• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma psikis yang itensif dan berat setelah kejadian (Harsono dkk dalam Fausiah, 2002). Efek yang segera terjadi dan berlangsung selama beberapa waktu setelah kejadian adalah serangkaian reaksi fisik dan emosional. Korban akan dihinggapi berbagai rasa takut, antara lain takut akan reaksi keluarga dan teman-teman, takut orang lain tidak mempercayai keterangannya, takut diperiksa oleh dokter, takut melapor pada aparat, atau takut pemerkosa melakukan balas dendam jika ia melapor. Di samping itu korban juga mengalami serangkaian reaksi emosional seperti shok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, ataupun histeris.

Reaksi di atas dianggap reaksi wajar, karena korban baru mengalami peristiwa traumatik. Bahkan sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa korban perkosaan adalah kelompok masyarakat terbesar yang mengalami PTSD (Post traumatic Stress Disorder) (Giller, 2000).

Kejadian traumatis merupakan peristiwa yang menimbulkan stres yang sangat besar dan menghambat kemampuan seseorang mengatasinya (Giller, 2000). Menurut Ursano, Fullerton, & McCaughey (dalam Fausiah, 2002) secara umum peristiwa traumatis adalah peristiwa yang berbahaya, berlebihan, dan mendesak. Hal ini ditandai dengan kekuatan yang ekstrim atau mendadak,

(2)

biasanya menyebabkan ketakutan, kecemasan, penarikan diri, dan reaksi menghindar.

Sr (27 Tahun), korban perkosaan oleh pacarnya sendiri yang terjadi tujuh tahun lalu mengungkapkan bahwa ia mengalami trauma setelah kejadian perkosan itu. Selama lebih kurang satu tahun setelah kejadian Sr susah tidur, selalu teringat akan kejadian bahkan merasa jijik dengan badannya sendiri, ia sering berlama-lama ketika mandi, juga selalu menyiram badannya sampai merasa bersih. Hal yang lebih parah dilakukan Sr ketika teringat akan kejadian adalah ia sering membenamkan kepalanya kedalam bak mandi.

Reaksi traumatis ini terjadi bila tindakan apapun tidak mungkin dilakukan oleh individu. Jika bertahan ataupun membebaskan diri tidak mungkin dilakukan, maka pertahanan diri seseorang akan dikuasai peristiwa tersebut dan menjadi tidak terorganisir. Peristiwa traumatis menghasilkan perubahan mendalam dan berjangka waktu lama pada segi fisik, emosi, kognisi dan memori. Orang yang mengalami peristiwa traumatis mungkin mengalami emosi yang intens, namun tanpa disertai memori yang jelas tentang peristiwa tersebut. Kemungkinan lainnya orang tersebut mengingat segalanya namun tanpa emosi. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah korban menjadi sangat mudah tersinggung dan marah, tanpa sebab (Ursano, Fullerton, & McCaughey dalam Fausiah, 2002).

Kondisi traumatis yang dialami oleh korban perkosaan harus ditangani agar korban dapat pulih dari beban fisik terutama beban psikologis yang mereka alami. Berbagai penelitian belakangan ini banyak mengulas cara yang dilakukan dalam penanganan trauma korban perkosaan. Worthington, Sandage & Berry

(3)

(dalam McCullought, Pargament & Thoresen, 2000) melakukan sebuah penelitian mengenai pemaafan dan salah satu hasil diskusi penelitiannya mengemukakan bahwa salah satu target kategori populasi yang berpotensi untuk mengurangi trauma dengan menggunakan intervensi pemaafan adalah victim of aggressive trauma (seperti, kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga dan korban perkosaan). Jadi berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa untuk memulihkan korban pemerkosaan maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah menggunakan pendekatan pemaafan.

Sesuai dengan penjelasan di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu korban perkosaan adalah dengan pemaafan. Akan tetapi dilihat dari kasus yang dialami yaitu perkosaan mungkin sangat sulit untuk mengetahui dan melihat bagaimana proses seorang korban perkosaan dapat memaafkan. Secara bermakna mungkin untuk menjelaskan proses pemaafan itu sendiri adalah dimulai dari ketika seseorang memaknai peristiwa yang terjadi pada dirinya merupakan peristiwa yang menyakitkan dan menganggap bahwa ia adalah korban dalam kejadian tersebut. Individu yang merasa menjadi korban atau mempersepsikan dirinya sebagai korban dari peristiwa yang menyakitkan akan bereaksi, biasanya mereka akan bereaksi marah. Seseorang yang marah akan berusaha untuk melakukan pembalasan karena adanya dendam atau permusuhan yang berkepanjangan terhadap pelaku. Worthington (1999) mengemukakan bahwa apabila individu merasakan suatu kejadian yang menyakitkan akan menimbulkan ketakutan. Ketakutan akan menghasilkan penghindaran atau jika

(4)

gagal akan membuat pertahanan diri dan marah. Apabila penghindaran maupun marah tidak memperbaiki ancaman, orang mungkin menjadi depresi.

