• Tidak ada hasil yang ditemukan

Immobilisasi Sel Dan Evaluasi Kinerja Immobilisasi Sel Pada Reaktor Kolom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Immobilisasi Sel Dan Evaluasi Kinerja Immobilisasi Sel Pada Reaktor Kolom"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2014

MODUL : IMMOBILISASI SEL DAN EVALUASI KINERJA

IMMOBILISASI SEL DALAM REAKTOR KOLOM PEMBIMBING : Ir.Unung Leoanggraini, MT

Oleh :

Irma Nurfitriani 131411013

Nenden Kurniasih Anggraeni 131411017 Rima Agustin Merdekawati 1314061

2 A- D3 Teknik Kimia Kelompok 5

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2014

PEMBUATAN : 8 Oktober 2014

(2)

LAPORAN PRAKTIKUM LABORATORIUM TEKNIK KIMIA

Modul Praktikum : IMMOBILISASI SEL DAN EVALUASI KINERJA REAKTOR IMMOBILISASI SEL

Nama Pembimbing : Ir.Unung Leoanggraini, MT Tanggal Praktek : 15 Oktober 2014

Tanggal Penyerahan : 22 Oktober 2014 I. PENDAHULUAN

I.1 Tujuan Percobaan

Tujuan percobaan ini adalah mahasiswa diharapkan mampu :

 Memahami dan menguasai prosedur pembuatan sel terimmobilisasi

 Memahami karakteristik matriks pendukung sel terimmobilisasi

 Memahami dan menguasai prosedur penggunaan sel terimmobilisasi dalam proses fermentasi

 Memahami tipe reaktor yang tepat untuk sel immobilisasi

 Memahami karakteristik reaktor batch dan kontinu yang menggunakan sel terimmobilisasi

 Mengevaluasi kinerja Reaktor “Packed Column” I.2 Teori Dasar

IMMOBILISASI SEL 1. Sel Immobilisasi

Sel terimobilisasi adalah suatu sel yang dilekatkan pada suatu bahan inert dan tidak larut dalam bahan tersebut, misal dalam sodium alginat atau kalsium alginat. Dengan sistem ini, sel dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi seperti pH, juga temperatur. Sistem ini juga membantu sel berada di tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain (Sumo dkk., 1993). Sel/enzim tersebut tetap mempunyai aktivitasnya sebagai biokatalisator/katalis, serta sel/enzim tersebut dapat dipergunakan secara terus menerus dan sangat penting untuk proses berkesinambungan.

(3)

Immobilisasi sel mikroba dibedakan atas 3 macam yakni:

1. Sel mati: untuk reaksi konversi sederhana (1 tahap)

2. Sel hidup: untuk reaksi konversi yang melibatkan biokatalis heterogen (multi enzim)/memerlukan ATP atau biokoenzim seperti NADP atau koenzim A.

3. Sel dalam fase pertumbuhan: keadaan dimana terdapat aktivitas enzim untuk pertumbuhan.

Imobilisasi dapat dilakukan terhadap sel maupun terhadap enzim. Imobilisasi enzim dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari bentuk larut dalam air “bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak larut. Imobilisasi mencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat/cair yang sederhana. Imobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan pendukung, pengikatan silang intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara menjebak enzim di dalam gel atau membran polimer (Palmer, 1991).

Imobilisasi sel berkembang setelah imobilisasi enzim. Dalam teknologi imobilisasi enzim terdapat hambatan pada regenerasi koenzim dan keterbatasan metode yang dapat diterapkan untuk menyusun molekul enzim dalam rangkaian tertentu, sehingga dapat melakukan tahapan reaksi katalitis enzim yang berkesinambungan. Untuk mencegah hambatan tersebut dilakukan penelitian-penelitian, sehingga terjadi pengembangan pada imobilisasi sel, yang dapat digunakan sebagai biokatalis. Hal ini memungkinkan untuk melakukan imobilisasi seluruh sel dan menjaga sel tetap hidup (viabel). Dalam praktiknya, metode yang digunakan adalah menjebak sel dalam gel dengan adsorpsi. Selain itu, pengontrolan perlu dilakukan untuk mencegah inaktivasi dari aktivitas metabolisme yang penting, sehingga pemisahan biokatalis dari produk lebih mudah dan membuat biokatalis lebih stabil (Sumo dkk., 1993).

Dewasa ini, teknologi immobilisasi memegang peranan penting dalam perkembangan proses biokimia dalam suatu boreaktor. Sel yang mengalami

(4)

misalnya produksi alkohol, asam amino, antibiotik atau pada degradasi polutan limbah cair.

