bahwa individu tuna daksa merumuskan responnya terhadap ketunadaksaan sesuai dengan “gaya hidupnya”. Gaya hidup ini menurut Adler terbentuk pada masa anak-anak melalui hambatan dan pengalaman yang dihadapi individu tersebut. Cara penerimaan dalam “gaya hidup” tuna daksa merupakan faktor yang paling menentukan perkembangan kepribadian individu.

Dengan demikian, yang menentukan perkembangan kepribadian individu anak penyandang cacat tubuh bukan hanya faktor pembawaan dan faktor lingkungan, akan tetapi juga bagaimana individu yang bersangkutan mengartikan dan menerima kedua faktor tersebut.

2. Usia ketika ketunadaksaan itu terjadi, sampai batas tertentu berpengaruh terhadap laju perkembangan individu.

Ketunadaksaan yang dialami pada usia yang lebih besar akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik, namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis yang bersangkutan.

3. Nampak atau tidaknya kondisi tuna daksa, sehingga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu, terutama mengenai gambaran tubuhnya sendiri (body image).

Kecacatan fisik umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat oleh orang lain, meskipun berbagai macam variasinya. Kelainan fisik tersebut ada yang menyolok tetapi ada juga yang tidak mudah terlihat oleh orang lain. Ada kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga mudah mengundang rasa

(10)

kasihan, akan tetapi ada pula kelainan yang akibat kesulitannya tidak jelas. Faktor nampak dan tidaknya kelainan tersebut juga memiliki pengaruh yang demikian besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap anak tuna daksa. Anak-anak tuna daksa pada umumnya menunjukkan sikap rendah diri, cemas dan juga cenderung agresif. Hal demikian berhubungan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya. Di samping itu pengaruh ketunadaksaan terhadap perkembangan individu ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami kelainan tersebut.

4. Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat terhadap anak tuna daksa memiliki pengaruh yang besar karena sikap keluarga dan masyarakat tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tersebut. Orang tua atau masyarakat yang menunjukkan sikap menolak keberadaan anak tuna daksa akan mengakibatkan anak tuna daksa merasa rendah diri, merasa dibenci dan sebagainya.

Seperti telah dikemukakan bahwa dalam pembentukan self respect pada anak yang terpenting adalah menghargai anak dengan jalan menerima anak apa adanya sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai suatu pribadi/ individu yang berguna.

Tidak adanya self respect pada anak tuna daksa akan mengakibatkan mudah timbulnya ketegangan dalam dirinya. Sedikit saja anak mengalami kesulitan maka ia akan merasa bahwa hal ini tidak akan mungkin dapat ia hadapi sehingga anak tidak bisa menjadi mandiri.

(11)

5. Sikap masyarakat terhadap anak tuna daksa menunjukkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan masyarakat dewasa ini yang memandang ukuran keberhasilan seseorang dari prestasi yang dicapainya. Keterbatasan yang disandang anak tuna daksa terkadang menghambatnya untuk berprestasi seperti anak-anak normal lainnya sehingga dapat menimbulkan rasa tidak aman dan tingkat kecemasan yang tinggi dan pada akhirnya dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak tersebut. Dalam menghadapi situasi seperti itu, anak-anak tuna daksa terus berusaha melakukan berbagai upaya agar bisa berhasil dengan cara-cara yang masih dapat diterima oleh masyarakat. Tindakan seperti itu seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap perkembangan kepribadian anak. Misalnya dengan munculnya perasaan terpojok, tidak mempunyai kesempatan untuk meraih sukses, memiliki tujuan yang tidak realistik dan sebagainya.

Penelitian Gelman menunjukkan bahwa perlakuan stereotipik masyarakat terhadap anak-anak tuna daksa sering menimbulkan ketakutan yang bersifat

neurotic pada anak-anak tersebut.70

70

(12)

2. Hak Anak dan Penyandang Cacat a. Hak Anak

Menurut Konvensi Hak Anak yang diadopsi dari Majelis Umum PBB tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak- hak yang mencakup dalam empat bidang:

1. Hak atas kelangsungan hidup, mencakup hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

2. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat (berkebutuhan khusus) atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

3. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.

4. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. 71

Berkaitan dengan hak anak, maka pengertian tentang hak anak itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan Anak adalah hak asasi anak yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 13 Undang Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002, yaitu :

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

71

(13)

1. Diskriminasi;

Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental.

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.

3. Penelantaran;

Misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;

Misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

5. Ketidakadilan;

Misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

6. Perlakuan salah lainnya.

Misalnya berupa tindakan pelecehan atau perbuatan yang tidak senonoh kepada anak

(14)

Abu Huraerah merangkum hak-hak anak yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar. 72

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh pengasuhan negara atau orang atau badan dan anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.73

Dari berbagai ulasan mengenai hak anak tersebut, dapatlah diambil sebagai kesimpulan oleh Maulana Hassan Wadong dengan pendapatnya yakni: Pengertian-pengertian hak tersebut, sebagai suatu pengantar untuk memahami atau meletakkan makna dari yang sebenarnya tentang hak anak. Hak anak dapat dibangun dari pengertian hak secara umum ke dalam pengertian sebagai berikut : “Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum/tertib hukum kepada anak yang bersangkutan.” Disamping itu, masih menurut Maulana Hassan Wadong, hak apapun

72Ibid

, hal. 23.