Keadaan psikologis seperti perasaan yang dikemukakan diatas dapat dikatakan sebagai kondisi tidak memaafkan. Warthington (1999) mendefinisikan tidak memaafkan sebagai emosi negatif yang melibatkan kemarahan, kegetiran, dan kebencian, bersamaan dengan motivasi menghindar atau pembalasan terhadap pelaku (orang yang berbuat salah). Worthington juga mengemukakan untuk mengurangi tidak memaafkan adalah dengan menciptakan pemaafan. Jadi begitu juga halnya dengan korban perkosaan, emosi-emosi negatif yang dimilikinya seperti kemarahan, kegetiran, penolakan diri bahkan trauma dapat dipulihkan kembali dengan menciptakan pemaafan.

Selama seseorang yang disakiti (korban) tidak memberi maaf, selama itu pula pengalaman tersebut akan mengganggu pikiran dan kesejahteraan emosinya. Hal ini setidaknya telah terbukti dari hasil penelitian yang bersifat fenomenologis dari Rowe & Halling (dalam Reza, 2004), mereka menemukan bahwa seseorang merasa lebih nyaman ketika memaafkan perbuatan orang lain. Senada dengan pernyataan Rowe & Halling di atas, berikut adalah pernyataan dari korban kekerasan seksual yang merupakan sampel dari penelitiannya:

“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa bebas”, subjek lain berkata, “saya menyadari bahwa memaafkan telah membuat saya bebas, bebas untuk melanjutkan hidup saya, bebas tanpa rasa sakit dan marah dan bebas untuk mencintai lagi”

Masih banyak dampak yang bisa di dapatkan jika kita memaafkan orang yang berbuat salah terhadap kesehatan kita. Menurut Worthington (dalam Elder, 2000) tindakan memaafkan mempunyai efek langsung ataupun tidak langsung

(5)

terhadap pikiran dan tubuh. Memaafkan dapat meningkatkan kesehatan fisik, setiap kali kita tidak memaafkan, kita lebih mudah untuk terkena masalah kesehatan (Worthington dalam Lucia, 2005). Lucia (2005) menyatakan bahwa memaafkan juga meningkatkan kesehatan emosional. Ketika seseorang memaafkan, mereka mengganti perasaan tidak memaafkan dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta, dimana emosi positif ini biasanya dihubungkan dengan pemaafan.

Enright & Freedman (1996) melakukan penelitian pada 12 orang wanita korban incest (perkosaan dengan keluarga sedarah) yang berumur dari 24 sampai 54 tahun dalam kurun waktu 14,3 bulan melakukan intervensi pada para korban incest mengenai pemaafan di dapatkan hasil bahwa mereka mengalami perubahan dalam harga diri, dan pengurangan yang signifikan pada kecemasan dan depresi. Dr. Robert Enright, profesor psikologi bidang pendidikan di Universitas Wiscosin di Madison (dalam Anonymous, 1999), menyelenggarakan suatu studi yang berjudul forgiveness boots health and self esteem, research shows, dimana ia mengukur emosi masyarakat sebelum dan sesudah memaafkan seseorang yang telah menyakiti mereka. Studi menemukan bahwa mereka yang telah memaafkan tidak lagi merasa depresi dan cemas serta merasa lebih baik mengenai diri mereka sendiri.

Enright (2001) mengatakan bahwa pemaafan merupakan pilihan. Worthington (1999) juga menjelaskan bahwa pemaafan merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja maupun tidak) untuk melepaskan rasa tidak memaafkan dan mencari perdamaian/rekonsiliasi dengan pelaku jika aman,

(6)

bijaksana, dan mungkin untuk dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa pemaafan merupakan sebuah pilihan, apakah seseorang memilih memafkan atau tidak memaafkan, jadi tidak semua orang mau memaafkan dan mampu melakukan pemaafan setelah melalui peristiwa yang menyakitkan. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa seseorang tidak mau atau enggan untuk memaafkan. Menurut Baumeister, Exline & sommer (dalam Worthington, 1998), faktor yang mempengaruhi untuk memilih memaafkan adalah banyaknya pengorbanan yang harus dilakukan, kecenderungan munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan, penderitaan diri yang masih dirasakan, harga diri dan dendam.