2. Kelebihan Sel Immobilisasi

Kelebihan penggunaan sel immobilisasi dibandingkan dengan sel bebas antara lain sebagai berikut:

1. Immobilasi menyediakan konsentrasi sel yang tinggi.

2. Immobilisasi memungkinkan penggunaan sel kembali dan mengurangi biaya recovery sel dan recycle sel.

3. Immobilisasi mengurangi masalah wash out sel pada laju alir yang tinggi.

4. Kombinasi konsentrasi sel yang tinggi dan laju alir yang tinggi (tanpa batasan wash out) menghasilkan produktivitas volumetric yang tinggi.

5. Immobilisasi menyediakan kondisi micro environmental yang menguntungkan seperti kontak antar sel, gradient nutrient-produk, gradient pH untuk sel sehingga menghasilkan kinerja biokatalis yang lebih baik (kecepatan pembentukan dan yield produk yang lebih tinggi).

6. Immobilisasi menyebabkan kestabilan genetik.

7. Immobilisasi menyediakan perlindungan terhadap kerusakan sel.

3. Kekurangan Sel Immobilisasi

1. Hambatan pada proses difusi baik substrat maupun produk yang terbentuk. 2. Untuk sel yang hidup, pertumbuhan dan evolusi gas sering merusak matriks

pendukung sel terimmobilisasi.

3. Kontrol terhadap lingkungan mikro cukup sulit, sehingga menghasilkan heterogenitas dalam sistem.

4. Substrat yang memiliki berat molekul besar sukar berdifusi ke dalam sel yang diimmobilisasi.

5. pH optimum akan bergeser karena adanya perubahan elektron/muatan listrik pada matriks.

4. Jenis-Jenis Immobilisasi sel

(5)

1. Immobilisasi Aktif

Immobilisasi ini dilakukan dengan dua metoda yaitu metoda penjeratan dan metoda pengikatan. Metoda penjeratan dilakukan secara fisik dalam matriks pendukung. Matriks pendukung yang bisa digunakan yaitu polimer porous (agar, alginate, carragenan, polyacrylamide, chitosan, gelatin, collagen), porous metal screen, polyurethane, silicagel, polystyrene, dan selulosa triacetate. Polymeric beads harus cukup porous untuk keluar masuknya substrat dan produk. Polymeric beads biasanya dibentuk dengan menggunakan sel hidup di dalamnya.

Gambar.1. Mekanisme

Penjeratan Immobilisasi Sel

2. Immobilisasi Pasif

Berbentuk biological films yang berbentuk lapisan-lapisan koloni sel yang tumbuh dan melekat pada permukaan pendukung yang padat. Material pendukung dapat bersifat inert atau aktif secara biologis. Biological films digunakan pada pengolahan limbah atau fermentasi mikroba dengan jamur.

5. Metode Immobilisasi

Beberapa ahli menggolongkan metode imobilisasi dengan tiga kelompok, yaitu: metode carrier binding, metode cross linking, dan metode entrapping (Sa’id, 1987). Pada metode carrier binding, enzim diikatkan pada suatu matriks yang bersifat tidak larut adalam air. Sebagai matriks dapat digunakan bahan organik maupun anorganik. Bila menggunakan metode ini, hal yang perlu diperhatikan

(6)

pengikatan enzim pada matriks dapat dilakukan berdasarkan adsorpsi fisik, gaya elektrostatik atau ikatan kovalen (Chibata, 1978).

Metode cross linking didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler antara molekul-molekul enzim. Gugus fungsional dalam molekul enzim yang biasa digunakan untuk pembentukan ikatan intermolekmuler adalah gugus amino pada asam amino terminal, gugus amino dari lisin, gugus fenolik dari tirosin, gugus sulhidril dari sistein dan gugus imidazole dari histidin.

Pada metode entrapping, imobilisasi, enzim/sel didasarkan pada penempatan enzim di dalam kisi dari suatu polimer atau di dalam membran yang bersifat semi permiabel. Bila enzim ditempatkan dalam kisi, maka metode yang digolongkan adalah jenis kisi, sedang bila ditempatkan dalam membran yang bersifat semipermiabel, maka metodenya digolongkan ke dalam jenis mikrokapsul (Chibata, 1978). Selain itu metode imobilisasi dapat digolongkan sebagai berikut :

 Adsorpsi

 Penjeratan dalam matriks polimer  Penjeratan dalam membran

Teknik imobilisasi yang paling baik adalah yang memenuhi kriteria utama tidak terjadi perubahan konformasi enzim dan tidak mengganggu gugus fungsi di pusat aktif enzim sehingga enzim tetap dapat berfungsi. Metode penjebakan enzim lebih banyak digunakan karena enzim ada dalam keadaan bebas dan tidak terikat pada bahan pendukung sehinga secara relatif fungsi katalitik dan struktur alami molekul enzim tidak mengalami gangguan goncangan (Wirahadikusumah, 1988).