73

(15)

yang diberikan oleh lingkungan sosial, baik terhadap seseorang anak maupun kepada manusia pada umumnya, hak itu memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kepentingan seseorang yang terlindungi ( belangen theoritis ); 2. Kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan ( wilsmachts theoritis ); 3. Kumpulan kekuasaan yang mempunyai landasan hukum.74

b. Hak Penyandang Cacat

Hak penyandang cacat di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat diantaranya, yaitu:

Pasal 5

“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.

Pasal 6

“Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :

a. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan;

b. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;

c. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;

d. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;

e. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan

kehidupan sosialnya, terutama bagi anak penyandang cacat dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Didalam penjelasannya pada Pasal 5 yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga,

74

(16)

rekreasi dan informasi, jadi terlihat dengan jelas disini bahwa undang-undang telah memberikan upaya perlindungan dan persamaan hak yang berkesinambungan dengan seluruh cakupan kehidupan agar penyandang cacat memiliki kesejahteraan yang memadai.

Penjelasan pada Pasal 6 angka 6 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dimaksudkan agar setiap anak penyandang cacat berhak untuk memperoleh :

1. Hak untuk hidup dan menjalani kehidupan sepenuhnya kehidupan kanak-kanak, dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, serta mampu berperan aktif dalam masyarakat; 2. Hak untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam

lingkungan keluarga maupun masyarakat;

3. Hak untuk sedini mungkin mendapatkan akses pendidikan, latihan, keterampilan, perawatan kesehatan, rehabilitasi dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyatu dalam masyarakat.

Pasal 8

“Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat”.

Program rehabilitasi penyandang cacat tubuh yang dilakukan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan salah satu dari upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan persamaan hak terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan pemberian pelatihan pendidikan baik jasmani maupun rohani. Pemenuhan hak untuk memperoleh kesamaan kesempatan terdapat pada pasal 9,10,11,12,13 dan 14 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yaitu:

(17)

Pasal 9

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”

Pasal 10

(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.

(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Pasal 11

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.

Pasal 12

“Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya”.

Pasal 13

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.

(18)

Pasal 14

“Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada Pasal 11 dan 12 telah mengupas secara rinci mengenai kesamaan kesempatan untuk memperoleh sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jalur dan jenjang pendidikan walaupun tetap disesuaikan dengan kemampuan dan derajat kecacatan yang dimiliki oleh penyandang cacat.

Pasal 13 dan 14 Undang Undang Penyandang Cacat juga telah mengatur mengenai kesamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan tingkat derajat kecacatannya serta kemampuannya, begitu pula dengan perusahaan negara dan swasta, juga harus memberikan kesempatan yang sama pada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat sesuai dengan pendidikan dan kemampuannya. Ketentuan ini tentunya mempertegas hak dan kesempatan yang sama bagi penyandang cacat dalam hal sarana dan prasarana pendidikan maupun di bidang ketenagakerjaan.

Penjelasan pasal 14 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan menyatakan Perusahaan negara meliputi badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD), serta perusahaan swasta termasuk di dalamnya koperasi harus mempekerjakan

(19)

sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan yang dimiliki. Sedangkan Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang. Sehingga disini terlihat keseriusan pemerintah di dalam melakukan kebijakan dalam rangka perlindungan terhadap penyandang cacat. Dengan kata lain pemerintah telah menjamin tentang kesamaan hak untuk memperoleh pekerjaan terhadap penyandang cacat tubuh yang memiliki keterampilan dan keahlian, walaupun dalam kenyataan yang ada sulit sekali hal tersebut untuk terlaksana.

Perlakuan yang sama diartikan sebagai perlakuan yang tidak diskriminatif termasuk di dalamnya kesamaan hak dan kewajiban berupa, pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama. Sanksi pidana dan sanksi administratif juga didapati oleh pihak pemerintah maupun swasta ketika tidak mendukung aktualisasi diri penyandang cacat dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan juga mempekerjakan penyandang cacat yang sesuai kuota yang ditetapkan dalam peraturan, seperti yang tercantum di dalam Pasal 28 dan 29 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997, yaitu:

(20)

Pasal 28

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 29

(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 atau tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administrasi.

(2) Bentuk, jenis dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tersebut menyatakan bahwa rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah dalam hal ini diselenggarakan oleh Kementerian Sosial.

Penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial antara lain dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat yang pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga dan juga penyandang cacat itu sendiri. Oleh karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan aktif untuk mewujudkannya. Dengan kesamaan kesempatan tersebut diharapkan para penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam arti

(21)

mampu berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi secara wajar dalam hidup bermasyarakat.75

Kesamaan kesempatan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberadaan penyandang cacat, yang merupakan unsur penting dalam rangka pemberdayaan penyandang cacat.76 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sudah terlihat jelas menyatakan bahwa penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Selain itu Undang-Undang tersebut juga mengangkat permasalahan mengenai aksesibilitas. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, aksesibilitas adalah “kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan”.

Konvensi Internasional juga telah memberikan delapan hal pokok tentang hak-hak penyandang cacat, yaitu:

a. Penghargaan terhadap harkat dan martabat, kebebasan individual termasuk didalamnya kebebasan pribadi dan kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri; b. Non Diskriminasi;

c. Partisipan dan keterlibatan penuh dalam masyarakat;

d. Menghargai perbedaan dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keragaman manusia;

e. Kesamaan dalam kesempatan; f. Aksesibilitas;

g. Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan;

75

Penjelasan Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

76

(22)

h. Penghargaan terhadap pengembangan kemampuan dan hak anak penyandang cacat.77

Relevannya pada pemenuhan segala unsur yang telah diatur dalam undang undang tersebut diatas terasa agak sulit penerapannya di masyarakat luas, hambatan yang paling berat adalah penyandang cacat tubuh masih di anggap sebagai kaum minoritas dan tersisih. Penerimaan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar juga menjadi permasalahan tersendiri. Pengucilan yang terjadi terhadap anak penyandang cacat dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri yang berdampak pada psikologis bagi anak penyandang cacat itu sendiri, sehingga untuk pemenuhan jenjang pendidikan dan keahlian menjadi terganggu, padahal anak penyandang cacat tubuh memiliki kemampuan daya pikir selayaknya anak normal. Seterusnya ini akan berdampak terhadap kehidupannya kedepan menjadi tidak memiliki pendidikan yang layak, sehingga tidak memiliki keterampilan dan berdampak pada dunia pekerjaan dan mata pencaharian anak tersebut nantinya. Akibatnya kemandirian hidup menjadi tidak tercapai ketika dewasa. Disinilah peran keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat juga harus mulai memberikan perhatian khusus agar terpenuhinya setiap hak dari penyandang cacat serta kebutuhannya terhadap aksesibilitasnya tersebut.78

Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan bagi penyandang cacat tubuh hanya dapat terwujud jika tersedia aksesibilitas yang memadai. Ini berarti dengan

77

Buletin Peduli, Opcit, hal.67.

78

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.

(23)

dibentuknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara oleh Pemerintah merupakan aksesibilitas untuk penyandang cacat, dengan adanya panti tersebut maka akan mempermudah penyandang cacat tubuh untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban. Karena Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tidak hanya memberikan pendidikan keterampilan dan keahlian namun juga diiringi dengan Pendidikan kerohanian dan kepribadian kepada peyandang cacat tubuh, sehingga pada akhirnya diharapkan anak penyandang cacat tubuh dapat berintegrasi secara total dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya serta meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat pada khususnya. Walaupun pada kenyataannya hanya sedikit hak-hak tersebut yang diterima. Paling tidak dengan adanya program rehabilitasi yang ada di panti ini, anak-anak tersebut beranggapan akan menjadi bekal untuk hidup selanjutnya.79

B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat 1. Definisi Rehabilitasi

Upaya pemerintah dalam penanganan anak penyandang cacat salah satunya adalah melalui proses rehabilitasi yang diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial anak penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup

79

Wawancara dengan R.S, Anak Penyandang Cacat yang mengikuti program rehabilitasi, pada tanggal 28 Februari 2011.

(24)

bermasyarakat secara wajar sesuai dengan Pasal 16 dan 17 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yaitu:

Pasal 16

“Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya: 1. Rehabilitasi;

2. Bantuan sosial;

3. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”. Pasal 17

“Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman”.

Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.80 Rehabilitasi diartikan sebagai suatu proses yang ditujukan untuk memungkinkan para penyandang cacat mencapai dan mempertahankan tingkat tertentu dari kemampuan-kemampuan fisik, pengindraan, intelektual, psikiatrik dan/atau kemampuan sosialnya secara optimal. Melalui rangkaian tindakan rehabilitasi mereka diharapkan dapat memiliki cara untuk mengubah kehidupannya ke tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Prinsip dasar kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan berorientasi pada pengembalian fungsi, individualisasi dan orientasi pada jenis kecacatan serta kasus yang dihadapi.

80

(25)

2. Jenis Rehabilitasi

Pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa “Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan dan sosial”.

a. Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar penyandang cacat dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin dan dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai kemampuan fungsional secara maksimal.81

Rehabilitasi medik dilakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik yang berupa pelayanan:

a. Dokter; b. Psikologi; c. Fisioterapi; d. Okupasi terapi; e. Terapi wicara;

f. Pemberian alat bantu atau alat pengganti; g. Sosial medik;

h. Pelayanan medik lainnya. 82

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi mediknya memiliki 2 (dua) orang dokter yang rutin bertugas secara bergantian untuk memeriksa kesehatan peserta program rehabilitasi selama berada di panti. Dokter tersebut berada di panti 3 (tiga) kali selama satu minggu di

81

Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada Pasal 18 ayat (2).