Penjelasan di atas akan dapat diketahui bahwa ketika seseorang disakiti maka ia akan memilih apakah akan memaafkan atau tidak memaafkan. Menurut McCullought & Worthington (1999), terdapat dua kemungkinan respon dari seorang korban yang terluka, pertama ia akan menghindar, dalam arti menjauhkan diri dari si pelaku kejahatan, dan kedua ia akan membalas pelaku dengan kejahatan setimpal.

Berikut merupakan salah satu kasus yang dikutip dari buku yang berjudul Sexual Violence ( Fortune, 2005):

Seorang wanita yang sudah tidak bertemu ayahnya selama tujuh tahun sejak ayahnya meninggalkan rumah memutuskan untuk mengirim surat dan meminta bertemu dengan ayahnya untuk membicarakan kekerasan seksual yang pernah ayahnya lakukan ketika ia kanak-kanak hingga remaja. Sang ayah membalasnya dan mengajaknya untuk bertemu.

Sang wanita setuju dan akhirnya mereka bertemu, pada perjumpaan mereka sang ayah mengakui bahwa ia telah melakukan kekerasan seksual terhadap wanita tersebut dan menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sang wanita melepaskan kemarahanya dan menyatakan bahwa ia masih mengalami trauma psikologis akibat perlakuan sang ayah, dan hingga saat ini ia masih melakukan terapi untuk mengurangi efek psikologis yang dialaminya. Ia juga mengalami ketidaknyamanan fisik

(7)

akibat infeksi saluran urine. Sang ayah merasa bertanggung jawab dan menawarkan untuk membiayai pengobatan dan konselingnya. Sang ayah juga berbicara kepada pastor sebagai terapisnya dan pastor tersebut menyuruhnya untuk meminta maaf kepada sang wanita. Meskipun sang ayah telah meminta maaf, sang wanita masih merasa terikat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh sang ayah terhadap dia, ia masih merasa dendam dengan sang ayah dan masih memiliki motivasi untuk balas dendam. Namun kemarahannya telah berkurang karena ayahnya sendiri juga menderita dengan perilakunya tersebut, sehingga ia mengatakan telah memaafkan ayahnya dan menerima kembali ayahnya kedalam kehidupannya. Sang wanita masih berharap ayahnya untuk melakukan terapi karena ia tidak bisa membatu ayahnya untuk pulih.

Mereka sepakat untuk saling berkunjung, ia membiarkan ayahnya bertemu dengan anak-anaknya, yang merupakan cucu yang tidak pernah ia temui, meskipun demikian ia masih mengawasi anaknya ketika bertemu dengan kakek mereka. Dan juga memberikan penjelasan agar segera memberi tahunya jika ada orang dewasa menyentuhnya secara seksual.

Sang ayah juga menekankan pada sang wanita untuk tidak akan melukai atau menyakiti anaknya. Ia berkunjung pada hari libur. Saat ini mereka telah memiliki hubungan yang sangat memuaskan. Namun dilain sisi saat ini sang wanita tidak pernah melupakan apa yang terjadi padanya dan juga tidak pernah mendiskusikan peristiwa yang telah terjadi diantara mereka (dikutip dari: “Sexual Violence” hal 169-170, oleh Fortune (2005))

Begitulah salah satu gambaran pemaafan pada korban incest, bahwa ia bisa memilih untuk berempati dan memaafkan ayahnya sebagai orang yang menyakitinya. Membutuhkan waktu baginya untuk memaafkan ayahnya, banyak faktor yang bisa mempengaruhinya untuk memaafkan dan sangat sulit baginya untuk melupakan kejadian tersebut walaupun ia telah memaafkan ayahnya.

Berdasarkan hasil pengamatan pralapangan penelitian oleh peneliti tidak semua korban kekerasan seksual bisa memaafkan pelakunya, berikut salah satu korban perkosaan yang saat ini didampingi oleh PKPA dalam menangani kasusnya, mengatakan bahwa ia tidak bisa memaafkan pelakunya, berikut kutipan wawancara tersebut:

“...Adek ga terima Kak, apa yang udah ia bikin ama Adek sampai sekarang Adek belum bisa terima, Kakak bayangkan aja ia tu teman

(8)

Abang Adek sendiri, setiap hari ia datang kerumah, Adek ngormati dia, tapi cobak apa yang udah terjadi..., dan Kakak bayangkan aja sendiri Ia tu cuma dipenjara tiga tahun, padahal ia udah merebut..., sampai sekarang adek belum terima..., makanya Adek ama PKPA masih mau ingin naik banding...”(Komunikasi Personal, 7 Mei 2007).