6. Penjerat Atau Pembawa Immobilisasi Sel

Karakteristik yang harus dimiliki oleh penjerat/pembawa immobilisai sel, antara lain :

a. Mudah digunakan serta ukuran dan porositas media penjerat dapat dikontrol, terutama pada skala industri.

b. Media penjerat berbentuk matrik stabil pada kondisi fermentasi (temperature dan pH optimum).

(7)

d. Mempunyai sifat mekanik yang stabil, sehingga dapat tahan dalam waktu yanglama dalam reaktor yang digunakan.

e. Penjerat harus inert terhadap mikrorganisme yang akan dijerat.

f. Substrat, produk, dan metabolisme lain harus dapat berdiffusi secara bebas dengan media penjerat.

Natrium alginat merupakan bahan yang digunakan sebagai penjerat sel, spesifikasi sebagai berikut :

 Alginat merupakan koloid ganggang (fikokoloid) yang dapat diekstrak dari ganggang coklat (phasophyceae), terutama anggota laminariates, berbentuk asam alginat atau natrium alginat.

 Asam alginat adalah suatu getah selaput membran (membrane mucilage).

 Garam alginat dapat larut dalam air, seperti natrium alginat, potassium alginat, dan ammonium alginat, sedikit larut dalam air, sedang kalsium alginat tidak larut dalam air.

 Umumnya alginat berbentuk serbuk putih kekuningan dan kadang-kadang dalam bentuk pasta yang merupakan senyawa organik kompleks dengan selulosa atau polisakarida. Senyawa alginat dapat dimurnikan sebgai garam natrium alginat dengan alginat atau garam alginat yang lain.

Karakteristik natrium alginat :

 Berbentuk serbuk berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau, dan tidan berasa. Secara umum susut pengeringan tidak lebih dari 22 %.

 Larut lambat dalam air membentuk larutan koloid yang kental, berwarna putih pucat sampai coklat kekuningan. Tidak larut dalam alkohol, kloroform dan eter,serta larutan air yang mengandung lebih besar dari 30 % alkohol. Variasi mutu natrium algianat ditentukan oleh variasi viscositas, antara 20-400 cp dari larutan 1% pada suhu 20o C.

 Larutan alginat stabil pada pH 4 sampai 10.

 Natrium alginat harus disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya, bentuk larutan tidak boleh disimpan pada wadah logam.

(8)

REAKTOR PADA PROSES FERMENTASI

Proses fermentasi jika ditinjau berdasarkan cara operasinya, dapat dibedakan menjadi dua (Iman, 2008), diantaranya:

1. Fermentasi Cair

Contoh produk : etanol, protein sel tunggal, antibiotic, pelarut organik, kultur starter, dekomposisi selulosa, pengolahan limbah cair, beer, glukosa isomerase, dan lain sebagainya.

2. Fermentasi Padat (solid state fermentation)

Contoh produk : tape, oncom, koji dan lain sebagainya.

Pada proses fermentasi cair dapat dibedakan menjadi dua (Bambang, 2010), diantaranya :

a. Fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation)

Contoh produk : etanol, dan lain sebagainya.

b. Fermentasi Fermentasi permukaan (surface fermentation)

Contoh produk : nata de coco, dan lain sebagainya.

Pada sistem fermentasi bawah permukaan (submerged fermentation) dapat digolongkan lagi menjadi beberapa cara, diantaranya :

1. Batch Process

Pengertian Batch Process

Menurut Iman, 2008 (2008) Batch Process merupakan fermentasi dengan cara memasukan media dan inokulum secara bersamaan ke dalam bioreactor dan pengambilan produk dilakukan

(9)

pada akhir fermentasi. Pada system batch, bahan media dan inokulum dalam waktu yang hampir bersamaan di masukan ke dalam bioreactor, dan pada saat proses berlangsung akan terjadi terjadi perubahan kondisi di dalam bioreactor (nutrient akan berkurang dan produk serta limbah). Adapun contoh produk yang dapat menggunakan system Batch Process, diantaranya : yang mungkin dilakukan untuk skala kecil (Bambang, 2010).