82

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 42.

(26)

jam kerja dan untuk membantu dokter disediakan 2 (dua) orang perawat yang tetap berada dipanti 24 jam (tinggal dan menetap di panti). Sehingga dapat memantau keadaan kesehatan peserta program rehabilitasi selama dua puluh empat jam setiap harinya. Selain itu Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara juga memiliki 2 (dua) orang tenaga psikologis. Petugas tersebut memberikan pembinaan psikologis dan mental terhadap anak penyandang cacat peserta program rehabilitasi. Berhubung Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan panti rehabilitasi terhadap anak penyadang cacat tubuh maka Panti juga menyediakan terapi fisioterapis sebanyak 2 orang, yang juga selalu siap sedia selama 24 jam (menetap di panti).

Untuk menunjang progam rehabilitasi terhadap anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, panti juga memberikan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan para peserta program rehabilitasi berupa kursi roda dan tongkat penyanggah. Untuk pelayanan medik berbentuk obat-obatan secara umum dan ringan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara juga menyediakan resep dengan sepengetahuan dokter Panti dan jika ternyata peserta program rehabilitasi memerlukan perawatan yang lebih insentif atau rawat inap, maka digunakan jamkesmas.83

Pemberian alat bantu kesehatan terhadap peserta program rehabilitasi berupa bantuan kaki palsu atau tangan palsu sampai saat ini belum dapat terlaksana, hal

83

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

(27)

tersebut berkaitan dengan anggaran biaya panti yang tidak mencapai pada tahapan itu. Walaupun demikian pihak panti tetap mencari informasi ketika ada pihak ketiga yang ingin menyumbangkan atau memberikan bantuan berupa tangan dan kaki palsu, selanjutnya mengikutsertakan anak didik didalamnya.84

b. Rehabilitasi Pendidikan

Pasal 45 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa: “Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar.” Rehabilitasi pendidikan merupakan kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar yang bertujuan agar peserta program rehabilitasi anak penyandang cacat dapat mengikuti dan memperoleh pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.85

Kegiatan pendidikan ini dilakukan untuk mendapatkan pencapaian rehabilitasi yang lebih optimal. Panti memastikan setiap peserta program rehabilitasi penyandang cacat tubuh minimal memiliki kemampuan baca tulis. Tetapi walaupun dalam syarat penerimaan program rehabilitasi anak penyandang cacat harus bisa baca tulis dan seterusnya namun tidak menutup kemungkinan adanya peserta program rehabilitasi yang buta huruf atau tidak memiki kemampuan baca tulis.

Tidak hanya baca tulis Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara juga memberikan pendidikan sesuai dengan keahlian dan kemampuan dari peserta

84Ibid.

85

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada Penjelasan Pasal 18 ayat (2).

(28)

program, seperti tehknisi telepon genggam, bengkel dan lainnya. Untuk peserta yang telah memiliki bakat di bidang tertentu Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara akan mendukung peserta program rehabilitasi dengan memfasilitasi dan membantu untuk mengembangkan bakat tersebut. Seperti misalnya Andri Sipayung adalah seorang peserta program rehablitasi yang memiliki bakat dalam bidang komputer dan tentunya memiliki kemauan yang kuat untuk maju dan berhasil, selanjutnya bakatnya terus di asah oleh pengajar secara khusus, sampai akhirnya anak didik tersebut di pekerjakan menjadi staf honor bagian administrasi pada kantor dipanti ini.86

c. Rehabilitasi Pelatihan

Rehabilitasi pelatihan adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.87

Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu melalui kegiatan yang berupa:

a. Asessment pelatihan; b. Bimbingan dan penyuluhan;

c. Latihan keterampilan dan permagangan; d. Penempatan;

e. Pembinaan lanjut.88

86

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

87

Penjelasan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 18 ayat (2).

88

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 47.

(29)

Dalam pelaksanaan rehabilitasi pelatihan, Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara melakukan pelatihan berupa bimbingan dan penyuluhan yang dilaksanakan oleh pengajar yang profesional dan benar-benar menguasai keahlian pada bidang yang dimilikinya.