Linda Hollies (dalam Fortune, 2005) seorang incest yang kini aktif bergabung dalam perkumpulan pastor United Methodist, menyatakan bahwa jika seorang korban pelecehan seksual mengaku telah memaafkan dan melupakan pelecehan yang dialaminya, hal tersebut adalah bohong besar, karena pada hakikatnya memaafkan adalah menyerahkan secara utuh permasalahan yang dialami kepada Tuhan. Hal ini berarti kita telah mengahapus semua rasa sakit yang dilakukan oleh pelaku dan kita juga tidak berharap bahwa ia akan datang dan meminta maaf, membuat pengakuan dan merasa bersalah dan meminta kita untuk memaafkannya. Memaafkan berarti menghilangkan semua rasa sakit dari diri kita, meyakinkan bahwa yang terjadi adalah masa lalu dan yakin bahwa hari ini dan esok Tuhan tidak akan menimpakan rasa sakit itu lagi. Ketika seseorang memaafkan hakekatnya adalah ia telah memberikan semua rasa sakitnya hanya kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyimpan rasa sakit tersebut, sehingga rasa sakit yang ia rasakan telah hilang. Seseorang yang telah mampu memaafkan pelecehan seksual yang dialami tidak akan berkata “aku tidak ingin mengingat kejadian itu lagi”.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang korban perkosaan oleh pacarnya sendiri, adapun wawancara tersebut:

“...ya, kalau memaafkan, gimana ya toh saya sudah menikah denganya, saya bisa menerima dia sebagai bapak anak saya, namun saya belum bisa terima karena kejadian ini saya harus kehilangan masa depan, harus sudah mengurus anak pada umur saya yang segini, dan apa lagi ia meninggalkan

(9)

saya begitu saja sekarang, yang buat saya kadang belum bisa memaafkan dia...”(Komunikasi Personal, 26 April)

Harsanti (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa korban yang mengalami kekerasan seksual akan sulit memaafkan pelakunya apalagi sampai kepada tahapan benar-benar untuk melupakan kejadian tersebut. Senada dengan hasil penelitian diatas Baumeister, Exline & sommer (1998) menyatakan bahwa pada korban kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian menjadikan pengalaman masa lalunya sebagai alasan yang kuat untuk menolak memberi pemaafan. Dasar dari penolakan ini, lahir dari pemahaman bahwa kejadian menyakitkan berupa kekerasan pada anak, penyiksaan dan pembantaian termasuk dalam tindakan pelanggaran moral, jadi demi tegaknya prinsip moral maka korban dapat menolak memberi maaf.

Mc.Cullough, Rachal & Worthington (1997) mendefinisikan pemaafan sebagai suatu perubahan motivasi, yaitu motivasi untuk melakukan pembalasan dan motivasi untuk menghindar. Penurunan kedua motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti atau melukainya dan berperilaku lebih konstruktif terhadap pihak tersebut. Kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan, kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik kembali/rekonsiliasi merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthington & Hight, 1998).

Enright (1998) melihat pemberian maaf bukanlah hal yang sederhana karena dibutuhkan suatu proses untuk seseorang berhenti melihat dirinya sebagai

(10)

korban. Dalam proses waktu seorang korban diharapkan dapat melakukan perenungan dan menyusun kembali kerangka berfikirnya (reframing) untuk memahami sebab timbulnya suatu tindakan kejahatan (transgression). Jadi Enright (1998) memandang pemaafan sebagai suatu proses. Akan tetapi dalam kenyataannya, terdapat dua kemungkinan respon dari seorang korban yang terluka. Pertama, ia akan menghindar dalam arti kata menjauhkan diri dari si pelaku kejahatan dan kedua, ia akan membalas pelaku dengan kejahatan setimpal (Mc. Cullought & Worthington, 1999). Kedua kemungkinan diatas mungkin bisa menjawab respon dari korban pemerkosaan yang belum bisa memaafkan yang padahal respon yang mereka berikan sudah termasuk dalam ranah pemaafan.