Alasan menggunakan System Batch Process

Pada system fermentasi Batch, pada pasarnya prinsipnya merupakan sistem tertutup, tidak ada penambahan media baru, ada penambahan oksigen (O2) dan aerasi, antifoam dan asam/basa

dengan cara kontrol pH (Iman, 2008).

Batch Fermentation banyak diterapkan dalam dunia industri, karena kemudahan dalam proses sterilisasi dan pengontrolan alat (Minier and Goma, 1982) dalam Setiyo Gunawan (2010). Selain itu juga, pada cara batch menurut penelitian yang dilakukan Hana Silviana (2010), mengatakan bahwa cara batch banyak diaplikasikan di industri etanol karena dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi.

Keuntungan menggunakan System Batch Process :

Menurut Rommy (2010), Bioreaktor tipe batch Tipe batch memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu – waktu tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25%) atau bahan berserat / sulit untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru.

2. Proses Sinambung (Continues Process)

Pengertian Sinambung (Continues Process)

Pada cara Sinambung (Continues Process), pengaliran substrat dan pengambilan produk dilakukan secara terus menerus (sinambung) setiap saat setelah diperoleh konsentrasi produk

(10)

maksimal atau substrat pembatasnya mencapai konsentrasi yang hampir tetap (Rusmana, 2008). Dalam hal ini subtrat dan inokulum dapat ditambahkan bersama-sama secara terus menerus sehingga fase eksponensial dapat diperpanjang.

Ada 2 tipe sistem, yaitu : homogenously mixed bioreactor dan plug flow reactor. Pada tipe homogenously mixed bioreactor dapat dibagi menjadi 2 macam diantaranya Chemostat dan

Turbidostat (Rusmana, 2008).

Adapun contoh produk yang dapat menggunakan system sinambung (Continues Process) diantaranya : protein sel tunggal, antibiotic, pelarut organic, kultur starter, dekomposisi selulosa, pengolahan limbah cair, beer, glukosa isomerase, etanol (Rusmana, 2008).

Alasan menggunakan System Sinambung (Continues Process)

Pada System Sinambung (Continues Process), pada pasarnya prinsipnya merupakan fermentasi kontinyu dimana pada fermentor sistem terbuka, ada penambahan media baru, ada kultur yg keluar, volume tetap dan fase fisiologi sel konstan (Iman, 2008).

Dalam hasil penelitian, menurut Reksowardjo (2007), dikatakan bahwa proses fermentasi kontinyu dengan immobilisasi sel akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan fermentasi batch. Pada fermentasi secara batch untuk fermentasi etanol terjadi kendala yaitu produktivitas etanol rendah. Rendahnya produktivitas etanol karena pada kondisi tertentu etanol yang dihasilkan akan menjadi inhibitor, yang akan meracuni mikroorganisme sehingga mengurangi aktivitas enzim.

3. Gabungan system batch dan kontinyu (Fed-Batch Process)Pengertian Fed-Batch Process

Sistem fed-batch adalah suatu sistem yang rnenambahkan media baru secara teratur pada kultur tertutup, tanpa mengeluarkan cairan kultur yang ada di dalam fermentor sehingga volume kultur makin lama makin bertambah (Tri Widjaja 2010). Menurut Rusmana (2008), pada cara fed-batch yaitu memasukan sebagian sumber nutrisi (sumber C, N dan lain-lain) ke dalam

(11)

bioreactor dengan volume tertentu hingga diperoleh produk yang mendekati maksimal, akan tetapi konsentrasi sumber nutrisi dibuat konstan.

Pada system fermentasi Fed-Batch Process, menurut Bambang (2010), merupakan pengembangan sistem batch, adanya penambahan media baru, tidak ada kultur yg keluar dan yield lebih tinggi dari batch. Contoh produk yang dapat diperoleh pada system Fed-Batch Process adalah Dekstranase.

Alasan menggunakan System Fed-Batch Process

Proses fed-batch telah diterapkan secara luas dalam berbagai industri fermentasi dan relatif lebih mudah digunakan untuk perbaikan proses batch dibandingkan dengan proses kontinyu. Apabila pada fermentasi kontinyu dihasilkan keluaran secara terus-menerus maka pada fed-batch diperoleh keluaran tunggal pada akhir inkubasi sehingga dapat ditangani dengan cara yang sama seperti pada proses batch Sinclair & Kristiansen (1987) dalam Budiatman (2009).