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara juga melakukan praktek kerja bagi peserta program rehabilitasi di perusahaan ataupun home industry sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki. Setelah Program rehabilitasi selesai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara masih melakukan monitoring melalui bimbingan lanjut yaitu bimbingan yang di lakukan dengan memantau lansung ke rumah anak penyandang cacat tubuh untuk melihat perkembangan yang terjadi dalam hidupnya setelah proses rehabilitasi selesai.89

d. Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi sosial adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial serta pemulihan dan pengembangan kemauan dan kemampuan agar penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat.90

Program dan kegiatan rehabilitasi sosial penyandang cacat tersebut dilaksanakan melalui tiga sistem:

1. Institutional-based yang mencakup program reguler, multi layanan dan multi

target group melalui day care dan subsidi silang dan program khusus yang

89

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

90

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat pasal 36

(30)

meliputi outreach (penjangkauan), Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK) dan bantuan ahli kepada organisasi sosial dan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat;

2. Noninstitutional-based yang mencakup pelayanan pendampingan dengan

pendekatan family-based dan community-based yang menyelenggarakan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM);

3. Pelayanan sosial lainnya mencakup Loka Bina Karya, Praktek Belajar Kerja (PBK), Usaha Ekonomi Produktif/Kelompok Usaha Bersama (UEP/KUBE). Program dan kegiatan pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat diarahkan untuk:

a. Meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial penyandang cacat;

b.Meningkatkan kepedulian sosial masyarakat, memanfaatkan potensi dan sumber kesejahteraan sosial dan sumber daya ekonomi untuk pengembangan usaha ekonomi produktif dan membangun budaya kewirausahaan bagi penyandang cacat;

c. Mendapatkan bantuan sosial setiap bulan bagi penyandang cacat berat sesuai kriteria melalui sistem jaminan sosial;

d.Meningkatkan aksesibilitas fisik penyandang cacat terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, pelayanan kesejahteraan sosial dan sumber daya ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosialnya; e. Meningkatkan aksesibilitas non fisik penyandang cacat dalam setiap

pengambilan keputusan terkait kebijakan publik dan pelayanan sosial sesuai dengan perspektif penyandang cacat.91

Rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui kegiatan pendekatan fisik, mental dan sosial yang berupa:

a. Motivasi dan diagnosa psikososial; b.Bimbingan mental; c. Bimbingan fisik; d.Bimbingan sosial; e. Bimbingan keterampilan; f. Terapi penunjang; g.Bimbingan resosialisasi;

h.Bimbingan dan pembinaan usaha; i. Bimbingan lanjut.92

91

Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan,Opcit, hal. 15.

92

Peraturan Pemerintah tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat pasal 51.

(31)

Bentuk kegiatan rehabilitasi sosial anak penyandang cacat di masyarakat dalam mencapai tujuan rehabilitasi sosial secara tuntas, antara lain:

1. Pemutakhiran Data Anak Cacat; 2. Peningkatan Peran Keluarga;

3. Penguatan Jaringan Kerja Antara Lembaga;

4. Pelayanan Pendampingan dan Advokasi untuk Anak Cacat; 5. Pengembangan Perlindungan Sosial Bagi Anak93.

Kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi sosial tersebut dilakukan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, dengan bekerja sama dengan Dinas Sosial di seluruh kabupaten/ kota maupun pihak kementerian sosial pada bagian yang khusus menangani penyandang cacat, hanya saja pelaksanaannya belum terlalu efektif dikarenakan faktor birokrasi maupun terkendala pada sumber daya manusia yang sangat terbatas.94

3. Tujuan Rehabilitasi

Program kegiatan rehabilitasi anak penyandang cacat sesuai Pasal 4 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat berguna untuk terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat itu sendiri.

Tujuan dari pelaksanaan program rehabilitasi terhadap anak penyandang cacat antara lain:

1. Terlaksananya rehabilitasi terhadap anak cacat sedini mungkin, untuk mencegah terjadinya kecacatan permanen dan memperoleh kesempatan tercapainya pemulihan yang maksimal;

93

Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan, Opcit, hal. 36-45.

94

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

(32)

2. Terpenuhinya hak-hak anak cacat untuk hidup, tumbuh, kembang dan berpartisipasi;

3. Pulihnya dan dicapainya kemampuan anak secara fisik, mental dan sosial secara optimal;

4. Tumbuhnya kesadaran anak akan potensi yang dimilikinya serta tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mewujudkan potensi-potensi tersebut;

5. Meningkatkan kemandirian anak dalam arti ditingkatkannya kemampuan anak mengurus diri sendiri dan mengaktualisasikan potensi kerja yang dimilikinya seoptimal mungkin.95

Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman.96

4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi

Prinsip dasar kegiatan rehabilitasi ditinjau dari jenis, dilakukan dengan berorientasi pada pengembalian fungsi, individualisasi dan orientasi pada jenis kecacatan serta kasus yang dimiliki. Ditinjau dari kemampuan pelaksana (provider), prinsip dasar kegiatan rehabilitasi meliputi: prinsip kerja tim dan kerja atas dasar profesi. Adapun ditinjau dari tempat, waktu dan sarana rehabilitasi berprinsip pada integritas, keluwesan tempat dan waktu, kesederhanaan serta keterlibatan orang tua dan masyarakat.97

95

Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 28.

96

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 35.