Melengkapi kedua pilihan diatas, Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) menawarkan pemaafan sebagai pilihan ketiga dalam rangka memulihkan kondisi psikologis yang perlu disembuhkan. Menurut Baumeister, Exline & Sommer (1998) mengatakan bahwa ada dua dimensi utama (mayor) dalam pemaafan yaitu terdapat dimensi interpersonal dan dimensi intrapsikis. Pada dimensi interpersonal seorang korban memaafkan pelaku yang telah melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku kejahatan (offender). Pada dimensi kedua yaitu intrapsikis (intrapychic) pemaafan pada dimensi ini ditandai dengan korban berhenti merasa marah atau benci terhadap pelaku kejahatan dan mulai memahami peristiwa dari sudut pandang pelaku kejahatan tersebut. Kedua dimensi utama pemaafan ini selanjutnya kemudian akan membentuk 4 macam kombinasi pemaafan yaitu

(11)

hollow forgiveness (korban dapat memaafkan secara interpersonal, namun tidak memaafkan secara intrapsikis), silent forgiveness (korban secara intrapsikis mampu memaafkan pelaku, namun tidak mampu memaafkan secara interpersonal), total forgiveness (korban dapat memaafkan pelaku pelanggaran baik secara intrapsikis maupun intrapersonal) dan no forgiveness (dalam kombinasi ini korban baik secara interpersonal ataupun intrapsikis tidak dapat memaafkan pelaku).

Berbagai tinjauan dan problematika yang sudah peneliti kemukakan sebelumnya seperti pemaafan bisa membantu korban perkosaan dalam pemulihan traumanya dan sangat bermanfaat bagi kesehatan psikologisnya namun pemaafan adalah sebuah pilihan dan membutuhkan proses. Berbagai perbedaan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa ada korban perkosaan yang bisa memaafkan dan ada juga tidak bisa memaafkan pelakunya membuat peneliti juga bermaksud untuk melihat bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan khususnya yang berada dikota Medan walaupun korban perkosaan belum memaafkan namun dengan adanya proses pemafan maka penelitian ini bisa melihat ditahapan proses pemaafan manakah korban dan selanjutnya dalam penelitian ini peneliti juga melihat kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari dua dimensi utama pemaafan yang dimunculkan oleh Baumeister, Exline & sommer (1998).

Hal ini peneliti lakukan mengingat sulitnya tahapan pemaafan total dicapai oleh korban. Dengan adanya 4 kombinasi pemaafan tersebut, dapat dilihat seberapa dalam korban perkosaan memaafkan pelakunya. Dengan memperhatikan

(12)

tujuan dari penelitian ini, peneliti memilih metode kualitatif, karena fokus penelitiannya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang bersifat subjektif dan berbagai kemungkinan interaksinya.

I.B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut bagaimana dinamika pemaafan pada korban perkosaan, yang mencakup:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan pada korban perkosaan?

2. Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam pemaafan pada korban perkosaan?

3. Kombinasi pemaafan apa yang terbentuk dari dua dimensi utama pemaafan yang dimunculkan korban perkosaan?

I.C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pemaafan pada korban perkosaan.

I.D. Manfaat Penelitian

(13)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah ilmu pada bidang psikologi klinis mengenai pemaafan (forgiveness) pada korban perkosaan..

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat dari penelitian ini adalah selain untuk memberikan wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai perkosaan yang sekarang ini semakin sering terjadi, diharapkan dari hasil penelitian ini juga akan dapat memberikan masukan bagi para konselor dalam menangani kasus-kasus perkosaan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada korban perkosaan khususnya yang berkaitan dengan pemaafan.

c. Kedepannya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya.

I.E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

(14)

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan subjek/responden yang akan digunakan dalam penelitian.

Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi

Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekonstruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran.

Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak.dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengawasan pasar modal oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan bagaimana

- Pada Tahun Pajak 2020 Wajib Pajak menggunakan sisa lebih yang diperoleh pada Tahun Pajak 2016 sebesar Rp800.000.000,00 (penggunaan sisa lebih Tahun Keempat), sisa lebih yang

Sejalan dengan eksistensi dari Industri Sarung Tenun Samarinda di Kecamatan Samarinda Seberang ini, menyebabkan terjadinya perubahan atau pengalihan fungsi ruang dalam dari

Brdasarkan nilai-nilai hasil tes seleksi yang tinggi (= baik) yang berhasil diraih oleh para peserta tes seleksi tersebut, maka mereka dinyatakan lulus dan dapat

Saka sakabehane dhukun kang ditekani dening bapake Sri Asih, ana salah sawijine wong pinter kang ngerti kahanane Sri Asih, dheweke kandha yen sejatine Sri Asih

Terdapat 4 cara membaca basmalah di antara dua surat. Membaca basmalah adalah tanda awal dimulai suatu bacaan dalam surat Al-Quran. Guna dari membaca basmalah suatu

Dalam menganalisa menggunakan program SAP2000 v.14.0.0, beban- beban yang dimasukkan ke dalam analisa antara lain beban mati dan beban hidup dari gelagar

[r]