Keuntungan menggunakan System Fed-Batch Process :

Keuntungan sistem fed-batch ini menurut penelitian yang dilakukan Rachman (1989) dalam Budiatman (2009), ialah konsentrasi sisa substrat terbatas dan dapat dipertahankan pada tingkat yang sangat rendah sehingga dapat mencegah fenomena represi katabolit atau inhibisi substrat.

Proses fermentasi jika ditinjau berdasarkan jenis reaktor

Beberapa konfigurasi reaktor dapat digunakan untuk sistem sel terimmobilisasi. Matriks pendukung sel immobilisasi umumnya bersifat rapuh, karena itu dipilih bioreaktan yang memiliki gesekan hidrodinamik yang rendah seperti packed-column, fluidized-bed atau airlift reactor. Reaktor yang menggunakan pengaduk mekanik dapat digunakan untuk matriks pendukung yang kuat dan liat. Reaktor tersebut dioperasikan dengan cara mengalirkan larutan nutrient melewati sel immobilisasi. Skema penggunaan sel immobilisasi sel untuk reactor packed-column dan fluidized-bed secara batch maupun kontinu.

(12)
(13)

Gambar.2. Jenis Reaktor Kolom Pada Fermentasi Menggunakan

Immobilisasi Sel

Fluidized-bed Reactor

 Untuk viskositas tinggi & terbentuk gas

 Laju fluidisasi perlu diatur agar enzim imobil tak rusak

 Laju transfer massa & panas yang lebih baik

 Digunakan sel imobil atau enzim imobil

 Pencampuran dibantu dengan pompa pada bagian dasar tangki, sehingga katalis yang telah diimobilisasi bergerak bersama cairan

Reaktor Packed bed/ Fixedbed

 Faktor Pola Aliran

Aliran ke bawah tidak banyak digunakan karena pada penggunaannya, enzim imobil berada pada bagian bawah reaktor yang akan menyebabkan pemampatan reaktor oleh manik.

Aliran ke atas banyak digunakan karena enzim tidak menghalangi pengeluaran produk dan dapat langsung kontak dengan substrat.

 Faktor Kecepatan alir substrat : mempengaruhi kecepatan penurunan aktivitas enzim. Penyebab : Kestabilan enzim yang semakin melemah

MENENTUKAN WAKTU (ttinggal) PADA PROSES FERMENTASI

Waktu tinggal (ttinggal) adalah waktu yang dibutuhkan pada proses fermentasi untuk

menghasilkan produk.

1. Menentukan ttinggal Pada Proses Fermentasi Secara Batch

Pada proses fermentasi secara batch, waktu tinggal dapat diketahui secara langsung dari awal fermentasi sampai dengan akhir fermentasi (menghasilkan produk).

(14)

2. Menentukan ttinggal Pada Proses Fermentasi Secara Kontinu

Waktu tinggal (ttinggal) pada fermentasi secara kontinu dapat diketahui dengan

membagi volum sel (beads) dengan kecepatan volumetrik cairan yang masuk reaktor. Dengan perhitungan kinetika reaksi, konversi suatu reaktor dapat diketahui.

Volume beads(mL)

Volumetrik cairan yang masuk( mL detik)

=t(detik)

Dimana :

Volume beads = Volume kolom reaktor] – [Volume CaCl2 (dalam immobilisasi bakteri Acetobacter Aceti) yang ditambahkan untuk mengisi rongga-rongga kosong beads dalam kolom reaktor]

PRODUK YANG DIHASILKAN ASAM ASETAT

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau

CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak

berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.

Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH

3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi

kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5

(15)

juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati.

Asam asetat diproduksi baik secara sintetis maupun alami melalui proses fermentasi. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi melalui karbonilasi metanol. Sisanya dihasilkan melalui metode-metode alternatif.

Produksi total asam asetat dunia diperkirakan 5 Mt/a (juta ton per tahun), setengahnya diproduksi di Amerika Serikat. Eropa memproduksi sekitar 1 Mt/a dan terus menurun, sedangkan Jepang memproduksi sekitar 0.7 Mt/a. 1.51 Mt/a dihasilkan melalui daur ulang, sehingga total pasar asam asetat mencapai 6.51 Mt/a. Perusahan produser asam asetat terbesar adalah Celanese dan BP Chemicals. Produsen lainnya adalah Millenium Chemicals, Sterling Chemicals, Samsung, Eastman, dan Svensk Etanolkemi.