97

(33)

Pelaksana rehabilitasi itu sendiri secara teori yang ada, seharusnya terdiri dari para petugas yang tergabung dalam tim rehabilitasi, yaitu: para dokter spesialis rehabilitasi, syaraf, ortopedi, THT, mata, jiwa dan ahli anak, serta para medis yang terdiri dari: fisioterapist, ahli terapi okupasi, prostetis dan ortotis, terapis wicara, perawat rehabilitasi, ahli optikal, ahli audiologi, psikolog, pekerja sosial dan ahli okupasi terapi.98

Selanjutnya unsur yang juga penting dalam prinsip dasar kegiatan rehabilitasi itu sendiri adalah adanya seorang pendidik yang berkompeten. Tugas utama pendidik dalam perannya di bidang rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh adalah bertujuan untuk melakukan assesment baik yang berhubungan dengan aspek fisik, psikis, sosial dan keterampilan untuk memperoleh data tentang kemampuan dan ketidakmampuan anak pada aspek-aspek tersebut diatas. Selanjutnya mengadakan pencatatan data yang berhubungan dengan kecacatannya termasuk perkembangan kemampuan dan ketidakmampuan anak. Melaksanakan bentuk-bentuk kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan dalam kegiatan proses belajar mengajar dan disesuaikan dengan batas-batas tertentu yang digariskan oleh bagian medik, sosial psikologis dan keterampilan. Melakukan pembinaan kepada orang tua untuk membantu melakukan rehabilitasi dan pengawasan terhadap aktivitas anak sehari-hari di lingkungan keluarga. Akhirnya, melakukan rujukan anak untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi sesuai dengan kebutuhan. Antara tenaga rehabilitasi, guru dan orang tua perlu bekerjasama dengan

98

Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

(34)

baik dalam rangka kelancaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, yang pada gilirannya akan mengantarkan anak menjadi mampu mengikuti pendidikan dengan baik di sekolah dan mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar di lingkungan masyarakat.99

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara memiliki prinsip dasar yang di jadikan pedoman dalam melakukan pendekatan yang sesuai kepada anak penyandang cacat, antara lain:

1. Destigmatisasi;

Pada dasarnya kecacatan yang dialami oleh anak sudah merupakan beban berat bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu anak cacat jangan lagi diberi cap yang menambah beban baru bahwa ”anak tidak berguna”, ”anak pembawa sial”, ”anak kutukan Tuhan” dan sebagainya. Karena itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh harus menghindari tumbuhnya dan menghilangkan (bila sudah ada) sebutan buruk (stigma) demikian pada anak penyandang cacat tubuh. 2. Deisolasi;

Sama seperti manusia lain, anak penyandang cacat tubuh tidak ingin dikucilkan dari lingkungan sosialnya, ia juga ingin mencintai dan dicintai, menerima dan diterima, menemani dan ditemani. Rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh perlu menghindari kegiatan yang akan mengisolasi anak penyandang cacat tubuh sehingga tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.

99 file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20...%20LUAR%20BIASA/... diakses pada tanggal 4

(35)

3. Desensitifisasi;

Ada kecenderungan bahwa anak penyandang cacat tubuh memiliki perasaan rendah diri, tidak berguna, membebani orang lain dan lain-lain, yang menyebabkan ia mudah marah dan tersinggung. Untuk itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh perlu dirancang agar anak penyandang cacat tubuh tidak terlalu sensitif atas kecacatannya.

4. Di sini dan saat ini (here and now);

Rehabilitasi sosial kepada anak penyandang cacat tubuh harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata dimana anak penyandang cacat tubuh itu berada pada saat ini. Artinya rehabilitasi dirancang dengan mempertimbangkan ruang dan waktu dimana dan kapan rehabilitasi dilaksanakan sehingga sesuai dengan kebutuhan anak penyandang cacat tubuh dan lingkungannya.

5. Keanekaragaman pelayanan (diversifikasi);

Rehabilitasi sosial anak penyandang cacat tubuh hendaknya tidak hanya menekankan pada satu aspek, namun memenuhi beragam aspek yang dibutuhkan. Tidak sekedar menekankan pada mobilitas atau aksesibilitas saja, misalnya memberikan kursi roda. Tetapi jauh lebih kaya daripada itu yaitu meningkatkan mentalitas kemandirian anak sehingga ia dapat hidup dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

6. Dedramatisasi;

Kecacatan yang dialami oleh anak penyandang cacat tubuh adalah suatu masalah, tetapi kecacatan itu hendaknya juga jangan dibesar-besarkan seolah-olah dengan

(36)

kecacatan itu maka dunia akan kiamat baginya. Guna menghindari tumbuhnya kondisi seperti itu maka anak penyandang cacat tubuh harus dibawa kedalam kehidupan nyata sesuai dengan nilai-nilai sosial dimana mereka tinggal.