 Karbonilasi metanol

Kebanyakan asam asetat murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon monoksida bereaksi menghasilkan asam asetat

CH3OH + CO → CH3COOH

Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.

(1) CH3OH + HI → CH3I + H2O

(2) CH3I + CO → CH3COI

(3) CH3COI + H2O → CH3COOH + HI

Jika kondisi reaksi diatas diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida asetat sebagai hasil tambahan. Karbonilasi metanol sejak lama

(16)

maupun karbon monoksida merupakan bahan mentah komoditi. Henry Dreyfus mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol pada perusahaan Celanese di tahun 1925. Namun, kurangnya bahan-bahan praktis yang dapat diisi bahan-bahan korosif dari reaksi ini pada tekanan yang dibutuhkan yaitu 200 atm menyebabkan metoda ini ditinggalkan untuk tujuan komersial. Baru pada 1963 pabrik komersial pertama yang menggunakan karbonilasi metanol didirikan oleh perusahaan kimia Jerman, BASF dengan katalis kobalt (Co). Pada 1968, ditemukan katalis kompleks Rhodium, cis−[Rh(CO)2I2]− yang dapat beroperasi dengan optimal pada tekanan

rendah tanpa produk sampingan. Pabrik pertama yang menggunakan katalis tersebut adalah perusahan kimia AS Monsanto pada 1970, dan metode karbonilasi metanol berkatalis Rhodium dinamakan proses Monsanto dan menjadi metode produksi asam asetat paling dominan. Pada akhir 1990'an, perusahan petrokimia British Petroleum mengkomersialisasi katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]−) yang didukung oleh ruthenium. Proses berbasis iridium ini

lebih efisien dan lebih "hijau" dari metode sebelumnya sehingga menggantikan proses Monsanto.

Proses produksi Asam asetat:

 Oksidasi asetaldehida

Sebelum komersialisasi proses Monsanto, kebanyakan asam asetat diproduksi melalui oksidasi asetaldehida. Sekarang oksidasi asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi metanol. Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksidayang selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.

2 C4H10 + 5 O2 → 4 CH3COOH + 2 H2O

Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu setinggi mungkin namut butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada

(17)

umumnya sekitar 150 °C and 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini juga bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi.

Melalui kondisi dan katalis yang sama asetal dehida dapat dioksidasi oleh oksigen udara menghasilkan asam asetat.

2 CH3CHO + O2 → 2 CH3COOH

Dengan menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield) lebih besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi.

Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM). Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.

II. METODE PRAKTIKUM

II.1 Alat dan Bahan

IMMOBILISASI SEL Alat No Alat Spesifikasi 1 2 3 Erlenmeyer

Spuit (perangkat suntik)steril Pembakar spirtus

250 ml

Bahan

(18)

Pipet 5 mL air garam steril

Masukkan dan kocok dalam biakan murni aceetobacter aceti

Tuang air garam berisi bakateri dalam 400 mL media aktifasi

Inkubasi 3 jam pada suhu 30oC

2 3

4 5

Aceti

Air garam steril

Media aktivasi/starter/pre-culture dengan komposisi : - Bacto pepton 2% - Ekstrak ragi 0,5% - Glukosa 2% - Aquadest Natrium alginat 8% Larutan CaCl2 2% 200 ml 4 gram 1 gram 4 gram 200 ml 1000 ml

EVALUASI KINERJA REAKTOR IMMOBILISASI Alat No Alat Spesifikasi 1 2 3 4

Reaktor “Packed Column” Pompa peristaltik

Pembakar spirtus

pHmeter dan etanol sensor

1 set

II.2 Skema Kerja

IMMOBILISASI SEL 1. Penanaman bakteri pada media aktifasi

(19)

Timbang natrium alginat sebanyak 16 gram

Campurkan dengan aquadest sebanyak 200 mL

Aduk hingga megental

Pasteurisasi pada suhu 70-80oC selama 10 menit

2. Pembuatan Natrium Alginat

3. Pembuatan Beads

EVALUASI KINERJA IMMOBILISASI SEL DALAM REAKTOR KOLOM

Campurkan media aktivasi dan larutan natrium Suntikkan campuran kedalam

larutan

CaCl2 untuk membentuk beads

(20)

Gambar.3. Rangkaian Reaktor “Packed Column” Pada Evaluasi Kinerja Immobilisasi Sel

(21)

Semua peralatan disterilkan menggunakan etanol 70%

Volume kolom reaktor yang akan digunakan diukur dengan

menyisakan ruang 7 cm dari atas kolom

Diperoleh volume kolom reaktor 400 mL Dari 400 mL mengandung

komposisi sebagai berikut :