7. Mengembangkan empati, bukan simpati.

Memperlihatkan simpati yang bernada kasihan atau menyayangi secara berlebihan dapat merusak rehabilitasi yang diperlukan bagi anak penyandang cacat tubuh. Oleh karena itu perasaan simpati mendalam harus dihindari. Kepada anak penyandang cacat tubuh yang diberikan adalah empati, sehingga mereka mampu menemukan suasana rehabilitasi sosial secara wajar seperti yang juga dialami oleh anak-anak lain seusianya.100

Jenis kegiatan rehabilitasi yang digunakan untuk meningkatkan peranan keluarga dalam pengertian kesadaran dan rasa tanggung jawab agar dapat melindungi, merawat/memelihara, mendidik, melatih anggota keluarga yang cacat adalah sebagai berikut:

1. Kampanye sosial

a. Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial berbagai pihak yang menurut perundang-undangan dan secara sosial budaya terkait langsung dan tidak langsung dalam rehabilitasi anak penyandang cacat. b. Sasaran kampanye sosial antara lain: keluarga, lembaga pendidikan, kesehatan, kependudukan, dunia usaha serta lembaga pemerintah paling bawah (Desa/Kelurahan).

c. Materi yang dikampanyekan antara lain: undang-undang yang terkait dengan peningkatan perlindungan dan atau kesejahteraan anak, pengetahuan dan keterampilan pembinaan anak penyandang cacat di rumah tangga, di masyarakat atau ditempat kerja dan sebagainya.

100

Wawancara, R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

(37)

d. Metode kampanye disesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta potensi lokal setiap wilayah. Beberapa metode antara lain: diskusi, dialog, sambung rasa leaflet, booklet, media cetak dan elektronik, seni budaya lokal termasuk juga berbagai lomba yang menarik.

e. Tahapan kegiatan, antara lain: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi kegiatan, melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lokal (Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan), membentuk tim lintas profesi dan instansi, pelaksanaan kegiatan dan evaluasi.

f. Petugas kampanye adalah Peksos fungsional, Tenaga Medis, Psikolog dan lain-lain.101

2. Deteksi dini kecacatan

a. Kegiatan deteksi dini kecacatan ini dapat menjadi bagian dari kampanye sosial di atas, namun dapat juga berdiri sendiri.

b. Tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab sosial keluarga, khususnya dalam menemu kenali kecacatan pada anak secara dini dan pencegahannya.

c. Sasaran deteksi dini adalah keluarga didalam masyarakat.

d. Tahapan kegiatan sebagai berikut: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi kegiatan deteksi dini (Posyandu, Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Anak cacat, Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), UPSK dll. Melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lokal (Kabupaten/Kota/Kecamatan/Kelurahan/Desa), membentuk tim lintas profesi dan instansi, pelaksanaan kegiatan, evaluasi, rujukan dan tindak lanjut.

e. Metoda penelitian bio psikososial, dialog, sambung rasa, penyebaran leaflet. f. Petugas Peksos Fungsional, Tenaga medis, psikolog, orsos.

g. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan unit pelayanan sosial keliling (UPSK) untuk penyandang cacat.102

3. Penumbuh-kembangan Forum Keluarga dengan Anak Cacat (FKDAC)

a. Tujuan forum ini untuk menjadi wadah dan forum koordinasi para orang tua yang mempunyai anak penyandang cacat di suatu daerah Forum Keluarga Dengan Anak Cacat (KDAC) merupakan lembaga kerjasama (pertukaran informasi dan keterampilan) antara keluarga yang memiliki anak cacat. Selain dapat menjadi alat motivasi dan advokasi bagi keluarga. Forum juga dapat

101

Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat,

Opcit, hal.39.

102

(38)

menjadi sarana Dinas Sosial/Instansi terkait dalam upaya perlindungan dan peningkatan hak-hak anak cacat di masyarakat.

b. Sasaran kegiatan ini antara lain: keluarga dengan anak cacat, SLB, SDLB, Dinas Sosial/Instansi terkait lainnya.

c. Metode penumbuhkembangan forum dapat menyesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta potensi lokal setiap wilayah.

d. Tahapan penumbuhkembangan Forum KDAC antara lain: Sosialisasi pentingnya forum, kesepakatan membentuk forum, membentuk pengurus forum, kegiatan pendampingan dan advokasi untuk forum, kegiatan fasilitasi, pengembangan, supervise dan evaluasi, melakukan koordinasi dengan instansi terkait tingkat lokal (propinsi/kabupaten/kota), SLB atau orsos anak cacat dan perguruan tinggi dan lain-lain.

e. Petugas Peksos Fungsional, Petugas Sosial Kabupaten/Kota/Propinsi, Tenaga Medis, Relawan Sosial dan lain-lain sesuai keperluan.103

4. Penguatan jaringan kerja antar lembaga, meliputi antara lain:

a. Bertujuan untuk pertukaran informasi, peningkatan sinergi serta pengembangan pelayanan pada anak cacat.

b. Sasaran: Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, organisasi sosial/LSM, keluarga, masyarakat, dunia usaha dan sebagainya.

c. Tahapan kegiatannya: perencanaan kegiatan, mengundang sasaran anggota jaringan dan pertemuan pembahasan jaringan kerja (penyatuan visi-misi pelayanan, media pertemuan, pola kerja, penyusunan rencana pelayanan, pembagian tugas, evaluasi bersama serta tindak lanjut).