Glukosa : 2 %

NH4NO3 : 2%

KH2PO4 : 0,1%

MgSO4.7H2O : 0,02%

Semua komposisi ditimbang sesuai dengan perhitungan

Semua komposisi dilarutkan dengan 400 mL aquades

Media produksi tersebut diinkubasi 2-3 jam pada

(22)

Semua peralatan disetrilkan

menggunakan etanol 70% ditambahkan alkohol 7-10%Media produksi asam asetat

Media produksi asam asetat ditambahkan alkohol 10%Reaktor dirangkai

seperti pada gambar (pastikan pemasangan aliran

selang benar)

Media produksi yang sudah ditambahkan substrat (alkohol 10%) dimasukkan ke dalam Recycle Chamber

Sel terimmobilisasi (dalam larutan CaCl2) / beads dimasukkan ke dalam kolom

reaktor sampai tersisa ruang 7 cm dari atas kolom reaktor

(aerob) Larutan CaCl2 dalam kolom

reaktor dikeluarkan melalui aliran bawah Larutan CaCl2 yang baru

dimasukkan ke dalam kolom reaktor sampai mengisi rongga-rongga beads dan tersisa ruang 7 cm dari atas

kolom reaktor (V mL) Laju alir diatur pada pompa

peristaltik (pastikan semua LED off agar pompa peristaltik memompa ke kolom bukan memompa dari

kolom dan pastikan pompa pada posisi tertutup)

Proses fermentasi volume produk ( V/t dalam 30 detik pertama diambil mL/menit)

Dilakukan 4x sampling setiap 2 menit

Pompa dihentikan dan laju alir diubah (kecepatan

divariasikan)

Dilakukan sampling 4x setiap 2 menit Pompa dihentikan dan laju

alir diubah kembali (kecepatan divariasikan Dilakukan sampling 4x

setiap 2 menit Pompa dimatikan dan

rangkaian semua alat di lepas

Dilakukan titrasi untuk 12 sample menggunakan NaOH

sebagai titran

Diperoleh konsentrasi sample

Dibuat grafik hubungan antara konsentrasi dengan

laju alir

Kesimpulan dari kinerja sel immobilisasi pada proses fermentasi menggunakan

packed column reactor

secara kontinu b. Diagram Alir Fermentasi Secara Kontinu

(23)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Immobilisasi sel adalah suatu proses untuk menghentikan pergerakan dari molekul enzim atau sel yang ditahan pada tempat tertentu dalam suatu ruang reaksi yang digunakan sebagai katalis. Bakteri yang digunakan adalah Acetobacter aceti yang memiliki kemampuan untuk mengkonversi alkohol menjadi asam asetat. Immobilisasi yang dilakukan ialah immobilisasi fisik, yaitu dengan membungkus bakteri dengan alginate.

a. Pembuatan Media

Tahapan awal yang dilakukan, membuat media aktivasi 400 mL dengan komposisi sebagai berikut.

 Bacto pepton 2%  Yeast ekstract 0,5%  Glukosa 2%

 Aquadest 100 mL

Pembuatan media aktifasi untuk bakteri Acetobacter aceti, media aktivasi dari erlenmeyer yang sudah di sterilisasi diambil secukupnya lalu dimasukan ke media kultur murni agar miring yang berisi bakteri Acetobacter aceti, kemudian bakteri Acetobacter aceti diambil dengan cara menggesekkan jarum ose di permukaan saja agar bakteri Acetobacter aceti dapat larut dengan media aktivasi, lalu tuangkan ke erlenmeyer. Setelah dimasukkan ke dalam media aktivasi, tumbuhkan bakteri dengan menginkubasinya dalam inkubator selama 2-3 jam pada suhu 30oC. Saat pembuatan inokulum, setiap proses dilakukan secara aseptis. Hal ini harus dilakukan

dengan tujuan agar tidak ada mikroorganisme dari luar yang masuk ke dalam media aktivasi yang dapat mengakibatkan media terkontaminasi.