d. Petugas Sosial Propinsi/Kabupaten/Kota, Peksos Fungsional, Pimpinan Lembaga yang bergabung.104

5. Pelayanan pendampingan dan advokasi untuk anak cacat, meliputi antara lain: a. Betujuan untuk meningkatkan pelayanan, pemulihan, pemeliharaan serta

terpenuhinya hak-hak anak cacat berupa hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan partisipasi.

b. Sasarannya: anak cacat dalam keluarga, keluarga langsung/pengganti dan komunitas.

c. Tahapan kegiatan: identifikasi kebutuhan pelayanan pendampingan dan advokasi, merencanakan kegiatan pemenuhan kebutuhan pelayanan pendampingan dan advokasi, melaksanakan supervise dan evaluasi dan terminasi. 103Ibid , hal. 42-43. 104 Ibid, hal. 43.

(39)

d. Petugasnya: pekerja sosial fungsional dari instansi sosial setempat, relawan sosial dan petugas lain yang berkompeten.

e. Metode, meliputi: bimbingan sosial individual, bimbingan sosial keluarga, bimbingan sosial kelompok, pendampingan sosial dan pembelaan sosial.105 6. Pengembangan perlindungan sosial bagi anak cacat.

Merupakan upaya perlindungan sosial bagi anak cacat yang tidak mampu di masyarakat perlu dilakukan secepat mungkin, sehingga proses tumbuh kembang mereka tidak terhambat, karena keterlambatan bisa diartikan sebagai diskriminasi terhadap anak-anak yang menyandang cacat. Pengembangan perlindungan tersebut meliputi:

a. Tujuan perlindungan sosial bagi anak cacat untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak cacat yang karena berbagai hal tidak mampu hidup secara layak; seperti tindakan diskriminasi, keluarga tidak mampu (miskin), bencana alam dan sosial lainnya.

b. Sasaran dari perlindungan sosial adalah anak-anak cacat yang berasal dari keluarga tidak mampu, baik untuk sekolah maupun mendapatkan pelayanan medis atau kesehatan.

c. Jenis kegiatan perlindungan sosial antara lain: bantuan makanan, pakaian dan peralatan sekolah, penyediaan pelayanan khusus bagi anak cacat, pemberian bea siswa bagi anak cacat, penyediaan jasa konsultasi dan konseling, gerakan teman asuh dan penyediaan aksesibilitas pelayanan pendidikan lainnya bagi anak cacat, seperti penyediaan fasilitas olah raga, fasilitas belajar, sarana perpustakaan dan sebagainya.

d. Tahapan kegiatan, antara lain: identifikasi masalah yakni menentukan jumlah anak cacat yang berhak mendapatkan bantuan (identitas anak dan identitas keluarga), pengungkapan106

Dari uraian di atas dapat diilihat bahwa peraturan yang ada (Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat) sudah mencerminkan keseriusan pemerintah dalam hal menangani permasalahan bagi para penyandang cacat, termasuk di dalamnya anak penyandang cacat tubuh, namun realisasinya yang tekadang tidak sesuai dengan pengharapan. Bentuk tanggung jawab pemerintah adalah dengan memfasilitasi penyandang cacat untuk direhabilitasi mental dan vokasinya dengan sistem pelayanan berbasis panti sudah cukup baik, karena ternyata

105Ibid

, hal 44.

106

(40)

setelah di bangkitkan kepercayaan dirinya dan di berikan keterampilan praktis, sesungguhnya anak penyandang cacat juga cukup terampil. Anak penyandang cacat tersebut hanya butuh di bimbing dan di bangkitkan mentalnya agar optimis memandang hidup dan menerima kenyataan hidup, karena kekurangan penyandang cacat hanya terletak pada keterbatasan fisik dan pada prinsipnya setiap orang tua menginginkan anaknya untuk tumbuh dengan sehat dan normal, karena anak merupakan aset, tumpuan harapan serta kebanggan orang tua.

Referensi

Dokumen terkait

23 Heni Mularsih, Strategi Pembelajaran, Tipe Kepribadian Dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama , MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL..

[r]

(The region enclosed by the polygon must be covered exactly by the triangles and squares used in the construction.) How the process can be used to construct a convex polygon with

[r]

Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang berupa rusunawa untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah,

Telkom telah mengalami begitu banyak kemajuan terutama apabila dilihat dari teknologi yang digunakan, yang mana salah satunya adalah MDF. Dimana MDF ini adalah salah satu

(1) Walikota berwenang memberikan izin gangguan kepada setiap orang atau badan yang mendirikan dan/atau memperluas/merubah tempat usaha/kegiatan/jenis usaha di lokasi

Pengaruh Pemberdayaan dan kebutuhan untuk berprestasi terhadap Organizational Citizenship Behavior dengan Kebutuhan untuk berprestasi sebagai Variabel Pemoderasi.