Kedua, pembuatan media produksi. Media produksi mempunyai komposisi yang terdiri dari NH4NO3, KH2PO4, MgSO4.7H2O ,ethanol dan glukosa, setelah dicampurkan lalu

disterilisasi.. Selain pembuatan media diatas, kami pun membuat air garam steril, larutan CaCl2,

dan natrium alginat 8% dalam 200 ml.Pembuatan air garam steril hanya membutuhkan aquadest dan garam yang kemudian disterilisasi, air garam steril berfungsi untuk mencuci beads yang akan dimasukkan ke dalam reaktor kolom. Larutan CaCl merupakan larutan yang terdiri dari serbuk

(24)

garam CaCl2 yang dilarutkan dalam aquadest kemudian disterilkan. Larutan CaCl2 berfungsi

untuk menstabilkan beads yang dibuat dan memperkuat dinding bead. Natrium alginat 8% dalam 200 mL ini dipasteurisasi pada suhu 70-80 oC. Pasterurisasi merupakan suatu bentuk sterilisasi

yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan tanpa merusak komponen komponen yang terdapat dalam natrium alginat.

b. Pembuatan Beads

Pembuatan beads dilakukan dengan cara mencampurkan natirum alginat dengan media aktivasi berisi bakteri kemudian dimasukkan CaCl2 dengan cara disuntikkan tetes demi tetes.

Beads kemudian akan terbentuk dengan sendirinya. Beads yang baik akan berbentuk bulat sempurna, berwarna coklat, dan dinding beads akan mengeras dalam larutan CaCl2. Proses ini

harus dilakukan secara aseptis.

IV. KESIMPULAN

V. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut:

 Imobilisasi sel merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat suatu produk asam lemah seperti asam asetat dengan menggunakan bakteri seperti Acetobacter aceti.

VI.

VII. Daftar Pustaka

 Rusmana, Iman., 2008. Sistem Operasi Fermentasi, Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor Jawa Barat.

 Purnomo, Bambang., 2010. Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia.

 Widaja, Tri., dan Budhikarjo, Kusno., 2007. Pengaruh Recycle Rate dan Konsentrasi Alginat Terhdapat Produktifitas Etanol dengan Proses Fermentasi –Ekstraksi, Laboratorium Perpindahan Masa dan Panas Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri-Institut Teknologi Surabaya Jawa Timur.

(25)

 Seminar Teknik Kimia Soehadi Reksowardojo ISSN 0854-7769 2007

 Mulyanto., Widjaja, Tri., Hakim, Abdul., dan Frastiawan, Eko., 2010. Produktifitas Etanol dari Molases dengan Proses Fermentasi Kontinyu Menggunakan Zymomonas mobilis dengan Teknik Immobilisasi Sel K-Karaginan dalam Bioreaktor Paccked-Bed, Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Kampus ITS Sukolilo, Surabaya Jawa Timur.

 Wahyudin., 2009. Proses Produksi Etanol Oleh Saccharomyces Cerevisiae Dengan Operasi Kontinyu Pada Kondisi Vacum, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah.

 Sharifani, Shinta., 2010. Degradasi Biowaste Fase Cair, Slurry dan Padat dalam Reaktor Batch Anaerob Sebagai Bagian dari Mechanical Biological Treatment (Degradation of Biowaste in Liquid, Slurry, and Solid Phase in Anaerob Batch Reactor As Part of Mechanical Biological Treatmen)t, Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Sipil dan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung Jawa Barat.

 Indriawati., dan Aprilianto, Rommy., 2009. Identifikasi Proses Pada Bioreaktor Anaerob Untuk Pengolahan Limbah Cair Tahu, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur.

 Widjaja, Tri., Hariani, Natalia., Gunawan, Setio., dan Darmawan, R., 2010. Teknologi Immobilisasi Sel Ca-Alginat Untuk Memproduksi Etanol Secara Fermentasi Kontinyu Dengan Zymomonas Mobilis Termutasi, Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur.

 Puspita, Elok., Silviana, Hana., 2010. Fermentasi Etanol Dari Molasses Pada K-Karaginan, Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Jawa Timur.

(26)

 Satiwihardja, Budiatman., Wibisono, Beni., Murdiyatmo, Untung., 2010. Proses Fermentasi Fed-Batch untuk Produksi Dekstranase dengan Streptococcus sp. B7 (Fed-Batch Fermentation Processes to Produce Dextranase from of Streptococcus sp. B7), Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Foleta, Institur Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor Jawa Barat.

VIII. LAMPIRAN IX.

N

X. Gambar XI. Keterangan

XII. 1

XIII.

XIV. Pembuatan Natrium Alginat 8 %

XV. 2

XVI.

XVII. Pasteurisasi Larutan Natrium Alginat pada suhu 80oC

(27)

XVIII. 3

XIX.

XX. Pembentukan beads dengan menyuntikan media produksi ke dalam larutan CaCl2

Referensi

Dokumen terkait